Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Dilema Seorang Istri (Berdasarkan Kisah Nyata)

uwahhhhh, jadi ini beneran true story? masih ga bisa percaya ada yang bisa seperti itu. sepertinya nubi kurang nonton sinetron nih
 
Siap menunggu dengan debar yg menyesak dada, lebay hehehehhee piss
Emang bikin nyesek critanaya
 
EPISODE 9 : Setelahnya



Cup. Kecupan Indra di bibirku pun membangunkanku. Aku melihat matahari sudah menyinari kamar Indra. Aku masih telanjang dalam baluran selimut. Aku melihat Indra sudah berpakaian rapi dan sedang duduk di tepi tempat tidur. Aku melihat jam, dan waktu ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.



“Ehh, udah jam tujuh ya? Kamu udah mao pergi?” Tanyaku.



“Iya.” Kata Indra sambil mengangguk.



“Udah sarapan?” Tanyaku.



“Udah.” Kata Indra sambil mengangguk.



“Kamu tidur dulu aja, sayang. Anak-anak juga belum pada turun. Kayanya pada turun jam delapan katanya Raisa sih.” Kata Indra.



Aku pun bangun, kemudian memeluk dan mencium bibir Indra.



“Hati-hati di jalan, sayang. Tar kita telponan ya nanti malem.” Kataku.



“Iyah.” Kata Indra sambil tersenyum.



Aku pun melepaskan pelukanku.



“Oke, sayang. Aku pergi dulu ya.” Kata Indra.



Aku pun hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada Indra. Kemudian, Indra pun melangkah keluar kamar. Perpisahan ini hanya untuk sementara. Aku yakin suatu saat kita akan bertemu lagi. Begitulah keyakinanku. Aku pun segera mandi. Sambil mandi, aku termenung dalam pikiranku. Apa yang sedang sperma suamiku dan sperma Indra lakukan ya dalam rahimku? Apakah sperma suamiku berhasil membuahi sel telurku lebih dahulu? Ataukah sperma Indra yang ternyata lebih cepat dan kuat sehingga berhasil membuahi sel telurku terlebih dahulu?



Sepanjang hari, aku terus termenung dengan pikiran itu. Aku tidak menyangka bahwa pertarungan dua sperma dalam rahimku ini bisa membuatku termenung dalam pikiranku begitu panjang.



Hari-hari outing sampai hari Kamis pun kulalui dengan termenung dalam pikiranku. Jujur, aku bukannya jadi menikmati outing, malah termenung dalam pikiranku. Aku tidak mengerti apa yang kupikirkan. Apakah aku menyesal telah membiarkan Indra masuk? Ataukah waktu indah yang Indra berikan bagiku begitu membuatku terpesona? Ataukah aku berharap sperma suamiku yang berhasil membuahi sel telurku lebih dulu? Entahlah. Begitu banyak pertanyaan yang menghujani pikiranku.



Yang jelas, tahu-tahu aku sudah kembali ke Jakarta pada hari Kamis. Aku pun mengucapkan salam perpisahan kepada bekas rekan-rekan kerjaku. Tidak lupa juga aku mengucapkan terima kasih kepada HRD dan jejeran BOD atas kesediaannya mengajakku dalam acara outing ini.



Mereka semua pun pulang ke rumahnya masing-masing, tinggal aku sendirian di bandara. Aku pun menunggu suamiku di tempat yang sudah dijanjikan. Tidak lama kemudian, suamiku pun keluar dari pintu kedatangan, dan langsung berjalan dengan cepat kearahku. Ia langsung memeluk kepalaku, dan mencium pipiku.



“Gimana outingnya?” Tanya suamiku.



“Hehehe. Menyenangkan kok.” Kataku.



“Hehehe. Pasti kamu capek ya?” Tanya suamiku.



Eh? Oh... aku paham. Aku sebetulnya tidak capek sih, hanya banyak pikiran saja. Akan tetapi, untung kebetulan ini habis outing, jadinya aku bisa berdalih kalau aku capek. Aku belum siap untuk memberitahu masalah aku dengan Indra sekarang. Jika memang aku hamil, barulah aku akan memberitahunya. Jika ternyata aku tidak hamil, lebih baik kusimpan saja. Tidak ada gunanya membebani pikiran suamiku dengan hal yang tidak perlu. Kami pun pulang sama-sama menuju rumah kami.



***



Jreengg! Test pack yang kugunakan pun menunjukkan tanda positif. Sudah tiga test pack kucoba, dan hasilnya semua pun menunjukkan tanda positif. Ah, rupanya aku hamil ya? Yang jadi pertanyaan adalah, anak siapa yang ada di perutku ini? Aku pun keluar dari kamar mandi. Suamiku pun sudah menungguku di ranjang.



“Gimana?” Tanya suamiku.



Aku hanya menunjukkan hasil test pack kepada suamiku. Suamiku pun hanya mengangguk.



“Nah, tinggal pertanyaannya sih anak siapa. Sayangnya hanya bisa diketahui saat anaknya udah lahir ya.” Kata suamiku.



“Sayang, sebetulnya...” Kataku.



“Iya, sudah sudah. Intinya, aku berpikiran, itu bisa aja anak aku, bisa aja anak si Indra. Emang selama ini kamu di rumah terus. Tapi yah aku kan ga tau nih. Bisa aja kamu lolos dari pengawasanku. Intinya, aku paham lah.” Kata suamiku.



Oh, baiklah kalau begitu.



“Sayang, aku mau tanya. Kenapa kamu menyikapinya dengan setenang ini? Apa kamu nggak takut?” Tanyaku.



“Ga takut? Hahaha. Jelas takut lah. Tapi yah mao gimana sekarang. Aku udah berusaha yang terbaik, bener-bener udah yang terbaik yang aku berikan. Sisanya tinggal Tuhan sih yang menentukan. Apakah emang kamu itu ditakdirkan untuk sama aku, atau sama dia. Itu aku pasrah aja ama Tuhan.” Kata suamiku.



“Maksudku, kamu nggak marah sama aku?” Tanyaku.



“Awalnya sih marah. Tapi sekarang mau gimana lagi? Hati kamu emang udah kebagi dua sekarang. Orang bilang kan ga mungkin hati itu bisa mencintai dua orang dengan porsi yang sama. Tapi buktinya kejadian tuh di kamu.” Kata suamiku.



Aku hanya bisa terdiam dan menunduk.



“Malah, mungkin jalan yang diajukan oleh Indra itu bagus juga. Itu bakal nentuin hasil tetapnya. Kalau ga gini, aku sama si Indra bakal selamanya memperebutkan kamu. Aku suami sah kamu, terus kamu sama Indra main belakang. Bakal selamanya gitu. Yah mending diputuskan aja dalam delapan bulan lagi. Yang kalah, mundur. Yang menang, boleh sama-sama kamu. Gitu kan simpel.” Kata suamiku.



“Sayang, maaf. Aku udah gagal sebagai seorang istri. Aku nggak bisa setia sama kamu, dimana itu kan kewajibanku sepenuhnya untuk nerima kamu baik dalam senang maupun susah.” Kataku.



“Yah, maaf juga nih. Aku akan ngomong bahwa kamu itu istri yang durhaka. Maaf ya aku ngomong gitu, dan tentu kamu harus terima jika aku ngomong gitu.” Kata suamiku.



Aku pun merasa sedih sekali dibilang begitu oleh suamiku. Akan tetapi, memang begitulah kenyataannya. Walaupun aku menangis, aku terima sepenuhnya perkataan suamiku.



“Tapi gini. Meskipun kamu itu durhaka, kamu udah menunjukkan itikad baik. Kamu berani jujur. Bukan cuma berani jujur sama aku kalo kamu udah selingkuh, tapi kamu juga udah jujur sama perasaan kamu sendiri. Aku kasihtau ke kamu. Bahaya lho kalo kamu ga jujur sama perasaan kamu. Ujung-ujungnya, meski kita udah baikan, pasti kamu tetep akan main belakang. Mending begini, jadinya aku juga awas bahwa kamu pastinya bakal terlibat dengan kasus yang sama lagi. Dan karena kejujuran kamu itulah, aku juga patut muji kamu bahwa kamu itu orang yang hebat. Kamu tahu dengan main hati ke orang lain, resikonya sangat besar, baik dunia dan akhirat. Tapi, kamu tetep nekat. Entah, kamu berjuang demi diri kamu sendiri, atau kamu memang nekat. Anyway, dua-duanya itu mampu bikin aku terkesima.” Kata suamiku.



“Terus kedua, yang namanya istri kalo udah durhaka, itu tuh suaminya wajib nolong, bukan nelantarin. Aku bukannya ga marah lho, aku marah sekali. Tapi inget, ajaran agama kita itu mewajibkan untuk memaafkan sebanyak tujuh puluh tujuh kali tujuh kali, atau kata lainnya tanpa batas. Kalo aku nyerah sama kemarahan dan harga diri, aku berarti jelas lemah. Walau dengan kondisi gini, aku bingung sih gimana cara nolong kamu, secara hati kamu kebagi dua gitu. Paling yang bisa aku harapin ya semoga anak yang dalam perut kamu itu anak aku.” Kata suamiku.



Ah, luar biasa. Begitu hebat suamiku ini. Aku memang tidak pantas untuk mendapatkannya. Kenapa takdir memberikan aku sebagai istrinya ya? Takdir itu memang sulit ditebak.



***



Kini, usia kehamilanku sudah empat bulan. Perutku pun mulai membesar. Tentu saja aku masih memikirkan, kira-kira ini anak siapa ya? Suamiku pasti juga takutnya bukan main. Sebetulnya, aku berharap agar anak ini suamiku, agar aku bisa tetap bersama suamiku, dan kita mungkin bisa mulai dari nol lagi. Jika itu memang demikian, aku berjanji akan menjadi istri yang lebih baik lagi dari sekarang. Akan tetapi, aku tahu hati kecilku pun juga berharap bahwa ini adalah anaknya Indra, karena aku pun mendambakan kehidupan bersama dia. Ah, biarlah takdir yang menentukan.



Sekarang, suamiku sedang dinas keluar negeri. Yah begitulah pekerjaan suamiku, begitu ada bencana alam, dia langsung keluar negeri dan survey. Kudengar, Indra pun juga pergi ke tempat yang sama. Aku termenung, apakah Indra tahu bahwa aku sedang hamil sekarang? Apa ya kira-kira reaksi dia begitu tahu aku hamil? Dia pernah cerita bahwa dia pernah mencoba untuk datang ke rumahku, tetapi tidak bisa mencapai rumahku karena banyak orang yang mengawasi dia. Suamiku protektif juga ya. Mungkin, dia sudah mencoba beberapa kali untuk datang ke rumahku, tapi belum berhasil.



Suamiku memberitahuku bahwa ia akan pergi selama seminggu. Yah, menurutku sih waktu yang cukup lama. Apalagi, aku sekarang di rumah sendirian, dan hampir tidak ada hiburan. Lagi-lagi aku mengerti bahwa ini semua salahku sebetulnya.



***



Tiga bulan pun sudah berlalu. Kini, usia kehamilanku memasuki umur tujuh bulan. Seperti biasa, suamiku menemaniku memeriksa ke dokter kandungan. Dokter pun mengatakan bahwa kondisi janinku baik dan sehat. Aku dan suamiku pun cukup lega.



Meskipun suamiku cukup lega, tetapi suamiku terlihat lebih sering termenung. Sejak pulang dari luar negeri tiga bulan lalu, suamiku menjadi pendiam dan lebih sering termenung. Kenapa ya? Mungkinkah karena ini adalah saat yang cukup krusial untuknya? Aku pun memeluk leher suamiku.



“Aku tahu kamu pasti kepikiran banget ya, sayang.” Kataku.



“Ah... iya... itu, dan satu hal lainnya...” Kata suamiku.



“Oh, hal lain apa?” Tanyaku.



“Ah, udahlah. Aku ga lagi pengen ngomong.” Kata suamiku.



Aku sih memahami saja. Jujur, aku disini jadi merasa bersalah sekali. Andai waktu itu aku tidak mengiyakan ajakan Indra untuk ikut pergi bersamanya ke Puncak, mungkin buntutnya tidak akan sepanjang ini. Di sisi lain, mungkin aku memang berjuang untuk kebahagiaan diriku sendiri, makanya mungkin di sisi lain aku tidak menyesalinya. Padahal seharusnya perselingkuhan itu didasarkan pada orientasi kepuasan seks saja, jangan sampai melibatkan perasaan, jangan beri ruang untuk main hati. Beginilah akibatnya karena aku dan Indra sama-sama memberi ruang untuk perasaan dan hati.



“Sayang.” Kataku.



“Ya?” Tanya suamiku.



“Maaf banget ya. Ini maaf banget lho. Aku tau kamu nggak bakal ngizinin aku ketemu Indra. Itu nggak apa-apa. Tapi, bisa nggak kira-kira kamu ketemu sama Indra, dan kasihtau kalo aku hamil? Gitu-gitu, dia juga berhak tahu.” Kataku.



Suamiku pun menghela napas panjang.



“Gini aja. Misalkan anak itu lahir, dan ternyata itu memang anak dia, aku akan kasihtau dia. Dan sesuai perjanjian, aku nggak akan ngehalangin Indra, untuk jadi bapak yang sah atas anak itu, dan juga suami sah dari kamu.” Kata suamiku.



Ah, artinya, jika anak ini adalah anaknya Indra, kita harus berpisah ya? Yah, mau gimana lagi? Akan tetapi, benarkah hubunganku dengan suamiku yang sudah terbina selama sepuluh tahun harus kandas begitu saja? Aku kembali mengingat kenangan dengan suamiku, saat masih pacaran dulu, saat merencanakan pernikahan, saat resepsi pernikahan, saat malam pertama, dan hari-hari indah kami setelah menikah. Bahkan, setelah kasus yang menimpa diriku ini pun, suamiku masih bisa bertindak lapang dada. Bahkan, dia tetap layaknya seperti seorang suami, begitu siaga saat aku berada dalam masa hamil begini. Ia selalu siaga di malam hari, takut-takut jika terjadi sesuatu. Ia selalu menyempatkan waktu untuk mengantarku ke dokter untuk checkup kehamilan. Ia selalu memikirkan diriku, mengingatkan aku untuk menjaga pola makanku agar bayi dalam kandunganku sehat. Padahal, anak di perutku ini belum tentu anaknya sendiri. Suami mana lagi yang hebat seperti dia? Aku yakin hanya satu diantara satu juta orang. Mungkin dia memang kurang perkasa di ranjang, tetapi dia sungguh perkasa sebagai seorang laki-laki. Inilah pertama kalinya aku betul-betul menyesal telah mengkhianati dia. Diam-diam, aku pun menitikkan air mataku.



***



Di suatu pagi subuh hari, aku pun terbangun karena tiba-tiba merasa mulas. Ah, aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Akan tetapi, di saat yang sama, aku tahu bahwa ini adalah saatnya untuk melahirkan bagiku. Suamiku pun menyadari hal itu. Ia pun langsung menuntunku ke mobil, dan mengambil tas berisi pakaian dan makanan untuk di rumah sakit. Setelah ia memasukkan tas ke mobil, ia pun langsung bergegas mengemudikan kendaraannya menuju rumah sakit. Aku bisa lihat dari raut wajahnya saat menyetir, ia tampak begitu serius. Ia berusaha mengantar aku ke rumah sakit secepat mungkin, tapi dengan tetap mempertahankan keselamatanku.



Tidak butuh waktu yang lama bagi kami untuk sampai di rumah sakit. Suamiku pun langsung mengambil kursi roda, dan kemudian mengantarku ke kamar bidan. Bidan yang berjaga di rumah sakit pun melakukan pemeriksaan terhadap diriku, dan ternyata sudah pembukaan tujuh. Wow!



***



Aku tidak tahu berapa jam telah berlalu, tetapi akhirnya dokter dan bidan pun membawaku ke ruang bersalin. Di ruang bersalin, suamiku pun sempat menggenggam tanganku, dan kemudian ia menganggukkan kepala untuk memberiku semangat. Aku pun berdoa. Bukan berdoa untuk keselamatanku sendiri, tapi berdoa untuk suamiku. Aku berdoa, agar bayi ini adalah bayi dari suamiku. Akan tetapi, aku juga berdoa, kalaupun jika bayi ini bukan bayi suamiku, aku berdoa seyakin-yakinnya dan sepasrah-pasrahnya sambil menangis, agar suamiku menemukan kebahagiaan sejatinya, agar suamiku menemukan pendamping hidup yang jauh lebih baik dan menghargai dirinya dan bukan sepertiku yang begitu durhaka terhadap suamiku.



Dengan dukungan yang begitu kuat dari suamiku, dan petunjuk arahan dari dokter dan bidan, aku pun berhasil melahirkan dengan selamat. Rasanya pun plong sekali. Akan tetapi, aku belum merasa tenang sepenuhnya. Begitu juga dengan suamiku, pasti dia takutnya bukan main. Dokter pun langsung meletakkan bayiku diatas tubuhku, untuk memulai proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayiku tampak sehat dan kuat. Aku pun cukup lega.



“Dok, saya minta tolong. Tolong tes DNA anak ini dengan suamiku.” Kataku.



“Honey, itu nanti aja.” Kata suamiku.



“Betul, bu. Seperti kata suami ibu. Sebaiknya itu tidak dilakukan sekarang. Meskipun bayi ibu kondisinya sehat, tapi kan yang namanya bayi, kondisinya masih sangat rapuh. Ada resiko untuk menimbulkan trauma pada diri sang bayi.” Kata dokter.



“Dok, saya paham. Tapi saya mohon, dok. Ini demi suami saya. Suami saya lah yang selalu menemani saya dalam kondisi apapun selama saya hamil, dan sebelum hamil. Dialah yang selalu menjaga saya dan berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan saya. Dan bayi ini adalah hal yang krusial bagi dirinya sekarang. Saya tidak peduli ada resiko apapun, saya berani mengambilnya.” Kataku.



“Honey...” Kata suamiku.



“Udah. Aku udah yakin. Aku nggak mao bikin kamu semakin takut aja.” Kataku.



“Ibu yakin?” Tanya dokter.



“Seratus persen, dok.” Kataku.



Dokter pun menghela napas panjang.



“Baik, pak. Silakan lewat sini.” Kata dokter.



Suamiku pun mengikuti dokter itu berjalan keluar dari kamar bersalin. Aku masih disini, anakku ini sekarang sedang berusaha untuk mencari puting susuku untuk menyusu. Sambil membantu anakku, aku pun menunggu. Aku pasrah dengan hasil apapun.



***



Sehari pun sudah berlalu. Hari ini adalah saatnya hasil tes DNA keluar. Suamiku pun pergi ke lab untuk mengambil hasilnya.



Tidak berapa lama kemudian, ia pun kembali, dan menyerahkan hasil tes DNA kepadaku. Aku pun membuka hasil tes DNA itu. Ah... Rupanya bukan anak suamiku ya. Baiklah, mungkin ini memang jalan yang terbaik bagi kami. Aku melihat suamiku pun sudah menerimanya. Tidak ada ekspresi kecewa, tapi ia pun juga tanpa senyum. Aku melihat kantung matanya yang begitu tebal. Semalam dia tidak tidur karena menjagaku dan membantuku mengurus anakku. Dan melihat hasil tes DNA itupun, ia tampak tidak menyesal. Sungguh, ini adalah hal hebat dari suamiku yang mungkin akan aku lihat untuk terakhir kalinya.



“Sayang.” Kataku.



Suamiku tidak menjawab, ia hanya melihat kearahku.



“Kayanya, emang jalan kita untuk berpisah disini. Terima kasih udah jadi suami yang paling baik buat aku. Aku yakin, Indra pun tidak sehebat kamu, dan mungkin tidak ada yang sehebat kamu. Udah cukup kamu menanggung beban pikiran, hati, dan harga diri selama ini. Kamu boleh pergi sekarang, tinggalin aku aja. Meskipun aku nggak ada yang nemenin, aku akan baik-baik aja. Kamu pulang ke rumah, dan tidur yang cukup ya, semalem kan udah nggak tidur.” Kataku.



Suamiku pun hanya menundukkan kepalanya. Aku pun mulai menitikkan air mata.



“Maaf, sekali lagi maaf, udah ngebuat kamu sakit, udah mempermalukan kamu. Kamu nggak perlu sedih kehilangan aku, karena aku ini seorang istri yang durhaka, istri yang nggak bisa menghargai kamu sebagai suami. Aku yakin, kamu pasti akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Awalnya pasti susah buat move on, tapi aku tahu kamu pasti bisa. Kamu gitu loh. Dan kalau kamu udah move on, kamu harus lebih pinter ya dalam menyeleksi wanita, jangan sampai dapet yang kaya aku. Pokoknya... pokoknya kamu harus bahagia, jangan... jangan sampai kamu sedih dan hancur hidup kamu... cuma karena wanita kayak aku gini...”



“Terus juga, itu rumah... itu rumah kamu kok... kamu yang beli rumah itu untuk kita... Aku nggak akan nampakin diriku lagi di depan kamu... Aku nggak akan lagi ngebebanin kamu... Dan satu hal... Aku bakal selalu support kamu... Entah itu dari balik bayangan... atau kapan pun kamu butuh bantuan aku, aku pasti... bakal bantu... Sekalipun aku harus mati, aku... aku pasti bakalan bantu kamu sekuat tenaga...”



“Iya. Aku ngerti, dan makasih. Aku tahu perkataan kamu itu jujur... Aku tahu... Kalo ga ada kebohongan setitik pun dalem perkataan kamu.” Kata suamiku.



Aku pun semakin menitikkan air mataku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tetap kuat. Aku tidak mau menangis di hadapan pria yang sudah bukan suamiku lagi. Paling tidak, aku tidak mau membebani pikirannya.



“Apa kamu udah selesai bicaranya?” Tanya suamiku.



Aku pun hanya mengangguk.



“Oke, kali ini gantian ya aku yang bicara. Ada hal yang mesti kamu tahu, yang harusnya udah aku kasihtau dari dulu. Paling ga, tolong didengerin ya.” Kata suamiku.



Aku pun hanya mengangguk.



“Pertama-tama, aku udah kirim whatsapp ke Indra, kalo kamu udah ngelahirin, dan anak itu adalah anak dia. Tapi, aku ga tahu apakah dia bisa baca whatsapp aku ato ga.” Kata suamiku.



Eh? Apa maksudnya?



BERSAMBUNG KE EPISODE-10
 
EPISODE 10 : Akhir



--- Lima bulan lalu, POV Hendri ---



Gila, gempa yang menimbulkan tsunami itu berakibat sangat parah di negara ini. Aku tidak menyangka efeknya akan separah ini. Begitu banyak korban jiwa, dan juga kerugian material. Jumlah kerugian material yang ditimbulkan pun tidak main-main. Kota ini betul-betul sudah diporakporandakan oleh alam. Begitu mengerikan. Aku melihat Indra pun begitu kaget.



Akan tetapi, profesionalitas memang tidak memberi waktu bagi kamu untuk kaget terlalu lama. Kami pun harus bergerak cepat, karena tanah disini mulai labil, sehingga bisa runtuh kapan saja. Aku pun segera bergerak. Indra pun sepertinya juga menyadari hal yang sama, ia pun juga bergerak. Akan tetapi, nasibnya sepertinya kurang baik. Ia menginjak tanah yang sangat labil, dan saat itu juga, runtuhlah tempat berpijaknya dan ia pun langsung terjatuh. Akan tetapi, sebelum terjatuh, ia sempat menggapai tanah sekitarnya yang sepertinya cukup kuat.



“Ah, dia ini orang yang menimbulkan masalah begitu besar bagiku.” Kataku dalam hati.



Haruskah aku membiarkannya saja? Akan tetapi, di saat demikian, aku teringat akan Lisa, dan anak yang dikandungnya. Maka, aku pun langsung lari, dan menggapai tangannya. Aku menggapai tangannya di saat yang tepat, karena pegangannya baru saja akan terlepas. Akan tetapi, tubuhnya begitu berat, sehingga tubuhku langsung tertarik karena tidak mampu menahan beratnya. Untunglah, ada patahan lampu jalanan yang bisa kugunakan sebagai pegangan, sehingga aku pun mampu menyelamatkan kami. Akan tetapi, karena tubuh Indra begitu berat, aku tidak tahu sampai kapan aku kuat menahannya. Entah apa peganganku yang terlepas duluan, ataukah patahan lampu jalanan ini yang tidak kuat menahan beban tubuh kami berdua. Maka, aku pun meminta pertolongan.



“TOLOONGG!!” Teriakku sekeras mungkin.



Ah! Kenapa tidak ada orang satu pun? Ah iya, tentu saja, karena ini daerah tanah yang labil. Aku pun berusaha menarik tubuh Indra ke dataran sekuat mungkin. Akan tetapi, tubuhnya terlalu berat. Aku tidak kuat menariknya. Dibawah Indra, menunggu lubang yang tidak kelihatan dasarnya. Siapapun yang jatuh, aku asumsikan tidak akan selamat. Bermenit-menit pun, kami terjebak begini. Pegangan tanganku pun sudah sakit karena menahan beban tubuh Indra yang berat.



“Mas, udah. Lepasin aja aku. Ujung-ujungnya, malah kita mati berdua nanti.” Kata Indra tiba-tiba.



“Ga. Ga bakalan gua lepas.” Kataku.



“Kenapa mas? Aku ini orang yang bikin hancur hidup Mas. Emang begitu penting nolongin aku?” Tanya Indra.



“Asal lu tau, Ndra. Lisa lagi hamil. Empat bulan.” Kataku.



Mendengar hal itu, Indra pun langsung tersentak.



“Em... empat bulan?” Tanya Indra dengan tidak percaya.



“Udahlah. Pokoknya, gua nggak peduliin lu itu siapa. Gimana nanti kalo ternyata anak yang di perutnya itu anak lu? Makanya, gua harus nolongin lu. Meskipun gua sendiri ga suka.” Kataku.



Indra pun hanya bisa terhanyut dalam pikirannya, meskipun kondisinya sedang kritis begini. Sepertinya, ia begitu terhanyut dalam pikirannya, sementara aku disini berusaha keras untuk menyelamatkan kami berdua.



“Ndra, mikirnya nanti aja! Yang penting gimana caranya biar kita bisa selamat dulu!!” Kataku karena mulai tidak kuat menahan tubuh Indra yang berat.



“Mas...” Kata Indra.



“Apaa??!!!” Kataku mulai sewot.



“Seandainya anak itu adalah anak saya, aku minta Mas jadi ayahnya ya.” Kata Indra.



Setelah mengatakan hal itu, dia masih sempat berkomat-kamit membicarakan hal lain yang begitu panjang. Setelah mendengar perkataan yang panjang itu, Indra pun melepaskan tanganku dari tangannya, sehingga ia terjatuh ke lubang yang dalam itu. Ah... Indra... Aku gagal menyelamatkannya. Cih, apa yang harus kukatakan pada Lisa nanti? Aku pun termenung lama di tempat itu sambil berbaring.



***



--- Waktu sekarang, POV Lisa ---



Aku pun kaget mendengar cerita suamiku. Ah, rupanya Indra sudah tidak ada ya? Pikiranku begitu kosong dan hampa. Aku tidak menyangka, bahwa Indra betul-betul sudah tidak ada. Lalu, bagaimana dengan anak kita berdua?



“Jadi gimana? Apa kita jadi cerai?” Tanya suamiku.



“Ah, memangnya kamu masih mao nerima aku?” Tanyaku.



“Sebelum itu, aku mao ngomong dulu. Aku mao ngomong tentang Indra.” Kata suamiku.



Aku pun siap mendengarkan.



“Lisa, dia itu orang yang hebat. Jujur, aku ngerti kenapa aku bisa kalah sama dia. Aku tahu dari raut wajahnya saat ia hendak meninggalkan dunia ini, dari ekspresi wajahnya saat melihat kamu. Dia itu betul-betul sayang sama kamu.” Kata suamiku.



“He-eh, aku tahu.” Kataku.



“Sebelum jatuh, dia pun sempet minta maaf sama aku karena udah ngancurin hidup aku. Dia juga sempet mohon-mohon ke aku, biar aku maafin kamu sepenuhnya. Dan bahkan, dia ngomong ke aku, kalo yang berhak untuk kembali ke sisi kamu adalah aku, dan bukan dia. Dia itu ngorbanin nyawanya, biar aku bisa balik ke kamu. Meskipun aku ga suka ngomong gini, tapi aku harus nyampain, bahwa itu dia lakukan karena dia betul-betul sayang sama kamu. Sekali lagi jujur, aku ga suka ngomong gitu. Tapi, itu adalah pengorbanan hebat yang dia lakukan buat wanita yang dia sayangin. Dia ngorbanin dirinya bukan untuk aku, tapi untuk kamu. Dan aku ngerasa bahwa aku harus nyampein itu ke kamu.” Kata suamiku.



Aku pun hanya diam mendengarkan hal itu. Aku tahu bahwa Indra betul-betul menyayangiku. Meskipun hanya bersetubuh sebanyak tiga kali dengan dia, dari situ saja seolah-olah perasaannya begitu tersalurkan padaku. Aku sama sekali tidak kaget mendengarnya.



“Dan masalah anak itu, Indra juga mohon ke aku, kalo misalkan anak itu ternyata adalah anak dia, biar aku mao jadi ayahnya.” Kata suamiku.



Aku pun hanya diam mendengarkan.



“Aku udah berpikir ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali. Tapi maaf, aku ga bisa. Aku ga bisa menganggap anak itu sebagai anakku sendiri. Bahkan jujur aja, gitu-gitu rasa benci aku sama Indra tetep ada, dan tentu saja anaknya pun juga kena. Aku udah pasti ga akan bisa nganggep anak itu sebagai anakku. Yang ada, percaya deh, kalo aku sama-sama dia terus, pasti aku suatu saat bakal nyalurin rasa benci aku ke anak itu. Jadi gini. Perjanjian tetaplah perjanjian. Aku akan bolehin kamu ngurus anak itu, dengan catatan bahwa berarti kita tetap cerai. Kamu ga mungkin juga kan akan ngabain anak sekecil itu. Itu anak kamu, lho.” Kata suamiku.



“Aku tega ngabain anak ini demi kamu.” Kataku.



“Hah?” Tanya suamiku.



“Aku udah mikir masak-masak. Jujur, dari aku mulai ngelahirin anak ini, sampe keluar hasil tes DNA nya, aku selalu ngarep itu anak kamu. Aku selalu berdoa bahwa itu anak kamu. Bukan demi aku, tapi demi kamu. Paling nggak, dengan ini adalah anak kamu, maka harga diri kamu sebagai seorang pria dan suami, nggak jatuh lebih terpuruk lagi. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Ya apa boleh buat. Tapi ya sekedar biar kamu tahu aja, aku emang udah rencana, seandainya kamu pergi tadi, aku bakal bawa anak ini pergi. Aku juga nggak mao ketemu sama Indra.” Kataku.



“Lho? Kenapa?” Tanya suamiku.



“Aku udah mikir masak-masak, dan untungnya Yang Mahakuasa masih ngingetin aku, bahwa kamu itu lah satu-satunya suamiku. Aku nggak mao biarin orang lain jadi suamiku. Meskipun status kita cerai nantinya, meskipun secara hukum kita udah bukan suami istri, tapi aku sendiri masih menganggap diriku sebagai istri kamu. Aku pengen memulai hidup baru, masih sebagai istri kamu, dan aku ingin mengakhiri hidupku nanti, masih sebagai istri kamu. Meskipun kamu ngga nganggep aku sebagai istri kamu, dan kamu juga ngga nganggep kamu sendiri sebagai suami aku, buat aku tetep kamulah satu-satunya suami aku.” Kataku.



“Untuk anak ini, aku juga merasa nggak berhak atas anak ini. Jadi, aku akan ngasih anak ini ke pasangan suami istri lain yang begitu menginginkan anak, tapi nggak bisa punya anak. Aku akan terus nyari orang yang mau membesarkan anak ini. Selama aku belum ketemu, aku akan ngurus anak ini, sampai aku bisa nemuin orang itu.” Kataku.



“Haah, si Indra itu, sampe bisa memperkirakan sejauh ini...” Kata suamiku.



“Hah? Maksud kamu apa?” Tanyaku dengan heran.



“Oke. Berita positifnya, atau negatif aku ga tau ya, kamu nggak perlu repot nyari orang yang mau membesarkan anak itu.” Kata suamiku.



“Haah? Aku nggak paham.” Kataku.



“Indra juga ngasih aku kontak seseorang. Sebelum dia jatuh, dia sempet ngomong, kalo kamu itu adalah wanita yang sangat dia sayang. Tapi, kamu itu nomor dua.” Kata suamiku.



“Hah? Aku lebih nggak paham.” Kataku.



“Nomor satunya itu adalah kakak perempuannya, yang dari kecil, bahkan sampe sekarang, masih ngurus dia dengan sekuat hatinya. Dia cerita kalo kakak perempuannya itu sangat pengen punya anak, tapi suaminya mandul. Dan dia akan lebih dari sekedar senang hati kalau harus membesarkan anaknya Indra. Kata dia, kalo aku ga mau jadi ayah anak itu, dia mohon-mohon ke aku untuk ngasih anaknya dia ke kakak perempuannya. Jadi, aku akan kasih anak itu ke kakak perempuannya, karena sepertinya dia orang yang paling pantes buat ngurus anak itu.” Kataku.



Mendengar hal itu, aku leganya bukan main. Syukurlah kalau ada orang yang betul-betul mau membesarkan anak ini.



***



Setelah beberapa hari, aku pun sudah boleh pulang. Setelah selesai mengurus segala administrasi rumah sakit, suamiku pun mengantar aku yang membawa anakku ini ke mobil. Kami tidak langsung pulang, melainkan menuju rumah kakaknya Indra.



Sesampainya disana, kami pun disambut dengan ramah. Kakaknya begitu antusias melihat anak dari Indra. Ia tampak begitu menyayangi anak itu. Syukurlah, nak. Nak, ketahuilah, bahwa aku disini hanyalah wanita yang melahirkanmu ke dunia ini, tidak lebih dari itu. Ibumu adalah wanita yang sekarang sedang menggendong dan menciummu dengan penuh kasih sayang itu. Jika suatu hari nanti kamu mengetahui kebenaran yang terjadi akan dirimu, ketahuilah bahwa ibumu tidak lain tetap adalah wanita yang sedang menggendong dan menciummu dengan penuh kasih sayang itu. Aku sama sekali tidak pantas menjadi ibumu. Aku hanya perantara, yang digunakan oleh Tuhan, untuk membawamu ke dunia ini.



Kakaknya Indra pun meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada suamiku dan aku. Suamiku tentu saja menerima permohonan maaf itu. Sementara aku, aku merasa aku tidak patut mendapat permintaan maaf sama sekali. Setelah basa-basi sebentar, kami pun pamit pulang. Setelah itu, suamiku mengemudikan mobilnya menuju rumah kami, tidak, rumah dia. Kami pun turun dari mobil.



“Mas.” Kataku.



“Yah?” Tanya suamiku.



“Aku rasa, kita pisah disini ya. Aku harap, kamu selalu tahu, bahwa dimana pun kamu butuh bantuan aku, aku akan selalu nolongin kamu dengan sekuat tenaga. Dan aku akan selalu berdoa tiap malam, demi kebahagiaan kamu.” Kataku.



Aku pun mendekati suamiku, kemudian mencium tangannya.



“Terima kasih. Udah jadi suami yang begitu hebat buat aku. Aku nggak akan pernah lupa masa-masa yang udah kita lalui bersama. Dan sekarang, aku bisa ngomong, bahwa aku nyesel udah khianatin kamu. Bukan karena Indra meninggal dunia, tapi karena disaat terakhir, aku memilih kamu dibandingkan Indra.” Kataku.



“Udah?” Tanya suamiku.



“Udah.” Kataku dengan mantap.



“Yaudah, kalo gitu ayo masuk. Bikinin aku teh.” Kata suamiku.



“Hah?” Aku hanya bisa melongo.



“Lah, tadi katanya dimana pun aku butuh bantuan kamu, kamu akan selalu nolongin aku dengan sekuat tenaga. Ini sekarang aku baru minta bikinin teh, kamu udah bingung gitu. Gimana aku minta tolong yang berat-berat? Ayo masuk, cepet bikinin aku teh.” Kata suamiku.



“Oh... Oke-oke.” Kataku langsung dengan sigap.



Aku pun langsung masuk ke rumah, dan membuatkan teh untuknya. Setelah selesai kubuat, langsung kusuguhkan kepada suamiku. Suamiku pun langsung meminumnya hingga habis. Cepat sekali dia meminumnya, padahal teh itu panas. Setelah meminumnya, suamiku meletakkan gelas teh itu di meja.



“Hubungan kita emang sempet berada di ujung tanduk. Tapi, aku yakin kita masih bisa benerin ini kok. Kita mulai dari nol lagi ya.” Kata suamiku.



Mendengar hal itu, aku hanya bisa melongo saja.



“Ah? Kamu ngomong apa sih? Kita ini udah bukan siapa-siapa lagi.” Kataku.



“Oh iya? Mana surat cerainya? Aku ga ngerasa tanda tangan tuh. Coba bawa kesini suratnya.” Kata suamiku.



“Mas, aku itu udah nggak pantes lah jadi istri mas.” Kataku.



“Terus, siapa yang pantes?” Tanya suamiku.



“Suatu saat nanti, pasti ada. Aku yakin, Mas.” Kataku.



“Ah, udahlah. Aku emang ngomong, pakai logika kalau mikir. Tapi, sekarang aku ga akan pakai logika. Waktu itu, kita udah ngucapin janji nikah kita. Aku masih inget, aku ngomong kalo aku bakal tetep mengasihi kamu, dalam susah dan sakit, dalam kaya dan miskin. Sekarang ini mungkin kamu lagi sakit, berarti aku harusnya tetep mengasihi kamu dong?” Tanya suamiku.



“Tapi aku nggak demikian tuh! Aku duluan ngelanggar janji nikah kita!! Mas silakan caci maki aku, silakan pukulin aku, aku terima. Mas usir aku sekarang, aku terima!! Dari awal ini karena aku ingkar janji duluan!!” Kataku.



“Lah, itu sih urusan kamu. Ga ada tuh kata-kata bahwa aku harus mengasihi kamu jika dan hanya jika kamu ga ingkar janji. Masalah kamu ingkar janji nikah, itu urusan kamu. Nanti kamu tanggung jawab sana di akhirat. Tapi yang jelas, aku tetep cinta ama kamu sebagai istri aku. Kamu itu adalah orang yang udah Tuhan kasih buat jadi istri aku, dan sampe sekarang aku masih yakin akan hal itu.” Kata suamiku.



“Kamu... kamu yakin?? Aku itu udah jahat loh sama kamu!” Kataku dengan mulai menitikkan air mata.



“Terus, masih mao jahat sama aku?” Tanya suamiku.



“Nggak. Nggak akan lagi.” Kataku.



“Yaudah. Tuh, kamu udah bilang kalo kamu ga akan jahat lagi.” Kata suamiku.



“Tapi, aku udah jahat sama kamu!!” Kataku sambil menangis.



“Yaudah. Aku udah maafin kamu.” Kata suamiku.



Mendengar hal itu, bukan main aku terharunya. Air mataku tidak terbendung lagi, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Dengan refleks, aku pun memeluk suamiku seerat-eratnya. Aku sungguh terharu, suamiku sungguh orang yang begitu hebat. Dia dengan begitu mudahnya memaafkan diriku yang sudah sangat kelewatan ini. Aku tahu, semua bukan karena dia tidak punya harga diri, melainkan karena rasa cintanya padaku mengalahkan seluruh rasa benci dan dendamnya. Aku yakin, dia pasti marah, dia pasti dendam. Tapi, rasa cintanya padaku begitu kuat, sehingga rasa benci dan dendamnya dikalahkan dengan mudah. Sungguh hebat suamiku ini.



“Aku mungkin ga sempurna. Tapi, aku akan selalu berusaha jadi yang terbaik buat kamu.” Kata suamiku.



“Ng... nggak! Kamu... udah jadi yang terbaik buat aku... Yang harus berubah itu aku... Kamu nggak perlu berubah... sayangkuu... huuuu....” Kataku.



“Udah... udah.” Kata suamiku.



“Suamiku, sayang. Aku janji... aku janji akan jadi istri... yang lebih baik... Aku janji nggak... nggak akan jahat lagi sama kamu... aku janji akan jadi istri yang... bisa kamu banggain... dan aku janji... akan jadi istri yang melayani kamu... dalam kondisi apapun... meskipun kamu berubah seperti apapun... aku janji aku akan tetep jadi istri yang baik buat kamu...” Kataku.



“Salah. Enak aja.” Kata suamiku.



“Oh...” Kataku.



“Kalo suami itu berubah kearah yang ga bener, kewajiban istri buat ngingetin dan nuntun kembali ke jalan yang bener.” Kata suamiku.



“Iyaah... Aku janjii...” Kataku.



“I love you, honey.” Kata suamiku.



“Aku juga cinta kamuu...” Kataku.



Hari itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku betul-betul menangis sejadi-jadinya. Air mata ini tidak pernah berhenti karena rasa terharu yang begitu besar. Ya, mulai sekarang, aku janji akan menjadi istri yang baik.



***



Sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu. Sekarang, aku adalah seorang pembimbing hubungan suami istri. Sekarang, aku sedang menjadi pembicara pada suatu seminar mengenai hubungan suami istri yang baik. Sekarang adalah sesi tanya jawab. Aku pun melihat ada orang yang menunjuk tangan.



“Silakan, pak.” Kataku.



“Terima kasih, Bu Lisa. Maaf Bu Lisa, saya ingin bertanya. Seandainya, seorang istri itu selingkuh, tapi bukan istri saya lho yaaa, istri saya baik-baik aja ya hehehe.” Kata bapak itu.



Satu ruangan pun langsung tertawa, termasuk aku.



“Nah, apa yang harusnya seorang suami lakukan? Apakah sang suami harus menceraikannya?” Tanya bapak itu.



“Terima kasih atas pertanyaannya. Sebetulnya, itu adalah pertanyaan yang sangat sulit, tapi saya akan mencoba menjawabnya. Betul kata bapak, sang suami harus menceraikannya. Seorang istri yang selingkuh, itu sudah melanggar kehormatan dirinya dan suaminya. Maka, suaminya wajib menceraikan istrinya.” Kataku.



Seluruh ruangan pun menjadi hening.



“Itulah pendapat saya, pada awalnya. Sampai suatu ketika, saya menemui sendiri seorang pria. Dia adalah suami dari seorang wanita. Wanita itu sudah berselingkuh dengan pria lain, dan bahkan sudah siap jika harus meninggalkan suaminya demi selingkuhannya. Tapi, bukannya menceraikannya, si suami tetap terus berusaha menolong istrinya, mengingatkan istrinya, dan lebih dari semua itu, dia tetap mencintai istrinya dengan sepenuh hatinya. Sampai akhirnya, si wanita itu pun luluh, dan akhirnya tetap memilih untuk memilih suaminya, meskipun ia juga tetap mencintai selingkuhannya itu. Meskipun si wanita akhirnya memilih suaminya, tapi wanita itu merasa sudah tidak pantas untuk suaminya, dan sudah siap untuk berpisah dengan suaminya. Tapi, apa yang dilakukan suaminya? Suaminya itu malah menyuruh wanita itu masuk ke rumah, dan membuatkan teh. Bahkan, suaminya lebih dulu mengajak istrinya untuk memulai hubungan mereka kembali dari nol. Sang suami bilang bahwa dia memaafkan wanita itu, dan bahkan membuat resolusi untuk menjadi yang terbaik bagi si wanita itu. Menurut kalian, apakah sang suami harus melakukan hal itu?” Tanyaku.



Banyak dari para peserta seminar yang menggelengkan kepalanya.



“Tapi, kenyataannya si suami melakukan hal itu. Kenapa? Apakah karena dia tidak punya harga diri?” Tanyaku.



Seorang ibu pun berdiri.



“Mungkin begitu, mungkin karena dia tidak punya harga diri. Tapi, jika kita melihat dari perspektif yang berbeda, menurut saya adalah karena si suami itu mencintai istrinya dengan tulus.” Kata ibu itu.



“Exactly. Betul sekali. Bukan karena sang suami tidak punya harga diri, tapi dia mencintai istrinya dengan begitu tulus. Karena ketulusannya dalam mencintai istrinya, dia tidak memberikan ruang untuk kebencian dan dendam di hatinya. Dan menurut saya, hal itu sangatlah indah, sangatlah hebat. Hatinya lebih besar dari siapapun. Karenanya, wanita itu menjadi sadar, dan sekarang hubungan mereka jadi lebih baik bahkan dari sebelum si wanita selingkuh.” Kataku.



“Jadi, menjawab pertanyaan bapak yang tadi. Seorang suami harusnya membantu istrinya untuk bangkit dan kembali ke jalan yang benar. Itulah kewajiban seorang suami. Bukan meninggalkannya. Semua suami istri pastinya menikah dengan harapan akan bahagia, dan pastinya sudah berjanji untuk tetap mencintai satu sama lain dalam kondisi apapun.” Kataku.



“Dan bagi para istri, bukan berarti ini artinya boleh bebas selingkuh. Ketahuilah, bahwa jika kalian para istri berselingkuh dari suami kalian, akan ada ganjaran berat yang menanti kalian. Saya yakin akan hal itu.” Kataku.



Perkataanku pun disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Setelah itu, tidak lama kemudian pun seminar berakhir. Aku langsung menuju rumah karena hari sudah lumayan malam.



Sesampainya di rumah, suamiku sudah menungguku.



“Honeey, pulang juga kamu akhirnya.” Katanya sambil memelukku.



“Hehehe. Aku udah pulang nih. Kamu udah makan belom?” Tanyaku.



“Belom.” Kata suamiku.



“Loh kok belom? Udah malem ini!!” Kataku.



“Hehehe. Maonya dimasakin sama kamu.” Kata suamiku.



“Ah, aduuhh. Dasar suamiku ini orang paling manja sedunia.” Kataku.



“Masakiiinn...” Kata suamiku.



“Iya. Aku masak dulu ya.” Kataku sambil pergi ke dapur.



Sesampainya di dapur, aku langsung menyiapkan bahan makanan untuk memasak nasi goreng kesukaannya. Akan tetapi, bukannya menunggu dengan sabar, suamiku seperti biasa selalu menggangguku. Dia mencampur kecap yang banyaknya bukan main.



“Aduuuhhh... Kebanyakan kecapnya... Nanti kemanisan!!” Kataku.



“Oh, iya kemanisan ya. Yaudah deh, aku campur garam.” Kata suamiku sambil memasukkan garam ke wajan penggorengan.



“OH MY GODD!!! Kamu ngerecokin aja yaaa...” Kataku sambil mengelitiki suamiku.



“Hehehehehehe. Maaf-maaf.” Kata suamiku.



Kami pun tertawa terbahak-bahak di dapur. Yah, yang ada bukannya masak makanan, malah sama-sama gila bikin hancur makanan. Meskipun demikian, aku sangat menikmati aktivitasku bersama suamiku. Begitu juga suamiku, ia tampak begitu polos dan menyebalkan, main tertawa seenaknya saja.



Ya, kehidupan suami istri itu memang seharusnya seperti ini. Pasti ada jatuhnya, pasti ada godaan yang kuat, itu tidak bisa dihindarkan. Aku sangat bersyukur mendapatkan suami seperti suamiku ini. Suami yang mau menerima seluruh kekurangan istrinya, suami yang siap siaga membantu istrinya bangun ketika sedang terjatuh, suami yang begitu tulus menerima kehadiran kembali istrinya yang sudah jahat kepadanya. Aku sekarang menjalani kehidupan yang begitu bahagia. Meskipun kehidupan ranjang kami tidak membaik, tetapi aku merasa dengan adanya kebahagiaan lain di luar ranjang, aku merasa lebih dari cukup.



Untuk kalian semua, jangan kalian coba-coba untuk merusak hubungan suami-istri yang sudah kalian mulai dan kalian bina. Aku yakin, jika kalian merusaknya, akan ada ganjaran sangat berat yang menanti.



TAMAT
 
at last, end.

akhir yg diluar perkiraan.
salut unt sang suami.... luarbiasa. also buat lisa.

thanks suhu for the story.... emejing
 
Mantap jiwa..... saya suka dengan pikiran anda suhu.....
Semua orang tidak ada yang sempurna... banyak cacat meski tertutup rapi dengan penampilan jasmani...
Tapi indikator nya untuk berubah adalah berani untuk melawan keinginan kita sendiri..
Karena kita semua akan di uji dengan keinginan kita sendiri meskipun itu menuju kehancuran tapi keinginan kitalah yang membenarkan nya.
Begitu kita bisa melawannya .. disitulah HARAPAN itu bertumbuh... dan berbuah kebaikan...
Nice story... cerita yg sama dengan yg ????? Alami ...
 
2 cinta yg tulus bener indah...makasih dah kasih kisah yg menyentuh..
 
Bimabet
Duh jadi terharu sama endingnya....
Btw, msh ada yg kurang hu kyknya.
Yang di satukan Tuhan, tidak bisa di ceraikan oleh manusia.

Hehehehe maap cuma numpang curcol doang
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd