Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA ASMARA SENJA

Masih belum juga ya hu..

Up dulu biar gak tenggelam.
 
Mohon maaf telat dikit, Gan... baru pulang dagang nih.

:ampun:

Asal Mula :



Risma dan Evan berdiri di depan sebuah rumah besar berhalaman luas sambil bergandengan. Tangan Evan memeluk pinggang ramping perempuan cantik itu yang baru dinikahinya kurang lebih 3 bulan yang lalu.

“Rumah bulan madu kita, Sayang,” bisik Evan sambil mengecup kening Risma dengan penuh kasih sayang.

Rumah itu hadiah dari ayahnya Evan. Hadiah pernikahan sekaligus rumah yang akan ditinggali mereka di Bandung Utara setelah Evan dipercaya memegang cabang perusahaan besar milik keluarganya. Risma pun bukan dari keluarga sembarangan. Orangtuanya mempunyai firma hukum yang terkenal, Risma sendiri adalah Magister Hukum yang seharusnya ikut bergabung dengan firma hukum ayahnya. Hanya saja ia memutuskan untuk berkarir mandiri.

Sekarang, untuk sementara ia ingin vakum dari segala kegiatan, ingin menikmati masa-masa bulan madunya dengan Evan, suaminya.

Di rumah barunya, mereka ditemani 3 pengurus rumah tangga, 2 perempuan asisten rumah tangga bernama Sari dan Onah, 1 orang yang bertugas sebagai tukang kebun, pengurus taman dan segala macam pekerjaan yang membutuhkan keterampilan pertukangan yang bernama Didi, suami dari Onah. Sementara Sari adalah anak mereka yang berusia sekitar 27 tahun. Pak Didi dan Onah tinggal di rumah tersebut, sementara Sari tinggal di perkampungan tidak jauh dari komplek rumah tersebut. Dia datang pagi-pagi diantarkan oleh suaminya yang bekerja sebagai tukang ojeg dan dijemput pulang sebelum maghrib.

Malam pertama di rumah baru itu terasa berbeda. Hawa dingin mencucuk kulit Bandung Utara terasa membuat mereka ingin segera tenggelam dalam selimut tebal di atas ranjang empuk di kamar yang berada di lantai dua. Kamar yang tak memerlukan AC seperti kamar mereka di Jakarta. Karena hawa dingin alami lebih terasa dinginnya dari mesin pendingin perusak ozon tersebut.

Dari dalam selimut, jari-jari Evan sudah merayap liar menelusuri bagian-bagian sensitif dari tubuh sintal Risma yang terbalut lingerie seksi. Risma menggelinjang kegelian.

“Emang ga capek setelah nyetir sendiri dari Jakarta, Mas?” bisik Risma sambil mengigit lembut bahu Evan.

“Tanggung capek, hawa dingin begini yang bawah mana mau tau,” jawab Evan menyeringai, kemudian mengecup bibir merah basah Risma yang balas memagut.

Sesaat hanya terdengar kecipak dari lidah-lidah yang saling berbelit dan mengecap.

“Engggh,” Risma merintih lirih ketika merasakan jari-jari Evan menyelinap ke balik celana dalamnya, ia dengan sukarela segera merenggangkan pahanya untuk membantu jari-jari nakal itu menggoda belahan memeknya yang mulai basah.

Tidak perlu menunggu lama, mereka berdua sudah saling melucuti pakaian masing-masing masih dalam kerudungan selimut. Mulut Evan menelusuri leher jenjang yang mulai berkeringat terbakar oleh birahi, kedua tangannya sudah bekerja, satu meremas buah dada padat yang satu bergerilya menggelitik memek istrinya itu.

Evan mulai merayap naik, menindih tubuh Risma.

“Ga foreplay dulu?” bisik Risma dengan mata sayu, merasakan nikmat ketika puting buah dadanya dikenyot-kenyot.

“Udah ga tahan,” jawab Evan nyengir. Memposisikan kontolnya yang sudah kaku ke belahan memek Risma.

“Mmpsh,” desah Risma, merenggangkan tubuhnya menerima tusukan kontol Evan yang mendesak masuk.

“Hmhhh! Hmmmh!” erang Evan sambil mulai menggenjot. Hembusan panas napasnya menghembus. Kemudian dia menunduk, memagut bibir Risma yang setengah terbuka menikmati gesekan-gesekan kontol Evan di dalam rahimnya.

“Lebih kenceng, Mas. Lebih dalammhhh,” racau Risma dalam amukan birahinya.

“Hrrrssh!”

Evan menggenjot lebih kencang menuruti permintaan Risma. Dengan kedua tangan bertumpu di bantal samping kepala Risma.

“Plak-plok! Plak-Plok!”

Di dalam selimut tebal yang lebar tersebut, keduanya sudah mulai berkeringat.

“Terusssh, Massshhh!” erang Risma sambil meremas-remas sendiri kedua payudaranya.

“Akhuuu ga tahaaan, Sayang. Aku duluan yaaa..., akkkh!” Geram Evan beberapa saat kemudian. Menekan dalam-dalam pantatnya.

Semburan kencang spermanya membanjiri memek Risma yang mengeluh di dalam hatinya. Ia baru saja menanjak mau meraih puncak orgasme namun supirnya sudah kepayahan. Ambruk lunglai di atas tubuhnya.

“Maaf, Sayang. Nikmat banget soalnya,” bisik Evan dengan nada meminta maaf, napasnya memburu, “aku bantu pakai jari ya!”

Evan menggeser tubuhnya, berbaring menyamping di sisi tubuh Risma, jarinya menelusuri lubang memek Risma yang masih basah oleh spermanya. Dia mengocok-ngocok lubang memek tersebut. Membuat Risma kembali menggelinjang-gelinjang keenakan. Beberapa saat kemudian, Risma berbalik menghadap tubuh Evan, memeluk tubuk suaminya itu dengan erat-erat. Napasnya makin memburu.

“Owhhh!” Risma merasakan tubuhnya terasa hendak meledak oleh desakan birahi dari kocokan jari-jari Evan.

Pelukannya makin erat, bibirnya mencari-cari mulut suaminya yang segera dipagutnya begitu ketemu.

“Enggghsh!” pinggul bulat pada itu menghentak mendadak. Evan merasakan jari-jarinya disembur cairan hangat. Nyata bahwa istrinya itu sudah mencapai orgasmenya.

“Terima kasih, Sayang,” desah Risma dengan napas masih terengah-engah.

“Nanti kita tambah lagi ya,” bisik Evan mengecup sayang kening Risma yang basah oleh keringat.

“He-emh!” Risma mengangguk pelan sambil memejamkan matanya.

Malam semakin larut ketika keduanya terlelap di balik selimut tebal tanpa menginginkan untuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.



Pagi yang segar dan dingin menyambut Risma begitu keluar rumah. Ia mengantar Evan yang mau berangkat kerja menuju pusat kota Bandung tempat kantornya berada.

Dengan masih mengenakan daster, perempuan cantik itu berkeliling ke halaman luas di depan rumahnya. Taman dengan bunga-bunga beraneka ragam berwarna-warni, begitu indah memanjakan matanya. Tentulah, yang merawat taman dengan bunga segitu banyaknya adalah orang yang ahli dan sangat rajin.

Di pojok dekat dinding yang menjulang tinggi, dimana terletak kolam kecil berisi ikan hias. Sesosok tubuh legam tengah berjongkok dengan kegiatannya. Tubuh legam yang pagi-pagi sudah berkeringat tanda dia sudah bekerja lumayan lama. Padahal hawa masih terasa sangat dingin. Sosok itu bukan lain Pak Didi. Tukang kebunnya.

“Sungguh orang yang rajin,” kata Risma di dalam hatinya dengan kagum. Ia segera melangkah menghampiri.

“Selamat pagi, Pak Didi,” sapa Risma.

Pak Didi menoleh kaget. Lalu terbatuk. Tersedak oleh asap lintingan tembakau yang terselip di mulutnya,” Oh, Nden. Kaget saya!” sahut Pak Didi tertawa lebar, sambil berdiri. Tangannya terlihat kotor oleh tanah.

Berhadapan sedekat itu, tercium aroma aneh dari tubuh orangtua itu. Aroma tubuh yang membuat Risma merinding tanpa sebab.aroma alami dari seorang pria yang berkeringat, seolah secara tiba-tiba mampu membius perempuan cantik itu.

“Nden?” tanya Pak Didi sedikit bingung melihat majikannya seperti terbengong-bengong.

“Eh, iya, Pak... maaf,” Risma tersipu malu ketika tidak sengaja matanya melihat orangtua itu hanya mengenakan kolor pendek berwarna hitam. Ada sembulan besar di bagian depan celana itu.

“Sialan, kayaknya dia tidak pakai celana dalam!” Risma menympah-nyumpah dalam hatinya. Mengalihkan pandangannya ke tanaman bunga yang tengah di tanam orangtua itu di sisi kolam.

“Bunga yang bagus sekali ini, Pak. Apa namanya?” kata Risma sambil berjongkok menyentuh kelopak bunganya. Menunduk mencium wangi dari bunga tersebut.

Sesaat Pak Didi melotot, terpana oleh dua sembulan putih yang menyembul dari belahan daster. Begitu putih dan mulus. Dan benda di dalam kolornya menggeliat bangun.

Pertanyaannya tidak dijawab, Risma menoleh ke sosok yang berdiri sedikit di belakangnya. Dan sialnya, yang terlihat pertama kali justru kolor yang terlihat makin menggembung penuh. Hampir saja ia menjerit kaget kalau tidak keburu menekap mulutnya. Perempuan cantik itu segera bangkit berdiri, “lain kali pakai celana dalam, Pak!” katanya sebelum menghambur pergi.

Mendengar kata-kata majikannya itu, Pak Didi menyengir malu. Namun bayangan sembulan padat dan kenyal walau sebagian itu terus berkelebat dalam pikirannya.

“Sialan benar!” maki hati orangtua itu sambil melihat ke bawah, ke kontolnya yang terasa pegal tertahan oleh kolornya. Hilang semangatnya untuk meneruskan pekerjaannya. Karena dia tahu, kalau kontolnya sudah menegang begitu, jalan satu-satunya adalah mencari sarangnya.

Setelah mencuci tangan dengan buru-buru. Didesak oleh birahi, dia bergegas ke belakang rumah. Di sana hanya ada Sari yang tengah menjemur cucian dari ember besar.

“Mana emakmu?” tanya Pak Didi dengan wajah memerah menahan birahi.

“Di lantai dua lagi ngepel,” sahut Sari tanpa menoleh.

“Euhhh..., yaudah. Kamu aja, hayuk!” kata Pak Didi sambil menarik tangan Sari yang berseru tertahan. Ketika melihat wajah ayahnya itu yang memerah, ia segera maklum keinginan ayahnya itu, “jangan, Pak. Gimana kalau Neng Risma tau? Bisa diusir kita bertiga!”

“Ya jangan sampek tau! Hayuk buru, bapak udah ga tahan. Lagian sudah lama bapak ga ngewe sama kamu!”

Sari setengah diseret, dibawa masuk ke kamar pembantu yang terletak sebelah dapur rumah besar itu.

“Bapak ini kalau ada maunya pengen langsung aja. Ga liat tempat sama waktu!” kata Sari dengan hati kesal.

Begitu masuk ke dalam kamar, Pak Didi segera mengunci pintunya. Sari yang masih berdiri segera diserbunya.

“Pelan-pelan dong, Pak. Sudah lama kan memek Sari ga diewe sama kontol bapak yang gede,” kata Sari ketika kain yang dikenakannya ditarik sembarangan termasuk celana dalamnya. Sari yang berperawakan tinggi besar, berkulit hitam manis, mempunyai payudara besar turunan dari Onah, pinggulnya yang bulat besar mengangkang lebar memperlihatkan memeknya yang membusung tertutupi oleh jembut lebat.

Pak Didi hanya menyeringai sambil menurunkan kolornya. Kontol orangtua itu memang besar dan panjang, batangnya terlihat kekar terbelit urat-urat yang menggembung bagai akar pohon. Sungguh kontol idaman para wanita haus sek.

“Pelan-pelan,, Pak. Biar basah dulu memeknya,” bisik Sari yang sudah bangkit birahinya. Walau pun sudah tidak sabar, Pak Didi sadar, memek anaknya ini sudah lama tidak disodok batang kontolnya. Dia tidak ingin membuat keributan yang mengundang penasaran majikannya. Sari kalau sudah diewe suka menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Makanya, dengan menahan sabar, jempol dan jari-jari kapalan milik orangtua itu membelah belahan memek tebal milik Sari.

“Kamu tutup mulut jangan brisik kalau diewe, bisa repot nanti!” kata Pak Didi dengan suara pelan.

Sari hanya mengangguk sambil meram melek merasakan kenikmatan memeknya dikocok-kocok jari kapalan bapaknya. Kemudian dengan pasrah ia mengikuti kemauan bapaknya itu, tubuhnya tergeletak di tempat tidur dengan dua kaki terjuntai ke lantai. Dengan diganjal kedua lututnya, Pak Didi merapat, meletakkan batang kontolnya di belahan memek gemuk Sari yang dikuakkan ditahan oleh jari-jarinya.

“Enggh! Pelan-pelan, Paaak,” Sari mengerang perlahan ketika merasakan kepala kontol itu telah berada di lubang memeknya. Menekan keras mencoba merangsek masuk.

“Prrrt! Blep!”

“Akh!” Sari tidak tertahan menjerit merasakan sodokan keras kontol bapaknya itu.

Tiba-tiba terdengar makian dari luar pintu, “Dasar! Pagi-pagi udah ngewe aja!”

Pak Didi dan Sari terdiam sejenak oleh rasa kaget. Tapi segera bernapas lega ketika mengenal suara itu. Onah, istri Pak Didi dan ibu dari Sari.

“Ga tahan, Onah.. tolong jagain, jangan sampai Nden Risma ke sini!”

“Masabodo! Tanggung jawab aja sendiri!” terdengar suara Onah menjauh.

“Makanya jangan brisik!” kata Pak Didi dengan mata melotot ke Sari yang hanya tertawa kecil, “lanjutin, Pak. Sodok yang keras!” pinta Sari.

Pak Didi mulai menggenjot kembali, dia membuka kancing kebaya Sari, menarik turun kutangnya. Dua bongkah payudara yang besar memberojol keluar. Yang segera diremasnya keras-keras.

“Duuuhhh, enak sekali, Pak,” erang Sari sambil tetap menahan kesadarannya agar tidak berteriak-teriak seperti biasanya kalau sedang bersetubuh.

Tubuh montok Sari sampai terlonjak-lonjak oleh hentakan-hentakan kasar bapaknya. Batang kontol besar itu sudah berkilat dibasahi lendir putih cairan birahi Sari.

Mulut Sari seperti orang yang kepedasan habis makan sambal. Mendesah-desah seiring genjotan Pak Didi.

Beberapa saat kemudian, Pak Didi merasakan batang kontolnya mnejadi seret digencet dinding-dinding memek Sari yang berkedut-kedut. Dia tahu, sebentar lagi Sari akan orgasme. Orangtua itu segera menjatuhkan tubuhnya, mulutnya menghunjani bongkahan payudara besar Sari dengan ciuman dan sedotan.

“Jangan dicupangin, Pak. Ntar Kang Komar curiga!” bisik Sari ditengah lenguhannya. Komar bukan lain adalah suami Sari.

“Hmmrrrh!” Pak Didi hanya menggeram, menahan nikmat batang kontolnya yang tengah diperas oleh memek Sari.

“Sari sampai, Paaak! Aaahkkh!” Sari terpaksa menggigit bibirnya keras-keras agar suaranya tidak terdengar sampai keluar kamar. Tubuh montok berkulit hitam manis itu melonjak meregang. Kedua tangan Sari meremas rambut Pak Didi sekeras-kerasnya, menekan wajah orangtua itu hinggal terbenam ke dalam payudaranya.

Sesaat, di kamar itu hanya terdengar deru napas memburu.

“Bapak belum keluar?” tanya Sari beberapa saat kemudian.

“Belum lahhh,” dengus Pak Didi sambil mencabut kontolnya yang masih kaku. Enak saja dia membersihkan lendir orgasme Sari menggunakan kolornya. kemudian dia membalikkan tubuh Sari dalam posisi menungging di tepi pembaringan.

Memek Sari terlihat gemuk menggantung dengan belahan yang sudah terkuak lebar, tanpa aba-aba lagi, orangtua itu segera menusukkan kembali kontolnya ke dalam memek anaknya itu. Kembali menggenjot keras-keras.

Sari yang masih lemas pasrah saja disodok dalam posisi menungging. Posisi kesukaannya sebenarnya. Di posisi itu, kenikmatan yang digapainya lebih maksimal. Maka tidak heran kalau birahinya kembali naik dengan cepat.

Pak Didi menggenjot dengan irama tetap, cengkraman dinding memek Sari lebih terasa enaknya dalam posisi menungging seperti itu. Dia segera merendahkan tubuhnya rata di atas tubuh Sari, kedua tangannya menyelusup ke dada Sari, meremas-remasnya dengan gemas. Sementara mulutnya tidak tinggal diam, mencium dan menjilati tengkuk Sari yang menggelinjang-gelinjang antara geli dan nikmat.

Dalam posisi itu, pantat Pak Didi mengayun santai. Ketika dalam posisi menarik, mulut memek Sari ikut tertarik menggembung, sementara kalau disodok, memeknya ikut mengempot dalam. Nikmat, lezat dan sedap. Itulah keadaan yang dialami Pak Didi saat menyetubuhi anaknya.

“Enak, Paaak. Coba Kang Komar punya kontol sama tenaga kaya bapak, tentu bahagia sekali Sari,” bisik Sari sambil meram melek.

“Hek-hek-hek, kan ada bapak yang selalu siap memuaskan kamu,” balas Pak Didi sambil terkekeh-kekeh pelan.

“He-emh!” sahut Sari Pendek.

“Sekarang gantian kamu yang di atas, goyang bapak, Nduk!” kata Pak Didi kemudian sambil mencabut batang kontolnya dari dalam memek Sari. Dia segera membaringkan tubuhnya ke atas kasur.

Tanpa banyak berkata-kata, Sari segera menaiki tubuh bapaknya, memposisikan kepala helmnya ke lubang memeknya.

“Srrt! Bleshhh!”

“Owh!” Sari menengadahkan wajahnya, menurunkan pelan-pelan pantat besarnya. Lalu dengan gerakan perlahan menggenjot naik turun. Kadang menggoyang maju mundur, kadang bergoyang memutar. Kenikmatan tiada tara dirasakan Pak Didi saat itu. Tangan tidak menganggur, dua bongkah besar payudara Sari yang menggantung bergoyang-goyang, diremasnya, kadang puting-putingnya yang menonjol mengeras itu dibetotnya dengan gemas. Kegiatan yang membuat Sari keenakan.

“Goyang makin keras, Ndhuk! Bapak mo keluar sebentar lagi!” dengus Pak Didi.

“Sari juga, Paaak. Tahan sebentar.... hshhhh!”

Sari mempercepat goyangannya.

Hingga suatu saat. Pantatnya menghentak dalam dengan tubuh menjengking, kalau tidak ditahan Pak Didi, bisa jadi tubuh montok itu terjengkang ke belakang, jatuh ke lantai. Pak Didi mendekap tubuk motok itu yang jatuh terkulai ke atas tubuhnya. Sementara di dalam memek Sari dua semburan dahsyat menggelegak bagai lava, meleleh dari belahan memek Sari yang berdenyut-denyut.

“Enak, Pak. Sudah lama Sari tidak merasakan ngewe senikmat ini,” bisik Sari dalam deru napasnya yang masih memburu. Kemudian anak dan bapak itu berpagutan.

“Sudah ah, cucian belum selesai dijemur,” kata Sari sambil menarik pantatnya pelan-pelan.

“Plop!” terdengar suara pelan ketika kontol Pak Didi terlepas dari cengkraman memek Sari.

Dengan buru-buru, Sari memakai celana dalamnya, mengancingkan kembali kebaya yang dipakainya. Lalu tanpa menoleh lagi ia mebuka pintu. Clingak-clinguk sebentar, memastikan keadaan aman. Lalu menghambur kembali untuk meneruskan pekerjaannya.

Sepeninggal Sari, Pak Didi masih tergeletak di atas kasur, bayangan sembulan payudara majikannya kembali menggodanya.

“Hmmm, terpaksa ilmu peletku kugunakan lagi!” kata hati orangtua ini sambil menyeringai senang.

-----

Semoga terhibur, Agan dan Suhu. Mari kita edankan dengan ide-ide gila


:ampun:

:ampun:

:ampun:
 
Premis yg menarik, ijin bergabung suhu, setia menanti lanjutannya
 
Mohon maaf telat dikit, Gan... baru pulang dagang nih.

:ampun:

Asal Mula :



Risma dan Evan berdiri di depan sebuah rumah besar berhalaman luas sambil bergandengan. Tangan Evan memeluk pinggang ramping perempuan cantik itu yang baru dinikahinya kurang lebih 3 bulan yang lalu.

“Rumah bulan madu kita, Sayang,” bisik Evan sambil mengecup kening Risma dengan penuh kasih sayang.

Rumah itu hadiah dari ayahnya Evan. Hadiah pernikahan sekaligus rumah yang akan ditinggali mereka di Bandung Utara setelah Evan dipercaya memegang cabang perusahaan besar milik keluarganya. Risma pun bukan dari keluarga sembarangan. Orangtuanya mempunyai firma hukum yang terkenal, Risma sendiri adalah Magister Hukum yang seharusnya ikut bergabung dengan firma hukum ayahnya. Hanya saja ia memutuskan untuk berkarir mandiri.

Sekarang, untuk sementara ia ingin vakum dari segala kegiatan, ingin menikmati masa-masa bulan madunya dengan Evan, suaminya.

Di rumah barunya, mereka ditemani 3 pengurus rumah tangga, 2 perempuan asisten rumah tangga bernama Sari dan Onah, 1 orang yang bertugas sebagai tukang kebun, pengurus taman dan segala macam pekerjaan yang membutuhkan keterampilan pertukangan yang bernama Didi, suami dari Onah. Sementara Sari adalah anak mereka yang berusia sekitar 27 tahun. Pak Didi dan Onah tinggal di rumah tersebut, sementara Sari tinggal di perkampungan tidak jauh dari komplek rumah tersebut. Dia datang pagi-pagi diantarkan oleh suaminya yang bekerja sebagai tukang ojeg dan dijemput pulang sebelum maghrib.

Malam pertama di rumah baru itu terasa berbeda. Hawa dingin mencucuk kulit Bandung Utara terasa membuat mereka ingin segera tenggelam dalam selimut tebal di atas ranjang empuk di kamar yang berada di lantai dua. Kamar yang tak memerlukan AC seperti kamar mereka di Jakarta. Karena hawa dingin alami lebih terasa dinginnya dari mesin pendingin perusak ozon tersebut.

Dari dalam selimut, jari-jari Evan sudah merayap liar menelusuri bagian-bagian sensitif dari tubuh sintal Risma yang terbalut lingerie seksi. Risma menggelinjang kegelian.

“Emang ga capek setelah nyetir sendiri dari Jakarta, Mas?” bisik Risma sambil mengigit lembut bahu Evan.

“Tanggung capek, hawa dingin begini yang bawah mana mau tau,” jawab Evan menyeringai, kemudian mengecup bibir merah basah Risma yang balas memagut.

Sesaat hanya terdengar kecipak dari lidah-lidah yang saling berbelit dan mengecap.

“Engggh,” Risma merintih lirih ketika merasakan jari-jari Evan menyelinap ke balik celana dalamnya, ia dengan sukarela segera merenggangkan pahanya untuk membantu jari-jari nakal itu menggoda belahan memeknya yang mulai basah.

Tidak perlu menunggu lama, mereka berdua sudah saling melucuti pakaian masing-masing masih dalam kerudungan selimut. Mulut Evan menelusuri leher jenjang yang mulai berkeringat terbakar oleh birahi, kedua tangannya sudah bekerja, satu meremas buah dada padat yang satu bergerilya menggelitik memek istrinya itu.

Evan mulai merayap naik, menindih tubuh Risma.

“Ga foreplay dulu?” bisik Risma dengan mata sayu, merasakan nikmat ketika puting buah dadanya dikenyot-kenyot.

“Udah ga tahan,” jawab Evan nyengir. Memposisikan kontolnya yang sudah kaku ke belahan memek Risma.

“Mmpsh,” desah Risma, merenggangkan tubuhnya menerima tusukan kontol Evan yang mendesak masuk.

“Hmhhh! Hmmmh!” erang Evan sambil mulai menggenjot. Hembusan panas napasnya menghembus. Kemudian dia menunduk, memagut bibir Risma yang setengah terbuka menikmati gesekan-gesekan kontol Evan di dalam rahimnya.

“Lebih kenceng, Mas. Lebih dalammhhh,” racau Risma dalam amukan birahinya.

“Hrrrssh!”

Evan menggenjot lebih kencang menuruti permintaan Risma. Dengan kedua tangan bertumpu di bantal samping kepala Risma.

“Plak-plok! Plak-Plok!”

Di dalam selimut tebal yang lebar tersebut, keduanya sudah mulai berkeringat.

“Terusssh, Massshhh!” erang Risma sambil meremas-remas sendiri kedua payudaranya.

“Akhuuu ga tahaaan, Sayang. Aku duluan yaaa..., akkkh!” Geram Evan beberapa saat kemudian. Menekan dalam-dalam pantatnya.

Semburan kencang spermanya membanjiri memek Risma yang mengeluh di dalam hatinya. Ia baru saja menanjak mau meraih puncak orgasme namun supirnya sudah kepayahan. Ambruk lunglai di atas tubuhnya.

“Maaf, Sayang. Nikmat banget soalnya,” bisik Evan dengan nada meminta maaf, napasnya memburu, “aku bantu pakai jari ya!”

Evan menggeser tubuhnya, berbaring menyamping di sisi tubuh Risma, jarinya menelusuri lubang memek Risma yang masih basah oleh spermanya. Dia mengocok-ngocok lubang memek tersebut. Membuat Risma kembali menggelinjang-gelinjang keenakan. Beberapa saat kemudian, Risma berbalik menghadap tubuh Evan, memeluk tubuk suaminya itu dengan erat-erat. Napasnya makin memburu.

“Owhhh!” Risma merasakan tubuhnya terasa hendak meledak oleh desakan birahi dari kocokan jari-jari Evan.

Pelukannya makin erat, bibirnya mencari-cari mulut suaminya yang segera dipagutnya begitu ketemu.

“Enggghsh!” pinggul bulat pada itu menghentak mendadak. Evan merasakan jari-jarinya disembur cairan hangat. Nyata bahwa istrinya itu sudah mencapai orgasmenya.

“Terima kasih, Sayang,” desah Risma dengan napas masih terengah-engah.

“Nanti kita tambah lagi ya,” bisik Evan mengecup sayang kening Risma yang basah oleh keringat.

“He-emh!” Risma mengangguk pelan sambil memejamkan matanya.

Malam semakin larut ketika keduanya terlelap di balik selimut tebal tanpa menginginkan untuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.



Pagi yang segar dan dingin menyambut Risma begitu keluar rumah. Ia mengantar Evan yang mau berangkat kerja menuju pusat kota Bandung tempat kantornya berada.

Dengan masih mengenakan daster, perempuan cantik itu berkeliling ke halaman luas di depan rumahnya. Taman dengan bunga-bunga beraneka ragam berwarna-warni, begitu indah memanjakan matanya. Tentulah, yang merawat taman dengan bunga segitu banyaknya adalah orang yang ahli dan sangat rajin.

Di pojok dekat dinding yang menjulang tinggi, dimana terletak kolam kecil berisi ikan hias. Sesosok tubuh legam tengah berjongkok dengan kegiatannya. Tubuh legam yang pagi-pagi sudah berkeringat tanda dia sudah bekerja lumayan lama. Padahal hawa masih terasa sangat dingin. Sosok itu bukan lain Pak Didi. Tukang kebunnya.

“Sungguh orang yang rajin,” kata Risma di dalam hatinya dengan kagum. Ia segera melangkah menghampiri.

“Selamat pagi, Pak Didi,” sapa Risma.

Pak Didi menoleh kaget. Lalu terbatuk. Tersedak oleh asap lintingan tembakau yang terselip di mulutnya,” Oh, Nden. Kaget saya!” sahut Pak Didi tertawa lebar, sambil berdiri. Tangannya terlihat kotor oleh tanah.

Berhadapan sedekat itu, tercium aroma aneh dari tubuh orangtua itu. Aroma tubuh yang membuat Risma merinding tanpa sebab.aroma alami dari seorang pria yang berkeringat, seolah secara tiba-tiba mampu membius perempuan cantik itu.

“Nden?” tanya Pak Didi sedikit bingung melihat majikannya seperti terbengong-bengong.

“Eh, iya, Pak... maaf,” Risma tersipu malu ketika tidak sengaja matanya melihat orangtua itu hanya mengenakan kolor pendek berwarna hitam. Ada sembulan besar di bagian depan celana itu.

“Sialan, kayaknya dia tidak pakai celana dalam!” Risma menympah-nyumpah dalam hatinya. Mengalihkan pandangannya ke tanaman bunga yang tengah di tanam orangtua itu di sisi kolam.

“Bunga yang bagus sekali ini, Pak. Apa namanya?” kata Risma sambil berjongkok menyentuh kelopak bunganya. Menunduk mencium wangi dari bunga tersebut.

Sesaat Pak Didi melotot, terpana oleh dua sembulan putih yang menyembul dari belahan daster. Begitu putih dan mulus. Dan benda di dalam kolornya menggeliat bangun.

Pertanyaannya tidak dijawab, Risma menoleh ke sosok yang berdiri sedikit di belakangnya. Dan sialnya, yang terlihat pertama kali justru kolor yang terlihat makin menggembung penuh. Hampir saja ia menjerit kaget kalau tidak keburu menekap mulutnya. Perempuan cantik itu segera bangkit berdiri, “lain kali pakai celana dalam, Pak!” katanya sebelum menghambur pergi.

Mendengar kata-kata majikannya itu, Pak Didi menyengir malu. Namun bayangan sembulan padat dan kenyal walau sebagian itu terus berkelebat dalam pikirannya.

“Sialan benar!” maki hati orangtua itu sambil melihat ke bawah, ke kontolnya yang terasa pegal tertahan oleh kolornya. Hilang semangatnya untuk meneruskan pekerjaannya. Karena dia tahu, kalau kontolnya sudah menegang begitu, jalan satu-satunya adalah mencari sarangnya.

Setelah mencuci tangan dengan buru-buru. Didesak oleh birahi, dia bergegas ke belakang rumah. Di sana hanya ada Sari yang tengah menjemur cucian dari ember besar.

“Mana emakmu?” tanya Pak Didi dengan wajah memerah menahan birahi.

“Di lantai dua lagi ngepel,” sahut Sari tanpa menoleh.

“Euhhh..., yaudah. Kamu aja, hayuk!” kata Pak Didi sambil menarik tangan Sari yang berseru tertahan. Ketika melihat wajah ayahnya itu yang memerah, ia segera maklum keinginan ayahnya itu, “jangan, Pak. Gimana kalau Neng Risma tau? Bisa diusir kita bertiga!”

“Ya jangan sampek tau! Hayuk buru, bapak udah ga tahan. Lagian sudah lama bapak ga ngewe sama kamu!”

Sari setengah diseret, dibawa masuk ke kamar pembantu yang terletak sebelah dapur rumah besar itu.

“Bapak ini kalau ada maunya pengen langsung aja. Ga liat tempat sama waktu!” kata Sari dengan hati kesal.

Begitu masuk ke dalam kamar, Pak Didi segera mengunci pintunya. Sari yang masih berdiri segera diserbunya.

“Pelan-pelan dong, Pak. Sudah lama kan memek Sari ga diewe sama kontol bapak yang gede,” kata Sari ketika kain yang dikenakannya ditarik sembarangan termasuk celana dalamnya. Sari yang berperawakan tinggi besar, berkulit hitam manis, mempunyai payudara besar turunan dari Onah, pinggulnya yang bulat besar mengangkang lebar memperlihatkan memeknya yang membusung tertutupi oleh jembut lebat.

Pak Didi hanya menyeringai sambil menurunkan kolornya. Kontol orangtua itu memang besar dan panjang, batangnya terlihat kekar terbelit urat-urat yang menggembung bagai akar pohon. Sungguh kontol idaman para wanita haus sek.

“Pelan-pelan,, Pak. Biar basah dulu memeknya,” bisik Sari yang sudah bangkit birahinya. Walau pun sudah tidak sabar, Pak Didi sadar, memek anaknya ini sudah lama tidak disodok batang kontolnya. Dia tidak ingin membuat keributan yang mengundang penasaran majikannya. Sari kalau sudah diewe suka menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Makanya, dengan menahan sabar, jempol dan jari-jari kapalan milik orangtua itu membelah belahan memek tebal milik Sari.

“Kamu tutup mulut jangan brisik kalau diewe, bisa repot nanti!” kata Pak Didi dengan suara pelan.

Sari hanya mengangguk sambil meram melek merasakan kenikmatan memeknya dikocok-kocok jari kapalan bapaknya. Kemudian dengan pasrah ia mengikuti kemauan bapaknya itu, tubuhnya tergeletak di tempat tidur dengan dua kaki terjuntai ke lantai. Dengan diganjal kedua lututnya, Pak Didi merapat, meletakkan batang kontolnya di belahan memek gemuk Sari yang dikuakkan ditahan oleh jari-jarinya.

“Enggh! Pelan-pelan, Paaak,” Sari mengerang perlahan ketika merasakan kepala kontol itu telah berada di lubang memeknya. Menekan keras mencoba merangsek masuk.

“Prrrt! Blep!”

“Akh!” Sari tidak tertahan menjerit merasakan sodokan keras kontol bapaknya itu.

Tiba-tiba terdengar makian dari luar pintu, “Dasar! Pagi-pagi udah ngewe aja!”

Pak Didi dan Sari terdiam sejenak oleh rasa kaget. Tapi segera bernapas lega ketika mengenal suara itu. Onah, istri Pak Didi dan ibu dari Sari.

“Ga tahan, Onah.. tolong jagain, jangan sampai Nden Risma ke sini!”

“Masabodo! Tanggung jawab aja sendiri!” terdengar suara Onah menjauh.

“Makanya jangan brisik!” kata Pak Didi dengan mata melotot ke Sari yang hanya tertawa kecil, “lanjutin, Pak. Sodok yang keras!” pinta Sari.

Pak Didi mulai menggenjot kembali, dia membuka kancing kebaya Sari, menarik turun kutangnya. Dua bongkah payudara yang besar memberojol keluar. Yang segera diremasnya keras-keras.

“Duuuhhh, enak sekali, Pak,” erang Sari sambil tetap menahan kesadarannya agar tidak berteriak-teriak seperti biasanya kalau sedang bersetubuh.

Tubuh montok Sari sampai terlonjak-lonjak oleh hentakan-hentakan kasar bapaknya. Batang kontol besar itu sudah berkilat dibasahi lendir putih cairan birahi Sari.

Mulut Sari seperti orang yang kepedasan habis makan sambal. Mendesah-desah seiring genjotan Pak Didi.

Beberapa saat kemudian, Pak Didi merasakan batang kontolnya mnejadi seret digencet dinding-dinding memek Sari yang berkedut-kedut. Dia tahu, sebentar lagi Sari akan orgasme. Orangtua itu segera menjatuhkan tubuhnya, mulutnya menghunjani bongkahan payudara besar Sari dengan ciuman dan sedotan.

“Jangan dicupangin, Pak. Ntar Kang Komar curiga!” bisik Sari ditengah lenguhannya. Komar bukan lain adalah suami Sari.

“Hmmrrrh!” Pak Didi hanya menggeram, menahan nikmat batang kontolnya yang tengah diperas oleh memek Sari.

“Sari sampai, Paaak! Aaahkkh!” Sari terpaksa menggigit bibirnya keras-keras agar suaranya tidak terdengar sampai keluar kamar. Tubuh montok berkulit hitam manis itu melonjak meregang. Kedua tangan Sari meremas rambut Pak Didi sekeras-kerasnya, menekan wajah orangtua itu hinggal terbenam ke dalam payudaranya.

Sesaat, di kamar itu hanya terdengar deru napas memburu.

“Bapak belum keluar?” tanya Sari beberapa saat kemudian.

“Belum lahhh,” dengus Pak Didi sambil mencabut kontolnya yang masih kaku. Enak saja dia membersihkan lendir orgasme Sari menggunakan kolornya. kemudian dia membalikkan tubuh Sari dalam posisi menungging di tepi pembaringan.

Memek Sari terlihat gemuk menggantung dengan belahan yang sudah terkuak lebar, tanpa aba-aba lagi, orangtua itu segera menusukkan kembali kontolnya ke dalam memek anaknya itu. Kembali menggenjot keras-keras.

Sari yang masih lemas pasrah saja disodok dalam posisi menungging. Posisi kesukaannya sebenarnya. Di posisi itu, kenikmatan yang digapainya lebih maksimal. Maka tidak heran kalau birahinya kembali naik dengan cepat.

Pak Didi menggenjot dengan irama tetap, cengkraman dinding memek Sari lebih terasa enaknya dalam posisi menungging seperti itu. Dia segera merendahkan tubuhnya rata di atas tubuh Sari, kedua tangannya menyelusup ke dada Sari, meremas-remasnya dengan gemas. Sementara mulutnya tidak tinggal diam, mencium dan menjilati tengkuk Sari yang menggelinjang-gelinjang antara geli dan nikmat.

Dalam posisi itu, pantat Pak Didi mengayun santai. Ketika dalam posisi menarik, mulut memek Sari ikut tertarik menggembung, sementara kalau disodok, memeknya ikut mengempot dalam. Nikmat, lezat dan sedap. Itulah keadaan yang dialami Pak Didi saat menyetubuhi anaknya.

“Enak, Paaak. Coba Kang Komar punya kontol sama tenaga kaya bapak, tentu bahagia sekali Sari,” bisik Sari sambil meram melek.

“Hek-hek-hek, kan ada bapak yang selalu siap memuaskan kamu,” balas Pak Didi sambil terkekeh-kekeh pelan.

“He-emh!” sahut Sari Pendek.

“Sekarang gantian kamu yang di atas, goyang bapak, Nduk!” kata Pak Didi kemudian sambil mencabut batang kontolnya dari dalam memek Sari. Dia segera membaringkan tubuhnya ke atas kasur.

Tanpa banyak berkata-kata, Sari segera menaiki tubuh bapaknya, memposisikan kepala helmnya ke lubang memeknya.

“Srrt! Bleshhh!”

“Owh!” Sari menengadahkan wajahnya, menurunkan pelan-pelan pantat besarnya. Lalu dengan gerakan perlahan menggenjot naik turun. Kadang menggoyang maju mundur, kadang bergoyang memutar. Kenikmatan tiada tara dirasakan Pak Didi saat itu. Tangan tidak menganggur, dua bongkah besar payudara Sari yang menggantung bergoyang-goyang, diremasnya, kadang puting-putingnya yang menonjol mengeras itu dibetotnya dengan gemas. Kegiatan yang membuat Sari keenakan.

“Goyang makin keras, Ndhuk! Bapak mo keluar sebentar lagi!” dengus Pak Didi.

“Sari juga, Paaak. Tahan sebentar.... hshhhh!”

Sari mempercepat goyangannya.

Hingga suatu saat. Pantatnya menghentak dalam dengan tubuh menjengking, kalau tidak ditahan Pak Didi, bisa jadi tubuh montok itu terjengkang ke belakang, jatuh ke lantai. Pak Didi mendekap tubuk motok itu yang jatuh terkulai ke atas tubuhnya. Sementara di dalam memek Sari dua semburan dahsyat menggelegak bagai lava, meleleh dari belahan memek Sari yang berdenyut-denyut.

“Enak, Pak. Sudah lama Sari tidak merasakan ngewe senikmat ini,” bisik Sari dalam deru napasnya yang masih memburu. Kemudian anak dan bapak itu berpagutan.

“Sudah ah, cucian belum selesai dijemur,” kata Sari sambil menarik pantatnya pelan-pelan.

“Plop!” terdengar suara pelan ketika kontol Pak Didi terlepas dari cengkraman memek Sari.

Dengan buru-buru, Sari memakai celana dalamnya, mengancingkan kembali kebaya yang dipakainya. Lalu tanpa menoleh lagi ia mebuka pintu. Clingak-clinguk sebentar, memastikan keadaan aman. Lalu menghambur kembali untuk meneruskan pekerjaannya.

Sepeninggal Sari, Pak Didi masih tergeletak di atas kasur, bayangan sembulan payudara majikannya kembali menggodanya.

“Hmmm, terpaksa ilmu peletku kugunakan lagi!” kata hati orangtua ini sambil menyeringai senang.

-----

Semoga terhibur, Agan dan Suhu. Mari kita edankan dengan ide-ide gila


:ampun:

:ampun:

:ampun:
Mantul sangat suhu thx for update
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd