liliaprince
Suka Semprot
- Daftar
- 10 Jul 2011
- Post
- 12
- Like diterima
- 11
Gua copas dari http://risingstar-stories.********.com/2009/11/kisah-marshanda.html
G tau siapa penulisnya, sekuel yang judulnya ************** ternyata juga ada diblog atas..
Nyari sekuel yang pertama, kisah dodot ama bbb nelum nemu yang lengkap.
Anyway, enjoy this story..
===================================================================
Enam bulan berlalu. Apa aja yang udah gua lakukan? Banyak. Gua sibuk banget. Ketika bisnis mengembang begini pesat, ternyata loe akan semakin pusing menanggungnya. Kondisi beberapa unit sempat kacau sebelum gw akhirnya meng-hire orang untuk membereskan semuanya. Untung bisa beres. Dari situ gua belajar banyak. Orang-orang gua bilang gua kurang perhatiin kondisi internal, maunya maju terus nyerang sana-sini. Gua nyadar emang selama ini gua terlalu agresif menyamber tender tanpa ngelihat kesolidan bisnis gua mulai rubuh. Sekali lagi, untung bisa beres. Dan perlu gua tambahkan: dalam waktu singkat! Satu lagi pembenaran bahwa gua emang hebat.
Jadi, gua bisa pergi ke somewhere in Middle East. Kembali mengembangkan sayap. Yep, Dubai. Bisnis properti pesat di sana. Gua gerah banget kalau nggak bisa nguasain wilayah itu. Thats why gua akhirnya fokus di sana, ngerintis, ngelobi, sampai akhirnya lumayanlah, walau masih belum jalan bagus.
Gua nggak ngikutin berita Indonesia. Walaupun ada berita Indonesia, yang keluar palingan soal politik atau bencana alam gitu. Gua nggak tau nasib tiga cewek yang dulu. I just dont know. Gua rasa mereka nggak ngomong apa-apa ke publik dan itu sesuai rencana gua, walaupun gue juga nggak tahu apakah ada faktor-faktor lain yang membuat perbuatan gua waktu itu tidak berbuah. Gue punya firasat pada suatu hari nanti gue menemukan penjelasannya. Intinya nggak ada berita santer terdengar di media maupun dari temen-temen gua, membuat gue berkesimpulan satu hal: Gw aman. Semua berjalan sesuai skenario.
***
Singkat cerita, setelah hampir satu semester terdampar di Teluk, akhirnya sekarang gua sedang dalam perjalanan balik ke Indonesia. Tepatnya ke Bali. Sedang ada konferensi perubahan iklim di sana. Iya, Indonesia sedang menjadi tuan rumah ICC yang mengundang perwakilan negara-negara di seluruh dunia.
Heh? Global Warming? Climate change my ass! Pikir gua. Gue sebenarnya nggak peduli sama isu lingkungan ini. Jadi kenapa gue harus capek-capek ke sana? Begini ceritanya.
Ini kasus lama. Tiga tahun yang lalu salah satu anak perusahaan gua tersandung kasus polusi udara. Kami dituntut ganti rugi yang cukup membuat gua bangkrut dan harus ngais-ngais makanan dari selokan. Akhirnya di tengah kepusingan gua itu, gue percayakan kasus ini sama tim ahli yang merumuskan solusi gitu. Solusi yang membuat kami nggak usah menuhin total nominal yang dituntut karena ada kompensasi pembenahan pabrik gitu deh. Kalau pembenahan ini gagal, kami harus menuhin tuntutan tanpa syarat. Beruntung bagi gue, solusi udah diuji coba tiga tahun ini dan berhasil, pabrik itu jadi pabrik terbersih se-Indonesia (mungkin, nggak pernah ngecek sih). Pabrik itu kini nggak lagi menyebabkan pencemaran udara.
Kasus itu jadi terkenal, dan sering digadang-gadangkan jadi contoh buat industri lain supaya ramah lingkungan.
Akhirnya di Bali, pas momen konferensi internasional itu, dibikin juga pertemuan-pertemuan lain yang sifatnya lebih sekunder. Salah satunya itu bertajuk Menuju industri yang ramah lingkungan. Dan sudah bisa ditebak, kami diundang.
Gue sebenarnya nggak pernah tampil di depan umum. Gua nggak terkenal. Gue suka di belakang layar aja dan menyuruh anak buah gua yang tampil. Tapi kali ini orang yang bener-bener ngerti persoalan, alias tim ahli tadi, entah kenapa tiba-tiba nyalinya menciut. Dan mereka memohon gue ada di sana bersama mereka. Kata mereka sih, mereka pada takut sama aktivis-aktivis lingkungan radikal yang benci sama korporat.
Phew...Yaaa udahlah, gue dateng, tapi gue bilang ke mereka kalau gua nggak akan mau diekspose. Biar mereka aja yang jadi sorotan. Kan enak juga, gua datang ke sana, sekalian liburan.
ZZZZzzzztttt....Cerita gue percepat. Gua sampai Bali siang menjelang sore. Ada yang ngejemput gue dari pihak panitia. Terus gue dianterin ke Hotel. Lokasinya cukup asyik karena deket pantai. Gua agak kaget juga waktu dikasi tahu kalau di hotel itu juga lah tempat pertemuan itu diadakan. Lhah, terkurung di sana terus dong?
Nanti ada waktu kosong, Pak. Panitianya menenangkan gua. Oooh. "Kapan?" Tanya gue. "Setelah ini juga kami persilakan kalau Bapak mau jalan-jalan." katanya...Ooohh.
Gw diantar ke kamar. Setelah gue dikasi kunci, gue said thanks ke dia. Si panitia itu bilang sekitar jam delapanan akan ngejemput gue untuk jamuan makan malam di bawah. Gue bilang 'oke'. Terus dia pamit meninggalkan gue sendirian di kamar. Kamarnya standar. Nggak norak-norak amat. Seperti biasa, corak Bali selalu dipaksain hadir di setiap hotel Bali yang gua datangin. Ini bukan pertama kalinya gue nginep di Bali jadi gue nggak begitu heran. Cuma satu hal yang bikin gua cengok adalah ada pemanas ruangan! Here, in Bali, yang 'anget', ada bisnismen tolol yang memasang pemanas ruangan di setiap kamar hotelnya! Gue ketawa.
Di kamar gua langsung mandi terus nonton TV. Gue pantengin berita tentang saham dunia di kabel. Terus ganti ke HBO. TErus ganti ke yang nayangin fashion. Tapi nggak lama kemudian akhirnya nyadar kalau itu perbuatan bodoh. Asyik aja gua udah di Bali, lusa udah harus pulang, dan gua ngendon di kamar?? Huh. Gua ganti baju, keluar kamar, dan bergegas ke pantai.
Di pantai....
Matahari hampir terbenam. Gua berdiri liat-liat sekitar. Gua nyadar kalau pantai ini bukan seperti pantai Kuta atau lainnya yang biasa dipakai wisata. Nggak banyak orang yang main ke sini, paling ya orang-orang yang nginep di Hotel tadi. Di mana-mana gua masih ngelihat nelayan dan perahunya. Mereka siap-siap mau melaut malam ini.
Di situlah gua ngelihat dia...... Kehadirannya mencolok banget di pantai ini. Berbaju pink ketat dan jeans dia berjalan menuju bibir pantai. Gua mengenali dia tapi lupa namanya. Gue tahu aja dia dulunya waktu kecil pernah nongol di TV. Dan sudah lama gua nggak tahu kabar-kabar tentang dia.
Ah, Marshanda ya? Gua inget. Wah, gue pangling karena seinget gue dia adalah artis cilik yang main sinetron sama Ayu Azhari di Bidadari. Wuih, cantik juga kalau udah gedhe. Usianya yang bertambah membuat lekukan cantik wajahnya terlihat semakin tegas. Pahatan tubuhnya juga meliuk-liuk mempermainkan mata gua. Ck, menggoda. Gue nelen ludah. Apa yang dia lakukan di sini ya?
Gua berjalan mendekat, tapi gue juga berusaha tidak terlihat. Gua baru nyadar kalau di belakangnya ada rombongan orang yang mengikuti. Mereka berjalan ke arah nelayan-nelayan yang gua perhatikan tadi. Beberapa dari mereka gua yakin adalah wartawan, melihat perlengkapan jurnalis mereka yang tertenteng. Satu-dua yang lain gua nggak tahu. Menurut gue mereka orang dinas entah apa. Berseragam nggak banget...
Gue makin mendekat. Mereka sudah berada bersama kelompok nelayan yang gue lihat bersiap-siap melaut tadi. Bercakap-cakap. Beberapa dari mereka terlihat menanyakan beberapa hal ke salah seorang nelayan yang mereka hampiri. Marshanda juga ikut bersama mereka. Gue berusaha nguping. Mereka sepertinya lagi ngomongin dampak perubahan iklim dengan aktivitas melaut nelayan tersebut. Para wartawan sibuk memotret dan mencatat.
Perbincangan itu nggak lama karena matahari udah terbenam. Nelayan itu berkata sesuatu yang intinya angin sedang bagus jadi mereka nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melaut. Akhirnya nelayan itu memisahkan diri dengan rombongannya Marshanda. Mereka yang lain pun pergi , berjalan menjauhi pantai.
Marshanda mengikuti, tapi sebelumnya dia mengambil satu cangkang kerang, dan melemparnya ke arah ombak...Dia tertawa terkikik-kikik. Kemudian ia menyusul rombongan lain yang tadi menghentikan langkah mereka hanya untuk menunggu Marshanda.
Gue bengong. Oke, what its all about?
***
Gue balik ke kamar. Ada koneksi internet di sana. Sesampainya di kamar gue online. Cek email, banyak surat yang belum gue baca. Sekitar dua jam gue habiskan untuk merespon surat-surat elektronik itu. Setelah kelar gue teringat dengan peristiwa sore tadi. Penasaran gua ama Marshanda. Jadi gue search dia di Google. Ada banyak entri yang keluar. Gue baca satu persatu. Yang nggak penting gue lewatin, terutama soal gosip-gosip. Gue fokuskan pada yang memberi keterangan soal kejadian di pantai tadi. Sampai akhirnya gue nemu artikel-artikel yang mungkin ngasi gue jawaban. Gue juga nggak tau persis, hanya ini menarik bagi gue karena ada informasi yang gue baru tahu. Marshanda, artis yang kini beranjak remaja, itu kini juga mendapat predikat lain. Duta Lingkungan. Oke, maybe that explain kenapa dia ada di pantai tadi.
Tapi, apaan tuh Duta Lingkungan? Nggak ngerti gua.
***
Jam setengah delapan malem, WITA, gue didatangi panitia, diingetin, katanya setengah jam lagi ada malam jamuan gitu di bawah. Gue bilang belum siap-siap, jadi gue nyusul aja. Gue bersiap-siap dan pergi ke sana setengah jam berikutnya. Di sana gue bertemu orang-orang gue (yang kerja sama gue). Gue udah sering datang ke malam jamuan gini, gue kasih tahu aja ke mereka supaya jangan memperlihatkan kalau gua adalah bos mereka yang sebenarnya. Mereka bingung, tapi gue yakinkan bahwa gua cuma nggak mau terkespose aja.
Jamuan itu diadakan di kebun, di lantai dasar hotel. Kursi disusun dalam lingkaran-lingkaran mengelilingi meja bundar bertaplak putih. Gue duduk deket orang-orang gue tadi. Agak males aja duduk deket orang asing dan ditanyain darimana. Gue lagi nggak minat menjalin relasi baru di sini.
Dan gue melihat dia lagi....Marshanda...Kali ini tidak seperti sore tadi, tubuhnya tertutup jaket cokelat yang risletingnya dibiarkan terbuka. Di dalamnya ia mengenakan baju terusan bercorak merah muda. Namun rok terusannya itu tersingkap kala ia menyilangkan kaki, memperlihatkan paha yang begitu terawat. Darah gue tersirap. Jari-jari gue bergerak-gerak otomatis. Shit!
"Selamat malam hadirin sekalian!"
Acara dimulai oleh MC, buyarlah lamunan jorok gue. Lalu dimulailah rentetan sambutan membosankan dari macam-macam orang. Pejabat ini lah, itu lah. Terakhir ada Menteri Lingkungan Hidup juga. Orang yang terakhir gue sebut ini menarik perhatian gue karena ia menyinggung soal Marshanda. Diselipi guyonan garingnya, dia bilang bangga dengannya sebagai Duta Lingkungan dan berharap Marshanda bisa mengajak generasi muda lainnya untuk lebih mencintai lingkungan.
Bangga? Gue keheranan. Memangnya apa yang dia lakukan, heh? Gue ngelirik Marshanda, dia tersipu-sipu malu.
Acara dilanjutkan dengan makan-makan dan hiburan. Ada satu dua band yang main. Marshanda juga naik ke panggung dan menyanyikan beberapa lagu. Di sela-sela lagu dia sempat menyinggung soal penyelamatan lingkungan...yang bagi gue terasa...nonsense. Ya udahlah ya.. gue tetep nikmatin penampilannya. Gue nggak peduli suaranya sih sebenarnya. Gue rasa dia pandai tebar pesona. CAntik juga. Dada gue berdegup.
Jam sebelas malam gue masuk kamar lagi. Melanjutkan googling gue. Gue masih penasaran sama dia. Memangnya apa yang sudah cewek ini lakukan hei Duta Lingkungan?
Lewat tengah malam akhirnya gua tidur.
***
Keesokan harinya gue mulai merasa nggak enak. Firasat yang mengatakan bahwa gue akan terkurung di sekitar hotel bener adanya. Gue harus ikut aja semua acara yang diadain panitia, entah sampai kapan. Pagi gue udah digiring dateng ke pameran teknologi ramah lingkungan yang diadakan di hotel itu juga sampai siang. Di ruang pameran gua cek jadwal, ini masih dilanjutkan sama seminar siangnya sampai sore, dan malamnya masih lanjut ada acara. Gue jadi kecewa. Besok gue pulang, di Bali jadi nggak ngapa-ngapain. Come on, at least mo maen ke bar seru di Legian aja masa nggak bisa?
Gue nggak protes sih. Kesannya gimana gitu kalau gua protes kok nggak ada main-mainnya?. Gue sempat kepikiran mau ngabur. Setelah gue pikir-pikir akhirnya gue memutuskan untuk kabur habis seminar aja. Soalnya di seminar itulah Company gue jual diri. Salah satu orang gue jadi pembicaranya.
Acara di pameran udah selesai, setelah istirahat sebentar akhirnya kita masuk ke seminar room. Meja dan kursi ditata layaknya jamuan di malam sebelumnya. Gue duduk di salah satu kursi, agak jauh di belakang tempat pembicara. Gue memperhatikan sekeliling. Tata meja ini mengingatkan gue akan Marshanda di malam itu.
Bener aja, dia memang hadir sekarang. Gue telat nyadar soalnya dia duduk di depan, dan gue kurang familiar dengan posturnya dari belakang. Gue baru tahu ketika sekilas ia menoleh ke belakang. Rambutnya terurai. Wajah manisnya masuk dalam pandangan gue. Ia memakai gaun merah muda. Gue menyesal nggak cari tempat duduk agak depanan dikit tadi.
Sudahlah. Seminar itu dimulai. Gue nggak banyak ngedengerin. Bahkan gue ketiduran cukup lama. Suara tepuk tangan yang membangunkan gue. Gue bangun mencoba cari tahu ada apa. Ternyata orang gue sedang ngomong, dan sepertinya ia sudah sampai pada bagian yang membuat orang-orang di sini terkesan. Mungkin something tentang industri kami yang berubah jadi lebih hijau. Nggak tau deh. Yang jelas gue jadi bangga juga.
Kemudian dibukalah sesi tanya jawab. Muncul beberapa pertanyaan standar. Gue nggak begitu merhatiin. Orang gue menjawabnya dengan fasih. Fokus gue muncul ketika pertanyaan berikutnya diajukan. Kali ini yang mengangkat tangan Marshanda. Bukan cuma gue yang bereaksi. Orang-orang lain juga kasak-kusuk.
Dia mau ngomong apa?
Suaranya halus mengalun merdu, Terima kasih. Emm...Saya sebagai Duta Lingkungan mau tanya, dulu saya pernah berkunjung ke tempat masyarakat yang terkena polusi di pabrik milik perusahaan Bapak. Kondisi airnya masih tidak layak untuk dipakai rumah tangga. Saya melihatnya jadi kasihan. Apakah tidak ada kebijakan untuk membantu masyarakat itu?
Anak buah gue menjawab,Tentu kita membantu. Kita sudah memberi ganti rugi sesuai keputusan.
Gue puas dengan jawaban anak buah gue itu, tapi Marshanda masih memegang mike-nya, Tapi orang-orang di situ bilang katanya ganti rugi cuma bisa menutup pengobatan sakit yang mereka derita akibat polusi sebelumnya. Seharusnya mereka bisa dapat jauh lebih banyak lagi. Soalnya sisa-sisa dari polusi masih mereka rasakan. Saya waktu dateng ke sana itu prihatin sama mereka.
Anak buah gue menjawab lagi, Sesuai keputusan pengadilan, apabila kita menghadirkan solusi pemberhentian polusi maka kita hanya akan membayar ganti rugi 10% dari yang dituntut. Jadi masalah itu sudah selesai, Mbak.
Marshanda berkata lagi, Mmm...tapi... Dia belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena moderator menyela Maaf, Mbak Marshanda. Waktu kita terbatas. Diskusi mungkin bisa dilanjutkan di luar saja.
Oh, gitu? Ya udah. Saya pikir perusahaan-perusahaan lain yang hadir di sini mungkin bisa berbuat lebih baik kalau ada masalah-masalah seperti ini. Terima kasih.
What?!! Gue kayak tersengat. Dia ngomong apa sih?! Maksudnya apa?! Gue nggak ngerti. Nada bicaranya yang terakhir tadi seolah memberi sinyal bahwa kami sebenernya nggak pantes berada di depan sana memberikan ceramah bagaimana mengelola industri yang ramah lingkungan. Memangnya dia siapa? Dan kenapa dia pakai menyebutkan sebagai Duta Lingkungan segala, heh? Gue nggak ngerti.
Seminar terus dilanjutkan. Gue jadi males. Pertanyaan-pertanyaan tadi membayangi benak gue. Akhirnya gue memilih keluar ruangan. Menghirup udara bebas. Tepat di depan ruang seminar itu ada jalan yang menghubungkan lorong di dalam tempat gue berdiri dengan balkon. Balkonnya cukup gedhe. Gue berjalan ke sana. Sesampainya di balkon gue berdiri di tepiannya, lengan gue bersandar ke pegangan, dan gue menatap arah pantai. Gue mengeluarkan sebatang rokok, menyulut, dan menghisapnya. Aahh...this event sucks. Mending gue minta ajarin selancar aja sama itu orang-orang di sana. Gue bergumam saat melihat dari kejauhan ada sekumpulan orang-orang menenteng papan selancar mereka menuju bibir pantai.
Tiba-tiba aja ada suara langkah di belakang gue. Gue menoleh dan kaget setengah mati. Itu Marshanda. Dia juga keluar ruangan. Sekarang dia berjalan.........dan berhenti...berdiri di dekat gue.
Dia lihat gue. Gue bingung mo gimana, akhirnya gue buang muka, pandangin pantai lagi.
Dia bersuara, Bete gue. Di dalem boring abis.
Gue juga keluar barusan. Gue ngejawab. Agak canggung juga gue. Sepertinya dia melihat gue tampak nggak begitu tua jadi dia pakai bahasa lo-gue.
Males banget. Apaan sih. Perusahaan paling ramah lingkungan apaan?! Mereka cuma gitu-gitu doang. Nggak ada ngaruh-ngaruhnya sama penyelamatan lingkungan. Ngapain mereka dijadikan contoh model di sini.
Kuping gua panas. Tapi dia masih melanjutkan. Gue juga tahu kok Bos mereka kayak apa. Hihihih..." Dia menahan ketawa sebentar..."Kayak punya kelainan jiwa gitu deh. Psikopat. Serakah banget. Sodara gua ada yang kerja di situ dan tahu banget kalo Bosnya bajingan. Makanya bosnya itu nggak pernah nongol.
Muka gua udah merah padam. Tangan gue masih memegang rokok, menyentuhkannya ke bibir, menghisapnya sekali lagi, kali ini dalem-dalem. Tangan gue satunya terkepal.
"Namanya, siapa gitu...sodara gue itu pernah cerita...Ferdi...atau Feri...ya...misterius banget dia...mencurigakan. Gue nggak peduli sih sama kepedulian palsu mereka sama pencemaran lingkungan. Cuma gue suka lucu aja ngebayangin psikopat yang mimpin perusahaan segede itu. Kebayang nggak loe? Gue bayangin dia kayak anak autis yang nggak punya temen, apalagi istri, pacar aja nggak punya. Yakin gue. Makanya dia ambisius banget. Berharap bisa dapet cewek kalo punya duit banyak."
Kali ini rokok gue isep lebih dalam lagi....
Marshanda melihat rokok gue terus ngomong, Ngerokok tu nggak ngehargain hak orang lain untuk hidup sehat, tau nggak?
Habislah kesabaran gue. Kata-katanya sudah membuat wajah gue semerah darah sekarang. Gue pergi meninggalkan dia. Gue ke toilet. Cuci muka di wastafel.
***
Im psycho? Bajingan?
Gue ngelap muka gue pakai sapu tangan. Keran wastafel gue matikan...Kata-kata Marshanda masih terngiang-ngiang di kepala gue. Baru kali ini gue denger ada yang ngatain gue seperti itu. Gue....gue merasa....terhina.
Saat itu gue denger suara-suara perempuan mendekat. Gue terhenyak menatap ke arah pintu keluar toilet. Gue yakin mereka ada di depan pintu toilet. Perasaan gue nggak enak. Spontan, Gue masuk ke dalam salah satu bilik toilet, bersembunyi. Dua orang perempuan itu masuk dalam toilet. Lho? Pikir gue..Kok ada perempuan masuk. Ini kan toilet cowok? Atau...gue yang salah masuk toilet.
Mendengar suara mereka gue menebak ada dua orang perempuan. Satu ibu-ibu, satu lagi sepertinya lebih muda. Gue nggak bisa mengidentifikasi suara yang ibu-ibu, tapi gue mengenali suara satunya yang muda.
Suara air mengucur deras dari keran.
Kamu ngobrol sama siapa tadi, Cha?
Nggak kenal juga aku.
Eh, kok di sini malah main mata sama cowok yang nggak dikenal?
Ah, tante apa sih. Aku tadi kebetulan aja ketemu dia di balkon. Udah ah, orangnya aneh juga sih. Agak tulalit. Heran juga kenapa orang kayak dia ada sini. Anaknya pengusaha-pengusaha itu kali ya.
Wah, kan kaya tuh Cha.
Tante gimana sih, kan aku dah bilang orangnya kayak tulalit gitu. Kayaknya dia tipe anak yang bisanya ngabisin duit bokapnya buat balap-balap motor gitu deh. Malesin.
Tangan gue terkepal. Gigi gue bergemeretak. Mereka lagi ngomongin gue.
Beberapa saat kemudian suara keran berhenti. Gue mendengar derap langkah menggema di ruang toilet. Kemudian terdengar pintu terbuka dan menutup. Selanjutnya hening. Gue pelan-pelan keluar dari bilik toilet dan ngacir ke luar. Benar saja, waktu gue cek, ternyata gue salah masuk toilet cewek. Gue beruntung nggak ketangkep basah di dalem tadi.
Gue berjalan kembali ke arah balkon. Di situ gue melihat Marshanda dari belakang..
Marshanda...
Do you think Im psycho?
Bajingan?
Do you really want to know the answer?
***
Gue di kamar sekarang. Rebahan di tempat tidur. Gue udah nggak nafsu ngikutin acara-acara berikutnya. Udah eneg banget. Lagipula perhatian gue sedang terfokus pada satu hal. That bitch yang udah ngata-ngatain gua seenaknya. Marshanda.
Gue berpikir dalam-dalam. Gue memejamkan mata.
Bayangan-bayangan itu terlintas. Gue tersentak sesaat, sama sekali nggak nyangka. Karena sudah berbulan-bulan ini bayangan-bayangan itu tidak pernah mengganggu benak gue. Sekelebat ingatan-ingatan di puncak menyeruak kembali. Sebuah pengalaman pertama yang berjalan sempurna. Gua terbayang betul, detilnya..Mulai dari membopong mereka bertiga. Air liur gua yang mengumpul tatkala melucuti pakaian mereka satu persatu, dan tentu saja, bagian terbaiknya.....Itu sudah lama sekali...Mungkinkah jika gue....
Gue terbangun, duduk di kasur. Kemudian gue mencari koper gue. Betul saja...gue membawa koper yang itu...
Mungkin gue nggak perlu pergi ke Legian untuk membuat malam terakhir gw di Bali ini berkesan selamanya...
***
Jam 10.46. Rangkaian acara sudah selesai. Gue tahu itu karena ketika gue nongkrong di loby gue melihat para peserta acara sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Sebelumnya gue juga sudah berkeliling melakukan survei tempat. Gue sangat beruntung malam ini karena Marshanda sendirian, saudara yang menenemaninya (orang yang dipanggilnya Tante tadi siang di toilet) sudah terlebih dahulu balik ke Jakarta ini dengan penerbangan malam. Beruntung terus ya gua? Well, life loves the bastard.
Gue berdiri dari sofa lobby dan mengembalikan koran ke raknya. Gue masuk ke dalam lift. Tak lama kemudian sampailah gue pada lantai tempat kamar Marshanda berada. Begitu pintu lift membuka gue langsung melihat dia berdiri di depan pintu kamarnya. Arah pandangannya pas banget memergoki gua. Gue kaget langsung membelok di koridor, berhenti di balik tembok, mengamati.
MArshanda dengan gaun hitam, tanpa lengan, bagian dadanya tertutup, tapi bagian punggungnya sedikit terbuka. Sepertinya dia tidak menghiraukan gue. Dia sedang menelepon pakai HP. Gue mendengarkan. Gue menangkap dia sedang ngobrol sama Mamanya. Looks like her Mom is very worried. Putrinya sendirian di sini. Gue denger Marshanda berusaha menenangkan Mamanya bahwa semua akan baik-baik aja, dan akan pulang besok.
Gue tersenyum, membatin, Are you sure, Marshanda?
Kemudian gue denger ia sudah pengen menutup telepon dan masuk ke kamarnya, tapi Mamanya sepertinya masih ingin lebih lama mendengar suara putrinya itu.
Udahlah, Ma..Chaca nggak papa kok sendirian. Udah ya..Chaca mau masuk kamar dulu nih. Ngantuk, dari tadi acaranya padet banget. Apa? Nggak mau ah...udah besok aja. Apa lagi?....
"..."
Gua membatin lagi..Sudahlah...nikmatilah obrolanmu itu. Because maybe it will be you last conversation with your Mom as a virgin
If you are still...Well..sebentar lagi gue akan cari tahu sendiri. Gue ngikik pelan membayangkan apa yang akan gue lakukan.
Akhirnya Marshanda mengucapkan selamat tinggal pada Mamanya. Ini saatnya. Gue melihat Marshanda membelakangi gue, ia sibuk hendak memasukkan kunci. Gue kembali ke lorong mendekat. Lorong hotel sangat sunyi, seperti dugaan gue. Hotel ini terlalu eksklusif.
Marshanda nggak menyadari kehadiran gue yang makin dekat. Ia membuka pintu tepat saat gue menyergap dan membekapnya. Ia terkejut, dan memekik. Reaksi gue lebih cepat.
"Kyyaaaaaaaa!!"
Pintu kamar sudah terbuka. Gue menyeretnya melenggang masuk. Pintu pun tertutup. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam sana.
G tau siapa penulisnya, sekuel yang judulnya ************** ternyata juga ada diblog atas..
Nyari sekuel yang pertama, kisah dodot ama bbb nelum nemu yang lengkap.
Anyway, enjoy this story..
===================================================================
Enam bulan berlalu. Apa aja yang udah gua lakukan? Banyak. Gua sibuk banget. Ketika bisnis mengembang begini pesat, ternyata loe akan semakin pusing menanggungnya. Kondisi beberapa unit sempat kacau sebelum gw akhirnya meng-hire orang untuk membereskan semuanya. Untung bisa beres. Dari situ gua belajar banyak. Orang-orang gua bilang gua kurang perhatiin kondisi internal, maunya maju terus nyerang sana-sini. Gua nyadar emang selama ini gua terlalu agresif menyamber tender tanpa ngelihat kesolidan bisnis gua mulai rubuh. Sekali lagi, untung bisa beres. Dan perlu gua tambahkan: dalam waktu singkat! Satu lagi pembenaran bahwa gua emang hebat.
Jadi, gua bisa pergi ke somewhere in Middle East. Kembali mengembangkan sayap. Yep, Dubai. Bisnis properti pesat di sana. Gua gerah banget kalau nggak bisa nguasain wilayah itu. Thats why gua akhirnya fokus di sana, ngerintis, ngelobi, sampai akhirnya lumayanlah, walau masih belum jalan bagus.
Gua nggak ngikutin berita Indonesia. Walaupun ada berita Indonesia, yang keluar palingan soal politik atau bencana alam gitu. Gua nggak tau nasib tiga cewek yang dulu. I just dont know. Gua rasa mereka nggak ngomong apa-apa ke publik dan itu sesuai rencana gua, walaupun gue juga nggak tahu apakah ada faktor-faktor lain yang membuat perbuatan gua waktu itu tidak berbuah. Gue punya firasat pada suatu hari nanti gue menemukan penjelasannya. Intinya nggak ada berita santer terdengar di media maupun dari temen-temen gua, membuat gue berkesimpulan satu hal: Gw aman. Semua berjalan sesuai skenario.
***
Singkat cerita, setelah hampir satu semester terdampar di Teluk, akhirnya sekarang gua sedang dalam perjalanan balik ke Indonesia. Tepatnya ke Bali. Sedang ada konferensi perubahan iklim di sana. Iya, Indonesia sedang menjadi tuan rumah ICC yang mengundang perwakilan negara-negara di seluruh dunia.
Heh? Global Warming? Climate change my ass! Pikir gua. Gue sebenarnya nggak peduli sama isu lingkungan ini. Jadi kenapa gue harus capek-capek ke sana? Begini ceritanya.
Ini kasus lama. Tiga tahun yang lalu salah satu anak perusahaan gua tersandung kasus polusi udara. Kami dituntut ganti rugi yang cukup membuat gua bangkrut dan harus ngais-ngais makanan dari selokan. Akhirnya di tengah kepusingan gua itu, gue percayakan kasus ini sama tim ahli yang merumuskan solusi gitu. Solusi yang membuat kami nggak usah menuhin total nominal yang dituntut karena ada kompensasi pembenahan pabrik gitu deh. Kalau pembenahan ini gagal, kami harus menuhin tuntutan tanpa syarat. Beruntung bagi gue, solusi udah diuji coba tiga tahun ini dan berhasil, pabrik itu jadi pabrik terbersih se-Indonesia (mungkin, nggak pernah ngecek sih). Pabrik itu kini nggak lagi menyebabkan pencemaran udara.
Kasus itu jadi terkenal, dan sering digadang-gadangkan jadi contoh buat industri lain supaya ramah lingkungan.
Akhirnya di Bali, pas momen konferensi internasional itu, dibikin juga pertemuan-pertemuan lain yang sifatnya lebih sekunder. Salah satunya itu bertajuk Menuju industri yang ramah lingkungan. Dan sudah bisa ditebak, kami diundang.
Gue sebenarnya nggak pernah tampil di depan umum. Gua nggak terkenal. Gue suka di belakang layar aja dan menyuruh anak buah gua yang tampil. Tapi kali ini orang yang bener-bener ngerti persoalan, alias tim ahli tadi, entah kenapa tiba-tiba nyalinya menciut. Dan mereka memohon gue ada di sana bersama mereka. Kata mereka sih, mereka pada takut sama aktivis-aktivis lingkungan radikal yang benci sama korporat.
Phew...Yaaa udahlah, gue dateng, tapi gue bilang ke mereka kalau gua nggak akan mau diekspose. Biar mereka aja yang jadi sorotan. Kan enak juga, gua datang ke sana, sekalian liburan.
ZZZZzzzztttt....Cerita gue percepat. Gua sampai Bali siang menjelang sore. Ada yang ngejemput gue dari pihak panitia. Terus gue dianterin ke Hotel. Lokasinya cukup asyik karena deket pantai. Gua agak kaget juga waktu dikasi tahu kalau di hotel itu juga lah tempat pertemuan itu diadakan. Lhah, terkurung di sana terus dong?
Nanti ada waktu kosong, Pak. Panitianya menenangkan gua. Oooh. "Kapan?" Tanya gue. "Setelah ini juga kami persilakan kalau Bapak mau jalan-jalan." katanya...Ooohh.
Gw diantar ke kamar. Setelah gue dikasi kunci, gue said thanks ke dia. Si panitia itu bilang sekitar jam delapanan akan ngejemput gue untuk jamuan makan malam di bawah. Gue bilang 'oke'. Terus dia pamit meninggalkan gue sendirian di kamar. Kamarnya standar. Nggak norak-norak amat. Seperti biasa, corak Bali selalu dipaksain hadir di setiap hotel Bali yang gua datangin. Ini bukan pertama kalinya gue nginep di Bali jadi gue nggak begitu heran. Cuma satu hal yang bikin gua cengok adalah ada pemanas ruangan! Here, in Bali, yang 'anget', ada bisnismen tolol yang memasang pemanas ruangan di setiap kamar hotelnya! Gue ketawa.
Di kamar gua langsung mandi terus nonton TV. Gue pantengin berita tentang saham dunia di kabel. Terus ganti ke HBO. TErus ganti ke yang nayangin fashion. Tapi nggak lama kemudian akhirnya nyadar kalau itu perbuatan bodoh. Asyik aja gua udah di Bali, lusa udah harus pulang, dan gua ngendon di kamar?? Huh. Gua ganti baju, keluar kamar, dan bergegas ke pantai.
Di pantai....
Matahari hampir terbenam. Gua berdiri liat-liat sekitar. Gua nyadar kalau pantai ini bukan seperti pantai Kuta atau lainnya yang biasa dipakai wisata. Nggak banyak orang yang main ke sini, paling ya orang-orang yang nginep di Hotel tadi. Di mana-mana gua masih ngelihat nelayan dan perahunya. Mereka siap-siap mau melaut malam ini.
Di situlah gua ngelihat dia...... Kehadirannya mencolok banget di pantai ini. Berbaju pink ketat dan jeans dia berjalan menuju bibir pantai. Gua mengenali dia tapi lupa namanya. Gue tahu aja dia dulunya waktu kecil pernah nongol di TV. Dan sudah lama gua nggak tahu kabar-kabar tentang dia.
Ah, Marshanda ya? Gua inget. Wah, gue pangling karena seinget gue dia adalah artis cilik yang main sinetron sama Ayu Azhari di Bidadari. Wuih, cantik juga kalau udah gedhe. Usianya yang bertambah membuat lekukan cantik wajahnya terlihat semakin tegas. Pahatan tubuhnya juga meliuk-liuk mempermainkan mata gua. Ck, menggoda. Gue nelen ludah. Apa yang dia lakukan di sini ya?
Gua berjalan mendekat, tapi gue juga berusaha tidak terlihat. Gua baru nyadar kalau di belakangnya ada rombongan orang yang mengikuti. Mereka berjalan ke arah nelayan-nelayan yang gua perhatikan tadi. Beberapa dari mereka gua yakin adalah wartawan, melihat perlengkapan jurnalis mereka yang tertenteng. Satu-dua yang lain gua nggak tahu. Menurut gue mereka orang dinas entah apa. Berseragam nggak banget...
Gue makin mendekat. Mereka sudah berada bersama kelompok nelayan yang gue lihat bersiap-siap melaut tadi. Bercakap-cakap. Beberapa dari mereka terlihat menanyakan beberapa hal ke salah seorang nelayan yang mereka hampiri. Marshanda juga ikut bersama mereka. Gue berusaha nguping. Mereka sepertinya lagi ngomongin dampak perubahan iklim dengan aktivitas melaut nelayan tersebut. Para wartawan sibuk memotret dan mencatat.
Perbincangan itu nggak lama karena matahari udah terbenam. Nelayan itu berkata sesuatu yang intinya angin sedang bagus jadi mereka nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melaut. Akhirnya nelayan itu memisahkan diri dengan rombongannya Marshanda. Mereka yang lain pun pergi , berjalan menjauhi pantai.
Marshanda mengikuti, tapi sebelumnya dia mengambil satu cangkang kerang, dan melemparnya ke arah ombak...Dia tertawa terkikik-kikik. Kemudian ia menyusul rombongan lain yang tadi menghentikan langkah mereka hanya untuk menunggu Marshanda.
Gue bengong. Oke, what its all about?
***
Gue balik ke kamar. Ada koneksi internet di sana. Sesampainya di kamar gue online. Cek email, banyak surat yang belum gue baca. Sekitar dua jam gue habiskan untuk merespon surat-surat elektronik itu. Setelah kelar gue teringat dengan peristiwa sore tadi. Penasaran gua ama Marshanda. Jadi gue search dia di Google. Ada banyak entri yang keluar. Gue baca satu persatu. Yang nggak penting gue lewatin, terutama soal gosip-gosip. Gue fokuskan pada yang memberi keterangan soal kejadian di pantai tadi. Sampai akhirnya gue nemu artikel-artikel yang mungkin ngasi gue jawaban. Gue juga nggak tau persis, hanya ini menarik bagi gue karena ada informasi yang gue baru tahu. Marshanda, artis yang kini beranjak remaja, itu kini juga mendapat predikat lain. Duta Lingkungan. Oke, maybe that explain kenapa dia ada di pantai tadi.
Tapi, apaan tuh Duta Lingkungan? Nggak ngerti gua.
***
Jam setengah delapan malem, WITA, gue didatangi panitia, diingetin, katanya setengah jam lagi ada malam jamuan gitu di bawah. Gue bilang belum siap-siap, jadi gue nyusul aja. Gue bersiap-siap dan pergi ke sana setengah jam berikutnya. Di sana gue bertemu orang-orang gue (yang kerja sama gue). Gue udah sering datang ke malam jamuan gini, gue kasih tahu aja ke mereka supaya jangan memperlihatkan kalau gua adalah bos mereka yang sebenarnya. Mereka bingung, tapi gue yakinkan bahwa gua cuma nggak mau terkespose aja.
Jamuan itu diadakan di kebun, di lantai dasar hotel. Kursi disusun dalam lingkaran-lingkaran mengelilingi meja bundar bertaplak putih. Gue duduk deket orang-orang gue tadi. Agak males aja duduk deket orang asing dan ditanyain darimana. Gue lagi nggak minat menjalin relasi baru di sini.
Dan gue melihat dia lagi....Marshanda...Kali ini tidak seperti sore tadi, tubuhnya tertutup jaket cokelat yang risletingnya dibiarkan terbuka. Di dalamnya ia mengenakan baju terusan bercorak merah muda. Namun rok terusannya itu tersingkap kala ia menyilangkan kaki, memperlihatkan paha yang begitu terawat. Darah gue tersirap. Jari-jari gue bergerak-gerak otomatis. Shit!
"Selamat malam hadirin sekalian!"
Acara dimulai oleh MC, buyarlah lamunan jorok gue. Lalu dimulailah rentetan sambutan membosankan dari macam-macam orang. Pejabat ini lah, itu lah. Terakhir ada Menteri Lingkungan Hidup juga. Orang yang terakhir gue sebut ini menarik perhatian gue karena ia menyinggung soal Marshanda. Diselipi guyonan garingnya, dia bilang bangga dengannya sebagai Duta Lingkungan dan berharap Marshanda bisa mengajak generasi muda lainnya untuk lebih mencintai lingkungan.
Bangga? Gue keheranan. Memangnya apa yang dia lakukan, heh? Gue ngelirik Marshanda, dia tersipu-sipu malu.
Acara dilanjutkan dengan makan-makan dan hiburan. Ada satu dua band yang main. Marshanda juga naik ke panggung dan menyanyikan beberapa lagu. Di sela-sela lagu dia sempat menyinggung soal penyelamatan lingkungan...yang bagi gue terasa...nonsense. Ya udahlah ya.. gue tetep nikmatin penampilannya. Gue nggak peduli suaranya sih sebenarnya. Gue rasa dia pandai tebar pesona. CAntik juga. Dada gue berdegup.
Jam sebelas malam gue masuk kamar lagi. Melanjutkan googling gue. Gue masih penasaran sama dia. Memangnya apa yang sudah cewek ini lakukan hei Duta Lingkungan?
Lewat tengah malam akhirnya gua tidur.
***
Keesokan harinya gue mulai merasa nggak enak. Firasat yang mengatakan bahwa gue akan terkurung di sekitar hotel bener adanya. Gue harus ikut aja semua acara yang diadain panitia, entah sampai kapan. Pagi gue udah digiring dateng ke pameran teknologi ramah lingkungan yang diadakan di hotel itu juga sampai siang. Di ruang pameran gua cek jadwal, ini masih dilanjutkan sama seminar siangnya sampai sore, dan malamnya masih lanjut ada acara. Gue jadi kecewa. Besok gue pulang, di Bali jadi nggak ngapa-ngapain. Come on, at least mo maen ke bar seru di Legian aja masa nggak bisa?
Gue nggak protes sih. Kesannya gimana gitu kalau gua protes kok nggak ada main-mainnya?. Gue sempat kepikiran mau ngabur. Setelah gue pikir-pikir akhirnya gue memutuskan untuk kabur habis seminar aja. Soalnya di seminar itulah Company gue jual diri. Salah satu orang gue jadi pembicaranya.
Acara di pameran udah selesai, setelah istirahat sebentar akhirnya kita masuk ke seminar room. Meja dan kursi ditata layaknya jamuan di malam sebelumnya. Gue duduk di salah satu kursi, agak jauh di belakang tempat pembicara. Gue memperhatikan sekeliling. Tata meja ini mengingatkan gue akan Marshanda di malam itu.
Bener aja, dia memang hadir sekarang. Gue telat nyadar soalnya dia duduk di depan, dan gue kurang familiar dengan posturnya dari belakang. Gue baru tahu ketika sekilas ia menoleh ke belakang. Rambutnya terurai. Wajah manisnya masuk dalam pandangan gue. Ia memakai gaun merah muda. Gue menyesal nggak cari tempat duduk agak depanan dikit tadi.
Sudahlah. Seminar itu dimulai. Gue nggak banyak ngedengerin. Bahkan gue ketiduran cukup lama. Suara tepuk tangan yang membangunkan gue. Gue bangun mencoba cari tahu ada apa. Ternyata orang gue sedang ngomong, dan sepertinya ia sudah sampai pada bagian yang membuat orang-orang di sini terkesan. Mungkin something tentang industri kami yang berubah jadi lebih hijau. Nggak tau deh. Yang jelas gue jadi bangga juga.
Kemudian dibukalah sesi tanya jawab. Muncul beberapa pertanyaan standar. Gue nggak begitu merhatiin. Orang gue menjawabnya dengan fasih. Fokus gue muncul ketika pertanyaan berikutnya diajukan. Kali ini yang mengangkat tangan Marshanda. Bukan cuma gue yang bereaksi. Orang-orang lain juga kasak-kusuk.
Dia mau ngomong apa?
Suaranya halus mengalun merdu, Terima kasih. Emm...Saya sebagai Duta Lingkungan mau tanya, dulu saya pernah berkunjung ke tempat masyarakat yang terkena polusi di pabrik milik perusahaan Bapak. Kondisi airnya masih tidak layak untuk dipakai rumah tangga. Saya melihatnya jadi kasihan. Apakah tidak ada kebijakan untuk membantu masyarakat itu?
Anak buah gue menjawab,Tentu kita membantu. Kita sudah memberi ganti rugi sesuai keputusan.
Gue puas dengan jawaban anak buah gue itu, tapi Marshanda masih memegang mike-nya, Tapi orang-orang di situ bilang katanya ganti rugi cuma bisa menutup pengobatan sakit yang mereka derita akibat polusi sebelumnya. Seharusnya mereka bisa dapat jauh lebih banyak lagi. Soalnya sisa-sisa dari polusi masih mereka rasakan. Saya waktu dateng ke sana itu prihatin sama mereka.
Anak buah gue menjawab lagi, Sesuai keputusan pengadilan, apabila kita menghadirkan solusi pemberhentian polusi maka kita hanya akan membayar ganti rugi 10% dari yang dituntut. Jadi masalah itu sudah selesai, Mbak.
Marshanda berkata lagi, Mmm...tapi... Dia belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena moderator menyela Maaf, Mbak Marshanda. Waktu kita terbatas. Diskusi mungkin bisa dilanjutkan di luar saja.
Oh, gitu? Ya udah. Saya pikir perusahaan-perusahaan lain yang hadir di sini mungkin bisa berbuat lebih baik kalau ada masalah-masalah seperti ini. Terima kasih.
What?!! Gue kayak tersengat. Dia ngomong apa sih?! Maksudnya apa?! Gue nggak ngerti. Nada bicaranya yang terakhir tadi seolah memberi sinyal bahwa kami sebenernya nggak pantes berada di depan sana memberikan ceramah bagaimana mengelola industri yang ramah lingkungan. Memangnya dia siapa? Dan kenapa dia pakai menyebutkan sebagai Duta Lingkungan segala, heh? Gue nggak ngerti.
Seminar terus dilanjutkan. Gue jadi males. Pertanyaan-pertanyaan tadi membayangi benak gue. Akhirnya gue memilih keluar ruangan. Menghirup udara bebas. Tepat di depan ruang seminar itu ada jalan yang menghubungkan lorong di dalam tempat gue berdiri dengan balkon. Balkonnya cukup gedhe. Gue berjalan ke sana. Sesampainya di balkon gue berdiri di tepiannya, lengan gue bersandar ke pegangan, dan gue menatap arah pantai. Gue mengeluarkan sebatang rokok, menyulut, dan menghisapnya. Aahh...this event sucks. Mending gue minta ajarin selancar aja sama itu orang-orang di sana. Gue bergumam saat melihat dari kejauhan ada sekumpulan orang-orang menenteng papan selancar mereka menuju bibir pantai.
Tiba-tiba aja ada suara langkah di belakang gue. Gue menoleh dan kaget setengah mati. Itu Marshanda. Dia juga keluar ruangan. Sekarang dia berjalan.........dan berhenti...berdiri di dekat gue.
Dia lihat gue. Gue bingung mo gimana, akhirnya gue buang muka, pandangin pantai lagi.
Dia bersuara, Bete gue. Di dalem boring abis.
Gue juga keluar barusan. Gue ngejawab. Agak canggung juga gue. Sepertinya dia melihat gue tampak nggak begitu tua jadi dia pakai bahasa lo-gue.
Males banget. Apaan sih. Perusahaan paling ramah lingkungan apaan?! Mereka cuma gitu-gitu doang. Nggak ada ngaruh-ngaruhnya sama penyelamatan lingkungan. Ngapain mereka dijadikan contoh model di sini.
Kuping gua panas. Tapi dia masih melanjutkan. Gue juga tahu kok Bos mereka kayak apa. Hihihih..." Dia menahan ketawa sebentar..."Kayak punya kelainan jiwa gitu deh. Psikopat. Serakah banget. Sodara gua ada yang kerja di situ dan tahu banget kalo Bosnya bajingan. Makanya bosnya itu nggak pernah nongol.
Muka gua udah merah padam. Tangan gue masih memegang rokok, menyentuhkannya ke bibir, menghisapnya sekali lagi, kali ini dalem-dalem. Tangan gue satunya terkepal.
"Namanya, siapa gitu...sodara gue itu pernah cerita...Ferdi...atau Feri...ya...misterius banget dia...mencurigakan. Gue nggak peduli sih sama kepedulian palsu mereka sama pencemaran lingkungan. Cuma gue suka lucu aja ngebayangin psikopat yang mimpin perusahaan segede itu. Kebayang nggak loe? Gue bayangin dia kayak anak autis yang nggak punya temen, apalagi istri, pacar aja nggak punya. Yakin gue. Makanya dia ambisius banget. Berharap bisa dapet cewek kalo punya duit banyak."
Kali ini rokok gue isep lebih dalam lagi....
Marshanda melihat rokok gue terus ngomong, Ngerokok tu nggak ngehargain hak orang lain untuk hidup sehat, tau nggak?
Habislah kesabaran gue. Kata-katanya sudah membuat wajah gue semerah darah sekarang. Gue pergi meninggalkan dia. Gue ke toilet. Cuci muka di wastafel.
***
Im psycho? Bajingan?
Gue ngelap muka gue pakai sapu tangan. Keran wastafel gue matikan...Kata-kata Marshanda masih terngiang-ngiang di kepala gue. Baru kali ini gue denger ada yang ngatain gue seperti itu. Gue....gue merasa....terhina.
Saat itu gue denger suara-suara perempuan mendekat. Gue terhenyak menatap ke arah pintu keluar toilet. Gue yakin mereka ada di depan pintu toilet. Perasaan gue nggak enak. Spontan, Gue masuk ke dalam salah satu bilik toilet, bersembunyi. Dua orang perempuan itu masuk dalam toilet. Lho? Pikir gue..Kok ada perempuan masuk. Ini kan toilet cowok? Atau...gue yang salah masuk toilet.
Mendengar suara mereka gue menebak ada dua orang perempuan. Satu ibu-ibu, satu lagi sepertinya lebih muda. Gue nggak bisa mengidentifikasi suara yang ibu-ibu, tapi gue mengenali suara satunya yang muda.
Suara air mengucur deras dari keran.
Kamu ngobrol sama siapa tadi, Cha?
Nggak kenal juga aku.
Eh, kok di sini malah main mata sama cowok yang nggak dikenal?
Ah, tante apa sih. Aku tadi kebetulan aja ketemu dia di balkon. Udah ah, orangnya aneh juga sih. Agak tulalit. Heran juga kenapa orang kayak dia ada sini. Anaknya pengusaha-pengusaha itu kali ya.
Wah, kan kaya tuh Cha.
Tante gimana sih, kan aku dah bilang orangnya kayak tulalit gitu. Kayaknya dia tipe anak yang bisanya ngabisin duit bokapnya buat balap-balap motor gitu deh. Malesin.
Tangan gue terkepal. Gigi gue bergemeretak. Mereka lagi ngomongin gue.
Beberapa saat kemudian suara keran berhenti. Gue mendengar derap langkah menggema di ruang toilet. Kemudian terdengar pintu terbuka dan menutup. Selanjutnya hening. Gue pelan-pelan keluar dari bilik toilet dan ngacir ke luar. Benar saja, waktu gue cek, ternyata gue salah masuk toilet cewek. Gue beruntung nggak ketangkep basah di dalem tadi.
Gue berjalan kembali ke arah balkon. Di situ gue melihat Marshanda dari belakang..
Marshanda...
Do you think Im psycho?
Bajingan?
Do you really want to know the answer?
***
Gue di kamar sekarang. Rebahan di tempat tidur. Gue udah nggak nafsu ngikutin acara-acara berikutnya. Udah eneg banget. Lagipula perhatian gue sedang terfokus pada satu hal. That bitch yang udah ngata-ngatain gua seenaknya. Marshanda.
Gue berpikir dalam-dalam. Gue memejamkan mata.
Bayangan-bayangan itu terlintas. Gue tersentak sesaat, sama sekali nggak nyangka. Karena sudah berbulan-bulan ini bayangan-bayangan itu tidak pernah mengganggu benak gue. Sekelebat ingatan-ingatan di puncak menyeruak kembali. Sebuah pengalaman pertama yang berjalan sempurna. Gua terbayang betul, detilnya..Mulai dari membopong mereka bertiga. Air liur gua yang mengumpul tatkala melucuti pakaian mereka satu persatu, dan tentu saja, bagian terbaiknya.....Itu sudah lama sekali...Mungkinkah jika gue....
Gue terbangun, duduk di kasur. Kemudian gue mencari koper gue. Betul saja...gue membawa koper yang itu...
Mungkin gue nggak perlu pergi ke Legian untuk membuat malam terakhir gw di Bali ini berkesan selamanya...
***
Jam 10.46. Rangkaian acara sudah selesai. Gue tahu itu karena ketika gue nongkrong di loby gue melihat para peserta acara sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Sebelumnya gue juga sudah berkeliling melakukan survei tempat. Gue sangat beruntung malam ini karena Marshanda sendirian, saudara yang menenemaninya (orang yang dipanggilnya Tante tadi siang di toilet) sudah terlebih dahulu balik ke Jakarta ini dengan penerbangan malam. Beruntung terus ya gua? Well, life loves the bastard.
Gue berdiri dari sofa lobby dan mengembalikan koran ke raknya. Gue masuk ke dalam lift. Tak lama kemudian sampailah gue pada lantai tempat kamar Marshanda berada. Begitu pintu lift membuka gue langsung melihat dia berdiri di depan pintu kamarnya. Arah pandangannya pas banget memergoki gua. Gue kaget langsung membelok di koridor, berhenti di balik tembok, mengamati.
MArshanda dengan gaun hitam, tanpa lengan, bagian dadanya tertutup, tapi bagian punggungnya sedikit terbuka. Sepertinya dia tidak menghiraukan gue. Dia sedang menelepon pakai HP. Gue mendengarkan. Gue menangkap dia sedang ngobrol sama Mamanya. Looks like her Mom is very worried. Putrinya sendirian di sini. Gue denger Marshanda berusaha menenangkan Mamanya bahwa semua akan baik-baik aja, dan akan pulang besok.
Gue tersenyum, membatin, Are you sure, Marshanda?
Kemudian gue denger ia sudah pengen menutup telepon dan masuk ke kamarnya, tapi Mamanya sepertinya masih ingin lebih lama mendengar suara putrinya itu.
Udahlah, Ma..Chaca nggak papa kok sendirian. Udah ya..Chaca mau masuk kamar dulu nih. Ngantuk, dari tadi acaranya padet banget. Apa? Nggak mau ah...udah besok aja. Apa lagi?....
"..."
Gua membatin lagi..Sudahlah...nikmatilah obrolanmu itu. Because maybe it will be you last conversation with your Mom as a virgin
If you are still...Well..sebentar lagi gue akan cari tahu sendiri. Gue ngikik pelan membayangkan apa yang akan gue lakukan.
Akhirnya Marshanda mengucapkan selamat tinggal pada Mamanya. Ini saatnya. Gue melihat Marshanda membelakangi gue, ia sibuk hendak memasukkan kunci. Gue kembali ke lorong mendekat. Lorong hotel sangat sunyi, seperti dugaan gue. Hotel ini terlalu eksklusif.
Marshanda nggak menyadari kehadiran gue yang makin dekat. Ia membuka pintu tepat saat gue menyergap dan membekapnya. Ia terkejut, dan memekik. Reaksi gue lebih cepat.
"Kyyaaaaaaaa!!"
Pintu kamar sudah terbuka. Gue menyeretnya melenggang masuk. Pintu pun tertutup. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam sana.