Chapter 14 : Sebuah kenyataan
Sore itu Indri masih di kamar kostku. Hujan deras sepanjang hari itu tidak memungkinkan kita keluar kamar, hanya untuk sekedar berjalan-jalan. Indri menggeliat, bangun dari tidur siangnya.
"Met sore suamiku sayang"
"Met sore istriku. Muach" aku mengecup kening Indri sekilas.
Indri merebahkan kepalaku di dadanya, membelai rambutku.
"Mas"
"Ya"
"Enak?"
"Banget"
"Tapi ini gak boleh lho"
"Ya aku tahu"
"Kumpul..."
"Kebo"
"Hehehe"
"Hehehe"
"Eh Ndri"
"Yah?"
"Udah setahun lebih kita bersama"
"Hmmm"
"Aku ingin menjadikan ini halal bagimu"
"Huuu beresin dulu kuliah tu"
"Beres... Semester depan sudah masuk skripsi. Abis itu lulus. Kerja, baru deh ngelamar kamu" kataku yakin.
"Ngayalnya jangan ketinggian. Ntar kalo jatuh, sakit"
"Kan ada kamu yang nangkap aku"
Indri hanya tersenyum. Manis...
Aku beringsut naik. Kukecup pipinya, kubelai rambutnya. Indri beringsut manja kepadaku. Direbahkan kepalanya ke dadaku.
"Ndri, kamu jadi istriku aja..." ucapku polos
"Gak mau ah. Masnya kere..."
"Sekarang kere. Lihat saja kalau lagu ciptaanku sukses"
"Mas nulis lagu ya? Emang judulnya apa?"
"Sampai kau jadi milikku" jawabku asal
"Jiah... ngarang" Indri tertawa perlahan
"Aku serius Ndri, beneran"
Indri menghela nafas "Jangan terlalu yakin mas, kamu masih belum tahu siapa aku yang sebenarnya"
"Apa? Jadi kamu dulunya cowok? Gak papa Ndri. Aku siap kok menerimamu apa adanya"
"Iiiih mas Paidi jahaat..." Indri memukul-mukul dada dan perutku.
"Hahahahaha"
Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, meskipun intensitasnya sudah menurun.
"Ndri, lapar"
"Maem...***k bisa ke warung ya? Mas punya mie kan?"
"Ada tuh di bawah meja"
"Tumben Kostnya sepi?"
"Tau, apa pada keujanan di kampus semua ya?"
"Iya paling. Ntar dulu ya, mau buatin mie nya"
Beberapa saat kemudian...
"Mantap. Ini baru istri idaman" kataku
"Huuu boong. Kebanyakan air tau!" Indri cemberut
"Enggak kok, mie nya enak. Gak kebanyakan air. Cuma... perlu dikurangi aja dikit" kataku sambil nyengir kuda
"Iiiih dasar jahat" Indri memukul pundakku
"Ndri" kataku beberapa saat kemudian
"Ya mas?"
"I love you"
"Me too" ujarnya manis
Aku mengecup bibirnya
Indri membalas. Ciuman berubah menjadi pagutan. Lama-lama menjadi lumatan.
Tanganku mulai bergerilya menjelajahi dadanya. Meremas mesra bukit indah di sana. Indri menggelinjang, nikmat. Tangannya meraih selangkanganku. Mengenggam sesuatu yang ada di sana. Langsung dari dalamnya.
"Mmmmph"
"Hmmmph"
Tanganku masuk ke dalam kaus, sekalian ke BH nya. Indri mulai mengocok batangku.
Merasa bosan dengan dadanya, kurebahkan Indri. Tanganku kini menjelajah ke pangkal pahanya. Jariku mencari klitorisnya. Ketemu. Kuusap lembut disana, berulang. Indri menggelinjang keenakan.
Kami terus berpacu mendaki gunung kenikmatan bersama. Sampai pada akhirnya, akupun tak kuasa menahannya. Badanku mengejang. Tubuh Indri juga.
"Oooh masss... aku nyampe..."
"Aku juga sayang..." Keluarlah spermaku di tangan dan dadanya.
Sesaat kami terdiam, berpelukan. Saling menguatkan dalam perjalanan kembali dari khayangan.
Brum...brum... suara sepeda motor mendekat. Gawat. Pintu kamar belum ditutup!
"
Diii.... olaopo maneh koen Di" kata Lutfi sesaat setelah suara motornya mati.
(Ngapain lagi kamu Di)
"
Gendakan ae rek, gak iling karo koncone" lanjutnya sambil berlalu ke kamarnya. Aku Cuma nyengir kuda.
(Kencan saja rek, gak ingat sama temannya)
Senja itu kami kembali berciuman...
TS : Tuh kan... Homo!
Paidi : Enggak kok. Aku masih normal!
TS : Lha itu? Kami? Paidi dan Lutfi kan?
Paidi : Eeeh bukan... Paidi dan Indri! Oke kalo begitu. Tak gantine sekarang juga!
Senja itu aku dan Indri kembali berciuman...
"Mas" Indri terlihat berat
"Hmm?"
Indri terdiam...
"Ndri"
"Hmm"
"Gak kerasa ya, aku...sama kamu"
"Iya. Padahal tahun lalu mas masih ngejar-ngejar Dhea"
"Seperti mimpi saja"
"Hmm... mimpi.. ya.."
"Kalau mas bangun.. gimana?"
Aku terdiam "Aku akan sampai pada kenyataan"
"Kalau kenyataan itu pahit?" Indri tersenyum getir
Aku menghela nafas "Aku akan bermimpi lagi, dan lagi"
"Kita gak bisa terus-terusan hidup dalam mimpi, mas" Indri merapatkan wajahnya di lenganku.
"Kalau gitu akan kubuat mimpi itu jadi kenyataan" kataku yakin
Indri tersenyum mendengarnya
"Ndri... menikahlah denganku"
Indri tidak menjawab. Terdengar suara isak tangis. Dadaku mulai basah oleh air matanya.
-o0o-
Malam itu, Indri menginap di kostku. Aku membelai rambutnya. Pipinya tampak semakin menggemaskan.
"Ndri, I love you"
"I love you too"
Aku tersenyum bahagia. Sangat bahagia.
"Ndri... yang tadi belum dijawab"
Indri terdiam, lalu tersenyum. Terasa getir. Aku tidak tahu apa maksud dari senyumnya.
"Iya, aku kan kere..."
"Bukan, bukan itu mas"
"Terus?"
"Jangan kebanyakan bermimpi mas"
"Memang kenapa?"
"Aku terlalu lama hidup dalam mimpi"
"Masa lalu masih terus membayangi pikiranku mas"
Aku terdiam. Dadaku terasa sesak.
"Kenyataan itu pahit, mas"
"Sakit rasanya menerima kenyataan ini mas"
"Maaf mas, mungkin mas juga akan merasa sakit. Tapi aku masih benar-benar merasa sakit mas."
Indri menutup mulutnnya sebelum terisak.
"Bangun dari mimpi itu perih mas... kenyataan itu menyakitkan" Indri menangis sesenggukan
"Kehilangan harapan itu.... huuuuuuu"
"Aku... aku.... huuuuuu"
Aku memeluk Indri. Mendekapnya erat. Aku tahu ini tentang apa. Sudah setahun tetapi Indri masih belum bisa melupakannya. Sakit dadaku mengetahuinya. Perih rasanya menerima kenyataan. Aku belum bisa menjadi rumah yang baru bagi Indri. Aku belum bisa menjadi warna-warni barunya. Mungkin nanti. Belum sekarang.
Dalam tangisnya Indri tertidur. Mungkin dia kelelahan setelah semua ini. Aku mengecup Indri sesaat setelah dia tertidur.
Malam itu aku bermimpi. Aku sedang membaca koran. Indri sedang berteriak kepada anak-anakku yang sedang bermain, mengingatkan waktunya makan. Dalam frame berikutnya, aku bermimpi, di usia senjaku, duduk bersama dengan Indri, di kursi malas. Kugenggam tangannya yang keriput. Indri masih tampak cantik di usianya yang senja.
Tiap malam aku selalu bermimpi. Tentang khayalan-khayalanku bersama Indri, tentang harapan-harapanku bersamanya. Namun Indri seperti selalu menghindar. Ada batasan tipis yang tak terlihat. Seperti sebuah sekat yang kuat, yang memisahkan hatiku dengannya, yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. Ada masa lalu yang menghambat perjalanan Indri menggapai impian itu.
Setiap kali aku melangkah lebih jauh, pasti berakhir dengan pertengkaran. Begitu berulang-ulang. Aku kesulitan menggapai masa lalunya. Masa lalu yang ingin kubuang. Akibatnya hubunganku dengan Indri menurun drastis. Bahkan aku mulai curiga yang bukan-bukan. Aku bingung. Aku tahu ini salah. Parahnya aku tidak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahan itu.
Sampai akhirnya kami terduduk di taman kampus. Di tempat pertama kali aku menyatakan cintaku padanya.
"Maaf mas, sepertinya kita gak bisa bersama lagi"
"Kenapa? Ada yang lain?"
"Enggak mas"
"Terus?"
"Aku merasa belum pantas buatmu"
"Tapi..."
"Kamu terlalu baik buatku"
"Ndri..."
"Aku gak seperti yang kamu kira mas"
"Jadi, beneran kamu dulunya cowok?" "Aku terima kok, kalo kamu dulu beneran memang cowok"
Indri tersenyum geli "Kamu tuh...aku serius mas"
Indri menghela nafas "Aku gak mau nyakitin hatimu lebih jauh lagi mas"
Lama kami berdebat. Aku memintanya untuk tetap bersama.
"Maafkan aku gak bisa mewujudkan mimpi-mimpimu mas" kata Indri pada akhirnya
"Akunya aja yang mimpinya ketinggian" Aku tersenyum getir
"Kan udah aku bilangin"
"Iya"
"Kita tetap sahabatan kan?"
"Aku gak tahu Ndri. Aku hanya ingin kita terus bersama. Huuh... kalau itu yang kau mau, ya sudah"
Menjadikan seseorang menjadi kekasih, memang indah... tetapi membuat kekasih menjadi sahabat...
Ah segalanya tak akan bisa kembali seperti dulu lagi.
Tangisku pecah setelah Indri meninggalkanku sendiri di taman kampus.
Beberapa saat kemudian, Lukman yang melihatku sesenggukan di taman, datang menghiburku. Dipeluknya tubuhku. Aku menangis di bahunya. Kulampiaskan segala perasaanku tanpa kata-kata. Menjadikan diriku merasa sedikit lebih tenang...
Namun segalanya menjadi berbeda ketika Asep melihatnya....