Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Cerita Hutan, Kijang dan Bayang-Bayang

Waduh. Kok malah mau ketemu suami bu Safira seeh ? Nanti malah ga bisa ena-ena lagi..
Bijimane sih kau bambaaanggg...
Eeh.. Doddiikkk maksud ane.

Hak.. hak.. hak..
 
Sebelumnya di Bagian 3

Bagian 4

Selasa pagi adalah hari presentasi kedua mata kuliah Pak Joko. Novita, Kenneth dan Indah, yang dijadwalkan maju pertama, sudah siap memulai hari. Saat aku masuk ke ruang kuliah, kudapati ketiganya telah bersiap di depan dengan proyektor menyala serta tiga laptop bersiaga. Walaupun tampak tegang, kudapati mereka relatif tenang dibandingkan waktu kelompokku maju. Mungkin karena pengalaman baik di hari senin.

Dan betapa salahnya mereka bertiga...

Pak Joko memulai bagaikan singa lapar. Setiap slide dikuliti sampai habis, tiap kalimat, gambar dan referensi dibantai. Pertanyaan-pertanyaan sukar menanti di setiap jengkal kemungkinan. Semuanya hanya bisa dijawab dengan wajah kosong tanpa tahu apa-apa.

Ivan, Banu dan aku merinding ngeri. Betapa seharusnya kami bersyukur Pak Joko berbaik hati. Mungkin kami membuat kenduri selepas presentasi bila melihat garangnya beliau pagi ini.

Tidak puas dengan kesuksesan membuat kelompok pertama melantai, Pak Joko menyuruh kelompok kedua maju. Wow... Kegarangan yang sama berlanjut. Pria buntet berkulit cerah itu melecut-lecutkan kengerian yang sama seperti sebelumnya. Kelompok yang maju ini pun dibuatnya kuyup tanpa daya.

Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja kecurigaanku muncul. Jangan-jangan, Pak Joko mendadak baik karena sudah diberitahu kakek. Aku ingat jelas kakek sempat menanyakan detail mengenai Pak Joko malam sebelum aku presentasi. Bisa jadi, kakek menghubungi dulu Pak Joko dan, menilik betapa hormatnya pria itu kepada kakek, dosen killer itu pasti berusaha menahan diri untuk membantai. Itu menjelaskan kenapa kemarin Pak Joko terasa lebih melankolis.

Selesai menghabisi kelompok kedua, Pak Joko memberi sepatah dua patah kata penutup. Kali ini lebih netral. Banyak ucapan untuk tetap semangat belajar dan tidak putus asa. Agak kocak sih, memberi semangat setelah menguji macam tadi. Tentu saja perlu dipahami, tidak akan ada mahasiswa waras yang akan mengkritisi.

Pak Joko lantas mengemasi barangnya. Lalu bangkit dari bangku, terus berjalan keluar ruangan. Hening menyertai tiap langkah beliau. Sesaat sebelum pria gemuk itu menghilang di balik pintu, Pak Joko berhenti kemudian berpaling ke arah deretan mahasiswa.

"Ada yang namanya Dodik?"

Gemetaran dari ujung rambut sampai kaki, aku mengangkat tangan.

"Ikut saya ya." ucapnya pendek sambil melanjutkan jalan.

Cepat-cepat kukemasi buku dan alat tulis kemudian aku melesat menyusul pria itu. Samar-samar kudengar bisik-bisik di belakang. Sepertinya kawan-kawan mulai membuat asumsi mengapa aku dipanggil.

Aku merasa kecut sendiri. Cepat atau lambat bakal ada yang mengetahui siapa kakekku dan apa hubungannya dengan Pak Joko. Pasti bakal ada yang nyinyir menganggap aku bisa maju gara-gara memanfaatkan koneksi. Suasana kelas bakal tidak nyaman, lebih-lebih setelah ada yang terbantai hari ini.

Aku mengikuti Pak Joko berpindah ke gedung sebelah, lalu menaiki lift ke lantai lima. Kami berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong ruang dosen, membelok tiba-tiba ke sebuah pintu tertutup. Pak Joko membuka pintu itu dengan lututnya, kusadari slotnya sudah rusak lama.

Ruangan ini kecil, berukuran 4 kali 4. Ada dua meja di dua sisi yang menyiku, disertai dua lemari kecil menyertai. Seorang wanita muda berambut sebahu tengah duduk di salah satu meja. Ketika Pak Joko masuk, dia berdiri lalu menyapa ramah.

"Ini Bu Alda, dosen baru yang sekarang sedang menempuh S2." ujar Pak Joko sambil meletakkan tas ke bangku, tangannya lalu menunjuk ke arahku, "Ini Dodik, yang kemarin saya ceritakan. Bu Alda sudah berkomunikasi dengan sekretaris Prof. Bambang?"

Aku lekas mengulurkan tangan ke wanita itu. Kuanggukkan kepala sambil menghormat. Bu Alda menyambut uluran tanganku dengan sopan. Kami berjabat tangan sebentar sambil bertukar nama.

Pak Joko dengan lugas menerangkan siapa aku dan hubunganku dengan kakek. Tanpa ragu dia menyebut nama kakekku. Mungkin karena dari awal tipenya seperti itu ya? Blak blakan tanpa saringan.

Bu Alda tersenyum ramah, "Saya sudah sempat bertukar pesan dengan Bu Safira. Kemungkinan besok saya mulai bimbingan."

Aku curi pandang ke Bu Alda. Orangnya masih muda. Mungkin kisaran dua puluh hingga awal tiga puluh. Kulitnya kuning langsat. Wajahya cantik dengan bintik-bintik coklat tipis di pipi dan sekitar hidung. Bu Alda memakai kacamata minus bundar, tampak serasi dengan dandanannya yang mirip mahasiswi semester akhir. Bibirnya pucat tanpa lipstik. Wanita itu mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru dipadu celana panjang gelap. Tubuhnya kurus tidak terlalu tinggi tapi juga tidak pendek. Dadanya nyaris rata dengan panggul sempit.

Pak Joko mengangguk puas, "Bu Alda ini mahasiswa teladan. Cerdas dan rajin. Saya minta tolong Bu Alda yang mengajari Dodik mengenai dasar-dasar keilmuan. Nanti tiap bulan akan saya review sampai sejauh mana perkembangan Dodik."

"Mohon koreksi ya, Pak, bila dalam pengajaran saya ada yang kurang tepat." ujar Bu Alda sambil tersenyum ramah.

Aku buru-buru mengucap terima kasih kepada mereka berdua. Setelah basa basi dan perkenalan singkat, kuminta nomor telepon Pak Dodik dan Bu Alda. Setelah beres urusan dengan mereka, aku segera turun ke bawah.

Hari ini tidak ada acara kuliah lagi. Jadwal kuliah baru ada besok, lanjut ke bimbingan online malam dengan Bu Alda. Awalnya aku berencana makan siang dengan kawan-kawan tapi, karena ada panggilan dari Pak Joko, aku terpaksa membatalkan janji. Apa boleh buat, hari ini aku langsung pulang saja. Begitu keluar lift, aku langsung ke parkiran motor terus pulang.

Aku tidak ada pikiran apa-apa. Firasat pun tidak ada. Makanya aku sangat kaget ketika Bu Safira mendadak menghubungi. Wanita itu mau ke rumahku bila aku sudah pulang.

Sejujurnya aku enggan. Aku masih merasa bersalah padanya. Kemarin malam ketika aku bilang ingin menemui suaminya untuk meminta maaf, Bu Safira sama sekali tidak mengacuhkan. Wanita itu berpaling begitu saja.

Mungkin Bu Safira menganggap upayaku meminta maaf itu bodoh?

Aku tahu tidak ada gunanya menebak-nebak. Kujawab jujur bahwa aku akan sampai di rumah sebentar lagi. Bu Safira memintaku menunggu sebentar karena dia mau datang. Aku menyanggupi.

Sekitar pukul sebelas, pintu pagar dibuka. Kudengar deru motor memasuki halaman disusul ketukan ringan di pintu depan. Begitu ruang tamu kubuka, Bu Safira berjalan masuk. Wanita itu mengusap keringat yang bercucuran dari dahinya. Lalu melepas jaket yang ia kenakan. Bau keringat, parfum dan sabun menguar bercampur.

Bu Safira duduk tanpa permisi. Kakinya yang panjang direnggang kelelahan. Beberapa kali tangannya mengipas-ngipas kepanasan.

"Hari ini sibuk sekali, Bu?" tanyaku.

"Iya, Mas." Bu Safira menjawab, "Minggu depan bapak mau pergi ke ibu kota, jadi saya harus lari-lari membuat persiapan."

"Bu Safira mau ke Jakarta juga?"

Wanita itu menggeleng, memandangku lurus dengan bibir melipat dalam, "Bapak meminta saya mengurusi Mas Dodik."

Aku menghela napas. Kuambil tempat duduk di seberang Bu Safira. Aku tahu wanita itu tidak nyaman bila bersamaku.

"Bu Safira bisa menolak," ujarku, "bila tidak mau. Saya toh bisa mandiri."

Bu Safira menggeleng, "Bapak sudah memasrahkan Mas Dodik untuk saya urusi. Saya tidak keberatan, Mas. Saya pun merasa bertanggungjawab kalau ada apa-apa dengan Mas Dodik."

Bu Safira membuka tasnya, kemudian mengeluarkan sebuah buku dan kertas yang bergambarkan kolom-kolom. Kertas itu lalu diberikan kepadaku sementara Bu Safira sendiri membuka lembar-lembar buku sambil mengecek ponsel.

"Ini jadwal belajar Mas Dodik," kata Bu Safira sambil membaca catatan di buku," sudah saya konsultasikan dengan Bu Alda terkait materinya. Rencananya akan kami mulai besok."

Aku menelan ludah. Jadwal belajar yang disusun benar-benar padat. Hampir tiap malam akan ada bimbingan. Bila ditambah waktu belajar untuk materi kuliah, aku bakal tidak punya kesempatan untuk main.

"Usahakan belajar dulu sebelum bimbingan ya, Mas." kata Bu Safira di tengah-tengah menerangkan jadwal, "Kasihan Bu Alda yang sudah menyiapkan waktu."

Aku tercenung. Bu Safira benar. Dari kata-kata Pak Johan, Bu Alda sendiri sudah sibuk sebagai dosen dan mahasiswi S2. Sekarang malah ketambahan tugas membina aku. Pasti Bu Alda lebih kesulitan mengatur jadwal daripada aku.

"Mas Dodik jangan nakal-nakal ya. Harus menurut sama Bu Alda."

Aku memijat keningku yang masih shock mencerna jadwal. Agak terganggu juga dengan kalimat 'jangan nakal' dari Bu Safira. Aku ga bakal berani berbuat macam-macam sama Bu Alda.

"Bu Alda itu kakaknya teman sekelas Mas Dodik. Jadi jangan aneh-aneh. Bisa ketahuan sama seisi kelas."

Aku terbatuk, "Kakaknya siapa dia?"

"Kenal Mbak Nadia? Bu Alda itu kakak kandung Mbak Nadia."

Aku ternganga. Bodohnya aku! Aku langsung tersadar kemiripan mereka berdua. Fisik Bu Alda dan Nadia hampir serupa: kurus rata-rata dengan kulit kuning. Kekhawatiran lain menyebar di kepalaku. Kalau benar begitu, berarti kabar aku mendapat perlakuan istimewa dari Pak Joko karena kakek bakal menyebar lebih cepat.

"Bu Alda sudah janji tidak bilang apa-apa. Jadi Mas Dodik bisa tetap tenang."

"Bisa dipercaya?"

"Saya kenal baik dengan Bu Alda, Mas."

Aku menghembuskan napas lega.

Setelah memastikan aku paham jadwal yang dibuat, Bu Safira mengemasi buku dan ponsel. Jaketnya dikenakan kembali. Dia hendak berpamitan.

"Saya minta maaf atas kejadian malam itu." ujarku.

Bu Safira hanya mengangguk.

"Saya sungguh-sungguh, Bu."

Bu Safira menatapku, senyum sinis menghiasi bibirnya, "Mas Dodik masih menyimpan foto telanjang saya bukan?"

Aku terkejut, tidak menyangka Bu Safira menyadari itu.

"Mas Dodik bilang menyesal, minta maaf atau mau menemui suami saya," Bu Safira mengatur napas, mengendalikan emosi, "hanya agar Mas Dodik merasa lebih baik. Mas Dodik tidak peduli dengan apa yang saya rasakan. Mungkin suatu saat nanti, kalau ingin, Mas Dodik bakal memanggil pelacur lain. Atau Mas Dodik bakal memakai foto saya untuk onani. Yang penting rahasia Mas Dodik tidak terbongkar dan bisa nyaman di sekitar saya."

"Jadi tidak perlu lah Mas Dodik bertemu suami saya segala. Jangan membuat keadaan makin rumit. Jangan khawatir, saya akan berlaku biasa saja kepada Mas Dodik."

Aku merasa sangat tidak nyaman. Bu Safira dengan jeli melihat menembusku. Wanita itu sukses mengetahui apa yang sebenarnya kuinginkan, jauh lebih baik dariku sendiri. Entah bagaimana...

Itu membuatku takut.

Aku lekas berdiri dan menutup pintu rapat. Aku ingin bicara lebih jauh dengan wanita ini. Aku tidak ingin dia pulang dengan membawa pikiran aneh-aneh.

Bu Safira memandangku sebentar lalu mengangguk hambar, "Mas Dodik ingin melakukan itu lagi?"

Hah? Kenapa dia malah berpikir begitu?

Bu Safira melepas jilbabnya. Ikatan rambut lalu dilonggarkan, membuatnya tergerai bebas hingga dada. Wanita itu tersenyum pahit, "Di kamar saja ya, Mas."

Aku termangu menyaksikan Bu Safira berjalan ke kamar tidur. Aku bingung. Tidak tahu harus berbuat apa. Apa sebaiknya aku menyuruh Bu Safira pulang? Lebih tepat seperti itu?

Aku melangkahkan kaki ragu ke kamar. Pintunya mengayun renggang di gawangan. Kudorong daun pintu ke dalam. Jantungku serasa berhenti menyaksikan apa yang ada di dalam.

Bu Safira sudah bertelanjang dada di sana. Payudaranya yang besar menggantung bebas seperti malam itu. Puting gelap mengacung menghadap bawah. Wanita itu tengah mengirim pesan dengan ponselnya ketika aku masuk.

"Sebentar ya, Mas." katanya, "Saya masih mengurus jadwal bapak."

Aku lelaki yang normal. Melihat pemandangan seperti itu sudah pasti birahi bakal meletup-letup. Akal sehatku buntu. Bu Safira lekas kuterkam. Kubekap paksa hingga berbaring di ranjang. Dadanya yang besar kuremas-remas gemas. Tanganku menjelajah lehernya yang jenjang, bahunya yang putih lalu payudara menggoda. Putingnya kuplintir buas.

Bu Safira menggigit bibir berusaha mengendalikan diri. Jemarinya bergetar meneruskan mengetik pesan. Dia berusaha tetap bekerja sambil meladeni nafsuku.

Aku cium leher wanita itu. Kugigit lembut bahunya yang telanjang. Bersama tanganku yang menyusup ke balik celana dalam, aku menyusuri dadanya yang membusung. Kukecup sela antar gunung kembar lalu ke puting kirinya yang tegak menantang. Gigitan gemas mendarat di situ disusul tarikan lembut.

Bu Safira mendesah. Telepon genggamnya terlepas dari genggaman, jatuh berkelotak di ubin kamar.

Kujilati payudara yang kanan. Putingnya kugigiti dengan nakal. Sesekali lidahku turut merangsang dengan putaran sayang.

Bu Safira mengerang. Nafasnya memburu. Kedua tangan menekan dadaku menyuruhku menjauh.

"Mas Dodik," bisiknya di tengah deru napas, "mundur dulu. Saya lepas celana."

Aku menarik diri sebal. Ya, sedang panas-panasnya tiba-tiba disuruh berhenti. Bu Safira ternyata pengertian. Dia tahu kegusaranku sehingga tetap berbaring saat melepas rok dan celana dalamnya. Sebentar saja dia sudah telanjang bulat.

"Mas Dodik," Bu Safira berkata sambil membantuku melepas baju, "tolong jangan meninggalkan cupang di leher saya ya. Nanti suami saya bisa curiga."

Aku mengangguk asal. Kalau sudah terangsang mana bisa berpikir benar?

"Selain itu, Mas Dodik boleh melakukan apa saja."

Serius? Apa saja?

"Apa saja yang Mas Dodik mau." Bu Safira berkata sambil kembali berbaring. Matanya memejam erat-erat. "Terserah Mas Dodik mau apakan saya."

Aku memandangi Bu Safira yang berbaring pasrah. Badannya putih bersih. Wajahnya cantik meskipun sudah tidak muda. Posturnya tegap dan tampak padat. Ada timbunan lemak di sana sini seperti pada bagian lengan, perut dan paha tapi tampak seimbang dengan otot yang kokoh.

Satu tangan kembali ke atas, memainkan payudara bergantian. Satu tangan lagi mengelus perut Bu Safira, turun ke pusar terus ke bawah. Bibir kewanitaannya yang gundul kusentuh ragu. Tubuh itu bergetar ketika jariku menyusup ke sela bibir luar lalu merenggangkan. Ada cairan berbau khas di situ.

Aku beringsut ke bawah. Kedua tungkai Bu Safira kukangkangkan ke kanan kiri. Tanpa sungkan kurenggangkan mulut vagina dengan kasar. Bu Safira melenguh, tubuhnya kelojotan menahan nyeri. Wanita itu masih berusaha duduk ketika satu tanganku masuk penuh hingga mentok.

"Mas..." Bu Safira merintih kesakitan. Tangannya mendorong bahuku meminta berhenti.

Aku tidak peduli. Tanganku maju mundur dengan cepat. Lima jariku memutar-mutar liar di tiap pompaan. Bu Safira hanya bisa mengerang-ngerang heboh saat rahimnya kutekan-tekan.

Iseng tanganku yang bebas meraih dadanya yang menggantung. Kupijat lembut gundukan itu terus turun ke puting. Tanpa ragu kuplintir gemas tonjolan coklat itu. Kuat.

Bu Safira kian kesakitan. Dia meronta-ronta tidak karuan tapi aku lebih kuat. Kedua tanganku masih mengunci badannya.

"Mas..." Bu Safira mendesah, "hentikan dulu..."

Tubuh Bu Safira seperti kejang-kejang. Dadanya kian keras, puting yang kuplintir semakin tegak sementara cairan vaginanya kian deras dan dindingnya makin rapat menjepit tanganku. Tampaknya dia mulai keenakan kukasari begini.

Ibu jariku keluar dari liangnya yang menyempit. Sementara empat jari masih mengobok-ngobok vagina, jempolku mulai menyusuri tonjolan klitoris. Kutekan-tekan asal di sekitar situ.

Wah!

Bu Safira membinal. Aku dipeluk erat-erat. Pahanya mengunci pinggangku. Panggulnya bergerak naik turun liar mengikuti jemari. Desahannya sudah tidak lagi kesakitan.

Kupompa kian cepat, kian cepat. Bibirnya yang mendesis sexy kucium paksa. Bu Safira menyambut penuh nafsu. Pelukannya kian erat. Tanganku bergerilya di antar kedua payudara jumbo, menambah rangsangan.

"Hmmmm!" Bu Safira berseru tidak jelas di dalam kecupanku. Pelukannya menguat nyaris memiting. Aku nyaris tidak berkutik ketika tubuh itu menggeliat geliut tak karuan dilanda orgasme. Kurasakan Bu Safira kejang-kejang beberapa kali sebelum melemas.

Bu Safira pasrah ketika kuhempaskan ke atas ranjang. Napasnya naik turun dengan peluh di sekujur tubuh. Lengan dan kakinya lunglai ke samping. Bibir vaginanya menutup dengan cairan kewanitaan merembes ke sprei.

Aku tergoda untuk menyetubuhi wanita itu. Aku ingin menghujamkan burungku ke lubang peranakannya... Memompa dengan kasar lalu ejakulasi dalam-dalam.

Tapi tidak.
Aku ada rencana lain.

Tanganku masuk lagi ke dalam vaginanya. Kali ini hanya dua jari. Vaginanya masih kepayahan dan menerima jariku tanpa tahanan. Dengan mudah aku masuk ke dalam.

Bu Safira memandangku sayu, bibirnya bergetar, "Jangan dulu, Mas... Saya masih... Hhhhh... Mas..."

Aku memompa liang yang sudah lemas itu dengan kasar. Dengan cepat lima jariku terbenam dalam. Maju mundur dengan cepat dan kasar. Bu Safira hanya bisa mendesah. Kedua tangannya mencengkram tepi ranjang sementara kepalanya menengadah. Urat-urat menonjol di lehernya yang putih. Kakinya menapak, panggul terangkat mengikuti tanganku yang memompa cepat.

Wanita itu baru orgasme. Badannya masih sensitif. Rangsangan tanpa jeda seperti ini pasti akan membuatnya gila.

"Mas... Jangan..."

Mulut Bu Safira bisa menolak tapi tubuhnya jujur. Setiap getaran dan lenguhan di badannya adalah gejolak ingin menikmati. Cepat atau lambat dia akan mencapai puncak.

Ya...

Bu Safira kembali kejang-kejang. Lengan dan tungkainya merenggang kaku. Punggungnya menekuk bangkit sembari melenguh keenakan. Liang vaginanya mencengkram jemariku kuat-kuat sambil memuncratkan cairan bening. Bu Safira kembali kelojotan beberapa saat sebelum terkapar letih.

Aku mengelus dada Bu Safira. Aku menunduk ke arah dahinya lalu kucium sayang. Bu Safira sudah menyerahkan segalanya padaku, saat memberi dia kenikmatan tiada dua.

Kubalik badan Bu Safira. Kupaksa pantatnya menungging. Kuambil posisi di belakang. Dari sini, bisa kulihat anusnya yang gelap rapat dan vagina menggoda. Penisku kuarahkan ke liang peranakan. Kudesak masuk dengan sekuat tenaga.

BLES!

Amblas mentok sampai pangkal. Bu Safira hanya mendesah lemah. Kutarik hati-hati, terus kutahan di ujung. Vaginanya mencengkram kepayahan. Kurasakan liang itu menahan agar tidak lepas....

Huff!

Burungku terasa berdenyut-denyut hendak menyembur. Sedari tadi aku menahan diri agar tidak langsung coblos, akibatnya begitu masuk sudah ingin keluar. Kukuatkan diriku. Kedua tangan kulingkarkan ke depan. Tubuh sintal Bu Safira kupeluk dari belakang. Dadanya yang jumbo kuremas-remas.

Bu Safira menahan tanganku. Mulutnya mendesis lemah, "Cukup Mas... Saya tidak kuat... Hhhhhh..."

Jariku makin nakal. Kutowel putingnya, terus kuplintir. Bersama dengan itu, kudorong panggulku pelan-pelan.

Bu Safira menunduk dalam. Kepalanya terbenam di bantal. Suaranya tertahan, sementara panggulnya naik turun liar.

"Enak, Bu?"

Bu Safira hanya menggumam tak jelas. Badannya jujur mengakui nikmat. Tangannya tak lagi melawan malah membimbingku ke titik-titik sensitif badannya.

Aku maju mundur teratur. Sesekali kugoyang burungku. Liang yang tadinya kepayahan kini bergairah. Ada titik-titik yang mencengkram nikmat. Pijatannya enak, meskipun sudah dilalui bayi tiga.

Tak sabar kutekan mendadak. Penisku maju tanpa hambatan, amblas hingga mentok mulut rahim. Bu Safira terlonjak ke depan, kepalanya menengadah sambil melolong keenakan. Kutarik badan putih itu ke atas, payudaranya kucengkram kuat. Kusodok beberapa kali. Tiap sodokan lebih kuat dari sebelumnya.

Bu Safira berteriak-teriak heboh. Kupaksa menoleh ke belakang lalu kucium paksa. Wooo... Dia kian binal. Ciumanku disambut nafsu. Panggulnya goyang-goyang. Dadanya mengeras.

"Hmmmph... Hmmmphhh..."

Kugenjot kian kuat..
Cepat...

Bu Safira kelojotan di dalam rengkuhanku. Tubuhnya berlutut mengaku. Tak mau kalah, aku pun memompa tambah cepat. Kurasakan vaginanya dekok ke dalam, berusaha menyambut ejakulasi.

Bu Safira kudorong kasar. Lekas kubalik paksa hingga telentang. Wanita itu masih mendesah-desah di tengah orgasme saat kutoblos lagi dari depan.

"Aaaaaaahhhhh!" jeritnya saat penisku amblas.

Kurasakan panas mengalir dari batang penis... Cairan mani menyembur ke dalam rahim wanita itu. Kutekan keras-keras... Liang yang sudah loyo itu hanya bisa pasrah...

Kujambak rambut Bu Safira. Bibirnya yang masih terengah mengatur napas kuciumi lagi.

Puas.

Kucampakkan tubuh lunglai itu dan Bu Safira ambruk terkapar di ranjang. Telentang sambil terengah-engah Dadanya naik turun. Wajahnya letih setelah orgasme tiga kali.

Aku melepaskan diri. Kali ini tidak ada suara yang keluar dari vaginanya. Penasaran, kurenggangkan paha wanita itu. Bibir kewanitaannya tetap menganga terbuka, bisa kulihat liang merah jambu yang penuh sperma tengah berkontraksi.

Bersambung ke Bagian 5
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd