Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Bimabet
—Season 2—

Chapter 2:
Should I Take it as "Yes"?






"Mang, mau seporsi, ya. Pake lauk kayak biasa, dibungkus."

Pedagang nasi kuning gerobakan yang kusamper ini, langsung sigap bikinin pesananku. Karena sudah langganan hampir tiap pagi, jadi tukangnya sudah hafal aku pakai lauk apa saja. Aku pun duduk di kursi plastik yang disediakan. Karena lupa bawa HP ke luar, jadi sekarang aku mati gaya. Cuma bisa bengong sampai pesananku jadi.

"Nadia, kamu ga ngampus? Jam segini kok belum jalan?"

Aku menengok ke asal suara. Oh, ternyata berasal dari salah satu teman cewek di kampusku, yang kosannya berdekatan dengan kosanku. Sepagi ini, dia sudah rapih. Kayaknya ada kelas pagi. Tampak dia lagi buru-buru, sampai dia harus mengunyah roti sambil jalan.

"Oh, aku mau sarapan dulu. Laper."

Cewek itu pun langsung berenti. "Bukannya kamu ada kelas pagi juga? Nanti kalo telat gimana?" tanyanya, sambil natap aku.

"I'll be fine, Michelle," jawabku. Setelahnya, aku diberitau tukang nasi kuning, kalau pesananku sudah jadi. Maka, aku pun ambil pesananku, lalu bayar ke si penjual. Selesai berurusan dengan penjual nasi kuning, aku berjalan menghampiri Michelle. "Makasih, ya, udah mau khawatir. See you there, katingku yang rajin banget."

"Do I have to take that as an insult?"

"I was praising youuuuu!" Kudorong punggungnya supaya dia lanjutin perjalanannya lagi, sambil ngomong, "Udah ah, nanti kamu telat."

"For Lord's sake, Nadia, kamu santai banget! Pokoknya, aku udah bilangin, ya," balasnya, sebelum lanjut jalan menuju kampus.

Kuperhatiin punggung Michelle saat cewek itu terus berjalan lewati halte depan kampus. Tas ranselnya kayaknya penuh banget, pasti di dalamnya banyak buku-buku tebal. Badan mungilnya kuat juga, bawa tas ransel sepenuh itu.

Haaah... dia emang rajin banget, ya. Aku jadi ngeliat refleksi diriku yang dulu saat ngeliat Michelle. Pintar, rajin belajar, ga pernah telat, selalu ikuti aturan, dan suka ajak orang lain untuk hidup dengan baik dan benar. Jadi ga perlu banyak drama di hidupnya.

Sekilas, terbersit sebuah pertanyaan di kepalaku. Kalau jalanku lurus-lurus saja, apa sekarang aku akan jadi seperti Michelle? Kalau jawabannya iya, maka salahkah aku karena jadi iri sama dia?

Sepeninggal Michelle, aku juga pulang ke kosan. Karena pagi ini anginnya lagi kencang, rambut hitam sebahuku jadi berkibar-kibar ga tentu arah. Aku jadi menyesali keputusanku yang ga mau pakai jilbab saat mau ke luar tadi. Atau minimal, harusnya aku bawa ikat rambut.

Saat baru sampai kamar kosanku, aku kepikiran lagi soal omongannya Michelle. Dia benar juga, untuk ukuran mahasiswi baru di universitas paling top di kota Serang, aku terbilang santai banget. Teman-teman kampusku aja sampai heran sama sikap santaiku. Kalau ada kelas pagi, jam setengah tujuh mereka udah rapih dan siap berangkat. Aku? Malah keluar kosan buat beli sarapan. Masih pakai baju tidur, pula.

Tapi aku ga mau terlalu pusing mikirin omongan orang. Kalau nanti aku telat masuknya, yaudah. Aku ga mau diburu-buru kalau ada kelas pagi, dan aku juga ga bisa merubah peraturan kampus, kan? Jadi, ya... tinggal terima resikonya aja. Maka, aku pun makan lauk sarapanku sambil cek HP. Oh, ada panggilan tidak terjawab dari Fah. Kutelpon balik aja.

"Sayang, ada apa?" tanyaku, setelah telepon tersambung, "Maaf tadi pas beli sarapan HP-nya ga aku bawa."

"Oh, iya ga apa-apa. Aku cuma mau nanya karena baru inget. Kamu belum bayar UKT buat semester ini, kan? Belum turun uang depositonya, ya?"

"Belum. Masih sepuluh harian lagi, Yang. Kok kamu tau aja, sih?"

"Soalnya biasanya kamu suka laporan ke aku kalo abis bayar ini-itu. Aku sih indikatornya gitu aja. Oke. Aku bayarin—"

"Kita udah pernah bahas ini, kan?" potongku, "Inget jawaban aku apa?"

"Kamu mau apa-apanya mandiri... iya, aku inget. Aku cuma mau bantu, soalnya kamu ga pernah mau dibayarin kuliahnya. Maaf, ya. Tapi ga apa-apa kalo belum bayaran, gitu?"

"Paling ada denda sedikit. But no biggie." Aku pun menyuap sesendok nasi kuning. Setelah beberapa kali kunyahan, aku lanjut ngomong, "Kamu mau nanya itu doang?"

"Oh, iya. Ada lagi, deh. Minggu nanti aku mau dari pagi ketemunya, ya. Aku samperin kamu, terus kita ngedate. Gimana?"

"Nggg... sebenernya aku udah ada janji hari Minggu nanti. Ga yang bikin kamu ga bisa ke sini juga, kok. Tapi kayaknya ga memungkinkan untuk kita ngedate, karena aku ga tau janjiannya sampe kapan."

Ga ada suara balasan dari Fah setelah aku selesai ngomong. Setelah aku nunggu agak lama, baru dia bicara. "Kamu ada janji sama siapa?" tanyanya. Ada nada kecewa yang berusaha dia tutupi dari aku, tapi aku udah cukup peka untuk sadari itu.

"Sama temen kampus. Cewek, kooook. Urusan kerjaan gitu."

"Hah? Kerjaan?" Nah, kan, nada kecewanya berubah jadi penasaran. "Maksudnya bahas pekerjaan? Kamu kerja?"

"Eh, iya. Aku belum bilang, ya? Maaf, kelupaan. Iya, aku kerja. Baru mau dikenalin, sih, kerjaannya apa dan gimana. Kalo cocok, aku mau lanjut terus, ya."

"Terus kuliahnya gimana?"

"Ya sambil kuliah juga. Kayaknya ga akan ganggu kegiatan kuliah aku, kok. Semoga, sih..."

"Ih, makanya kan aku bilaaaaang... aku aja yang biayain, biar kamu ga usah kerja-kerja gitu, Dea. Nanti kalo kuliahnya keteteran gara-gara kamu kerja, gimana? Terus—"

"Aku kerja jadi model gravure. Minggu nanti trial dulu," potongku, cepat. Aku udah malas nanggepin soal dia yang mau biayain aku ini-itu.

Dari seberang sana, terdengar suara batuk yang intens. Aku sampai harus menyimak suara Fah yang sedang meneguk minum. "Model... apa tadi?" tanyanya, setelah beberapa kali berdehem untuk atasi tersedaknya.

"Gravure. Konsepnya nonjolin bagian-bagian tubuh cewek gitu. Nanti aku pake baju-baju seksi, terus difoto," jawabku, memberi penjelasan singkat.

"Iya, aku tau gravure itu apa. Aku cuma sempet ga percaya aja kamu ngomong gitu. Masalahnya, kamu beneran mau kerja jadi model gravure?"

"Why not?"

"Kamu ga apa-apa kalo badan kamu dijadiin konsumsi untuk bahan masturbasi cowok-cowok?"

"Bukannya... kamu pernah bilang, kamu fantasiin aku kayak gitu? Ya ini mau aku realisasiin, mumpung ada kesempatannya. Plus, aku juga dapet uang. Win-win solution. Sekarang aku tanya, aku diizinin jadi model gravure, ga, sama kamu?"

Kudengar suara Fah habis menelan sesuatu. Lalu, dia bertanya lagi, "Aku boleh ikut dan liat selama kamu foto-foto, kan?"

"Should I take it as "yes", Sayang?"


———


Setelah aku jelasin pekerjaan yang mau kucoba ke Fah, dia malah semangat banget ngedukung aku. Katanya, dia ga sabar ngeliat aku pakai baju-baju seksi terus difoto dalam banyak pose. Emang ga waras tuh shemale. Kalau pacar yang normal tuh ngelarang, minimal protes. Eh, dia malah ngedukung, bahkan sampai mau beliin aku kostum segala.

Tapi aku ga bisa langsung mengiyakan saat Fah minta ikut. Karena ini urusanku dengan Maria, ya aku harus tanya yang bersangkutan dulu. Karena merasa ga enak kalau tanya lewat chat, maka aku mutusin untuk nanya langsung saat ketemu, sehabis kelas nanti.

Lagipula, kan aku ada sesi ajarin dia soal dialek Jakarta. Sesinya tiap hari, sih, dan ga dibatasi waktunya berapa lama. Sampai sebosennya dia, aja. Dihitung dari hari Selasa kemarin, total sudah ada empat hari aku ngajarin dia; dengan tiap sesi berlangsung selama sekitar dua jam.

"Baik, sebelum saya sudahi kelas hari ini, saya mau kasih tugas. Cuma satu soal saja, kok. Catat baik-baik soalnya, ya."

Dosen yang sedang berdiri di depan kelas, tampak sedang beresin buku-bukunya yang ada di atas meja. Sementara itu, teman-teman kelasku sudah bersiap dengan pulpen dan buku tulis. Aku justru ngeluarin HP dari saku. Kunyalain aplikasi perekam suara.

"Sebutkan dan jelaskan macam-macam ilmu komunikasi, serta berikan contoh masing-masing jenisnya sebanyak lima buah, lalu tuliskan pandanganmu tentang penerapan masing-masing ilmu komunikasi tadi dalam kehidupan nyata, ditulis tangan menggunakan kertas folio A4, dengan jumlah minimal dua ribu dan maksimal lima ribu kata. Dikumpulkan Senin depan, ya. Dah, itu aja," tutup si dosen.

Kustop rekaman, lalu kembali masukin HP ke saku. Aku pun merutuk dalam hati. Soal yang dikasihnya sih cuma satu, tapi jawabannya sama aja kayak ngerjain karangan bebas. Mana tulis tangan lagi. Kan pegel, Pak! Issshhh... dosen Sosiologi yang satu ini memang terkenal nyebelin banget kalau kasih tugas. Seharusnya aku ga berharap banyak saat beliau ngomong tadi.

Saat si dosen ninggalin ruangan, kelas pun bubar. Aku segera ke kantin untuk ketemu Maria. Ga kuhiraukan suara cowok-cowok yang manggilin aku, beberapa cuma berani ngeliatin aku aja. Kayak... mereka kok heboh banget, sih, hari ini?

Saat sudah sampai kantin, Maria sudah ada di sana. Duduk sendirian, dengan earphone terpasang di kedua kupingnya. Maria baru sadar kalau ada aku, saat aku duduk di hadapannya.

"Nadia, kamu kenapa tak pakai jilbab hari ini?" tanyanya, saat ngeliat aku.

Wah, susunan kata saat dia bertanya sudah lumayan rapi. Cuma dialeknya aja, sih, yang masih terasa kental. Tapi ini lumayan banget perkembangannya, lho. "Lagi males aja, Kak," jawabku, singkat.

"Heee... memang boleh begitu?"

Aku pun tertawa saat ngeliat ekspresi keheranan Maria. Sambil menyibak rambut hitam berkilauku pada sisi kanan dan kiri, aku menjawab, "Ya ga boleh, sebenernya. Cuma aku maunya gini."

Memang ada masa-masa dimana aku ga pakai jilbab saat keluar. Biasanya saat rambutku lagi bagus-bagusnya, atau saat cuaca terik banget, atau karena lagi ga mood jilbaban saja. Tapi makin kesini, malah makin sering. Apalagi untuk pertama kalinya, hari ini aku ke kampus cuma pakai crewneck warna mocca, boyfriend denim pants, dan slip on Vans. Saat beberapa temanku bertanya, aku sudah menyiapkan jawaban sebagai protokol standar: jilbabnya lagi dicuci semua.

"Sudah gila rupa-rupanya adik tingkatku ini. Aku berani taruhan, selama jalan ke sini, kamu dipandangi cowok-cowok, kan?" Saat aku mengangguk, Maria pun ngomong lagi, "Iman mereka yang tipis itu malah kamu robek-robek dengan penampilanmu yang biasanya tertutup, sekarang jadi terbuka. Hari ini kamu lepas jilbab, besok mungkin kamu ke kampus pakai crop tee."

Aku spontan kaget, karena Maria berhasil menebakku. Memang rencananya aku mau pakai crop tee kalau nanti ke kampus tanpa pakai jilbab lagi.

"Kenapa kaget? Aku nebaknya betul?" Maria geleng-geleng kepala, sambil sodorin aku kertas menu. "Kamu mau pesan apa?"

"Crushed chicken, Kak."

"Crushed chicken—ayam geprek, maksudmu? Sa pukul ko pu kepala, ya!"

Eeeh, cara ngomong alaminya balik lagi. Kayaknya kalau dia dalam kondisi spontan ucapinnya, otomatis pakai bahasa daerahnya, deh.

Nah, sesi latihan yang kami jalani ini tujuannya biar Maria bisa lancar pakai bahasa Indonesia. Kalau soal dialek, aku ga yakin itu bisa dihilangkan dengan mudah. Susah untuk menghilangkan kebiasaan yang sudah menahun. Tapi targetku yang sebenarnya adalah agar dia, meski dalam kondisi bawah sadarnya pun, bisa mengendalikan kapan harus berbahasa Indonesia, dan kapan pakai bahasa daerahnya.

Latihannya juga ga sulit. Cuma ngobrol biasa aja. Tapi Maria harus konsisten dan konstan berbahasa Indonesia dalam setiap percakapan. Dia juga harus memperhatikan susunan SPOK, dan aku pikir itu tantangan berat baginya karena kebiasaan bahasa daerahnya bikin susunan kalimat yang Maria ucapin jadi terbolak-balik.

"Kak, soal hari Minggu nanti... bisa dibahas di sini, ga?" tanyaku. Suaraku pun kupelankan.

"Iya, bagaimana, Nadia? Apa yang mau dibahas?"

"Aku udah bilang ke pacarku, dan udah diizinin juga. Masalahnya... dia mau ikut untuk nemenin. Katanya, dia excited banget mau liat aku pake baju seksi terus difoto-fotoin, gitu."

Maria langsung naikin alis. "Masalahnya dimana?"

"Ya karena pacarku ikut?"

"Nadia, sini sa kasih tau ko pu kuping. Mau ko ajak kampus ini pu mahasiswa ribuan pun, kalau mereka tak ganggu saat sesi pemotretan, ya tak masalah," jawabnya, sambil ngeliatin aku dengan tatapan gemas.

"Kak, bahasa Indo, Kak," kataku, ngingetin, "Ya kalo ganggu, gimana?"

"Oh, iya. Maaf. Aku masih suka kelepasan. Nah, kalau pacarmu ganggu," Maria pun acungin dua jarinya, dilebarkan hingga membentuk huruf V, lalu tiba-tiba dia rapetin, "Aku potong penisnya biar jadi cewek tulen, sekalian."

"Ih, jangaaaaaaaaaaaaan!" Gawat, aku malah spontan memekik, bikin beberapa pasang mata langsung memandang ke arahku.

Ngeliat responku, Maria justru tatap aku dengan pandangan ngeremehin. "Suka kamu sama penis pacarmu, Nadia? Tak rela sekali sepertinya kalau pacarmu jadi cewek tulen."

Aku jadi merasa tertantang. Belum tau kakak tingkatku ini tentang bentuk kontol yang bikin aku ketagihan banget itu. Maka, aku ambil HP, lalu ke galeri untuk cari-cari foto selfie Fah di kaca kamar mandinya, yang hampir selalu dia kirimin kalau mau mandi. Untuk stok foto pacarku, tenang saja, aku punya banyak. Nah, ketemu.

Aku pun letakin HP di meja, lalu geser pakai telunjuk ke sisi Maria. "Kalo Kak Maria punya pacar kayak gini... suka juga, ga?"

Detik itu juga, pandangan Maria ga lepas dari foto Fah yang terpampang di layar HP-ku. Bahkan ga ada kata yang keluar dari mulutnya. Yang aku dengar jelas cuma suara dia saat menelan liurnya sendiri, berbarengan dengan wajahnya yang tersipu malu hingga harus dia tutupi dengan kedua tangan, yang jari-jarinya membuka.

Setelah berhasil mengatasi saltingnya, Maria berdehem. Lalu, dia pun bilang ke aku, "Minggu nanti, aku tunggu kamu dan pacarmu, ya."






Nympherotica♡♡
 
season satu brak bruk brak bruk cepet bangat pacenya, season dua nyelow abis.
 
Bisa bisa Fah ikut di photoshoot.... Hahaha
 
Great, semakin seru dan menarik nih. Gw excited dan nunggu banget nih photoshoot debutnya OF Nadia, huehehe :pandajahat:

Btw, awal-awal baca cerita, gw pikir Nadia a.k.a Dea itu cewek yg bisa dibilang paling "gila/hyper" dan tokoh-tokoh lain waras. Tapi, seiring berjalannya alur, kok gw malah ngerasa (punya feeling) Nadia-lah cewek yg paling waras dan justru tokoh-tokoh lain yang lebih gila dari Nadia =)) :lol: apakah ini semacam plot twist? :bata:
Haaaaaai, ada senior!

Iyakah? Ai malah ga kepikiran sampai kesitu, loh. Mikirnya, Dea gila, yang lain bisa less or more broken than her. As for Dea, she's just broken doll from the start. Sort of.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd