Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Terima kasih suhu atas releasenya "SARAH" dalam gelaran LKTCP 2019.
Besar harapan sy agar karya ini ada kelanjutan di kemudian hari.
 
bukan pecinta gore, jd ane skip beberapa scenes dan setuju dg yg lain, kurang paham endingnya
mungkin ane yg terlalu awam :ampun:

Tp bisa dibilang komplit sih ini, ilmu duniawinya ada, soal musik kedokteran, ilmu afterlife nya jg, exe nya dimana mana pula :papi: :papi:
 
Terimakasih sudah mampir, baik yang tidak membaca, memebaca sebagian, atau membaca seluruh ceritaku ini. Sukur-sukur sudah baca sih. Komennya bagus semua. Sukur sukur yang komen sudah baca. Hihihi

Bagi yang belum paham endingnya. Sarah tersesat a.k.a. kesasar. Rohnya tidak kembali ke sang pencipta. Dia terkekang di desa itu. Dia mengikuti nafsunya yang tergambar dari wujud yang bermacam-macam. Ortu Sarah yang golongan makrifat, sudah mengetahui takdir Sarah. Karena itulah ia membekali dengan pengetahuan tentang ketuhanan. Bahwa, semua ciptaannya akan hancur. Termasuk Surga dan Neraka. Baginya, Surga dan Neraka tidak lebih kekal dari Tuhan itu sendiri. Jika saat mati melihat mohon rindang, maka roh nya akan menjadi penunggu pohon. Proses untuk kembali ke Tuhan, yaitu saat akan mati. Dia akan melihat hal-hal yang amat disukainya. Ortunya memberi ilmu itu.

"Jika kalian buta kepada Tuhan, maka di akhirat kalian akan buta kepadanya"

Satu-satunya penolong itu ada 2. Dirinya sendiri (yang utuh tanpa cacat) dan Tuhan. Jika mengikuti yang lain, maka tersesat. Membuat manusia tersesat, itulah tugas Jin dan setan. Dia bisa menyerupai manusia, tapi tidak bisa sempurna. Selain bau keringat tidak sama, ada bagian tubuh yang kurang. Bahkan, penempatan tahi lalatpun tidak bisa pas. Aku tidak pantas menjelaskan cara dan laku makrifat. Termasuk cara bersucinya bagaimana. Harus ada Guru sebagai pembimbing agar bisa mengetahui wujud Tuhan seperti apa. Warnanya bagaimana, dsb. Sebagai referensi, cobalah baca buku-bukunya Ir. Agus Mustofa.

Ada sih cara untuk melihat wujud roh diri sendiri. Tentunya gak aku bagikan disini.

Tidak ada mahluk yang paling benar kecuali Tuhan, walaupun beberapa diantaranya yang diciptakannya tidak baik bagi kita. Bahkan, malaikatpun pernah berbuat salah. Cuma kita tidak menyadarinya. Salah satu contohnya, malaikat pencabut nyawa pernah salah. Ada berapa orang yang pernah mengalami mati suri? Bahkan saat 7 hari dikubur bisa hidup lagi. Sebelum mati, dia melihat banyak hal. Termasuk nafsu yang melekat pada jiwanya.

Malaikat selalu benar dan Setan selalu salah. Menurut penulis, itu omong kosong. Malaikat juga pernah berbuat salah, dan setan juga pernah berbuat benar.

Nah, jadi OOT kan. Intinya, roh Sarah kesasar dan tersesat. Gitu aja. :p

Bagi yang minta versi cerbung, belum ada rencana ya. Karena aku masih sibuk nulis cerbungku yang berjudul Lelang Tubuh, yaitu cewek aneh yang punya obsesi ingin mati dengan cara elegan.

Ceritaku tidaklah seram. Hanya imajinasi pembacalah yang membuatnya demikian. Apalah aku, aku hanya penulis amatir yang mempermainkan imajinasi kalian.

Ingat ya, jangan ditiru!!! Lakukan seks dengan normal dan aman. Jangan sampai ada prilaku menyimpang yang mewujudkannya dalam kenyataan dan melakukan tindakan kejahatan. Cukup berfantasi saja.
 
Ceritanya menarik, amat berbeza.. tp ..
Udah ada pencerahan tapi masih ngak faham ceritanya...
Part laras itu yang bikin bingung..
 
…….

…….

…….

Suara desiran angin yang bergesekan dengan dedaunan dan suara deburan ombak dingin yang menjilat-jilat sepasang kakiku membuatku sadar bahwa aku belum mati. Aku coba membuka sepasang kelopak mata untuk melihat suasana sekitar sambil merasakan indra pada kulit dan menyadari posisi badanku yang miring ke kiri.

Uhuk...uhuk..uhuk.. tiba-tiba air laut dalam tenggorokanku keluar. Ini sebuah mukjizat, aku bisa selamat dari terjangan tsunami.

Aawww… lengan kiriku terasa sakit. Sepertinya terluka. Entah berapa lama aku pingsan sampai berada ditempat ini. Dihadapanku, terlihat bias jingga cahaya mentari yang tampak buram. Mungkin retinaku belum fokus untuk menangkap cahaya. Apakah itu matahari pagi ataukah sore, aku tidak tahu. Telinga sebelah kiriku sepertinya kemasukan air laut. Perlahan, aku kemudian telentang lalu miring ke kanan. Dengan bantuan tangan kanan, aku dorong badanku hingga duduk.

Alhamdulillah, sambil menatap hamparan lautan di hadapanku, aku bersyukur dengan yang terjadi pada diriku sekarang. Apakah ini kebesaranMu? Walaupun tangan kiriku sakit dan badanku lemah, aku bisa selamat. Kalau Dia menghendaki, tiada satu makhluk pun yang bisa menghalangi.

Aku menoleh kekiri, kulihat pakaian kemeja lengan panjang yang membungkus tangan kiriku sobek-sobek, memperlihatkan hampir seluruh ruas tangan kiriku. Luka 3 garis memanjang dari lengan atas sampai siku kiri terasa nyeri. Darah keluar dari luka tersebut. Kira-kira berapa mililiter darah yang dimuntahkannya ya? Aku serasa lemas sekali, nafasku lemah. Aku menoleh ke sisi kiri dan kananku terdapat puing-puing kayu. Mungkin itu adalah puing perahu motor yang kunaiki. Aku menoleh kebelakang yang menampakkan panorama hutan hujan tropis alami yang penuh dengan rerimbunan tumbuhan. Dimanakah aku?

Laras…Paul….om Pon..dimana mereka semua?

Aaaww...aww.. jeritku kesakitan saat bangkit untuk berdiri. Aku membalik badan. Rasanya seperti pusing. Cerebellum-ku tidak bisa mengendalikan kontrol keseimbangan tubuhku. Baru selangkah kaki, aku ambruk telentang di pasir pantai. Beberapa detik kemudian pandangan menjadi gelap….

……

……

……

……

Ndhuk…. Ingat pesan romo. Jika di dunia kamu buta kepada Tuhan, maka di akhirat kamu juga buta kepadanya.

Lalu… jika aku tak bisa melihat, siapa yang harus saya ikuti saat sakaratul maut romo?

Dirimu sendiri. Lihatlah dirimu sendiri. Ikuti dia, apapun yang menjelma dalam pandanganmu selain dirimu, adalah nafsu yang melekat pada jiwa. Jiwa yang akan disiksa, tapi roh tetap suci. Roh kudus yang kembali kepada sang pencipta. Tapi…….

Tiba-tiba dalam gelap, muncul titik cahaya putih. Makin lama makin besar hingga meliputi dan menerangi sekitarku. Dimana ini? Apakah ini dimensi transisi? Namun, selang sepersekian detik aku mendengar suara lumpang di telinga kananku. Cahaya putih kemudian memudar lembut menampakkan seorang wanita yang terlihat buram. Lama-kelamaan, dengan memejamkan mata lalu membukanya kembali, aku dapat melihat jelas wanita tersebut. Kira-kira umurnya sekitar 50 tahun. Ia kemudian melihat ke wajahku.

"Ndhuk…. Syukurlah sudah sadar" ia segera menghampiriku meninggalkan menumbu pada lumpang.

"Aa...a..aku ada di mana nek?" Tanyaku dengan sendu.

"Gendhuk ada di desa Moroji" balasnya. Ia kemudian mengambil minuman dari kendil dan batok kelapa sebagai gelas.

"Silahkan minum dulu nduk" ucapnya

Dengan dibantu mendudukkanku, batok kelapa tersebut didekatkan ke mulutku. Kemudian aku meminumnya. Air putihnya terasa segar. Berbeda sekali dengan air minum kemasan. Terasa sekali kealamian airnya. Aku kini celingak-celinguk melihat sekelilingku. Aku berada di sebuah bangsal sederhana beralaskan tanah dan tidur di ranjang kayu. Pakaianku berubah. Aku mengenakan jarik batik coklat yang dililitkan di tubuh menutupi payudara sampai lutut. Serta sebuah sarung menyelimutiku.

"Makasih ya nek sudah menolong saya" ucapku lirih.

"Sama-sama ndhuk. Ndhuk istirahat saja dulu"

Nenek tersebut kemudian membantuku untuk merebahkan badanku dan menaikkan selimut di tubuhku. Nenek tersebut juga mengenakan pakaian sederhana sepertiku.

TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu diketuk.

"Masuk" ucap nenek.

Setelah pintu dibuka, muncul seorang pria tua bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam tanpa alas kaki.

"Eh, sudah sadar" ucapnya

"Iya kek" balasku.

"Suami saya menemukan gendhuk pingsan di pantai, jadi ia membawanya kemari" ucap nenek.

"Iya, alih-alih mau mengunduh kelapa, saya menemukan gendhuk. Untung saja nyawa gendhuk masih terselamatkan" ucapnya.

"Makasih ya kek" ucapku.

"Oh iya, nama gendhuk siapa? Saya Wargito sedangkan istri saya namanya Sulastri. Panggil saja mbah war atau mbah sul" ucapnya.

"Saya Sarah mbah"

"Nama yang bagus" balasnya.

"Oh iya. Apa mbah war melihat 3 rekan saya? Perempuan berambut lurus kulit putih, satunya laki-laki berbadan kekar berambut keriting kulit hitam, sedangkan sisanya laki-laki kurus berambut ikal" tanyaku.

"Tidak ndhuk, kalau saya menemukannya, pasti Sarah saya kabari" balasnya singkat.

"Iya makasih mbah"

"Sepertinya Sarah bukan orang sini" ucap mbah War.

"Iya mbah, saya dari Jember dan 2 teman-teman saya dari Malang. Kami dari bagan apung paman saya, tiba-tiba ada gempa dan tergulung tsunami" ucapku.

"Iya, kami juga merasakan gempa itu"

"Sudah...sudah cukup. Jangan diajak bicara dulu, Sarah masih payah" ucap mbah Sul ke mbah War.

"Silahkan Sarah istirahat" ucapnya.

"Makasih mbah Sul, sepertinya saya sudah baikan" ucapku.

"Jangan bilang begitu, saya tau Sarah masih payah" ucapnya. Ia kemudian menuangkan ramuan dari lumpang ke batok kelapa dan mencampurkan dengan air. Setelah diaduk, ia menyerahkannya padaku.

"Diminum dik, itu obat biar Sarah cepat sehat" ucap mbah Sul.

"Iya" balasku singkat.

Aku kemudian setengah duduk dan meminum cairan kental berwarna hijau pekat. Aromanya tidak mengenakkan, tapi aku segera meminumnya. Dengan menahan nafas, aku menghabiskan obat tersebut. Uuhggg rasanya getir. Tenggorokanku serasa hangat.

"Ndhuk, silahkan istirahat agar obatnya segera bereaksi" ucap mbah War.

"Hihihi iya" aku kemudian tidur telentang. Nenek kembali menyelimutiku kemudian pergi meninggalkan ruangan ini.

Sambil menatap langit-langit dari anyaman bambu, aku bersyukur masih hidup di tempat antah-berantah seperti ini. Aku juga mengkhawatirkan rekan-rekanku. Laras, Paul, om Pon, dimana kalian. Mudah-mudahan kalian selamat. Aku kemudian memejamkan mata.

…..

…..

…..

Aku membuka kelopak mataku. Rasanya aku sudah cukup beristirahat dan tubuhku sudah baikan. Aku kemudian menurunkan selimut lalu bangkit menginjakkan tanah tanpa alas kaki. Aku lihat lengan kiriku yang terluka sudah sembuh. Syukurlah ramuan obat mbah Sul mujarab. Kulipat selimut dan merapikan tempat tidurku. Itu seperti menjadi kebiasaan layaknya tinggal di asrama kampus. Setelah rapi, aku melihat ada patung bentuknya aneh. Seperti alat kelamin laki-laki yang berdiri tegak berwarna hitam dan belum disunat. Terlihat ujung kepala penisnya mengintip disela-sela kulup. Ukurannya lumayan. Ini buat apa ya? Disampingnya terdapat ubi bakar yang tersedia diatas meja dan ceret berisi air putih. Aku makan 2 ubi yang masih hangat lalu diakhiri dengan minum air putih.

Alhamdulillah.. Perutku sudah lumayan terisi makanan. Aku kemudian membuka pintu kamar. Sepertinya hanya aku sendiri di bangsal ini. Aku hanya melihat 3 pintu, pintu kamar yang kutempati, pintu menuju ke dapur, lalu sisanya pintu depan. Aku kemudian menuju ke pintu depan. Setelah kubuka, aku disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Aku serasa hidup di hutan. Jalan-jalan setapak menyusuri pepohonan yang menjulang tinggi. Cahaya mentari dari atas menyinari di sela-sela dedaunan dan membuat bias berwarna cerah. Dari sini aku dapat melihat pantai yang ada dibawahku. Rumah ini berada di bukit. Tapi anehnya, aku tidak menemukan rumah-rumah lain.

"Eh gendhuk sudah bangun. Habis jalan-jalan ya?" Tanya mbah Sul dari arah samping kanan.

"Tidak mbah. Saya hanya menghirup udara segar saja"

"Kalau Sarah mau jalan-jalan, ikuti saja menuruni jalan setapak ini ke arah Timur. Di depan sana ada persimpangan, belok ke kiri atau ke Utara. Disana terdapat kampung ndhuk" ucapnya. Oh, dengan penjelasannya, aku mengetahui bahwa rumah mbah War menghadap ke Timur, pantai yang kulihat tadi ada di sebelah Selatan. Di sebelah Barat sebuah bukit yang tidak begitu tinggi.

"Oh gitu ya. Mbah membawa keranjang mau ke mana" tanyaku melihat ia memanggul keranjang anyaman bambu di punggungnya dengan diikat dengan seutas selendang.

"Saya mau jual bahan makanan ke pasar"

"Saya boleh ikut?" Tanyanya.

"Boleh boleh ndhuk" ucapnya.

Aku kemudian menutup pintu, lalu pergi bersama mbah Sul. Dalam perjalanan kami berbincang banyak hal. Mbah Sul dan mbah War pasangan suami istri yang tidak dikaruniai anak. Umur mbah Sul 56 tahun, sedangkan mbah War 61 tahun. Mereka seorang petani. Ia tinggal berdua di rumah itu. Di desa Moroji ini hanya ditempati ratusan orang dan hidup dari berkebun, bertani dan nelayan. Desa ini hidup tanpa aliran listrik dan mengandalkan pelita sebagai penerangan. Aku tidak menyangka, masih ada desa yang belum teraliri listrik.

Setelah melewati persimpangan, kini kami berjalan di jalanan tanah yang cukup besar ke arah Utara. Mungkin lebarnya sekitar 3 meter. Di sebelah kanan dan kiri masih hutan. Mbah Sul terlihat berhenti membetulkan selendangnya. Kemudian kami berpapasan dengan pemuda.

"Nuwun sewu nderek langkung mbah" ucapnya.

"Nggih" jawab mbah Sul

Setelah pemuda tadi lewat, aku sempat tanya nderek langkung itu artinya apa. Walaupun aku lahir di jawa, tapi aku tidak sepenuhnya menguasai perbendaharaan kata. Hihihi dasar aku ini >,<

"Itu artinya permisi numpang lewat ndhuk" ucap mbah Sul.

Kami melanjutkan perjalanan sampai melewati gapura yang dindingnya bertuliskan desa Moroji dalam aksara jawa. Walaupun aku gak mahir bahasa jawa, tapi aku cukup bisa baca tulis aksara Jawa.

Beberapa meter setelah melewati gapura, tampak rumah-rumah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Antar rumah tidaklah rapat, terdapat sela kira-kira 10 sampai 15 meter yang ditanami tumbuhan. Baik pohon tinggi hingga bunga dan buah-buahan. Orang yang berlalu lalang mulai banyak, ada yang membawa cangkul, ada yang membawa kambing, ada juga yang seperti mbah Sul membawa keranjang. Terlihat anak-anak sedang bermain dari batang bambu di salah satu rumah di sisi kiri jalan. Mereka terlihat bahagia. Senyum merekah terpancar dari wajahnya. Kami sampai di sebuah tempat lapang. Kata mbah Sul alun-alun ini dibuat acara perkumpulan dan sembahyang berjamaah sedesa. Ditengahnya terdapat totem yang cukup besar dengan tinggi berkisar 15 meter dan di puncaknya terdapat pahatan patung elang. Rumah-rumah disekitarnya menghadap ke tempat lapang ini. Terdapat banyak persimpangan. Dari sini, kami kemudian belok kanan. Aku melihat bangunan yang berbeda, bukan dari ukurannya, tapi bentuknya. Rumah itu menghadap ke totem. Setelah bertanya, mbah Sul menjelaskan bahwa rumah itu tempat tinggal pemimpin desa. Tanpa terasa aku sampai di pasar. Hiruk pikuk khas yang terdengar dari pasar, pembicaraan antar perorangan dan kelompok yang saling menjajakan dagangan dengan balutan harmoni.

"Waaaaaw.. ramai juga ya mbah sul" ucapku.

"Iya ndhuk. Pasar disini tempat yang paling ramai di desa Moroji dan buka dari pagi sampai sore" ucapnya.

Aku mengikuti mbah Sul mengekor di belakangnya. Disini masyarakatnya banyak yang tak beralaskan kaki. Perempuannya hanya memakai jarik sepertiku. Kembenan saja. Berbeda dengan di desaku, pasarnya sudah modern. Sedangkan di sini masih alami. Atapnya dari pepohonan yang menjulang tinggi. Mereka semua menatap pandang ke arahku. Apa karena warna kulitku yang beda ya? Menurutku kulitku biasa saja. Bila dibandingkan Laras, jauh lah pokoknya. Tapi setidaknya kulitku disini paling cerah. Bahu, tulang selangka, leher, dan betisku terlihat oleh mereka.

"Mbah sul, siapa gendhuk itu?" Tanya pedagang wanita

"Tamu" jawab mbah Sul.

"Wah, tamu jauh ya?" Tanya pedagang lain.

"Mboten kok mbah" jawabku dengan sopan.

Mbah Sul terlihat sedang menawarkan dagangannya ke pedagang. Dengan menurunkan keranjang di punggungnya, aku membantunya dengan menopang bagian bawahnya. Kemudian penutup kain pada keranjang dibuka. Oh, mbah sul menjual 3 buah kelapa yang sudah dikupas sabutnya dan 8 batang ubi jalar. Aku lihat kelapa dan ubi tersebut sebagian terdapat bercak hitam. Tidak hanya punya mbah Sul, ternyata setelah aku amati semua barang dagangan disini, dari buah sampai sayuran terdapat bercak-bercak hitam. Aku tidak sadar karena fokus melihat keramaian. Aku lihat mbah Sul sudah menjual dagangannya. Ia kemudian membeli beras dengan hasil penjualannya. Kemudian kami meninggalkan pasar kembali ke rumah.

"Mbah, tadi kenapa ya buah dan sayuran ada bercak hitam?" Tanyaku dalam perjalanan melewati gapura.

"Itu wabah ndhuk"

"Wabah?"

"Iya, desa kami sepertinya sudah dikutuk"

"Dikutuk kenapa mbah Sul?"

"7 tahun lalu kami melakukan dosa besar"

"Dosa besar?"

"Iya ndhuk" ucap mbah Sul datar sambil tertunduk. Aku tidak mengira desa seindah ini menyimpan misteri.

Kamipun sampai di persimpangan, kemudian belok ke kanan. Menurut mbah Sul, jalan lurus ke Selatan itu menuju pantai, tempat aku ditemukan terdampar dan ditolong mbah War. Aku membuka pintu rumah, disusul mbah Sul. Ia langsung menuju dapur. Dapurnya sederhana, perapiannya menggunakan pawon dari tumpukan batu bata yang berbahan bakar kayu, sabut kelapa, dan dedaunan kering. Beras yang tadi didapat kemudian dimasak. Sambil menunggu masak, mbah Sul membakar ikan hasil tangkapan mbah War.

Setelah semuanya matang, kami akhirnya makan siang dengan piring. Paginya tadi aku sarapan sama ubi, siangnya makan sama nasi. Selepas makan, aku sholat. Aku kemudian bertanya tempat berwudhu, tapi karena tidak paham jadi aku bertanya tempat air mengalir. Mbah Sul menunjukkan tempatnya. Yaitu di Selatan rumah ada undak-undakan menuju ke sumber tempat mereka biasa mandi. Dengan meminjam sandal dari bakiak, akupun berbegas menuju kesana. Wahh.. tempatnya bagus. Sumber air dari pancuran bambu mengguyur dari atas. Tingginya sebahuku.

Brrrrrr… dingin. Itulah kata yang terbesit di mulutku saat air menyentuh telapak tanganku. Dengan khidmat aku membaca doa lalu berwudhu. Kemudian aku kembali ke rumah, masuk ke kamar. Tapi karena tidak ada mukena, aku menutup auratku pakai beberapa kain jarik. Toh tidak ada syariat harus pakai mukena, yang penting aurat tertutupi sesuai tuntunan syariat. Aku menggunakan kasur sebagai tempatku beribadah.

Menjelang sore, angin berhembus disusul kilatan petir menjilat diantara awan. Fortissimo. Suara gemuruh di langit terdengar nyaring. Awan kumulonimbus dari sebelah Utara berwarna gelap, menandakan beberapa saat lagi akan turun hujan.

SSSSSSSSSSSSS……..

Air hujan jatuh membentur dedaunan, batu, atap rumah, tumpukan bambu, ranting, dan tanah terdengar seperti sebuah musik orkestra dengan surround sound nya. Nyanyian alam terdengar merdu ditambah cahaya kilat di langit seperti lampu blitz dalam panggung konser. Terdengar derap langkah disusul suara pintu depan yang dibuka.

"Ndhukk…..ndhuukkk….ndhukk...Sarah Hhh..hhhh" Panggil mbah War sambil ngos-ngosan dan badan basah terguyur hujan.

"Iya mbah, ada apa mbah?" Tanyaku.

"Te.. Teman dhuk Sarah sekarang ada di balai desa" ucapnya.

Mendengar apa yang diucapkan mbah War, aku kemudian segera menuju ke balai desa. Aku berlari tanpa alas kaki dibawah guyuran hujan deras. Aku tidak peduli walaupun kakiku kotor dan badanku basah kedinginan, aku ingin cepat menemui sahabat-sahabat dan pamanku. Aku berlari sekencang yang kubisa, sampai aku bisa melihat gapura di hadapanku. Baru dua meter melewati gapura, aku terpeleset dan terjatuh telungkup. Syujurlah kepalaku tidak sampai membentur tanah.

Uhggh… sakit, dada terasa sesak. Dadaku membentur keras ke tanah, walaupun tidak secara langsung merusak organ dalam, tetap saja payudaraku yang menjadi bantalan dan menopang tubuh terasa sakit. Air yang keruh bercampur tanah masuk di antara payudaraku di sela kemben kain jarik ini. Aku harus kuat!!! Aku kemudian mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Lututku cenat-cenut, aku nengok ke bawah terdapat luka baret. Sambil tertatih-tatih, aku tetap melangkahkan kaki dan menatap wajahku kedepan. Tidak ada banyak orang lewat, mungkin karena hujan. Kemudian dari arah belakang terdengar derap langkah mendekatiku.

"Mbah War" ucapku Lirih.

"Kenapa ndhuk kok terburu-buru, mari saya antar ke balai desa" ucapnya sambil memayungiku dengan daun pisang.

Tangan kananku dipegangi oleh mbah War, melanjutkan perjalanan sampai kami berada di alun-alun. Kami kemudian belok ke arah kiri dan beberapa meter kemudian sampai di balai desa. Aku tahu karena di depannya tertulis tulisan aksara Jawa. Bangunan itu menghadap ke arah Selatan.

"Sa… Sarah" panggil Laras saat aku masuk ke balai desa. Tidak hanya Laras, tapi juga Paul. Pakaian mereka masih sama saat kami berada di bagan apung. Hanya saja pakaian yang mereka kenakan sudah lusuh dan robek-robek. Kedua pergelangan tangan mereka terikat di punggung. Apa yang terjadi pada mereka?

"Laras… Paul… syukurlah kalian selamat. Ada apa dengan kalian?" Tanyaku sambil berlari mendekati mereka.

"Dimana om Pon?" Tanyaku. Mereka berdua tertunduk. Kemudian derai air mata Laras bercucuran.

"Maaf Sar.. maaf. Om Pon…. Om Pon sudah meninggal. Ia tidak selamat" ucapnya.

"Iya Sar, aku sudah melakukan CPR ke om Pon, tapi nyawanya tidak dapat terselamatkan" timpa Paul.

Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca, diikuti dengan meneteskan air mata. Mbah War mendekatiku dan berusaha menenangkanku. Mbah War juga mengucapkan bela sungkawa. Tanpa terasa lututku lemas, hingga aku jatuh tersungkur. Mbah War duduk disampingku, ia memelukku dan kepalaku bersandar di pundaknya. Rasanya sedih kehilangan paman yang merawat dan membesarkanku. Selepas romo dan ibu meninggal, aku diasuh dan diberi kasih sayang layaknya anaknya.

"Bawa mereka ke penjara" tiba tiba muncul pria umur 40 tahunan. Seketika 2 orang pria tegap menyeret Laras dan Paul meninggalkan balai desa.

"Tunggu…. Tunggu" larangku.

"Tolong beri kami waktu untuk berbicara" lanjutku.

"Baiklah"

Aku kemudian berdiri mendekati mereka.

"Laras, Paul. Apa yang terjadi pada kalian. Mengapa kalian seperti ini?" Tanyaku.

"Sar, aku benar-benar tidak tahu. Aku cuma memburu hewan yang akan kami makan…" ucap Paul.

"Cuma katamu?!!! Itu adalah hewan sakral yang kami lindungi. Kalian malah membunuh serta memakannya!!!"

"Tapi.. tapi…." Bantah Laras.

"Tidak ada tapi-tapian. Bawa mereka ke penjara!!"

Kedua pengawal membawa mereka. Tapi belum sempat keluar, Paul menendang pengawal. Ia memberontak sambil berkata lantang bahwa dia tidak tahu menahu tentang hewan yang mereka bunuh. Dia juga mengajak kompromi dan berdikusi, tapi ditolak. Aku tahu watak Paul. Dia tidak akan berani berkelahi jika dia salah. Tapi sepertinya sudah terlambat, Paul akhirnya bertarung melawan 2 pengawal. Dengan kondisi tangan terikat, dia mampu bertarung. Gerakan dari jurus-jurus yang dikuasainya, dia mampu menaklukkan 2 pengawal hingga pingsan.

Belasan pengawal datang dan mengepung Laras dan Paul. Mereka bertarung mati-matian. Sampai pada akhirnya Paulpun kalah.

"Pak...pak saya mohon lepaskan teman-teman saya. Biarkan mereka pergi dari desa ini. Sebagai gantinya.. sebagai gantinya…… saya… saya bersedia menerima semua hukumannya" ucapku sambil bersimpuh.

"Tidak bisa, hukuman seseorang tidak bisa di alihkan ke orang lain" ucapnya tegas.

"Lepaskan mereka!!!!" Ucap lantang seseorang dari arah belakangku.

"Ta...tapi eyang Simo"

"Lepaskan mereka, gadis ini sudah mengatakan bahwa ia bersedia menerima hukumannya. Benar begitu?" Tanya seorang pria yang berjalan mendekatiku.

"Iya" ucapku.

"Bagus, gadis ini adalah penyelamat desa kita. Kita jadikan dia persembahan"

"Siap" ucapnya tegas. Ia kemudian ia pergi melepaskan tali yang mengikat tangan Laras dan Paul.

Persembahan? Apa maksudnya ya? Aku bertanya-tanya dalam lubuk hati. Mbah War mendekat dan duduk di samping kiriku. Ia mengelus-elus punggungku.

"Gendhuk namanya siapa?" Tanyanya dengan duduk berjongkok di depanku.

"Sarah pak" ucapku lirih.

"Saya Simo, warga sini memanggil eyang Simo. Aku pemimpin sementara" ucapnya.

"Jawab dengan jujur, gendhuk lahir jam 6 sore malam Jum'at Wage dan sekarang umurnya menginjak 18 tahun 8 bulan"

"Betul" jawabku. Lho kok dia bisa nebak sih? Dalam hatiku terheran-heran.

"Tadi gendhuk mengatakan akan mengganti hukuman mereka. Hukuman mereka berat, karena membunuh hewan sakral dan gadis itu kencing di hutan terlarang, tempat arwah leluhur kami bersemayam" ucap eyang Simo.

"Di desa kami bertahun-tahun dilanda wabah. Itu karena kami melakukan dosa besar. Menumbalkan seorang perempuan yang sudah tidak perawan. Lalu, aku bertapa dan mendapatkan petunjuk dari dewa Moro, bahwa akan datang seorang gadis yang lahir pada pukul 6 sore di hari Jumat Wage. Dia yang akan membawa kemaslahatan bagi desa Moroji, menghilangkan kutukan. Dari rahimnya akan lahir seorang putra yang akan jadi pemimpin bijaksana dan mampu mengayomi rakyat. Dia akan menggantikan posisiku" jelasnya panjang lebar.

Apa? Anakku jadi pemimpin?

"Tidak usah gundah ndhuk, kami hanya ingin gendhuk melahirkan anak bagi desa kami" lanjutnya.

Seperti yang pernah kudengar dari romo, kelak anak pertamaku yang lahir adalah laki-laki. Ia akan menjadi pemimpin yang baik, adil, dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Karena dalam tubuhku ada titisan pewaris darah biru dari raja-raja di tanah jawa yang diwariskan melalui almarhumah ibuku, Ken Arok.

"Beneran kamu yakin mau berkurban untuk kami ndhuk?" Tanya mbah War.

"Iya mbah, aku yakin. Asalkan teman-temanku bisa keluar dari desa ini" ucapku lirih.

Mbah War tiba-tiba mengelus kepalaku sambil terisak pilu. Aku merasakan ubun-ubun tertetesi derai air mata duka.

"Sejak kehadiranmu, mbah merasa senang. Mbah sudah menganggap gendhuk sebagai anak sendiri" ucapnya sumbang.

"Terimakasih mbah, ini untuk kebaikan tanah kelahiran mbah juga" balasku.

Mbah War membantuku untuk berdiri. Aku bilang ke eyang Simo untuk menjamin keselamatan sahabat-sahabatku keluar dari desa ini dan menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Eyang Simo menyanggupinya. Ia menyarankan untuk pergi hari ini sebelum matahari terbenam, karena malam ini akan ada angin yang akan berhembus mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Eyang Simo memerintahkan 3 orang bawahannya untuk menyiapkan perahu dan perbekalannya.

Beberapa menit kemudian, salah seorang pembantu datang memberikan 2 pakaian. Ia serahkan kepada Laras dan Paul. Eyang Simo mempersilahkan Laras dan Paul untuk mandi di belakang balai desa dan berganti pakaian. Diawali oleh Laras, kemudian Paul. Mereka kini sudah tampak lebih bersih. Pakaian yang mereka gunakan ialah pakaian khas desa Moroji.

"Persiapan makan sudah siap eyang" ucap salah satu pembantu perempuan yang datang mendekat sambil membungkukkan badan.

"Mari-mari makan dulu" ucap eyang Simo mempersilahkan dengan ibu jari ke arah ruang dalam.

Kami akhirnya dituntun menuju ruang dalam. Kami makan ditemani Laras, Paul, dan mbah War dalam suasana hujan deras.

"Jangan sungkan-sungkan, silahkan di kenyangkan" ucap eyang Simo.

"Eyang Simo juga sini makan bareng kita" ucapku.

Eyang Simo menolak dengan halus. Ia kemudian pergi meninggalkan kami. Hidangan yang kami makan sederhana, ada tangkapan hasil laut juga sayur mayur. Saat aku bertanya tentang sayur dan ikan yang tidak terkena wabah, mbah War menjelaskan bahwa bagian sayur dan ikan yang terkena wabah dipotong dan dibuang. Tidak semua ikan terkena wabah. Ada yang segar, tapi implikasinya ikan tersebut jumlahnya sedikit dan harganya mahal. Paul dan Laras juga bertanya ke mbah War, apa yang terjadi jika aku batal jadi tumbal. Karena sahabat-sahabatku juga menginginkan aku untuk bisa keluar dari desa ini hidup-hidup. Mbah War menjelaskan, bahwa sejak ritual pertama gagal, dewa Moro marah. Lalu wabah menjalari desa. Dulu desa ini ramai, tapi sejak peristiwa itu, separuh dari kami mati karena wabah. Bukan hanya manusia, hasil sumber daya alam yang melimpah menjadi menurun. Itu karena sama seperti yang Paul dan Laras katakan, yaitu ingin menyelamatkanku. Gadis yang ditumbalkan akhirnya gundah, akhirnya ia sengaja merusak keperawanan dengan tangannya sendiri. Mengetahui itu, dewa Moro marah. Akupun menjelaskan ke sahabatku untuk tenang, jangan membuat keputusan yang kubuat menjadi ragu. Aku sudah mempersiapkan dengan matang. Seperti yang dilakukan Linda yang rela di otopsi hidup-hidup untuk belajar, aku juga ingin mempersembahkan tubuhku untuk bisa menyelamatkan Paul dan Laras. Bukan hanya itu, tapi juga seluruh penduduk desa ini. Setelah aku dan mbah War menjelaskan, mereka akhirnya paham. Mati satu tumbuh Seribu. kamipun makan.

Eyang Simo kembali. Ia mengatakan bahwa perbekalan dan perahu telah siap. Kami akhirnya keluar diantar oleh eyang Simo dan 7 pengawal. Kami melewati gapura, lurus ke arah Selatan. Di persimpangan, aku sempat menoleh ke arah kanan. Rumah mbah War dan mbah Sul tinggal. Kami menuruni jalan yang berkelok-kelok sampai menuju pantai. Kulihat di arah kanan sang mentari yang bersinar tingginya sejengkal diatas cakrawala. Suara desiran angin berpadu dengan deru ombak saling bersahut-sahutan seperti mengucapkan selamat datang atas kehadiran kami. Sebuah perahu dan bahan makanan seperti buah-buahan sudah tersedia.

"Eyang, boleh kan mereka datang kesini lagi?" Tanyaku.

"Boleh, silahkan datang lagi. Desa kami akan menyambut kalian dengan kehangatan" ucapnya.

"Laras, Paul. I love you. Jangan lupa laguku segera digarap ya" ucapku sambil melambaikan tangan ke arah mereka.

Layar telah dibentangkan, perahu melaju meninggalkan pantai. Menjauh. Menuju arah terbenamnya sang Surya. Bersama eyang Simo, mbah War, dan para pengawal aku kembali ke desa, diantar ke sebuah rumah di Utara desa. Disana ada sebuah rumah khusus untuk tumbal. Mereka menyebutnya sebagai rumah pengantin bagi dewa mereka. Di rumah itulah selama ritual aku dipingit. Jauh dari kehidupan masyarakat. Cukup jauh perjalanannya. Kira-kira sekitar 6 kilometer.

Kami sampai saat petang, hujan telah reda, rembulan bersinar menerangi malam. Sebuah rumah pengantin cukup sederhana berbahan kayu berdiri kokoh. Di rumah itu hanya ada satu ruangan, dan satu tempat tidur dari kayu tanpa busa atau kapuk di tengah ruangan. Cukup panjang sih, sekitar 2 meter, tapi lebarnya cuma setengah meter. Pas sih, tapi cukup lah. Pelita dinyalakan. Eyang Simo berpesan aku jangan lari. Akupun membalas dan meyakinkan bahwa aku tidak akan lari, akan kuserahkan semuanya asal desa ini bisa makmur kembali. Eyang Simo tersenyum. Acara dimulai esok pagi. Mereka menutup pintu lalu pergi. Meninggalkan aku sendiri disini.

Aku sudah menguap beberapa kali. Lelah. Itu yang kurasakan. Aku longgarkan kain jarik yang melekat pada tubuhku, lalu tidur.

…..

…..

…..

Subuh, keesokan harinya aku sudah bangun. Aku lupa semalam aku tidak sembahyang. Aduh gimana aku sih. Akhirnya aku ke belakang rumah mencoba mencari air. Ada sebuah batang-batang bambu panjang yang dibelah dua dan berjajar mengairi air, jauh dari arah Utara ke arah Selatan, ke kampung Moroji. Aku gunakan air itu berwudhu, kemudian kembali ke rumah. Sebelum melakukan ibadah, aku sudah kedatangan 2 perempuan. Ia menyerahkan pakaian ganti dengan selembar kain jarik putih dengan motif berbeda. Ia lalu berjalan mundur dengan sembah sungkem lalu menutup pintu. Aku lanjutkan ibadah. Selesainya, aku kemudian mengambil jarik putih itu, kubawa ke belakang rumah untuk mandi. Aku lepas jarik pemberian mbah Sul. Telanjang bulat di tengah hutan. Entah, selangkanganku terasa gatal bercampur geli. Uughhh perasaan apa ini? Melihat tubuh telanjangku, aku ingat Linda yang telanjang memamerkan tubuhnya dan rela mati untuk ilmu pengetahuan. Apakah aku bisa sepertinya? Apakah aku siap mati? Apa yang akan mereka perbuat pada tubuhku ini? Aku melamun sambil mandi. >,<

Setelah mandi, aku mengenakan jarik putih. Ukurannya lebih besar. Seluruh payudara sampai lututku tertutupi. Aku kemudian menuju ke depan rumah.

8 orang laki-laki memikul sebuah pelangkin. Dan dua wanita yang tadi menyerahkan jarik menyambutku. Ia menuntunku untuk menaiki pelangkin. Kemudian membawaku ke arah Selatan, menuruni lereng gunung sampai pada area lapang di tengah desa yang di tengahnya terdapat totem. Banyak masyarakat yang berkumpul dari berbagai kalangan. 2 wanita menjemputku untuk turun lalu naik ke atas panggung bersama eyang Simo.

"Wahai penduduk desa Moroji. Kita akan melakukan ritual Mareboh. Yaitu ritual penebusan untuk kesejahteraan kita. Menyelamatkan seluruh desa dari wabah dan kutukan. Mari kita sambut pengantin untuk dewa Moro kita, Saraaaaaaaah" ucap eyang Simo.

Terdengar dari segala sudut riuh masyarakat. Mereka menyebut-nyebut namaku. Aku melihat kebawah di arah jam 2, mbah War dan mbah Sul menyaksikan dari kejauhan. Dua orang wanita datang menjemput naik keatas panggung.

"Segera persiapkan pengantin kita" ucap eyang Simo ke dua wanita itu.

"Inggih eyang" ucap mereka.

Mereka menuntunku kembali naik pelangkin menuju ke rumah pengantin, tempat tinggalku. Sesampainya, aku dituntun ke dalam rumah. Dia melepaskan jarik hingga aku telanjang bulat.

"Silahkan diminum ndoro" ucap salah satu perempuan menyerahkan semangkuk cairan berwarna ungu pekat.

"Ini apa?" Tanyaku.

"Ini untuk menghilangkan rasa sakit dan relaksasi ndoro" balasnya.

Aku tidak tahu apa maksudnya. Lagian aku sudah ikhlas menjadi seperti ini, jadi aku ikuti saja dengan meminumnya. Beberapa detik kemudian badanku lemas. Dengan sigap mereka membopongku, lalu
menidurkan telentang di ranjang kayu. Aku melihat mereka mengambil sesuatu di bawahnya. Sebuah pisau!!! Apa? Buat apa benda itu? Tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan suara.

Mereka membentangkan kedua kakiku, menempatkan mata pisau di selangkanganku. Mengirisnya. Tapi yang kurasakan bukan nyeri, tapi geli. Mungkinkah efek dari ramuan tadi?

SREGGG….SREEGGG…..SREEGGG….SREEGG

Suara derit gesekan pisau dengan selangkanganku terdengar jelas. Saat membentur tulang neck of femur, mereka mengganti dengan gergaji. Tanpa terasa mereka sudah memotong pahaku. Mereka menyingkirkan sepasang kakiku, dari paha atas dekat selangkangan sampai ujung kaki. Tapi anehnya, darahku tidak mengalir deras. Mereka kemudian mengambil jarum dan benang. Masing-masing menjahit selangkangan kiri dan kananku. Mereka cukup cepat menjahitnya. Hingga mereka beranjak ke samping dadaku, membentangkan kedua tanganku lalu memotong pada ketiak. Memisahkan sepasang lengan dan tanganku. Mereka menjahitnya juga. Sepasang lenganku dikumpulkan dengan sepasang kakiku. Salah satu mereka kemudian mengambil wadah cairan kental. Ia oleskan ke rambut pubisku. Yang kurasakan hanyalah hangat. Lama-kelamaan cairan kental itu mengering.

KRAAAAGGGG…

Ia menarik cairan yang telah mengering di rambut pubisku dengan kencang. Rasanya geli. Tidak cuma sekali, ia lakukan 4 kali sampai selangkanganku bersih tanpa sehelai rambut. Kedua mataku terasa berat. Ngantuk sekali. Aku sempat merasakan memekku di buka lebar, lalu pandanganku gelap dan ringan.




……

……

……

Dalam gelap, aku merasakan tubuhku dimandikan. Wajahku diseka dan tubuhku digosok. Sepasang payudaraku juga digosok dan diremas-remas. Aku mulai membuka kedua mata. Sepertinya ini pagi hari. Aku melihat mbah Sul di samping kiriku, dan seorang wanita tua yang tidak kukenal. Mereka mengenakan jarik memandikan tubuhku telentang di pangkuan mereka di sebuah sendang dangkal.

"Sudah sadar ndhuk?"

"I..iya mbah Sul. Apa aku sudah menjalani ritual mbah?"

"Belum ndhuk. Kami mensucikan gendhuk yang telah menstruasi. Saat ritual, pengantin dewa Moro harus dalam keadaan subur" jelasnya.

Oh gitu. Jadi semenjak aku pingsan sampai sadar, cukup lama ya. Sepertinya baru kemarin aku diamputasi, tapi setelah kupikir-pikir dan menghitung terakhir menstruasi, kira-kira aku pingsan selama 20 hari. Aku menoleh ke kiri dan kekanan jahitan lenganku sudah tidak membekas. Bisa jadi karena efek ramuan ungu tadi. Perempuan di samping kananku berseloroh tentang memekku yang perawan dan bersih sambil menggosok-gosoknya. Uhggg… jadi malu dipuji seperti itu. >,<

Mbah Sul menggendongku berjalan menuju ke rumah pengantin. Di dalam, aku disuapin makanan dan minum. Katanya ritualnya akan memakan waktu sehari. Selanjutnya aku didandani. Rambutku disanggul, dihiasi bunga melati putih di kepala dan 2 gantungan hiasan melati dengan bunga kantil pada masing-masing ujungnya, tergerai di sebelah kiri dan kanan kepalaku. Leherku dikalungi kalung melati dan tersemat ukiran kayu berbentuk elang yang mengepakkan sayap. Kulit wajahku juga dipoles cantik. Tapi, pakaianku hanyalah 3 utas selendang. Satu selendang dililitkan menggulung di pinggang, dari sebelah atas tulang pinggul sampai dibawah payudara. Sisanya, dua buah selendang diikat pada pinggang yang menutupi selendang pertama hingga untaian selendang itu tergerai jadi 4 bagian yang cukup panjang. Pinggangku jadi ramping banget ditekan selendang putih ini, tapi aku tidak kesulitan untuk bernafas.

Eyang Simo kemudian masuk menanyakan perkembanganku. Aku kaget banget. Eyang Simo menatap tajam ke tubuhku. Lalu, mbah Sul dengan sembah sungkem menjawab bahwa pengantin telah siap. Dia memuji tubuhku. Ia berujar, dewa Moro pasti terpuaskan atas tumbal yang akan dipersembahkan, sesuai wangsit yang dia terima. Eyang Simo kemudian keluar dan kembali dengan 4 orang laki-laki berpakaian putih lengkap khusus ritual, mengenakan jarik, celana pendek, bertelanjang dada, dan mengenakan pernak-pernik. Mereka memegang selendang di sebelah kiri, kanan, depan, dan belakangku. Secara bersamaan mereka menarik selendang hingga tubuhku terangkat dari kasur. Mereka berjalan keluar, lalu berhenti didepan rumah pengantin. Didepan sudah dijemput barisan pria dan wanita berjajar seperti karnaval yang mengawalku. Untuk pertama kalinya aku menunjukkan aurat-auratku kepada orang-orang yang bukan muhrimku secara beramai-ramai. Tidak banyak, sekitar 20an orang. Tapi pandangan mereka bukan mesum melihat ke payudara atau selangkangan, tapi ke wajahku.

Bibir eyang Simo komat kamit membaca mantra, lalu memercikkan air ke tubuhku. Kemudian, rombongan kami berjalan ke arah Utara. Walaupun pinggangku tertutupi sekitar sejengkal, tapi bagian sensitif tubuh, payudara dan memekku terpampang jelas. Apalagi, jalan menuju ke Utara tidak ada jalan setapak, rapi melewati pada rumput yang tinggi sepinggang 4 orang yang mengangkatku, tapi tidak untukku. Bagiku tinggi rumputku setinggi dadaku. Helai demi helai rumput bergesekan dengan payudara dan tentu saja selangkanganku. Sensasi gesekan memekku dengan rumput liar ini memberikan rangsangan. Sepertinya alam membelai kemaluanku. >,<

Cukup lama berjalan di bawah terik mentari, kamipun sampai di sebuah kuil. Didalamnya terdapat totem dari batu yang tingginya sekitar 3 meter. Di puncaknya terdapat kepala elang. Ke 20an orang itu berjajar rapi. Dua orang pria maju mengangkat tubuhku didepan totem. Disusul eyang Simo.

"Sarah, apakah kamu bersedia menyerahkan jiwa ragamu untuk menjadi pengantin dewa Moro?" Tanyanya.

"Siap"

"Apakah kamu siap melahirkan anak bagi desa Moro?"

"Siap"

"Bagus" ucap eyang Moro.

"Dewa Moro… terimalah persembahan kami. Pengantin kami" sambungnya.

Seorang pria kemudian melepaskan kain putih yang membungkus bagian bawah totem. Aku terbelalak dengan apa yang kulihat. Sebuah batu mirip penis mengacung dari bawah kaki totem. Panjangnya kira-kira 21 centimeter, diameternya sekitar 5,5 centimeter. Apakah benda itu yang akan membuka segel perawanku? Dengan panjang seperti itu, kira-kira muat nggak ya?>,<

Eyang Simo mengoleskan minyak ke penis batu tersebut. Katanya, minyak itu terbuat dari lemak dari potongan paha dan tanganku. Dua orang pria mengangkat lalu membalikkan tubuhku. Aku bisa melihat puluhan pengawal duduk bersila membaca doa-doa. Aku menundukkan kepala, melihat ujung penis batu itu dibawah memekku. Aku seperti boneka hidup yang siap untuk dipersembahkan ke dewa mereka, dewa Moro.

Selendang diturunkan, hingga permukaan memekku membentur penis batu. Pelan tapi pasti, ujung batu membelah labia minora, disusul labia mayora.

"Aaaaaww…sakit aaaaw" ucapku sambil meringis. Tapi orang-orang di hadapanku tetap memanjatkan doa.

"Dewa Moro, aku rela berkurban untuk kesejahteraan rakyat Moroji, karena itu.. mohon terimalah hamba" ucapku lirih dengan mendongakkan kepala menghadap puncak totem berkepala burung elang.

SLEEEEBBB

Badanku diturunkan. Seketika aku menjerit memekik, rasanya sakit sekali. Sampai-sampai aku merasakan ujung penis ini menyundul servik. Penis totem dewa Moro telah merenggut keperawananku.

Oohh… Seperti inikah rasanya jadi pengantin?

Aku lemas, kepalaku langsung tertunduk. Kulihat bercak-bercak darah yang menempel di pangkal penis arca. Pandanganku langsung buram, kemudian gelap….

……

……

Memekku terasa dientotin. Siapa? Siapa yang ngentotin aku? Aku membuka mata. Sepasang payudaraku diterkam tangan keriput dan besar dari belakang.

GRRRRRHH…..GGRRRRRHHH

Suara nafas di belakangku.

Tiba-tiba aku merasa penisnya berkedut. Dia akan muncrat!!! Seketika perutku menggembung. Uuughhhh sepertinya perutku akan meledak.

AAAAAAAARGG

Aku menjerit.

…….

…….

Apa? Apa yang terjadi? Saat membuka mata, hari sudah gelap. Oh ternyata itu hanya bunga tidur. Aku menghela nafas.

Aku sendirian di kuil yang diterangi oleh cahaya pelita dari sudut-sudut ruangan. Walaupun tidak terang, tapi cukup untuk menerangi pandanganku. Aku masih dalam posisi yang sama. Tubuh terduduk menancap pada penis arca. Selendang di pinggangku mengikat ke arah belakang, melingkari totem. Membuatku tidak bisa bergerak dan tetap bersandar padanya. Di selangkanganku terdapat selang bening kecil yang menancap di lubang kencingku, mengalir ke bawah di sebelah kiriku dengan ujung menuju wadah aluminium yang telah terisi cairan kencingku. Lubang anusku juga seperti dimasukin selang dengan ukuran lebih besar mengarah ke samping kanan. Mungkin pemuja dewa Moro tidak ingin aku sampai mengotori dewa mereka.

Didepan bawahku, terdapat piring yang terdapat potongan daging yang masak. Warnanya coklat kehitaman. Aku terperanjat, ternyata itu adalah potongan paha!! Mungkin itu adalah pahaku, karena dari ukurannya seperti ukuran pahaku!! Mereka membuatkan sesajen untuk dewa Moro!!!

Sambil mengamati sesajen itu, terdengar denging suara di sekitarku. Oh, aku mendapat kunjungan hewan penghisap darah. Ia terbang dan mendarat di bongkahan payudara di atas areola kanan. Tak berselang lama, 3 nyamuk hinggap di perut, pundak, dan pantat kiri.

"Iiihh kalian ini…jangan hisap darah aku dong. Hisap binatang aja sana"

Mereka tidak menghiraukan ucapanku.

"Ya sudah. Mumpung aku lagi baik. Hisaplah sepuasmu ya nyamuk, ini adalah rejekimu. Jika aku punya tangan, pasti kamu akan mampus. Hihihi"

Nyamuk yang di payudara kananku terlihat menggembung besar, lalu ia pergi disusul rekan-rekannya.

Pintu depan terbuka. Ternyata eyang Simo bersama 20 orang datang. Mereka melakukan sembah sujud, lalu dua pria mendekat dan dan melepaskan ikatan yang mengikat dan mempersatukanku ke totem. Selanjutnya melepas kateter dan selang feses di anusku.

"Aah...aaaahh..sa...sakit…" aku meringis saat dua pria mengangkat tubuhku, melepaskan penis arca yang tertanam di memekku. Walaupun mereka mengangkatnya dengan hati-hati dan pelan, tetap saja terasa nyeri.

Lambat tapi pasti, akhirnya aku lepas dari penis itu. 2 orang pria menyusul, memegang 4 ujung selendang mengangkatku pergi dari kuil ini. Aku diarak menuju selatan. Lagi-lagi dalam perjalanan selangkanganku membentur dan bergesekan dengan rerumputan. Sampai akhirnya memasuki kawasan rumah, orang-orang berjajar di pinggir jalan sambil melempari beras kuning ke arahku. Entah perasaan apa yang ada didalam diriku, aku memasang wajah senyum diarak telanjang ke arah mereka. Banyak yang menatap tajam ke bagian tubuh sensitifku, tapi aku tak menghiraukannya. Aku diarak ke sebelah Barat. Disana terdapat ruang terbuka dan totem batu yang berlumut dan dipuncaknya berbentuk kepala angsa. Dibawahnya juga terdapat penis. Berbeda dari totem dewa Moro yang merupakan dewa segala dewa. Kata eyang Simo totem ini adalah dewa penjaga Barat. Ukuran penisnya kecil, tapi berlumut dan sudah mengering. Di sampingnya ada sesajen dari potongan talapak kaki kananku yang sudah dimasak.

Seperti sebelumnya, eyang Simo mengoleskan minyak dari lemakku ke penis itu. Mereka meletakkan tubuhku bersandar pada totem lalu diturunkan hingga penis dewa ini masuk tertanam dalam liang vaginaku. Ke 20 orang yang dipimpin eyang Simo, ia berkomat-kamit memanjatkan doa. Tidak lama, mungkin sekitar 10 menit. Lalu tubuhku diangkat dan diarak menuju Timur. Kami juga disambut warga dengan melempar beras kuning ke tubuhku.

Totem dewa penjaga Timur dengan puncak berkepala ular yang di sampingnya terdapat sesajen dari telapak kaki kiriku yang sudah dimasak. Totem ini berbeda dengan sebelumnya. Arca di bagian bawa bukan berbentuk penis, tapi kerucut. Selain berlumut, tetap saja mengerikan. Diameter bagian bawahnya lebar!!

Eyang Simo mengoleskan minyak lemak terus mendudukkan tubuhku ke kerucut itu. Aku menjerit kencang. Walaupun tidak panjang, tapi bagian labiaku melar dan sudah mencapai batas maksimal elastisitas. Ujung batu kerucut sampai menyundul lubang servikku. Kalau lebih besar dari ini, sepertinya bakalan robek. Apalagi kalau lebih panjang, bisa-bisa lubang servikku rusak. Uuggh >,<

Setelah memanjatkan doa, aku diangkat diarak menuju ke totem terakhir, dewa penjaga Selatan. Kami disambut oleh warga dengan melempar beras kuning lagi. Kami melewati persimpangan ke arah rumah mbah War dan mbah Sul, kami berjalan lurus sedikit lalu belok kiri. Disana berdiri totem dewa penjaga Selatan dengan sesajen berupa separuh dari potongan betisku yang sudah dimasak. Puncak totem berkepala kambing. Menyeramkan!!! Bukan karena bentuk totemnya, melainkan bentuk tongkat untuk masuk ke liang vaginaku. Ujungnya tumpul seperti bola dipotong menjadi dua bagian, tapi di sisi-sisi batang arca itu terdapat bentol-bentol seperti kulit buah ihau. Tidak sepanjang dan sebesar totem Moroji, tapi warna arcanya hitam dan berlumut lebat.

Eyang Simo mengoleskan minyak dari lemakku, lalu memposisikan selangkanganku di atasnya hingga ujungnya menyentuh permukaan memekku.

"Dewa Selatan paling aneh. Mungkin gak pernah dibersihkan ya sampai berlumut gitu. Sini-sini aku bersihkan pakai memekku. Aku kan pengantinmu. Hihihihihi" ucapku dalam hati sambil mendongakkan kepala melihat ujung atas totem.

"Aaaaaaaaaaaawwww...sa..sakit...uuhhh" teriakku tiba-tiba mereka melepaskan pegangan pada tubuhku hingga benda itu menyeruak masuk ke memekku. Uuhgg >,<

Setelah mereka berdoa, mereka langsung mengangkat tubuhku. Aku melihat di penis arca itu sebagian besar lumut rontok. Pasti lumut-lumut itu berserakan di dalam memekku. Ugghh >,<

Kami melanjutkan perjalanan ke arah Utara. Tubuhku diarak lagi. Mbah War didepan dan mbah Sul berdiri disamping jalan. Mereka berdua bukan melempar beras kuning, tapi mereka menyambutku dengan meletakkan suatu benda. Agak samar, tapi setelah dekat. Benda itu adalah benda aneh berbentuk penis berwarna hitam yang kutemukan di samping tempat tidurku, dekat dengan ubi jalar yang disediakan untukku. Menurut eyang Simo, penis itu adalah penis galih asem dari pasangan suami istri dari garis leluhur laki-laki. Penis itu diawetkan kering hingga menjadi fosil.

4 pengawal yang memegang selendang menempatkan tubuhku di atas fosil penis yang tegak berdiri diletakkan di tengah jalan. Perlahan selendang diturunkan ulur, otomatis tubuh turun hingga seluruh penis fosil itu masuk ke memekku. Saat di angkat, fosil itu lengket ikut terangkat bersama memekku. Eyang Simo mencabutnya lalu menyerahkannya ke mbah War. Terlihat cairan minyak lemak dan lumut di fosil itu. Hihihi

Setelah melewati gapura, banyak warga yang meletakkan fosil penis. Kukira cuma mbah War. Ternyata seluruh penduduk meletakkan penis fosil dari berbagai ukuran di tengah jalan. Awalnya jarak penis itu sekitar 10 meter, lama-lama semakin ke tengah aula, penis berjajar hampir tiap 1 meter. Entah, sudah berapa fosil penis yang masuk ke memekku hingga aku sampai di tengah alun-alun. Aku di letakkan di depan totem yang terbuat dari kayu. Pertama kali lihat totem ini waktu ke pasar bersama mbah Sul. Tidak ada penis atau benda aneh.

Duh, mereka meletakkan tubuhku begitu saja sambil dalam keadaan tegak. 4 pengawal cuma memegangi selendang agar tubuhku tetap tegak. Karena area ini hanyalah tanah, selangkanganku menumpu pada tanah. Apalagi, memekku bersentuhan dengan tanah. Uughhh mereka ini. Memekku kan jadi kotor. >,<

Seluruh warga dari berbagai kalangan hadir dihadapanku. Eyang Simo berorasi, sesuai wangsit yang diterima, masa ovulasiku bertepatan dengan bulan purnama. Jadi, mulai pagi ini sampai 7 hari kedepan mereka akan melakukan penanaman benih untuk calon pemimpin desa Moroji, dilanjutkan inseminasi. Mereka bersorak gembira. Aku kemudian diangkat, diarak kembali menuju rumah pengantin. Disana, segala perhiasan ditubuhku dilepas, rambut kepalaku dicukur habis tanpa tersisa sehelai rambut. Lalu di sendang belakang, tubuhku dimandikan oleh 2 nenek. Aku direndam sambil digosok. Memek bagian luar dan dalam juga dibersihkan. Jemari keriput mereka bergantian membersihkan memek, payudara, wajah, serta seluruh permukaan kulit dan rambutku.

Aku mentas, kemudian ditidurkan telentang disebuah peti dari kayu. Ukuran panjang peti kira-kira 80 centimeter, dari tulang pinggul sampai ujung kepala. Aku merasa agak sesak, karena pas banget lebar peti dari pinggul kiri ke pinggul kanan. Pinggulku serasa terkunci di peti ini. Lalu salah satu nenek memasang bantal tipis di kepala.

Beberapa menit kemudian dua orang perempuan lain mendekatiku, ia membawa sebuah selang kecil. Salah seorang memposisikan tubuhku dengan Semi Flower, yaitu posisi kepala diangkat 30 sampai 40 derajat. Diletakkan handuk kecil di dadaku. Aku lihat salah satu perempuan yang memegang selang sedang mengukur panjang selang dan mengolesi gel bening. Sepertinya selang itu akan digunakan sesuatu pada tubuhku.

"Rileks ya dik. Atur nafas pelan-pelan" ucapnya.

Akupun mengikuti apa yang diperintahkan. Beberapa saat kemudian, ujung selang tersebut dimasukkan ke lubang hidung.

"Aaaa…" jeritku pelan.

"Tahan Tahan" ucap salah satu perempuan yang memegang selang.

Ujung selang ini dimasukkan terus, hingga kurasakan ujung selang lentur ini berbelok ke tenggorokanku. Ia dorong dan menekan sambil salah satu dari mereka menempelkan stetoskop di dadaku. Ia juga memerintahkanku untuk menelan.

Aku merasakan ujung selang ini masuk dalam sampai tenggorokanku, hingga beberapa detik kemudian aku merasa ujung selang ini masuk ke lambungku.

"Cukup..cukup" ucapnya. Mereka kemudian melepaskan kepalaku dan aku kembali tidur telentang di peti, kemudian memasang sekat dari papan kayu dengan lubang di sisinya bawah berbentuk ∩ dipasang di leherku, memisahkan kepala dan bahu.

Ujung selang dari hidungku ia masukkan ke lubang kecil di peti dekat kepala kiriku, tembus hingga ujungnya disambungkan ke sebuah wadah berbentuk silinder berwarna bening dengan diameter sekitar 18 centimeter dan tinggi 40 centimeter yang tergantung di sebelah kiriku dengan posisi lebih tinggi dari tubuhku.

Seorang pria paruh baya menghampiriku. Ia membawa sebotol air. Kemudian ia menuangkan isi botol itu ke wadah di samping atasku. Cairan itu kemudian turun melalui selang, masuk ke hidung sebelah kiri. Lalu perutku terasa dingin. Cairan itu kini masuk ke perutku. Sekarang aku paham. Selang itu mirip selang Nasogastrik yang digunakan kepada pasien yang sulit menelan makanan. Mereka menggunakan selang itu untuk memasukkan makanan dan minuman langsung ke perutku.

"Sekarang adik tidak perlu khawatir tentang asupan makanan yang masuk ke perut adik. Kami semua yang akan bertanggung jawab atas kondisi dik Sarah sampai ritual selesai" ucap pria tersebut lalu pergi.

"Pemasangan sudah selesai" ucap 2 perempuan tersebut kepada eyang Simo, lalu mendekatiku.

"Sekarang sudah masuk ke ritual selanjutnya ndhuk. Seluruh pria dari desa ini akan menanam bibit selama 7 hari tanpa berhenti, dilanjutkan proses inseminasi pada hari ke 8. Tepat saat bulan purnama bersinar di atas desa ini." ujar eyang Simo.

"Iya eyang, silahkan dilanjutkan. Aku siap diperlakukan apa saja demi kemaslahatan penduduk desa Moroji" ucapku tersenyum. Eyang Simo membalas dengan tersenyum juga.

"Apa semua pria itu termasuk anak kecil sampai tua ya eyang?" Tanyaku penasaran.

"Tidak ndhuk, lelaki matang dari usia 18 tahun keatas yang boleh ikut" jawabnya.

"Kenapa gak langsung dimulai eyang? Hihihi"

"Nunggu fajar pagi muncul, sekitar 1 jam 23 menit lagi ndhuk" ucapnya.

Oh gitu. Di samping kiri, seorang wanita memasukkan cairan hijau pekat di wadah nasogastrik. Cairan itu kemudian masuk ke selang nasogastrik melalui hidung sampai terasa hangat di lambungku. Selang ini seperti irigasi khusus untuk lambung tanpa bisa merasakan pahit, masam, manis, dan asin.

1 jam 23 menit kemudian, proses pelaksanaan penanaman benih yang ditunggu-tunggu dimulai. Mereka sepertinya sedang antri ingin mencicipi memekku. Eyang Simo pergi keluar ruangan ini. Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang membuka pintu. Aku tidak bisa menunduk untuk melihat, karena terhalangi peti dan sekat di leher. Jadi, aku hanya mengandalkan suara dari derap langkahnya yang mendekat dari arah Barat. Ia kemudian mendekat di samping kananku, terlihat dia ternyata seorang kakek-kakek.

"Ndhuk, saya pak Marto yang akan menanam benih ke rahim gendhuk" ucapnya sopan.

"Iya mbah, silahkan" ucapku

"Ngomong-ngomong mbah umur berapa?" Lanjutku.

"Usia saya 112 Tahun" ucapnya.

Wooow, usianya tua banget. Kuperhatikan dia melepaskan pakaiannya. Menunjukkan penis keriput yang sudah tegang dan tidak disunat. Ketika kulupnya ditarik ke pangkal, smegmanya banyak banget dan bau busuk. Hiiiiiiy… seperti apa memekku ntar kalau dimasukin itu, bakal infeksi nggak ya. Hiiiiy…

"Saya mulai ya ndhuk" ucapnya sopan sudah di selangkanganku.

"Iya mbah Marto, silahkan" ucapku.

"Ndhuk, saya malu kalau ekspresi wajah saya keliatan. Saya tutup ya ndhuk?"

"Iya nggak apa-apa mbah, silahkan ditutup" ucapku.

Kemudian peti bagian kepala ditutup rapat. Hanya ada tiga lubang ventilasi di kiri, kanan, dan ubun-ubun. Untuk pertama kalinya, aku dientot. Tapi, bukan pria seumuranku, melainkan pria tua.

"Aaaahh" desahku merasakan penisnya menyeruak masuk membelah labiaku.

"Aaaawww.." jeritku saat ia menyodok kencang.

Uuhgg kasar banget. Untunglah memekku sedari tadi sudah basah. Tangan kasar kakek ini meremas-remas sepasang payudaraku. Lalu memilin putingku. Aku tidak bisa miring atau telungkup, yang ku bisa hanyalah perutku yang kugerakkan melengkung. Aku kini menjadi pengantin sekaligus boneka sek bagi penduduk ini.

Tak terasa pompaan sodokannya semakin kencang. Aku mendengar lenguhan suara kakek ini, kemudian dinding vaginaku terasa hangat sampai meluber merambat di anusku lalu jatuh menetes. Sepertinya sudah selesai. Kurasakan penisnya dicabut.

"Terimakasih ya ndhuk" ucapnya dengan membuka penutup peti kepalaku.

"Sama-sama kek, semoga peju kakek berhasil membuahi sel telurku" ucapku manja sambil tersenyum. Kakek itu tersenyum lalu meninggalkanku keluar.

Selanjutnya datang orang kedua. Ia mengenalkan diri padaku, dari nama dan umur. Seperti sebelumnya, aku mempersilahkan untuk membuahi sel telurku, lalu langsung ngentotin aku. Selepasnya ia pamit dan aku mendoakan agar pejunya berhasil membuahiku.

Tak terasa hari sudah petang, dari rata-rata pria yang ngentotin aku, sebagian besar penis tidak disunat, usianya dari 112 tahun sampai 90 tahun, rata-rata ngentotnya berkisar 15 menit. Dengan demikian, sampai sekarang aku dientotin 48 orang dan orgasme sudah 36 kali. Cara ngentotnya relatif, ada yang kasar, ada juga yang lembut. Jika memekku kering, disediakan minyak nabati untuk dioleskan ke penis mereka. Saking banyaknya, aku lupa nama-nama mereka. Kecuali mbah Marto tadi. >,<

Sebelum lanjut, seorang wanita datang untuk membuang fesesku dengan memasukkan pipa di anusku lalu menyedotnya. Ia juga mengosongkan kandung kemihku dengan kateter. Aku baru sadar, ternyata dibawah selangkanganku terdapat wadah baskom. Jadi saat peju yang meluber dari memekku jatuh ke baskom itu. Uggh banyak banget dan ada smegma yanh mengambang pula. Wadah baskom berisi mani tersebut dicampur cairan kental dari sari beras, lalu ia masukkan ke wadah nasogastrik. Uuhggg kok gini sih, aku sama saja dengan minum sperma mereka. Setelah itu, dia pergi. Beberapa menit kemudian, datang antrian berikutnya yang akan menanam benih di rahimku.

Entah pada antrian ke berapa, saking capeknya aku tertidur. Aku sampai tidak kuat membuka mata saat orang yang akan ngentotin aku memperkenalkan diri mereka. Aku juga tidak tahu berapa jam aku tertidur. Entah, saat aku tertidur, berapa orang yang ngentotin aku. Aku bangun saat seseorang yang ngentotin aku memperlakukanku secara kasar. Klistorisku dicubit dan ditarik. Sampai hari telah berganti, dan fajar pagi muncul.

Paginya, eyang Simo datang. Ia menjelaskan, bahwa antrian ngentotin aku di mulai dari yang paling tua. Ia datang untuk melihat kondisiku. Aku sempat bertanya kapan giliran eyang Simo. Dia menjawab, bahwa besok adalah gilirannya. Aku diberi istirahat tidak dientot selama 15 menit pada pukul 6 pagi dan 6 petang. Selama itu ada petugas yang menyuplai perutku dengan sperma yang dicampur sari makanan. Juga menyedot feses dan urin dalam kandung kemihku.

Keesokan harinya, Saatnya giliran eyang Simo ngentotin aku. Berbeda dari kakek-kakek sebelumnya, eyang Simo bisa ngentotin aku selama 45 menit dan bisa bikin aku orgasms 3 kali. Aku sampai ngos-ngosan meladeninya.

Lusanya, datang giliran orang selanjutnya. Mungkin orang ke 280-an. Dari jauh samar-samar orang itu seumuran dengan sebelumnya. Makin lama makin dekat.

"Mm...mbah War?" Ucapku

"Iya ndhuk…" ucapnya lirih. Ia sudah bertelanjang bulat. Siap untuk menggagahiku.

"Ayo mbah, silahkan entotin aku mbah. Aku siap menampung benih dari mbah War" ucapku

"Maafkan aku ndhuk…"

SLEEBB…..

"Aaah…." Desahku saat penis mbah War menerobos masuk bergesekan dengan jaringan lipatan-lipatan dinding vaginaku yang sudah basah. Ia langsung menggoyangkan pinggul memompa memekku.

"Sshhh… Tidak perlu.. ahh.. minta maaf mbah.. aah"

"Uuooh… tempik gendhuk enak.. oohh sempit banget" lenguhnya.

"Aaah ahh.. iya mbah.. nikmati tempik aku yang dipersembahkan ini mbah.. aahh"

Gerakan pinggulnya semakin kencang mengaduk-aduk memekku. Belum genap 6 menit aku merasa penisnya berkedut dan akan muncrat.

"Ndhuuukkk...oohhh… mbah mau muncrat ndhuukk" rancaunya.

"Aaahh..Iya mbah.. muncrat aja mbah.. aahh… tempik aku siap menampung peju mbah War.. Aaaaahh"

CROOT...CROOTT...CROOTT

Aku merasakan benih-benih mbah War meluber di dalam rongga peranakanku. Lalu ia mencabut dan balik badan melangkahkan kaki meninggalkanku.

"Jangan sedih mbah War. Semoga peju mbah War bisa membuahi sel telur aku. Makasih ya mbah..Hihihi" ucapku setelah beberapa langkah meninggalkanku. Ia menoleh dan tersenyum.

Setelah keluar, datang orang selanjutnya, petani yang akan menanam benih di rahimku. Akupun menyambutnya dengan senyum.

Tak terasa sudah memasuki hari ke 5. Pria yang akan ngentotin aku umurnya kisaran 30 tahunan kebawah. Kali ini durasi rata-rata mereka ngentot sekitar 25 menit. Mereka tidak sunat semua dan penisnya panjang. Uhggg memekku seperti wadah smegma mereka. Smega yang bercampur sperma yang meluber dari memekku tertampung di baskom lalu dimasukkan ke perutku melalui selang nasogastrik. >,<

Hari demi hari, jam demi jam, tak terasa belum genap 7 hari, acara ngentotin memekku sudah selesai. Aku diperbolehkan istirahat selama sehari. Aku pikir ini benar-benar berakhir, ternyata masih ada acara ritual selanjutnya. Yaitu inseminasi yang bertepatan dengan ovulasiku dan bulan purnama.

Setelah beristirahat selama sehari penuh, mereka melepaskanku dari peti untuk dimandikan. Smegma, sperma kering, kotoran dan keringat dibersihkan. Kemudian kembali ke rumah pengantin. Di situ, tubuhku dibalut selendang. Hampir seluruh tubuhku tertutupi, kecuali selangkangan, kepala, dan sepasang payudara. Salah satu dari mereka memasukkan kateter yang panjang pada uretraku. Uuhhh sakit banget sampai aku merasa dinding kandung kemihku terbentur oleh ujung kateter ini, lalu mereka memutar tubuhku secara terbalik. Kepalaku berada di bawah sedangkan selangkanganku berada diatas. Tubuhku diikat selendang di bagian pinggang, agar posisi tetap terbalik vertikal seperti ini. Selang nasogastrik juga masih terpasang di hidungku.

"Sssshh….aaahhh"

Tiba-tiba memekku dimasuki corong besar yang digantung di langit-langit. Corong itu terbuat dari tanah liat. Dalam sekali sampai ujungnya membentur serviks, mungkin panjangnya 19 centimeter. Lalu eyang Simo menumpahkan cairan putih kental ke corong itu. Aku menundukkan kepala melihat berliter-liter cairan masuk ke corong. Aku rasakan cairan itu menggenangi dan menekan servikku.

Aku terperangah saat eyang Simo mengatakan bahwa cairan itu adalah sperma seluruh pejantan yang ada di wilayah desa moroji. Tidak hanya manusia, tapi hewan darat maupun hewan laut. Karena itulah mereka menyebut inseminasi. Padahal, jumlah kromosom manusia dan hewan kan berbeda, tentu sperma hewan itu tidak bisa menghamiliku. Tapi, kalau bisa gimana? >,<

Selanjutnya, mereka memasang selang pipa pada anusku. Saluran kateter dan selang feses yang panjang menuju ke luar. Sedangkan selang nasogastrik berada di dalam ruangan ini. Terakhir, mereka melilitkan kain pada seluruh kepalaku, memberikan saluran kecil di hidung untuk bernafas dan selang nasogastrik. Seperti mumi.

Diminuendo. Derap langkah mereka meninggalkanku. Mengapa mereka tidak menutup sepasang payudara dan selangkanganku? Sendiri. Sepi. Hanya nyanyian alam yang menemaniku. Desir gesekan dedaunan dan sebagainya. Kepalaku mulai pening. Hukum fisika. Darah tertarik gravitasi menekan kepalaku. Aku tidak bisa melihat, tidak mengenal siang maupun malam. Aku mengetahuinya hanya dari gigitan nyamuk di sepasang payudara dan selangkanganku. Selama 3 hari penuh aku di inseminasi.

…….

…….

Aku sudah tidur lebih dari 5 kali. Entah, aku tidak ingat aku kencing dan buang air besar berapa kali. Kateter dan selang di anus masih menancap. Terdengar suara pintu dibuka. Tidak terdengar langkah kaki. Tiba-tiba putingku ditarik.

"Hmmmmmmmmmhhh.." teriakku.

Ujung puting kiriku ditusuk sangat kencang dan dalam sampai ujungnya membentur ruas tulang rusukku. Begitu juga dengan puting satunya. Lalu terdengar suara pintu ditutup. Sambil meronta-ronta, aku merintih kesakitan sampai akhirnya aku lelah dan tidak sadarkan diri.

"Ingat ndhuk. Bangsa Jin dan Setan bisa meniru manusia. Mereka bisa meniru orang-orang terdekatmu, romo, ibu, bahkan dirimu sendiri. Suaranyapun mirip. Tapi ada hal yang harus kamu tahu. Mereka tidak bisa meniru bau keringat"

Aku membuka mata. Aaaaw. Iluminasi dari benda-benda yang tersinari sang surya yang masuk dari jendela menyilaukan mata. Buram, seperti mengenakan kacamata dari kaca es. Lambat laun, mataku bisa beradaptasi. Aku bisa melihat sekelilingku. Aku masih sendiri dengan tidur telentang di sebuah ranjang ukuran kecil sambil telanjang bulat. Ketika menunduk, benda yang menusuk payudara sudah tidak ada, tapi ukuran payudaraku lebih besar, dan…. Perutku membuncit!!!!!

A..Apakah aku hamil? Sudah berapa bulan? Aku merasakan sesuatu dalam perutku yang bergerak-gerak.

KREEEK…..

Pintu dibuka.

"Syukurlah sudah sadar" ucap eyang Simo. Dari belakang 4 orang wanita mendekat. 2 di sisi kiri, 2 di sisi kanan.

"Usia kehamilan gendhuk sudah 41 minggu. Kami khawatir bayi penerus desa ini terkontaminasi oleh air ketuban. Karena itu, kami akan mengambil bayi gendhuk" ucapnya.

4 wanita melepaskan selang nasogastrik, kateter, serta selang di anusku. Kemudian, mereka mengeluarkan alat dari kotak yang dibawanya. Seperangkat peralatan operasi. Seorang dari mereka menyuntik leherku. Beberapa detik kemudian aku lemas. Kulihat mereka mengenakan handscoon, dan masker. Sebuah scalpel menyayat perutku secara vertikal. Dari tulang pedang-pedangan sampai tulang pubis. Tidak terasa sakit, tapi terasa geli. Ia lakukan berulang kali. Lalu terlihat usus dan rahimku. 2 orang mengangkat rahim, kemudian salah satu dari mereka memasukkan tangan di atas sayatan kulit pada tulang pubis, lalu tangan satunya memegang scalpel. Memotong sesuatu.

SREEGG…

Terdengar suara gesekan dan geli di pangkal lorong vaginaku. Dua orang kemudian mengangkat rahimku yang utuh meninggalkan ruangan ini. Membiarkan perutku menganga dengan usus berhamburan di sisi pinggang kiri dan kanan. Eyang Simo mengucapkan mantra sambil menyipratkan air memutari tubuhku searah jarum jam selama 5 kali.

Pandanganku buram, lalu gelap……...

……

……

……

Aku… dimanakah aku? Langit berwarna putih, lantai pijakan berwarna putih, tidak ada garis horizon, tidak ada arah. Seperti ruangan yang tak terhingga tanpa bayangan diriku sendiri yang memantul dan terpantul. Seolah semua titik-titik sudut beriluminasi. Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian itu?

Dunia yang serba putih, seketika berubah penuh warna. Seperti pelangi yang bercampur aduk. Warna merah mendominasi. Apakah ini yang dikatakan romo? Percampuran warna yang melambangkan hawa nafsu. Tiba-tiba warna merah menguasai sekitarku. Oh ini nafsu amarah. Aku ingat pesan romo, apapun yang keluar jangan kau ikuti. Ikuti dua, Tuhan atau diriku sendiri. Tapi……lanjutannya aku tidak ingat. Sudah 17 ragam warna muncul bergantian. Kemudian semua menjadi gelap. Hitam pekat. Di arah kiriku ada sebuah pohon yang dipenuhi buah-buahan segar dan rindang. Lalu, tenggorokanku terasa haus dan perut keroncongan.

"Jangan ikuti ndhukk…"

Kalimat terngiang di kepalaku. Lama-lama pohon itu hilang. Lalu dari arah kanan muncul romo. Apakah itu romo? Ia melambaikan tangan memanggilku.

"Jangan ikuti ndhukk…"

Selanjutnya ibuku. Di sampingnya romo. Tetap aku tidak mengikutinya. Kemudian…di hadapanku muncul sosok diriku. Ia berdiri tegak dengan pakaian kelahirannya. Telanjang bulat. Utuh. Ada tangan, kaki, mata, telinga.

Tanpa harus berpikir lagi, aku pun mengikutinya. Aku melangkahkan kaki mendekatinya, menggapai tangannya. Aku diajak berjalan ke sebuah arah. Melangkah bersama sampai dunia gelap menjadi terang. A..aku…ada di Surga? Banyak pepohonan rindang dan bunga-bunga. Suara kicauan burung bersahut-sahutan.

Bak tirai dalam teater drama, dalam sekejap pemandangan berubah menjadi padang bebatuan, gersang dan diselimuti kabut.

"Ah...ah..aaah..oohh..oohh" desah seorang wanita di ujung kiriku.

Aku melihat wanita seumuranku sedang dientot dengan posisi berdiri oleh sesosok bertubuh kekar berkepala elang. Saking besarnya kaki gadis itu tidak menginjak tanah. Mereka menghadap ke arahku. Penis besarnya menghujam dari bawah ke atas, ke memeknya. Sodokan demi sodokan membuat sepasang payudaranya memantul mengikuti irama gaya dorong penis makhluk tinggi tersebut. Saat seluruh penisnya masuk, perut wanita itu menggembung. Lalu kedua tangannya di bentangkan, ditarik bersamaan hingga pada ketiaknya putus. Begitu juga kedua kakinya, ditarik hingga selangkangannya putus. Tangan makhluk itu memegang pinggangnya.

"AAAAAAARRRRRRGHHH" jeritan memilukan dari sang gadis.

DUAAAARRR

Perut gadis itu meledak bersamaan muncrat cairan kental dan penis yang menembus perutnya. Isi perutnya berhamburan. Makhluk itu melepas gadis itu dan melemparnya di tanah.

"Selamat datang" ucap lirih dari kananku.

Saat aku menoleh ke arah kanan, sosok kembaran diriku berubah menjadi cahaya dan bersatu bersama makhluk itu.

Aku berlari, tapi langkahku terhenti. Seperti membeku.


"Ndhukk, jika kamu buta kepada Tuhan, ingatlah dirimu sendiri. Perhatikan baik-baik cerminan dirimu. Itu adalah roh kudus. Roh suci yang membawamu kembali bersatu bersama Tuhan. Tempatmu diciptakan. Ketenangan. Itulah Surga"


Aku ingat!!! Ternyata kembaran diriku tadi mirip denganku, tapi ruas jari kelingking kirinya putus. Sial!!!! Aku tersesat dan terjebak!!!

"Wahai budakku. Sini, kemarilah. Giliranmu memuaskanku" ucapnya.

Tidak ada jalan lain, inilah kehidupanku. Sebagai pemuas nafsu.

"Baik tuan" ucapku menghampirinya.

Saat mendekat, muncul sebuah tubuh wanita tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa lengan yang berwarna coklat gelap dengan uap panas muncul di sekujur tubuhnya. Perutnya besar. Makhluk itu mengambil hidangan yang ada dihadapannya, dan menyantap dari pinggul kebawah.

"Dagingmu sangat lezat hahaha" ucapnya.

"Sini coba cicipi" lanjutnya dengan mencongkel salah payudara kiri didepan wajahku. Aku membuka mulutku lalu memakannya.

"Ini adalah persembahan terbaik dari desa Moroji. Muda dan empuk. Hahahaha"

Aku tak menyangka bahwa itu adalah tubuhku sendiri. Dimasak dan dijadikan persembahan. Setelah melahap habis daging payudara di mulutku, lalu pinggangku diangkat dan langsung memekku dihujam oleh penis yang mengacung tegang.

"Aaaaah….ahh...ahh" desahku saat penisnya mengaduk memekku.

Benar apa yang dikatakan makhluk ini. Tubuh gadis yang hancur itu sedikit demi sedikit pulih. Paha, tangan, jeroannya seperti bergerak sendiri kembali ke tubuhnya.

"AAWWWWW...SAKITT"

Kedua tangan dan kakiku lepas, perutku menggembung lalu meledak. Beberapa detik kemudian aku dilempar begitu saja di tanah berbatu dan panas. Aku tidak bisa bicara, pandanganku tidak bisa menutup. Rasa nyeri di tubuhku terasa menyakitkan. Perih. Panas. Inilah kehidupanku, tersesat dan kekal sebagai budak makhluk sampai sangkakala malaikat Israfil ditiup.

DIA MILIKKUUUUUU!!!!!

Teriak pekik nyaring sekali membuat dia terhempas jungkir balik, lalu melarikan diri diantara kabut. Makhluk yang sama dengan tubuh yang lebih besar bermahkota muncul di hadapan kami.

"Tenang cantik, sekarang kamu dalam kuasaku. HUAHAHAHAHAHAHA"

Tangan kiriku ditarik. Dengan sekejap aku berada di tempat lain. Disebuah tempat didekat danau yang ditumbuhi kiambang yang tumbuh di pinggir danau.

"Wanita tadi siapa tuan Moro?"

Dia itu tumbal yang gagal dalam melakukan ritual. Aku diajak jalan-jalan sambil telanjang bulat. Disebuah ruangan indah, diatas ranjang tertidur seorang bayi laki-laki tampan dibedong. Lalu, tak terasa aku berada disebuah tempat. Bukankah ini alun-alun desa Moroji? Ramai sekali disini. Aku mendekat.

Aku melihat seonggok daging yang sudah dimasak. Diatas totem di tengah alun-alun, terpasung kepalaku.

"Itu adalah jasadmu" ucap dewa Moro.

Aku nangis, aku berlari. Sampai di gapura Selatan, aku membentur dinding yang transparan.

"Kamu tidak bisa lari. HAHAHAHAHA" ucap dewa Moro.

SRIIING…..

Tiba-tiba pandanganku terlempar diudara lalu jatuh didekat dinding gapura menghadap ke Utara. Tidaak!!! Kepalaku dipenggal. Beberapa detik kemudian, barulah leherku terasa sakit. Sakit sekali. Aku bisa melihat tubuh telanjangku terhuyung mau jatuh. Sebelum jatuh, dewa Moro memegang pinggangku, mengangkatnya lalu ngentotin memekku dari belakang sambil berdiri menghadap ke arahku. Walaupun kepalaku lepas dari badan, aku bisa merasakan penisnya yang mengobok-ngobok liang vaginaku. Aku mendesah karena dientot dan kesakitan karena leherku terpenggal.

Aku dilangkahi oleh seorang wanita berjilbab modis. Sepertinya bukan warga sini. Dia melangkah ke Utara menembus tubuhku dan dewa Moro yang sedang ngentotin aku. Dompetnya jatuh. Ia berbalik badan mengambil dompet. Aku mengamati raut wajahnya.



La..Laras..??






○●●»»TAMAT««●●○
wow, amajing ceritanya.... membayangkan kalau dibuatkan film, pasti menegangkan sekali, dan kaget. Sukses buat sang penulis. Bikin versi Laras dong
 
Cerbung nya bakalan tambah ngeriii kaya e..
Semacam Linda gitu..
:kacau:

Adegan Lindanya banyak yang di potong kok. Padahal, aku sudah nulis adegan mainin potongan payudara. Sebelum otopsi, yaitu anatomi juga banyak yang aku singkat. Hihihi


Mantap mbak @RoroLilith, ceritanya
Ditunggu full versionya
Btw kog jadi ingat Sarah Lavendara:Peace:

Versi penuhnya belum dipikirkan. Kalaupun ada, kemungkinan aku nulis dari sisi Laras.

Oh iya, Salam ya ke kak Sarah. :p

Ceritanya menarik, amat berbeza.. tp ..
Udah ada pencerahan tapi masih ngak faham ceritanya...
Part laras itu yang bikin bingung..

Terimakasih sudah membaca.

Larasnya lagi jalan-jalan tuh. Dia gak tau di depannya, orang orang pada siap-siap makan tubuh Sarah yang sudah dimasak. Mungkin aja penduduk mengajak makan Laras untuk memakan sahabatnya sendiri. Lalu dia horny ingin di gitukan juga. Hihihi

wow, amajing ceritanya.... membayangkan kalau dibuatkan film, pasti menegangkan sekali, dan kaget. Sukses buat sang penulis. Bikin versi Laras dong

Makasih kak.

Hihihi dibikin film banyak yang disensor dong.

Lagi nyelesaikan cerbung dulu dan rilis cerita satunya. Mungkin setelah itu bisa mikirin bikin cerita Laras. Main gitar berdua sama Sarah di studio sambil telanjang, dsb. Seru juga tuh. Hihihi
 
Adegan Lindanya banyak yang di potong kok. Padahal, aku sudah nulis adegan mainin potongan payudara. Sebelum otopsi, yaitu anatomi juga banyak yang aku singkat. Hihihi




Versi penuhnya belum dipikirkan. Kalaupun ada, kemungkinan aku nulis dari sisi Laras.

Oh iya, Salam ya ke kak Sarah. :p



Terimakasih sudah membaca.

Larasnya lagi jalan-jalan tuh. Dia gak tau di depannya, orang orang pada siap-siap makan tubuh Sarah yang sudah dimasak. Mungkin aja penduduk mengajak makan Laras untuk memakan sahabatnya sendiri. Lalu dia horny ingin di gitukan juga. Hihihi



Makasih kak.

Hihihi dibikin film banyak yang disensor dong.

Lagi nyelesaikan cerbung dulu dan rilis cerita satunya. Mungkin setelah itu bisa mikirin bikin cerita Laras. Main gitar berdua sama Sarah di studio sambil telanjang, dsb. Seru juga tuh. Hihihi
filmnya, pastinya versi underground, yg hanya dijual di d....web.
 
Maaf ts bukan bermaksud menggurui tp kl dr gaya penulisan ts bukan dr muslim..untuk tingkatan syariat tarekat syariat dan makrifat bukan bgt..monggo mau nulis soal agama tp jangan asal nulis saja bos...plus soal mengenai sholat yg sholat tiap waktu...monggo diedit ulang..bukan karena saya mau munafik atau hal2 lain...tp kl soal isi agama tolong banget diperhatikan ya bos
 
Om ajaran islam roh itu masuk dlm genggaman allah...kl menjadi tumbuhan ga bisa...dan kl dr ajaran hindu budha dam tao mungkin bisa tp setau saya hanya hewan atau manusia yg lain
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd