Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Balada Sang Perawan

Jika bisa menghabiskan semalam dengan salah satu perempuan di cerita ini, siapakah yang suhu pilih?


  • Total voters
    569
  • Poll closed .
Bimabet
Jangan lupa besok Jumat kita terbit Hu.

Buat yang sudah baca seluruh BAB tulisan ini mungkin bisa berpendapat; setelah sama Nissa, kira-kira persenggamaan Dio yang kedua bakalan dengan siapa?
A. Dengan Nissa lagi,
B. Mama
C. Elma
D. Kak Sasha
E. Aurel
Nissa lagi aja tp tambahin bumbu²nya biar romantis n hot :Peace:
 
Setelah berapa lama menjadi silent reader, akhirnya Ane mencoba membuat akun dan berbagi cerita di sini. Cerita ini masih terinspirasi dengan kehidupan Ane di kisah nyata sehingga Ane tidak akan menampilkan mulustrasi di sini. Biar teman-teman sekalian yang menyesuaikan ilustrasi tertulis Ane dengan imajinasi Agan sekalian. Selain nama Ane dan nama Mama Ane, semua nama di cerita ini tidak Ane ubah sama sekali. Harap bimbingannya apabila masih ada kekurangan dan selamat menikmati.



Indeks:
BAB 1: Hari Satu, Siang; Di Luar Dugaan
BAB 2: Hari Satu, Sore; Pengkhianatan
BAB 3: Hari Satu, Malam; Rasanya Seperti Nyata
BAB 4: Hari Dua, Pagi dan Sore; Begitu Dekat
BAB 5: Hari Tiga, Dini Hari; Lari Pagi di Sawah
BAB 6: Hari Tiga, Sore; Tragedi di Kampus
BAB 7: Hari Tiga, Malam; Berdua Saja
BAB 8: Hari Empat; Perubahan Sikap

Perkenalkan, namaku Dio, 19 tahun asal kota J. Tubuhku tidak tinggi, hanya 166 cm, berkulit agak gelap, dan mengenakan kacamata. Bisa dibilang Aku adalah remaja super biasa yang penampilannya tidak terlalu menonjol. Meski begitu Aku juga tidak sepenuhnya buruk, beberapa orang menyebutku manis dan ya, berbeda dengan kutu buku lain yang biasanya tidak terlalu memerhatikan tubuh, Aku cukup aktif berolahraga. Oleh karena itu pula, badanku cukup berotot walau tidak sampai six pack.



Mungkin karena pergaulan atau apa. Sampai usia 19 saat ini, Aku masihlah virgin. Bukan, bukan dalam artian tidak pernah berhubungan badan dengan perempuan lain saja, lebih dari itu, sampai kuliah sekali pun, Aku tak pernah melakukan masturbasi. Bukan karena tak tahu. Aku sudah beberapa kali menonton film porno, kutu buku yang sering mengubek internet sepertiku tentu sudah tak asing dengan konten 18+. Bahkan bisa dibilang, Aku cukup paham banyak tentang dunia seks. Aku juga sadar kalau Aku menyukai wanita dan sering terangsang dan tegang tiap kali melihat wanita seksi. Namun entah mengapa, penisku selalu terasa ngilu tiap kali Aku mencoba melakukan masturbasi. Alih-alih ejakulasi, yang ada malah merasa nyeri.

Saat ini Aku adalah mahasiswa semester dua di kampus swasta ternama di kota J. Aku tinggal di rumah peninggalan Kakek Nenek bersama keluarga kecilku.



BAB I (Hari Satu, Siang: Di Luar Dugaan)

Elma


"Mau singgah dulu gak ke rumah?" Tanya Harun, satu-satunya teman dekat lelaki yang ku punya di kampus, kepadaku. Aku sedang menumpang di mobilnya saat itu.

"Enggak deh, nanti jauh muternya." jawabku sopan.

"Gapapa sih, sore nanti kita mau sekalian keluar kok," kali ini dibalas oleh Elma, istri Harun yang sedang duduk di kursi depan.

"Boleh deh kalau gitu, sekalian main PS juga," jawabku. Bersamaan dengan itu, mobil pun menuju ke rumah Harun, 15 menit dari kampus.

Oh ya, Harun dan Elma memang adalah sepasang suami istri. Mereka berpacaran sejak SMA, dan baru ketahuan Elma mengandung anak mereka sesaat setelah kelulusan. Akhirnya mereka pun dinikahkan dan memilih untuk gap-year selama setahun selagi menunggu Elma melahirkan. Usia mereka setahun lebih tua dariku. Mereka datang dari sebuah kota di Kalimantan. Begitu anaknya lahir, mereka bertiga pun dipindahkan ke kota ini sekalian berkuliah. Di rumah mereka memiliki babysitter yang merawat Maura, anak mereka tiap pagi saat mereka kuliah. Ya, mereka memang anak orang kaya, Bapak Harun adalah pejabat di daerahnya, sedangkan Bapak Elma ialah pejabat di perusahaan tambang di sana.

Sekilas tentang Harun dan Elma. Harun memiliki kulit putih dan tinggi yang kurang lebih sama sepertiku. Dia cenderung lebih cerewet dibandingkan diriku. Berbeda denganku, dia memiliki banyak teman di kampus. Hanya saja beberapa waktu belakangan Ia lebih senang bermain denganku saja, katanya anak-anak tongkrongannya terlalu sering memorotinya dan bahkan sempat ingin menjadikan rumahnya sebagai basecamp. Sesekali Ia mengantar jemputku ke kampus meski sebenarnya Aku memiliki motor sendiri.

Sedangkan Elma ialah perempuan berjilbab yang cukup modis. Dari luar, tubuhnya terlihat kurus, entah bagaimana aslinya, mengingat baru setahun lebih sejak Ia melahirkan. Payudaranya berukuran sedang, setidaknya masih terlihat timbul dari balik pakaian sopannya. Aku bisa akrab dengannya tentu karena Harun. Aku tak pernah ngobrol banyak dengannya jika tak ada Harun. Padahal bisa dibilang Kita memiliki beberapa kesamaan. Elma dan Aku sama-sama agak pendiam. Dan selain itu Kami juga sama-sama cerdas di kelas. Semester lalu, IP sempurnaku ialah yang tertinggi di kelas, sedangkan Elma ialah pemilik nilai tertinggi kedua dengan IP 3,95. Tingginya sekitar 155 cm.


Setelah tiba di rumah mereka, Aku pun langsung duduk mengambil air putih di dapur. Saking seringnya Aku ke sini, mereka tak lagi memperlakukanku sebagai tamu. Aku pun langsung kembali ke ruang depan untuk menghampiri Harun yang telah menyalakan PS. Elma sudah tak lagi kelihatan, mungkin sedang menjaga Maura yang babysitter-nya baru pulang begitu Kami datang.


"Aku tamatin ini dulu ya Yo?" tanya Harun selagi memilih suatu game.

"Iya, Aku nontonin aja dulu."

Harun pun mulai bermain dan keasyikan. Awalnya Ia masih menimpali obrolanku, namun setelah beberapa kali karakternya mati, Harun semakin seru sendiri dan hanya fokus pada game di depannya. Makin lama menunggu, perlahan mataku terasa agak berat. Wajar, mengingat Aku sudah bangun dari subuh dan sempat jogging sejauh 6 km tadi pagi.


"Kamu ngantuk Yo?" tanyanya, begitu melihatku menguap.

"Iya nih, Aku tidur sini ya?"

"Tidur di kamar Maura aja sana. Ada kasur kok, sekalian bisa nyalain AC. Maura juga lagi di kamarku kok sekarang."

"Aku ga ikutan ngegame dulu ya kalau gitu?"

"Halah santai, Aku juga masih belum bakal tamat kayaknya sampai sore," jawabnya, bersamaan dengan itu Aku pun berjalan menuju kamar Maura.


Aku membuka pintu kamar Maura dalam keadaan mengantuk. Anehnya begitu membuka pintu, dinginnya AC langsung menghujam wajahku. "Bukannya ga ada orang ya?" gumamku. Gumaman yang langsung saja terjawab begitu mataku menatap ke arah kasur di sisi kiri ruangan. Pemandangan yang membuatku terkejut.

Elma, sedang tertidur menyamping bersama Maura. Badannya menyamping ke kiri menghadap Maura, dengan tangan kanan yang terangkat ke atas, tepat di atas kepala anaknya tersebut. Kedua kakinya sedikit melebar membuat celana pendeknya sedikit tersingkap sampai ke pangkal pahanya. Posisi tidur yang seksi. Namun bukan itulah yang membuatku terkejut. Melainkan di tengah tidurnya itu Elma tidak mengenakan baju sama sekali, menampilkan payudaranya yang menjolor ke samping. Lingkaran areolanya nampak besar dan berwarna kecoklatan tua. Terlihat puting payudaranya yang kecil namun tegak benar-benar terekspos. Perutnya nampak sedikit berlemak namun berukuran kecil. Maura dengan damainya terlelap di sebelah Elma. Mungkin Ia sedang menyusui sebelum ketiduran. Entahlah, apa pun itu, ini adalah pertama kalinya Aku melihat payudara. Payudara yang sangat indah, milik seorang wanita dengan wajah yang tak kalah indahnya.

Pada saat yang bersamaan penisku memberontak tak karuan dari balik celanaku. Nafasku mulai tak teratur. Ini ialah kali pertama Aku melihat payudara milik seorang wanita dewasa. Aku bahkan tak pernah melihat payudara Mamaku sepanjang Aku bisa mengingat. Di tengah udara AC yang begitu membekukan, tetes keringat mulai meluncur dari dahiku. Aku yang sudah telanjur menutup pintu sekarang mulai kebingungan. Meski tak berbuat salah sedikit pun, dadaku mulai merasa deg-degan, takut Elma terbangun dan melihatku sedang di sini. Di sisi lain, Aku benar-benar terangsang oleh pemandangan di depanku. Tidak pernah sebelumnya Aku merasa seterangsang ini, samar-samar Aku merasakan perasaan aneh menjuluri seluruh tubuhku, entah gatal? Kebas? Rasanya aneh.

Namun ketakutan tetap mendominasi pikiranku. Aku harus meninggalkan kamar ini. Sambil masih terus menatap Elma, aku melangkah mundur menuju pintu.


"Kekkkk" Oh sialan. Kakiku yang baru berjalan satu langkah mundur menginjak mainan bebek dan membuatnya berbunyi nyaring. Sialnya Aku, suara itu benar-benar membuat Elma terbangun. Tepat di saat yang bersamaan mata Kami saling beradu. Mataku yang sedang ketakutan menatap matanya yang belum sepenuhnya menyatu dengan realita.



"Yo?" ucapnya pelan.

"E---Elma." jawabku grogi.

Di saat bersamaan, Elma mulai menunduk dan menyadari tubuh bagian atasnya yang sedang tak berbusana.

"Ma---maaf El. Aku tadi disuruh Harun tidur di sini karena dikir..."

"Sssttt." jawabnya, menyuruhku untuk diam.

"Jangan sampai Maura bangun, pegal Aku buat dia tidur tadi," ucapnya setengah berbisik.

Aku pun mengangguk. Sepertinya tak ada masalah, Aku pun melangkahkan kakiku lagi bersiap untuk meninggalkan ruangan.

"Yo."

Elma memanggilku lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih dekat. Benar saja, begitu membalik badan, Dia sudah berdiri tepat di hadapanku. Nampak semakin jelaslah payudara Ibu muda di hadapanku ini. Payudaranya yang tadi sedikit menyamping kala berbaring kini nampak menonjol ke depan di hadapanku. Payudaranya masih separuh kencang, juga separuh kendor menunjukkan bahwa Ia masih aktif menyusui. Tubuhnya begitu dekat di hadapanku. Rambutnya yang sebagian berwarna hitam, sebagian dipirang abu-abu tergerai dengan sedikit berantakan. Wajahnya tak menampilkan ekspresi. Dia bahkan jauh lebih cantik dari jarak sedekat ini.

"Jangan keluar, nanti Harun nanyain. Dikiranya nanti ada apa-apa kalau Kamu mendadak ga jadi tidur."

"I---iya El," jawabku pelan. Kini Ia melangkah kembali ke arah kasur sambil menarik lenganku tanpa tenaga. Aku ikut berjalan bersamanya. Ku tatap punggungnya yang tidak ditutupi kain, samar terlihat bulatan payudaranya bergerak naik turun saat Ia melangkah.

Kini Kami berdua duduk di kasur. Ia duduk di sampingku tetap tanpa mengenakan atasan. Sedangkan Aku perlahan sudah bisa mengontrol rasa takutku. Entah hilang ke mana rasa kantukku tadi.


Selamat membaca teman-teman. Besok Bab 2 akan terbit. Terima kasih.
Judulnya perawan, tapi keterangan nya itu cowo, ada kata virgin nya juga🙄
 
Judulnya perawan, tapi keterangan nya itu cowo, ada kata virgin nya juga🙄
Kalau judulnya "Balada Sang Perjaka" siapa yang mau baca Hu? Ga ada menariknya. Lagipula virgin itu terminologi Inggris untuk menggambarkan perawan dan perjaka.


Aurel aja huuu. Lanjut kak Sasha terus Elma. Mama nya terakhir🤣

Mantabs, kayak makan bakso, save the best of all for the last

Kalo menurut perjalanan cerita ane bisa tebak antara Aurel dan Sasha
Hmm pada nebak Aurel ya. Nanti kita buktikan keakuratannya Hu.
Kak Sasha lagi di luar kota Hu, harus nunggu dia pulang dulu. Mama jadi final boss ya berarti?:beer:

Nissa lagi aja tp tambahin bumbu²nya biar romantis n hot :Peace:
Suhu pasti orangnya setia, ga suka gonta ganti pasangan. Nanti kita lihat kelanjutannya Hu.

Elma hu...
Hmm, Elma ini dari bab pertama udah hampir gol sampai sekarang ga kunjung-kunjung tercapai, ikuti terus aja Hu.

ayo suhu kapan update

sdh masuk hr jumat nih, jd penisirin
Malam ya Hu. Terima kasih penantiannya.
 
BAB 9 (Hari Kelima, Sore: Mulai Terang-Terangan)

Pagi ini Aku memanggang enam potong roti. Selain itu, Aku juga menyiapkan tiga cangkir susu panas untuk diriku, Mama, dan Nissa. Ku makan dua potong bagianku lalu kemudian meminum secangkir susu. Hari ini rasa makanan terasa lebih hambar, namun tak apa Aku tetap harus sanggup menjalani hidup dengan normal.

Mama dan Nissa tak kunjung meninggalkan kamar hingga hampir pukul 7 pagi. Meski sudah ku ketuk, tak ada jua jawaban dari kamar mereka. Semoga saja mereka tidak berdekam terlalu lama di sana.

Jujur saja tidurku juga tidak enak. Kepalaku terus dihantui dengan pemandangan yang sama. Aku, Nissa, dan Mama saling menatap dengan pandangan nanar. Pandangan yang menyiratkan kehancuran dalam keluarga Kami. Kehancuran yang bahkan tidak terjadi kala Papa meninggalkan Kami.



Hari ini kuliah berjalan bagaikan kaset pita rusak yang kedua ujungnya begitu kusut hingga tak jelas di mana titik awal maupun titik akhir. Rasanya baru saja meninggalkan rumah, tanpa ku sadari waktu mata kuliah sore telah berakhir begitu saja. Ku tatap ke arah pintu keluar kelas, "Berat sekali rasanya harus pulang ke rumah," batinku.

"Hei Yo, ngelamun aja dari tadi," ucap Harun sambil menjentikkan jarinya berkali-kali di depan mataku.

"E-eh Run," jawabku terbata.

"Oh pasti dia gak dengar nih," ucap Harun sambil tersenyum ke arah Aurel dan Elma. "Mau ikut gak?"

"Ikut ke mana?"

"Rumah mereka, kita mau nonton Hereditary. Katanya plotnya seru," jawab Aurel. Ku lihat ke arah Elma dan Harun, "sejak hubunganku dengan Elma dimulai, Aku belum pernah ke rumah mereka lagi ya?" batinku.

"Gimana, mau ikut?" tanya Elma.

"Udah ga usah ditanya lagi, ayo ikut," timpa Aurel sambil menarik tanganku berdiri. Saking linglungnya akan realita, tubuhku jadi begitu enteng kala ditarik Aurel. Sampai-sampai tubuh bagian depan Kami beradu, membuat jidatnya bertemu dengan bibirku. Kesannya seakan Aku mengecup Aurel meski sebenarnya benturannya agak kencang juga.

"E-eh Rel maaf. Gak sakit kan?" tanyaku sambil memegang jidat Aurel. Tabrakan itu membuat pikiranku yang sedari tadi melamun sepenuhnya sadar.

"Ga-gapapa kok, yuk berangkat," jawab Aurel sambil memalingkan wajah. Ku lihat rona wajahnya memerah. Kami pun berjalan meninggalkan kelas.



"Aku bawa motor, jadi ngikut dari belakang aja," ucapku ke mereka ketika tiba di lapangan parkir.

"Oh yaudah, ketemu di rumah kalau gitu," jawab Harun.

Aku pun berbelok ke arah motorku yang memang dekat dengan tempatku berdiri. Aku duduk di atas jok sembari memasang helm. Masih ada satu lagi helm tergantung di depan jok. Aku lupa menurunkannya dari gantungan tadi pagi karena terburu-buru. "Kabar Nissa gimana ya? Dia masuk sekolah apa tidak?" batinku. Aduh, seharian ini Aku tidak bisa menghapus pikiran tentang Nissa dan Mama dari kepalaku.

Selagi terpaku tiba-tiba saja helm milik Nissa itu ditarik dari samping oleh seseorang.

"E-eh..."

"Eh kenapa? Aku udah ngomong ke Harun sama Elma kalo bakal ikut Kamu," ucap Aurel sambil mengancingkan helm ke kepalanya. "Yuk berangkat!"



"Kamu kenapa nggak naik mobil Rel?" tanyaku di perjalanan.

"Humm, Kamu ga suka ya Aku nebeng?"

"Ng-Nggak kok, kan cuma nanya," jawabku. Aurel tertawa melihat polahku yang gampang sekali dibuat salah tingkah.

"Lagi pengen aja naik motor. Jarang banget naik motor ternyata kemarin seru juga bisa nyalip-nyalip di jalanan hehehe." Dasar orang kaya.

"Ya udah, berarti Aku harus nyalip-nyalip nih?" tanyaku seraya menancap gas lebih kencang. Menyalip mobil Harun yang berjalan di depan Kami lalu menembus jalan raya dengan cekatan.

"Eh Yo, Yo! Aku bercanda doang," teriak Aurel dari belakang. Aku tetap mengabaikannya, motor melaju semakin kencang.

Terpaan angin sore kota menimpa wajahku dengan telak. Puluhan hingga ratusan kendaraan Kami lewati dalam sekejap. Bagai mesin permainan arcade, motor matic-ku meliuk-liuk dengan entengnya. Seluruh adrenalin yang Ku tahan selama lima hari belakangan perlahan terlampiaskan.

"Yo! Udah Yo! Pelan-Pelan aja!" jerit Aurel, sebagian suaranya terbawa angin. Kini kedua tangannya merengkuh perutku erat. Telapak tangannya mencengkeram erat pakaianku seakan tubuhnya bisa melayang jika melepasnya. Namun motor tetapku pacu dengan kencang. Maaf Aurel, berpeganganlah yang erat.



"Apa sih Kamu," ucap Aurel sambil mencubit perutku bertubi-tubi kala Kami tiba di depan rumah Harun.

"Hehehe maaf ya, kan Kamu yang suka kalau nyalip-nyalip."

"Ih sekali lagi Kamu kayak gitu Aku ga mau lagi nebeng Kamu."

"Iya, iya, gak gitu lagi."

"Nah gitu dong, nurut sama Aku."

Kita sudah sampai sejak tadi namun kedua tangan Aurel masih tetap memelukku erat. Ia juga menyandarkan kepalanya di pundakku. Jemarinya tidak lagi mencubitku hanya saling terkait saja di perutku. Ia menempel erat pada tubuhku entah disengaja atau tidak. Aku juga tak kunjung berdiri, ku biarkan tubuh Kami menyatu. Hingga lima menit kemudian mobil Harun pun muncul.



"Udah jadian kalian?" tanya Harun begitu turun dari mobil.

Ucapannya sontak menyadarkan Aurel. Dengan cekatan Ia menarik lengannya yang sebelumnya merangkulku. Aku juga seketika langsung berdiri melangkah dari motor.

"Apaan sih, orang ini baru tiba. Si Dio bawa motornya kayak orang gila tadi, iya kan Yo?" balas Aurel sembari menyikutku.

"I-Iya hehe."

"Tapi emang kencang banget Kamu nyalip mobil kita tadi. Mendadak sakit perut apa gimana nih?" tanya Harun. Aku hanya membalasnya dengan cengengesan saja. Di saat yang bersamaan Elma pun turun dari mobil. Elma hanya menatapku sejenak lalu tanpa mengatakan apa-apa Ia melangkah masuk ke dalam rumah.



Oh ya, saat ini Maura, anak Harun dan Elma sedang dibawa ke rumah Nenek Harun yang terletak sekitar setengah jam dari pusat kota. Karena itu pulalah Harun sengaja mengajak kami untuk mampir ke rumah mereka. Mereka sedang ingin menikmati akhir pekan kali ini tanpa Maura dulu.

Ternyata Kami tidak menonton film di ruang tengah, tempat Aku dan Harun biasa bermain PS. Alih-alih Kami malah diajak untuk masuk ke kamar tidur Harun dan Elma. Tempat di mana seunit televisi 40 inchi telah tergantung di dinding. Kamar mereka ternyata begitu luas, dengan cat putih dan set interior yang berwarna coklat muda, khas kamar modern pada umumnya. Ranjang mereka berhadapan langsung dengan televisi.

Sebelum berkumpul di kamar, beberapa dari Kami telah mengganti pakaian terlebih dahulu. Elma telah terlebih dahulu mengganti pakaiannya dengan kemeja piyama lengan panjang, Ia juga tak lagi mengenakan jilbab, memamerkan rambut yang sebagian berwarna abu-abu. Aurel mengenakan kaos lengan pendek dan juga celana pendek milik Elma menampilkan tubuhnya yang bening. Harun juga sudah mengenakan celana pendek dan kaos biasa. Sedangkan Aku kebetulan sedang menggunakan boxer sebagai dalaman sehingga bisa mencopot celana panjangku. Dengan tetap memakai kemeja, Aku menaiki kasur dengan celana boxerku. Semoga mereka tak sadar jika di balik boxerku ini aku tak mengenakan celana dalam.


Setelah menyiapkan segala snack, Kami pun duduk berbaris di ranjang yang lebar itu. Aku duduk di ujung kanan, di sebelahku ada Aurel, di sebelah kirinya ada Elma, dan Harun duduk di ujung kiri. AC telah dinyalakan ke suhu terdingin, selimut telah dibentangkan lebar menutupi sebagian tubuh kami. Film pun dimulai.

Aku kurang memerhatikan selama awal film berlangsung. Selain karena sudah pernah menonton film ini sebelumnya, juga karena perilaku Aurel yang membuatku susah fokus. Baru lima belas menit film berjalan Ia sudah berkali-kali bereaksi ketakutan. Padahal belum ada setan yang muncul dalam filmnya, Ia terus mencubit lengan kiriku dengan kencang.

"A---ahh kok bisa gitu?" teriak Aurel begitu adegan kepala sang Adik tertabrak tiang listrik sampai putus. Ia meraih lenganku lalu membenamkan kepalanya.

"Husstt, jangan berisik kali Rel! Jadi ga serem nih kalau dengar suaramu terus," balas Harun di seberang.

Aurel memasang muka sewot begitu ditegur. Ia langsung mendekatkan ke kepalaku lalu mulai berbisik.

"Si Harun sensi amat," ucapnya dengan wajah kesal. Aku yang melihatnya seperti itu hanya tertawa kecil.

"Tapi Kamu ga kesal kayak Harun kan Yo?" tanya Aurel. Ia menatapku lekat dengan tatapan memelas.

"Iya gapapa kok," ucapku sambil mengusap kepalanya. "Tapi awas kalau cubit lagi!"

"Jadi kalau Aku takut gimana dong?" tanyanya.

"Begini aja..." jawabku sambil meraih tangan kanannya. Menggenggam telapak tangan Aurel dari balik selimut, membiarkan jemari Kami yang kedinginan bertemu. "Tiap Kamu takut tekan tangan Aku yang kencang," bisikku di telinganya.

"I-iya," ucap Aurel sambil memalingkan wajah.



Film pun terus berjalan. Posisi dudukku dengan Aurel semakin dekat. Kini kedua kaki Kami saling menindih. Berkali-kali Aurel meremas jemariku ketakutan sejak tangan Kami bergenggaman. Sementara di sisi sebelah, ku lihat Elma saat ini sedang bersandar di pundak Harun. Entah mengapa perasaanku sedikit kesal melihat mereka begitu dekat. Aduh, Aku harus tahu diri! Mereka itu suami istri dan Elma bukanlah siapa-siapa untukku selain teman, batinku mengingatkan diri.

Untuk beberapa detik ku lihat Elma balik menatapku. Membuat wajah Kami bertemu dalam kegelapan. Entah apa yang dipikirkannya, namun Aku merasa bahwa Elma juga kurang memerhatikan film sedari tadi. Dan ya, selagi kami bertatapan seperti itu, Elma langsung menarik lengan Harun lalu mencium punggung tangannya. Ia melakukannya tanpa melepaskan pandangan dariku. Kali ini Aku benar-benar merasa cemburu.

Namun selagi Aku terbakar api cemburu tiba-tiba saja adegan seram kembali muncul dalam film. Kali ini bermacam teror telah ditampilkan di layar kaca. Membuatku mau tak mau kembali fokus melihat televisi. Mungkin karena terlalu takut atau apa, Aurel sontak melompat kaget ke arah tubuhku. Posisinya yang sebelumnya di sampingku kini berganti menjadi di sela pahaku. Ia kini duduk sambil menyandar di dadaku.

"A-Aku takut banget Yo," kebetulan memang cahaya matahari sore sudah mulai menghilang, membuat kamar menjadi gelap hanya disinari oleh sinar dari televisi. Membuat keadaan semakin menyeramkan bagi penakut seperti Aurel.

Ia merapatkan diri di dadaku.

"Kamu tenang ya," balasku sambil mengecup pelan rambut Aurel.

Setelah mengecup Aku sontak langsung sadar diri, "aduh, apa yang ku lakukan sih?" batinku. Syukurnya Aurel tidak menunjukkan reaksi tak suka setelah ku kecup, Ia hanya diam sambil tetap menatap layar kaca. Sepertinya sifat manja Aurel dan rasa cemburuku pada Elma tanpa disadari telah mengontrol perilakuku menjadi lebih liar.

Mengecup rambut Aurel tanpa ku sadari telah merangsang tubuhku. Aroma rambutnya yang wangi, juga kedua pahanya yang bersentuhan dengan betisku telah membuat penisku berdiri. Apalagi ditambah suhu dingin yang membuat darah mudah berdesir. Sialan! Penisku yang perlahan terbangun dan mengeras mulai menyentuh pinggang dan pantat Aurel.

Ku rasakan tubuh Aurel tiba-tiba terdiam kaku. Ia pasti sudah merasakan sentuhan penisku di tubuhnya. Menyadari perubahan pada Aurel, Aku pun menarik tubuhku ke belakang. Melepaskan penisku dari jepitan tubuhnya.

"Ma-maaf Rel," ucapku di telinganya.

"Yo?" balasnya.

"Rel..."

"Peluk Aku Yo," ucapnya sambil meraih lenganku. Ia lalu memundurkan tubuhnya hingga benar-benar menempel dengan tubuhku. Pantatnya kini menjepit penisku dengan lebih kencang. Kedua tanganku Ia letakkan ke bawah payudaranya. Kedekatan Kami membuat nafasku memburu. Aku terus-terusan menghembuskan nafasku di lehernya.

Di sisi lain, gerakan perut Aurel di lenganku juga mulai naik turun tak beraturan. Nafasnya menjadi lebih kencang. Pelan-pelan Ia mulai menggerakkan belahan pantatnya naik turun dari penisku. Tidak kencang, hanya sesekali saja pantatnya dan penisku bergesekkan. Ku lihat ke arah Harun Ia masih sibuk memerhatikan film, namun berbeda dengan Elma. Tepat kala Aku menengok padanya Ia juga sedang sibuk memerhatikan kami. Matanya tajam menatap ke mataku seakan hendak mengatakan sesuatu. Ku perhatikan Ia lebih lama, namun kata-kata itu tak kunjung muncul mulutnya.

"Kali ini gilirannya Elma-lah untuk merasa cemburu," kataku dalam hati. Tepat di saat yang bersamaan ku gunakan lengan kiriku meremas payudara Aurel. Tangan kananku mulai ku masukkan ke dalam kaosnya menuju lapisan luar bra yang Ia kenakan. Semua kejadian itu ku lakukan tepat di depan wajah Elma.

"H--hhhh," suara nafas Aurel semakin kencang. Ku kecup telinga kirinya kali ini, Aku sengaja memilih telinga yang berada dekat dengan wajah Elma, agar Ia bisa melihat seluruh perbuatanku pada Aurel.

Pinggang kami yang masih tertutup selimut masih terus bergerak pelan. Ku angkat sedikit posisi Aurel agar duduk di pangkuanku, Ia dengan ringan turut membantu agar celah vaginanya tepat menindih penisku.

"Rel."

"H-hhh ya?"

"Kamu marah gak kalau gini?" tanyaku sambil memasukkan tanganku ke dalam branya. Di situ Aku menyentuh payudaranya yang mungil dengan telapak tanganku. Jemariku lalu memainkan putingnya yang sudah mulai keras.

"A-ada Elma sama Harun Yo," jawabnya sambil berbisik. Mendengar nada khawatirnya membuatku sedikit sadar.

Sepertinya Aku terlalu memaksakan diri pada Aurel dan menyentuhnya sesuka hatiku. Ku tarik tanganku meninggalkan payudaranya. Hanya saja belum sempat tanganku terlepas dari branya, Aurel langsung memasukkan tangannya ke dalam kaosnya. Ia menahan tanganku yang hendak keluar, menuntun jemariku agar memilin putingnya.

"H-hhh, A-Aku ga marah Yo, jangan dilepas."

Aku memilinnya putingnya berulang-ulang. Pantat Aurel masih terus bergoyang pelan, sampai akhirnya penisku yang hanya dilapisi oleh boxer jadi tersingkap. Tonjolan penisku yang sudah benar-benar mengeras kini keluar bebas dari celah boxerku. Kini penisku bergesekkan dengan kain celana tipisnya.

"Ahhh," Aku mencoba menahan desahanku agar tak didengar oleh Harun namun tetap sengaja mengeluarkan desahan dari bibirku agar Elma bisa melihatnya. Untungnya posisi Elma mampu menutupi pandangan Harun sehingga tidak bisa langsung melihat perbuatan Kami.

Ku tengok tangan kanan Elma sudah dimasukkan ke dalam selimut, entah apa yang dilakukannya. Imajinasi nakalku yang memikirkan Elma sedang bermasturbasi sambil menonton Aku dan Aurel bermesraan membuat nafsuku semakin menggebu-gebu. Berkali-kali Aku mengecup leher belakang Aurel untuk menunjukkan tingginya nafsuku ini.

Penisku yang sudah dibuat menggantung seharian kemarin kini akhirnya bisa merasakan nikmatnya hampir ejakulasi. Ku jilat jemariku lalu ku gunakan jari basah untuk memilin payudara Aurel.

"A-ahhh!"

Melihat Aurel semakin keenakan, ku gunakan lenganku yang satu lagi untuk menyentuh pahanya. Ku naikkan perlahan pahanya lalu menyingkap celana pendeknya. Ku lihat genggaman Aurel pada selimut semakin erat. Kini tanganku sudah berada di celana dalamnya, ku sentuh perlahan vaginanya dari luar membuat Aurel melenguh.

"Hhhh Yo."

Celana dalamnya nampak sudah mulai basah. Dengan nafsu yang sudah diubun-ubun ku singkap celana dalam itu dan ku sentuh vaginanya langsung. Vaginanya terasa hangat dipenuhi oleh cairan lengket. Dengan jari yang dipenuhi cairan itu Aku pun menemukan dan menyentuh klitoris Aurel.

"A-AHHHHH!" desah Aurel begitu kencang.



Desahannya begitu keras. Membuatku langsung menarik kedua tanganku dari tubuhnya. Aurel juga seakan tersadar langsung memperbaiki pakaiannya. Meski kamar masih belum diterangi cahaya namun suara desah Aurel bisa membuat Harun mencurigai Kami.

"Apaan sih Rel?! Berisik banget," tentu saja suara itu muncul dari Harun.

"H-h maaf, kaget banget Aku sama adegan tadi," balas Aurel dengan ekspresi takut. Karena Ia masih duduk tepat di hadapanku, terlihat jelas matanya yang begitu sayu dan wajahnya dipenuhi oleh tetes keringat. Ku lihat juga tangan Elma yang tadi bersembunyi di balik selimut sudah ditaruh di atas bantal.

"Kamu bikin adegan terakhirnya jadi kurang serem tau!" tegur Harun lagi.

Ucapan itu membuatku langsung menengok ke arah televisi. Benar saja, kredit film sudah ditampilkan. Aku pun pelan-pelan mengembalikan posisi penisku ke dalam boxer.

"Gapapa Run, Aurel memang gampang kaget anaknya," secara mengejutkan Elma turut membela Kami.

"Tapi seru ya memang filmnya," balasku juga. Aurel meresponsnya dengan mencubit pahaku kencang sambil berbisik "dih kayak nonton aja!".

"Ya udah, sudah gelap nih," Harun pun meninggalkan kasur lalu menyalakan lampu kamar. Membuat sinar lampu neon menimpa tubuh Kami.

"Mau pipis dulu," timpa Aurel yang salah tingkah dan langsung berdiri meninggalkan kamar. Hampir langsung setelahnya Harun juga berjalan meninggalkan kamar membawa sampah snack dari kamar.

Aku belum mau berdiri karena terasa penisku masih berdiri keras. Tentu akan kelihatan jelas dari balik boxer tipisku.

"Gimana tadi, enak?" tanya Elma tiba-tiba. Ia mengirimkan tatapan sinis ke diriku.

Ternyata menghadapi Elma dengan lampu menyala jauh lebih sulit dibanding dengan cahaya samar seperti tadi. Tatapan sinisnya membuat adrenalinku melunak. Namun kali ini Aku tak mau terlihat culun lagi di depannya. Ku tatap balik matanya lalu berkata, "Ya begitulah."

"Kamu jangan lupa sama orang yang ngajarin Kamu semuanya," ucapnya sembari tersenyum. Ingin sekali Aku menerjangnya saat ini juga, melepaskan nafsu dan kerinduan yang sudah tak tertahankan selama ini. Elma masih terus menatapku sebelum akhirnya melangkah meninggalkan kamar. Meninggalkanku sendiri dalam keadaan bingung. Sudah lama Kami tak bertukar dialog seperti ini.



Setelah pamit, Aku dan Aurel pun meninggalkan rumah Harun dan Elma. Sudah hampir pukul 9 malam. Kami memang sempat makan malam sebelum berangkat tadi. Aku harus mengantar Aurel sampai ke rumahnya dengan selamat dulu.

Begitu sudah melewati rumah Harun dan Elma, Aurel tiba-tiba memeluk tubuhku erat. Kedua lengan putihnya mengitari perutku, Ia menempelkan tubuhnya padaku.

"Kamu kedinginan Rel?" tanyaku.

"Kamu mau bawa Aku ke mana Yo?" tanya Aurel balik, tanpa mengindahkan pertanyaanku. Pertanyaannya begitu telak sampai membuatku tertegun.

"M-maksud Kamu Rel?"

"Setelah yang kita lakuin tadi, Aku ga ingin pulang Yo," ucap Aurel.

"Aku mau Kamu Yo," tambahnya lagi.

Sambil memacu motor sedikit pelan, ku gunakan tangan kiriku untuk menggenggam tangannya. Sepanjang perjalanan Aku berpikir sejenak. Aku tahu maksud Aurel dan ke mana seharusnya kami pergi. Ya, tentu saja menyewa kamar hotel dan bermesraan semalam. Aku pun tak ingin pulang ke rumah malam ini. Rasanya sulit harus memaksakan diri dan berpura-pura tidak ada hal tabu yang baru saja terjadi di rumah. Sebaiknya Aku, Mama, dan Nissa menghadapi hari kami masing-masing dulu saat ini. Tapi sungguh, tabunganku tak banyak saat ini. Memangnya Aurel mau dibawa ke hotel yang tidak mewah? Ah ya, suatu ide tiba-tiba terbersit di pikiranku.

"Ga ada yang bakalan nyariin Kamu kan Rel?"

"Orang tuaku aja jarang di rumah Yo. Kalau Aku ga ada juga ga bakal nyadar mereka."

Aku pun hanya mengangguk lalu memacu motorku lebih laju. Kami menembus dinginnya malam dengan hati yang hangat.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd