Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Bimabet
Hmm, entah kenapa, tapi rasanya di beberapa percakapan ada semacam 'kata' yg hilang Suhu Don.. :bingung:


_______:ngacir:

Nah, ane juga ngerasa ada yang hilang feel nya

Entah kayaknya agak buru buru terutama pas bagian main kerumah mas raga

Di tunggu lagi updatenya suhu DH :ngacir: patroli dulu yak :patroli:
 
Scene 20
Eh, anu, itu...



Ainun ... ...

Tepat pukul 21.00, aku keluar rumah. Kulepas sandal yang aku pakai dan kuletakan di kontrakan, secara naluriah, kalau ada sandal pasti ada orang daripada nanti kesulitan mending nyeker. Pos ronda sepi, jalanan sepi. Berangkaaaat... tepat didepan rumah bu RT, lampu depan rumahnya padam. Tiba-tiba terdengar suara klek, seperti orang membuka kunci pintu rumah. Keadaan sepi, aku buka pelan-pelan saja pintu gerbang yangmuat satu orang ini dan kubuka pintu, benar-benar kaya maling saja aku. Ketika aku sudah masuk ke dalam ruang tamu, gelap dan kututup pintu.

Heghh....

"Iiih datang juga, selingkuh yuk" ucap bu ainun, setelah dia memelukku

"Ndak jadi, aku pulang dulu" ucapku melepaskan pelukannya, dan menceoba membalikan tubuhku

"Ngambek, hi hi hi..." tawanya

Kalau dilihat lagi ke belakang, sebelumnya bu ainun alias bu RT-ku ini selalu kalem, tata lakunya juga membuat orang segan terhadapnya. Tapi setelah kejadian itu, dan aku kadang sms-an atau telpon-telponan, dia semakin terbuka. Kalau didepan banyak orang, dia lebih kalem tapi kalau dah ketemu di ruang tamu ini hufth... dah kaya anak kecil ketemu sama teman mainnya.

"Dah duduk dulu sana, aku buatkan teh" ucapnya

"Gimana caranya duduk bu?" ucapku sembari duduk, tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku

"Tinggal duduk saja kok repot" ucapnya tanpa melepaskan pergelangan tanganku

"Iya, tapi jangan dipegangi terus to tanganku" ucapku

"Lengket sayang hi hi hi" ucapnya melepaskan genggaman tangannya

"Huh, air putih saja bu" ucapku dan duduk di kursi panjang ruang tamu

"Tumben? Apa mau kopi?" ucapnya ditempat gelap ini

"Ndak bu, ini bakalannya ketutup terus. Kalau mau rokok baru teh sama kopi, tapi kelihatannya tidak mungkin merokok" ucapku dengan kondisi ruang tamu tertutup rapat, dia mendekatiku sambil menunduk, wajahnya tepat di wajahku

"Apa ngobrol di belakang saja? tapi kalau bapak kamu itu datang kamu gak tahu" ucapnya

"Ndak jadi, disini saja bu" ucapku, dia kemudian tersenyum

Cup... kecupan di keningku, membuatku bengong melihatnya berbalik dan meninggalkan aku. Kerudung panjang hingga lengannya dan rok berumbai-rumbainya itu, tapi kelihatannya dia pakai kaos. Ruang tamu memang gelap tapi masih ada sedikit cahaya terusan dari ruang tengah. Sesaat setelah aku menunggu, bu ainun datang dari cahaya lampu tengah terlihat dia membawa gelas berisi air bening ditangan kananany dan tangan kirinya membawa bantal besar. Diletakannya bantal tersebut di ujung yang bersebrangan denganku, klek...gelas berisi air bening sudah dihadapanku.

"Well, do you want to tell me.. about your story?" ucapnya dengan menyilangkan kaki dan menyangga dagunya, melihat ke arahku

"Ups, i'm forget, minum dulu sayang" lanjutnya, aku meminum seteguk dan kuletakan kembali

"Seneng banget sih bu kelihatanya?" ucapku, menoleh kearahnya

"Jelas dong, yang tersayang lagi ngapel hi hi hi" godanya

"Kaya situ ndak punya suami saja, ibunya lagi mabuk pasti..." ucapku membuang muka

"Gitu ya sekarang! Ya udah pulang saja, huh" ucapnya, aku berbalik dan melihat dia malah membelakangiku

"Yeee... marah si ibu, ntar tambah tua lho" ucapku

"Bodoh, aku mau tidur..." ucapnya yang berdiri langsung hendak melangkah. Aku tarik tangaannya

"Maaf bu maaf, kan cuma bercanda..." ucapku,dia berbalik dan langsung menjatuhkan tubuhnya di arahku, duduk dipangkuanku

"Awas kalau bahas masalah suami lagi" ucapnya tersenyum dan merangkul leherku, hidungku dimainkan oleh jari telunjuknya

"Iya bu maaf, tapi bisa turun ndak bu, berat he he he" ucapku dengan wajah tersenyum

"Beneran berat?" ucap bu ainun

"Ndak juga sih bu, tapi kan ndak enak ngobrolnya" ucapku

"Hi hi hi..." tawanya dan turun duduk disebelahku

"Luwes dikit napa ar, jangan kaku gitu..." ucap bu ainun yang menyilangkan kakinya kembali dan menyangga dagunya

"Ya... anu bu itu, ibu tiba-tiba kalau ketemu mesti bawaannya gimana ya itu bu" aku malah kebingungan menerangkannya

"Gimana? Maksudnya?" ucapnya memandangku dengan senyum

"Itu ibu beda banget sama sebelum-sebelumnya, kan sebelumnya ibu itu kaleeem banget tapi sekarang kelihatannya kok malah, yaaa beda banget" ucapku memandangnya

"Yang luwes santai.. saaan taaai... okay?" ucapnya memandangku, aku menghela nafasku

"Kalem kan waktu gak sama kamu, kalau sama kamu gak bisa kalem akunya" ucapnya dengan senyum manisnya

Aku memandangnya, dan kami saling berpandangan. Walau remang, aku masih bisa melihat bola matanya yang indah. Bibirnya maju sebentar seperti bebek dan kemudian kembali tersenyum. Wajahnya terlihat sangat senang sekali, membuatku salah tingkah

"Luwes, be yourself, kamu gak dikampus sayang" ucapnya tangan kirinya mengelus pipi kananku

"Eh... iya bu..." ucapku, menghelas nafas panjang

"Cerita dong... tuh udah ngintip-ngintip yang ada diotak kamu pengen keluar" ucapnya tersenyum

"Hufthh... iya bu" ucapku memandangnya sejenak

Aku kemudian menceritakan ketika festival akhir tahun dimana aku membantu pak RT. Cerita yang tidak begitu detail, tapi ketik pada bagian pacar dari Winda aku menceritakannya dengan detail sekali. Bahkan bagian dimana ada seorang perempuan yang mengajak pacarnya makan pun aku ceritakan. Setelah pertemuan dengan pacar Winda, aku bingung harus bagaimana mengatakannya kepada Winda, karena Winda begitu baik kepadaku. Kalau aku mengatakannya bisa-bisa Winda malah membenciku.

Cerita berikutnya mengenai Desy, yang waktu itu mengajakku ke pantai dan saat dia meletakan sematpon miliknya terlihat foto pacarnya. Pacarnya itu yang ternyata adalah yang ku temui dei festival saat itu. akuyang tahu itu kemudian reflek, mungkin karena kasihan terhadap Desy, aku mengatakan kepada Desy tntang cinta dan kejujuran. Aku mengira Desy tidak akan menggubrisnya, walau menggubrisnya juga pasti ndak bakal mengejarku dengan berjuta pertanyaan. Tapi tadi pagi Desy...

"Kamu itu makanya kalau jadi cowok jangan suka sembunyi, cowok itu harus jujur" ucap bu ainun

"Eh... iya tapi..." ucapku

"Eh Desy itu yang mana?" ucapnya

"Yang nganter aku bu, kalau yang pertama nganter itu kan Winda, kedua Desy, terus Dini" ucapku

"Ouwh yang keibuan itu ya" ucapnya

"Iya mirip ibu" ucapku

"Eh, aku keibuan ya sayang... iih ngrayu nih" ucapnya

"Lha kan memang benar bu, ndak bohong aku bu" ucapku

"Nyatanya kamu bohong sama teman-teman kuliahmu" ucapnya

"Eh..." aku tertegun mendengar kata-kata bu ainun

"Bukan maksudku untuk menyuruhmu membuka kedokmu, tapi memang terlalu lama kamu berada dalam kedok culun kamu itu. Dan lagi kamu itu sembunyi tapi gak rapet, bener kan?" ucapnya

"Eh... itu anu bu" ucapku

"Kalau jadi orang culun dan pinter, ya sudah jadi culun saja jangan malah ketika ada sesuatu yang gak sreg sama kamu, eh... malah aslinya kamu keluar. Ya jelas dia mengejar kamu dengan pertanyaan, secara kamu selalu menjadi dua orang yang berbeda-beda dalam satu waktu. Gak Kon... sis... ten, ngerti kan maksudku?" ucapnya dengan wajah yang tersenyum

"A... aku kan anu bu..." ucapku gugup

"Huh! Iiighhhhhhh... gemessssssssss!" mencubitku dibagian pinggang

"Arghhhh.... sudah bu sudah....."Ucapku menggenggam pergelangan tangannya

"Hufth... makanya yang konsisten, jiwa kamu yang terdalam itu gak mau sembunyi lama-lama ar" ucapnya memandangku dengan pandangan yang teduh

"He he he..." aku hanya tersenyum cengengesan

"Kamu tinggal jadi diri kamu, tunjukan kepada mereka siapa kamu dan jalani hidup kamu apa adanya. beres kan? Jadi diri kamu, kalau kamu terus-terus ganti rupa yang ada hanya kebingugan dan kegelisahan di hati kamu. Sudah gini saja, mulai besok kamu jadi diri kamu sendiri saja, datangi si Desy, terus Winda... katakan semuanya. Kalau mereka marah ya sudah, mereka kan yang bakal nyesel sendiri ketika tahu kebenaran yang ada" ucapnya lembut, aku menunduk sebentar kemudian memandangnya kembali

"Kenapa kamu harus sembunyi? Cobalah, jangan terlalu sembunyi ada hal yang lain yang harus kamu selesaikan. Apa yang kamu takutkan akan masa lalumu sayang? Seburuk-buruknya masa lalu adalah bagian dari masa depan. Masa lalu mu itu sudah berlalu... kamu terlalu..." ucapnya, pandanganku menjadi berair, teringat kembali yang telah berlalu.

Ketakutan akan sebuah kenyataan yang tidak ingin terulang lagi, bayangan-bayangan itu kembali lagi, seakan suara dari bu ainun menjadi redup oleh teriakan-teriakan dari masa laluku. Suasana tampak semakin gelap, gambaran yang telah berlalu muncul kembali. Seakan menertawakan kebodohanku di masa itu. Keegoisan, kesombongan, keangkuhan dan sebuah ganjaran dari semua itu. pandangan gelap, semakin berair, akhirnya mengalir di pipiku.

"Eh... sayang maaf... sudah, sudah kamu gak perlu..." ucapnya kemudian duduk bergeser mendekatiku

"Arghh.... benar kata-katanya, aku memang yang bodoh terlalu sering bersembunyi... aku hanya takut... takut ke...hiks... arghhh... mungkin aku harus pulang sekarang bu, mau ngrokok" ucapku tersenyum sebentar lalu berdiri

Tangan kirinya langsung menahan bahu kananku, bergerak ke pipi kananku dan mengarahkan pandanganku ke arahnya. Senyumnya menghiasi bibirnya, ditariknya pelan kepalaku hingga sebuah ciuman mendarat di bibirku. Tubuhku layu, hingga tangan kanannya bergerak di punggugku dan menarik bahu kananku dari belakang. Kepalaku jatuh di bahu kanannya. Tangan lembut mengelus kepalaku, serta kecupan-kecupan dikeningku membuatku semakin tak bisa menahan tangisku. Aku benamkan wajahku di bahunya.

"Sudaaah, tenanglah, maafkan aku sayang jika terlalu menekanmu... maafkan aku... aku tidak pernah tahu tentang masa lalumu, aku tidak mengira akan begini jadinya... maafkan..." ucapnya

"Ibu ndak salah, aku yang salah..." ucapku terisak

"Sudah tenangkan dirimu, tidurlah..." ucapnya lembut, tangannya tak henti-hentinya mengelus kepalaku

Aku menangis, kedua tanganku bergerak memeluk pinggangnya. Tubuhku semakin rapat dengannya, entah lelah atau mengantuk. Tangisku semakin reda, namun hatiku semaki kacau. Tubuhku ditariknya hingga rebah dibantal besar itu dengan bu ainun yang memelukku. kini kepalaku tepat di dadanya.

"Tidurlah, sayang, tidurlah... agar lelahmu hilang..." lembut dari bibirnya, pelukannya semakin erat. Elusan tangannya berada dikepalaku.

Aku menunduk, teringat akan semuanya kejadian yang telah lalu. Hingga rasa lelah karena tangis membuatku tertidur dalam pelukannya. Dalam pelukan seorang wanita yang seharusnya tidak aku peluk. Seorang wanita yang sudah memiliki seorang pemilik. Aku memeluknya hingga aku tak sadarkan diriku.




---------------------​

"Eh... dia sudah tertidur..." bathinku, ketika melihat nafasnya mulai teratur dan tenang

Kulihat wajahnya lelah berada dalam dekapan dadaku. Kelihatannya dia sangat nyaman sekali dalam pelukannku, tanganku tak pernah berhenti mengelus kepalanya. Ternyata dia memang seperti anak kecil ketika tertidur.

Tak ada yang seindah dan senyaman ini sebelumnya. Kehangatan dari tubuhnya membuatku sangat hanyut dalam perasaanku. Ku kecup kepalanya berkali-kali, entah perasaan apa yang berada dalam diriku saat ini, hingga aku tak bisa menahannya. Kupeluk semakin erat kepalany dan masuk kedalam dadaku. Hangat, hembusan nafasnya, membuatku merasakana tampat nyaman. Mataku sudah tak bisa lagi terbuka, kesendirianku dirumah dan kehadirannya.Mmmmhh... ssssttt..... mmmmmhhh... aku beringsut kebawah menyejajarkan kepalaku dengan kepalanya, ku kecup keningnya dan aku menyusulnya ke dalam dunia mimpi.

.

.

.


Egh, aku terbangun terlebih dahulu. Sedikit membalikan tubuhku terlihat samar jam didinding menunjukan pukul 2 malam. Kembali aku mengahadap ke Arta, kupeluk tubuhnya agar lebih dekat lagi. Kurasakan kehangatan dari tubuhnya, aku semakin beringsut kebawah dan memasukan kepalaku di dadanya, sejenak aku mencium dada yang terbungkus kaos ini.

Ainun, ainun, ada apa kamu ini sebenarnya? Kenapa kamu malah seakan jatuh dalam perasaan yang tidak seharusnya kamu miliki terhadap laki-laki muda ini? Dia seumuran dengan adik kamu ainun, sangat muda. Apakah mungkin aku sama dengan para gadis yang penasaran dengannya? Apakah aku juga merasakan penasaran dengannya juga? Ah, entahlah...

"Heghhh.... hoaaaam.... erghhh.... eghhh..." dia terbangung, aku langsung menyejajarkan wajahku dengan wajahnya, kini mataku tepat didepan matanya

"Egh... bbbhh... bu... ainun.... egh..." Arta terkejut

Dia terkejut dengan mata terbelalak ketika melihatku tepat dihadapannya. Keterkejutannya, membuat tubuhku bergeser kebelakang. Tangannya langsung memeluk punggungku dan aku kembali menempel pada tubuhnya. Lebar kursi terlalu sempit, walau cukup untuk kami berdua.

"Bu ainun itu bikin kaget saja"

"Nanti kalau jatuh bagaiman... mmppphhh" aku sudah tidak peduli lagi dengan statusku

Bibirnya tertutup, tangan kiriku menarik bagian belakang kepalanya. Bibirku terus mencoba untuk menerobos, samar aku bisa melihat pandangan matanya. Tangan kananya memegang pergelagan tangan kiriku, menariknya dan terlepas.

"Bu... sudah..." ucapnya pelan

"Kamu sayang kan sama aku?"

"Kenapa? katanya kamu mau menyayangiku, gak cinta gak papa ar" lanjutku, entah dari mana kata-kata ini meluncur.

"Bu, ingat bu... bu ainun kan sudah janji..." ucapnya, seperti janji kami berdua, saling mengingatkan

Tapi aku masa bodoh dengan janji itu. tangan kiriku kembali ke bagian belakang kepalanya, tangan kanannya menahan. Kami berpandangan satu sama lain, hatiku merasakan kekecewaan ketika tangannya menahan tangan kiriku. Aku tidak rela jika keiginanku terhenti, air mataku mulai keluar, isak tangisku mengalun pelan. Wajahnya sedikit terkejut, genggaman tangan kananya mulai melemah. Dalam isak tangis pelanku, bibir kami berpagutan, tangan kananku medorong tubuhnya. Perlahan, tubuhku bergeser, tubuhnya naik ke atas dan aku tepat berada dibawahnya. Dia mengangkangiku, Satu kakinya tertekuk disebelah kananku, satu nya lurus menginjak lantai. Kedua kakiku rapat berada, sedikit tertekuk menyesuaikan panjang kursi.

"Mmmpphh... bu..." pelan suaranya

"Gak papa kan kalau cium dan peluk... apakah harus aku terus yang menenangkanmu? Adilkah?" ucapku mencoba menekan logika

"Tat-tapi..." ucapnya dengan kedua tangan berada disamping kepalaku

"Sama saja..."

"Kamu juga egois..." ucapku pelan

"Lebih baik kamu mmmpppphhh....." ucapku terhenti,

Ingin aku menyuruhnya pulang namun, ah. Kedua tanganku memeluk tubuhnya, tangannya tertekuk, bibirnya melumat bibirku. Bibir kami mulai terbuka, lidahku menjulur terlebih dahulu ke dalam mulutnya. lidahnya begitu hangat, pasif di awal namun sangat aktif setelahnya. Tanganku berpindah kembali ke belakang kepalanya, menekan, agar bibirnya tetap menempel.

Perasaanku, nyaman, hangat tubuhnya, tubuhnya kini benar-benar rebah di atas tubuhku, menekan lembut. Terasa sedikit gesekan dibawah sana, tapi aku tidak mempedulikannya. Aku ingin, ingin memilikinya namun aku tak bisa. Hanya satu, ingin bersamanya melewati hari-harinya. Masa bodoh dengan lelakiku, dia yang datang untuk menentramkan aku.

"Bu.. mmmphh... bu...." disela-selanya,

Aku tidak menggubrisnya, aku ingin terus merasakan kehangatan bibirnya. Namun tiba-tiba, kedua tangannya menelusup di belakang kepalaku. Wajahnya bergeser dan terbenam di samping kepalaku. Pelukannya erat, tubuhnya benar-benar menekan tubuhku kebawah. Terasa sekali dia mengejang beberapa kali, nafasnya terengah-engah ketika terbenam. Aku memeluknya erat, walau terasa tubuhnya terasa berat. sedikit tersenyum aku dibuatnya, dasar...

"Kenapa?" pelan suaraku ditelinga kanannya

"Egh... hshhh hshhh hshhhh hshhh" hanya itu yang aku dengar

Aku semakin geli dibuatnya karena tak ada balasan darinya. Terasa sekali, ada yang mengeras di bawah sana. Walau tertutup celananya, aku masih bisa merasakannya. Aku mengelus lembut kepalanya.

"Aku buatkan minum ya?" ucapku mengalihkan pembicaraan, tapi dia masih tetap memelukku dengan erat. ini memang yang aku inginkan.

"Bu... aku pulang ya mmmppp..." ucapnya, sebentar dia mengangkat wajahnya kemudian membenamkannya lagi

"Lho... sudah, disini dulu belum subuh kok" ucapku

"Ta-tapi bu... mmmpppp" ucapnya, sekali lagi dia mengangkat wajahnya kemudian membenamnkannya lagi

"Gak boleh, pokoknya gak boleh..." paksaku, dia kembali memelukku dan tak berani memperlihatkan wajahnya dihadapanku

Aku tahu yang kamu rasakan, aku tahu apa yang baru saja kamu alami. Karena aku lebih tahu darimu sayang. Sedikit lagi saja kamu melanjutkannya, aku pasti akan menerimannya. Tapi dari sikapmu, aku tahu kamu tak akan melanjutkannya. Kamu berbeda sayang, sangat berbeda... kamu takut... aku tahu, aku juga. Kamu masih menghargaiku sayang, itulah kamu.

"Bu... mmmmppp..." ucapnya kembali

"Iyaaaa sayang..." lembut dari bibirku

"Buatkan teh hangat..." ucapnya

"Iyaaaa... tapi bener mau teh hangat? Atau masih mau meluk?" godaku

"Teh hangat mmmppp..." balasnya

Pelukannya semakin lemah, tubuhnya terangkat. Aku lepaskan pelukanku, langsung dia bangkit dan duduk di kursi samping. Bau ini, khas milik seorang lelaki. Kedua pahanya mengapit, dan menunduk. Aku bangkit perlahan, melihatnya sejenak dengan senyumanku. Aku berdiri didepannya, aku angkat dagunya. Sebuah kecupan aku berikan di bibirnya. Kutinggalkan dia sejenak...

"Bu, boleh pinjam kamar mandi?" ucapnya pelan

"Eh, iya boleh..." aku membalikan tubuhku, dan langsung dia berjalan kebelakang

"Lurus saja sayang, sampai dapur belok kiri..." ucapku, melihatnya melangkah tanpa memandangku, langkahnya begitu tergesa-gesa dan menarik kaosnya kedepan. Terlihat sekali dia menjaga agar kaosnya tidak mengenai celana bagian depannya

Aku geli sendiri melihatnya, tapi aku bahagia malam ini. bahagia karena membuat dia, mmm... puas, mungkin. Aku melangkah pelan tepat didapur, aku menengok ke arah kamar mandi. Masih terasa geli jika mendengar apa yang baru saja aku lihat tadi. segera aku membuat teh hangat, membuat teh saja aku malah kebingungan sendiri karena tidak bisa menahan geliku.

Kleeek...

"Bu, punya tas kresek?" ucapnya tiba-tiba, aku menoleh kebelakangku dan tersenyum

"Tas kresek? Apa itu?" ucapku, memang aku belum pernah mendengar istilah yang dia ucapkan. Kedua tangannya berada dibelakang, memegang sesuatu. Celana bagian depannya tampak basah.

"Anu bu itu tas plastik" ucapnya, menunduk, wajahnya sedikit memerah

"Ooohh... lha buat apa sayang?" godaku

"Ndak papa bu, boleh minta" ucapnya

"Iya boleh dong, buat sayangnya masa gak boleh" ucapku,

Aku lalu mengambilkan tas plastik yang biasa aku simpan setelah berbelanja. Aku melangkah mendekatinya, baunya masih sedikit terasa. Ku berikan dan dia langsung kembali ke kamar mandi. Aku tambah geli dengan lelaki ini, apa karena memang belum pengalaman jadinya dia tidak menginginkannya ya? tapi sekalipun ada kesempatan, dia juga tidak akan mengambil kesempatan itu, beda, dia sangat beda. Aku kembali membuat teh hangat, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.

"Di ruang tengah saja sayang, yang ter eghh..." bibirku berhenti bicara, aku terkejut ketika tubuhnya memelukku dari belakang dengan erat. Hanya bagian atas tubuhnya yang terasa di belakangku, sedang bagian bawahnya tampak menjauh. Kepalanya tepat di bahu kananku.

"Maaf bu, dan..."

"Terima kasih... cup..." pelan dan aku mendapatkan sebuah kecupan di pipi kananku

Aku langsung berbalik, dan dia melepas pelukannya, melangkah kembali ke depan. Aku melihatnya seakan tak percaya, hangat sekali kamu sayang, hangat. Segera aku selesaikan membuat teh hangat, ingin bersamanya hingga sebelum subuh nanti. Ketika aku kedepan tak kudapati di ruang tengah, terlihat sedikit cahaya masuk dari teras depan. Aroma rokok kesukaanny, Dunhill, kalau tidak salah baca waktu itu.

"Bau rokok itu gak enak kalau pas deket lho" ucapku sembari meletakan cangkir teh hangat didepannya

"Eh, biar ndak terjadi lagi" pelan, dia mencoba mengelak

"Kalau aku sih, gak papa, mau bau, mau enggak" belaku

"Buuuu..." ucapnya pelan, walau remang terlihat wajahnya yang memohon

"Iyaaaa...." jawabku, aku duduk dikursi dimana kami berpelukan, sedang dia berada di kursi yang dekat jendela. aku lipat kakiku, kusangga daguku melihatnya sejenak

Hening, aku lihat jam dinding menunjukan pukul 3 lebih. Ah, sebentar lagi dia akan pulang, berat rasanya. Dia tidak memandangku sama sekali, ketika pandanganku mencoba mengejar wajahnya, dia selalu menghindar. Lucu sekali ketika dia mencoba menghindari tatapan mataku.

"Sayang, rokoknya nanti lagi" pelang dari bibirku

"Eh, sebentar lagi bu, ini tinggal beberapa lagi" ucapnya, aku hanya mengangguk walau dia tidak melihat anggukanku

Sebatang rokoknya habis, tanpa di matikan diasbak dia langsung masukan lagi kebungkusnya. Diambilnya cangkir teh hangat, tampak lega sekali wajahnya ketika meminumnya. Aku menggeser dudukku ke ujung kursi, mendekati kursinya. Aku pegang pergelangan tangannya dan kutarik perlahan.

"Duduk sini, sebentar lagi kamu pulang" ucapku pelan

"Sini saja bu" ucapnya sedikit gugup

"Egois..." sebuah kata-kata yang aku tahu, pasti membuatnya merasa bersalah

"Eh,..." diam menunduk, tapi aku tidak peduli, kutarik perlahan dan aku menggeser tubuhku hingga ada tempat untuk dia duduk

Dia bangkit dan duduk disampingku, aku langsung memeluknya dari samping. Kurebahkan kepalaku di dadanya, pelan, tangan kirinya memeluk pinggangku. Mataku terpejam, kurasakan degup jantungnya cepat.

"Jika hampir subuh, beritahu aku. Aku malas untuk membuka mataku" ucapku

Tangan kananya, mengelus kepalaku yang bertutup kerudung ini. berhenti dipipi, dagu, perlahhan tangannya menuntun daguku untuk terangkat. Aku membuka mataku, mmmppphhh, bibirnya kini memaksaku untuk mengikutinya.

"Ingatkan aku jika hampir subuh" ucapnya pelan, aku tersenyum, namun hanya sesaat

Duduk berdampingan, bibir kami berpagutan. Lidah kami mulai menari, masing-masing bibir seakan tak ingin melepas lawannya. Tanganku beranjak memegang kepalanya. Tangan kirinya menarik pinggangku lebih dekat ke tubuhnya, tangan kanannya mengeluk pipiku. Aku, aku, ya, aku masih single, jomblo ketika bersamanya. Tak ada gerakan tangannya yang bertindak tidak senonoh. Tak ada, tak ada sama sekali, mata kami saling berpandangan. Lama... lama sekali... ah, aku jatuh dalam perasaanku sendiri.

"Sayang, sudah jam 4..." ucapku setelah lama sekali, lama sekali kami berciuman. Kurasakan nafasnya terengah-engah pelan.

"Bu, maafkan aku jika..." ucapnya yang langsung aku silangkan jariku di bibirnya

"Sssstttt, sudah sayang... semua terjadi karena kita saling menyayangi kan? Sayang kan?..." ucapku

"He'em... sayang" dia tersenyum

Tepat ketika dia beranjak pergi, didepan pintu yang belum terbuka. Aku kembali memeluknya, hangat tubuhnya tak bisa aku lupakan. Aku cium sejenak punggungnya, dan kupeluk lebih erat lagi.

"Apa jadinya kalau aku jatuh cinta sama bu ainun" ucapnya

"Ada tiga cewek cantik-cantik kok ya mikir yang udah bersuam sayang" balasku

"Bu ainun selalu begitu jawabnya" balasnya kepadaku

"Ini baru awal sayang, belum tahu apa yang terjadi esok, apakah kamu masih bisa mempertahankannya ketika kamu tahu aku bersama suamiku" jawabku, aku tahu aku berbohonng pada perasaanku. Tapi aku tak ingin dia terlalu larut dalam perasaannya.

"Selama aku disini, aku ingin menjalaninya bersama bu ainun" ucapnya

"Aku juga..." jawabku

Lepas sudah tubuhnya dari tubuhku, sebuah kecupan aku dapatkan di keningku. Tubuhnya lenyap dibalik pintu yang terbuka dan terutup lagi. Dari jendela aku dapat melihatnya melangkah pelan, mengendap-endap layaknya seorang maling. Setelah tubuhnya menghilang, aku kembali ke tempat tidurku. Memeluk guling yang dingin ini, ah, aku masih ingin memeluknya.

I don't wanna miss a thing. Sms. Arta

From : Arta
Janji bu?

(eh, aku terkejut)

To : Arta
Janji sayang
Aku akan menjalaninya denganmu
Tapi ingat, jangan jatuh cinta sama cewek bersuami ini

From : Arta
Iya, bu...

Sejenak aku menunggu subuh untuk melewatinya. Ah, aku belum ingin tidur, ingin menikmati sisa waktu menjelang pagi. aku duduk dan menikmati teh hangat di teras depan rumahku. Masih menunggu mentari menyingsing, menunggu waktu untuk kembali beraktifitas. Hingga, mentari menyapaku dengan kehangatan, aku melangkah masuk. Terdiam langkahku, melihat kursi panjang itu. Hmm, aku benar-benar merasa nyaman saat itu, Arta.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Scene 21
Hanya Perasaanku Saja


Winda shirina ardeliana


Anglina Purnama

Byurrr... byurrr...

Hangat sekali tadi tubuh bu ainun, sial kenapa juga aku bisa mengeluarkan spermaku? Hadeeeeh, aku malah bingung sendiri dengan perasaanku sama bu ainun. Ah, kalau aku punya pacar gimana perasaannya ya? haduh, apa memang aku ditakdirkan untuk bertemu dengan wanita-wanita yang berpasangan? Winda ada pacarnya, Desy juga ada pacarnya, Dini dan Dina sedang di pedekate. Lha ini, malah bukan pacar, suami, bu ainun. Kembali aku melanjutkan mandiku. Setelah subuh terlewati, aku rebahkan tubuhku.

Jika aku benar-benar mencintainya bagaimana? Kalau aku punya pacar bagaimana perasaannya? Lho, ar, kok malah mikir bu ainun, kan bu ainun sudah punya pak rt. Santai sajalah Arta, eh, tapi kasihan kan. Haruskah aku menjauhinya, kalau dia marah, kan dia sekarang sedang jauh dari suaminya. Aduh Arta, kuliah belum selesai, malah banyak masalah seperti ini. sudah si pacar Winda, pacar Desy, bu ainun, wanita didalam mobil itu, dan yang paling berat, “Keluarga”, mas raga. Akankah aku bertahan didalam keluarga itu?

.

.

.

Samo dan Justi, aku tidak tahu keberadaan mereka. Tampak sekali ada jarak antara aku dan mereka. Mungkin diantara persahabatan pasti akan muncul sebuah tembok, aku harap tembok itu tak setinggi tembok berlin. Hampa benar semester genap ini, ya semester ke-2 di kuliahku. Di awal tahun ini, umurku bertambah menjadi 18 tahun. 18 tahun, ah, benar sudah bertambah lagi.

Melewati pintu gerbang gedung FMIPA, sapa ramah satpam dari pos. Kulihat Desy yang turun dari mobil, berdiri aku memandangnya berharap dia melihatku. Sejenak dia melihat ke arahku, namun senyum keibuannya sudah hilang padahal baru saja aku melihatnya tersenyum ketika keluar dari mobil. Langkah kakinya cepat, seakan menghindar dariku. Aku tahu aku telah berbohong, namun untuk bisa mengatakannya, aku takut dia marah kepadaku. Ah, masa bodoh, lebih baik kuliah.

Kuliah hari ini dimulai pagi hari, suasana tenang dalam menjalani kuliah. Satu mata kuliah selesai, semua tampak sekali bahagia. ah, mungkin karena dosen yang baru saja mengajar adalah dosen keturunan drakula. Killer, istilah yang benar-benar ditakuti oleh mahasiswa.

“Ar, makan” ucap andrew mengajakku makan

“Eh, anu ndrew...” ucapku terpotong

Aku lihat Desy berjalan di belakang andrew, melihatku sejenak, aku menunduk. Tanpa menunggu jawaban dariku, andrew mengiyakan kalau aku tidak ikut. Ah, Desy, kenapa malah marah sama aku ya? argh, ngantuk... nyamm... aku tumpuk kepalaku diatas tumpukan tanganku.

“Oi, bangun Arta ganteeeeng...” ucap Winda keras

“Eh... iya anu siap...” ucapku duduk tegak

“Santai aja dong...” Winda menekan bahuku, aku kembali bersandar

“Lu apain Desy?” ucapnya, aku memandangnya dengan pandangan rabun karena baru saja bangun dari tidur

“A... aku ndak apa-apain wind” aku terkejut ketika Winda bertanya

“Bo’ong lu, dari kemaren aja, waktu gue minta bantuan lu ngerjain soal, dia udah kelihatan bete. Jujur, lu apain?” ucap Winda tegas memandnagku, aku menggeleng

“Oke, gak apalah, Desy itu sahabat gue sejak kecil, gue gak suka kalau ada yang ngejahatin dia, apalagi bikin dia kesel,” memandangku dengan tatapan tajam,

“Beneran lu gak mau cerita ma gue?” ucap Winda yang terlihat semakin jengkel dengan sikapku.

“A.. aku ndak tahu apa-apa wind, beneran,” ucapku, memandang kedua tanganku diatas meja yang menjadi satu dengan kursi.

“Dan lu udah buat jengkel dua orang, fine!”

“Mulai sekarang lu idup sendiri aja di kampus, males gue ama lu” ucap Winda yang kemudian langsung melengos pergi

Aku memandangnya pergi, melangkah keluar ruangan. Entah kapan dia datang, walau sebentar, sudah membuatku kehilangan dua orang, dua orang yang selama ini baik kepadaku. Hanya selangkah saja, membuka semua kedok dari masing-masing pacarnya, semua akan beres, menurut logiikaku. Perasaanku berkata lain, mereka akan tetap menjauhiku. Sekarang lebih baik aku mengikuti perasaanku saja, toh kalau aku bongkar, mereka sama-sama akan menjauhiku seperti sekarang. Tepatnya, mereka akan menjadi tahu diriku sebenarnya. Baiklah, aku salah, tak mau jujur dengan kalian tapi inilah aku. Maaf... aku tak bisa.

Aku termenung, beberapa teman kuliahku masuk dan mulai duduk di kursi masing-masing. Pandangan ketidak sukaan Winda, kejengkelan Desy, jatuh ke arahku. Sebuah keesalahan, menjadi dua orang yang berbeda, seperti kata bu ainun. Lebih baik menundukan wajah daripada menambah masalah, lebih baik diam, mungkin itu yang harus aku lakukan. Mengikuti perkuliahan terakhir, dengan dosen bu anglin. Semua perhatian tertuju pada kelembutan dosen tersebut, semuanya, hanya aku yang malas. Detik demi detik, aku melaluinya dengan rasa enggan. Tugas individu diberikan, dikerjakan dikelas, segera aku mengerjakannya hingga perkuliahan usai. Bedanya, kali ini Desy dan Winda tampak sekali tak mau mendekatiku dalam mengerjakan tugas.

“Baiklah, waktu habis, tugasnya dikumpulkan sekarang” ucap bu anglin, sesekali dia bertepuk tangan, menandakan agar segera dikumpulkan. Semua mahasiswa maju, aku tidak perlu karena andrew meminjam pekerjaanku.

“Andrew, kumpulkan ke meja saya ya, ibu ada urusan di kantor bapak deka,” ucap bu anglin.

“Yah, bu... jangan saya bu, yang lain dong, saya harus ke lab,” tolak andrew

“Ya sudah, Irfan, Johan, burhan?” ucap bu anglin, mereka menolak

“Arta bu, Arta” ucap andrew

“Mas Arta? Bisa?” ucap bu anglin, aku mengangguk

Perkuliahan usai, bu anglin keluar dari ruangan. Mereka bergegas meninggalkan ruangan, aku masukan semua perlengkapa kuliahku ke dalam tas. Melangkah maju, memegang salah satu tanganku dan membungkuk. Kuambil tumpukan kertas, dan berjalan keluar.

“Aku tunggu diparkiran ar, okay?” ucap Dini.

“Eh, i.. iya, din, aku kumpulkan tugas dulu” ucapku, melangkah keluar

Segera aku ke lantai dua gedung depan, gedung dimana aku pertama kali masuk ke fakultas. Setelah aku berada dilantai dua, terdapat lorong panjang. Lorong yang menurutku, jika lampunya mati pasti akan terasa sangat gelap. Ada beberapa pintu dengan nama dosen tertera di setiap pintunya, ada juga ruang santai disana yang dikhususkan untuk Dosen atau para birokrat fakultas. Disini ruang Dosen semua Jurusan menjadi satu di lantai dua, hanya saja beda lokasi saja.

“Hah, bu anglin, anglin, anglin” bathinku, sembari membaca setiap pintu dengan rasa lelah karena membawa buku yang berat ditambah lagi naik tangga.

Akhirnya aku menemukannya, aku ketuk pintu tak ada jawaban. Aku langsung masuk ke dalam ruangan tersebut, kulihat sebuah nama yang tertera di meja. DR. Anglin Purnama, M.Si, ingin sekali aku memiliki tittel yang tertera di meja bu anglin. Ruangan yang begitu sepi, segera aku letakan tugas-tugas di meja bu anglin dari depan.

Srek... melihat sekilas bingkai foto yang membelakangiku, bingkai yang mengahadap ke kursi bu anglin. Penasaran, iseng-iseng aku melangkah ke kursi bu anglin. Aku sedikit terejut ketika melihat foto tersebut.

“Keluarga Bahagia” bathinku,

Aku tersenyum, melangkang kembali, menuju pintu keluar ruangan. Dipintu keluar, sebelum aku membukannya, helaan nafas panjang. Langkah kaki terasa, ah, aku tak tahu berat atau ringan. Aku keluar dari ruangan ini, aku menutup pintu.

“Sudah mas Arta?” ucap bu anglin dengan senyumannya, dari arah kanan ku, berhenti sejenak ketika tepat aku didepan pintu ruangannya.

“Su... sudah bu,” ucapku tertunduk

“Sudah, sayang ayo pulang” ucap seorang lelaki yang datang dari arah kiriku, arah dimana aku datang tadi. Aku tak tahu jika lelaki ini datang ke arahku.

“Iya sayang, sudah kok” ucapnya, tanpa rasa malu mengatakan hal itu didepanku

Aku mengangkat wajahku, menoleh kekiri, memandang lelaki tersebut. Mata kami bertemu, saling memandang, mataku menelusuri bola mata itu. hening sejenak, mataku seakan tak ingin lepas dari mata lelaki ini. Lelaki yang berdiri tegak, dengan bola mata yang menjurus ke arahku. Mata itu, kemudian menyipit, sebuah senyum mengembang.

“Lho kok malah pada pandang-pandangan” ucap bu anglin membuyarkan suasana

“Eh, maaf...” ucapku dan langsung menundukan kepalaku

“Ya sudah, Arta. Ibu pulanga dulu,” ucap bu anglin dan aku hanya mengangguk

“Ayo sayang...” ucap bu anglin kepada lelaki tersebut, suaminya

Itu yang aku tahu dari foto yang berada di mejanya, foto yang baru saja aku lihat. Aku melirik ke arah bu anglin dan suaminya meninggalkan aku. Pandanganku kembali ke lantai, kulihat bayangan lampu yang mulai menyala. Aku tersenyum, menunggu sejenak hingga kedua manusia itu menghilang kemudian aku melangkah menuju tempat dimana aku sudah ditunggu oleh Dini.




------------------------​

Jeglek... jeglek....

sebuah pintu depan mobil tertutup, setelah dua orang masuk kedalam mobil.

Brrrrmmmmm.....

“Kenapa?” ucap seorang perempuan

“Kok kenapa? maksudnya?” ucap seorang lelaki yang mengemudi disebuah mobil sedan merah

“Tidak apa-apa, hanya saja, ada kesempatan,”

“Kenapa tak memanfaatkannya” ucap perempuan tersebut

“Sudahlah, belum saatnya, lagipula, belum tentu jika tadi aku memanfaatkan kesempatan itu, semuanya berubah menjadi baik” ucap lelaki tersebut menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir

“Sampai kapan?” ucap perempuan tersebut

“Sudahlah, jangan dibahas lagi” protes lelaki tersebut

“Sampai sekarang pun, aku masih merasa bersalah. Apakah aku harus menunggu lagi?” ucap perempuan tersebut, mobil tiba-tiba terhenti

“Tenanglah, pasti akan ada waktunya. Cup...” ucap lelaki tersebut dan mengecup kening perempuan disebelahnya

“Selalu merayu” ucap perempuan tersebut dengan nada manja

“Kesempatan selalu ada, namun untuk saat ini, aku tidak bisa memanfaatkannya. Bukan kesempatan itu, tapi aku yang belum siap untuk saat ini. maafkan aku,...” ucap lelaki tersebut kepada perempuan yang duduk disampingnya

Mereka berdua kemudian terdiam sejenak, sang lelaki mulai kembali menginjak pedal gasnya. Mobil melaju kerumah yang indah, elok, nan elite. Didalamnya seorang anak perempuan yang belum genap 3 tahun sudah menunggu mereka. Menanti permainan bersama kedua orang tuannya.
 
Scene 22
Aku Tidak Sendiri



Ana dan Ani


Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Setelah aku mengantarkan tugas ke ruangan bu Anglin, aku berjalan menuju ke tempat parkir. Disana sudah ada Dini dan Dina yang menunggu, sesampainya disana Dini sediki jengkel karena aku terlalu lama ke ruang dosen. Namun, Dina, ah, dia lebih enak, tidak marah, malah sedikit menggodaku. Ya, ada juga alasan, dandanannya rusaklah karena menungguku tapi, dalam menyampaikannya tidak sejudes Dini.

Aku masuk, duduk di kursi belakang mobil, Dina yang masuk langsung memposisikan dirinya tidur di kursi depan sedangkan Dini mengemudikan mobil. Tak ada percakapan, aku duduk membungkuk memandan kedua kakiku. Sesekali aku menengok keluar jendela mobil, sebuah jalan hidup yang tak aku mengerti. Pohon-pohon tampak berjalan menjauh kebelakang, sinar mentari juga tampak sedikit malas untuk menemaniku lagi. Sesampainya dikos, Dina langsung ambruk di tempat tidurnya, sedangkan Dini ke dapur mempersiapkan minuman untukku. Aku duduk dikarpet, terasa nyaman, ingin sekali rasanya tidur.

"Nih, minum dulu ar" ucap Dini menyerahkan minuman hangat kepadaku, aku mengangguk dan tersenyum kepadanya

"Na', lu gak belajar?" ucap Dini yang duduk disampingku kepada Dina

"Ntar gue diajarin aja ya, ngantuk cayangku Dini" ucap Dina

"Dasar lu!" bentak dini dengan wajah galaknya, Dina membalas dengan juluran lidah dan langsung menutupi wajahnya dengan bantal

"Mulai aja ar, gue tadi gak mudeng yang ini" ucap Dini, membuka buku catatan

Aku menjelaskan semua kepada Dini, dalam benakku, mungkin aku akan menjadi dosen suatu saat nanti, akan aku usahakan. Kulirik Dini sangat antusias dengan penjelasanku, tapi Dina malah tidur dengan santainya ketika aku belajar bersama Dini. Kurang lebih 2 jam aku belajar bersama Dini, hingga tak terasa cahaya matahari sudah tidak lagi masuku ke dalam kamar ini, pertanda hari mulai gelap. Dini kemudian menyudahi belajar bersama ini, dengan wajah sedikit jengkelnya dia melihat ke arah Dina yang masih tidur pulas. Dini mendekati Dina, berbagai macam cara telah dilakukan untuk membangunkan Dina. Tapi hasilnya nihil, Dina tetap memilih untuk bermimpi kembali.

Setelah pertempuran dengan Dina, dan aku hanya melihatnya saja, Dini menyerah. Dini kemudian membuatkan aku minuman hangat kembali. Diajaknya aku duduk didepan kamarnya, sebuah bangku panjang. Aku duduk di ujung bangku, ditariknya aku hingga dekat dengannya. Minumanku berada di kananku, sedang Dini kini berada dikiriku.

"Kontrkan lu itu, ada jam malamnya?" ucap Dini, aku menggeleng

"Enak disana ar?" ucap Dini

"E-enak din, nyaman, bareng sama sahabat-sahabatku" ucapku sedikit menunduk

"Hmm... " Dini membungkukan tubuhnya, memandangku, mengejar wajahku

"Lu sering berkelahi ya?" ucap Dini tiba-tiba, membuatku terkejut

"En-endak, ndak pernah aku din" ucapku gugup, Dini kembal memandang kedepan, ke tempat parkir kosnya

"Dulu itu, aku punya temen kaya kamu, tapi sekali dihajar langsung teler" ucapnya langsung mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku langsung menundukan wajahku.

"Dan elu, beda banget, sekalinya digebukin, malah bisa jalan santai, aneh tahu gak lu itu" ucap Dini, dan membuatku sangat terkejut.

"I-itu.. dulu, anu din, SMA per... pernah eh sering digebukin jadinya, su.. sudah biasa" ucapku tergagap-gagap

Tubuh Dini merapat ke tubuhku, kepalanya tiba-tiba bersandar di pundakku. Rasa gugupku benar-benar tak karuan. Kulirik, sekilas, padangan matanya tertuju kedepan, entah apa yang sebenarnya dia lihat. Aku benar-benar gugup, sedikit gerakan tubuhku mencoba menyingkirkan kepalanya yang bersandar di pundakku.

"Hm, kenapa?" ucapnya, bukan bersandar tapi kini dagunya tepat di pundakku. Aku menggelengkan kepala, tangan kanannya kini menjadi alas untuk dagunya dipundakku.

"Ar, jujur saja ya, gue bingung ama lu, ama sikap lu yang selalu berubah-ubah. Sebenernya lu itu siapa sih? Satu semester gue amati lu, sebenernya, lu itu orang biasa-biasa saja. tapi... kenapa ya, temen-temen satu kelas bisa respek ama lu" ucapnya, kepalanya bergeser mengejar wajahku yang menunduk

"Lu apain Desy ma Winda?" ucapnya, datar, tenang, tajam, membuatku semakin gugup

"A-aku ndak apa-apain me-mereka di-din," aku semakin menunduk tatkala aku menjawab pertanyaan dari Dini

"Gue gak nyangka orang seperti lu bisa buat seorang seperti Desy, yang sangat dewasa dibanding kita semua, jengkel," ucapnya, dagunya diangkat, bangkir dari tempat duduknya dan berdiri didepanku. Tubuhnya membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lututnya.

"Apapun itu, ada yang lu sembunyiin dari Desy, dan apapun itu, ada yang lu sembunyiin dari dalam diri lu," ucapnya, meraih tangan kananku

"Dah yuk, aku antar pulang" ucapnya, aku berdiri dengan tangan kananku ditariknya

Aku berada di mobilnya, diam tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Jalan hidup yang benar-benar aneh, sebuah jalan hidup yang menaiki tangga satu persatu. Baju besi yang aku kenakan seakan seperti terlepas setiap kali aku menaik satu anak tangga. Lampu-lampu jalan menemaniku menyusuri jalan pulang bersama Dini yang tak berucap sedikitpun, hingga roda mobil berhenti didepan gang masuk komplekku.

"Jangan pernah bersembunyi, karena bersembunyi hanya akan membuatmu semakin takut menghadapi hidupmu" ucapnya, tepat ketika mobil berhenti. aku menunduk dan memandangnya senjenak, tersenyum.

"Kalau lu mau ngomong, ngomong aja kali" ucapnya dengan wajah juteknya, aku tetap tersenyum

"Te.. terima kasih sudah mengantarkan aku," ucapku yang kemudian membuka pintu mobil.

Aku menunduk sedikit, dan menggoyang tanganku sebagai ucapan selama jalan. Acungan jempol kepadaku, dan mobilnya mulai berjalan menjauh. Kuambil sebatang dunhill, kusulut dan duduk dipinggir gang masuk. Kenapa aku merasa pernah bersamanya, perasaan yang aneh. Dini, Dina, sekilas ada sesuatu yang tersembunyi dibalik ingatanku yang tak pernah aku ingat. Ah, mana mungkin mereka berdua.

From : Dini Amarantha Mikaghaliya
Jangan pernah beresembunyi

To : Dini Amarantha Mikaghaliya
Aku tidak pernah bersembunyi,
Inilah diriku,

From : Dini Amarantha Mikaghaliya
Jangan bermain petak umpet
Bersembunyi untuk ditemukan

To : Dini Amarantha Mikaghaliya
Aku tidak mengerti, aku tahunya reaksi kima he he

From : Dini Amarantha Mikaghaliya
Dasar, culun!

Selepas sebuah percakapan singkat dari hape jadulku, aku melangkah pulang. Semburan-semburan asap menemani langkahku hingga didepan kontrakan. Ah, mereka pulang, dua mobil terparkir di depan, aku kangen dengan mereka. segera aku melangkah masuk ke dalam kandang ternyamanku.

"Lho, kalian mau kemana?" ucapku heran, melihat mereka membawa tas besar keluar dari kamar mereka

"Eh, kamu ar, kita mau nginap" ucap Samo

"He?" aku heran

"Maaf ar, kayaknya kita bakal ketemu seminggu sekali, dua kali. aku akan menemani lisa di kontrakannya" ucap Samo

"A, aku juga ar. nginep di linda" ucap Justi

"Jadi, kalian pergi, aku sendiri gitu?" ucapku, mereka berdua mengangguk. Aku tersenyum kepada mereka.

"Ya sudah, ndak papa bro, santai saja" ucapku

"Jangan marah yo..." ucap Samo

"Hayah, koyo opo wae nesu karo kowe-kowe (kaya apa saya marah sama kamu-kamu)" ucapku, walau hatiku kecewa tapi kucoba untuk menutupinya

"Beneran yo, kita ini sekarang mau berangkat" ucap Samo

"Ha ha ha... iya, iya bro... santai kenapa, jangan lupa kalau pulang bawa makanan yo ha ha ha" ucapku tertawa terbahak

"Berangkat dulu yo ar" ucap Samo, Justi tampak lebih diam saat ini

"Ya sam"

"Woi, jus... ngopo (ngapa?)" lanjutku bertanya pada Justi

"Ndak popo ar, Cuma ndak enak saja sama kamu" ucap Justi

"Kasih kecap jus, enak ha ha ha" tawaku

Mereka melangkah pergi, aku antar mereka berjalan menuju luar rumah. Dua mobil sedan menghilang secara perlahan dari hadapanku, aku duduk termenung seorang diri sekarang. Ah, benar-benar aneh hidup ini, aneh sekali. Baru saja tahun kemarin mereka yang memaksa untuk selalu bersamaku, mencoba meredam emosiku, sekarang semua menjauh. Satu dem satu menjauh, hilang entah kemana. Aku masuk ke dalam kontrakanku, sepi, tak ada suara tawa. Sebuah bayangan terlintas di depan mataku, bagaimana kami selalu bercanda setiap harinya. Mengolok-olok Justi, menggedor-gedor pintu mereka tatkala subuh menyapa. Ah, sepi... sepi sekali... aku lelah. Aku rebah di kasurku, kasur tanpa ranjang.

.

.

.

"Kenapaaa..." aku menangis

aaaaaaa"Jangan menangis, sekarang kakek dan nenek akan menemanimu"

"tapi..." aku masih saja menangis

aaaaaaa"Sudah, tersenyumlah, tak ada yang abadi di dunia ini... tersenyumlah"

"Kenapa? kenapa kek?" masih dalam tangisan aku bertanya

aaaaaaa"Karena memang semua mempunyai waktu, hidup, harus kamu nikmati"

"Kakeeeeek..." teriakku dengan tangisan yang sangat keras

.

.

.

"HAH!"

Sebuah bayangan masa lalu bercengkrama sejenak dalam tidurku, sebuah ingatan akan masa lalu. Aku keluar dari kamarku, kuraih hapeku, pukul setengah empat pagi. segelas kopi putih menemaniku pagi ini, sembari menunggu seubuh menyapa. Aku benar-benar bosan di kota ini, aku ingin pulang. Batinku terasa tertekan, kenapa aku harus dikota kalau pada akhirnya aku juga harus sendiri lagi. Mentari menyapaku, suasana pagi di hari kelima, aku memutuskan untuk tidak berangkat kuliah.

Tidak ada yang bisa dilakukan hari ini, bolos kuliah, membaca buku-buku catatan. Membolak-balik sesuatu yang sebenarnya sudah aku mengerti adalah sesuatu yang membosankan. Aku benar-benar ingin pulang, disana aku masih bisa... ah, tidak, sudah tidak ada lagi yang bisa aku lakukan disana. Tak ada yang aku punyai lagi, semua sudah hilang. Walau sudah tidak ada lagi yang bisa aku temui, tapi disana aku memiliki kenangan, pahit dan manis. Aku terus melamun, ditemani kopi dan rokokku, hingga sore hari, tak ada yang bisa aku kerjakan.

Tok... tok... tok...

Terdengar suara pintu diketuk, pintu kontrakanku. Aneh juga ketika mendengar ketukan pintu di kontrakanku, tak mungkinlah kalau warga sini. Biasanya mereka juga akan teriak dari luar, itu kebiasaan mereka.

Kleeeek...

"Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak..." teriak ana dan ani, langsung menyerbu masuk dan memelukku

"Eits... iya... iya... aduh... brugh..." ucapku terjatuh kebelakang karena berat tubuh kedua adikku ini

"Kakak kangeeeeeen..." ucap ana dan ani bersamaan, membuatku jatuh berbaring

"Sudah... sudah... ugh..." aku bangkit dan namun ana, ani masih saja memelukku

"Hei, kenapa kalian disini? kok tahu rumah kakak?" ucapku sembari mengelus kepala mereka

"Iiih, kan sudah ana bilang kalau ana sama ani kangen sama kakak. Tadi juga, mbak alma nyuruh kita jenguk kakak. Lagian nyari konrakan kakak kan gampang banget, tinggal nanya-nanya aja, kompleknya kan kecil" ucap ana, melepas pelukannya

"He'em... disana bete kak, orang-orang pada sibuk" ucap ani, masih memelukku dan aku masil mengelus kepalanya

"Ouwh... hmmm..." gumamku

"Kok hmmm kak? Ada apa?" ucap ani

"Gak papa, pas banget kakak sendirian di kontrakan, tadi kakak juga bolos kuliah" ucapku

"Berarti kakak seneng dong kalau ana ma ani kesini" ucap ana, aku mengangguk dan tersenyum

"Kakak buatin minuman dulu ya?" ucapku hendak berdiri

"Kak, ini..." ucap ana, menunjuk ke ubun-ubun kepalanya

"Ani juga kak..." ucap ani melepas pelukannya

"Maksudnya?" ucapku sambil garuk-garuk kepala, jujur saja aku bingung

"Cium kakaaaaaaaaak..." ucap mereka bersamaan, tampak wajah mereka jengkel.

Ya, akhirnya aku menarik kepala mereka satu persatu dan mencium ubun-ubun mereka. setelahnya aku bangkit, melangkah menuju dapur kecil. Masih terasa sakit bagian pantatku ketika ana dan ani menubrukku tadi.

"Kak, aku susu ya..." ucap ani

"Aku jus saja kak, jus apa saja yang penting dibuatin kakak" ucap ana seketika setelah ana berbicara, aku berhenti melangkah, membalikan badanku, melihat mereka sejenak. Kutepuk jidatku didepan mereka.

"Hadeeeeeh... jangan disamain dong kontrakan kak Arta sama rumah mas raga" ucapku

"Ups... hi hi hi hi..." tawa mereka bersama

"Iya kakak, kan bercanda hi hi hi" ucap ani

Aneh-aneh saja permintaan mereka, kontrakan minimalis seperti ini saja merek bisa-bisanya meminta minuman beraneke ragam. Aku buatkan mereka minuman teh hangat, untung gula masih ada. Aku duduk bersama mereka berdua, mereka menggantikan posisi Samo dan Justi. Suasana menjadi riuh dan sangat riuh, canda tawa kami bersama. ah, aku jadi kangen dengan Samo dan Justi, sedang apa mereka ya?

Wajah kedua adikku ini sangat cantik, yang satu berambut hitam legam dan yang satu berwarna coklat mungkin. Postur tubuh mereka, terlihat sangat dewasa kalau menurutku, tak tampak jika umur mereka masih berada dibawahku. Tapi walau tampak dewasa tetap saja mereka manjanya minta ampun kalau sudah ketemu sama kakak angkatnya ini, he he. Hingga malam menjelang, aku dan kedua adikku duduk di teras depan rumah, ditemani secangkir kopi putih dan dua gelas teh hangat.

"Kalian mau pulang jam berapa? Sudah jam setengah 8 malam lho..." tanyaku

"Kalau boleh sih nginep di tempat kakak" ucap Ana, mejatuhkan tubuhnya ke tubuhku, pertanda mencoba merayuku

"Eehh... jangan ndak boleh itu, ntar di grebek tetangga" ucapku

"Boleh aja, wong tadi ibu ainun juga ngebolehin kok" ucap ani, bu ainun?

"Lho kok kalian tahu bu ainun? Dari mana?" ucapku terkejut, memandang mereka

"Ana tanyanya kan sama bu ainun, waktu nyari rumah kakak. lha tadi bu ainun lagi jalan keluar gang, jadi ya langsung turun dari mobil, eh ternyata ibu RT disini. tapi..." ucap ana terhenti, memikirkan sesuatu

"Tapi apa?" aku jadi gugup karena perkataan ana yang terhenti itu

"Tapi kelihatannya masih muda banget ibu RT-nya, gak cocok deh kalau dipanggil ibu. tadi aja kalau gak memperkenalkan diri sebagai bu RT, ana panggil mbak hi hi hi... cantik banget" ucap ana,

"Ah, sial pasti ada ceramah lagi dari bu ainun, tapi kenapa dia memperbolehkan ana dan ani nginap?" bathinku

"Kakak!" bentak ani

"Eh, ada apa, ada apa?" aku terkejut

"Yeee... di ajak ngomong malah ngelamun" Ani langsung saja mencubit kedua pipiku

"Wew wew wew... He he he... ndak ngelamun ya," ucapku, setelah tangan Ani melepaskan cubitannya

"Boleh nginep?" Ana dengan matanya memohon yang sangat manja

"Mau tidur dimana? Nanti kalian berdua pulang saja ya?" rayuku

"Huh... adiknya main gak boleh nginep, kakak jelek ah" Ani membalikan tubuhnya,

Setelah perdebatan panjang, akhirnya aku memperbolehkan ana dan ani menginap. Walau sebelumnya ana dan ani sudah mendapat izin dari Bu RT cantikku itu tetap saja aku harus meminya izin lagi. Belum sampai aku dirumah pak RT, aku bertemu dengan pak RT di jalan menuju rumahnya. Langsung aku meminta izin kepada pak RT untuk memperbolehkan kedua adik angkatku ini menginap, pak RT mengizinkan.

Malam semakin larut, ana dan ani belum juga mau tidur jika aku tidak tidur terlebih dahulu. Aku buatkan minuman hangat kembali, duduk bersama di teras kontrakan yang tidak seberapa besar ini. Dengan beralaskan tikar, aku duduk bersandar pada tembok sedangkan ani merebahkan kepalanya di pahaku yang selonjor lurus, ana bersandar pada bahuku.

"Kalian ini, gimana kakak mau ngrokok coba?" ucapku

"Gak usah ngrokok kenapa sih kak, jelek tau"Ucap ani

"Huh..." dengusku kesal

"Iiih kakak jangan marah, jelek tauk!" Ani selalu saja bisa membuatku tersenyum dengan gaya manjanya.

Hening sesaat, kami melihat ke arah langit luas. Langit yang tanpa batas, tanpa dinding dan tembok. Langit malam, penuh degan bintang, walau tak sepenuhnya ada bintang disana. Tiba-tiba terdengar isak tangis Ani.

"Kakak, Ani kangen ayah..." ucap ani, aku menariknya dari rebahannya, aku memeluknya

"Sudah, jangan nangis ya, ada kakak" ucapku pelan, satu tanganku meraih kepala ana

"Pak Pengu jahat kak hiks, jahaaaat hiks hiks hiks..." tangis ani, amarahku terbakar ketika mendengar tangisan ani. Menyesal rasanya saat itu, seharusnya aku membunuhnya, tapi benar apa kata mas raga, kita bukan pembunuh.

"Kakak jangan pergi-pergi ya kak, jangan jauh dari ana sama ani" ucap ana yang aku peluk dibahu kananku

"Iya, kakak kan selalu disini" ucapku,

Aku memeluk kepala mereka, dibahauku. Sesuatu yang benar-benar berlawanan dengan apa yang aku rasakan siang tadi. siang tadi rasa ingin pulang, rasa ingin pergi dari kota ini, ah, ternyata ini jalan hidup yang benar-benar membingungkanku. Kini aku tetap harus disini, untuk mereka berdua, ya kedua adik angkatku.

"Ibu dan ayah, meninggal waktu kecelakaan tapi..." Ana memulai cerita namun terhenti

"Eh... sudah ndak usah cerita, nanti tambah sedih lho" tenagku kepada ana

"Bukan begitu kak, tapi hanya jenazah ibu yang ditemukan, jenazah ayah tidak ada disitu" ucap Ana, aku terkejut

"Da, darimana kamu tahu itu?" ucapku, ana dan ani langsung duduk menghadapku

"Ada seorang polisi, teman ayah, dia mengatakan kepada kami, ada kemungkinan ayah masih hidup, tapi sampai sekarang ayah tidak pernah diketemukan" ucap ana, kembali air matanya mengalir

Ani tampak sekali tidak tahan dengan kesedihannya, dia memelukku dan terisak. Ana melanjutkan ceritanya, orang tua mereka, rekan bisnis dari Pengu. Pada saat kejadian, orang tua mereka diajak oleh pengu untuk bertemu dengan rekan bisnis dari daerah tengah. Karena kedua orang tua mereka adalah pebisnis, maka mereka berangkat bersama. dengan menggunakan pesawat mereka menuju ibu kota di daerah tengah, setelahnya menggunakan mobil untuk menuju ke tempat tujuan. sebuah keanehan terjadi, mobil yang membawa mereka malah berjalan menuju kesebuah hutan, kemungkinan disana mereka dihabisi, mobil dibakar ketika supir sedang buang air kecil.

"Bagaimana kamu tahu detail semua itu?" ucapku, heran sembari memeluk ani

"Ibu, ibu selalu mengirim kabar, sampai dihutan itu. bahkan ketika supir itu keluar untuk buang air kecil juga, setelah itu tidak ada kabar lagi. Selang dua hari, kami mendapatk kabar kematian kedua orang tua kami. dan teman ayah mengatakan kepada kami, kalau jenazah ayah tidak diketemukan. Teman ayah bilang, ada seseorang yang menjahati kedua orang tua kami"

"Setelahnya, pak pengu datang menawari kami untuk bergabung dengan perusahaannya, tak tahunya itu adalah salah satu cara agar perusahaan ayah menjadi milik mereka. kemarin mas raga cerita juga, tapi sekarang perusahaan itu sudah atas nama ana dan ani lagi hiks"

"Mas anton, cerita ke mas raga, kalau semua itu memang rencana pengu. Pengu sekarang sudah ada dalam penjara, tapi kami tetap kangen sama ayah dan ibu kak" isak tangis ana, aku duduk sedikit tegak dan kuraih kepala ana untuk rebah dibahuku

"Sudah, ada kakak... kakak akan jaga kalian, maaf jika tidak bisa setiap hari bersama kalian ya?" ucapku

"He'em kak jaga ana dan ani kak"

"Sejak pertama lihat kakak, waktu datang bersama mas raga. Kami yakin kalau kakak orang baik, makanya waktu kakak melumpuhkan Pengu, kami berdua ingin kak Arta jadi kakak kami hiks" jelas ana dengan suara paraunya, sesekali masih terisak

"Iya kan sudah jadi kakak kalian, oia, tapi kok milih kakak?" ucapku sedikit heran, ana dan ani bangkit dan duduk menghadapku

"Karena cara kakak memandang kami, pandangan kakak tulus, sejak awal kami melihat kakak. Pokoknya kakak jangan tinggalin ana dan ani hiks hiks" ucap ana, kembali dalam pelukanku

"Iya kakak akan selalu bersama kalian, sebagai kakak kalian" ucapku mengelus kepala mereka berdua

"Janji kak?" ucap ani

"Iya kakak janji..." ucapku pelan

Selang beberapa saat, aku mengajak mereka tidur. Ku antar mereka tidur dan rebah di tempat tidurku, ani dipeluk oleh ana, aku sangat beruntung mempunyai adik seperti mereka. kuelus kepala mereka, dan kecupan selamat malam dikening mereka. kuselimuti tubuh mereka, kupeluk sejenak dan kutinggalkan mereka didalam kamar. Kini aku sendiri yang berada diteras ini, sendiri... ah, tidak aku tidak sendiri aku masih punya adik-adikku...

"Eh, wanita itu ya, wanita itu aku sudah melihatnya beberapa kali dan yang terakhir, ada di... aku harus mencari tahunya" bathinku, entah kenapa tiba-tiba aku teringat akan wanita itu.

Akhirnya aku masuk ke dalam rumah, di ruang kecil tempatku bercanda bersama sahabat-sahabatku. Aku rebah, dan akhirnya terlelap.




---------------------​

Seorang lelaki turun dari mobilnya dengan pintu yang telah dibuka oleh supir pribadinya. Langkah kakinya begitu cepat, baju putih dilapisi jas abu-abu. Wajahnya tampak begitu jengkel, tangannya menggenggam. Laki-laki dengan umur kepala empat ini masih memiliki sisa-sisa mudanya, walau berumur tapi tetap terlihat masih muda. Semua orang yang melihatnya langsung menepikan posisi mereka ke tembok.

"Pak..." ucap seorang sekretaris didepan pintu kantor, laki-laki itu melebarkan telapak tangannya ke arah peremapuan cantik. Tak ada kata-kata lanjutan dari sekretaris cantik itu.

Klek...

Pintu dibukannya dengan kasar, langkah kakinya menuju ke meja. Dibelakang meja, duduk seseorang yang membelakanginya.

BRAK!

Lelaki yang baru saja datang itu menggebrak meja.

"Dasar pengu ceroboh!" teriak seorang lelaki tersebut

"Sudahlah, kamu juga sedang diluar kota saat itu" ucap seorang yang duduk di kursi hitam nan empuk dikantornya. Memutar kursinya dan tersenyum.

"Hah! Bukannya dia sudah aku beri tahu untuk menunggu kita, padahal sedikit lagi bisa memancing Raga untuk keluar sendiri. Kita bisa habisi dia, dan bos pasti akan senang dengan hal ini" ucap lelaki yang baru masuk tersebut, dia berjalan dan memandang keluar jendela

"Masih banyak kesempatan, yang jelas, kita harus lebih waspada. Karena ada seorang anggota baru dari mereka yang menyelamatkan raga. Tampaknya lelaki tersebut masih sangat muda dan sangat labil, bagaimana kalau kita memanfaatkannya?" ucap lelaki yang duduk dikursi empuknya

"Bodoh! Memanfaatkanya? Mikir! Kalau dia sudah bersama dengan raga akan ada banyak anggota dari keluarga raga mengawasinya" ucap lelaki yang memandanga ke jendela luar

"Oh iya ya, benar juga apa katamu. Bodohnya aku ini, tapi kita bisa menghabisinya kan?" ucap lelaki yang duduk dikursi empuknya

"Bagaimana caranya?" ucap lelaki yang memandang keluar jendela

"Aku tidak tahu, belum ada informasi valid mengenai data diri pemuda tersebut. Menunggu..." ucapnya sembari memainkan bolpoin ditangannya

"Menunggu?" ucap lelaki yang memandang keluar jendela

"Menunggu untuk mencari waktu, mengalah untuk mencari celah. Celah itulah yang akan membuat mereka kalah" ucap lelaki yang duduk di kursi empuk, tenang dengan senyum mengembang

"He he... pintar juga kau" ucap lelaki yang memandang keluar jendela

Hening sesaat...

"Kamu masih ingat kejadian saat itu? Saat kita mencoba menghancurkan kehidupan salah satu pesaing kita?" ucap lelaki yang kini menekan jendela kaca itu

"Aku masih ingat, dan gagal..." ucap lelaki yang bermain bolpen di kursi empuknya

"Anak kecil itu..." ucap lelaki yang kini bersandar dijendela

"Sudahlah, itu hanya anak kecil, dan tak tahu apa-apa" ucap lelaki yang duduk di kursi empuknya

"Entah kenapa, aku selalu bermimpi tentang anak itu. padangannya selalu aku ingat," ucap lelaki yang berada dekat dengan jendela kaca

"Kamu takut?" ucap lelaki dikursi

"Kamu?" ucap lelaki yang berada dekat dijendela

"Tidak tahu, aku lupa membunuh anak itu"

"Sudahlah, anak itu paling juga tidak bakal dia sampai dikota ini. kalaupun sampai, mau apa dia? Sebatang kara? Menyari kita ha ha ha jangan bercanda kamu"Ucap lelaki dikursi

"Benar apa katamu..." ucap lelaki yang berada dekat dijendela

"Kita sedang santai, bagaimana kalauk kita makan susi? Susi girl? Sebagai ucapan selamat datang atas kedatanganmu" ucap lelaki dikursi

"Hmmm... okay, tawaran yang tidak bisa ditolak" ucap lelaki yang berada dekat dijendela

Mereka berdua kemudian melangkah keluar dari kantor, sebuah kantor yang berada dalam perusahaan yang sedang berkembang namun tertekan oleh keberadaan raga dan kolega raga. Perusahaan yang sedang dalam misi melakukan praktik kudeta, dengan seorang bos diatas mereka.
 
Scene 23
Hampir Saja



Ana dan Ani


Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Ainun ... ...
Pagi menjelang, aku memepersiapkan makan pagi, sekedar mi instant untu kedua adikku. Canda dan tawa, kini aku bisa untuk tidak meraasakan kesepianku. Ya, aku mempunyai adik yang harus aku jaga, apapun yang terjadi. Merekalah sekarang cahaya yang harus aku jaga untuk tetap bersinar dan tak boleh redup sedikitpun. Cahaya mereka, cahaya kehidupanku mulai sekarang, aku tidak ingin kehilangan lagi, tidak, tidak akan pernah sedikitpun.

Mereka bercerita tentang sekolah mereka yang dipindah ke ibu kota. Jadi kini mereka bisa lebih dekat denganku, disini juga mas raga mengurus mereka dengan baik. Mereka bercerita tentang sekolah barunya, bercerita tentang bagaimana mereka diterima di sekolahan barunya. Ah, benar-benar sesuautu yang berbeda, aku anak bontot harusnya manja tapi gara-gara ada mereka ndak jadi manja he he he.

“Dah sore, pulang ya?” ucapku kepada mereka berdua yang sedang bermalas-malasan di ruang tamu kecilku ini

“Hu’um, bentar lagi” ucap ana

“Ini mas raga dah sms kak Arta, kalian disuruh pulang” ucapku

“Aaaaa... kan masih kangen ma kak Arta” ucap ani, langsung melompat dan memelukku

“Ha ha... besok-besok kakak main ke tempat kalian” ucapku

“He’em, jengukin adiknya lho” ucap ana

Mereka akhirnya pulang, aku antar mereka sampai depan kontrakanku saja. Dengan mobil sedan hitam yang terparkir didepan kontrakanku sejak semalam, mereka pulang.

“Kakak, ani sayang kakaaaaaaaaaaak...” teriak ani ketika mobil mulai berjalan

“Iya ani iya, ndak usah teriak-teriak dong, kan kakak disamping pintu mobil” ucapku

“Hi hi hi...” tawa ani

“Main ya kak?” ucap ana, aku mengangguk, kini aku lihat mobil mereka mulai berjalan dan menghilang

Kini mereka sudah tak bersamaku lagi, adik-adikku. kini aku sendiri lagi, tidak, aku tidak sendiri. aku masih punya dua adik yang harus aku jaga. Apapun yang terjadi aku harus menjaga mereka, apapun yang terjadi. I’m their big brother, and i will always protect them, i promise...



---------------------​

Aku cantik, manis dan termuah. Malam ini adalah malam minggu, dan aku berdandan untuk kencan bersama Alam. Aku lirik Dini, wajahnya selalu saja seperti itu. Musam, membuatku tertawa sendiri kalau dia musam seperti itu. Daripada ngurusi si Dini, ntar dandanku terbengkalai dong. Itu si Dini bukannya bantu malah asyik ngelihat temannya rempong, sambil tiduran di tempat tidur lagi.

“Din, lu ikut gak?” ajakku kepada Dini

“Dah deh na’, lu dikos aja ma gue napa? Ato jalan-jalan kek kemana, asal jangan ma si alam” bujuk Dini, sedikit terlihat emosi di wajahnya

“Iiih, Dini cemburu ya? kan sudah ada alex?” dengan gaya menggoda didepan tempat tidur, tepat didepan Dini

“Gak bakalan gue cemburu ama elu, ngapain juga cemburu sama si brengsek alam” suaranya sedikit keras

“Eh, lu kenapa sih din? Santai aja kale, gak usah marah” tenangku, jengkel juga sama Dini, tapi susah marah sama si galak ini.

“Marah? Jelas gue marah! Ngelihat sahabat gue dikerjain habis-habisan sama si alam” bentakku dan berdiri mendekatinya

“Dini! sudah! Kalau lu memang cemburu bilang saja, gak usah ngejelek-jelekin alam” bentakku yang akhirnya keluar dari mulutku,

“Emang kenyataanya seperti itu, dia brengsek!” Dini kembali membentakku

“Apa buktinya kalau dia brengsek! Elu aja yang cemburu!” aku kembali membentak Dini, kin kami berhadapa-hadapan. Tanpa sadar, Dini menarik kemben yang aku pakai

“Aaa, Dini apa-apan sih kamu?” teriakku

“Ini kemarin bau alkohol, lu mabuk, dia juga, tapi kenapa ada bau alkohol di payudara lu? ada bekas gigitan juga? Dan gue yakin lu sadar pada saat lu mandi!” bentaknya

“Eh, iih... Dini parno deh, buka-buka punyaku padahal kan udah punya sendiri, lebih gede lagi” candku, memang seperti inilah, marah tapi bisa langsung bercanda lagi

“DINA!” bentaknya kembali

“Eh... jangan marah din, ya gue gak tahu-lah, secara gue kan mabuk” balasku santai sambil membenarkan pakaianku lagi

“Erghhh.. pokoknya lu gak boleh pergi!” bentak Dini, tiba-tiba dia memelukku

“Sssstttt... tenang sayang, gue gak bakalan kenapa-kenapa kok? Lu emang sahabat gue yang paling ngerti gue, jadi keep calm aja ya” tenangku, sambil memeluknya

“Tapi kalau nanti lu kenapa-napa?” telrihat kekhawatiran di wajah Dini

“Iye iye... gue juga udah tahu kale bekas gigitan di payudara gue, tapi liat, gue masih V kan?” ucapku melepas pelukannku dan menunjukan dua jari berbentuk V

“Iiih... lu gak tahu apa? Lu mabuk aja gak tahu kalau lu dimainin, kalau lu nanti diperkosapun lu juga kagak bakalan tahu naaaa’ plis deh na’...” bujuk rayu Dini keluar, aku sangat bahagia memiliki sahaba yang baik seperti Dini

“Tenang sayang tenang hi hi hi...” candaku ke Dini

“Daaah Dini sayang, Dina berangkat dulu ya... muach...” aku mengecup pipinya, cantik sekali sahabatku ini

Dini, kamu memang sahabat terabaikku. Tapi tenang saja sayang, aku gak bakalan terjerumus untuk kedua kalinya. Kali ini aku hanya ingin memastikan saja, benar tidak dia yang melakukannya. aku belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk din, yang aku tahu kehidupan malam bisa menenangkan diriku.

Kupacu mobilku menuju sebuah club malam di tengah kota. Disana alam sudah menunggu, di sebuah club malam yang selalu menjadi pelarianku karena masalah-masalah yang aku hadapi. Menurut Dini, itu bukan masalah besar, iya memang masalah yang aku hadapi bukan masalah yang besar. Hanya akunya saja yang gampang bete’an.

Di area parkir, aku disambut oleh Alam. Ganteng juga malam ini si Alam, terlilhat jelas dia sangat terlihat, hmmm, macho. Alam mendekatiku dan dengan gaya manisku aku mendekatinya. Dia menyambutku bak ratu, menemaniku masuk ke dalam klab malam ini. Kami berdua masuk, tak ada teman yang aku kenal, hanya aku dan alam. Alam mengajakku menuju ke tempat dimana teman-temannya sudah menunggu, sebuah kursi bundar nan empuk dan juga minuman yang sudah sangat aku hafal baunya. Tiga orang lelaki dan tiga orang perempuan sudah menunggu disana.

“Alaaaaam...”

“Wuih cantiknyaa...” ucap seorang temannya

“Makasiiiih, emang dari sononya cantik” ucapku kegatelan

Aku duduk bersama dengan mereka, gelas piala, dengan cerry diatasnya. Alam mengambilkannya untukku, aku tersenyum dan menerimanya. Kami bercanda, tapi aku tak meminum sedikitpun minuman yang diberikan alam kepadaku. Aku masih ingat apa yang dikatakan oleh Dini.

“Gimana kalau kita dance dulu?” ucap seorang teman,

“Silahkan, aku disini dulu deh, nikmati minuman” ucapku seraya mengambil minuman yang telah disediakan

“Oke deh kalau gitu, aku sama temen-temen dulu ya?” ucap alam,

Sepeninggalan alam, ku perhatiakan mereka. Tepat ketika mereka mulai tidak memperhatikan aku, aku menuang ke belakang kursi, tak tahulah mengalir kemana yang jelas masih ada ruang sedikit untuk membuang. Kupegang gelas piala tersebut, aku rebahkan punggungku di sandaran, berpura-pura tidak sadarkan diri. Selang beberapa saat...

“Alam!” teriak seorang teman alam, dapat aku dengar jelas walau dentuman musik sangat keras

“Ada apa?” ucap alam, aku masih dalam posisi sama

“Tuh lihat, dah teler tuh... hajar bro” ucap temannya

“Ha ha ha... emang dasar cewek ******, gampang banget dikibulin ha ha” tawa kerasnya, sial dia mengatai aku ******

Sedikit membuka mata, alam mendekatiku, dia duduk disamping kananku. Dibelai lembut rambutku, jarinya turun, pelipis, pipi dan leher. Tangannya kemudian meremas lembut payudaraku. Jari-jarinya kemudian bermain-main di gundukan payudaraku, dengan lembut dia mencoba menarik kemben yang aku gunakan.

“Ups...” ucapku sembari memegang pergelangan tangan alam, alam tampak terkejut

“Maaf ya sayang, ternyata benar apa yang dikatakan Dini” ucapku, kuremas tangannya, kukembalikan tangannya di pahanya

“Eh n-na’..” ucapnya gugup

“Sssst... dah ya, besok-besok jangan main ke kos lagi” ku kecup keningnya sembari berdiri

“Daaaah sayang, ini pertemuan terakhir kita” ucapku tersenyum dan meninggalkan tempat itu

“Na’, sori,gue Cuma....” ucapnya memegang pergelangan tanganku

“Sudaaaaah... gak papa, aku kan cewek ******, dah kamu sama cewek pinter saja ya sayang” ucapkku lembut, sembari melepaskan genggamannya

“Na’ itu anu...” ucapnya, setelah lepas adri genggamannya, aku langsung berjalan meninggalkan alam

Langkahku cepat dan tak kuhiraukan panggilannya. Dentuman musik, seorang DJ mengalunkan musik yang sangat keras ditelinga. Seperti sebuah hipnotis kepada pengunjung yang tak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan. Aku meninggalkan tempat ini, tapi bisakah aku meninggalkan tempat ini selamanya?

“DINA?!” teriak alam, tapi aku tidak menghiraukannya, aku masuk kedalam mobil dan dia memukul pintu mobilku, aku membukannya.

“Ada apa alam sayang?” ucapku tersenyum

“Sori na’, sori, gue cuma...” ucapnya terhenti, ketika aku menyilangkan jariku di bibirku,

“Dah ya sayang, cari cewek pinter ya sayang, daaaaaaah...” ucapku menjalankan mobilku

Aku pulang, dengan alam masih terus berlari di samping pintu kemudiku. Masa bodoh dengannya, aku sudah tidak peduli lagi dengannya. Hingga mobil sedanku keluar area parkir dan kulihat alam, dari spion, telrihat memegang kepalanya. Aku sih cuek saja dengan dia, masa bodoh pokoknya titik. Dini memang bener-bener sahabat terbaikku. Mobil berjalan dengan lambat menuju kosku, aku memilih jalan yang tidak biasanya aku lalui. Sekedar untuk melepas penat dan beban dipikiranku saat ini. Semuanya, ya semuanya, Dini selalu benar, itu bukan tempat pelarian untuk melepas stress.

Mobilku berjalan lambat, disebuah jalan yang dibatasi oleh median jalan. Jalanan sudah mulai sepi, hanya beberapa yang menjadi temanku. Dari median jalan, seorang lelaki berdiri hendak menyebrang, mungkin menunggu mobilku melewatinya. Semakin dekat, kusorotkan lampu dengan maksud agar lelaki tersebut tidak menyebrang terlebih dahulu. Tapi ketika sorot lampu mengenainya, dia hanya menutup sinar lampu dengan tangan kirinya. Wajahnya tak asing bagiku, kubukan kaca pintu mobil... dan tepat ketika aku melewati lelaki tersebut, aku memandangnya...

“Eh, Arta?” bathinku

Mata kami sekejap berpandangan, aku sedikit terkejut. Walau tidak jelas, tapi aku masih bisa membedakannya. Postur tubuhnya sama dengan Arta tapi dia lebih tegak ketimbang Arta. Tatanan rambutnya juga beda, Arta menyisir rambutnya dengan belah pinggir, sedangkan lelaki ini menyisir rambutnya kebelakang. Matanya memandangku, seperti melihat sesuatu yang mengejutkannya. Ketika sudah terlewat, aku langsung mengerem mobilku. Kubuka pintu mobil, dan turun...

“Eh, dimana lelaki tadi? kenapa bisa cepat sekali dia menghilang” bathinku

Aku masih berdiri disamping pintu mobilku, memandang kesekitar. Aku melangkah menuju tempat lelaki itu berdiri tadi, tapi tak kutemukan sosok lelaki tersebut. aku yakin sekali tadi ada lelaki mirip Arta disini, tidak mungkin salah, tapi dia menghilang dengan begitu cepat. hiii, jangan-jangan dia hantu, tidak mungkinlah, waktu lampu aku sorot, ada bayangan tubuhnya di pohon-pohon yang tumbuh di median jalan.

“Hei! Cowok yang tadi mau nyebrang dimana kamu?!” teriakku, tapi tak ada jawaban,

“Disini mbaaaaak?” teriak seorang lelaki di warung tenda pinggiran,

Aku melengos saja dan meninggalkan tempat itu. Masuk lagi ke mobil, kurebahkan keningku di setir mobil. Sejenak aku menenangkan pikiranku, dan kembali menjalankan mobilku. Kulihat spion tengah dalam mobil, tak ada tanda-tanda orang berjalan dibelakang mobilku. Benar-benar sesuatu yang aneh, dan baru kali ini aku mengalaminya. Jelas, sangat jelas tadi ada orang yang mirip arta di median jalan dan hendak menyebrang. Kalaupun aku sedikit terlambar keluar, seharusnya dia masih ada ditempat itu. Sekalipun tidak, dia pasti juga masih berjalan untuk menyebrang. Ah, aneh, aku melanjutkan perjalananku hingga kosku.

Kleeeek...

“Diiiiiniiiiiii..” teriakku seketika masuk kedalam kamar, dia langsung melompat dari tempat tidur dan melihatku heran.

“Lu sadar na’?” ucap Dini

“Ya iyalah, gue udah tahu kali bakal dikerjain sama alam. Sebenernya sanksi juga waktu itu pas gue lagi mandi, tapi setelah lu tadi marah-marah, gue buat rencana gitu” ucapku, merebahkan tubuhku. Dini duduk dengan menekuk kakinya, dia memandangku sambil mendengarkan ceritaku.

“Baguslah kalau begitu, aku juga sudah gak mau lagi diapelin sama alex” ucapnya

“Hi hi hi... makasih Dini sayang, kamyuuuu emang sahabat terbaikkyu....” ucapku menggodanya, sambil bangkit dan memeluknya

“Iiih, gue normal, masih suka laki” ucapnya, biasa dia memang sedikit judes

“Hi hi, gue juga kali...” ucapku,

“Din...” ucapku pelan, saat kembali rebah di tempat tidur

“Apa?” balasnya

“Buatin minum dong, plis capek nih, ntar aku ceritain sesuatu deh” ucapku merayunya

“Buat sendiri napa” balasnya

“Ayolah, cepetan sayang... ntar aku ceritain bagus, kalau gak mau buatin, aku perkosa kamu sayang... muach” ucapku, mencoba mencium bibirnya, dia menghindar

“Eh? Apa? Ceritain cepetaaaaan...” ucap Dini, mnggoyang tubuhku

“Bikinin minum...” ucapku manja

“Huh, iya, bentar...” ucap Dini,

Selang beberapa saat setelah aku dibuatkan teh hangat olehnya. Kami berdua duduk di karpet lembut didepan tempat tidur, sambil meminumnya Dini terus saja memaksaku menceritakan cerita, yang sebenarnya aku sendiri tidak begitu yakin.

“Aku melihatnya lagi, cuma mirip saja tapi kelihatanya sama dengan yang dulu” ucapku, Dini yang semula tidak mengerti arah pembicaraanku, mengrenyitkan dahinya, setelah itu matanay terbuka lebar.

Aku menceritakan kepadanya kejadian yang baru saja aku alami. Seorang lelaki yang mirip dengan Arta, tapi lebih mirip dengan seseorang yang dulu. Dini tampak antusias, mendengarkan dan mencoba menganalisa ceritaku.

“Ya, tapi sayangnya, itu orang pas gue turun dah gak ada lagi” ucapku

“Eh, setan?” ucap Dini

“Kagak mungkinlah, waktu lampu mobil gue sorot ke arahnya, ada bayangannya kok” ucapku

“Kemarin dia juga gak masuk kuliah, apa itu benar dia?” ucap Dini

“Gak tahu juga, tapi mirip banget, Cuma bedanya yang ini ganteng, gak culun. Gue aja mau jadi pacarnya, istri ketiganya gue juga mau hi hi hi” ucapku sekenanya

“Ih elu na’...” ucap Dini

Kami saling berpandangan, sejenak, mata Dini beralih ke atap kamar kos ini. seakan-akan mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Masih kunikmati teh hangat buatan Dini, sembari pikiranku melayang ke wajah lelaki yang baru saja aku lihat.

“Na’...” ucap Dini pelan

“Hmm...” jawabku

“Apa benar dia orangnya?” ucap Dini, aku hanya menaikan bahuku

“Feeling kamu?” ucap Dini, aku menggelengkan kepalaku

“Bukan, sama seperti dulu...” jawabnya

“Sudahlah, ntar juga ketemu sendiri, kita dah bahas ini dan sangat sering” ucapku, dia mengangguk

“Yuk tidur ajalah...” ajaknya



---------------------​

“Hash hash hash hash...” aku terengah-engah, duduk selonjor di gang masuk komplekku

Ah, kenapa tadi bisa ada Dina? Apa dia mengenaliku ya? untungnya tadi pas dia berhenti aku bisa bersembunyi di belakang mobilnya dan dia tidak menyadari keberadaanku. Sempat aku jantungan ketika dia berjalan kebelakang tadi. untung juga, aku masih bisa melihat langkah kakinya dari bawah mobilnya, jadi bisa berpindah ke samping mobil. Aku hanya berharap dia tidak menyadarinya.

“Hash... hash... hash...” nafasku masih terus terengah-engah, pandanganku kebawah, sedikit menunduk

Srek... srek... srek...

“Kayak orang habis dikejar setan saja?” ucap seorang perempuan yang aku kenali, bu ainun

“Hah!” tubuhku sedikit melompat ketika tiba-tiba saja bu ainun menyapa

“Ibu itu buat aku kaget saja, hah hah hah... hampir copot jantungku” ucapku sembari mengelus dadaku

“Kamunya sendiri, duduk kok dijalan” ucap bu ainun

“Tadi... hash hash tadi itu... hash hash...” ucapku terengah-engah

“Aku tunggu dirumah ya, dadah Arta...” ucap bu ainun yang datang dan kemudian pergi sesuka hati

Tapi dari belakang aku melihat ke arah bu ainun, mengacungkan jari telunjuuk kanannya, kemudian menggoyang-goyangnya setelah itu mengepal. Itu pertanda aku harus kerumahnya, kalau tidak, mungkin bogem mentah yang aku dapat. Kulihat jam menunjukan pukul 10 malam, tapi bisa-bisanya bu ainun keluar malam.

Malam ini, kelihatannya sepi, aku melangkah perlahan menuju rumah bu ainun, eh pak RT. Tapi sial, bapak-bapak sedang pada ngumpul di pos ronda. Besok hari libur, eh tapi kenapa tadi bu ainun keluar ya? untuk menghindari kecurigaan, aku berkumpul dengan mereka.kami bercakapa-cakap, tapi ada sebuah percakapan menjurus ke pak RT yang sedang tidak ditempat. Aku acuh saja, nonton televisi di pos, secara aku paling muda diantara mereka. Dari pembicaraan mereka, pembicaraan yang penuh kode karena kehadiranku, aku bisa menelaahnya. Semua sudah aku ketahui, jadi mudah bagiku menerjemahka ucapan-ucapan mereka.

Satu persatu mereka pulang, pukul 12 malam, aku masih bersama pak sekretaris RT. Kulihat matanya mulai mengantuk, dan akhirnya dia pulang juga tepat pukul 1 malam. Kumatikan televisi dan lampu ronda, mengamati keadaan sekitar dimana mulai sepi. Mulai aku melangkah ke rumah pak RT, tak ada sms peringatan atau apapun dari bu ainun. Masa bodoh, aku terus berjalan ke rumahnya.

Kriiit... bunyi gerbang kecil, aku melangkah masuk. Lampu teras sudah padam sedari awal kedatanganku, ku ambil sandal. Menghela nafas panjang dan mngayun pelan daun pintu. Klek, kriit...

“Lama banget sih?” ucap bu ainun, terlihat remang wajahnya terkena sinar cahaya lampu dari ruang tengah

“Eh, maaf bu lha tadi banyak orang” ucapku, masuk dan menutup pintu

“Minumnya jadi dingin” ucapnya, walau tidak jelas wajahnya, tapi suaranya penuh kejengkelan

“Iya maaf bu, kan takut kalau ketahuan” ucapku, duduk di kursi yang berhadapan dengannya, tapi tangannya menarik tanganku. Aku beralih duduk disamping kanannya, sudah ada bantak disamping bu ainun, apa berarti aku harus tidur disini?

“Huh, ya sudah tuh minum dulu” ucapnya, benar-benar sekarang perangainya mirip dengan anak remaja. Dia duduk memangku dagunya dengan kedua kakinya dilipat, memandang kedepan terkadang melirikku.

Aku meminum teh dingin, tapi terasa hangat dikala tubuhnya langsung bersandar ke tubuhku. Kepalanya rebah di pundakku, tangan kanannya memeluk tangan kiriku. Kepalanya bersandar, kadang bergoyang, menggesek-gesek ke pundakku. Kadang pula dia tiba-tiba mencium pundakku.

“Aku lebih kangen ketemu kamu daripada suamiku” ucapnya pelan, ketika kepalanya erbah kembali ke pundakku

“Uhuk... huk... uhuk... huk... ergh... ehem...” aku meletakan gelasku kembali

“Bu, jangan asal ngomong gitu to” ucapku

“Lha emang bener, gak papa kan?” ucapnya tanpa melihatku sama sekali

“Eh, itu anu, huuuuh... ibu beneran jatuh cinta sama aku?” ucapku polos dan santai

“Kalau iya?” jawabnya tanpa melihat wajahku

“Ya, jangan bu” ucapku

“Iya, iya ada tiga cewek tapi kelihatannya bakal jadi empat” ucapnya

“Empat?” tanyaku heran

“Lha tadi lari-lari habis ngapain? Gak mungkinlah kamu ngelihat setan? Kalau menurutku kamu habis lihat temen kamu entah cewek, entah cowok” ucap bu ainun lembut di hiasi senyuman

“Iya, aku cerita...”

Aku menceritakan bagaimana aku tadi bisa terengah-engah. Bu Ainun mendengarkan dengan sangat antusias, dia kadag tersenyum ketika aku menceritakan cerita itu. Kadang pula senyumnya yang ditutupi dengan tangannya, membuatku sedikit grogi juga.

“Hmmm... kamu itu” jari telunjuknya mendorong pipiku, aku menjatuhkan tubuhku ke sandaran kursi di kananku

“Itu tandanya ada apa-apa itu dihati si temen kamu” ucap bu ainun tersenyum manis, dalam suasana remang ruang tamu

“Ibu sok tahu...” ucapku, kembali duduk santai

“Ya tahu, gak mungkin kan dia menghentikan mobil hanya karena ingin melihat siapa tadi, kalau bukan kamu, gak mungkin dia menghentikan mobil” ucap bu ainun, tapi memang ada benarnya apa yang diucapkan bu ainun.

“Ana dan ani?” lanjutnya, sebuah pertanyaan yang bagaimana aku harus menjawabnya

“Adik angkat, mereka yang menginginkan aku menjadi kakak mereka bu, yakin suer bu?” ucapku,

“Hi hi hi iya iya... dilihat dari cara mereka minta ijin untuk menginap juga polos banget kok” ucap bu ainun

“Dan ibu lebih pantes dipanggil mbak kata mereka” ucapku, dengan senyum yang mengembang. Dia menaikan bahunya sejenak, senyumnya benar-benar manis.

“Ya sudah, kamu tidur dulu saja, nanti jam 3, aku bangunkan ya, sudah ngantuk” ucap bu ainun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkanku

“Eh, bu kok malah pergi?” ucapku,

“Lha terus?” ucapnya, berbalik melihatku

“Eh, gak papa bu, gak papa... he he he” ucapku

“Ya sudah...” ucapnya berbalik dan berjalan meninggalkan aku

Sndiri lagi? Tidak! Aku bangkt dan menggenggam pergelangan tangan kanannya. Dengan lembut aku menariknya untuk duduk kembali. Tanpa ada perlawanan, dia menoleh ke arahku dan tersenyum.

“Jangan pergi lagi bu, di kontrakan itu dah sepi. Samo dan Justi juga sudah pindah kos, mereka ikut pacar mereka” ucapku, menunduk dengan nada seperti orang menggerutu

“Iya... iya, lha kamunya gak minta suruh nemenin, ya aku ke kamar kan?” ucapnya membalikan badannya ke arahku

Tanpa menjawab aku mendekatinya, seperti magnet, aku tertarik. Aku memeluknya, hingga dia terjatuh di bantal besar yang tersedia disampingnya. Kepalaku rebah di dadanya, lembut dan hangat. Jari-jarinya menyisir rambutku, satu lagi memainkan telingaku. Mataku terpejam dan mulai terasa kantuk.

“Kamu itu ngangenin ya ar” ucap bu ainun

“Eh...” aku sedikit terperanjat namun kembali lagi rebah di dadanya

“Kalau sama kamu, rasanya tenang, nyaman, aman ar” ucap bu ainun, masih menyisir rambutku, kadang kecupan lembut di ubun-ubun kepalaku

“Selama masih disini tetaplah bersamaku, aku tidak peduli dengan kamu di masa lalu ataupun masa depan nanti. Sekarang, sering-seringlah bersamaku, aku juga tak mau sendirian” ucapnya

“Kadang kan ada pak RT bu” ucapku pelan

“Tanpamu sepi, denganmu tidak. Tanpanya sepi dan aku bahagia, denganya tetap saja sepi dan aku bersedih” ucapnya, aku bangkit dan memandangnya. Kedua telapak tangannya memegang pipiku, sebuah kecupan aku dapatkan dibibir

“Eh, tapi maaf jika tidak bisa selalu bersama” ucapku, aku terbawa suasana kelembutan hatinya, dia membalasku dengan senyuman

“Iya...sudah bobo lagi sini” ucapnya, dihadapannya aku merasakan sifat manjaku keluar

Kepalaku langsung rebah di dadanya kembali, suasana menjadi tenang dan nyaman. Aku peluk tubuhnya lembut, tubuhnya kecil namun sangat lembut sekali. Hangat, lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. lambat laun, mataku benar-benar tertutup dan tak mampu lagi terbuka. Aku larut dalam kantukku, dan hanyut dalam tidurku.

.

.

.

“Eh,uugghhh...” aku terbangun,

Aku sedikit tertegun melihat bu ainun yang masih terlelap dalam tidurnya. Kepalaku sediki terangkat ketika melihatnya, tanganku yang berada disamping badan bu ainun, mulai mengangkat tubuhku perlahan. Wajahnya tenang, tampak kedamaian di wajahnya. Bibirnya, ah, entah kenapa pandanganku sekarang tertuju pada bibirnya. Ah, setan apa dalam pikiranku sekarang, kepalaku maju. Kurasakan nafas mengalir dari hidungnya, dadaku berdegup kencang.

Lebih maju, kepalaku miring, bibirku menyatu dengan bibirnya. Bekal pengalaman sebelumnya, dengan lembut bibirku melumat bibir bu ainun yang diam. Dadaku kuturunkan secara perlahan, bibirku terus melumatnya lembut.

Tiba-tiba saja, kedua tangan bu ainun memegang kepalaku, aku takut, kutarik kepalaku. Tangannya menahannya dan matanya terbuka, bibir kami masih berciuman. Kepalaku semakin maju tanpa harus menanti tangannya menarik kepalaku. Tangannya turun, memeluk tubuhku, kini tubuh kami bersatu.

“Hmmm... suka ya?” ucapnya pelan,

“Eh, anu itu... eh...” aku gugup

“Jujur saja, kan cuma aku yang dengar...” kata-katanya lembut, aku mengangguk dan kemudian menunduk

“Sudah yaaaa... ntar malah buru-buru ke kamar mandi lagi” ucapnya lembut, aku terkejut dan langsung duduk, kedua sikuku berada di pahaku. Dia bangkit secara perlahan dan menjatuhkan dagunya di pundakku

“Maaf... kemarin anu bu itu...” ucapku

“Gak papa, kan aku yang minta, tapi nakal ya...” ucapnya

“Aduh, ternyata dia tahu...” bathinku

“Aku itu sudah menikah sayang, jadi tahu hi hi hi...”

“Sini, aku peluk lagi...” ucapnya, membuka kedua tangannya, bak magnet, aku langsung masuk ke dalam pelukannya, kepalaku jatuh didadanya

“Tuh, jam 3 bentar lagi pulang ya, sering-sering main kesini ya..” ucapnya lembut, aku mengangguk

Tangannya lembut, mengelus kepalaku. Suasana sepi di waktu menjelang pagi ini membuatku semakin terhanyut. Tubuhnya bergoyang ke depan dan ke belakang, mencoba menenangkan kegugupanku. Lama aku dalam posisi ini, aku merasa nyaman, nyaman sekali.

“Minum teh sayang?” ucapnya pelan, kepalaku menggeleng, wajahku ku benamkan di dadanya

“Hi hi... dasar kamu kaya anak kecil saja sayang” ucapnya, aku tidak menggubrisnya

Lama aku membenamkan wajahku di dadanya, benar-benar suasana yang berbeda. Dedek Arta, darimana aku menamainya tapi sekarang tertidur pulas.

“Sayang, sudah jam 4, pulang dulu gih” pelan tapi aku dapat mendengarnya, pundakku didorongnya hingga aku terduduk lagi

“Jangan gitu, besok-besok kan masih bisa lagi” ucapnya lembut, sembari memberi kecupan manis di bibirku, aku mengangguk dengan wajah malasku

Sebuah pelukan hangat tatkala aku hendak melangkah membuka pintu. Walau sejenak, tanpa ada kata-kata, hanya senyuman saja. aku memandang wajahnya diremang-remang ruang tamu ini. ah, mungkinkah aku jatuh cinta kepadanya. Aku tinggalkan rumah ini, menuju tempat nyamanku yang lain kontrakan. Menunggu subuh untuk kembali tidur...

Aku hanya ingin menari, dan terus menari
Hingga aku lupa cara berhenti menari
Aku hanya ingin menari, dan terus menari
Hingga kakiku terasa perih untuk menari
Dan aku tetap akan menari walau perih untuk menari
Karena aku tidak ingin hidupku berhenti ketika aku berhenti menari
 
wih update panjang suhu DH
ceritanya mengalir pelan pelan tapi pasti
ga sabar nunggu arta membuka diri

bu ainun :kangen: :sayang:
 
Malam Suhu, Index sudah diupdate...
cerita juga sudah di update

mmm...

:ngupil:

itu suhu, anu,
SS ya? membbuka diri?

Nubie sungguh minta maaf suhu, sungguh-sungguh minta maaf...
di change? memang tidak sama dengan Wild Love???? suhu, mohon dimaafken...

maafkan tulisan nubie yang buruk ini suhu, maafkan :((:galau:

Eh...

sampai ketemu beberap hari lagi ya hu, mungkin bisa 1 mingguan,
lagi banyak kerjaan he he he...

kripik dan cak lontongnya ya suhu

:sayonara:

:ngupil:

:ngacir:
 
Bimabet
Akhhh...Puas banget gila bacanya..
:hore:
Terima kasih updetannya suhu..
Suhu DH paling bisa manjain para pembaca ceritanya..Salut lah buat suhu DH..:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd