EPISODE 10 : Akhir
--- Lima bulan lalu, POV Hendri ---
Gila, gempa yang menimbulkan tsunami itu berakibat sangat parah di negara ini. Aku tidak menyangka efeknya akan separah ini. Begitu banyak korban jiwa, dan juga kerugian material. Jumlah kerugian material yang ditimbulkan pun tidak main-main. Kota ini betul-betul sudah diporakporandakan oleh alam. Begitu mengerikan. Aku melihat Indra pun begitu kaget.
Akan tetapi, profesionalitas memang tidak memberi waktu bagi kamu untuk kaget terlalu lama. Kami pun harus bergerak cepat, karena tanah disini mulai labil, sehingga bisa runtuh kapan saja. Aku pun segera bergerak. Indra pun sepertinya juga menyadari hal yang sama, ia pun juga bergerak. Akan tetapi, nasibnya sepertinya kurang baik. Ia menginjak tanah yang sangat labil, dan saat itu juga, runtuhlah tempat berpijaknya dan ia pun langsung terjatuh. Akan tetapi, sebelum terjatuh, ia sempat menggapai tanah sekitarnya yang sepertinya cukup kuat.
“Ah, dia ini orang yang menimbulkan masalah begitu besar bagiku.” Kataku dalam hati.
Haruskah aku membiarkannya saja? Akan tetapi, di saat demikian, aku teringat akan Lisa, dan anak yang dikandungnya. Maka, aku pun langsung lari, dan menggapai tangannya. Aku menggapai tangannya di saat yang tepat, karena pegangannya baru saja akan terlepas. Akan tetapi, tubuhnya begitu berat, sehingga tubuhku langsung tertarik karena tidak mampu menahan beratnya. Untunglah, ada patahan lampu jalanan yang bisa kugunakan sebagai pegangan, sehingga aku pun mampu menyelamatkan kami. Akan tetapi, karena tubuh Indra begitu berat, aku tidak tahu sampai kapan aku kuat menahannya. Entah apa peganganku yang terlepas duluan, ataukah patahan lampu jalanan ini yang tidak kuat menahan beban tubuh kami berdua. Maka, aku pun meminta pertolongan.
“TOLOONGG!!” Teriakku sekeras mungkin.
Ah! Kenapa tidak ada orang satu pun? Ah iya, tentu saja, karena ini daerah tanah yang labil. Aku pun berusaha menarik tubuh Indra ke dataran sekuat mungkin. Akan tetapi, tubuhnya terlalu berat. Aku tidak kuat menariknya. Dibawah Indra, menunggu lubang yang tidak kelihatan dasarnya. Siapapun yang jatuh, aku asumsikan tidak akan selamat. Bermenit-menit pun, kami terjebak begini. Pegangan tanganku pun sudah sakit karena menahan beban tubuh Indra yang berat.
“Mas, udah. Lepasin aja aku. Ujung-ujungnya, malah kita mati berdua nanti.” Kata Indra tiba-tiba.
“Ga. Ga bakalan gua lepas.” Kataku.
“Kenapa mas? Aku ini orang yang bikin hancur hidup Mas. Emang begitu penting nolongin aku?” Tanya Indra.
“Asal lu tau, Ndra. Lisa lagi hamil. Empat bulan.” Kataku.
Mendengar hal itu, Indra pun langsung tersentak.
“Em... empat bulan?” Tanya Indra dengan tidak percaya.
“Udahlah. Pokoknya, gua nggak peduliin lu itu siapa. Gimana nanti kalo ternyata anak yang di perutnya itu anak lu? Makanya, gua harus nolongin lu. Meskipun gua sendiri ga suka.” Kataku.
Indra pun hanya bisa terhanyut dalam pikirannya, meskipun kondisinya sedang kritis begini. Sepertinya, ia begitu terhanyut dalam pikirannya, sementara aku disini berusaha keras untuk menyelamatkan kami berdua.
“Ndra, mikirnya nanti aja! Yang penting gimana caranya biar kita bisa selamat dulu!!” Kataku karena mulai tidak kuat menahan tubuh Indra yang berat.
“Mas...” Kata Indra.
“Apaa??!!!” Kataku mulai sewot.
“Seandainya anak itu adalah anak saya, aku minta Mas jadi ayahnya ya.” Kata Indra.
Setelah mengatakan hal itu, dia masih sempat berkomat-kamit membicarakan hal lain yang begitu panjang. Setelah mendengar perkataan yang panjang itu, Indra pun melepaskan tanganku dari tangannya, sehingga ia terjatuh ke lubang yang dalam itu. Ah... Indra... Aku gagal menyelamatkannya. Cih, apa yang harus kukatakan pada Lisa nanti? Aku pun termenung lama di tempat itu sambil berbaring.
***
--- Waktu sekarang, POV Lisa ---
Aku pun kaget mendengar cerita suamiku. Ah, rupanya Indra sudah tidak ada ya? Pikiranku begitu kosong dan hampa. Aku tidak menyangka, bahwa Indra betul-betul sudah tidak ada. Lalu, bagaimana dengan anak kita berdua?
“Jadi gimana? Apa kita jadi cerai?” Tanya suamiku.
“Ah, memangnya kamu masih mao nerima aku?” Tanyaku.
“Sebelum itu, aku mao ngomong dulu. Aku mao ngomong tentang Indra.” Kata suamiku.
Aku pun siap mendengarkan.
“Lisa, dia itu orang yang hebat. Jujur, aku ngerti kenapa aku bisa kalah sama dia. Aku tahu dari raut wajahnya saat ia hendak meninggalkan dunia ini, dari ekspresi wajahnya saat melihat kamu. Dia itu betul-betul sayang sama kamu.” Kata suamiku.
“He-eh, aku tahu.” Kataku.
“Sebelum jatuh, dia pun sempet minta maaf sama aku karena udah ngancurin hidup aku. Dia juga sempet mohon-mohon ke aku, biar aku maafin kamu sepenuhnya. Dan bahkan, dia ngomong ke aku, kalo yang berhak untuk kembali ke sisi kamu adalah aku, dan bukan dia. Dia itu ngorbanin nyawanya, biar aku bisa balik ke kamu. Meskipun aku ga suka ngomong gini, tapi aku harus nyampain, bahwa itu dia lakukan karena dia betul-betul sayang sama kamu. Sekali lagi jujur, aku ga suka ngomong gitu. Tapi, itu adalah pengorbanan hebat yang dia lakukan buat wanita yang dia sayangin. Dia ngorbanin dirinya bukan untuk aku, tapi untuk kamu. Dan aku ngerasa bahwa aku harus nyampein itu ke kamu.” Kata suamiku.
Aku pun hanya diam mendengarkan hal itu. Aku tahu bahwa Indra betul-betul menyayangiku. Meskipun hanya bersetubuh sebanyak tiga kali dengan dia, dari situ saja seolah-olah perasaannya begitu tersalurkan padaku. Aku sama sekali tidak kaget mendengarnya.
“Dan masalah anak itu, Indra juga mohon ke aku, kalo misalkan anak itu ternyata adalah anak dia, biar aku mao jadi ayahnya.” Kata suamiku.
Aku pun hanya diam mendengarkan.
“Aku udah berpikir ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali. Tapi maaf, aku ga bisa. Aku ga bisa menganggap anak itu sebagai anakku sendiri. Bahkan jujur aja, gitu-gitu rasa benci aku sama Indra tetep ada, dan tentu saja anaknya pun juga kena. Aku udah pasti ga akan bisa nganggep anak itu sebagai anakku. Yang ada, percaya deh, kalo aku sama-sama dia terus, pasti aku suatu saat bakal nyalurin rasa benci aku ke anak itu. Jadi gini. Perjanjian tetaplah perjanjian. Aku akan bolehin kamu ngurus anak itu, dengan catatan bahwa berarti kita tetap cerai. Kamu ga mungkin juga kan akan ngabain anak sekecil itu. Itu anak kamu, lho.” Kata suamiku.
“Aku tega ngabain anak ini demi kamu.” Kataku.
“Hah?” Tanya suamiku.
“Aku udah mikir masak-masak. Jujur, dari aku mulai ngelahirin anak ini, sampe keluar hasil tes DNA nya, aku selalu ngarep itu anak kamu. Aku selalu berdoa bahwa itu anak kamu. Bukan demi aku, tapi demi kamu. Paling nggak, dengan ini adalah anak kamu, maka harga diri kamu sebagai seorang pria dan suami, nggak jatuh lebih terpuruk lagi. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Ya apa boleh buat. Tapi ya sekedar biar kamu tahu aja, aku emang udah rencana, seandainya kamu pergi tadi, aku bakal bawa anak ini pergi. Aku juga nggak mao ketemu sama Indra.” Kataku.
“Lho? Kenapa?” Tanya suamiku.
“Aku udah mikir masak-masak, dan untungnya Yang Mahakuasa masih ngingetin aku, bahwa kamu itu lah satu-satunya suamiku. Aku nggak mao biarin orang lain jadi suamiku. Meskipun status kita cerai nantinya, meskipun secara hukum kita udah bukan suami istri, tapi aku sendiri masih menganggap diriku sebagai istri kamu. Aku pengen memulai hidup baru, masih sebagai istri kamu, dan aku ingin mengakhiri hidupku nanti, masih sebagai istri kamu. Meskipun kamu ngga nganggep aku sebagai istri kamu, dan kamu juga ngga nganggep kamu sendiri sebagai suami aku, buat aku tetep kamulah satu-satunya suami aku.” Kataku.
“Untuk anak ini, aku juga merasa nggak berhak atas anak ini. Jadi, aku akan ngasih anak ini ke pasangan suami istri lain yang begitu menginginkan anak, tapi nggak bisa punya anak. Aku akan terus nyari orang yang mau membesarkan anak ini. Selama aku belum ketemu, aku akan ngurus anak ini, sampai aku bisa nemuin orang itu.” Kataku.
“Haah, si Indra itu, sampe bisa memperkirakan sejauh ini...” Kata suamiku.
“Hah? Maksud kamu apa?” Tanyaku dengan heran.
“Oke. Berita positifnya, atau negatif aku ga tau ya, kamu nggak perlu repot nyari orang yang mau membesarkan anak itu.” Kata suamiku.
“Haah? Aku nggak paham.” Kataku.
“Indra juga ngasih aku kontak seseorang. Sebelum dia jatuh, dia sempet ngomong, kalo kamu itu adalah wanita yang sangat dia sayang. Tapi, kamu itu nomor dua.” Kata suamiku.
“Hah? Aku lebih nggak paham.” Kataku.
“Nomor satunya itu adalah kakak perempuannya, yang dari kecil, bahkan sampe sekarang, masih ngurus dia dengan sekuat hatinya. Dia cerita kalo kakak perempuannya itu sangat pengen punya anak, tapi suaminya mandul. Dan dia akan lebih dari sekedar senang hati kalau harus membesarkan anaknya Indra. Kata dia, kalo aku ga mau jadi ayah anak itu, dia mohon-mohon ke aku untuk ngasih anaknya dia ke kakak perempuannya. Jadi, aku akan kasih anak itu ke kakak perempuannya, karena sepertinya dia orang yang paling pantes buat ngurus anak itu.” Kataku.
Mendengar hal itu, aku leganya bukan main. Syukurlah kalau ada orang yang betul-betul mau membesarkan anak ini.
***
Setelah beberapa hari, aku pun sudah boleh pulang. Setelah selesai mengurus segala administrasi rumah sakit, suamiku pun mengantar aku yang membawa anakku ini ke mobil. Kami tidak langsung pulang, melainkan menuju rumah kakaknya Indra.
Sesampainya disana, kami pun disambut dengan ramah. Kakaknya begitu antusias melihat anak dari Indra. Ia tampak begitu menyayangi anak itu. Syukurlah, nak. Nak, ketahuilah, bahwa aku disini hanyalah wanita yang melahirkanmu ke dunia ini, tidak lebih dari itu. Ibumu adalah wanita yang sekarang sedang menggendong dan menciummu dengan penuh kasih sayang itu. Jika suatu hari nanti kamu mengetahui kebenaran yang terjadi akan dirimu, ketahuilah bahwa ibumu tidak lain tetap adalah wanita yang sedang menggendong dan menciummu dengan penuh kasih sayang itu. Aku sama sekali tidak pantas menjadi ibumu. Aku hanya perantara, yang digunakan oleh Tuhan, untuk membawamu ke dunia ini.
Kakaknya Indra pun meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada suamiku dan aku. Suamiku tentu saja menerima permohonan maaf itu. Sementara aku, aku merasa aku tidak patut mendapat permintaan maaf sama sekali. Setelah basa-basi sebentar, kami pun pamit pulang. Setelah itu, suamiku mengemudikan mobilnya menuju rumah kami, tidak, rumah dia. Kami pun turun dari mobil.
“Mas.” Kataku.
“Yah?” Tanya suamiku.
“Aku rasa, kita pisah disini ya. Aku harap, kamu selalu tahu, bahwa dimana pun kamu butuh bantuan aku, aku akan selalu nolongin kamu dengan sekuat tenaga. Dan aku akan selalu berdoa tiap malam, demi kebahagiaan kamu.” Kataku.
Aku pun mendekati suamiku, kemudian mencium tangannya.
“Terima kasih. Udah jadi suami yang begitu hebat buat aku. Aku nggak akan pernah lupa masa-masa yang udah kita lalui bersama. Dan sekarang, aku bisa ngomong, bahwa aku nyesel udah khianatin kamu. Bukan karena Indra meninggal dunia, tapi karena disaat terakhir, aku memilih kamu dibandingkan Indra.” Kataku.
“Udah?” Tanya suamiku.
“Udah.” Kataku dengan mantap.
“Yaudah, kalo gitu ayo masuk. Bikinin aku teh.” Kata suamiku.
“Hah?” Aku hanya bisa melongo.
“Lah, tadi katanya dimana pun aku butuh bantuan kamu, kamu akan selalu nolongin aku dengan sekuat tenaga. Ini sekarang aku baru minta bikinin teh, kamu udah bingung gitu. Gimana aku minta tolong yang berat-berat? Ayo masuk, cepet bikinin aku teh.” Kata suamiku.
“Oh... Oke-oke.” Kataku langsung dengan sigap.
Aku pun langsung masuk ke rumah, dan membuatkan teh untuknya. Setelah selesai kubuat, langsung kusuguhkan kepada suamiku. Suamiku pun langsung meminumnya hingga habis. Cepat sekali dia meminumnya, padahal teh itu panas. Setelah meminumnya, suamiku meletakkan gelas teh itu di meja.
“Hubungan kita emang sempet berada di ujung tanduk. Tapi, aku yakin kita masih bisa benerin ini kok. Kita mulai dari nol lagi ya.” Kata suamiku.
Mendengar hal itu, aku hanya bisa melongo saja.
“Ah? Kamu ngomong apa sih? Kita ini udah bukan siapa-siapa lagi.” Kataku.
“Oh iya? Mana surat cerainya? Aku ga ngerasa tanda tangan tuh. Coba bawa kesini suratnya.” Kata suamiku.
“Mas, aku itu udah nggak pantes lah jadi istri mas.” Kataku.
“Terus, siapa yang pantes?” Tanya suamiku.
“Suatu saat nanti, pasti ada. Aku yakin, Mas.” Kataku.
“Ah, udahlah. Aku emang ngomong, pakai logika kalau mikir. Tapi, sekarang aku ga akan pakai logika. Waktu itu, kita udah ngucapin janji nikah kita. Aku masih inget, aku ngomong kalo aku bakal tetep mengasihi kamu, dalam susah dan sakit, dalam kaya dan miskin. Sekarang ini mungkin kamu lagi sakit, berarti aku harusnya tetep mengasihi kamu dong?” Tanya suamiku.
“Tapi aku nggak demikian tuh! Aku duluan ngelanggar janji nikah kita!! Mas silakan caci maki aku, silakan pukulin aku, aku terima. Mas usir aku sekarang, aku terima!! Dari awal ini karena aku ingkar janji duluan!!” Kataku.
“Lah, itu sih urusan kamu. Ga ada tuh kata-kata bahwa aku harus mengasihi kamu jika dan hanya jika kamu ga ingkar janji. Masalah kamu ingkar janji nikah, itu urusan kamu. Nanti kamu tanggung jawab sana di akhirat. Tapi yang jelas, aku tetep cinta ama kamu sebagai istri aku. Kamu itu adalah orang yang udah Tuhan kasih buat jadi istri aku, dan sampe sekarang aku masih yakin akan hal itu.” Kata suamiku.
“Kamu... kamu yakin?? Aku itu udah jahat loh sama kamu!” Kataku dengan mulai menitikkan air mata.
“Terus, masih mao jahat sama aku?” Tanya suamiku.
“Nggak. Nggak akan lagi.” Kataku.
“Yaudah. Tuh, kamu udah bilang kalo kamu ga akan jahat lagi.” Kata suamiku.
“Tapi, aku udah jahat sama kamu!!” Kataku sambil menangis.
“Yaudah. Aku udah maafin kamu.” Kata suamiku.
Mendengar hal itu, bukan main aku terharunya. Air mataku tidak terbendung lagi, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Dengan refleks, aku pun memeluk suamiku seerat-eratnya. Aku sungguh terharu, suamiku sungguh orang yang begitu hebat. Dia dengan begitu mudahnya memaafkan diriku yang sudah sangat kelewatan ini. Aku tahu, semua bukan karena dia tidak punya harga diri, melainkan karena rasa cintanya padaku mengalahkan seluruh rasa benci dan dendamnya. Aku yakin, dia pasti marah, dia pasti dendam. Tapi, rasa cintanya padaku begitu kuat, sehingga rasa benci dan dendamnya dikalahkan dengan mudah. Sungguh hebat suamiku ini.
“Aku mungkin ga sempurna. Tapi, aku akan selalu berusaha jadi yang terbaik buat kamu.” Kata suamiku.
“Ng... nggak! Kamu... udah jadi yang terbaik buat aku... Yang harus berubah itu aku... Kamu nggak perlu berubah... sayangkuu... huuuu....” Kataku.
“Udah... udah.” Kata suamiku.
“Suamiku, sayang. Aku janji... aku janji akan jadi istri... yang lebih baik... Aku janji nggak... nggak akan jahat lagi sama kamu... aku janji akan jadi istri yang... bisa kamu banggain... dan aku janji... akan jadi istri yang melayani kamu... dalam kondisi apapun... meskipun kamu berubah seperti apapun... aku janji aku akan tetep jadi istri yang baik buat kamu...” Kataku.
“Salah. Enak aja.” Kata suamiku.
“Oh...” Kataku.
“Kalo suami itu berubah kearah yang ga bener, kewajiban istri buat ngingetin dan nuntun kembali ke jalan yang bener.” Kata suamiku.
“Iyaah... Aku janjii...” Kataku.
“I love you, honey.” Kata suamiku.
“Aku juga cinta kamuu...” Kataku.
Hari itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku betul-betul menangis sejadi-jadinya. Air mata ini tidak pernah berhenti karena rasa terharu yang begitu besar. Ya, mulai sekarang, aku janji akan menjadi istri yang baik.
***
Sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu. Sekarang, aku adalah seorang pembimbing hubungan suami istri. Sekarang, aku sedang menjadi pembicara pada suatu seminar mengenai hubungan suami istri yang baik. Sekarang adalah sesi tanya jawab. Aku pun melihat ada orang yang menunjuk tangan.
“Silakan, pak.” Kataku.
“Terima kasih, Bu Lisa. Maaf Bu Lisa, saya ingin bertanya. Seandainya, seorang istri itu selingkuh, tapi bukan istri saya lho yaaa, istri saya baik-baik aja ya hehehe.” Kata bapak itu.
Satu ruangan pun langsung tertawa, termasuk aku.
“Nah, apa yang harusnya seorang suami lakukan? Apakah sang suami harus menceraikannya?” Tanya bapak itu.
“Terima kasih atas pertanyaannya. Sebetulnya, itu adalah pertanyaan yang sangat sulit, tapi saya akan mencoba menjawabnya. Betul kata bapak, sang suami harus menceraikannya. Seorang istri yang selingkuh, itu sudah melanggar kehormatan dirinya dan suaminya. Maka, suaminya wajib menceraikan istrinya.” Kataku.
Seluruh ruangan pun menjadi hening.
“Itulah pendapat saya, pada awalnya. Sampai suatu ketika, saya menemui sendiri seorang pria. Dia adalah suami dari seorang wanita. Wanita itu sudah berselingkuh dengan pria lain, dan bahkan sudah siap jika harus meninggalkan suaminya demi selingkuhannya. Tapi, bukannya menceraikannya, si suami tetap terus berusaha menolong istrinya, mengingatkan istrinya, dan lebih dari semua itu, dia tetap mencintai istrinya dengan sepenuh hatinya. Sampai akhirnya, si wanita itu pun luluh, dan akhirnya tetap memilih untuk memilih suaminya, meskipun ia juga tetap mencintai selingkuhannya itu. Meskipun si wanita akhirnya memilih suaminya, tapi wanita itu merasa sudah tidak pantas untuk suaminya, dan sudah siap untuk berpisah dengan suaminya. Tapi, apa yang dilakukan suaminya? Suaminya itu malah menyuruh wanita itu masuk ke rumah, dan membuatkan teh. Bahkan, suaminya lebih dulu mengajak istrinya untuk memulai hubungan mereka kembali dari nol. Sang suami bilang bahwa dia memaafkan wanita itu, dan bahkan membuat resolusi untuk menjadi yang terbaik bagi si wanita itu. Menurut kalian, apakah sang suami harus melakukan hal itu?” Tanyaku.
Banyak dari para peserta seminar yang menggelengkan kepalanya.
“Tapi, kenyataannya si suami melakukan hal itu. Kenapa? Apakah karena dia tidak punya harga diri?” Tanyaku.
Seorang ibu pun berdiri.
“Mungkin begitu, mungkin karena dia tidak punya harga diri. Tapi, jika kita melihat dari perspektif yang berbeda, menurut saya adalah karena si suami itu mencintai istrinya dengan tulus.” Kata ibu itu.
“Exactly. Betul sekali. Bukan karena sang suami tidak punya harga diri, tapi dia mencintai istrinya dengan begitu tulus. Karena ketulusannya dalam mencintai istrinya, dia tidak memberikan ruang untuk kebencian dan dendam di hatinya. Dan menurut saya, hal itu sangatlah indah, sangatlah hebat. Hatinya lebih besar dari siapapun. Karenanya, wanita itu menjadi sadar, dan sekarang hubungan mereka jadi lebih baik bahkan dari sebelum si wanita selingkuh.” Kataku.
“Jadi, menjawab pertanyaan bapak yang tadi. Seorang suami harusnya membantu istrinya untuk bangkit dan kembali ke jalan yang benar. Itulah kewajiban seorang suami. Bukan meninggalkannya. Semua suami istri pastinya menikah dengan harapan akan bahagia, dan pastinya sudah berjanji untuk tetap mencintai satu sama lain dalam kondisi apapun.” Kataku.
“Dan bagi para istri, bukan berarti ini artinya boleh bebas selingkuh. Ketahuilah, bahwa jika kalian para istri berselingkuh dari suami kalian, akan ada ganjaran berat yang menanti kalian. Saya yakin akan hal itu.” Kataku.
Perkataanku pun disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Setelah itu, tidak lama kemudian pun seminar berakhir. Aku langsung menuju rumah karena hari sudah lumayan malam.
Sesampainya di rumah, suamiku sudah menungguku.
“Honeey, pulang juga kamu akhirnya.” Katanya sambil memelukku.
“Hehehe. Aku udah pulang nih. Kamu udah makan belom?” Tanyaku.
“Belom.” Kata suamiku.
“Loh kok belom? Udah malem ini!!” Kataku.
“Hehehe. Maonya dimasakin sama kamu.” Kata suamiku.
“Ah, aduuhh. Dasar suamiku ini orang paling manja sedunia.” Kataku.
“Masakiiinn...” Kata suamiku.
“Iya. Aku masak dulu ya.” Kataku sambil pergi ke dapur.
Sesampainya di dapur, aku langsung menyiapkan bahan makanan untuk memasak nasi goreng kesukaannya. Akan tetapi, bukannya menunggu dengan sabar, suamiku seperti biasa selalu menggangguku. Dia mencampur kecap yang banyaknya bukan main.
“Aduuuhhh... Kebanyakan kecapnya... Nanti kemanisan!!” Kataku.
“Oh, iya kemanisan ya. Yaudah deh, aku campur garam.” Kata suamiku sambil memasukkan garam ke wajan penggorengan.
“OH MY GODD!!! Kamu ngerecokin aja yaaa...” Kataku sambil mengelitiki suamiku.
“Hehehehehehe. Maaf-maaf.” Kata suamiku.
Kami pun tertawa terbahak-bahak di dapur. Yah, yang ada bukannya masak makanan, malah sama-sama gila bikin hancur makanan. Meskipun demikian, aku sangat menikmati aktivitasku bersama suamiku. Begitu juga suamiku, ia tampak begitu polos dan menyebalkan, main tertawa seenaknya saja.
Ya, kehidupan suami istri itu memang seharusnya seperti ini. Pasti ada jatuhnya, pasti ada godaan yang kuat, itu tidak bisa dihindarkan. Aku sangat bersyukur mendapatkan suami seperti suamiku ini. Suami yang mau menerima seluruh kekurangan istrinya, suami yang siap siaga membantu istrinya bangun ketika sedang terjatuh, suami yang begitu tulus menerima kehadiran kembali istrinya yang sudah jahat kepadanya. Aku sekarang menjalani kehidupan yang begitu bahagia. Meskipun kehidupan ranjang kami tidak membaik, tetapi aku merasa dengan adanya kebahagiaan lain di luar ranjang, aku merasa lebih dari cukup.
Untuk kalian semua, jangan kalian coba-coba untuk merusak hubungan suami-istri yang sudah kalian mulai dan kalian bina. Aku yakin, jika kalian merusaknya, akan ada ganjaran sangat berat yang menanti.
TAMAT