Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG CINTA RUMIT ANTARA STW, BINOR, MAMAH MUDA, JANDA DAN ABG by SUMANDONO

Status
Please reply by conversation.
Khusus para suhu sbb: @PaijoKenthir1976 @togox @phallus88 @Ndoro Oolidsky @Bl4ckhorse @Yhonoz @Ima81 @Garonk84 @boen4r @Genthaloo_31 @kuciah @Sonic110 @DenjakaKliwon terimakasih atas cendol dawetnya, bikin seger.


Tiga
BU KADES


Gagan terhuyung-huyung ke luar kamar. Wajahnya terlihat sangat merana. Bibi melihatnya dengan perasaan bersalah.
“Kamu ketiduran ya?” tanya Bibi. “Maafkan Bibi, Gan. Itu Bu Kades sama Dudi ingin ketemu, katanya sangat penting.”
“Aku cape, Bi. Apa enggak bisa urusannya dibesokin aja?”
“Katanya sih enggak bisa.” Bibi berkata sambil melongok ke arah kamar, “pisang goreng sama ubi gorengnya belum habis. Kopinya juga masih sisa… eh, Gan jangan lewat ruang tengah, penuh sama orang yang lagi tidur, lewat belakang aja. Mereka nunggu di teras depan.”

Gagan berbalik arah ke pintu belakang diikuti Bibi. Di halaman belakang mereka menemukan Mira sedang menumpukkan kayu bakar.
“Kamu lagi ngapain, Mir?” tanya Bibi.
“Lagi ini, eu… ngumpulin kayu bakar buat masak besok… ini berasnya juga tinggal dua kilo, Bi, kurang.”
“Udah besok lagi kerjaannya, udah malam.” Gagan berkata sambil menatap Mira. “Kamu istirahat saja, bobo yang nyenyak.”
“Ga pa pa, Mir. Kumpulin aja kayu bakarnya yang banyak, besok pagi semua orang pasti pada lapar.” Bibi berkata seakan-akan dia tidak rela Gagan bersikap baik kepada Mira.
“Jangan gitu sama keponakan sendiri, Bi. Semua orang perlu istirahat.” Kata Gagan dengan agak ketus. Dia mengayunkan langkah dengan lebar, meninggalkan Bibi yang mematung seperti kaget. Hal itu terjadi karena baru kali inilah Gagan bersikap ketus kepadanya.

Bibi jadi sedikit tersinggung.

“Aku tidak boleh bertengkar dengan Gagan.” Kata Bibi sambil melangkah mengikuti pemuda itu yang entah mengapa tiba-tiba menjadi sangat kesal. Mungkin karena tidurnya terganggu. “Bagaimana pun, Gagan adalah segala-galanya bagiku. Dia memberiku tempat tinggal, memberi hadiah, memberi uang belanja untuk hidup sehari-hari… dan yang lebih penting… dia memberikan kontolnya yang lezat untuk memekku… tidak, aku tidak berhak melawan atau marah kepadanya. Kalau semuanya sudah tenang, aku akan memijiti badannya, mengisap kontol dan merendos kontolnya sampai ngecrot di dalam memekku… akh… tadi eweannya terlalu cepat… mungkinkah aku terlalu egois yang hanya memikirkan kenikmatan diriku sendiri?” kata Bibi sambil melangkah dengan gamang.

Mereka akhirnya tiba di teras. Dudi dan Bu Kades tengah duduk menunggu di kursi bambu yang sudah tua.
“Maafkan kami mengganggu, Pak Gagan.” Kata Bu Kades sambil berdiri dari duduknya. Dudi ikut juga berdiri. Mereka bersalaman dan Bibi menawarkan kopi serta pisang goreng kepada Bu Kades. Tapi Bu Kades menolak, membuat Dudi agak kecewa.

Gagan menatap Bu Kades dengan cermat. Sebuah tatapan yang penuh selidik. Usia Bu Kades ini diperkirakan sekitar 35-an. Dia mengenakan seragam Kepala Desa warna khaki lengkap dengan atributnya. Seragamnya yang ketat memperlihat bentuk tubuh Bu Kades yang kurus, tinggi dan langsing. Sebagaimana perawakan perempuan kurus dan tinggi umumnya, Bu Kades memiliki sepasang tetek berukuran sedang menjurus kecil. Paha dan betisnya tampak memiliki besar yang sama. Kecil dan panjang. Namun begitu, Bu Kades memiliki pantat bebek yang menawan. Gagan berpikir, tentu saja bentuk pantat seperti itu paling nikmat jika disodok dari belakang sambil berdiri. Gagan membayangkan memeluk Bu Kades dari belakang. Sambil meremas sepasang toketnya, dia menggenjotnya dari belakang. Hm, pasti nikmat.

“Sial!” maki Gagan dalam hati, “kontol aku ngaceng lagi.” Dalam pikirannya dia berjanji bila urusan ini sudah selesai, dia akan menyeret Bibi dan mengentotnya sepuasnya sampai ngecrot di dalam. Kalau tidak, dijamin semalaman dia tidak akan bisa tidur.

“Perkenalkan, saya Maharani, Kepala Desa Karasak. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terimakasih akan kesediaan Pak Gagan menerima kami di malam yang sudah larut ini. Saya maklum Pak Gagan pasti terganggu istirahatnya, tapi demi kepentingan rakyat desa, sudilah kiranya Pak Gagan membantu kami.” Bu Kades Maharani berkata sambil sepasang matanya menatap tajam ke arah selangkangan Gagan yang menggembung.

“Akan saya usahakan membantu sebisa mungkin.” Kata Gagan, dia tak sengaja menatap mata Bu Kades yang tengah mencorong ke arah selangkangannya. Setengah sengaja setengah tidak, Gagan secara berpura-pura memperbaiki celana pendek batiknya. Lalu mendadak saja tatapan mereka bertemu. Mereka saling menatap selama lima detik. Bibir Bu Kades Maharani tersenyum sambil sepasang matanya mengerjap. Itu seperti sebuah kode. Gagan membalas mengerjapkan mata.

Bu Kades tersenyum lebar. Sepasang matanya berbinar-binar.

“Seperti yang Pak Gagan ketahui, desa kami mengalami longsor akibat hujan yang terus menerus mengguyur selama tiga hari pada seminggu yang lalu. Hujan deras itu mengikis kaki bukit yang mengakibatkan terjadinya longsor. Kejadian longsornya sendiri 3 hari yang lalu. Untungnya tidak ada korban jiwa. Tapi sedikitnya ada 7 rumah warga yang mengalami kerusakan parah, 15 rumah rusak sedang dan 10 buah rumah rusak ringan. Dan puluhan orang terpaksa numpang nginap di rumah tetangga atau saudaranya. Nanh, di antara rumah yang paling parah adalah rumah Pak Dudi ini, yang merupakan masih ada keterkaitan kekeluargaan dengan Pak Gagan. Sebagai aparat desa tentu saja kami telah menyampaikan berita duka ini ke kecamatan dan meminta bantuan secepatnya. Terutama bantuan logistik berupa makanan dan tenda darurat serta obat-obatan. Dari pihak kecamatan dan BPBD Kabupaten, mereka telah menyediakan bantuan tetapi sayangnya bantuan tersebut belum dapat dikirim ke sini karena kebetulan mereka mengalami kendala teknis, yakni mobil yang akan digunakan untuk transportasi mengalami kecelakaan. Jadi, Bu Camat yang juga merupakan sahabat saya, menelpon saya untuk secepatnya mengambil bantuan tersebut.”
“Terus apa yang bisa kami bantu, Bu?” tanya Gagan dengan suara lembut.
“Kami ingin meminjam kendaraannya untuk malam ini.” Kata Bu Kades Maharani, “sekalian kalau bisa sama sopirnya.”
“Oh tenang, Kang Dudi bisa nyetir koq, Bu.” Kata Gagan.
“Mmm, Pak Dudi membawa mobil colt bak, Pak. Sedangkan mobil kijang milik bapak tidak ada sopirnya.”
“Oh, ya sudah, saya saja yang nyopir. Tapi jalan ke kecamatan saya lupa-lupa ingat, saya harus didampingi seseorang yang tahu jalan.”
“Saya sendiri yang akan menemani Pak Gagan ke sana.”
“Baiklah, ayo berangkat.”

Tiba-tiba Dudi menyela, “boleh saya ngopi dulu, nanti saya nyusul. Saya lapar, dari pagi belum makan.”

“Ya, sudah. Kang Dudi ngopi-ngopi dulu di sini, biar kita duluan.” Kata Gagan sambil melangkah ke samping rumah, lalu dia berkata kepada Kang Dudi, “kang, bisa tolong bukain pintu gerbangnya?”
“Oh, siap, Gan.” Kata Kang Dudi sambil dengan setengah berlari menuju pintu gerbang dan membukakannya. Tiba di halaman samping yang gelap, tangan Gagan tak sengaja menyentuh pantat Bu Kades.
“Eh, maaf, Bu.” Kata Gagan, dia khawatir Bu Kades marah. Masa baru kenal sudah colak colek pantat. Kan kurang ajar namanya.

Tapi apa yang terjadi? Bu Kades malahan membalas secara sengaja mengelus kontol Gagan dari luar celananya dengan telapak tangannya.

“Wah, maaf saya juga.” Bu Kades tersenyum nakal, “itu sengaja.”
“Duh, Bu Kades. Bikin saya jadi tegang.”

Bu Kades tertawa renyah.

“Rupanya Pak Gagan ini memiliki tegangan tinggi yah?” Bu Kades berkata dengan nada bercanda, “yang penting asal jangan korsleting aja.”
“Kalau korsleting gimana, Bu?”
“Bahaya. Bisa meledak… hi hi hi…”
“Bu Kades ini bisa aja. Memangnya saya ini tiang listrik apa?”
“Kalau tangan saya tidak salah meraba, yang tadi saya elus pasti tiang listrik.”
“Udah ah, Bu Kades ini bercanda aja. Ayo masuk, kita berangkat.”



Empat
KOMODITAS ANDALAN DESA KARASAK





Mobil melaju pelahan di kegelapan malam. Sepanjang perjalanan mereka berbincang santai, saling bercanda sekaligus saling menggoda. Hanya dalam beberapa menit saja, secara diam-diam di hati mereka tumbuh saling rasa tertarik satu sama lain.

Bu Kades yang bernama Maharani ini adalah seorang sarjana ekonomi. Dia merupakan keturunan orang terpandang di desa itu. Sebelum mencalonkan diri sebagai kepala desa, Maharani tercatat sebagai kader Partai Persatuan Pembangunan Indonesia alias Perpindo. Setelah gagal dalam Pemilu legislatif sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung, dia akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Rangga, seorang pengusahan konveksi pakaian yang tinggal di Tanggerang, yang juga merupakan kader Perpindo. Sayang, setelah 6 tahun menikah, mereka mengalami ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang mengakibatkan keretakan hubungan suami istri dan akhirnya mereka pun bercerai.

Setelah bercerai, Maharani pulang ke kampung halamannya dan ikut meramaikan bursa calon kepala desa yang terjadi pada dua tahun silam. Tidak disangka tidak diduga, Maharani menang telak dalam Pilkades itu. Dia mengalahkan Hardiman, saudara sepupunya yang merupakan kepala desa petahana.

Selama 3 tahun menjadi kepala desa, Maharani berhasil membangun jalan penting sepanjang 15 kilometer, yang merupakan urat nadi perekonomian desa Karasak. Jalan tersebut menghubungkan antar kampung di seluruh wilayah desa dan merupakan akses bagi warga desa untuk pergi ke kota. Selama ini, pembangunan jalan tersebut selalu terbengkalai karena bantuan uang dan material yang diberikan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten selalu ditilep oleh para pejabat desa. Terutama oleh mantan kepala-kepala desanya. Demikian juga dengan berbagai dana bantuan yang bersifat untuk mensejahterakan dan meningkatkan taraf hidup warga desa yang umumnya sebagai petani kebun, ditilep juga oleh para pejabat yang serakah itu.

Cukup dengan 3 tahun masa pemerintahannya, Maharani berhasil meningkatkan pendapatan warga desa Karasak sebesar 2 kali lipat. Hal itu karena akses jalan yang baik dan memadai yang membuat warga mudah membawa hasil kebunnya dan langsung menjualnya ke konsumen di luar desa. Salah satu komoditas andalan desa ini adalah Kopi dan mangga apel. Kedua komoditas ini sangat digemari oleh konsumennya yang terdapat di kota. Kopi desa Karasak yang berjenis arabika ini memiliki cita rasa khas yang tajam menyengat namun lembut dan ramah untuk lambung. Harga kopi greenbean per kilo di toko-toko khusus kopi di Bandung, Jakarta dan Surabaya mencapai Rp.1.500.000,-. Toko-toko tersebut membelinya dari para pengepul kopi dengan harga 1,1 juta rupiah per kilo. Sedangkan para pengepul membeli kopi dari para petani dengan harga 500 ribu rupiah per kilo. Setelah akses jalan terbuka, banyak para pengepul alias bandar kopi yang keteteran karena para petani banyak yang menjualnya langsung ke konsumen dengan harga 900 ribu rupiah per kilo. Di antara para pengepul atau bandar kopi yang jumlahnya segelintir itu adalah Kang Dudi, suaminya Mira.

Sedangkan untuk mangga apel, harganya bisa mencapai 75 ribu per kilo. Dulu, para petani selalu kesulitan membawa buah mangga ini ke kota dalam keadaan utuh. Jalan yang jelek membuat mangga terguncang-guncang sehingga merusak buah. Memang salah satu kekurangan dari mangga apel ini adalah sangat rentan terhadap gesekan dan guncangan karena kulitnya yang tipis. Namun kulit yang tipis ini juga adalah salah satu kelebihannya karena mangga bisa langsung dikonsumsi tanpa arus dikupas. Konon mangga apel dari desa Karasak ini sangat berkhasiat untuk untuk kesehatan kulit karena mengandung vitamin E yang sangat tinggi selain vitamin C dan vitamin A.

Kedua komoditas ini berbuah sepanjang tahun, yang merupakan sumber penghasilan warga desa yang tak pernah kering.

Gagan tentu saja pernah mendengar tentang kepala desanya yang bernama Maharani ini, juga dengan gossip kehidupan rumah tangganya yang kurang bagus, tapi bertemu langsung dengan orangnya baru kali. Dan Gagan mengakui, Maharani adalah wanita cantik walau usianya lebih tua 8 tahun dari dirinya.

Sepanjang ingatan Gagan, di desa itu telah terjadi beberapa kali bencana alam longsor. Tapi dia tidak pernah mendengar kepala desanya terjun langsung untuk menolong korban. Hanya segelintir mantri desa yang turun tangan itu pun dengan ogah-ogahan dan sikap sok berkuasa yang menyebalkan. Sejujurnya saja, sejak lama Gagan merasa antipati dengan kepala desa sebelum Maharani beserta jajarannya. Ketika orangtuanya mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan tol Cipularang arah ke Jakarta, mereka sama sekali tidak memberikan respon positif terutama berkaitan dengan administrasi surat-surat kematian dan lain sebagainya, namun ketika petugas asuransi datang untuk memberikan uang asuransi, baik kepala desa Hardiman maupun jajaran, begitu bersemangat untuk meminta uang dengar. Itu benar-benar sangat membagongkan.

Berbeda dengan dengan Kades yang satu ini. Setahun yang lalu ketika kakek meninggal, Bu Kades datang langsung dan memberikan semacam ucapan bela sungkawa. Namun bukan sekedar itu saja, Bu Kades juga menguruskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban orang mati, dari pengurusan jenazah dan pemakaman hingga ke soal urusan surat menyurat dan urusan hak waris, tanpa serupiah pun mengeluarkan biaya. Waktu itu Gagan tidak bisa pulang sebab dia baru saja diangkat menjadi manager di sebuah perusahaan export import di Jakarta Utara. Melalui telepon, Bibi menjelaskan semuanya dengan detil hingga Gagan yang berada di tempat yang jauh dan sepi serta senantiasa dikurung oleh kesibukan pekerjaan, Gagan bisa merasa lega dan tenang. Sampai kini, saat mereka kini berduaan di dalam mobil, Gagan bahkan belum sempat mengucapkan terimakasih kepada Bu Kades yang cantik dan baik ini.

Setelah satu jam berkendara sambil berbincang ringan dan bercanda, akhirnya mereka tiba di kantor Kecamatan. Petugas jaga melayani mereka dengan baik. Seluruh bantuan logistik berupa beras sebanyak 2 kuintal, ikan asin, garam dan gula, pakaian bekas dan selimut serta beberapa barang lainnya, mereka jejalkan ke dalam mobil kijang tua itu. Selebihnya, bantuan berupa material seperti semen 20 zack, 50 kg paku aneka ukuran dan 100 batang besi beton akan dibawa oleh mobil colt bak yang dikendarai Dudi, yang datang satu jam kemudian. Saat para petugas itu meloading bantuan ke dalam mobil kijang Gagan, Kades Maharani menelpon Bu Camat dan mengucapkan terimakasih atas gerak cepat kecamatan dalam menangani bencana.

Setelah bantuan logistik selesai diloading ke dalam mobil kijang, Gagan dan Maharani mampir sebentar ke penjual roti bakar yang letaknya persis berada di sebrang jalan di depan kantor kecamatan. Sambil menunggu bantuan material selesai diloading ke dalam mobil bak, mereka meneruskan pembicaraan santai yang tertunda. Suasana yang hangat dan nyaman di tempat itu, membuat mereka berbincang tentang sesuatu yang lebih pribadi.

“Aku mungkin bisa memahami mengapa sampai umur 25 akang belum juga berniat untuk menikah.” Kata Maharani yang sudah mengubah panggilan “Pak” dengan “kang”.
“Mengapa, ceu?” tanya Gagan yang juga sudah mengubah panggilan “Bu” dengan “ceu”.
“Kamu mungkin memiliki terlalu banyak pacar sehingga kamu bingung memilih.”

Mendengar kalimat itu Gagan malah tertawa.
“Ceuceu lucu sekali. Orang seperti saya ini mana bisa punya banyak pacar.” Kata Gagan.
“Tentu saja bisa.” Kata Maharani dengan enteng, “gaji menejer di sebuah perusahaan di Jakarta itu berkisar antara 15 sampai 25 juta, kamu cukup ganteng dan tinggi, humornya bagus… apalagi? Kamu pasti menemukan banyak cewek di sana.”
“Gaji segitu kata siapa?”
“Bekas suamiku dulu punya perusahaan konveksi yang lumayan di Tanggerang, dia menggaji menejernya 15 juta per bulan. Sedangkan kamu bekerja di perusahaan milik Subandrio Salim Grup, yang notabene merupakan perusahaan dengan konglomerasi yang besar kalau tak boleh kukatakan raksasa, pasti gajimu lebih besar. I ya kan? Ngaku aja.”
“Ceuceu ini bisa aja.”
“Ayo ngaku.”
“Yaah… kira-kira gaji saya segitulah, kurang dikit.”
“Bohong.”
“Bener, sumpah.”
“Ah, sumpah laki-laki mana bisa dipercaya, apalagi soal duit… eh, berarti kamu udah punya pacar ya?”
“Pernah, Ceu.”
“Pernah?”
“Begitulah.”
“Terus?” tanya Maharani dengan sedikit memaksa.
“Terus apa?”
“Terus kenapa putus?”
“Yang bilang putus siapa?” kata Gagan sambil nyengir.
“Tadi akang bilangnya “pernah” berarti sekarang sudah putus dong.”
“Enggak putus koq. Tapi kami terpisah sangaaaat…. Jauh. Mungkin kami takkan pernah bertemu lagi selama-lamanya.”
“Berarti itu putus.” Kata Maharani dengan wajah beriak oleh rasa penasaran, “ceritain dong kenapa bisa terpisah saaangaaatttt jauh.”
“Ceritanya rumit, saya tidak pandai bercerita.”
“Eh, aku lupa bawa dompet, kamu bisa tolong bayarin dulu, entar aku ganti.”
“Enggak usah.” Kata Gagan, “anggap aja ini ucapan terimakasih saya kepada ceuceu yang udah ngurusin kematian kakek sampai tuntas.”
“Itu sudah merupakan tugas dan kewajiban aku, Kang, enggak usah pake ucapan terimakasih segala. Eh, tuh, mobil kang Dudi sudah selesai, yuk kita pulang.”
“Yuk.” Jawab Gagan dengan pasti.





Lima
GAZEBO DI KEBUN SINGKONG





Malam sudah bergulir menjadi dinihari pukul satu saat mereka tiba di kantor desa. Kang Dudi yang berangkat lebih dulu tiba lebih awal. Mobil colt bak-nya terparkir di sisi kiri halaman depan kantor desa. Sementara beberapa warga yang menunggu datangnya bantuan, berkerumun mengelilingi api anggun sambil membakar ubi dan menjerang air untuk membuat kopi. Termasuk di dalamnya Kang Dudi pun ikut menunggu. Begitu mereka tiba, warga yang sedang berkerumun langsung berdiri dan mendekati mobil kijang. Hanya dalam waktu 30 menit seluruh logistik yang ada di dalam mobil langsung bersih diangkuti warga ke rumahnya masing-masing. Maharani tampak sibuk melakukan pengaturan dan pencatatan menggunakan smartphonenya. Salah seorang warga yang akan bersikap curang dengan mengambil lebih dari jumlah selimut yang sudah ditentukan, ditegur Maharani dengan keras.
“Kalau mamang mengambil lebih, ada warga yang lain yang tidak akan kebagian. Ingat itu!” katanya dengan wajah serius.

Selesai dengan urusan pembagian bantuan, Bu Kades pergi ke samping kantos desa dan membuka pintu kembar gedung serbaguna dan meminta Gagan untuk memasukkan mobil colt.
“Aku harus belajar nyetir.” Kata Bu Kades saat Gagan dengan hati-hati memasuki pintu kembar yang lebarnya terlalu pas untuk masuk mobil.
“Kenapa tidak diparkir di luar aja, Ceu?” tanya Gagan. Dia beberapa kali memajukan dan memundurkan mobil agar posisinya pas masuk tanpa menggores pintu kayu yang sudah tua yang dibukakan lebar-lebar.
“Hm, kalau disimpan di luar nanti aparat desa yang korup akan menjual semen dan besi ini. Atau bahkan mereka akan mencuri paku yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan rumah.” Katanya dengan sebal. Namun nada suaranya berubah saat Gagan berhasil memasukkan mobil colt itu ke dalam gedung serba guna.
“Horeee… “ katanya sambil bertepuk tangan.

Gagan turun dari mobil dan berkata, “enggak usah pake hore segala, semua sopir pasti bisa memasukkan mobil asal pintunya dibuka.”
“Tidak semua, Kang. Be Te We, makasih ya.”
“No problem.” Kata Gagan, dia menatap Bu Kades yang wajahnya tampak kelelahan, “aku akan pulang sekarang. Mau diantar sekalian?”
“Tentu saja.” Kata Maharani dengan senang. Setelah mengunci pintu gedung serba guna serta memastikan tak ada sesuatu barang yang tertinggal, Maharani memasuki mobil dan berkata, “yuk, jalan.”
“Rumah ceuceu ke mana arahnya?”
“Ke arah rumah akang, tapi pas deket pohon jambu batu, belok kanan. Di situ ada rumah bercat hijau, itu rumah ceuceu.”
“Ternyata rumah kita enggak begitu berjauhan ya.” Kata Gagan, “tapi anehnya kenapa kita tidak saling kenal ya?”
“Entahlah.” Kata Maharani sambil menguap, “oh, aku capek sekali. Kapan akang berangkat lagi ke Jakarta?”
“Besok sabtu kan? Berarti lusa sore.”
“Pulang ke karasak lagi kapan?”
“Kurang tahu, bisa minggu depan, bisa juga bulan depan. Tergantung situasi pekerjaan.” Kata Gagan sambil menginjak pedal gas. “Eh, tuh ada beberapa orang yang diam-diam ngeliatin kita.”
“Ini sudah dini hari, pukul setengah dua. Mereka anak buahnya Hardiman, mantan kades. Hm, mereka pikir mereka bisa mendapatkan bagian bantuan. Mau mampir sebentar, aku mau ngambil uang buat ngegantiin roti bakar tadi.”
“Sudah dibilang enggak perlu.”
“Akang baru datang dari Jakarta, masih cape tapi langsung mau bantuin tanpa imbalan, terimakasih ya kang.”
“Bosen denger terimakasih aja dari ceuceu.” Kata Gagan sambil menarik tongkat persneling dan memindahkannya ke gigi 2. Tak sengaja tangannya meraba paha Maharani.
“Aduh itu apaan sih.”
“Maaf gak sengaja.”
“Aku juga maaf gak sengaja.” Maharani berkata sambil membalas mengusap celana Gagan.
“Ah, jangan. Aku enggak kuat.”
“Apalagi aku… Kang aku ini sudah menjanda selama lebih dari 3 tahun, diraba gitu aku merinding tahu. Aku ini sensitif.””

Gagan menoleh ke arah Bu Kades yang sedang menatapnya. Tangannya memindahkan persneling ke gigi 3, kali ini sambil mampir ke selangkangan Maharani yang duduk mengangkang.
“Akh!” keluh Bu Kades, “jadi basah tahu.”
“Masa segitu aja basah?”
“Udah kubilang, aku ini sensitif.” Kata bu Kades dengan tatapan sayu, “akang mau mampir sebentar kan?”
“Enggak ah, di rumah ceuceu banyak orang. Aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut kentang.”
“Kentang? Apa itu?”

Gagan tersenyum.
“Ceuceu cantik kalau lagi manyun begitu… kentang itu semacam sesuatu yang tanggung, jadi tapi enggak jadi.”

Mendadak Bu Kades memeluk leher Gagan dari samping dan mencium pipi pemuda itu. Lalu berbisik, “sebelum kebun singkong, ada jalan kecil yang masuk mobil. Belok ke situ, di situ aman.”

Gagan menoleh, “serius?”
“Akang pengen enggak?”
“Pengen banget.”
“Berani tanggung jawab kalau aku hamil?”
“Kenapa takut?”
“Nah, di depan, ayo belok.”

Gagan membelokkan mobil ke arah jalan yang dimaksud. Jalannya gelap. Setelah masuk sekitar 20 meter, Maharani menyuruhnya menghentikan kendaraan. Dan memematikan mesin serta lampu. Bu Kades kemudian mengajak turun dan membawa Gagan menerobos kebun singkong untuk menemukan sebuah gazebo atau saung kecil terbuat dari bambu. Dari saung tersebut terlihat kelap-kelap lampu rumah.

“Itu rumahku, aku bisa pulang jalan kaki dari sini. Dan ini gazebo tempat aku biasa nyantey.” Kata Maharani sambil berpaling ke arah Gagan. Sepasang mata mereka saling menatap dalam keremangan yang menjurus gelap. Tetapi langit sangat jernih dan biru. Bintang-bintang yang gemerlapan menjadi saksi pertemuan dua insan yang merindukan kehangatan.

Mereka kemudian berpelukan dengan sangat erat dan saling berciuman. Setelah puas berpelukan dan berciuman, Gagan membalikkan badan Bu Kades dan memeluknya dari belakang. Kontolnya yang sudah tegang sejak tadi menggesek-gesek pantat Bu Kades sementara kedua tangannya masuk ke dalam baju dan menebah BH agar tangasnya bebas meremas sepasang toket kecil Bu Kades yang masih kenyal. Sementara mulut Gagan melumat telinga bu Kades dengan mulutnya dan menggelitiknya dengan lidahnya.

Gagan tahu persis bahwa setiap perempuan memiliki titik rangsangan yang berbeda-beda. Ada sebagian perempuan yang ketika dilumat daun telinganya merasa geli dan kurang suka. Tapi ada juga yang terrangsang secara hebat, sehebat dirangsang klitorisnya. Dan ternyata Bu Kades adalah type yang titik rangsangnya ada di daun telinga. Itulah sebabnya mengapa Bu Kades mendesis-desis. Kedua tangannya membelakang dan dengan tak sabar mencoba mengais pinggiran celana pendek Gagan untuk diturunkan tapi tidak berhasil. Akhirnya Bu Kades melepas kancing celana panjangnya sendiri dan membuka ritslutingnya, lalu dia memerosotkan celana panjang sekaligus celana dalamnya ke bawah hingga batas setengah paha.

Melihat hal itu, Gagan pun mengikuti apa yang dilakukan Bu Kades. Setelah celananya turun, Gagan menyisipkan batang kontolnya ke dalam celah selangkangan Bu Kades dan segera saja menggergaji belahan memek Bu Kades dengan batang kontolnya yang panjang. Gagan memperkirakan Bu Kades memiliki bibi-bibir luar memek yang tebal dan juga memiliki bibir-bibir memek bagian dalam yang lebar dan panjang. Sebab dia merasakan batang kontolnya melintasi kelembutan yang basah dan yang khas yang biasa terdapat pada permukaan bibir-bibir memek bagian dalam. Sayang sekali dia tak bisa melihat bentuknya.

“Dia pasti memiliki itil sebesar biji jambu monyet.” Pikir Gagan dalam hatinya, “pasti seger jika aku bisa mengemutnya. Sayang, sikonnya tidak memungkinkan.” Pikir Gagan sambil terus mengemuti telinga Bu Kades dan satu tangannya turun untuk menemukan itil Bu Kades yang ternyata cukup sesuai dengan perkiraannya. Setidaknya demikianlah menurut jari tengah dan jari telunjuknya yang mengoles-oles kelentit Bu Kades.
“Agkhhh… kang… gagan….”
“Ceuceu suka?”

Bu Kades tidak menjawab. Dia malah meraih kontol Gagan yang menggergaji belahan memeknya dan menggenggamnya sehingga kegiatan Gagan terhenti. Padahal lagi enak.
“Masukin… waktu kita enggak banyak.” Kata Bu Kades sambil memjejalkan kepala kontol Gagan ke dalam liang memeknya. Otomatis begitu si kepala gundul plontos itu menemukan liang memek, Gagan mendorongnya lebih dalam dan menggenjotnya tanpa tedeng aling-aling. Kedua tangan Gagan sekarang berpindah ke pinggang Bu Kades yang punggungnya melengkung.

“Aduuuhhhh… agkhhhh…. Ougkhhh….” Bu Kades mengerang tertahan mendapat sodokan dari belakang. Kedua tangannya berpegangan pada pinggiran gazobo untuk menahan gempuran yang dilakukan Gagan dari belakang.

Walau Gagan sudah berusaha untuk tidak menabrak pantat Bu Kades yang mancung agar tidak menimbulkan bunyi plak plok plak plok yang keras, namun tak urung bunyi gesekan antara batang kontol yang masuk dan keluar dari liang memek Bu Kades, ternyata menimbulkan suara gesekan yang lumayan keras.

“Ougkh… Gagan…kang… ssshhhh… sshhhh…. Oh, Aw!”
“Kenapa Ceu?”
“Diem, terusin…. Akh… akh… aduh, aw, aw… okh…kaaaangggg Gagaaaannnnn…..” Panta Bu Kades tiba-tiba melawan dengan mendorong ke belakang sehingga penggenjotan yang dilakukan Gagan terganggu, bahkan terhenti.
“Tekan dan tahan…. Aaaagkhhhh… aku ke luar lagi….akang… sekarang giliran akang…”
“Tapi aku belum full Ceu.”
“Udah cepetan… keluarin di dalem.”

Gagan sebetulnya sedikit kecewa. Dia masih merasa enak menggenjot memek Bu Kades yang ternyata sangat legit dan ketat ini dan belum pengen ke luar.

“Ya udah.” Kata Gagan sambil kedua tangannya memeluk Bu Kades dengan sangat erat. Setelah beberapa kali genjotan yang cukup cepat, akhirnya Gagan dengan terpaksa menembakan pejuhnya di dalam memek Bu Kades.

“Arrggkhhh…” Gagan menggeram sambil menikmati ejakulasinya yang menyembur. Meski sedikit terpaksa, tak urung enak juga rasanya.

Daripada kentang seperti yang terjadi dengan Bibi dan Mira, kan lebih baik ngecrot daripada tidak sama sekali.

Setelah menyemprot dengan perasaan sedikit kecewa, Gagan mencabut kontolnya dari dalam liang memek Bu Kades. Air mani masih menetes dari mulut ujung kontolnya sementara seluruh batang kontolnya dipenuhi dengan cairan kenikmatan Bu Kades yang berwarna putih. Lendir kenimatan itu tampak berkilauan diterpa cahaya bintang.

Setelah menarik celananya dan mengancingkannya, Bu Kades berbalik badan dan memeluk Gagan sambil mencium bibir pemuda itu.

“Makasih ya kang…eweannya enak banget. Aku puas dan ke luar berkali-kali. Tapi masalahnya, sekarang sudah jam dua pagi. Akang harus pulang, aku juga. Besok atau lusa, atau kalau akang ada waktu, kita ngewe lagi ya, mau kan?”

Gagan mengangguk. Dia mencium kening Bu Kades dengan mesra.
“Ya, besok atau lusa kita akan melakukannya lagi. Aku pengen ngejilmek memek ceuceu.”
“Ouh! Itu pasti rasanya luarbiasa. Aku enggak sabar menunggu kesempatan itu tiiba. Tapi sekarang makasih, ya, aku pulang dulu.” Bu Kades mencium bibi Gagan sekali lagi, sebelum akhirnya dia melangkah tanpa menoleh lagi menerobos jalan setapak di tengah kebun singkong. Bu Kades melangkah dengan riang. Hatinya senang karena memeknya yang sudah tiga tahun tidak disodok kontol kini sudah plong. Sementara Gagan mematung bisu. Dia ingin sekali merokok, tapi sial rokoknya ketinggalan di kamar.

“Mudah-mudahan bibi belum tidur, rasanya koq aku masih pengen ngentot lagi.” Katanya sambil melangkah menuju mobil Kijangnya.

(bersambung)​
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd