Shibuya
Guru Semprot
Cinta sering kali menjadi alasan seseorang bertahan, menguatkan jiwa lemah demi melindungi hal yang berharga untuknya. Namun tidak sedikit pula yang bertahan dan menjadi lebih kuat justru karena rasa benci dan dendam di hati mereka.
BROKEN JADE
AUTHOR : SHIBUYA
RATING : DEWASA (21+)
WARNING : SEMUA TOKOH ILUSTRASI BERUSIA 19+
LKTCP 2019
AUTHOR : SHIBUYA
RATING : DEWASA (21+)
WARNING : SEMUA TOKOH ILUSTRASI BERUSIA 19+
LKTCP 2019
Di jalanan utama yang tidak terlalu ramai kedua bocah berusia tujuh dan sembilan tahun berlari bergandengan tangan dengan wajah ketakutan. Sesekali melihat ke belakang hanya untuk memastikan sesuatu yang mengejarnya masih jauh tertinggal.
Namun saat kaki-kaki kecil tersebut mulai lelah dan memelan hal yang mereka hindari kian mendekat. Sebuah mobil berkecepatan tinggi dikendarai oleh seorang anak berseragam sekolah menengah atas melaju kencang ke arah mereka. Keduanya menoleh panik berniat menghindar namun tak sempat, dalam seperkian detik mobil telah menyentuh tubuh keduanya tapi terlebih dahulu si gadis mendorong tubuh bocah laki-laki itu hingga tersungkur di pinggiran jalan.
'BRUUUAAKH! TIIIIIIINNNNNN' suara mobil yang menabrak menggemparkan masa. Rodanya berhenti tertahan pohon besar. Bagian depan mobil mengeluarkan asap dan belum diketahui keadaan si pengemudi.
Sedangkan bocah laki-laki yang selamat meringis merasakan perih luka lecet di tangan dan kakinya, saat menoleh ke arah teman perempuannya jantungnya terasa berhenti berdetak.
"Ka-kak..."
Ia melihat gadis itu sudah tergeletak lemah, membuka mulut memanggilnya dengan suara parau dan napas tersengal. Yang membuatnya kian terpukul dress putih yang dikenakan gadis kecil tersebut telah dipenuhi warna merah oleh darah.
Namun bocah lelaki di sana tak mampu berbuat banyak, mulutnya seolah terkunci kekuatan ghaib, ia hanya menangis tanpa suara. Tubuhnya pun terasa lumpuh tak dapat digerakkan. Jiwa polosnya masih terlalu berat menerima tragedi memilukan itu.
Tak lama kemudian datang orang dewasa berjas rapi serta-merta mengangkat tubuh lemahnya, saat itu barulah ia meronta tak ingin dibawa pergi. Tidak tanpa teman perempuannya. Dia ingin menyelamatkan si gadis yang terus memanggilnya.
"MENTARI!! MENTARI!! AKU SUDAH BERJANJI MELINDUNGINYA! TOLONG LEPASKAN AKU! KUMOHON TOLONG DIA!" Tangisnya lolos memanggil bocah perempuan bernama Mentari tersebut. Namun seolah tuli orang-orang dewasa yang membawanya acuh meninggalkan tubuh kecil lain yang terlentang bersimbah darah.
Semakin jauh ia hanya bisa menggapai-gapai Mentarinya yang sedang sekarat tanpa hasil, dan dari kejauhan ia bisa melihat mentari mengangkat lemah tangan kecilnya yang penuh darah. "Ka-kak...sela-mat-kan a-" tak sempat mengucapkan kalimat terakhirnya mata itu telah memejam diikuti linangan air mata tanda putus asa.
"Mentarii...Mentari..."
"MENTARI!! HAH!" Seorang pemuda baru saja terbangun dari mimpi buruk, padahal alarm yang bising telah berdering sekitar 5 menit yang lalu. Kali ini ia harus berterima kasih pada benda yang biasanya akan segera ia banting jika berbunyi itu karena telah membangunkannya dari mimpi buruk.
Entah kenapa akhir-akhir ini pemuda bernama Aksara tersebut sering bermpimpi tentang kejadian tragis di masa lalu, padahal sudah lama ia telah dinyatakan sembuh oleh psikiater dari traumanya, masa di mana gadis yang ia sukai sewaktu kecil terbunuh oleh seseorang.
Gadis sederhana yang memberinya perasaan cinta luar biasa. Dan sampai mati pun ia tidak akan pernah melupakan wajah pembunuhnya.
Dengan sedikit malas pria yang dianugerahi paras tampan tersebut mendudukan dirinya di kasur, mengusap wajahnya frustasi, meremas rambutnya kemudian bergegas ke kamar mandi.
BROKEN JADE | SHIBUYA
Udara pagi masih sedikit dingin ketika seorang gadis baru saja turun dari mobil mewah yang membawanya memasuki halaman sebuah universitas elit di pertengahan kota. Padahal matahari sudah mulai meninggi dan menghantarkan sinar hangatnya.
Bibir berwarna pink lembutnya sedikit membulat, takjub menatap setidaknya tiga bangunan besar dan mewah di hadapannya, siapa sangka ini sebuah universitas? Jika saja ia tidak melihat Acalypha siamensis yang sudah dipangkas membentuk huruf besar bertuliskan BOARDING UNVERSCITY OF NSIA tentu saja ia akan mengira ini adalah sebuah Mall kelas atas.
Tidak mau berlama-lama mengagumi kemegahan Universitas yang akan ditempatinya, gadis berambut pendek berwajah imut itu lantas melihat selembar kertas yang sudah dibawanya. "Kamar Anggrek nomor 101, dari sini aku harus ke sana lalu belok ke kiri." Dengan suara lembut ia sedikit bermonolog, menunjuki jalanan yang akan dilaluinya, kemudian mulai berjalan melangkahkan flat shoes putih tulangnya memasuki area Universitas hanya dengan bermodalkan peta di belakang brosur.
Gadis itu akan tinggal di asrama universitas, mengingat ia sudah tak memiliki kedua orang tua lagi. Lagipula ia juga baru pindah dari Jepang, tentu saja ia tak punya teman sama sekali. Kakak lelaki satu-satunya juga akan lebih banyak di luar mengurus bisnis keluarga mereka. Mempertimbangkannya, kakak yang berperan sebagai orang tua sekaligus itu pun memutuskan untuk memasukan gadis itu ke boarding universcity dengan harapan adiknya lebih cepat berteman dan terawasi.
Ia sedikit cemas karena ini adalah hari pertamanya di universitas. Belum mulai berkegiatan sebagai Mahasiswa baru hanya melakukan pendaftaran ulang dan menyelesaikan administrasi. Dan ia hanya perlu mencari kamar yang akan ditempatinya karena pendaftaran ulang dan keperluan lain sudah ditangani oleh kakaknya.
Namanya Lunar Pramujawati, meski cantik ia mempunyai masalah dengan rasa percaya diri. Ia sedikit takut bertemu dengan orang banyak sendirian.Tidak tau kenapa ia tidak punya sifat layaknya wanita seusianya yang mulai berani mencoba make up atau baju sexy dan menebar pesona pada laki-laki. Bahkan ia lebih nyaman dengan berbagai macam dress kasual setinggi lutut, make up tipis dan parfum bayi agar tidak mencolok. Tapi percuma saja, dengan kecantikan di atas rata-rata ia tetaplah mencolok seperti mawar putih di antara mawar merah.
Seperti saat ini, ketika ia melewati taman tengah yang terhubung dengan jalan menuju asrama dan kantin, Lunar menjadi gugup melihat banyak sekali senior berseragam yang berlalu-lalang dan mengobrol di bangku taman. Dengan sedikit keberanian ia berjalan melewati mereka yang otomatis menatapnya dengan berbagai macam arti, tentu saja karena ia adalah satu-satunya yang tidak berseragam di sana.
Tak sedikit tatapan sinis ia dapatkan dari senior perempuan yang merasa iri dengan visual Lunar yang memukau. Ia memang tak berlebihan berhias diri dan selalu tampil sederhana meski keluarganya mampu membeli pakaian termahal sekalipun, namun justru kesederhanaan yang dipadukan dengan wajah imut membuatnya tampak begitu berharga.
Tak sedikit pula tatapan kagum ia dapatkan dari senior laki-laki karena kecantikannya yang alami. Kulitnya bening sebersih salju, tatapannya lembut mendamaikan,dan rambutnya yang hanya sebatas leher membuatnya tampak segar, tingginya yang hanya 153cm membuatnya terlihat awet muda.
Dalam hati Lunar merutuki dirinya sendiri telah menolak tawaran kakaknya untuk diantarkan dengan alasan ia sudah dewasa dan ingin belajar mandiri. Tapi ternyata tidak semudah itu, tatapan orang-orang padanya membuat nyali Lunar menciut.
Merasa seperti anak kelinci di tengah kerumuman harimau Lunar menunduk mempercepat langkahnya. Dengan itu ia berhasil mencapai ujung taman yang sepi. Tapi siapa sangka karena masih menunduk terburu-buru ia jadi menginjak kakinya sendiri kemudian kehilangan keseimbangan.
"Kyaaaaahh!!"
'Brukh!' Sialnya ia menabrak tubuh seseorang. Dan lebih sialnya lagi mereka berdua terjatuh bertindihan di atas rumput taman, dengan tubuh Lunar berada di atas.
'Degh'
Ada perasaan lain yang tak bisa ia terjemahkan saat tatapan keduanya bertemu. Kecuali visual yang tampan tampan. Ya memang pemuda itu sangat tampan namun Lunar rasa bukan hanya perasaan kagum saja yang ia rasakan, mungkinkah cinta pada pandangan pertama? Bisa saja. Tapi Lunar tak mau terlalu memikirkannya.
"Apa kau buta?" Sebaris kata kasar dari pemuda yang baru saja ia puji menyadarkan posisinya. Sekaligus menarik seluruh perasaan yang baru saja ia keluarkan.
Lunar mengerjap, menelan ludah. "Ma-maaf." cepat-cepat berdiri lalu menunduk menyesal. Namun sang lelaki yang sudah berdiri di hadapannya tak menjawab.
"Tegakkan kepalamu Adikku-" sebuah suara tiba-tiba sudah berada di sekitar mereka, Lunar menoleh dan menemukan seorang lelaki berpenampilan elegan dengan setelan jas abu-abu necis sudah berdiri angkuh di belakangnya.
"Eh? Kakak?"
Seseorang yang ia panggil kakak itu tersenyum dan menepuk puncak kepala Lunar pelan. "Jangan biarkan mahkotamu jatuh hanya karena bocah ini." lelaki berusia tiga puluhan tersebut melempar tatapan remeh pada pemuda yang baru saja mereka temui.
"Kau?!" Sementara pemuda yang Lunar prediksi sebagai seniornya membalas menatap kakaknya tajam, bahkan Lunar bisa melihat terdapat kemarahan yang amat di dalam sorot yang kelam tersebut. Sekarang Lunar hanya bisa terdiam sambil bertanya dalam hati. Apa yang sedang terjadi?
Menyadari kebingungan adiknya pria berpenampilan rapi itu lantas tersenyum lembut dan berkata, "Ah sudah kakak duga, kau tidak bisa melakukannya sendirian. Universitas ini terlalu besar untuk adikku yang seperti serangga kecil ini." Ia terkekeh, tangannya mencubit gemas hidung Lunar membuat gadis itu sedikit merajuk. Sementara satu pria diantara mereka terlihat muak.
"Sekarang kau pergilah bersama Thomas. Dia akan menunjukkan kamarmu, beristirahatlah. Kau akan memulai Freshman orientasi besok kan?" Dan...," ia memberi jeda lalu mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang masih terpaku di sana. "Jauhi pria ini."
Lunar sempat menatap sekilas pemuda yang dimaksud kakaknya, ia mengangguk patuh. Tanpa diminta sekali pun Lunar sudah berencana untuk tidak akan pernah berhubungan dengan pria kasar itu. Perkataannya barusan sudah cukup mengecilkan nyali Lunar bahkan hanya untuk sekedar menatapnya. Dengan sopan Lunar segera berpamitan lalu menghampiri pengawal pribadi yang sudah menunggu di belakang mereka kemudian pergi.
"Lama tidak berjumpa." Ucap pemuda itu pada kakak Lunar. Wajah seseorang yang ia sapa itu tidak banyak berubah sejak pertemuan pertama mereka, hanya wajah stoic yang sedikit jadi lebih terlihat dewasa dengan rahang yang terbentuk sempurna. "Jadi... dia Adikmu? Eh?" Lanjutnya, tak mengalihkan tatapan tajamnya pada punggung mungil Lunar yang kian menjauh.
Mendengar pertanyaan bernada menantang itu pria dewasa tersebut lantas menajamkan lagi tatapannya. "Apa kau tertarik padanya?Jangan terlalu berharap. Dia punya selera tinggi. Tidak sepertimu. Aksara Tanumihardja. Pembunuh kecil yang lolos karena masih di bawah umur? Kau sudah sebesar ini? Cih!" Cibirnya, membuang muka jijik.
Membalas kalimat bernada hinaan lelaki yang terpaut 9 tahun darinya pemuda itu menjawab, "Ya aku tertarik. Aku tidak menyangka kau mempunyai adik yang sangat cantik. Dan bagian yang lebih menarik kau mengirim dia di sini? Apa kau sengaja mengantarkannya untukku?" Jawabnya santai namun terdengar seperti sebuah ancaman untuk adiknya dan cukup membuat pria tersebut mengeraskan rahang.
"Aku peringatkan jangan pernah dekati apalagi menyentuhnya! Atau kau akan menyesal!"
"Kalau aku menolak?"
Tangannya terkepal "Kau harus membunuhku lebih dulu untuk menyentuhnya!"
Aksara tertawa sinis. "Dulu aku sangat ingin. Tapi sekarang aku tidak begitu tertarik. Nyawa dibalas nyawa adalah tindakan yang kuno."
"Dia tidak punya masalah apapun denganmu Aksara!" Pria itu memperingatkan dengan protektif.
Mendengarnya Aksara terkekeh geli. "Damares Pramujawan. Si pecundang ini." Apakah kau lupa siapa yang telah kau renggut hidupnya? Bukankah dia juga tidak bersalah? Apa kau begitu takut jika aku melakukan hal yang sama pada Adikmu?" Balasnya tak kalah.
Telinga pewaris Pramujawan itu memerah, alisnya tertaut. Kemudian dari sorot kedua pasang mata lelaki itu kita bisa melihat tentang masa lalu mereka yang saling berkaitan.
"Kumohon nyonya kembalikan uang kami! Aku akan mengembalikan hutang-hutang itu secepatnya." wanita berpakaian lusuh merengek, menangis sambil bersujud memohon belas kasih, kedua tangannya memegang erat kaki seorang wanita kelas atas yang sedang sibuk menghitung dengan serius uang di dalam sebuah amplop cokelat.
Setelah selesai lantas sang nyonya yang ternyata seorang renternir itu menatap jijik wanita di bawahnya, "Uang ini belum cukup! Dan singkirkan tangan kotormu!"
'DUGH!' ia layangkan tendangan kasar pada wajah perempuan tersebut hingga pegangannya terlepas dan terjatuh terjengkang. Cairan merah berbau anyir tampak mengalir dari salah satu lubang hidungnya.
Setelah memandang remeh renternir wanita itu berjalan meninggalkan rumah jelek dan kumuh tersebut bersama kedua pengawal pribadinya. Tak menyerah si wanita miskin mengejar sampai halaman rumah dan tak berhenti memohon agar uang itu di kembalikan. Ia kembali bersimpuh di tanah, berulang kali ia jelaskan uang-uang tersebut adalah uang terakhir yang mereka punya untuk biaya rumah sakit suaminya yang sedang perawatan kanker.
Hal itu tak membuat hati sang nyonya luluh. Malah ia merasa terlalu risih, dan akibatnya ia memutuskan untuk memberi hadiah kebebasan pada wanita miskin yang menghalangi jalannya. Hanya dengan satu kibasan tangan sebagai isyarat, dan suara nyaring itu pun terdengar.
'DOR!'
Seketika burung-burung di pepohonan berhamburan ke udara meninggalkan tempat peristirahatan mereka dengan ketakutan. Sementara tubuh seorang wanita miskin yang beberapa menit lalu mengeluarkan suara bising karena tangisnya kini lunglai dan ambruk, darah segar segera mengaliri paving rusak di sekitar ia terkulai. Bersamaan dengan kejadian tersebut kedua anak kecil yang baru datang dari taman tampak terkejut. Tangan yang tadinya bergandengan tampak terlepas saat salah satunya tak tahan menahan air yang sudah memenuhi bola mata.
"Ibu!!!" Jerit gadis kecil itu menghambur ke mayat ibunya yang masih hangat.
Sementara laki-laki kecil berponi rata yang sedari tadi menjaganya menatap wanita yang tanpa penyesalan mulai meninggalkan mereka. Penuh amarah di dada kecilnya ia berlari memukul-mukul tubuh wanita itu sambil menangis.
"Wanita jahat! Wanita jahat! Pembunuh!"
"Menyingkir dariku bocah!" Tangan kecilnya ditepis kasar. "Hei apa yang kalian lihat! Cepat singkirkan bocah ini!" Perintah wanita itu pada pengawalnya geram.
"Dasar jahat!!!" Meski tangan kecilnya telah dikunci salah satu pengawal namun ia tak menyerah, "Kau pembunuh ibu kami!" ia terus berteriak meronta-ronta agar dilepaskan. Tapi tenaganya masih belum cukup. "PEMBUNUH!!"
Mendengar kata pembunuh keluar dari mulut seorang bocah yang bahkan tak tau apa-apa membuat wanita itu geram, ia menghentikan langkah kemudian berbalik. "Ibu?" Ia tatap bocah tersebut remeh, "Fufufu... Aksara Tanumihardja, pewaris satu-satunya Tanumihardja. Aku heran kenapa kau bisa berada di tempat sampah seperti ini." Lalu wanita itu menyamakan tingginya dengan bocah yang ia panggil Aksara dan menatapnya kasihan. "Kau benar-benar menyedihkan. Ibumu yang gila itu sudah mati! Lalu apa kau juga sudah gila menyebut wanita rendahan itu Ibu?" Tanyanya disertai seringaian keji.
Bibir Aksara tertekuk, dada kecilnya tak cukupl menampung amarah yang membuncah. Ia berteriak,"Ibuku tidak gila!! Ibuku tidak gila! Bibi Jahat! Bibi seperti Iblis!"
Di pinggir jalan suara keributan kecil tersebut mengusik anak berseragam SMA yang sedang mendengarkan musik klasik di mobilnya. Dari kaca ia sempat melihat seorang anak kecil yang menangisi mayat seorang wanita, satu lagi sedang ditahan pengawalnya. Sementara wanita di sana yang tak lain adalah Ibu kandungnya tampak tertawa seperti iblis. Bibirnya tersungging tipis betapa ibunya itu sangat kejam namun itu benar-benar mengaggumkan. Ia belajar banyak dari wanita tangguh tersebut.
Tak lama kemudian ia melihat bocah kecil di sana menggigit salah satu lengan pengawal yang membuatnya terlepas, ia sempat terhibur melihat usaha bocah itu. Lalu secepat mungkin bocah itu berlari menghampiri sang nyonya, tanpa prediksi sebelumnya sang bocah lemah mendorong wanita yang tak lain adalah Clarisa Pramujawati, wanita itu terbelalak kemudian terpeleset dan kehilangan keseimbangan. Akibatnya fatal ia terjengkang dan jatuh terjerembab dalam sumur yang ada di halaman rumah.
"Ibu?!" Melihat Ibunya terjatuh ipod mahal dari tangannya terlepas. Bocah SMA yang bernama Damares Pramujawan itu lantas turun dari mobilnya. Sementara menyadari keadaan semakin rumit Aksara berlari dan menarik tangan gadis kecil yang masih memeluk mayat Ibunya saat kedua pengawal Clarisa sibuk menyelamatkan atasannya, meski dapat dipastikan wanita itu tidak akan selamat karena sumur terlalu dalam.
"Mentari ayo pergi! Cepat kita pergi!" Aksara menarik lengan Mentari.
"Tapi kak..." masih dengan mata yang basah gadis itu terlihat enggan harus meninggalkan ibunya.
Tak mengindahkan rengekan gadis kecil tersebut Aksara tetap menarik tangan kecil Mentari dan berlari menjauh bersamanya melewati jalanan kecil.
Melihat pembunuh Ibunya melarikan diri dengan dada penuh dendam Damares masuk kembali ke dalam mobil mewahnya, kali ini kursi kemudi yang ia duduki. Tanpa lisensi berkendara ia menstarter mobilnya, menginjak gas dengan kemampuan berkendara yang masih minim.
Mobil berjalan tidak normal, dengan gas yang tersendat dan beberapa kali setir susah dikendalikan dan mengakibatkan ia menabrak pinggiran jalan, tempat sampah berhamburan, pohon kecil roboh. Namun tak menyurutkan niatnya untuk membalas bocah itu.
Di perempatan jalan ia melihat targetnya, kedua bocah berlari kecil sambil bergandengan tangah di pinggiran jalan dan mulai kelelahan.
Dengan penuh kemenangan ia menginjak gas berniat menabrak keduanya sekaligus, namun gadis kecil berdaster putih tersebut sampat melihat ke belakang. Matanya terbelakak ketika melihat mobil melaju ke arah mereka. Reflek ia mendorong Aksara ke pinggir jalan agar bocah itu selamat.
'BRAAAKK!!! TIIIIINNNNN...'
Mobil telah berhasil menabrak satu tubuh kecil dan kehilangan arah menabrak pohon membuatnya terhenti paksa. Aksara selamat namun tidak dengan gadis itu. Mentari tergeletak bersimbah darah di pinggir jalan.
Tubuh kecil Aksara tak dapat bergerak menyaksikan gadis berbaju putih lusuh yang kini bermandikan darah sedang menatapnya, menggerakan tangannya seolah meminta pertolongan, napasnya tersendat-sendat dan sesekali terbatuk disertai darah keluar dari mulut kecilnya.
Aksara menangis tanpa suara, ia menyeret tubuhnya untuk menggapai mentari. Namun tiba-tiba tubuhnya terangkat oleh orang dewasa yang ia kenali sebagai pengawal pribadi Ayahnya.
"Kita pergi tuan muda, ini sudah bukan urusan anda lagi."
"TIDAK! MENTARI!! MENTARI!! AKU SUDAH BERJANJI MELINDUNGINYA! TOLONG LEPASKAN AKU! KUMOHON TOLONG DIA!" Aksara barulah bisa menagis. Sungguh ia merasa sangat bersalah, namun tubuhnya tertawan lalu dibawa cepat-cepat meninggalkan mentari yang sedang sekarat. Perlahan namun pasti gadis malang itu menutup matanya bersamaan dengan Aksara yang memasuki mobil. Dan ketika pintu di tutup dengan kasar saat itu pula terakhir kalinya ia melihat Mentari.
'BLAM!!"
"Cih! Aku pikir kau sudah mati karena rasa bersalahmu pada gadis malang itu." Ucap Damares mengejek.
"Mati?" Aksara mengangkat salah satu alisnya. "Setelah semua yang telah terjadi kau masih berpikir aku bisa mati semudah itu?"
"Kalau aku jadi kau, aku pasti memilih mengakhiri hidupku. Kau tidak bisa melindungi siapapun, pacarmu mati karena kau! Bahkan Ibumu yang gila i-"
"TUTUP MULUTMU BRENGSEK!!"
'BUAGH!'
Hantaman keras mendarat mulus di pipi Damares hingga membuat pemuda itu sedikit limbung namun tak sampai jatuh. Mendengar Damares menyebut Ibunya membuatnya begitu marah.
"Ck! Cih!" Pria itu hanya mengusap pipi yang terasa panas dan melempar tatapan remeh. Damares bisa saja membalas dan mungkin bukan hal sulit mengalahkan Aksara, mengingat ia adalah pemegang sabuk hitam. Namun citranya sebagai kalangan elit tak mungkin ia jatuhkan di sini. Lagipula orang-orang sepertinya lebih suka menggunakan otak daripada harus mengotori tangan mereka sendiri dengan hal-hal murahan seperti ini.
"Apa ini cukup untuk membalas sakitmu?" Tanya Damares. "Haaah... betapa murahnya." Ia memprovokasi, seolah sengaja mengobarkan api amarah Aksara.
Dan benar saja. Mendengarnya Aksara menjadi benar-benar marah, tangannya terkepal dan pukulan kedua hampir saja kembali didaratkan.
Namun seseorang menghentikannya. "BERHENTI AKSARA!!" Kepalan tertahan di udara. Sesosok siswa lain datang dari arah kantin menghentikan bersamaan dengan sedikitnya tiga orang.
Flyyn Hendriarto, teman satu angkatan sekaligus teman baik Aksara. "Aku tidak tau apa masalah kalian, tapi aku hanya mengingatkan ini adalah universitas. Siapapun yang menang kalian hanya sedang mencoreng nama keluarga kalian sendiri."
"Cih!" Bahkan Aksara tidak peduli dengan keluarganya. Namun ia punya rencana yang lebih menarik daripada memukuli pria tersebut.
"Aksara, ada yang ingin aku bicarakan. Dan kau!" Flyyn mengalihkan tatapannya pada Damares. "Sebagai orang yang lebih dewasa seharusnya kau malu mencari masalah dengan kami. Pergilah." Perintahnya tanpa rasa hormat sedikitpun.
Merasa cukup Damares tersenyum sinis. "Well...aku hanya bosan dan sedang ingin bermain saja. Tapi baik lah, aku pergi." Tidak menunggu lama ia pun pergi dengan angkuhnya. Namun saat melewati Aksara ia sempat berkata, "Jagan pernah ganggu Lunar. Aku sudah memperingatkanmu."
BROKEN JADE | SHIBUYA
Waktu menunjukan pukul 7.20 saat Lunar berdiri di depan cermin mematut diri memeriksa kelengkapannya sebelum frehsman Orientation dimulai sepuluh menit lagi. Ia sudah siap dengan dress pink kesukaannya dipadu jaket maba berwarna biru, tag name besar yang dikalungkan di lehernya, dan juga beberapa perlengkapan lain sesuai apa yang dituliskan Thomas. Lunar berharap tidak ada yang terlewat mengingat minggu lalu ia tidak menghadiri sendiri Technical meeting karena kesalahan jadwal keberangkatannya dari Jepang.
Setelah memastikan semua lengkap Lunar menambahkan sentuhan terakhir pada penampilannya, jepit berbentuk cherry yang ia jepitkan pada poni samping lalu kesan imut pun otomatis terpancar dari wajahnya.
Ia tersenyum lalu meninggalkan kamar dan menguncinya. Tanpa disangka di depan kamar Lunar berjumpa dengan seorang gadis yang sepertinya tinggal di depannya, gadis itu juga sama dengannya-nampak baru saja mengunci pintu.
"Hai?" Sapa gadis cantik itu ramah saat melihat Lunar. Gadis berambut panjang berpenampilan fashionable dengan kemeja kuning berpotongan rendah memperlihatkan sebagian dadanya yang besar, dipadukan dengan jeans putih. Matanya besar berbinar dengan bulu tebal dan lentik, bibirnya diberi pulasan ombre dengan kesan merah darah di bagian tengah. Ia tampak begitu cantik mempesona seperti seorang idol.
"Se-selamat pagi." Lunar membalas canggung. Dalam hati ia mengagumi kecantikan gadis itu namun ia kurang suka caranya berpakaian. Mengkesampingkan hal tersebut Lunar bisa melihat sepertinya dia adalah gadis yang baik.
"Ah kupikir akulah yang paling terlambat. Apa kau tinggal di kamar ini?" Tanyanya, menunjuk pintu di belakang Lunar.
Lunar mengangguk. "I-iya."
"Dan kupikir kita satu jurusan? Management bisnis, benar?" Tebak gadis itu melihat jaket Lunar yang sama seperti yang sedang ia pakai. Lagi-lagi Lunar hanya mengangguk. "Perkenalkan namaku Merry." Gadis cantik itu mengulurkan tangan berkuteks merahnya. Sementara Lunar canggung membalas.
"Lunar."
"Ah nama yang indah. Aku harap kita bisa berteman." Sekilas gadis itu melihat jam yang melingkar di pergelangannya, "Oh ya! sebaiknya kita bergegas dan segera bertemu dengan yang lain. Kita bisa terlambat." Ajaknya tak ingin berlama-lama. Lunar setuju karena waktu memang telah menunjukan pukul 7.40 dan mereka pun memutuskan untuk lanjut berkenalan sambil berjalan.
"Tapi sebelumnya aku belum pernah melihatmu, kapan kau tiba?" Tanya Merry saat mereka berada di dalam lift.
"Aku baru tiba kemarin." Jawabnya. "Ada sedikit kesalahan jadi aku terlambat datang. Em...apa keperluanku sudah lengkap?" Kemudian ia gantian bertanya.
Merry memindai penampilan Lunar dari atas sampai bawah kemudian mengangguk."Hmm...Aku rasa sudah cukup lengkap." Ia menyatukan telunjuk dan jempolnya membentuk simbol oke. Lunar hanya tersenyum kemudian lift terbuka.
Setelah beberapa saat mereka memasuki auditorium yang sudah dipenuhi mahasiswa baru. Sementara Lunar sibuk mencari tempat duduk dan menyapa sesama peserta orientasi dengan Merry. Tanpa disadari sepasang obsidian sedang menatapnya lekat. Aksara Tanumihardja sebagai salah satu senior pendamping, berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. Padahal ia malas melakukan hal yang menurutnya hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh ini. Tapi melihat salah satu peserta orientasi adalah adik kesayangan Damares Pramujawan ia menjadi bersemangat.
"Apakah semuanya sudah dapat tempat duduk?" Tanya salah satu senior perempuan sebagai pembicara melalui microphonenya, yang serentak dijawab 'sudah' oleh peserta orientasi. "Baiklah kita akan mengambil nomor untuk menentukan-"
"Apa yang kau lihat? Tertarik ikan segar? Ha?" Dilatar belakangi rekannya yang sedang berbicara dengan mahasiswa baru Flyyn menyikut lengan Aksara. Ia ikuti arah pandang Aksara dan menemukan objek yang membuat pemuda yang tak terlalu tertarik wanita itu menatap. "Wah, tidak kusangka seleramu unik." Komentar Flyyn melihat Lunar yang tampak imut dan polos. "Crunchy."
Aksara mendegus. "Dia menarik bukan karena dia wanita. Dia menarik karena dia Pramujawan."
"Apa?" Flyyn menoleh tak percaya sebelum kembali menatap gadis yang kini tertawa pelan bersama gadis di sebelahnya. "Jadi dia gadis yang kau ceritakan itu? Wah...wah...wah, apa kau sudah punya rencana bagus untuk menyambutnya?" Mendengar pertanyaan Flyyn, tanpa menjawab bibir Aksara terangkat tipis.
Sementara itu beberapa gadis di samping Lunar sibuk berbisik, "Aaa...tampannya, lihat senior itu."
"Iyaaa...tampan dan tinggi, pria seperti itu tipe idealku." Jawab yang tak lain menatap Aksara penuh tatapan kagum.
"Pria di sampingnya juga tidak kalah keren, bibirnya tebal. Uuuh sexy!" Balas satunya tak mau kalah melihat betapa tampannya Flyyn.
"Aku berharap dia akan mendampingi tim kita! Aw!"
Mendengar pujian-pujian yang terkesan berlebihan tak ayal membuat rasa penasaran Lunar tergerak, ia pun mengalihkan pandangan di mana pemuda yang jadi gosip hangat itu berada. Saat menemukan pemuda yang kemarin sempat beradu padangan sengit dengan kakaknya ternyata tengah menatap, Lunar mengerjap mengalihkan pandangannya ke depan kelas.
Jantungnya hampir meloncat keluar tak menyangka pemuda yang sedang dibicarakan kedua gadis ini ternyata pria kasar yang sangat ingin dijauhinya. Lunar berpikir gadis-gadis ini akan langsung mati jika saja tau betapa buruknya tabiat pria yang mereka puja tersebut. Dan sekarang ia berharap orang itu tidak menjadi senior pendamping grupnya.
"Lunar? Aku dapat nomor 5."
"Eh?" Suara nyaring Merry mengagetkan Lunar. Ia buru-buru membuka kertas undian di tangannya. "Ah-aku juga 5." Senyumnya lega melihat ada seseorang yang ia kenal. Meski baru dalam hitungan menit sepertinya Merry adalah teman yang cocok untuknya yang tidak pandai bergaul. Gadis berambut panjang itu ramah dan ceria berbanding terbalik dengannya.
"Jika kalian sudah mendapatkan nomor silahkan ke depan dan berkumpul sesuai angka yang kalian dapatkan." Suara microphone kembali terdengar. Mendadak ruangan menjadi gaduh karena peserta orientasi saling mencari anggotanya.
Tak jarang ada yang bersorak ketika menemukan kenalan lama dalam satu tim, ada pula yang belum saling mengenal kemudian berjabat tangan memulai perkenalan dengan canggung, tak sedikit juga yang langsung terlihat cocok dengan teman baru mereka. Sedangkan Lunar hanya mengekor di belakang Merry sementara gadis penuh energi itu sibuk bertanya sana-sani pada orang lain apakah mereka tim 5.
"Hei, kau mencari tim lima?" Sebuah tepukan di pundak membuat Merry menoleh, seorang laki-laki ternyata. Merry mengangguk. "Kurasa di sebelah sana," pemuda itu menunjuk arah di mana Merry membelakangi.
Mengikuti petunjuk pemuda tersebut Merry melihat ada sekitar 5 peserta orientasi sudah berkumpul, tiga laki-laki dan satu senior pendamping itu artinya mereka berdua anggota wanitanya. "Ah baiklah terima kasih banyak." Ucapnya ramah kemudian mengajak Lunar untuk segera bergabung dengan yang lain.
Ketika semakin dekat dengan timnya perasaan Lunar menjadi tidak enak, dadanya mendadak berdegub keras tatkala melihat sesosok tubuh yang sedikit familiar berjaket senior membelakangi mereka. Ia memelankan langkah, menggenggam erat tas selempang miliknya menyiapkan mental untuk bertemu orang itu. Sementara Merry sudah lebih dulu menyapa dan berbaur dengan mereka.
"Hei kemarilah." Merry melambai memanggil Lunar. Hal itu otomatis membuat semua orang yang berada di sana melihat ke Lunar. Termasuk senior yang Lunar tak ingin temui.
Namun Lunar bisa bernapas lega, dugaannya lebur saat melihat orang itu bukanlah Aksara Tanumihardja, seseorang yang ia maksud melainkan Flyyn Hendriarto. Ia pun tersenyun berjalan ke arah mereka, lalu membungkuk memberi salam pada teman-teman barunya.
Kegiatan hari itu sebenarnya tidaklah cukup berat, hanya saling berkenalan dan mengakrabkan diri dengan para senior, dosen beserta staff, kemudian berkeliling universitas untuk mengenalkan kelas-kelas yang akan mereka tempati. Meski begitu mungkin sebagian besar akan mengeluh karena berkeliling universitas sebesar ini menghabiskan waktu sekitar satu jam, ini mirip perjalanan ke taman rekreasi.
Dan sesuai jadwal, pukul 12 siang adalah waktu istirahat. Sementara grup dibubarkan untuk membiarkan peserta orientasi beristirahat, makan siang, beribadah atau melakukan hal lain di luar kegiatan orientasi.
BROKEN JADE | SHIBUYA
Di dalam toilet Lunar baru saja selesai mencuci wajahnya agar kembali segar setelah melakukan kegiatan di luar. Di depan cermin ia memastikan semua oke, wajah segar, bersih tak perlu ada yang dikhawatirkan.
Merasa cukup Lunar bergegas pergi keluar. Tak disangka di pintu utama ia malah berpapasan dengan pria yang bertabrakan dengannya kemarin. Lunar terkejut, ia hanya menunduk guna menghindari tatapan pemuda tersebut. Mengira orang itu akan berbelok ke toilet pria, Lunar kembali dikejutkan saat tiba-tiba ia menabrak sesuatu.
'Brukh'
Sesuatu yang bidang dan hangat, bahkan ia bisa mencium aroma khas akar manis dari sana. Perasaan dia sudah berusaha menghindar tapi masih menabrak. Lunar berpikir orang itu sengaja menghalanginya.
Perasaannya menjadi cemas, sedetik kemudian ketika menjauhkan wajah darinya Lunar menemukan sebuah nama yang sangat jelas bisa ia baca, 'Aksara Tanumihardja'.
Sadar di depannya adalah dada seorang pria yang ingin ia jauhiLunar mendorong kasar, alih-alih menjauh pinggangnya yang ramping sudah terlebih dulu terjebak dalam pelukan sepasang tangan kokoh milik Aksara.
"Le-lepaskan." Sedikit mendongak ia tatap wajah tampan Aksara dengan tatapan memohon, kedua tangannya memberi jarak antara dada mereka.
Aksara menyeringai sinis tanpa mengalihkan atensinya pada Lunar, malah ia sengaja mendorong tubuh mungil itu ke tembok hingga si empunya meringis kesakitan. Ia meletakan salah satu telapaknya ke dinding di samping kepala Lunar, mendekatkan wajahnya hingga Lunar bisa mencium napas beraroma mint segar dari Aksara. "Lunar Pramujawan? Melihatmu sepertinya kau dan Kakakmu hidup dengan baik?" Lunar melengos menghindari Aksara, tanpa menjawab.
Detik berikutnya Aksara menangkup kasar kedua pipi Lunar dengan satu tangan agar ia sudi menatapnya, membuat tulang rahang Lunar terasa ngilu. "Kau lumayan membuatku tertarik, bagaimana kalau..." ia memutus kalimat, sedangkan tangan satunya bergerak menangkup dada mungil Lunar lalu meremasnya kuat sambil berkata, "Biarkan aku sedikit bersenang-senang dengan Adik Damares ini? Apa dia akan marah?"
Lunar reflek berontak. "Le-pas!!"
"Tidak akan!" Setelah mengatakannya sigap Aksara mengunci kedua tangan Lunar ke tembok samping kepalanya, disusul ciuman kasar pada bibir lembut beraroma leci segar milik Lunar. Lunar mulai menangis, berkali-kali menggelengkan kepala menghindar namun berkali-kali pula Aksara mendapatkannya. Tak segan pemuda itu menggigit bibir Lunar, menjilatnya gemas bahkan sekarang mulai memasukkan lidahnya ke dalam mulut Lunar secara paksa.
"Uuugghm..."
Sedangkan Lunar seperti melakukan gerakan penolakan yang sia-sia, apalagi saat Aksara mulai mendorong tubuhnya menghimpit tubuh kecil Lunar yang lemah, bahkan ia bisa merasakan sesuatu milik Aksara mengganjal perutnya, dan Aksara sengaja menggeseknya.
"Nggh..." kali ini ia berhasil menghindari bibir Aksara dengan menoleh ke samping, tapi itu malah membuat pemuda itu beralih pada lehernya yang mulus.
"Lepas!" Teriaknya sekali lagi. Percuma sekarang Aksara telah menginvasi lehernya, jilatan kasar dan hisapan kuat bertubi-tubi ia layangkan hingga membuat bercak-bercak merah menodai kulit putihnya. Sesekali lengkuhan Lunar keluar tanpa sengaja karna perlakuan Aksara membuat pemuda itu tertawa dalam hati.
'Drrrt...drrt..drrt...'
"Ck!" Getaran ponsel di saku celana Aksara membuat pemuda berdecak kesal melepaskan cengkramannya. Kesempatan itu Lunar gunakan untuk kabur, tapi sayang Aksara bisa menahannya dengan satu tangan, satu lagi ia gunakan untuk memeriksa ponselnya.
Setelah membaca pesan sekilas dan memasukannya kembali ke saku, perhatian Akasara kembali ke Lunar yang masih ketakutan. "Kenapa begitu takut? Padahal aku hanya mencoba sedikit-" ia dekatkan lagi wajahnya pada Lunar, "Aku akan melakukannya lebih dari ini, jadi persiapkan dirimu." Setelah mengatakannya Aksara tersenyum menang lalu pergi meninggalkan Lunar yang menangis memegangi dadanya yang berdegub-degub keras.
BROKEN JADE | SHIBUYA
Embusan angin Ac beraroma Sakura menerpa lembut tubuh berbalut daster putih yang terbaring menyamping di kasur berukuran sedang. Pelecehan yang dilakukan oleh seniornya membuat Lunar memutuskan kembali ke kamar dan ijin dari kegiatan orientasinya. Saat ditanya oleh Merry dan yang lain ia beralasan sedikit pusing dan tidak enak badan.
Dan setelah seharian menangis tanpa makan ia membuka mata yang masih sembab, bahkan air mata di bantal yang ia pakai masih sedikit basah. Akibatnya sekarang perutnya berbunyi menagih untuk segera diisi.
Jam menunjukkan jarum di angka 21.05. Lunar segera turun dari tempat tidurnya yang nyaman berniat pergi ke dapur asrama untuk sekedar membuat mie instan sebagai pengganjal perut.
Namun saat menarik knop pintu kamarnya ia urungkan niat saat melihat Merry membukakan pintu untuk seseorang, namun begitu mereka bertemu langsung berciuman dengan panas di depan kamar. Lunar mengenal lelaki itu sebagai Flyyn senior pendamping grup mereka.
Mata Lunar hampir melompat keluar saat Merry membiarkan dasternya dibuka lalu dibuang ke dalam kamar oleh Flyyn, yang membuat tubuh tanpa dalamannya terekspos begitu saja. Sekejap kemudian senior berbadan sexy tersebut melumat dada jumbo Merry dengan lahap. Sedangkan Merry hanya mendesah-desah menikmati sambil menjambak kepala Flyyn melampiaskan perasaannya.
Tak hanya itu, tangan kanan Flyyn bergerak menggesek kewanitaan Merry yang sengaja ia lebarkan. Lunar tidak tahu pasti apa yang sedang jemari panjang Flyyn lakukan di sana, ia hanya bisa melihat Merry semakin menggeliat sambil terus mendesah-desah dengan seksinya.
Beruntung hal tersebut tak berlangsung lama. Lunar yang mematung bisa sedikit lega saat Flyyn mendorong tubuh Merry memasuki kamar lalu menutup pintu tanpa melepaskan mulutnya dari area sensitif Merry.
Dipenuhi perasaan yang campur aduk Lunar meneruskan niat memanjakan perutnya, di perjalanan ia berpikir bagaimana senior Flyyn bisa masuk ke dalam asrama perempuan? Bukankah itu terlarang dan melanggar aturan? Ada hukuman berat menanti jikalau sampai ketahuan, dari denda puluhan juta sampai ditendang dari universitas. Apalagi Merry adalah mahasiswa baru, betapa nyalinya cukup besar untuk melakukan itu.
Sibuk dengan pikirannya tentang Merry, Lunar telah sampai di dapur. Namun saat menyentuh gagang pintu dapur lagi-lagi ia harus mengurungkan niat untuk membuka pintu lebar saat melihat ketiga seniornya sedang bercinta dengan liar.
Ia menutup mulut rapat dengan telapaknya melihat senior wanita yang tak ia kenal sedang menungging di lantai mengoral kemaluan senior laki-laki yang duduk di kursi dekat wastafel. Sementara satunya sedang melakukan penetrasi secara brutal di dalam kemaluan si wanita.
"Ssshh...fuck! Bodoh! Lebih keras lagi!" Ceracau wanita itu tak melepaskan kejantanan yang sedang ia jilati.
Mendengar perintah itu si pejantan seperti mendapat cambukan semangat, ia memaju mundurkan tubuh kurusnya memompa wanita liar tersebut penuh semangat. "Jalang sialan! Apa ini belum cukup untuk lubangmu yang kotor ini? Ha?!" Tangannya meremas buah dada yang menggantung bebas, memilin puting tebalnya membuat si empunya menjerit nikmat.
"Hei kau harus tetap fokus di sini." Protes lelaki satunya tak terima miliknya dilepaskan. Sementara si wanita segera melanjutkan hisapan-hisapan panjangnya. Suara kecipak antara penyatuan kedua kelamin sekaligus suara lidah yang mengoral penis memenuhi pendengaran Lunar yang mematung dengan bulu meremang.
Tak mau berlama-lama tanpa pikir panjang Lunar berbalik, ia memilih kembali ke kamar mengurungkan segala keinginannya untuk makan. Mendadak ia kenyang.
Lunar tak habis pikir atas kegilaan ini, apa yang mereka lakukan? Bukankah masih masuk akal jika mereka melakukannya di kamar seperti Merry? Bukankah dapur juga dilengkapi kamera pengintai? Bagaimana kalau mereka ketahuan?
Lunar bisa gila, bahkan saat kembali ia sempat berpapasan dengan seorang laki-laki yang baru saja keluar dari kamar salah satu mahasiswi. Saat melihat Lunar mahasiswi yang bersembunyi di balik pintu tersebut hanya tersenyum sambil meletakan telunjuknya di bibir memberi kode Lunar agar merahasiakan temuannya.
BROKEN JADE | SHIBUYA
Kilatan lampu pesta, suara musik menggema, dan panggung mewah menampilkan pertunjukan seni bahkan buket makanan lezat terhampar di meja-meja. Aula telah disulap menjadi tempat pesta penyambutan mahasiswa angkatan baru yang telah dimulai beberapa jam yang lalu.
Wajah-wajah antusias berbalut baju mewah tampak memenuhi ruangan menikmati pesta.
A-line dress dengan turtle neck berbahan lace super lembut berwarna peach menjadi pilihan Lunar pada pesta malam ini. Make up natural dan rambut pendeknya dibiarkan tanpa asesoris, salah satu sisinya hanya diselipkan di telinga memperlihatkan anting sederhana nan elegan. Berkumpul bersama dengan grupnya, salah satu tangan memegang gelas berisi wine merah sambil sesekali melempar senyum, kesan lembut tak pernah hilang dari Lunar yang tampak seperti puteri para dewi.
"Bagaimana ini? Aku sangat gugup!" Celetuk Merry yang malam itu mengenakan long dress putih nampak anggun meski tak menghilangkan aura seksi. Ia sedikit stress mengingat ia akan tampil menyanyi bersama Lunar yang bermain piano mewakili grupnya.
"Tenang saja aku yakin tim kita berhasil dan menang." Jawab salah satu dari mereka.
"Benar Merry siapa yang bisa menolak pesonamu dan Lunar?" Yang lainnya menimpali. Lunar hanya tersenyum mendengar mereka.
"Ah aku tidak yakin...yah meski aku berharap akan memenangkan pentas ini. Dan berkencan dengan para senior!!" Soraknya genit.
Mendengarnya Lunar mengernyit. "Eh...kencan dengan senior?"
Merry mengangguk, "Kau tidak tahu ya? Jadi sudah tradisi jika mahasiswa baru memenangkan pentas penyambutan dia akan mendapat hak keistimewaan selama satu bulan."
"Benarkah?"
"Benar. Jika menang bebas memilih senior mana yang akan kau kencani, bebas meminta traktir makanan, berjalan-jalan dan mereka semua yang akan mentraktir!" Jelas Merry antusias.
Lunar tersenyum canggung, "Mmm...sepertinya menyenangkan." Itu terdengar aneh sebenarnya untuk Lunar mengingat ia tidak terlalu suka hal yang berbau foya-foya, tapi demi menjaga perasaan teman-temannya ia harus pura-pura senang juga.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Me-merry kalau kau kencan dengan senior lain bagaimana dengan senior Flyyn? Apa-eh ma-maksudku..." ah betapa bodohnya Lunar, bahkan Merry belum pernah menceritakan hubunganya dengan pemuda bernama Flyyn tersebut. Ia tidak mau disebut pengintip.
Bukan respon kaget atau marah, Merry malah tertawa terbahak. "Jadi Lunar melihatku ya?"
"Ma-maaf aku tidak sengaja."
"Tidak masalah. Aku dan Flyyn tidak terlalu memikirkan hal itu. Kami hanya bersenang-senang." Jawab Merry santai memeluk Flyyn tanpa malu. "Bukan begitu senior?" Tanyanya manja.
"Selagi kau masih muda jangan biarkan dirimu hanya terpaku hanya pada satu pria, nikmatilah masa mudamu." Flyyn dengan santai pula menjawab sambil mengecup bibir Merry
"Yohooo!! Aku setuju sekali!" Teriak salah satu dari mereka.
Sementara Lunar hanya tersenyum canggung tidak bisa menerima kegilaan ini. Sungguh ia sangat tidak cocok dengan jalan hidup mereka, namun selagi itu tidak membahayakannya Lunar masih bisa bertahan.
"Oh iya, Lunar jika kita menang senior siapa yang akan kau kencani?" Tiba-tiba Merry bertanya genit. Lunar mengerjap.
"Eeh... aku, aku belum memutuskan. Lagipula kakakku tidak mengijinkanku berkencan."
Merry yang mendengarnya mengibaskan tangan."Aaah...kuno sekali, asal berkencan di asrama saja tidak akan ketahuan kan?"
"Eh...itukan tidak boleh. La-lagipula aku penasaran bagaimana bisa laki-laki masuk ke dalam asrama?" Tanya Lunar polos.
Kali ini Merry mendekatkan bibir merahya ke telinga Lunar sedikit berbisik. "Kau benar-benar tidak tau ya? Bukan rahasia besar jika kepala asrama wanita penyuka uang? Flyyn hanya memberinya beberapa lembar ratusan ribu dan dia pun membiarkannya masuk."
"Aaah..." Lunar mengangguk paham. Akhirnya ia tahu bagaimana para lelaki itu bebas masuk ke asrama perempuan.
"Kenapa kau tanya? Apa kau berniat memasukan siswa laki-laki ke kamarmu?" Goda Merry, langsung saja membuat Lunar mengelak. "Ahahaha... aku hanya bercanda."
"Hei sudah bercandanya sebentar lagi giliran kalian.! Tegur Flyyn membuat Lunar dan Merry menatap panggung, dan benar saja itu grup 4 yang hampir menyelesaikan pentas dramanya.
"Baiklah kami akan bersiap-siap. Ayo Lunar."
Tak lama giliran Lunar dan Merry untuk naik ke panggung, riuh tepuk tangan memenuhi ruangan seolah artis besar sedang melakukan konser. Memang sejak awal Merry sudah menjadi wajah bagi mahasiswa baru. Ia menjadi idola di kalangan senior maupun teman angkatannya. Dada dan pinggulnya yang besar serta mata bulat sempurna menjadi nilai plus untuknya. Apalagi aura sexy nan menggoda selalu terpancar darinya.
Tuts piano mulai ditekan pelan, satu persatu nada lembut mengalun membentuk intro yang hampir semua tau. Lagu 'When youre gone.' Dari Avril lavigne dipilih Merry dan Lunar untuk pementasan. Suara sorakan kembali riuh tatkala sang penyanyi utama memulai mengalunkan lirik pertamanya. Tak ada kesulitan berarti untuk keduanya. Dalam pentas itu Merry dan Lunar menjadi sebuah kesatuan yang membentuk satu keharmonisan.
Seolah semua terhipnotis tak sadar lagu telah habis sampai akhir, saat benar-benar musik berhenti tiada tepuk tangan, hening, semua hanya menatap keduanya kagum membuat Lunar dan Merry sedikit khawatir penampilannya tidak disukai.
'Clap'
'Clap'
'Clap'
'Clap clap clap...' Ditengah keheningan sebuah tepuk tangan tunggal berasal dari sesosok pemuda bermata kelam yang berada di tengah penonton mencuri perhatian, dan karenanya seolah seluruh audience tersadar barulah bertepuk tangan. Sontak sorakan riuh membahana ditunjukkan kepada grup 5.
Di atas panggung Merry terlihat lega, berlonjak kemudian berdadah ria bagai seorang bintang, sedangkan Lunar hanya tersenyum sambil mencuri pandang pada pemuda yang kemarin telah membuatnya menangis tersebut. Tatapan mereka kembali bertemu, dan lagi-lagi Lunar hanya mampu menghindar.
"Huaaa apakah kita sudah dapat pemenangnya?" Sambut gembira salah satu anggota grup 5 saat Lunar dan Merry turun dari panggung.
"Sepertinya begitu..." jawab Merry percaya diri. "Baiklah sambil menunggu yang lain, mari kita berpestaaaaa!!! Yeeaaahh!!" Jeritnya bahagia mengangkat tangan ke atas memamerkan arm pit yang mulus bersih. Ia berlari ke tengah lantai dansa diikuti yang lain.
Grup 5 dan yang lain kembali menikmati berpesta, menari mengikuti musik sambil bercengkrama. Tak lupa beberapa wine dengan kadar alkohol tinggi yang berhasil senior mereka selundupkan mereka nikmati bersama-sama.
"Ayolah Lunar satu gelas lagi," bujuk Merry menawarkan satu gelas wine berwarna merah di depan wajahnya.
Lunar menggeleng, pipinya bersemu merah menandakan dia sudah sedikit mabuk. "Cukup Merry, aku tidak kuat minum." Tangannya menepis membuat tim 5 mengeluh kecewa dan mengatakan Lunar payah. Gadis manis itu hanya tersenyum melihat ekspresi kekecewaan teman-temannya. Ia memang bukan peminum yang hebat, kegiatan minum-minum yang ia lakukan selama ini hanya untuk menghormati tamu-tamu Damares. Tentu saja ia tidak mau merepotkan kalau sampai benar-benar mabuk.
"Yuhuuu... apakah kalian masih bersemangat??" Teriakan berasal dari atas panggung membuat semua orang mengalihkan atensinya pada sesosok wanita bergaun merah yang kini berdiri di atas panggung membawa kertas hasil penjurian. "Baiklah...akhirnya sampai pada puncak acara di mana saya akan mengumumkan juara pentas pada malam hari ini."
"Ayo cepat umumkan!" Teriak penonton tak sabar.
"Iya ayo cepatlah."
"Baik...juara ketiga di raih oleh tim 9 dengan tema dance modern!" Suara riuh memenuhi ruangan. "Juara kedua diraih oleh tim 2 dengan stand up comedy. Tepuk tangan untuk tim 2."
Prok...prok...
"Daaaan....juara pertama sekaligus Raja dan Ratu kita malam hari ini adalah...." suara musik genderang diputar seolah membiarkan peserta berdegup-degup ria menanti keputusan. Sementara Merry bersiap-siap memeluk Lunar erat dengan kedua tangan yang sudah melingkar di bahu Lunar.
"Tiiiiiimmmm.... limaaaaaa!!!""
"Yeeeeeaaa!!!" Tim lima bersorak girang. Merry memeluk Lunar erat sampai gadis itu susah bernapas. Sementara ketiga lelaki yang lainnya bertoast gembira membayangkan akan dimanjakan oleh senior-senior cantik selama satu bulan.
Untuk sesaat kehebohan masih terus berlanjut meskipun pesta secara resmi telah dinyatakan selesai. Tak lama para senior menghampiri grup 5 mengucapkan selamat dan berkata tidak usah sungkan pada mereka.
Setelahnya mereka memutuskan untuk pergi bersama minum di luar. Sedangkan Lunar menolak dengan halus, ia mengatakan sudah pusing dan ingin istirahat saja. Awalnya anggota tim 5 tampak kecewa, namun Lunar benar-benar tidak bisa dibujuk dan membuatnya harus tinggal sendirian di aula yang sudah mulai sepi.