Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(Copas) Sebuah Janji

humper

Semprot Lover
UG-FR
Daftar
12 Apr 2016
Post
299
Like diterima
630
Lokasi
Bandung
Bimabet
“Jadi, saya nggak boleh langsung pulang, Mas?” Jumadi menoleh kepada Purwanto yang ada di sebelah kanannya.
Purwanto tak bergeming, tetap menatap kegelapan di depan, tangannya yang kekar mencengkeram kemudi. Deru mesin truk terdengar keras di pagi sunyi. Angin dingin menyeruak lewat celah-celah jendela kabin truk.
Mengira suaranya tidak cukup keras, Jumadi beringsut mendekati Purwanto. “Sebentar lagi Jombang, Mas. Apa saya boleh langsung pulang?”
“Apa?” toleh Purwanto.
“Saya ingin langsung pulang, turun di Jombang,” timpal Jumadi.
“Apa memang perlu?” Purwanto bertanya tanpa melepas pandangan ke depan.

“Sebetulnya tidak. Tapi entahlah, tiba-tiba saja saya pingin segera pulang dan turun di Jombang. Sebentar lagi Jombang,” tegas Jumadi lagi. Kata-kata ’sebentar lagi Jombang’ sengaja diulang-ulang tekanan untuk memberi alasan tepat untuk pulang.
“Jadwal liburmu besok!” tegas Purwanto memainkan sorot lampu truk dan menggenjot gas kencang-kencang. Jumadi mendengus dan beringsut menjauh. Kota Jombang yang memang sudah begitu dekat sekarang malah lewat begitu saja. Jumadi cuma bisa merayapi pepohonan di pinggir jalan dengan tatapannya.
Purwanto mengais bungkus rokok dari cekungan dashboard, dan melemparkannya ke arah Jumadi. “Nyalakan satu juga buat saya,” kata Purwanto.
Jumadi membetot dua batang rokok, menyalakan satu untuk Purwanto dan satu untuknya sendiri. Jumadi menghisapnya penuh nikmat dan mengepulkan asap senikmat ia menghisapnya.
“Tidak biasanya kamu ingin pulang cepat,” Purwanto bicara di antara kepulan asap. “Kamu pacar tak punya. Kamu juga tidak gampang kangen sama keluarga. Kamu bilang lebih suka di jalan, di atas truk daripada terus-terusan cangkruk main gaple di ujung gang rumahmu! Kok tumben tiba-tiba pingin pulang cepat-cepat?”
Jumadi menaikkan kedua kaki dan duduk memojok di kiri. Laki-laki berperawakan kecil dan kurus itu makin kelihatan mungil. “Atau barangkali kamu mulai janjian sama cewek, misalnya” goda Purwanto.
Jumadi tak bergerak, cuma menatap ke samping dan merapatkan pelukannya ke kedua kaki yang terlipat. Nafasnya berat seolah baru saja menyesali suatu kesempatan indah yang sirna begitu saja.
“Enggak… nggak janjian sama cewek. Janjian…?” tiba-tiba Jumadi tercenung sesaat dan bimbang dengan kata-katanya sendiri. Ia seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu, atau tepatnya mencari tahu apakah ia perlu mengingat-ingat sesuatu. “Apa saya janjian sama orang, ya?” tanyanya sendiri.
Gumam itu terdengar oleh Purwanto. Purwanto mendesis. “Walah, kamu pasti jadi dapat ide alasan untuk minta pulang,” tutur Purwanto. “Menyesal aku bilang begitu. Sebentar lagi kupastikan kamu bilang kamu memang punya janji dengan seseorang”
Jumadi terdiam beberapa jenak. “Tapi rasanya memang ada janji, Mas!” akhirnya Jumadi bicara.
“Lha, iya ‘kan? Itu, ‘kan? Benar, ‘kan?. Akhirnya kamu pakai juga kata ‘janjian’ itu untuk cari akal supaya bisa pulang. Dasar bulus!” Purwanto terkekeh-kekeh, senang jebakannya dimakan Jumadi.
Jumadi sendiri tak terlalu menikmati kekeh itu. Ia berpaling ke jendela kiri, menatap pepohonan sepanjang jalan raya Jombang-Mojokerto yang mulai disapu cahaya temaram dari rekahan di ufuk timur.
“Nggak, Jum. Nggak boleh! Jombang sudah jauh. Jadwal pulangmu besok, dan kita masih punya tugas mengantar barang sampai Denpasar nanti malam. Jadi, tidak ada alasan kenapa kamu harus pulang lebih awal. Enak sekali kamu pulang sementara aku mengemudi tanpa kenek,” cerocos Purwanto.
Jumadi makin merapat ke pintu. Ia merasa angin mendesir di sekitar tubuhnya, jauh lebih dingin daripada sebelumnya. Mengapa kata ‘janjian’ yang dilontarkan Purwanto itu begitu mengganggu pikirannya. Mengapa tiba-tiba ia merasa seperti memang ada janji dan harus turun di Jombang saat itu juga tanpa menunggu besok pagi? Tapi, janji apa? Dengan siapa?
Jumadi menjentikkan puntuk rokok keluar jendela. Purwanto tetap menatap ke depan, sesekali menguap setelah semalaman mengemudi truk dari Bandung. Jumadi tetap diam meringkuk di pojok kiri. Matanya tetap memandang ke luar.
Jam tujuh kurang sedikit, saat matahari mulai membakar bumi, truk sudah melesat meninggalkan Surabaya. Purwanto menepikan truk ke parkiran halaman depan warung-warung tempat supir truk melepas lelah tak jauh dari kota Bangil. Beberapa truk sudah diparkir di sana, dan para supir berkerumun di beberapa warung. Aroma makanan menari-nari di depan hidung.
“Bangun, Jum? Saatnya ngopi dan sarapan!” Purwanto menggoyang Jumadi.
Jumadi tergeragap dan menyeka mata ogah-ogahan. “Saya tidak lapar. Saya mau tidur saja,” kata Jumadi.
Purwanto memandang Jumadi sesaat. Timbul herannya. “Kamu tidak ingin ngopi dan sarapan pecel sambil melirik Hindun, anak pemilik warung yang katamu mirip Zaskia Adya Mecca itu?” goda Purwanto.
Jumadi Cuma menggeleng tak bergairah. “Saya di sini saja, mau tidur.”
Purwanto menyambar handuk di sandaran jok dan menutup pintu. “Ya, sudah!”
Jumadi kembali tercenung. Pertanyaan itu mengusiknya terus. Sekali lagi ia coba mengingat-ingat apa ia pernah bikin perjanjian? Janji apa? Dengan siapa?
Makin lama perasaan itu makin kental. Kalau sebelumnya ragu apakah ia punya janji, sekarang ia merasa pasti ia telah berjanji dengan seseorang. Ya, seseorang, atau sesuatu! Sebuah janji yang menurut perasaannya harus segera dipenuhi dan tidak bisa ditunda-tunda. Janji itu telah membelenggunya.
Tiba-tiba Jumadi ingin kencing. Ia mendorong pintu kabin truk dan merayap turun. Begitu kakinya menginjak tanah, ia baru sadar seseorang berdiri tepat di depannya. Jumadi terperanjat. Orang itu berperawakan tinggi besar, bercambang lebat dan berkulit gelap, dengan sorot mata kuat dan tajam. Warna celana dan bajunya terkesan hampir sama gelap dengan warna kulitnya. Rambutnya gondrong dan sedikit ikal.
Orang itu pun sepertinya terkejut juga. Hanya saja ia lebih pandai mengelola keterkejutannya. Akan halnya Jumadi, begitu ia tahu mata orang itu menyorot tajam ke arahnya, darahnya seperti berhenti mengalir. Ia melihat raut yang dingin dan tidak bersahabat. Serta merta Jumadi mundur beberapa tapak, tak kuasa mulutnya berkata-kata.
Jumadi sudah pernah bertemu dengan berbagai macam preman. Tapi yang satu ini benar-benar membuat gemetaran. Tulang belakangnya seperti beku dan perutnya seperti dikocok-kocok. Langsung saja Jumadi beranjak mundur dan menyelinap di antara truk-truk dan berusaha mencari Purwanto. Orang asing itu terus menguntit Jumadi dengan tatapannya.

***

“Nggak macet, kang?” tanya ibu-ibu pemilik warung dengan nada akrab.
“Lumayan lancar hari ini,” sahut Purwanto. Pria agak gemuk
berusia 42 tahun itu menjatuhkan tubuhnya di bangku kayu. “Gimana dengan sms saya, bisa nggak?” tanyanya sambil mencomot satu pisang goreng yang masih panas.
Perempuan itu tersenyum, “Tenang saja. Tuh, dia sudah menunggu di belakang.”
Purwanto terkekeh membayangkan gadis cantik berjilbab, berkulit putih dan mulus yang sudah diincarnya sejak balik dari Bali tempo hari. Yang tak lain adalah Hindun, putri pemilik warung. “Kalau begitu, aku langsung ke sana ya?” Purwanto melangkah ke belakang, menyusuri pintu warung yang remang-remang.
“Sebentar, Kang,” perempuan itu memotong. Dia lekas masuk ke sebuah kamar dan menutup pintunya. Di dalam, seorang gadis muda cantik menoleh kaget saat melihat kedatangannya.
“Gimana, Bu?” tanya gadis itu, mukanya pucat saat berusaha merapikan dandanannya.
“Dia sudah datang, sekarang ada di depan.”
“Ooo…” gadis itu terpekik lirih. Pelan dia memandang ke depan lewat jendela yang terbuka sebagian, dilihatnya dalam keremangan sesosok lelaki kekar yang duduk diam di depan warung. Dadanya tak terasa kembali berdebar keras, membayangkan berbagai kemungkinan.
Sang ibu menyentuh lengannya dan berbisik, “Layani dia dengan baik, upahnya lumayan.”
“Tapi, Bu...” gadis itu tergagap.
“Sudahlah, cuma sekali ini saja. Memangnya kamu mau kerja apa buat bayar sekolah anakmu?” ketus sang ibu sambil menutup pintu, dan selang beberapa saat kembali menghampiri Purwanto.
“Ohh...” lirih gadis berjilbab itu dengan muka merah, menyadari kejadian apa yang sebentar lagi akan terjadi. Tapi niat mencari uang buat anaknya cukup kuat memenangkan pertarungan batinnya.
Di luar, Purwanto segera menemui ibu pemilik warung. “Gimana, bisa ‘kan?” bisiknya tak sabar.
“Tenang aja, kang, dia malah sudah menunggu-nunggu kedatangan akang.” sahut ibu itu kenes. “Langsung santap aja,”
“Ok..ok,” terburu-buru Purwanto menyanggupi, didorong oleh rasa rasa ingin tahu sekaligus tak percaya.
“Tapi jangan lupa ya, dia itu anaknya alim. Kalau tidak sangat terpaksa, nggak mungkin dia mau melakukan ini.” kata si ibu.
“Iya, aku ngerti kok. Terima kasih ya, mmphh...” Purwanto merangkul perempuan itu dan menghadiahinya kecupan panjang yang mesra. Didekapnya tubuh sintal yang biasanya selalu menemaninya itu, jemarinya mencubit mesra hidung si ibu, setengah tak sabar setengah nafsu.
Membayangkan menyetubuhi wanita baik-baik adalah sensasi luar biasa. Purwanto sudah bosan menyetubuhi pelacur-pelacur yang bisanya akting terpuasi, seperti si ibu pemilik warung Padahal dia menyadari, bagaimana pelacur bisa puas, wong sudah dikerjai banyak lelaki sebelumnya.
“Ya sudah, cepat masuk sana. Keburu dia berubah pikiran,” bisik perempuan itu sambil mencubit pinggang Purwanto dari belakang.
“I-iya.” balas Purwanto dengan jakun tak terasa naik turun menelan ludah.
Dengan cepat ia pun menghilang di balik tumpukan kardus, melangkah ke belakang dengan perlahan dan hati berdebar-debar, setengah percaya setengah berharap. Tapi memang benar, ketika membuka pintu kamar, dia mendapati sesosok perempuan muda yang kulit wajahnya halus, putih bercahaya di keremangan ruangan. Cantik sekali di mata Purwanto. Gadis berjilbab itu duduk tegang di tepian tempat tidur.
Bagai kucing takut ikan curiannya lepas, Purwanto segera menghampirinya. Ia duduk di samping gadis itu dan memandang tajam wajahnya yang manis. Dalam kegelapan dan berkas-berkas cahaya seadanya, Purwanto benar-benar mengagumi wajah sendu yang segera tertunduk malu dengan muka kemerahan.
“Benar-benar rejeki nomplok,” pikir Purwanto. Takut kalau salah ngomong, tangan kirinya segera merangkul pundak sang gadis, sementara tangan kanannya meraba tangan Hindun yang saling menggenggam erat di pangkuan menahan gugup.
Bibir Purwanto menyambar, pelan mengecup pipi halus yang ada di hadapannya. Tangan kirinya segera merasakan pundak gadis itu bergetar hebat. “Wah, sepertinya memang beneran gadis baik-baik nih,” soraknya senang.
Kecupannya bergeser ke belakang telinga Hindun yang masih tertutup jilbab, menyapukan nafas panasnya disana. Hidungnya juga disapukan ke sepanjang leher gadis itu, seusai tangan kirinya menyibak gelombang jilbab lebar Hindun. Diemutnya batang leher yang terasa begitu halus, yang sontak membuat perempuan itu menggelinjang geli.
“Ahh...!!” Kedua tangan Hindun yang tadi saling berpegangan erat di pangkuan, sontak terlepas; satu mencari pegangan di kasur, sedang satu lagi untuk menahan tubuh pria gendut yang mulai mendekapnya.
Purwanto segera menyadari tangannya tidak lagi menjamah tangan gadis muda ini, tapi kini jatuh ke pangkuan, tepat ke gundukan pangkal paha Hindun yang tertutup baju terusan panjang. “Sip, dia diam saja barangnya kusentuh… memang benar, ibu itu sudah berhasil membujuk anaknya,” pikir Purwanto sembari menjilat leher dan sesekali menggigit kecil.
“Ehmm...” Hindun mendesah kegelian, baru menyadari tangan kanan Purwanto mulai membelai dan menekan keras pangkal pahanya.
“Wah, kalau begini mending langsung tancap aja,” benak Purwanto berputar menyadari tidak ada reaksi perlawanan dari sang gadis. Semakin berani, jemarinya segera mencari-cari kancing baju Hindun; satu persatu berhasil dilepasnya, sembari lidahnya menjelujuri belakang leher jenjang gadis itu.
Serangan Purwanto yang tidak sengaja pada daerah utama kepekaannya, mulai menyulut bara gairah Hindun. Dia mulai tersengal, sangat gugup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Tangan kirinya meremas-remas kain sprei akibat serangan rasa geli, semmentara tangan kanannya seolah tak berani menyentuh tubuh pria yang sekarang sedang mendesaknya. Hindun hanya bisa melirih jengah
merasakan tangan Purwanto di daerah terlarangnya. Pikirannya buntu menganalisa situasi.
Tanpa disadari, kini sebagian besar kancing baju Hindun sudah terlepas. Purwanto menariknya berdiri dan memelorotkan baju terusan itu. Hindun hanya bisa pasrah melakoni apa yang sudah dibayangkannya akan terjadi. Terpampanglah tubuh mulus indah miliknya yang selama ini selalu tertutup rapat, terlihat putih mengkilat dalam keremangan kamar, berbalut celana dalam dan bh berenda warna krem, serta jilbab putih kusam yang kini sudah acak-acakan.
Tubuh Hindun gemetar karena telanjang di hadapan lelaki lain yang bukan suaminya, sesuatu yang baru pertama kali ini ia lakukan. Tangan kirinya yang bebas reflek mencoba menutupi wilayah sucinya, tapi terlambat. Kalah sigap. Tanpa basa-basi, Purwanto langsung memelorotkan celana dalam krem tersebut, yang segera memapangkan keindahan pangkal paha yang seharusnya pantang dilihat oleh lelaki lain.
“Auw!” Kaget ditelanjangi mendadak, Hindun tak sengaja membantu dengan menggeser dan melangkahkan kaki melepas celana dalamnya. Jemari Purwanto menggesek lembut bukit bersemak itu saat melakukannya. Hindun hanya bisa memegang rambut pria tersebut agar badannya tidak jatuh.
“Sini, nduk,” Purwanto mendorong lembut tubuh telanjang Hindun yang begitu menggairahkan, memintanya agar kembali duduk. Dia kemudian mengambil posisi berlutut di hadapan sang gadis sambil tangannya membelai paha mulus Hindun yang tersaji indah di hadapannya, lidahnya juga ikut meluncur mengecup dan menjilati sebelah paha yang lain.
“Ohh…” Hindun mulai mendesah, menikmati geli-geli nikmat yang membakar api birahinya. Pahanya dikatupkan, malu. Purwanto menyadari gerakan ini, kecupannya diganti gigitan kecil, dan sebelah tangannya mulai meraba dari sisi bawah paha Hindun.
“Ihh…” Hindun mulai menggelinjang lembut menggairahkan, tangannya mulai berani membelai rambut pria yang berlutut di hadapannya. Saat ia rasakan gigitan di pahanya, tangannya pun tersentak menjambak mesra rambut ikal Purwanto.
Purwanto menyibakkan pangkal paha Hindun yang terkatup, dibelainya sepanjang kedua sisi dalamnya, sengaja menyentuh pangkal paha mulus yang hanya dilindungi secupak bulu-bulu halus.
“Ohh… bang!” Hindun merintih cemas dan grogi saat jelujuran lidah Purwanto mulai menjalari pangkal paha, bahkan terkadang hampir sampai ke area kewanitaannya.
“Ohh…” Hindun kembali menggelinjang dan mencoba mengatupkan pahanya. Tangannya meremas rambut si supir.
Sembari tetap berlutut, Purwanto sedikit memelorotkan Hindun dari
tepian kasur, sampai hanya pantatnya yang sedikit bertumpu di ujung ranjang. Diangkatnya sebelah kaki gadis itu ke pundaknya, dengan bagian belakang
lutut ditumpangkan ke bahunya. Kaki Hindun yang sebelah juga diperlakukannya sama.
Jadilah kini wajah Purwanto hampir menyentuh kewanitaan Hindun, ia menyapukan nafas panasnya ke sana seperti angin yang melanda daerah perbukitan, semakin menambah bara api birahi sang gadis berjilbab. Pelan hidung Purwanto menyentuh bulu-bulu lembut yang tak berdaya melindungi daerah rahasia milik Hindun, sambil kedua tangannya masing-masing meremas paha telanjang si gadis yang menumpang di pundaknya.
Hindun mulai menggeliat tak terkendali, nafasnya mulai tersengal terengah-engah. Pikirannya panik membayangkan apa yang akan terjadi ketika daerah sucinya mulai dijarah oleh pria asing.
“Arghhh,” Hindun mengerang saat Purwanto melancarkan serangan
kilat, mengecup bibir atas kemaluannya.
Celah sempit itu sudah sedikit basah. Purwanto sangat bersemangat menghirup aroma harum dari gadis muda yang diyakininya benar-benar alim ini. Sangat jauh berbeda dari aroma wanita-wanita penghibur yang selama ini ia temui. Membuat Purwanto jadi tak sabar untuk segera mengeluarkan taktik andalannya, yaitu serangan oral.
Stamina lidah Purwanto memang pantas diacungi jempol. Hal ini akibat dari ukuran penisnya yang standar pria Asia, yang kadang-kadang sering diledek para wanita penghibur. Tetapi dengan keahlian oralnya, Purwanto mampu menjatuhkan sebagian besar mereka. Penisnya hanya dijadikan hidangan penutup saja.
Maka segera lidah kasar Purwanto menyapu mulai dari lubang pantat naik ke atas menyikat bulu pepohonan, membajak lubang kemaluan, menumbangkan klitoris, mengampelas gundukan bukit, terus naik sampai ke pusar, hingga membuat Hindun jadi menjerit keenakan.
“Bang… ohh!!” Hindun merintih terbata-bata. “Ohhh…” Dan ia kembali melenguh ketika Purwanto mengulangi sapuan lidahnya. Tak sadar kedua tangannya menjambak keras rambut laki-laki itu, mencoba menahan sentakan-sentakan nikmat yang mengiringi geliat tubuhnya.
“Ohhh…” Kembali Purwanto mengulangi gerakan yang sama, kali ini lebih perlahan, tetapi dengan tekanan semakin kuat. Bahkan saat menyapu lubang kewanitaan Hindun, lidahnya dicucukkan sedalam-dalamnya.
“Auwh!” Hindun tersentak menggelinjang, tangannnya mencoba meringankan derita kenikmatan dengan menekan keras kepala Purwanto ke pangkal pahanya. “Aduh!!” Kembali ia mengeluh ketika upayanya menahan kenikmatan ternyata tidak berhasil, bahkan semakin membuat Purwanto tambah bersemangat dalam menjilat.
“Bener-bener cewek alim, mudah sekali takluknya,” pikir Purwanto sambil kembali mengulangi sapuan lidahnya.. Pelacur membutuhkan upaya jauh lebih keras untuk sampai tahap ini, tapi Hindun dengan gampang saja diantarnya.
“Shhh…” Hindun mulai melemahkan jambakan tangannya di rambut Purwanto ketika dirinya mulai terbiasa dengan deraan birahi keganasan lidah sang supir tua. ‘Abang... oh!!” desahnya menikmati sapuan lidah Purwanto di kemaluannya.
Perlahan tapi pasti birahi Hindun mulai dapat mengimbangi gelombang kenikmatan yang ditimbulkan. Pinggulnya mulai menggeliat bergairah menyambut rindu setiap sapuan lidah Purwanto. Purwanto sangat menyukai pinggul yang
mengelinjang ini, makin menambahkan kobaran semangatnya. Sungguh Hindun merupakan perempuan baik-baik.
“Bagaimana, kamu suka?” Purwanto menengadah memandangi wajah ayu yang terpejam di hadapannya.
Wajah Hindun nampak memerah, terengah-engah disiksa oleh kenikmatannya. Dia tidak menjawab. Bisa dilihatnya kalau Purwanto berhenti sejenak untuk mengatur nafas, maklum saja mengobrak-abrik pangkal pertahanan wanita di area yang sangat sempit, sangat terbatas suplai oksigennya.
“Hhh... hhh...” Hindun merintih, juga dengan susah payah mengatur engahan napasnya. “Auw!” dan ia kembali menjerit manakala Purwanto mendadak kembali nyosor di daerah sucinya.
“Hmmphh...” kini sapuan lidah laki-laki itu berganti arah; bila tadi vertikal, sekarang horisontal. Mulai dari sisi paha di bahu kiri, menjelajah lembut ke pangkal paha Hindun, menggelitik-gelitik di pangkal paha dengan ujung lidahnya, dan kembali menyapukan pangkal lidahnya yang kasar di kulit mulus paha Hindun yang tertumpang di bahu kanannya.
“Ssshhh…” Hindun tersentak menahan serangan model baru ini. Tubuhnya miring ke belakang, sementara jari-jemarinya hanya mampu meremas-remas rambut lelaki itu, berusaha menahan kenikmatan setiap sapuan lidah Purwanto yang begitu buas dan rakus.
“Ohh…” Setelah sekian kali lidah kasar Purwanto bekerja keras bolak-balik membajak pangkal pahanya, Hindun mulai merasakan sensasi baru yang
sama sekali belum pernah ia alami. Birahinya semakin meletup, kali ini
menuntut sesuatu.
Dengan lidah Purwanto masih berkutat di pangkal paha, Hindun menjambak kembali dan menekan keras wajah lelaki itu tepat ke lubang kewanitaanya. “Bang… aduh!!” desahnya ketika lidah nakal Purwanto menggelitik di sekitar bibir kemaluannya.
“Hempphh..” Hidung Purwanto terganjal gundukan bukit, sementara itu dirasakannya pinggul Hindun menggelinjang semakin keras mengejar sapuan lidahnya. Maka segera ia benamkan wajah dalam-dalam ke liang senggama si gadis alim yang sedang mengangkang, dan menjilat semakin cepat.
Senang sekali Purwanto melihat perubahan perilaku Hindun; gadis cantik yang sehari-hari berjilbab ini kini telah berubah menjadi wanita muda yang binal di ranjang. Mana ada perempuan alim membenamkan dalam-dalam wajah lelaki asing di liang kehormatannya dengan begitu bergairah? Bahkan ketika lidah Purwanto berpaling ke arah lain, Hindun seperti tidak rela, segera ia mengatupkan pahanya untuk menjepit kuat-kuat kepala Purwanto agar tidak pergi meninggalkan benteng kehormatannya.
Dengan tubuh sudah didesak-desak oleh kebutuhan birahi, Hindun menuntut haknya: kewanitaanya menginginkan penyiksaan lebih lanjut. “Abang… ohh!!” Dia menggelinjang kasar. Bahasa tubuhnya jelas: birahinya mulai mendaki menuju puncak.
Purwanto yang memahami bahasa tubuh ini, segera berkonsentrasi menghajar liang kewanitaan Hindun lebih cepat lagi. Dikangkangkannya paha gadis itu lebar-lebar sambil lidahnya dijulurkan dalam-dalam ke liang Hindun yang sudah sangat basah kuyup. Air liurnya sudah bercampur aduk dengan lendir pekat yang bertaburan.
“Ahh… ahh… ahh...” Hindun mengerang saat kasarnya lidah Purwanto menyodok-nyodok dinding kemaluannya. Birahinya sudah lepas kendali, pinggulnya menggeliat-geliat mencoba mengimbangi.
“Ssh… shh…” Jemari ibu muda alim ini menjambak rambut Purwanto, membenamkan wajah lelaki asing yang sama sekali tidak dikenalnya itu ke celah selangkangannya dalam-dalam.
Dengan kasar Purwanto terus mencucuk-cucuk, sampai akhirnya Hindun mulai meracau, “Abang… ohh, abang…” Dengan malu-malu ia mencoba mengundang sang lelaki agar menuntaskan perbuatannya, dengan cara membenam-benamkan berulangkali wajah bulat Purwanto ke selangkangannya.
Purwanto tersenyum dalam hati, bener-bener mudah gadis ini ditaklukkan. Lidahnya semakin buas memporak-porandakan lubang kesucian Hindun. “Abang! Sssh… ohh, bang… ohh!!” hingga membuat gadis itu jadi semakin tak tahan, suaranya sudah bergetar hampir menangis. Pinggulnya menggelinjang tak karuan, sementara tangannya sudah tidak beraturan membenam-benamkan wajah bulat Purwanto.
Purwanto semakin buas, gerakan lidahnya mirip lidah harimau yang sedang minum: sangat cepat! Ini adalah salah satu jurus teknik oralnya yang legendaris.
“Abang... ahh... a-ayo, bang… ayo!!” Lepas juga kata-kata ini dari bibir tipis Hindun, tanpa terkendali, diledakkan oleh gejolak birahi yang menuntut sesegera mungkin untuk dipenuhi. Gadis itu sudah lupa akan rasa malu serta nilai-nilai kehormatan seorang istri.
“Ayo, bang… ohh... cepat setubuhi aku! Ohh...” Hindun merengek dalam hati ketika sambil berlutut, sembari mempertahankan hujaman-hujaman lidahnya, dilihatnya Purwanto mulai melepaskan celananya. Agak sulit tetapi berhasil.
“Bang... ahh! U-udah, bang… udah…” suara Hindun bergetar dalam tangis penuh kenikmatan. Geliatan pinggulnya sudah tidak membantu, sudah lepas kendali, meronta semakin liar tak terkendali.
Mendadak ia merasakan lelaki di hadapannya ini perlahan bangkit berdiri sambil tetap memanggul kedua pahanya. “Shhh…” agak lega Hindun terengah menarik
napas, sejenak terbebas dari siksa nikmat lidah kasar lelaki tersebut.
Dia tidak sadar tubuhnya agak melorot karena Purwanto sudah berdiri tegak
di hadapannya sambil tetap memanggul kedua pahanya. Lelaki itu membetulkan posisi berbaring Hindun di ujung ranjang, dengan hanya pinggul Hindun yang menumpu di sana, sementara punggung dan bahu gadis itu agak tertekuk pada sandaran tempat tidur.
“Ihh…” Pikiran Hindun yang kacau mendadak menjadi jernih begitu disadarinya ada sebentuk daging keras yang tiba-tiba menyodok di lubang kemaluannya. “Ohhh…” Muncul sedikit rasa khawatir akan disetubuhi oleh lelaki asing, akan tetapi kuatnya desakan birahi mampu menyapu tuntas kekhawatirannya.
“Tahan ya,” Purwanto menguakkan kedua pangkal paha gadis itu, sembari sedikit menekan penisnya ke haribaan tubuh mungil berjilbab yang terlihat mengangkang lebar menggairahkan.
Slepp! Sedikit nyelip, namun agak mudah, mungkin karena kewanitaan Hindun sudah basah kuyup, apalagi sudah dikorek-korek tadi. Sesaat Purwanto diam begitu alat kelamin mereka mulai bertaut erat, memberi kesempatan pada gadis itu untuk bernapas.
“Nggak sakit ‘kan?” dia menggoda wajah ayu kuyu yang terpejam terlentang
setengah tertekuk di hadapannya.
“Nggak, bang… shhh! Teruskan saja,” Hindun menggelinjang manakala kemaluannya didera oleh kehangatan ujung penis yang baru sedikit nyelip. Tubuhnya mendadak kembali tidak sabar meminta untuk dihajar.
Belum selesai menjawab, Purwanto kembali menghujam pelan tapi penuh tenaga. Bless… amblas-blass! Bagai sebuah truk besar yang melaju kencang menyusuri mulusnya jalan tol.
“Auw! Ssshh...” Tangan Hindun langsung menggapai-gapai mencari pegangan, namun ia hanya menjumpai ujung ranjang yang segera digenggamnya erat-erat. Walaupun sebenarnya penis Purwanto sedikit lebih kecil dari milik mendiang suaminya, tapi efeknya sama saja bagi gadis muda itu.
“Abang… ohh,” Lama tidak melakukan persetubuhan membuatnya mendesah lega. Hindun sudah tak malu-malu lagi menggeliatkan pinggul, mencoba menyerang sang penis, berharap pendakiannya dapat segera tuntas.
Ia mencoba gerakan memutar-mutar, dan maju mundur. Biasanya gerakan ini
dapat membuat suaminya menyerah dengan mudah, karena dengan begitu ia dapat memerah kejantanan yang sedang menusuk pinggulnya dengan otot-otot kemaluannya yang sangat kuat.
“Hhhh…” Namun kali ini Hindun harus mendesah sendiri saat gempuran ototnya ditandingi oleh penis yang terus menggosok dengan bandel, sama sekali tidak ingin kalah apalagi menyerah. Akibatnya, geliatan Hindun berubah dari respon melayani, menjadi dorongan lapar yang menuntut pemuasan birahi.
“Shh... shh... ahh...” Gerakan pinggul perempuan itu semakin cepat dan tak terkendali, begitu juga dengan rintihannya. Kepalanya tersentak-sentak ke kiri dan ke kanan, berusaha menahan desakan nikmat dari hujaman keras si lelaki. Tangannya mencoba menjangkau pinggang Purwanto, agak sulit, dan kembali hanya mampu meremas-remas ujung tempat tidur.
“Bang, ohh… a-aku… ohh…” Pinggul Hindun yang memutar terus dihantam penis Purwanto. Setiap putaran dibalas oleh tusukan yang begitu dalam dan panas.
“Ohh… s-sudah, bang... shh... sudah!!” lirih Hindun dengan wajah kuyu dan mata berkerenyit terpejam, tersiksa oleh deraan rasa nikmat. Dia terus mendesah-desah,
sesekali mengeluh keras.
Purwanto tersenyum. Puas sekali rasanya ketika ia menyadari Hindun sudah
tiba pada puncak pendakiannya. Namun karena ingin menyiksa sebuas-buasnya
perempuan alim ini, maka hujamannya sama sekali tidak berhenti, tetap jalan terus… bahkan menjadi dua kali lipat lebih buas, sampai membuat otak Hindun kacau saat mulai mengarungi puncak kenikmatannya.
“Hhh... hhh...” Susah payah Hindun mengimbangi. Gerakan pinggulnya sudah berhenti, digantikan oleh geliatan lembut tak teratur. Tubuhnya pasrah, sudah tidak mampu lagi memberikan serangan balasan. Dia dengan mudah segera lemah tak berdaya ditaklukkan oleh lelaki ini. Terutama akibat tidak siap menghadapi serangan kilat lidah Purwanto di awal-awal permainan tadi.
Dengan pinggul bergetar-getar halus, tubuh Hindun lunglai tak berdaya meresapi puncak kepuasan yang melingkupi dirinya. “Ohh… abang… ohhh…” dia menyatakan kepuasannya. Berterima kasih tentunya, karena telah dibantu mendapatkan uang secara gampang, sekaligus mendapat bonus puncak kenikmatan.
Menyadari Hindun sudah sedemikian lunglai, Purwanto agak berkurang semangatnya. Pendakiannya masih panjang, namun dia tidak menyukai menghantami batang pisang. Lelaki seumurnya sangat menginginkan wanita
menggeliat-geliat di bawah siksaan birahinya. Jadi dia memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Saat itulah terdengar ketukan di pintu kamar. Purwanto membukanya dan mendapati Jumadi yang sedang memandangnya dengan mimik muka ketakutan. “Ada apa, Jum?” tanyanya sambil berusaha menutupi tubuhnya yang telanjang. Di atas ranjang, Hindun juga cepat-cepat menarik selimut untuk melakukan hal yang sama.
“Mas Pur, gawat, Mas!” Jumadi berkata, sambil melirik sekilas ke tubuh molek Hindun yang kini meringkuk di atas ranjang.
Purwanto segera melangkah keluar dan menutup pintu kamar, menghalangi pandangan keneknya yang sedikit nakal. Ia heran sekali melihat tingah Jumadi pagi ini. Tadi tampak lesu, sekarang ketakutan. Mukanya sepucat mayat dan nafasnya tersengal-sengal.
“Ada apa?” kata Purwanto jengkel.
“Begini, Mas,” suara Jumadi terdengar panik. Purwanto terpaksa merangkulnya dan membawa pemuda kurus itu ke warung depan.
“Saya baru saja bertemu orang tinggi besar berambut gondrong berpakaian gelap, matanya sangar. Sepertinya ia mencari-cari saya. Tolong ijinkan saya pulang ke Jombang sekarang, Mas Pur. Saya takut sekali! Orang itu mencari-cari saya,” nada suara Jumadi betul-betul penuh kecemasan.
“Kamu kenal orang itu?” Purwanto ingin tahu.
“Tidak. Saya tidak tahu kenapa ia memandangi saya seperti itu. Saya takut. Saya mau pulang ke Jombang sekarang, tidak perduli gaji saya Mas potong karena saya pulang sebelum waktunya.”
Sejenak Purwanto mengira Jumadi saat ini berada pada puncak akal-akalannya agar ia bisa pulang ke Jombang. Tapi rona takut dan hasratnya ingin pulang ke Jombang kelihatan begitu kuat. Purwanto yakin ada hal lain di balik itu. Ada ketakutan, kecemasan dan kegelisahan yang teramat sangat.
Purwanto merogoh kantong, mengambil uang dan memberikannya pada Jumadi. “Pulanglah. Kalau sudah waktunya masuk kerja, kamu langsung ke kantor ekspedisi di Bandung. Mengerti?”
Jumadi menyambar uang itu dan lari ke jalan raya, mencegat angkutan umum jurusan Surabaya. Purwanto tak langsung kembali ke kamar, urusan dengan Hindun bisa disambung lagi nanti. Ia kurang senang anak buahnya ditakut-takuti preman parkiran truk. Di kalangan para supir, meski perawakan Purwanto tak terlalu meyakinkan, ia dikenal punya teknik-teknik gertakan yang ditakuti sopir-sopir lain dan para preman macam manapun. Ia harus menemukan preman itu.
“Mau kemana, Kang?” tanya ibu pemilik warung saat melihat Purwanto melangkah keluar.
“Sebentar, aku ada urusan. Tolong jaga Hindun untukku,” balasnya tanpa menoleh. Tak sampai semenit, Purwanto mendapati sosok yang digambarkan oleh Jumadi tengah berjalan di antara jajaran truk. Orang itu berjalan lurus nyaris tanpa gerakan. Purwanto langsung menghadangnya.
“Berhenti!” Purwanto menahan jalan orang itu. Jumadi tidak bohong. Orang itu persis seperti yang digambarkan oleh Jumadi, sangar dan auranya gelap sekali.
“Sampeyan tadi menakut-nakuti anak buah saya, kenapa?” Purwanto langsung bicara.
Orang itu menatap Purwanto. “Anak buah sampeyan yang mana?” orang itu balik bertanya, suaranya serak, berat, tapi sangat tenang.
“Namanya Jumadi, kenek krempeng yang duduk di truk itu,” tunjuk Purwanto. “Kenapa sampeyan menakut-nakutinya?”
“Saya tidak menakut-nakutinya. Saya bahkan tidak bicara apa-apa padanya. Saya hanya heran kenapa Jumadi ada di Bangil sini,” jawab orang itu.
“Memangnya sampeyan kenal Jumadi?” tegas Purwanto.
“Tidak. Seperti yang saya bilang, saya cuma heran ketemu dia di Bangil sini, padahal saya punya janji bertemu dia di Jombang, nanti siang,” kata orang itu berjalan meninggalkan Purwanto.
“Siapa sampeyan ini?” kejar Purwanto.
Orang itu menoleh dengan seringai kecil. “Aku, Maut”
Purwanto mencoba mengikuti bayangan orang itu di antara dinding-dinding bak truk. Tapi ia lenyap begitu saja entah kemana.
Purwanto berbalik dengan kecut. Terpaksa ia mencari kenek serabutan untuk melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Tapi sebelum berangkat, dituntaskannya hutang yang tadi belum terbayar kepada Hindun. Tiba kembali di kamar, tangannya segera menjangkau tubuh mungil gadis itu dan memeluknya. Purwanto
membopong Hindun, sambil duduk setengah berselonjor dengan tubuh telanjang, ia menaruh Hindun di pangkuannya. Buset, penisnya yang masih ngaceng langsung menancap dengan baik.
Hindun terpaksa menekukkan lututnya, lemas ia mendekap tubuh gendut Purwanto. Kepalanya bersandar lunglai, dengan tangan berhasil menggayut di leher si lelaki. Napasnya masih terengah-engah menyesapi saat-saat berlalunya badai kenikmatan yang tadi datang melanda, dan kini Purwanto mengajaknya untuk kembali melayang ke awang-awang.
Purwanto mengatur nafasnya sebentar, bersantai sejenak, sebelum kemudian mulai memacu sambil membelai lembut bongkahan payudara Hindun yang menempel halus di perutnya. Dipijitnya benda empuk itu berulang kali sambil matanya memandang ke bawah, memperhatikan alat kelaminnya yang bergerak naik-turun menerobos kemaluan si ibu muda.
“Bang, sudah... bang,” Hindun sedikit menghiba merasakan batang keras Purwanto makin terbenam di dalam dirinya.
Bukannya kasihan, suara desahan Hindun bagaikan cambuk pelecut bagi birahi Purwanto. Ia terus menekan, perlahan tapi kuat, kembali menghujam dan menghujam, hingga membuat Hindun merintih kian pasrah.
“Aduh, bang… s-sudah…” Gadis itu terpejam, dan hanya bisa menggigit bibir untuk mengimbangi tusukan Purwanto yang begitu buas. Jilbabnya telah terlepas, menampakkan rambut hitamnya yang tidak begitu panjang.
Purwanto menyingkirkannya ke belakang agar ia dapat memandangi geliatan buah dada gadis itu yang kini saling berbenturan satu sama lain akibat genjotannya. “Sebentar ya, aku sudah hampir ini…” bisiknya dengan kedua tangan menjamah pinggul mulus Hindun dan menjalarinya hingga ke sela-sela paha.
“Ohh... bang… tapi… ohh... cepat ya, bang... ohh!!” Walaupun lemas, Hindun berusaha mengikuti hujaman Purwanto, berharap agar si lelaki tidak berlama-lama lagi menikmati kehangatan tubuh sintalnya.
Purwanto yang merasakan gelegak kejantanannya mulai mendekati tujuan, semakin meningkatkan ritme; tekanan pinggulnya kian keras menggerus dinding-dinding kemaluan gadis itu, bergantian antara sisi kiri dan kanan, atas dan bawah, hingga Hindun jadi berteriak kembali.
“Ohh... sudah, bang... sudah…” Kenikmatannya kembali menyeruak, Hindun semakin menghiba agar permainan itu segera berakhir. Tubuhnya kembali menggelinjang. Namun desahannya malah memacu Purwanto yang sedikit lagi mencapai puncaknya.
Sembari menghujam dalam-dalam, Purwanto mendorong batang kemaluannya merapat ke lubang tubuh gadis itu sembari mempercepat hantamannya. “Hhh… abang… hhh… sampai!!” dia berteriak saat kejantanannya meledak, memuntahkan bara panas.
Purwanto menikmati sepenuhnya keberuntungan menggapai puncak kenikmatan dengan menyetubuhi gadis muda alim yang sangat cantik ini. Di saat- saat ledakan, hujaman pinggulnya sedemikian keras dan cepat, yang sontak membuat Hindun ikut merintih dalam sensasi kenikmatannya. Seolah-olah tidak ingin ketinggalan, gadis itu pun ikut menghentakkan pinggulnya mumpung si tongkat sakti masih berdiri perkasa. Menguatkan diri, Hindun meminta hujaman terakhir dari sang supir tua untuk mengantarnya dalam mengejar puncak kenikmatan.
“Abang… ohh… abang!!” Hindun mendekap, membiarkan tubuh telanjangnya dihimpit oleh Purwanto hingga klimaksnya tergapai. Pinggulnya terus bergerak perlahan tapi bertenaga, memeras kejantanan sang sopir dengan otot-otot pahanya yang ternyata sangatlah nakal.
“Ohh… enak sekali… kamu memang hebat!!” Purwanto meresapi pijatan spesial ala Hindun, sampai akhirnya gadis itu kelelahan dan tidak mampu lagi menggenggam. Alat kelamin mereka pun terlepas, meninggalkan perasaan hangat dan sedikit kosong dalam diri Hindun.
“Kamu lebih baik tidur saja,” bisik Purwanto sambil mengenakan celananya kembali.
“Iya, bang.” gadis itu mengangguk.
Tugas menguras sperma sudah usai, kini saatnya untuk kembali menyusuri pengapnya jalur Pantura. Diberikannya segepok uang yang sudah Purwanto janjikan pada ibu pemilik warung, wanita itu menerimanya dengan tersenyum lebar dan anggukan puas. Kernet sudah menunggu di truk, dan ia pun berangkat.
Malam mereka tiba di Denpasar. Begitu Purwanto sampai di kantor ekspedisi setempat, ia langsung disongsong oleh petugas dengan satu pesan, “Mas Pur, sampean diminta segera kembali ke Jombang.”
“Buat apa?” tanya Purwanto tak mengerti, keringat masih membasahi tubuhnya yang gendut.
“Jadi bener sampean belum dapat kabar?”
Purwanto mengangguk.
“Tadi sore keluarga Jumadi ngasih kabar, katanya Jumadi telah meninggal. Dia tewas kena gas beracun saat membantu tetangganya menguras sumur lama.”
Benak Purwanto langsung berputar, bayangan lelaki sangar yang dilihatnya pagi tadi kembali berkelebat di pikirannya: dia, sang Maut...!!!
 
wah ... cerita yang Sangat Bagus. Bisakah berlanjut ?
 
Naaahhhh.. inget stensil jaman sd... di desa tumaritis.
 
Ini cerita dari blog iisamu takeo bukan? Kalau bisa ditampilkan juga suhu nama pengarangnya di ceritanya.

Tapi, terima kasih sudah dipost disini. Ane sekarang susah nengok blognya iisamu takeo...diblock terus
 
Ini cerita dari blog iisamu takeo bukan? Kalau bisa ditampilkan juga suhu nama pengarangnya di ceritanya.

Tapi, terima kasih sudah dipost disini. Ane sekarang susah nengok blognya iisamu takeo...diblock terus

siap memang karangan iisamu takeo
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd