Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Bengong bingung bangun
Om DH.... Ngemeng-ngemeng kapan nih updatenyahhhh............. ?????????
Up
.
.
.
Up
.
.
.
Up
.
.
.
Ayo suhu DH semangaaaattttt !!!!!!?!!??
 
Monggo di update suhu, semoga terbiasa dengan fitur baru
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Suhu don naik gunung y

Titip air kehudupan y suhu
 
Scene 6
Jaded



Winda shirina ardeliana


”Eh... ke-kenapa Wind?” tanyaku.


“Tas Winda, masih di ruang kuliah. Tadi winda tinggalin disana. Anterin, takuuuuut,” manja sekali.


Kami baru sampai di lantai dua ketika Winda menarik tanganku dengan kuat. Ternyata tasnya tertinggal di kelas. Kalau sudah begini, terpaksa aku menurutinya.


“I-iya..” aduh kenapa aku kelihatan culun lagi ya, gagap seperti ini


Aku mengantarnya menuju ruang kuliah. Menunggu di depan ruang kuliah. bersandar pada kusen pintu. Memang perempuan itu lebih ribet dari laki-laki. Tinggal ambil tas saja, harus mengambil kaca, dandan lagi. Dasar makhluk ribet, huh.


Sesaat kemudian dia berbalik. Berjalan ke arahku. Berdiri tegak dengan kedua tangan berada di belakang tubuh. Senyumnya mengembang, aku malah jadi grogi sendiri dengan Winda. Tiba-tiba tangan kanannya meraih tangan kiriku.


“Yuk...” ucapnya dengan nada penuh semangat.


“I-iya...”benar-benar gugup aku dibuatnya.


Berdua berjalan menyusuri jalan menuju tempat parkir. Tangannya, yang menggenggam pergelangan tanganku, mengayun-ayun layaknya seorang gadis kecil yang berjalan dengan riang. Senyumnya tak pernah pudar selama kami berjalan berdua. Hingga akhirnya sampai, aku dan dia, sampai ditempat parkir.


Didekat sebuah taman yang memanjang, sebagai pembatas antara tempat parkir dan jalanan kampus. Dengan cahaya kuning dari lampu menghiasi tempat parkir.


“Sudah sampe, sekarang kamu masuk ke mobil dan pulang ya?” ujarku.


Tiba-tiba dia duduk, dengan kedua tangan memeluk kakinya. Wajahnya dia masukan diantas kedua lengan tangannya.


“Wi-Wind, kenapa Wind?” tanyaku.


“Anterinmmmmhhh!” ucapnya.


“Lha, itu, anu, tapi kan Winda pake mobil terus aku pake motor, kan ya ndak mungkin kan? Mending Winda pakai mobil Winda saja pulangnya, kalau pakai motor nanti mobilnya yang bawa siapa?” rayuku, agar dia mau bangun. Tapi dia malah menggelengkan kepalanya, suara tangisnya mulai terdengar. Benar-benar situasi sekarang ini membuatku sangat bingung.


Aku masih berdiri didepannya. Menggaruk kepalaku, karena tak mungkin aku meninggalkan motorku disini. kalau aku tinggalkan, besok kalau aku mau jalan-jalan, susah jadinya. Bingung juga. Iseng, aku mengambil sulur tanaman disampingnya. Aku kemudian berjongkok didepannya, aku bersihkan sulur tanaman tersebut dan kemudian aku buat sebuah mahkota.


“Ini, aku beri hadiah buat kamu,” ucapku, sembari meletekan mahkota buatanku di atas kepalanya.


“Sudah jangan nangis lagi,” ucapku tersenyum, dengan kedua tangan memeluk kedua kakiku.


“Aku takut...” jawabnya disela isak tangisnya.


“Jangan takut,” ucapku, menarik kedua tangannya dan aku turunkan diatas kedua tempurung kakiknya.


“Eh..” dia sedikit terkejut ketika kedua tangannya aku tarik.


Aku kemudian aku berdiri, mengulurkan kedua tanganku untuk membantunya berdiri.


“Sudah sini berdiri, aku akan temani kamu,” ucapku.


Aku heran, ketika dia mengangkat wajahnya memandangku, wajah yang sedikit basah karena air matanya. Dia sedikit terkejut. Kedua tangannya sedikit gemetar ketika diangkat dan diletakan diatas kedua telapak tanganku. Tapi aku tetap tersenyum kepadanya. Perlahan dia berdiri.


“Tapi kamu...” ucapnya.


Srrk...


Mahkota itu jatuh, satu tangannya menangkap mahkota buatanku. Dia genggam. Dilihatnya. Entah, ada setan apa tiba-tiba saja raut mukanya berubah drastis. Dia tiba-tiba tersenyum. Diletakannya lagi mahkota tersebut diatas kepalanya. Dia tersenyum memandangku, kemudian meraih tanganku kembali.


“Ada apa?” tanyaku


“Tapi Arta janji, temani Winda,” ucapnya.


“Iya Arta temani pulang,” jawabku. Tambah heran lagi, kedua tanganku diremas.


“bukan... Winda gak peduli, Arta teman siapa milik siapa, yang jelas Arta harus temani Winda terus,” ucapnya, terlihat sangat manja dengan senyum manisnya.


“Maksudnya?” tanyaku.


“Janji?” kembali dia melontarkan sebuah kata yang sebenarnya aku tidak mengerti maksud dan tujuannya.


“Janji apaan? Wind, kamu ndak papa kan?” tanyaku kembali.


“Janji temani Winda apapun yang terjadi.”


Winda tersenyum melihatku. Matanya bulat indah seperti memancarkan cahaya malam.


“Iya, Arta janji. dah sekarang pulang Arta anterin, tapi Winda pakai mobil, nanti Arta dibelakang Winda atau sebaliknya. Arta mau,” ucapku daripada kelamaan di kampus.


“Janji Arta mau nemeni Winda apapun yang terjadi?”


Aku jadi bingung ketika Winda melontarkan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya. Apa dia nembak aku ya?


“Maksudnya Arta disuruh nemenin Winda, kaya Si Ron... eh, itu nemenin Winda gitu?” tanyaku, dia menggeleng


“Janji Arta mau menemani Winda apapun yang terjadi? Jangan pernah ninggalin Winda sendirian, jagain Winda. Walau Winda tahu, Winda hanyalah sahabat Arta” terangnya kepadaku. dan baru aku mengerti. Ah sial, kadang otakku kalau masalah kuliah selalu ‘jalan’ dengan baik tapi kenapa urusan dengan perempuan otakku seperti mesin karatan ya?


“Iya Arta janji, akan selalu menemani Winda, apapun yang terjadi” ucapku tersenyum.


Dengan cepat dia menarikku, memeluk tangan kiriku menuju ke mobilnya. Kepalanya bersandar pada lenganku selama melangkah ke mobilnya. Cuma mobil dia saja yang ada ditempat parkir mahasiswa.


“Arta didepan Winda, terus nganter Winda sampe kos ya?” pintanya setelah membuka pintu dan memasukan tasnya.


“Lha, kan aku kan ndak tahu jalannya Wind?” balasku.


“Arta gimana sih, kan dulu pernah ke kos Winda. Masa gak tahu jalan?” ucapnya sedikit cemberut. Ya, walaupun sebenarnya aku sudah keliling ibu kota, bukan berarti aku hafal semua jalan.


“Begini saja, Winda jalan dulu nanti Arta dibelakang Winda, gimana?” tawarku.


Kedua pipinya menggelembung. Wajahnya sedikit tertunduk dengan dua bola mata memandangku tajam.


“Nanti Arta ninggalin Winda, gitu kan?” ucapnya.


“Yaelah... enggak Wind, aku memang ndak tahu jalannya. Sudah, Winda naik sekarang dan Arta dibelakang, ngikuti Winda. Dah cepet dah malam, ya?” aku mencoba meyakinkannya.


Dia tersenyum dan mengangguk. Aku kembali dengan pikiran yang entah kenapa meraskan keanehan pada Winda. Dia tiba-tiba saja senyum-senyum sendiri setelah aku buatkan mahkota. Ada sesuatu yang aneh ya dengan mahkota itu? Masa bodohlah. Segera aku menaiki Varitem, menunggu mobil Winda melewatiku. Sembari menunggu aku pasang ear phone untuk menikmati musik rock lawas dari smartphone.


Sesaat kemuian sedan itu berjalan dan aku mengikutinya. Mobil melaju pelan dan aku sangat menikmati perjalanan ini. Aku bukan tipe orang yang suka tergesa-gesa, lebih baik santai karena waktuku masih lama. Dan ketika lampu merah menyala adalah sebuah kesempatan bagiku untuk menyalakan dunhill. Benar-benar segar sekali.



Hey j-j-jaded, you got your mama's style

But you're yesterday's child to me

So jaded

You think that's where it's at

But is that where it's supposed to be

You're gettin' it all over me, ex-rated



My my baby blue

Yeah I been thinkin' about you

My my baby blue

Yeah you're so jaded

And I'm the one that jaded you


Hey j-j-jaded

In all it's misery

It will always be what I love and hated

And maybe take a ride to the other side

We're thinkin' of

We'll slip into the velvet glove

And be jaded


My my baby blue

Yeah I'm thinkin' about you

My my baby blue

Yeah I'm so jaded

And baby I'm afraid of you


Your thinking's so complicated

I've had it all up to here

But it's so overrated

Love and hated

Wouldn't trade it

Love me jaded


Hey j-j-jaded

There ain't no baby please

When I'm shootin' the breeze with her

When everything you see is a blur

And ecstasy's what you prefer


My my baby blue

Yeah I'm talkin' about you

My my baby blue

Yeah I've been thinkin' about you

My my baby blue

Yeah you're so jaded



“Dasar si manja,” bathinku.


Sesampainya di kos Winda, aku parkir motorku didepan pintu gerbang. Aku turun dan mendekati Winda yang sudah berdiri samping pintu mobilnya.


“Sudah ya Wind, aku pulang dulu,” ucapku, pamit ke Winda. Tapi dia menggelengkan kepala.


“Lho? Dah malam Wind, ndak enak sama penghuni kos yang lain,” sedikit protesku.


“Arta gak boleh pulang, nginep sini, temenin WInda. Winda masih takut, masih sedih.”


Wajahnya terlihat sangat manja. Aku malah kebingungan. Ditambah lagi ada beberapa penghuni kos yang sedang melihat kami.


“Sudah gak papa, Lagian temen kos Winda juga pada nginepin pacarnya. Pokoknya temeni Winda malam ini!” paksanya. Tubuhnya berbalik membelakangiku sambil bersedekap.


“Ta-tapi kan, itu, anu...” sikapnya membuatku bingung, ditambah lagi banyak mata tertuju kepada kami berdua.


“Ar...” ucapnya lirih.


“I-iya Wind,” jawabku.


“Itu kalau lompat dari lantai atas kosku, jadinya cacat apa mati?” tiba-tiba saja dia mengucapkan kata-kata yang seharusnya sudah dia lupakan. Kepalaku mendongak ke atas. Kos dua lantai, lantai dasar dan lantai dua. Jantungku langsung berdegup kencang.


“Aku nginap,” ucapku, sembari membalikan badan dan memasukan motorku kedalam kosnya.


Winda berbalik dan tersenyum kepadaku. Menghampiriku yang baru saja memasukan motor. Tepat ketika turun, tangannya menarikku. Digandengnya dan disandarkan kepalanya di lenganku. Semua mata tertuju padaku dan Winda, beberapa ada yang menggoda. Aku cuma bisa senyum, dan menjawab kalau aku teman dari Winda.


Kleeek...


Kamar ini, Kamar teman cewek pertama yang aku masuki semenjak aku menginjakan kaki di ibu kota. Tata letaknya masih sama dan aroma wanginya pun masih sama, aroma parfum Winda. Mungkin dia menyemprotkan juga di dalam kamar ini. Ku hela nafas panjang.


“Kok berdiri, duduk Ar. Winda mau ganti baju dulu,” ucapnya.


“Eh, aku keluar dulu saja,” balasku.


“Sudah, disitu saja lagian kan ada kamar mandinya disini. iiih... Arta pasti mikir mesum,” ucapnya. Jadi keinget sama Desy.


“Hadeeeeh... iya,” aku duduk di karpet bulu putih.


Ku raih remote TV yang tergeletak di karpet. Memang belum disuruh sama Winda, daripada nganggur, lebih baik menyalakan televisi dan nonton apapun itu yang sedang ditayangkan. Mataku tertuju pada acara televisi. Pikiranku beranjak dari tempatku duduk. Satu yang membuatku heran. Winda lebih manja, apa karena aku menyelamatkannya tadi? tapi setelah dari atap gedung, dia biasa-biasa saja.


Yang membuatku lebih heran lagi masalah janji itu. Kenapa tiba-tiba dia bisa berkata seperti itu. Kalau dirunut lagi kebelakang. Eh, ada yang lebih aneh lagi. Kok dia sudah tidak kelihatan takut lagi ya? Hmmm... apa ada kaitannya dengan mah...


Kleeek...


“Eh...” aku sedikit terkejut dan tersadar dari lamunanku.


“Ar, sudah maem?” tanyanya.


Ketika aku mataku melihatnya, membuatku terpaku. Aku benar-benar kagum dengan Winda yang sekarang. Berbeda dengan yang pertama aku lihat dulu. Tubunya berbalut pakaian terbuka, tangtop istilah di Ibu kota, dan celana ketat yang menutupi hingga lututnya. Aku terdiam sejenak ketika memandangnya.


“Arta sudah makan? kok diem sih? Arta kenapa?” tanyanya berjalan mendekat kemudian duduk disampingku, mataku terus mengikut matanya. Tapi sudut mataku menangkap hal yang lain, pemandangan indah.


“Pantes empuk,” lirih dari bibirku.


PLAK!


“Arta Mesum!” teriaknya, setelah sebuah tamparan didaratkan di pipiku.


“Auuuch... Eh, aduh, sakit Winda,” aku tersadar dari lamunanku. Kuelus pipi yang masih terasa panas


“Tadi Arta bilang apa? apanya yang empuk? Arta pasti ngebayangin yang Arta remas tadi kan? Ayo jawab?! Ngaku!” bentaknya dengan kedua tangan berpinggang menghadap ke arahku.


“End-endak Wind, itu anu, anu...” dengan kedua tangan mengisyaratkan kalau bukan masalah meremas, tapi sebenarnya.... iya.


“Arta bohong!” bentaknya kembali.


“I-iya, ma-maaf, kan ndak sengaja tadi. tadi kan juga aku sudah lupa. Lha kamunya pakai pakaian kaya gitu, jadi ingat kan? He he he,” aku mengelus pipi dan sedikit tersenyum cengengesan.


“Arta mesum!” tubuhnya berbalik membelakangiku.


“I-iya maaf, keceplosan tadi, jangan marah wind,” ucapku dengan nada memohon kepadanya.


“huh!”


“Winda lapar, buatin mie,” ucapnya sedikit keras, dan manja.


“Eh, i-iya... Aku buatkan mie,” aku berdiri.


“Eh, wind, lha buatnya dimana?” tanyaku.


“Itu kan dapur! dasar culun!” bentaknya dengan satu tangannya menunjuk ke arah dapur. Bodohnya aku, kamar kos Winda kan lengkap. Kamar mandi didalam, dapurnya juga ada.


“I-iya...” jawabku, aku kemudian melangkah menuju dapur. Iseng aku membuka penanak nasi, ternyata masih tersisa banyak.


“Aku buatkan nasi goreng mau tidak?” tanyaku, menoleh kearahnya dan dia masih membuang muka.


“Terserah, pokoknya Winda harus kenyang malam ini. sekalian, buatin susu hangat. Buka aja di kulkas, susunya di situ,” perintahnya.


Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Ah, kenapa juga bukan susu dia saja ya. eh, kenapa pikiranku jadi mesum seperti ini? ha ha ha... wajarlah, namanya juga manusia berjenis kelamin laki-laki. Lihat seperti itu pastinya mesum juga.


Aku segera menyelesaikan tugasku dari perempuan yang terkenal manja. Benar-benar lengkap kamar kos Winda ini. Semuanya ada. Heranku, kenapa semua ada? kelihatanya dia tidak pernah memasak. Kelihatannya.


“ini Wind,” ucapku sembari meletakan nasi goreng dan minuman pesanannya.


“Lha Arta?” tanyanya, kini dia tidak membuang muka lagi.


“Bentar, aku ambil. Susah kalau langsung bawa semuanya,” ucapku, aku kembali ke dapur mengambil jatahku.


Aku dan dia, makan berdua diatas karpet putih yang hangat. Menonton acara televisi yang sebenarnya tidak menarik. Kalau seperti ini, aku jadi kangen suasana Desa. Kalau nonton televisi selalu bareng-bareng. Dan acaranya, Selalu antara ketoprak atau wayang. Ketoprak, wayang. Ketoprak, wayang. Itu saja.


Selama makan bersama sesekali Winda memuji masakanku. Dia bahkan heran kenapa masakanku begitu enak dibanding dengan yang pernah dia beli di luar. aku tersenyum kemudian menjawabnya kalau ini resep masakan ibuku.


“Ibu Arta pasti pinter masak ya?” tanyanya, aku menagngguk.


“Di desa sekarang?” tanyanya kembali sebelum memasukan nasi kedalam mulutnya. aku menggelengkan kepala.


“Lha terus? Di sini juga? Kalau di ibu kota, kenapa Arta ngekos?” lanjutnya bertanya padaku.


“Makannya dihabiskan dulu, ndak baik makan sambil bicara,” tukasku, dia langsung diam dan kembali melanjutkan makannya.


Setelah makanku selesai, disusul Winda. Aku segera membereskan piring, dan mencucinya. Aku kembali dan kulihat Winda melihatku, aneh.


“Ada apa?” tanyaku sembari melangkah dan kembali duduk disampingnya.


“Enggak, aneh saja liat cowok masak, nyuci gitu,” jawabnya.


“Dah biasa Wind,” jawabku.


Aku menyeruput minuman hangat didepanku.


“Ar, Arta belum jawab pertanyaan Winda tentang Ibu Arta.”


Aku terdiam sesaat, memejamkan mata, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.


“Aku berharap dia di Surga sekarang,” jawabku.


“Eh, maksudnya... mmm... maaf Ar, Winda gak tahu kalau Ibu Arta sudah....” suaranya lirih, wajahnya sedikit tertunduk.


“Ibuku sudah meninggal Wind, sudah ndak papa. Santai Wind,” jawabku sambil memandangnya dengan tersenyum.


Winda kemudian mengangkat wajahnya dan membalas senyumanku. Pandangannya tak lepas dari wajahku.


“Eh, Ar... itu...” ucapnya sembari menunjuk ke arah wajahku.


“Apa?” tanyaku, dengan kedua tangan meraba pipi.


“Bukan pipi, keningmu,” dia menggelengkan kepalanya


“Keningku?” tanganku menyentuh keningku


“Iya, itu bekas luka karena buku Dini ya?” tanyanya, aku mengangguk.


“masih sakit gak? Coba Winda liat,” ucapnya yang hendak bangkit


“Sudah ndak sakit,” jawabku


Winda seperti tidak mendengar jawabanku. Dia langsung berdiri dengan lututnya. Meraih kepalaku. Dan... sial, dadanya tepat di hadapan kedua bola mata. Sebenarnya luka dikeningku tidak terlalu sakit. Hanya lecet sedikit saja. Memang pas luka mengeluarkan sedikit darah. Tapi itu kan kemarin dan sekarang sudah kering.


Sebenarnya mimpi apa aku semalam. Tangan Winda dengan lembut mengelus lukaku. Aku rasakan tiupan pada luka dikeningku. Ditambah pemandangan yang benar-benar indah. Dan...


“Auuuch... sakit Wind,” kepalaku tertarik kesamping. Aku tidak tahu kenapa Winda tiba-tiba menjewerku.


“Dasar mesum!” ucapnya sedikit membentak.


“Hufth... ya sudah, aku mau keluar dulu daripada dituduh mesum terus sama kamu,” ucapku sembari mendengus


“Eh, Ja-jangan Arta gak boleh pulang pokoknya,” kedua tangannya menarik satu tanganku.


“Yang mau pulang siapa Windaaaaa, aku Cuma mau keluar, mau ngrokok,” jawabku sedikti ketus.


“Arta jangan marah, enggak boleh marah sama Winda,” rengeknya. Aduh, matanya itu kok ada kacanya.


“Eh, end-endak wind. Aku mau keluar kamar sebentar, depan pintu kos kamu. Cuma mau ngrokok, Wind,” ucapku.


“Oke Winda temani,” dia kemudian bangkit.


Aku keluar di depan kamar kosnya. Duduk berdua bersamanya. Dari depan kamar kos Winda, aku bisa melihat aktifitas para penghuni kos. Ramai sekali, ramai dengan orang berpacaran. Beruntung sekali mereka.


Aku duduk dengan kedua siku tanganku diatas lutut. Winda pun sama.


“Sejak kapan sih, Arta ngrokok?” tanyanya membuka pembicaraan.


“Sejak SMA apa SMP, lupa akunya,” jawabku, sembari menyemburkan asap rokokku kesamping. Berharap tidak mengganggu winda. Tapi namanya juga angin, selalu membawa pesan “Awas asap rokok berbahaya!” Sesekali dia mengibaskan tangannya untuk meghindari asap. Jadi merasa ndak enak sendiri sebenarnya.


“Berarti pas kemarin jadi culun, arta juga ngrokok?” tanyanya, aku mengangguk.


Tiba-tiba saja dia tertawa keras. Heran, semakin banyak pertanyaan di otakku. Dari sikap Winda yang berubah sangat manja dan sekarang malah seakan-akan bisa lepas dari belenggu yang sebelumnya membuat dia gelisah. Setelah aku tanya alasan dia tertawa, jawabannya sangat membuatku semakin geleng-geleng kepala. Ternyataaa, dia membayangkan wajah culunku yang sedang merokok. Hadeh, imajinasinya memang luar biasa. Dan aku diejek habis-habisan sama dia.


“Wind, seneng banget kalau lihat aku susah?” tanyaku sambil meliriknya.


“Ha ha ha... lucu saja Ar. coba Arta bayangin lagi, culun, pakai kaca mataaaa... terus terus... bajunya dimasukin, celana ditarik sampe perut... habis itu ngrokok.. hi hi hi... lucu... lucu ha ha ha,” ejeknya, dia tertawa terpingkal-pingkal.


“Dasar... kalaupun ngrokok, aku juga ndak bergaya culunlah, Wind,” balasku sembari meniupkan asap rokokku kedepan.


“uhuk... uhuk... iiih Arta, ngrusak suasana saja, uugh!” ucapnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya. Dia kemudian duduk sedikit mundur, kakinya diangkat dan dipeluk. Menghindari asap rokokku.


“Hi hi hi...” masih terdengar tawanya.


“Sudah to Wind, masa dari tadi ketawa terus,” balasku. Ku matikan dunhill kesayanganku.


“Aaaaaaaarrghhh...” tubuhnya berbalik membelakangiku. Berat tubuhnya kemudian ditimpakan ke tubuhku.


“Kamu itu ternyata lucu, walau kadang winda liat kamu itu... serem-serem gimana gitu, hi hi hi... tapi kalau di bully sama cewek, Arta diem saja ya hi hi hi,” candanya.


“Perempuan kan selalu benar,” jawabku.


“Makasih ya...” ucapnya pelan, tubuhnya berbalik sedikit miring. Kepalanya bersandar pada punggungku.


“Eh...” sedikit aku merasa terkejut. Ketika kedua tangannya memeluk perutku.


“Wi-Wi-Winda...” aku gugup.


“Kenapa?” tanyanya lirih, dari balik tubuhku.


“A-anu i-itu Wi-Wind...” aku benar-benar gugup, entah kenapa.


“Ha ha ha...”


Tawanya sangat keras, gendang telingaku terasa mau pecah. Tapi setelah aku lihat-lihat, dia gampang sekali kembali bahagia. Tadi saja hampir mau bunuh diri, sekarang sudah tertawa riang kembali. Tapi, benar tidak ya? dia sudah baik-baik saja? kalau dilihat dari wajahnya, tawanya, keceriaan ketika mengejekku, aku simpulkan sudah.


“Wind...” ucapku pelan.


Dia langsung terdiam dan melihatku. Kepalanya sedikit miring kekanan.


“Iya, Ar... apa ada, eh, ada apa? hi hi hi” tanyanya penuh dengan canda. Aku kembali melihat kedepan.


“Ndak papa, Cuma memastikan saja,” jawabku.


“Maksud Arta?” tanyanya kembali. Aku meliriknya lalu aku membalikan tubuhku ke arahnya.


“Coba lihat kamu Wind. Tadi saja... ingatkaaan... sekarang?” jelasku. Dia malah tersenyum ke arahku pelan dia membalikan tubuhnya dan memandang ke arah depan.


“Masih sakit...” senyumnya mengembang.


“Tapi gak tahu juga Ar. Seharusnya sih, sakit... mungkin...” dia melirik ke arahku.


“mungkin apa? karena aku tadi?” jawabku percaya diri.


“Yeee... Arta kepedean hi hi hi,” tawanya.


Huh, paling males kalau tanya sama seseorang dan jawabannya muter-muter terus. Apalagi kalau mau menjelaskan sesuatu, malah jawab kesana-kesini dulu. Membuat rasa antusiasku menjadi hilang.


“Iyaaa... adanya Arta salah satunya. Dan juga Desy, Dina sama Dini,” jelasnya.


Setelah aku mendengar jawabannya, menjadi sedikit lega. Salah satunya karena dia sudah mulai bisa berpikir tentang keberadaan orang lain yang selalu menyayanginya. Yang jelas bukan aku, tapi ya itu si Desy, Dini, dan Dina itu.


“Hmmm.... erghhh...” desahnya sembari meregangkan otot tubuh. Aku masih memandang sisi wajahnya, pandangannya lurus. Perlahan terangkat ke atas, melihat ke langit.


“Sakit banget sebenarnya, Ar. Seandainya Arta tahu, masalahku dan Ronald, mungkin hanya satu...”


“Mmmm... awalnya mungkin dia menyayangiku, mencintaiku. Tapi setelah berjalan, lingkungannya berubah, yang awalnya cinta, yang awalnya sayang... berubah... dia menginginkan lebih dari itu dan...” ucapnya terhenti. Membuatku semakin penasaran.


“Eh, Dan apa Wind?”


Dia menoleh ke arahku. Tersenyum manis. lidahnya menjulur, dan kemudian tertawa terkekeh.


“Arta, kepo, iiih Arta kepo hi hi hi,” candanya. Bibirku membentuk garis lurus datar. Pandanganku melengos ke kanan.


“Yeee... Gak boleh marah ya hi hi hi,” candanya kembali, sembari menyenggolkan pundaknya ke lenganku.


“Iyaaaa... ndak marah,” jawabku.


Aku kembali menoleh ke arahnya, tapi dia sudah terlebih dahulu memandang ke arah langit.


“Aku gak bisa memberikannya, Ar. Enggak bisa. Ini adalah mahkotaku. Aku gak ingin setelah dia mendapatkannya dia kemudian pergi,” jelasnya. Aku mulai mengerti arah pembicaraan Winda.


“Bukannya kalian saling mencinta? Misal... kalau kamu berikan di awal, apakah dia tetap akan meninggalkanmu?” tanyaku.


“Bisa jadi, karena semenjak dia lulus SMA dan kuliah. Dia semakin jarang menemuiku. Mungkiiiin... Mungkin seandainya dia tidak berubah secepat itu... ketika dia lulus SMA, bisa saja aku memberikannya.”


Aku tersenyum.


“Tapi nyatanya kamu sangat mencintainya, dan bisa dilihat kan dari tindakanmu tadi sore.”


“Karena....” jawabnya, membuatku penasaran.


“Ya itulah Ar, ada banyak yang mengatakan kepadaku. Kalau kita mencintai seseorang, kita harus benar-benar mencintainya. Agar dia juga memberikan hal yang sama ke kita. Semua itu kan terjadi dengan adanya hukum sebab akibat. Aku selalu berusaha dan akhirnya aku berada dalam sebuah kotak, kotak dimana hanya dia yang akan mendampingiku. Di otakku hanya dia, dia, dia dan dia. Tapi pada kenyataanya... Aku disakiti bahkan diludahi oleh orang yang benar-benar aku sayangi...” jawabnya. Bibirnya tersenyum mengembang.


“Wind...” panggilku lirih.


“Ya...” dia menoleh dan tersenyum kepadaku.


“Ndak nangis lagi atau bagaimana? He he he,” candaku.


“Iiih! Arta!” ucapnya sedikit membentak. Sebuah pukulan pun mendarat di lenganku.


“Ha ha ha... aneh juga ya, katanya cinta banget habis putus kok malah ketawa-tawa ha ha ha...” tawaku, dia bersedekap membuat dadanya terangkat. Aku alihkan mataku dari dada itu.


“Ssst.. kamu kelihatan dewasa banget tadi Wind he he he,” candaku.


“Eh..” dia terkejut.


“Huh! Winda marah,” ucapnya.


Aku masih tertawa dan menggodanya. Terus aku menggodanya agar dia kembali tertawa seperti sebelumnya. Kadang aku buat geli dengan menusukan jari telunjukku di perut sampingnya. Akhirnya dia bisa tertawa kembali. Dan memukulku dengan sangat keras. Tapi bukannya sakit, aku malah semakin geli.


“Dah ah, Arta jelek! Ngejek winda mulu! Winda mau bobo saja!” ngambeknya.


“Oke, mbaknya yang habis putus he he he,” candaku.


“Arta jelek! Dah cepet! Arta bobo juga!” bentaknya, kemudian membuka pintu kamar kos.


“Iya bentar ya, sebatang dulu,” jawabku santai.


Pintu kamar tertutup. Aku sulut satu dunhill putih, menemani malamku ini. kupandangi satu persatu pasangan yang sebelumnya berada didepan kamar kos, mulai masuk ke kamar. beberaa juga masih ada yang tetap duduk didepan. Mungkin mereka sudah mulai bosan jika berada didalam kamar.


Sit suiiiiti...


Pesan watsap. Ku buka. Ainun. Menanyakan kabarku, karena sudah malam dan aku masih belum kelihatan di kompleks. Ah, entah bagaimana dia bisa tahu tentang keberadaanku di kompleks. Apa dia punya indra keenam yang bisa memantau keberadaanku ya? Bisa jadi.



Aku di kos Winda


Besok aku akan ceritakan semua



Di kos cewek?


Malam-malam begini? Hmm...



Iya nanti aku ceritakan semuanya



Rasanya kebakar disini



kebakar? Apanya?



Aku tunggu besok



Haduh, pastinya dia marah. Tapi apa alasan dia marah ke aku. Apa dia benar-benar sayang kepadaku? karena setiap kali aku bertanya kepadanya, tentang kecemburuannya, dia selalu menjawab dengan tegas kalau dia benar-benar cemburu. Ya sudahlah, kalau besok pas pulang ke kontrakan harus mendapatkan marahnya, aku terima saja.


Aku matikan rokokku. Bangkit dari tempat dudukku dan kemudian berdiri sejenak didepan pintu masuk kamar Winda. Aku hanya berharap, semoga saja aku bisa menahannya. Karena selama ini, kalau sudah tersentuh. Eh, kenapa aku berpikir yang macam-macam. Lagipula aku disini menemaninya yang sedang sakit hati.


Aku ulurkan tanganku, membuka daun pintu.


Kleeek...


Tepat ketika aku membuka pintu. Winda berada didepanku, berdiri, bersandar pada tembok. Wajahnya menoleh ke arahku dengan wajah yang sedikit manyun.


“kok belum tidur?” ucapku sembari menutup pintu.


Ketika aku hendak melangkah mendekatinya. Winda bangkit dari sandarannya. Melangkah mendekatiku. Wajahnya sedikit manyun. Aku terdiam sejenak, kulempar senyum ke arahnya dan...


“Eghh....” aku terkejut, tanpa aba-aba, tepat ketika dia depanku. Tubuhnya langsung memelukku. kepalanya rebah di bahuku.


“Terima kasih... terima kasih Ar... Winda seneng banget hari ini, padahal Winda tadi pagi dicaci maki, diludahi, disakiti... mati adalah satu cara yang tepat tapi arta datang...” pelukannya semakin erat.


“Entah bagaimana cara Arta, tapi Arta bisa tertawa lepas... padahal winda... winda...” suaranya terdengar parau, pelan terdengar isak tangisnya.


“Winda itu susah banget buat lepas dari Ronald, karena... karena... pokoknya Arta jangan marah kalau winda cerita”


Aku terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Haruskan aku juga memeluknya?


Tiba-tiba dia melepas pelukannya dan memandangku. Bibirnya tersenyum.


“Semua karena Arta, kalau tidak ada Arta. Mungkin Winda sudah mati. Karena Arta-lah yang membuat Winda bertahan, mengingatkan Winda akan sahabat-sahabat Winda. Arta penuhi janji Arta buat nemenin Winda ya?”


“Eh...” aku mengangguk.


“Terima kasih Ar...” ucapnya.


Satu tangannya meraih pundakku. Membuatku sedikit merendah. Dan cup... sebuah kecupan di pipiku. Setelahnya dia berdiri tegak didepanku, dengan kedua tangan dibelakang tubuh. Tersenyum, terlihat manja.


“Winda bobo ya, Ar,” ucapnya tersenyum.


“I-iya...” aku membalasnya.


Dengan langkah riang dia meninggalkanku berdiri terpaku. Sesaat kemudian dia berbalik.


“Eh, Arta bobonya di...” ucapnya.


“Di karpet putih,” aku memotongnya dan tersenyum.


Senyumnya mengembang dan langsung berlari ke arah tempat tidurnya. Aku berjalan melepas penat. Hanya dengan kaos aku langsung merebahkan tubuhku di karpet putih dengan bulu-bulu halus. Hangat rasanya. Letaknya tepat dibawah salah satu sisi tempat tidur yang tidak memiliki sandaran.


“Ar...” tiba-tiba saja kepalanya muncul.


Wajahku dan wajahnya, berada di posisi atas dan bawah hanya jarak sekian puluh sentimeter.


“Haduh... jangan buat kaget aku,” ucapku sambil mengelus dada.


“hi hi hi... Cuma mau tanya,” dengan senyum mengembang.


“Apa?” balasku bertanya.


“Ibu Arta.” lirih dari bibirnya


Aku sedikit terkejut. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaannya sembari rebah.


“Ibu Arta pasti cantik ya? dan pastinya Ibu Arta juga baik ya? dan mmm... pinter masak?” tanyanya dengan pertanyaan membrondong. Tapi aku tersenyum ketika mendengar pertanyaan Winda.


“Kenapa tiba-tiba tanya tentang Ibuku?” balasku bertanya.


“Gak papa, pengen tahu saja,” jawabnya.


Aku lalu bercerita kepadanya tentang ibuku. Kebiasaannya ketika masih bersamaku. Bangun pagi, merawat omen, masakan yang enak dan semuanya aku ceritakan. Sedikit aku bercerita tentang betapa galaknya ibu kalau sedang marah.


“Galak?” tanyanya.


Dan aku mengiyakannya. Tapi hanya sebatas menceritakan bagaiaman galaknya ibu kalau aku tidak menuruti kata-kata Ibu. selama aku bercerita, pandangan mataku aku alihkan ke arah yang lain. Sesekali aku mengalihkan pandangan mataku kearahnya. Dia tampak antusias sekali ketika mendengar ceritaku.


Entah, berapa lama dia bertahan dengan posisi kepala mengambang seperti itu. Dan dia sangat betah. Senyumnya terus mengembang sejak pertama kali aku mulai bercerita. Yang membuatku sedikit kikuk, pandangan matanya kearahku yang aku tangkap ketika melirik. Kenapa matanya seperti itu?


“Dah Wind, seperti itu,” ucapku mengakhiri cerita.


“Makanya Arta jangan marah-marah lagi ya?” senyumnya mengembang, kelopak matanya tertutup.


“Iya... sudah malam wind, tidur dulu,” pintaku.


“Hu’um... Winda bobo dulu, makasih ceritanya,” balasnya.


Wajahnya menghilang dari pandanganku. Sedikit kepalaku menggeleng karena sikapnya yang entah kenapa bisa berubah drastis. Pikiranku sudah sangat lelah. Mungkin hanya satu cara agar semua kembali normal, tidur.


.

.

.


“ughh... mmmhhh...” aku membuka mataku.


“Eh, ini kan...”


Sebuah pemadangan masa lalu. Ruang tamu rumahku di desa.


“Ehem.. ehem.. sama si manja sekarang?”


“Eh...” aku terkejut ketika mendengar suara seorang perempuan dari belakangku. Seketika aku langsung berdiri dan ketika hendak berbalik.


“kalau sayangnya Ibu muter balik, Ibu pergi.”


“Eh..” aku menunduk.


“Jangan sedih, kapan-kapan lihat ibu. Ibu belum mandi, bau, jelek. Belum dandan lagi. Ndak seperti si manja, mau tidur aja kelihatan cantik banget,” sedikit canda dari kata-kata Ibu.


“Ibu itu...”


“Kenapa? Ini pacar keduamu ya?”


“Pacar pertama saja belum punya.”


“Hi hi hi... Ibu selalu tahu apa yang sayang lakukan, jangan bohong sama Ibu.”


“Bukan pacar bu.”


“Hi hi hi... iya, iya... hi hi hi... bakal ada yang ketiga atau keempat atau kelima tidak? Enam? Tujuh?”


“Ibuuuu...”


“Hi hi hi...”


Hening...


“Jaga mereka ya sayang, jaga mereka... salah satu kebahagiaan Ibu adalah ketika kamu bisa menjaga yang kamu sayangi, orang-orang yang selalu berada disekelilingmu.”


“Iya bu.”


“Senyum sayang... dan tutup mata Arta, ingat jangan dibuka ya.”


Lagi dan lagi... aku menutup mataku. Kurasakan pelukan hangat dari depan tubuh. Aku hendak membuka mata tapi sangat berat sekali menarik ke atas kelopak mataku. Hanya tanganku yang memeluk tubuh Ibu.


“Ibu sayang Arta, dan juga Arlena, jaga kakak perempuanmu. Jaga mereka juga yang selalu mewarnai hari-harimu sayang. Dan Ibu akan selalu ada untuk anak-anak Ibu.”


“I-iya bu... Arta sayang Ibu,” air mataku mengalir.


Pelukan Ibu kembali sangat erat. Terasa sesak dada ini. tapi tanganku tetap memeluknya erat. tapi semakin lama terasa aneh. Pelukan ibu terasa aneh.


.

.

.


“Egh...” aku tersadar dari mimpiku.


“Wi-winda...” aku terkejut.
 
Hufth....

mohon maaf baru bisa posting update, dan tidak bisa membalas komen satu2,

masih belajar ngepost lagi,

dan jika pada postingan ini ada yang merasa kurang nyaman karena banyak spasi enter kebanyakan, mohon dimaklumi. karena pada word spasi satu kali enter ketika di kopas jadi dua kali enter.


mohon kritik dan sarannya. untuk apdet selanjutnya masih dalam proses editing, terima kasih
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd