Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Dewi Anjani

CHAPTER 3



"Sayang.. udah pagi nih.. bangun yuk.." ujar Wulan membangunkanku pelan.

"Eh.. Wulan??" jawabku kaget dibangunkan dengan panggilan ‘sayang’ olehnya.

"Ih kamu kenapa? Kok kaget gitu?" tanya Wulan heran.

Jelas saja aku kaget. Aku terbangun, dan melihat Wulan masih lekat dalam rangkulanku. Setelah pergumulan dengan Anjani semalam, kami langsung tertidur dengan posisi masih saling berpelukan.

“Sayang…” panggil Wulan sekali lagi. Dia masih merengut bingung melihat reaksi ku.

Wulan yang sama, Wulan yang baru kurenggut keperawanannya malam tadi. Wulan yang masih telanjang bulat dengan bercak sperma dan sedikit darah keperawanan yang mengering disekitar paha nya.

Meskipun Anjani bilang kalau wanita yang berhasil kusetubuhi dan menerima sperma ku di rahimnya akan mencintaiku sepenuh hati, tapi aku tetap saja tidak menyangka kalau Wulan akan benar-benar menganggapku sebagai kekasihnya seperti saat ini.

"Enngg... semalam.." jawabku kikuk ingin membahas apa yang telah kami lalui semalam.

Ada sedikit rasa bersalah mengingat aku telah merenggut keperawanan Wulan yang telah ia jaga selama ini. Apalagi aku merenggutnya ketika tubuhnya sedang dikendalikan oleh Anjani, bukan atas kemauannya sendiri.

"It was incredible honey..." potong Wulan sambil tersenyum manis. Sebuah kecupan dari nya pun turut mendarat di pipiku.

"Jangan tinggalin aku ya.." lanjutnya lagi.

Merinding aku mendengar kalimatnya barusan. Keraguan atas cinta Wulan yang semu pun luntur seketika.

Wulan, gadis impian ku, kini telah resmi menjadi kekasihku.

Kekuatan yang diberikan Dewi Anjani memang bukan kaleng-kaleng. Aku sungguh bersyukur jatuh ke jurang ini bersama Wulan.

Walaupun kini aku dan Wulan masih sama-sama telanjang, tetapi tidak ada sedikit pun nafsu yang terbersit di antara kami.

"Aku engga bakal ninggalin kamu sampai kapan pun sayang.." balasku dengan penuh cinta.



Sudah sekitar 2 jam aku dan Wulan berjalan turun sejak keluar dari gua. Perkiraanku, seharusnya kami sudah dapat sampai ke desa kurang dari satu jam lagi.

"Capek engga yang?" tanyaku kepada Wulan yang terlihat sudah kelelahan. Bulir keringat sudah membasahi kemeja flanel yang ia kenakan.


WULAN

"Capek sih engga, tapi aku laper yang huhuhu..." jawab Wulan sambil meringis kelaparan. Maklum lah, tidak ada stok bahan makanan yang tersedia di tas kami berdua.

Carrier ku berisikan tenda dan alat masak, sedangkan backpack Wulan hanya berisikan baju-baju keperluannya.

‘Andai saja aku tidak menaruh semua bahan makanan di dalam carrier Santiko..’ sesalku. Alhasil, aku dan Wulan harus kelaparan sejak kemarin.

"Bentar lagi sampe kok sayang.. Sabar yaaa.." jawabku sambil mengusap keringat yang membasahi dahi Wulan.

"Huuu... beneran bentar lagi sampe kan yang? Aku udah mau pingsan nihhh.." jawab Wulan sambil sempoyongan. Takut Wulan terjatuh, aku pun langsung memeluk tubuhnya dengan sigap.

"Gitu dong dipelukkk... hihihi.." ujar Wulan tersenyum. Ternyata dia barusan cuma pura-pura supaya aku memeluknya.

Dasar modusss...

Wulan yang dulu kukenal pendiam dan selalu jaga manner, ternyata bisa berubah 180 derajat menjadi amat manja seperti sekarang ini. Beruntung nya aku bisa mendapatkan wanita sesempurna Wulan.

"Iyaa, nanti kalo kamu pingsan aku gendong dehhh.." jawabku sambil memeluk tubuhnya lebih erat.

"Mauuuuu...." jawabnya lagi membalas candaanku. Duhh.. manisnya..

Usai sejenak beristirahat, kami pun kembali melanjutkan perjalanan.

Kami sudah tak sabar untuk segera berkumpul kembali dengan Santiko dan Dea. Kuyakin mereka berdua pasti sangat mengkhawatirkan kami.

Sambil bergandengan tangan, kami terus menyusuri pepohonan rimbun yang ada di hutan ini. Aku terus memberi Wulan semangat supaya dia tetap kuat melanjutkan perjalanan.

Untungnya trek yang kami lalui menampilkan panorama yang menawan. Walaupun sudah kepayahan menyeret kaki nya, perhatian Wulan lumayan terpecah dengan mengagumi pemandangan yang tersaji indah.

Tak lama, jalanan menurun yang terjal mulai melandai seperti jalanan yang ada di area pedesaan. Hamparan perkebunan warga pun sudah mulai terlihat dari jauh. Pertanda kalau kami sudah hampir keluar dari hutan.

“Kita udah sampe ya yang?” tanya Wulan.

“Iya nih, kayaknya di bale desa itu lagi rame deh yang. Semoga Santiko sama Dea juga ada disitu” jawabku sambil melihat ke arah kerumunan warga di bangunan besar di ujung jalan.

Kami pun makin bersemangat menuju ke arah kerumunan tersebut. Tak sabar untuk segera bertemu dengan Santiko dan Dea.

"Itu mereka ya??" riuh beberapa warga ketika melihat aku dan Wulan berjalan mendekat ke arah bale. Beberapa warga terlihat menunjuk-nunjuk ke arah kami.

"GILANGGGG!!!! WULANNNN!!!" teriakan Santiko dan Dea terdengar kencang dari balik kerumunan. Para warga pun memberi jalan kepada mereka untuk berlari menyambut kami.

"Alhamdulillahhhh.... mereka selamatttt..." ujar beberapa warga desa mensyukuri keselamatan kami berhasil kembali turun dari gunung.

"Assssuuuuuuuu.... aku kira kamu ga bakal selamat suuuuu..." ujar Santiko sambil memelukku erat.

Disebelah ku, Wulan pun terlihat gelagapan menerima pelukan kencang Dea. Air mata Dea terlihat jatuh dari pelupuk mata nya mendapati sahabat nya dapat kembali dengan selamat.


DEA

"Selamat sih selamat.. tapi aku laper suuu.." jawabku atas pertanyaan Santiko tadi.

“Mas.. Mba.. Temennya diajak ke bale dulu biar istirahat..” ujar salah satu Mbok mengingatkan Santiko dan Dea.

“Oalah iya Mbok! Aku sampe lupa. Ayo Lang.. Ayo Lan.. Kita makan di bale yuk!” ajak Santiko sambil mengarahkan rombongan kami ke arah bale.

Warga yang berkerumun pun mulai menyebar mengurusi urusan masing-masing.

Ada yang ke puskesmas memanggil dokter untuk memeriksa kondisi kesehatan kami. Ada pula yang langsung sibuk menyiapkan makanan untuk dihidangkan.

Sambil menunggu makanan disajikan, aku dihampiri beberapa tetua desa serta ranger gunung untuk menanyakan beberapa pertanyaan perihal musibah yang menimpa kami kemarin.

Aku pun menjawab pertanyaan mereka dengan lugas, supaya menjadi bahan koreksi dan perbaikan di jalur pendakian gunung ini. Mereka tampak antusias dengan jawabanku serta meminta maaf atas kejadian musibah yang menimpa kami.

Tentu saja aku tidak menceritakan pengalaman ku dengan Dewi Anjani kepada mereka. Bisa geger desa ini kalau aku menceritakan keberadaan Dewi Anjani yang telah menyelamatkan kami.

Rentetan pertanyaan dari mereka baru berhenti ketika dokter puskesmas sudah tiba di bale desa. Dokter tersebut memeriksa kondisi kesehatan aku dan Wulan bergantian.

Dokter itu cukup kaget ketika tidak ditemukan luka yang serius di tubuh kami berdua. Untung saja, sebelum dokter itu bertanya lebih lanjut, beberapa ibu-ibu sudah datang membawakan makanan untuk kami santap.

“Ayo pada bubar dulu... Biar Mas sama Mba nya bisa makan sama istirahat..” ujar salah satu ibu yang membawa ayam bakar yang terlihat begitu lezat.

Selepas mereka bubar, aku dan Wulan pun langsung menyantap makanan dengan kalap. Meskipun sederhana, makanan yang tersaji terasa begitu nikmat mengisi kekosongan perut kami sejak kemarin.

“Pelan-pelan su makannya..” ujar Santiko memperhatikan aku dan Wulan makan dengan lahap.

“Iya bawel..” jawabku singkat menanggapi Santiko.

“Yang, ini sambel nya enak banget deh..” ujar Wulan sambil menyuapi ayam bakar yang dicocol dengan sambel merah buatan warga desa.

“Ih iya enak banget..” jawabku setuju sambil melahap makanan yang disuapkan Wulan ke arah mulut ku. Tanpa aku sadari, Santiko dan Dea saling lirik kebingungan.

“Yang.. yang.. kepalamu peyang??” ujar Santiko yang daritadi gatal ingin berkomentar.

“Kalian tuh… jadian??!” timpal Dea tidak tahan ikutan bertanya usai melihat gerak-gerik aku dan Wulan yang kelewat mesra.

Oh iya… aku baru ingat kalau mereka belum tahu kalau kami sudah jadian. Pantas saja Santiko dan Dea menatap kami dengan heran sejak tadi.

“Iya donggg.. aku sama Gilang udah jadian hehehe” jawab Wulan cepat. Wulan tampaknya tidak ingin merahasiakan hubungan kami berdua.

“KOK BISA?” ujar Santiko dan Dea hampir bersamaan.

Aku pun mau tak mau mengarang cerita supaya mereka percaya dengan apa yang kami alami di gua. Tentu tidak mudah menghilangkan cerita bagaimana kami berhubungan badan hingga akhirnya Wulan melepas keperawanannya ketika masih dalam pengaruh Dewi Anjani.

Namun dengan dibantu kemampuanku untuk menanamkan sugesti di pikiran Wulan, kami berdua pun dapat membuat cerita yang mengalir yang dapat dipercayai oleh Santiko dan Dea.

“Wahhh… selamat ya.. duh aku sirik deh sama kalian..” ujar Dea setelah menelan semua cerita yang kami sampaikan. Dea terlihat begitu senang melihat aku dan Wulan berpacaran.

Berbeda dengan Dea, Santiko melirik ku dengan tatapan sinis.

Tanpa perlu kubaca pikirannya, aku bisa menebak kalau dia sekarang sedang merutuki diri nya sendiri.

“Kan rencana nya aku yang mau nembak Dea di gunung ini suuuu… kok malah kamu yang jadian duluan sih??? Asyuuu…”

Hehehe.. maaf ya San, nanti pasti kubantu kamu supaya bisa jadian sama Dea ya..

---

Tak terasa perut kami sudah terisi penuh. Sambil lanjut bergurau, kami pun kini dapat beristirahat dengan tenang sambil menikmati angin sepoy-sepoy di bale desa.

Sayang, kedamaian yang baru saja kami peroleh ini mendadak lenyap dengan kehadiran tamu yang tak diundang..

"WULAN!"

Sebuah panggilan dengan nada tinggi sontak membuat kami berempat menoleh kaget.

Sesosok gadis cantik. Amat cantik. Bahkan kecantikannya dapat kubilang melebihi kecantikan Wulan, kini berdiri berkecak pinggang di pinggir bale.

Disamping nya berdiri seorang pria dengan tampilan metroseksual yang sepertinya pacar dari sang gadis.

"Ka.. Kakak.. Kok.. Kakak ada disini.." jawab Wulan terbata melihat kedatangan sosok yang dipanggilnya Kakak tersebut.

Nama gadis itu adalah Luna.


LUNA

Saudari Wulan satu-satunya yang terkenal cantik dan juga mempesona. Tidak hanya cantik, tapi Luna terkenal pintar dan berprestasi. Seolah tidak ada yang cacat pada diri nya.

Selisih umur kami adalah 4 tahun. Dia lulusan sarjana dengan IPK tertinggi tahun lalu dari kampus yang sama dengan kami berempat. Luna terkenal angkuh dan suka merendahkan mahasiswa lain yang tidak lebih pintar, cantik, apalagi tidak lebih kaya dari diri nya.

Berbeda dengan Wulan yang terkesan kalem dan baik hati, Luna benar-benar memancarkan aura arogansi yang amat intimidatif.

Sejak dia berdiri di pinggir bale, tidak ada sedetik pun dia melirik ke arah aku, Santiko atau pun Dea. Seakan-akan kami tidak pantas untuk di sapa olehnya.

"Kamu tuli ya Lan?” cecar Luna tajam. “Kan udah Kakak bilang supaya jangan bergaul sama mereka! Lihat sekarang jadinya gimana? Kamu celaka kan?"

"KAK! JANGAN NGOMONG GITU!!!" mendengar ucapan kakak nya yang tidak mengenakkan hati dan telinga, Wulan pun langsung memotongnya dengan nada tinggi.

"KENAPA MEMANG NYA?! UDAH BERANI KAMU NGELAWAN KAKAK?" balas Luna dengan nada yang tak kalah tinggi. Wulan terlihat bergidik karena dibentak oleh Luna.

"Kalau si kampungan ini engga ngabarin, kakak juga engga bakal tau kalo kamu pergi kesini!" ujar Luna lagi sambil menunjuk ke arah Dea.

Label ‘kampungan’ yang disematkan Luna ke Dea pun sontak membuat Dea sakit hati. Mendengar ucapan Luna yang merendahkan Dea, Santiko pun langsung terpancing emosi dan hampir maju mengkonfrontasi Luna.

“Jangan su..” ujarku pelan sambil dengan sigap menangkap tangan Santiko supaya tidak maju. Aku tidak ingin konflik Wulan dan Luna malah makin runyam kalau Santiko ikut-ikutan.

“Tapi su!” ujar Santiko tidak terima ku tahan. Sebelum Santiko melanjutkan ucapannya, aku langsung menenangkan Santiko dengan ilmu pengubah pikiranku.

Begitu pun dengan Wulan, aku menggunakan ilmu ku untuk membuatnya tenang supaya tidak semakin memperkeruh suasana. Beberapa warga tampak mulai menonton keributan barusan.

“Sekarang juga kamu ikut kakak balik ke Jakarta!!” perintah Luna tegas.

Belum sempat Wulan menolak, Luna kembali melanjutkan ucapannya.

“Kalau kamu masih mau disini ya silahkan aja, biar nanti kakak tinggal lapor ke mamah sama papah kalau kamu di sini bukannya kuliah yang bener tapi malah main-main sama cecunguk-cecunguk kaya mereka” ancam Luna sambil kembali merendahkan kami.

Ucapannya tadi kembali menyulut emosi kami.

“Kak Luna, kenalin aku Gilang!” ujarku mengenalkan diri tiba-tiba. Seperti dugaanku, Luna sama sekali tidak menggubris ku.

“Bersikap baiklah kepada teman-teman Wulan!” ku kirimkan sugesti ke alam bawah sadar Luna.

Luna tidak bergeming.

Sesuai dugaanku, untuk mengaktifkan ilmu pengubah pikiran, kami harus saling berkenalan satu sama lain. Kalau sebatas tadi aku mengenalkan diriku secara sepihak, sepertinya tidak lantas membuat ilmu ku dapat kugunakan.

“Kakak tunggu 5 menit di mobil!” ujar Luna dingin.

Tanpa menunggu Wulan mengikuti perintahnya, Luna berbalik arah dan berjalan menuju ke mobil yang tadi ia tumpangi. Pacar Luna yang daritadi mematung tanpa bersuara sedikit pun, langsung tergopoh-gopoh mengikuti langkah kaki Luna yang berjalan menjauh meninggalkan bale.

Wulan yang gamang melirik ke arahku. Ketika Luna menyuruhnya meninggalkanku, jelas Wulan bimbang membuat keputusan. Hanya perintahku lah yang akan diikuti Wulan tanpa berfikir dua kali.

“Engga apa-apa sayang.. Kamu ikut aja sama kakak mu ya.. Nanti kita ketemu di Jakarta ya..” pesanku kepada Wulan. Dengan berat hati, Wulan pun menurutiku dan mulai mengemas barang-barang nya.

Sebetulnya hati kecil ku ingin sekali menahan Wulan. Tapi kalau nanti ancaman Luna benar-benar dilakukan, Wulan bisa jadi mendapatkan masalah yang jauh lebih besar dari kedua orang tua nya. Jelas aku tidak ingin hal tersebut terjadi.

“Maafin kakak ku ya..” ujar Wulan pelan ke arah kami bertiga. Wulan sudah menggendong backpack nya dan bersiap untuk menyusul Luna.

Wulan terlihat sangat merasa bersalah dengan sikap yang ditunjukkan kakak nya. Santiko terlihat jelas menahan emosi dengan ucapan-ucapan Luna tadi. Bahkan Dea matanya semakin berkaca-kaca, tinggal menunggu waktu sebelum air matanya mengucur turun membasahi pipi nya.

"Jangan lupa kabarin aku ya.. aku pamit sayang.." ujar Wulan pamit kepadaku. Tidak lupa dia memelukku dan aku menyambutnya dengan kecupan di kening nya.

Dengan gontai, Wulan jalan meninggalkan kami bertiga. Hingga akhirnya Wulan masuk ke mobil, dan mobil segera melaju kencang tanpa ada ucapan permintaan maaf dari Luna.

“Dinda.. sepertinya Kanda sudah menemukan target berikutnya..”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd