Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Chapter 9:

A Little Thing Called Adventure



"FRISKA KAMPREEEETTT!!!"


Teriakan itu membuatku terkejut sehingga aku tidak jadi mendapatkan orgasmeku. Huft... Kentang... Mengesalkan, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku berdiam sejenak, menunggu sampai perasaan itu agak memudar. Berengsek... Rasanya seperti ingin mengucapkan semua kata serapah yang ada di dunia ini, mengacungkan jari tengah pada langit dan bumi.


"DUK!! DUK!! DUK!!"


Kali ini terdengar pintu digedor dan handel pintunya dibuka-buka paksa walau kalau dikunci ya tentu saja tak bisa dibuka. Sejenak aku menunggu Ci Lily untuk turun, tapi ternyata tidak ada respons, jadi kurasa Ci Lily dan Chandra sedang tak di rumah. Maka aku pun segera memakai celanaku, bangkit, lalu keluar.


"Ada apaan sih, ribut-ribut?"

"Eh, Mas Erik, kirain gak ada orang. Ci Lily gak ada, Mas?"

"Tauk, dari tadi nggak ketemu, kamu Sheila, kan?"

"Iya, Mas, hehehe."



Orang yang menggedor-gedor pintu itu adalah Sheila, teman sekamar Friska, sama-sama bekerja di minimarket, tapi Sheila di Alf*mart.


"Si Friska pergi ya Mas?"

"Iya, tadi bareng ama temennya."

"Aduh, parah... Temennya yang namanya Santi bukan?"

"Iyaa itu. Yang pake behel."

"Aduuh!"

"Kenapa?"

"Si Friska nggak ninggalin kunci kamar. Padahal kita udah sepakat, kalo mau pergi, kunci ditinggal kalau nggak di rak sepatu ya di keset, lha ini gak ada."

"Ventilasi pintu?"

"Nggak nyampe aku, Mas, kan aku pendek."

"Bentar."



Aku kemudian memeriksa kisi-kisi ventilasi pada bagian atas kusen pintu, dan ternyata tidak ada apa-apa juga di sana selain debu tebal.

"Gak ada tuh, Shel."

"Yah, gimana dong? Aku mau ganti baju gak bisa ini, bajuku di dalam semua."

"Udah coba telpon si Friska?"

"Nggak diangkat, trus kalo dia jalan ama si Santi, udah pasti baliknya kalo gak tengah malem ya subuh. Dia mah enak besok libur, Santi jatah masuk malem."

"Lha? Dia libur koq nggak besoknya aja dia jalan?"

"Biasa tuh, Mas, hari ini katanya si Santi yang libur, jadi dia bela-belain izin biar bisa main."

"Wah, parah juga ya."



Aku sebenarnya berpura-pura tidak tahu saja, karena Friska yang kukenal di timeline asalku pun melakukan itu juga.


"Duh, gimana nih, aku udah gerah, lengket lagi."

"Cari dulu coba di jemuran kali aja ada baju yang udah kering, kalo nggak ada kamu pake bajuku aja."

"Hah? Pake baju Mas Erik?"

"Aku ada kaos tebel, masih rapi belum aku pake, kamu pake aja dulu kalo emang gak ada, ya sementara aja."

"Serius Mas, gak apa-apa?"

"Gak apa-apa, sudah sono, coba cek dulu."



Sheila pun mengangguk lalu menuju ke bagian jemuran di atap, sementara aku balik ke kamar dan mengambil sebuah kaus gombrong warna oranye lengan panjang. Bagiku itu pas, tapi bagi Sheila mungkin agak kebesaran, karena Sheila lebih pendek daripadaku, tak lupa aku menyiapkan celana boxer bersih.


"Gak ada yang kering, Mas."

"Ya udah, pake baju ama celanaku dulu aja. Beha ama CD kamu pake lagi dulu aja."

"Iya, Mas. Makasih banget lho."

"Kamu mau makan apa? Ntar aku beliin makanan sekalian keluar."

"Eh, jangan, Mas, ntar ngerepotin."

"Gak apa-apa, di sini ada yang enak gak?"

"Nasgor depan aja Mas, aku nitip mie goreng gak pedes ya, duitnya..."

"Pake duitku dulu aja gak apa-apa, dah kamu mandi aja dulu."

"Oh, gitu, oke?"

"Ntar kalo mau istirahat atau apa ke kamarku dulu aja ya. Pintunya dibuka."

"Oke, Mas, aku mandi dulu ya."



Sheila kemudian mengambil handuk dari jemuran handuk yang memang ada di setiap dua kamar, lalu mengambil kaus dan boxer dariku sebelum akhirnya mandi. Dasar, ada apa sih hari ini, belum juga mulai malem koq dramanya banyak banget.




Aku kembali beberapa menit kemudian dengan membawa nasi goreng dan mie goreng pesanan Sheila. Saat naik ke atas, kulihat Sheila sedang duduk di kasurku dengan muka cemberut. Dia memakai kaus gombrongku dan boxer putihku, sambil mengutak-utik hapenya. Sheila ini kalau dilihat-lihat sebenarnya cantik, rambut pendek, kulit putih bersih; lebih putih dari Friska dan Rini walau masih kalah kalau dibandingkan Metta, bibir mungil, dan kaki yang bagus, walau pendek.

Dia mengangkat kepalanya dan melihatku, dan dia tersenyum.


"Mas Erik, udah pulang? Dapet mie nya?"

"Ada nih."



Aku menunjukkan makanan yang kubawa. Sebenarnya sih, jujur saja aku masih agak kesal perkara kentang tadi, tapi kalau dipikir-pikir, ya nggak bisa nyalahin dia juga sih. See, aku bukan orang yang gampang marah, juga bukan orang yang kalau marah lama. So, saat aku marah pada Rini tempo hari, itu benar-benar luapan kemarahan yang mungkin telah lama kupendam. Luar biasa bahwa dalam keadaan kalap seperti itu aku masih bisa menahan diri untuk tak menyakiti Rini.

Aku masuk ke dalam kamar dan meletakkan makanan pada meja lipat pendek di sana. Tak jelas benar bagaimana kami bisa memutuskan makan di kamarku, tapi Sheila sendiri juga sepertinya tak ingin pergi. Koridor, walau ada meja dan kursi, tak terlalu enak untuk dipakai makan. Kami duduk berhadapan, dan Sheila tidak duduk bersila, kalau orang Jawa bilang dia duduk secara "jegang", dengan satu kaki ditekuk lutut menghadap atas.

Kami pun makan, dan sambil makan itu, dari jarak dekat, aku bisa mengagumi bahwa Sheila memang cantik. Tubuhnya sama proporsional dengan tingginya, tidak terlalu gemuk atau kurus, dengan paha dan betis berisi. Kelemahannya, sebagaimana Friska, adalah Sheila ini susunya kalau kulihat agak-agak flat, bahkan lebih kecil dari Friska, karena kaus gombrongku saja cukup untuk menyembunyikannya, tapi...

Pandangan mataku tiba-tiba menuju ke daerah dada Sheila, dan kulihat ada semacam tonjolan samar di sana, dan tiap bergerak, terlihat bagian itu agak bergerak bebas. Apa Sheila tak memakai beha? Lalu kulihat lagi dia yang sedang makan itu dan aku baru sadar bahwa saat duduk jegang ini boxer yang dipakainya agak melorot sehingga pahanya terpampang hingga selangkangannya terlihat karena lubang boxer memang besar dan longgar. Namun alih-alih CD, malah kulihat seperti gundukan sewarna kulit dengan tone lebih gelap dan beberapa rambut keluar. Apakah...


"Ngapain, Mas?"


Aku segera tersadar dari lamunanku, dan langsung mengarahkan pandangan ke arah lain.


"Oh, gak apa-apa, kamu lahap juga ya makannya."

"Iya, laper, siang aku belum makan."

"Koq belum makan?"

"Nggak sempet aja. Cuman ambil roti doang dari store."

"Ya, paling gak ada yang dimakan, kan?"

"Buat ngganjel perut doang. Makanya laper lah sekarang. Oh ya, berapaan mie nya, Mas?"

"Udah nggak usah, my treat."

"Yah, jangan gitu dong, nggak enak aku."

"Hahaha, anggep aja aku lagi syukuran abis pindahan, makanya kamu aku traktir. Santai aja lah."

"Hehehe, makasih, Mas."



Selama dan setelah makan itu kami mengobrol panjang lebar. Dia bercerita bahwa Friska dan dia berasal dari unit outsource yang sama, dan bertemu di kantor outsource yang menempatkan mereka di Ind*maret dan Alf*mart di daerah sini. Karena mereka berdua sama-sama orang rantau, maka memilih untuk ngekos bareng supaya tidak terlalu berat. Mereka sudah bekerja selama 3 bulan ini, tapi baru bulan lalu mereka pindah ke kosan Ci Lily.


"Tapi ya itu, Mas, nggak enaknya kalau ama Friska itu, dia kan punya temen yang namanya si Santi itu, nah, dia ini sering maen, dan sering juga ngajakin si Friska ampe malem, kadang subuh, nggak tahu tuh ke mana. Dan ya kayak gini kejadiannya nggak cuman sekali dua kali, Mas, pergi tapi kuncinya nggak ditinggalin."

"Jadi sering dia kayak gini?"

"Sering banget sih enggak, tapi ya tetep aja ngeselin. Padahal juga udah diingetin berkali-kali tapi tetep aja lupa. Pokoknya kalo udah maen ama si Santi itu berasa lupa segalanya."

"Emangnya dia ama Santi ke mana kalo maen, koq bisa baliknya tengah malem atau subuh?"



Sheila mengangkat bahunya.


"Diskotik kali, kalau nggak ya hotel."

"Hotel? Ngapain di sana?"

"Tauk, ya happy-happy aja katanya."



Dia mengambil hapenya lalu menunjukkan salah satu foto dalam sosmed si Friska. Foto itu menunjukkan Friska dan Santi sedang berpose bersama sambil memakai baju gaya baby doll yang cukup pendek sehingga memperlihatkan paha mereka berdua. Tapi ini bukan selfie, dan jelas ada orang lain yang mengambilnya. Pada foto lain mereka berdua tengah duduk di ranjang hotel dengan empat orang pemuda tanggung dan botol-botol minuman berserakan di sekitar.


"Ini temen-temennya Friska?"

"Bukan, nggak tahu siapa. Komunitas kita kan deket ya, jadi aku tahu pegawai-pegawai minimarket seputaran daerah ini, dan mereka itu bukan. Tauk tuh cowok-cowok dari mana. Kayaknya sih temennya si Santi, tapi gonta-ganti mulu."

"Lha terus ngapain mereka di hotel kalau nggak gitu kenal?"

"Ya meneketehe. Kalo si Friska ngomong ama aku sih nggak ngapa-ngapain, party-party ama happy-happy doang. Tapi, Friska itu jujur pemikirannya kan masih kayak bocah ya Mas, jadi ya gitu, diajak siapa aja kayak ayuk aja, nggak milih-milih."

"Bahaya dong."

"Ya gitu lah, Mas, cuman aku sih masih percaya kalau Friska bilang nggak ngapa-ngapain, paling sih dicolekin doang."

"Dicolekin mah sama aja diapa-apain kali, apalagi kalo yang dicolek bagian berbahaya."

"Kalau langsung frontal gitu nggak deh kayaknya, dia masih bisa jaga diri. Temennya si Santi ini yang aku nggak yakin. Aku kan ngikutin juga FB-nya ya, terus dia punya baju ama tas-tas bagus, terus sering makan di restoran mana gitu, or pergi ke mana jalan-jalan. Katanya sih itu dijajanin temennya, tapi ya nggak mungkin lah."

"Beneran hadiah dari temennya kali?"

"Ya ampun, Mas, kemaren aja dia pasang behel ngomongnya gratis, terus ngajakin si Friska. Yang bener aja? Pasang behel kan mahal, gak mungkin lah dokter gigi mau ngasih pasang gratis, apalagi dokternya katanya temennya dia, ngganteng, makanya diusulin ke Friska buat ngikut juga."

"Mungkin Friska pengen kayak Santi juga kali, bisa dapet barang-barang bagus, diajakin ke mana-mana?"

"Ya mungkin aja. Si Friska itu pacarnya banyak, tahu gak, Mas? Di Medan katanya ada pacar yang dia telpon berjam-jam, tapi katanya ada satu temen store-nya dia yang ngakunya pacaran ama dia, terus manager store-ku aja ngebet ama dia. Tapi ya gimana ya, masih kayak bocah sih, masih nganggepnya pacaran itu kayak maen mainan."

"So, kalo dia ngeselin, kenapa kamu nggak ngekos sendiri aja? Or cari temen ngekos lainnya."

"Kalau bisa sih mau aja, tapi masalahnya dia doang yang mau. Kalau sendirian akunya berat mbayarnya, Mas."



Pembicaraan berlanjut makin panjang lebar dan seru. Setelah membicarakan soal Friska, kemudian si Sheila pun bicara soal bahwa dia baru saja ditembak oleh temen online-nya. Dia bahkan memperlihatkan foto cowok yang baru menembaknya itu lewat sosial medianya.


"Trus kamu terima?"

"Belum tahu nih, Mas, bimbang aku."

"Koq bimbang?"

"Aku suka sih ama orangnya, deket juga, kalau diajakin ngobrol nyambung, pernah beberapa kali ketemu juga, tapi..."

"Tapi?"

"Nggak tahu, kayak belum yakin aja."




Posisi kami saat itu sudah berada duduk sebelah-sebelahan di kasur dengan kaki diselonjorkan, dan karena sebelah-sebelahan, jadi sesekali kaki kami pun bersentuhan. Awalnya setiap bersentuhan entah aku atau Sheila pasti menarik kaki, namun lama-lama, dengan obrolan semakin seru, kami makin cuek, dan kini betis kami saling menempel. Terasa dingin, lembut, empuk, dan berbeda.


"Belum yakinnya gimana, Shel?"

"Ya nggak tahu ya, kayaknya sih aku lebih seneng dia jadi temen gitu, apalagi kenal di Fesbuk udah lama kan, dari zaman Frenster juga."

"Hmm, sama kayak pacarku dong."

"Oh, Mas Erik udah punya pacar?"

"Iya, mulainya dari Frenster juga."



Sheila hanya memberi reaksi saja, namun yang kuperhatikan bahkan setelah berkata begitu dia tidak mengubah posisi duduknya, betisnya masih tetap sama menempel pada betisku.


"Liat dong, Mas, pacarmu kayak gimana?"


Aku segera memperlihatkan foto di akun sosial media Metta, agak susah, karena fotonya sedikit sekali yang di upload. Sheila hanya manggut-manggut saja.


"Cantik ya, pacarmu Mas, namanya Metta?"

"Iya."

"Tapi Mas Erik ama si Metta ini udah kenal lama?"

"Ya temen onlen aja, sama kayak kamu ama cowok kamu itu. Kalau emang udah yakin sih ya jalanin aja. Aku aja bisa, siapa tahu kamu juga bisa."

"Ya, ntar dicoba deh, Mas."

"Jangan dicoba lah, ya atau tidak aja. Biar dia nggak ngerasa digantung."

"Oke, Mas."



Tanpa sadar saat itu aku menguap. Kulihat jam dan wow, ternyata sudah hampir jam 10 malam, dan si Friska belum pulang juga, sementara aku cek hapeku dan tidak ada update juga dari Metta.


"Temenmu belum pulang juga nih?"

"Iya, lama Mas kalau dia mau balik. Mas Erik udah ngantuk ya? Aku keluar deh, aku masih belum ngantuk soalnya."

"Eh nggak apa-apa, kalo belum ngantuk di sini aja. Nonton noh, aku ada film di laptop."

"Film apa, Mas? Bokep ya?"

"Enak aja, ada lah banyak, pilih aja di folder Movie di D, kamu nonton aja. Eh, bentar, bentar, ntar kalo Friska belum balik kamu mau tidur di mana?"

"Ya di luar, Mas, di kursi panjang."

"Jangan, udah ntar kalau kamu ngantuk aku bangunin, kamu tidur di sini, aku yang tidur di kursi."

"Nggak apa-apa, Mas? Aku nggak enak."

"Udah gak apa-apa, kasihan kamu udah kerja seharian, biar istirahatnya nyenyak. Aku mau tiduran dulu ya, Shel, kalau kamu ngantuk bangunin aja, ntar aku pindah keluar."

"Oke, Mas."



Aku pun merebahkan diriku ke kasur dengan Sheila masih di dekatku, sedang memilih film untuk ditonton. Aku sudah tak memperhatikan dia memilih film apa, karena mataku sudah cukup berat. Sebenarnya ada hal berbeda yang kulakukan, karena bila itu aku di timeline awal, aku akan langsung tidur di kursi panjang di koridor dan meninggalkan Sheila di kamarku, tapi, yaah, setidaknya hari yang penuh drama ini berakhir...






"Aaahhh..."


Aku merasa seperti terbang, bertelanjang di padang rumput hijau, dalam kota bak kota kecil di pedalaman Austria seperti yang gambarnya sering kulihat di kartu pos. Aku berjalan bertelanjang, namun orang-orang dengan lederhosen tampaknya tidak aneh dengan itu.

Ya, ini mimpi, pasti mimpi. Satu-satunya situasi aku berani berjalan bertelanjang di dalam tempat umum ya sudah pasti hanya di dalam mimpi. Apalagi meski otakku berpikir ini di Austria, orang-orangnya berambut gelap mirip orang-orang Indonesia. Gadis-gadis tertawa cekikikan saat melihatku, mungkin lucu melihat seorang pria sepertiku berjalan telanjang. Mereka menggumamkan kata-kata yang aku tidak pahami, jadi aku berlagak seperti seorang dewa Yunani, membuka tanganku seperti patung-patung di kuil.

Para gadis itu lalu mendatangi dan mengerubutiku lalu berlutut, salah satunya memegang bagian bawahku. Rasanya hangat dan lembut pada kontolku yang tegang. Tangannya tidak terlalu halus, terasa agak sedikit kasar yang memberikan tekstur unik pada batang kontolku. Aah yess, ini mimpi basah karena dari tadi aku gagal terus untuk ngecrot.


Gadis itu lalu memasukkan kontolku dalam mulutnya, hangat, lembut, basah, dan geli pada bagian pipanya, menjalar sampai selangkangan. Geli bercampur ngilu... Linu... Basah... Hangat...

Mataku tiba-tiba terbuka dan sensasi itu masih ada, bahkan terasa amat nyata, membuat seluruh tubuhku bereaksi. Kamar ini gelap, dan ada bayangan gelap dengan rambut panjang lebat tengah berada di atas tubuhku dan kurasakan kontolku keluar masuk dalam mulutnya. Setan?? Ah, mustahil, setan koq hangat?? Tapi setan dari api, jadi wajar kalau hangat.


"Haaahh, setaa.... Hmmmpffhhh!!"


Mulutku tak bisa lanjutkan perkataanku karena tangan bayangan itu menutupnya, tangan yang hangat dan lembut, dan serasa tidak asing.


"Psssstt, diem, Mas Erik, jangan berisik, Ci Lily baru aja balik."

"S-Sheila??"



Ternyata benar, yang duduk di atasku itu adalah Sheila, sementara pintu kamarku tertutup dan lampu mati, dengan dari laptop terdengar musik lirih dari film "The Sound of Music". Pantas saja aku bisa mimpi berada di Austria.

Saat mataku terbiasa dengan kegelapan, jelaslah bahwa Sheila tengah menaikturunkan kepalanya pada selangkanganku, dan kontolku yang tegak berdiri keluar masuk dari mulutnya sambil salah satu tangannya yang mungil memijat pangkal kontolku. Suasana di kamar ini pun menjadi lebih panas dan lembap bagai di sauna, walau exhaust fan menyala kencang.


"Huft, gila, kontolmu keras banget, Mas Erik. Ampe pegel ngemutnya."


Sheila membuka kausku yang dipakainya, dan seperti dugaanku, dia tak memakai beha di baliknya, langsung bagian tubuhnya yang putih dengan puting agak kemerahan, di tengah cahaya layar laptop. Keringatnya sudah banjir sehingga badannya mengkilap. Aku sendiri masih agak-agak drowsy karena baru bangun, namun kurasakan tempo Sheila dalam menyepongku agak berantakan, begitu pula pijatan tangannya.


"Mas Erik, aku masukin aja, ya? Pegel..."

"I-Iya, Shel, masukin aja..."



Kemudian Sheila berdiri sambil menghela nafas, keringatnya bercucuran dan aku mencium wangi feromonnya yang semerbak, asam namun tidak tengik cuka. Memang tidak sesegar Metta, namun lebih baik daripada Rini di saat terakhir aku bercinta dengannya. Dia lalu melepas boxerku, dan benar seperti dugaanku, dia tidak memakai celana dalam. Mekinya memiliki rambut yang sebenarnya agak lebat, namun tak sampai tak terawat, dan bahkan dengan cahaya yang minim aku masih bisa melihat cairan yang meleleh ke paha dalamnya.

Sheila kemudian menghadapku, tangannya mengarahkan kontolku yang tegak berdiri, awal-awal digesek-gesekkan pada bibir mekinya yang lembap itu, yang sepertinya sudah sangat sensitif karena dia langsung melenguh dan mengerang. Pelan-pelan, kurasakan kepala kontolku mulai memasuki pintu gerbang, yang sepertinya sama sempitnya seperti Metta, namun otot-ototnya kurasakan lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri. Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam, kemudian menurunkan tubuhnya dengan suara lengkingan nada tinggi, mirip seperti waktu Metta kutusuk pertama kali dengan kontol ini.


"Eeeeeeennnnnnnnnnnggggggggghhhhh... Aaaaahhhhh... Issssshhhhhhh... Huft... huft... huft..."


Bless!! Dan kontolku langsung tertanam seluruhnya ke meki Sheila, secara resmi menjadi meki kedua yang pernah kumasuki. Berbeda dengan Metta yang memberikan remasan yang kencang dan mantap, meki Sheila ini lebih licin dan memijat dengan lebih lembut.


"Bentar, huft... Gede juga ya?"

"Gede apaan sih, Shel? Cuman 14 cm juga."

"Masa sih? Itu gede bukan?"

"Entah..."

"Oke, oke, huft... Mas Erik diem aja gak apa-apa, aku dulu yang goyang yak."



Aku mengangguk. Ya, memang aku agak kelelahan juga disamping baru bangun tidur sehingga masih agak pusing. Sheila lalu bergerak dengan goyangan yang amat lembut, jauh lebih enak bila dibandingkan dengan Metta atau Rini, menunjukkan bahwa Sheila sepertinya lumayan berpengalaman. Tangannya dia tumpukan pada dadaku, dan sesekali dia menggelitiki putingku. Caranya mengendalikan kontolku agar tidak lepas dari mekinya bagiku cukup hebat, begitu pula dengan pengaturan temponya. Karena dia tahu bahwa aku masih setengah mengantuk, maka dia sengaja menggenjot agak kencang agar aku bisa cepet keluar.


"Mas... huft... bukannya tadi kentang yak... ugh... koq keluarnya lama sih... aaahh..."

"Kamu tahu dari mana aku kentang, Shel?"

"Aahhh... Mas Erik pas telponan ama pacarnya... aaahh... huft... kenceng banget lho, kedengeran dari luar..."

"Aaah... Masa sih?"

"Iyaaah... aku nguping tadi, ugh..."

"Dasar kamu... aahh..."



Entah karena kesal atau gemas, aku pun mulai menggenjotnya menyesuaikan temponya. Dia agak terkejut dengan manuverku, namun tak bisa lakukan apa-apa selain mengikutinya.


"Terus, tahu aku kentang dari mana?"

"Aku denger Mas Erik ngocok lagi abis selesai telpon... Aaahhh... Isshh... Terus, Mas..."



Namun aku mainkan sejenak dengan berhenti menggoyangnya. Dia tampaknya syok saat aku melakukan itu dan langsung menggerakkan pinggulnya lebih kencang, tapi sia-sia karena aku sengaja menguncinya, dan dengan cepat kutarik pantatnya sambil kutegakkan badanku hingga kini posisi kami menjadi seperti posisi lotus. Dalam posisi ini, dia tak bisa bergerak selama aku menguncinya.


"Mas Eriiiik... Goyang lagi aah..."

"Jawab dulu, kamu nguping doang apa ngintipin?"



Sheila tampak resah, karena aku masih memainkan kontolku namun tidak dalam tempo yang dia sukai.


"Jawab nggak?"

"I-Iya, tadi aku ngintip bentar, abis gordennya Mas Erik agak kebuka... Aaahhh..."



Sial, ini namanya karma instan, tadi aku ngintipin Friska, sekarang malah aku gantian diintipin oleh Sheila.


"Terus kamu horny?"

"I-Iya, Mas... Ugh... Tapi udah dari pas balik tadi... Aaahh..."

"Kenapa?"

"Tadi Sheila dikerjain di store, Mas... Uggghh..."



Langsung Sheila kujatuhkan, dan dia amat kaget karena aku tak memakai aba-aba. Kedua kakinya kutaruh di pundakku, lalu kutarik hingga dia tegak kembali dan membentuk posisi yang dinamakan "octopus". Ini pernah kulakukan beberapa kali bersama Rini, entah berapa tahun yang lalu, dan karena badan Sheila lebih berisi daripada Rini, maka agak mengganjal, namun kakinya cukup fleksibel. Kuganti posisi kakiku dan mulai menggenjotnya. Dia awalnya tampak canggung pada posisi yang tidak biasa ini, namun akhirnya mulai menikmatinya.


"Cerita dong dikerjain gimana?"

"Aaah, i-iya, tadi store lagi sepii... Aaahh... Yang jaga cuman aku ama temen satu doang... Lalu aku ke kamar mandi... aahh... Pintunya nggak nutup kenceng... Tahu-tahu ada mas-mas masuk... Trus dia bukannya keluar malah minta ngentot ama aku... Aaahh..."

"Terus kamu kasih??"

"I-Iya, Mas... Huft..."

"Kenapa kamu kasih?"



Pada saat ini tempo kupelankan namun setiap kali menyodok kusorongkan hingga mentok, dan tubuh Sheila sampai berguncang, termasuk dua susunya yang agak flat.


"Pas aku mau suruh keluar dia keluarin pisau, Mas... Huggh... Jadi ya... Aaagh... Aku kasih aja..."

"Gimana kamu ngasihnya?"

"Aku berdiri terus mbungkuuukkhhh... ngadep tembok... huggh... dia nyodok dari belakang..."

"Enak enggak?"

"Henggagh... huggh... takut soalnya... Dia juga cepet-cepet..."

"Crot dalam, ya?
"


Sheila mengangguk-angguk. Ini menjelaskan kenapa meki Sheila terasa licin yang tidak biasa. Aku akhirnya mempercepat tempo sodokanku. Karena pijakan Sheila otomatis hanya dari pantat saja, maka dia agak kerepotan mencari pegangan, dan hanya mengandalkanku yang memegangi punggungnya. Aku ingin bisa sedikit mencicipi susunya, namun pinggul dan perutnya benar-benar membuatku agak kesusahan. Karena itulah pelan-pelan Sheila kuturunkan, sehingga dia berbaring di kasur dalam posisi missionary. Tanpa ada halangan, kami segera berciuman dengan hangatnya, sepertinya Sheila ingin melepaskan nafsunya yang ternyata juga sama-sama kentang.

Walau begitu, satu hal yang bisa kubilang dari Sheila adalah, dia nggak begitu pinter ciuman, gerakan lidahnya monoton, bahkan Rini saja masih lebih mantap daripada dia. Mungkin setiap kali dia bercinta, dia jarang sekali melakukan hot kissing dengan pasangannya. Langsung saja aku beralih menciumi leher, tulang belikat, juga susunya yang mungil, bahkan lebih mungil dari susu Rini.


"Henggghhhhh... Aaaaahhhhh... Isssshhhh... Aaaaahhh, Mas Eriiiikk.... AAA *HMPPPHHH!!"


Aku menutup mulutnya karena dia terlalu berisik. Sementara aku kembali mengulum susunya satu-satu sambil menggenjot bagian bawahnya. Susu Sheila memang tak terlalu besar, agak-agak flat, mirip seperti manboobs, dengan areola dan puting yang juga mungil, namun berbeda dengan puting Metta yang agak masuk, puting Sheila walau kecil tapi mancung, sehingga inilah yang menjadi sasaran lidahku. Sepertinya benar kata orang bahwa cewek dengan susu kecil cenderung lebih mudah terangsang pada susunya, karena ujung syarafnya tak terlalu banyak tertutup oleh jaringan lemak. Dari awalnya dia aktif hingga akhirnya tangannya hanya merangkul punggungku saja. Aku segera menciumnya supaya dia tak mengeluarkan suara terlalu berisik, dengan dua tangan memainkan kedua susu sementara pinggulku menggenjot meki Sheila, dengan kaki Sheila beberapa kali membuka dan mengait pinggulku.

Dari reaksi tubuhnya, aku tahu Sheila sudah beberapa kali orgasme, namun dia tidak squirt sebagaimana Metta, sehingga aman, karena aku tak mau kasurku belepotan cairan squirting, namun aku sendiri masih belum puas, karena meki Sheila yang agak licin sehingga kurang memberikan perlawanan pada kontolku, setelah tubuhnya mengejang dan bergetar beberapa kali, akhirnya Sheila pun lemas dan kakinya terkulai. Pada saat itu juga, akhirnya kontolku memberi sinyal siap untuk meledak. Aku langsung menarik kontolku, menempatkannya pada perutnya sambil mengocoknya...


"Mas Erik, jangan di perut, di mulut aja..."


Langsung saja aku beralih pada mulutnya dan langsung memasukkan kontolku hingga dalam, dia menyedot kuat-kuat dan perasaan ngilu itu pun tiba, disusul dengan getaran pada pinggulku yang semakin kencang dan kedutan kuat pada kontol. Sheila berusaha menyedot hingga pipinya kempot, namun aku merasa orgasme ini berbeda, orgasme ini banyak sekali, mungkin akumulasi dari beberapa kali kentang tadi. Saking hebatnya hingga pinggulku menghantam-hantam muka Sheila, lalu aku pun ambruk, berusaha menahan agar tak menimpa Sheila. Dia masih perlu waktu untuk melakukan beberapa kali sedotan kuat yang rasanya amat ngilu hingga ke perut bawah, sambil tangannya memerah kontolku atas sperma yang tersisa. Baru setelah kontolku agak melemas, dia melepaskan emutannya, dan kulihat pipinya sampai menggembung.


"HMPFHHH!!! HMMMPPPHHH!!"


Dia menunjuk tak tentu arah seolah berusaha mencari sesuatu.


"Air?"


Sheila mengangguk masih dengan mulut tertutup dan pipi menggembung. Aku segera mengambil botol air mineral di dekatku dan memberikannya padanya. Dia sontak meminumnya, agak tersedak sedikit hingga muncrat kembali ke dalam botol dan kulihat air yang tadinya bening berubah menjadi putih kekuningan, namun dia tidak membiarkannya tumpah, dan terus meminumnya hingga habis. Nafasnya terengah-engah seperti orang yang baru saja menyelam, dan suasana menjadi amat panas, seperti di sauna. Sheila langsung ambruk di kasur.

Kupicingkan mataku pada jam, yang menunjukkan pukul setengah satu. Seharusnya di waktu ini sudah tidak ada orang lain yang muncul atau pulang, jadi aku pun membuka sedikit pintu dan jendela nako, tak peduli bahwa aku sedang telanjang, hanya supaya ada hawa luar masuk membantu satu-satunya exhaust fan yang menyala secara rodi. Sheila pun tampaknya juga tak peduli walau dia telanjang tiduran di kasurku. Angin terasa sejuk dan dingin berhembus dari luar, dan pelan-pelan udara panas pun keluar. Film "The Sound of Music" menunjukkan adegan pemuncak saat keluarga Von Trapp melarikan diri dari Nazii setelah bersembunyi di biara. Aku berjaga di balik pintu, dengan begitu jika aku mendengar ada suara, aku bisa langsung menutupnya.


"Puas kamu?"


Sheila mengangguk sambil tersenyum, berbaring telanjang di kasurku, wanita pertama yang mendapat kehormatan untuk itu. Sekaligus juga, secara teknis, dia adalah pertama yang berselingkuh denganku hingga berhubungan seks. Bahkan di timeline asli, saat bersama Metta, aku tak sampai melakukan coitus.


"Mas Erik enak mainnya, padahal aku mulai dari pas filmnya jalan, yang ada lagu 'How Do You Solve a Problem Like Maria'..."


Dia menarik nafas panjang, sepertinya masih agak kelelahan dengan percintaan panjang tadi. Apalagi kalau bener dia mulai dari "How Do You Solve a Problem Like Maria".


"Tau juga kamu lagu itu?"

"Aku kan suka 'The Sound of Music', Mas. Suka aja gitu ama film-film musikal."

"Keren kamu."



Kami lalu terdiam sejenak, hanya saling tersenyum saja. Rasanya agak aneh, karena Sheila yang kukenal di timeline asal kebanyakan sering jutek, dan kini dia tampak manis saat tersenyum.


"So, mau cerita?"

"Soal yang aku dikerjain di store tadi?"

"Bukan, yang sebelumnya nggak kamu sebutin. Ya, kalau kamu mau aja."



Sheila langsung paham maksudku. Dia lalu menceritakan kisahnya, yang tak kuketahui di timeline asalku. Jadi, Sheila pertama kali kehilangan keperawanannya saat kelas 1 SMA. Salah satu cerita klasik, ramai-ramai ke Puncak waktu akhir tahun, dia satu-satunya cewek dengan 4 cowok, lalu ada alkohol dan tahu-tahu saja teman-temannya memperkosanya. Sejak itu dia jadi kenal perkara seks, apalagi wajahnya juga cantik, namun dia mengaku walau rutin namun tak sering, dan rata-rata dengan pacar atau orang yang dia kenal, kasus dengan si konsumen tadi amat jarang terjadi. Ini juga yang menjadi alasan sebenarnya Sheila agak gamang saat ditembak temannya.


"Dia itu orangnya alim, Mas. Lurus, lurus banget malahan. Aku takutnya gimana ntar kalau dia lalu tahu masa lalu aku."

"Ya, kenapa emangnya?"

"Ntar kalau dia nggak bisa terima gimana?"

"Kalau dia beneran cinta kamu, dia bakal menerima kamu apa adanya, termasuk masa lalu kamu walau sekelam apa pun."

"Takutnya ntar malah dia cuman pengen ngewe ama aku doang."

"Ya, itu bisa aja, tapi ya nggak mungkin tahu itu mah. Kudu dijalanin baru ketahuan."

"Tapi aku takut, ntar sakit hati lagi."

"Namanya membuka hati pasti ada kemungkinan sakit, tapi kalau selamanya kamu berada dalam tempurung, kamu nggak bakal bisa lihat sisi indah lain dari dunia. Tinggal kamu mutusin deh, semua keindahan itu sepadan gak ama rasa sakit kamu."



Sheila menatapku dengan pandangan mata aneh.


"Kenapa ngeliatinnya gitu?"

"Mas Erik itu bijak juga ya, udah gitu cakep lalu kalau ngewe jago. Spermanya enak juga, baru ini aku doyan biarpun banyak banget tadi. Jujur ngiri aku ama pacarnya Mas Erik. Gak ada niatan mendua, Mas? Aku mau lho, kalau Mas Erik jadikan aku yang kedua."

"Haiss, pikiranmu, Shel."

"Jadikan aku yang kedua, buatlah diriku bahagia, walaupun kau takkan pernah kumiliki selamanya..."

"Sudah, sudah, tambah malem tambah aneh aja ntar."



Aku mengusap kepala Sheila dengan agak keras. Kami tertawa. Setelah itu aku agak celingukan mencari bajuku.


"Nyari apaan, Mas?"

"Baju, udah ngantuk aku, mau tidur di luar aja."

"Eh, Mas, nggak usah. Tidur di sini aja, berdua kita, ya?"

"Yah, berdua mah nggak bakal tidur pasti."

"Hehehe."







Besok paginya, akhirnya motorku tiba juga setelah dikirim dari kampung halaman. Aku lega, karena dengan begini, aku akan bisa sedikit lebih mudah dalam mobilisasi ke mana-mana, termasuk main ke tempat Metta. Omong-omong soal Metta, dia tidak mengirim pesan apa-apa semalaman, namun pagi ini dia menelepon untuk wake-up call, hal yang membuat aku agak ketar-ketir, karena Sheila sedang tiduran telanjang di sebelahku. Untung hingga Metta selesai menelepon, Sheila tidak mengeluarkan suara aneh-aneh sehingga Metta tak curiga.

And so, yeah... Aku dan Sheila memang tidur bersama semalam, dan bercinta lagi setelah itu, entah dua atau tiga kali lagi, dan baru selesai sekitar jam 3 atau 4. Tak seperti Rini dan Metta, Sheila ini agak-agak berisik saat ngeseks, jadi aku beberapa kali menutup mulutnya, karena kosan ini memang tidak kedap suara, tapi aku menikmati bersama Sheila, karena dia memang bisa lebih mengimbangi gerakanku, mirip seperti Rini setelah 5 tahun menikah.

Paling menegangkan mungkin ketika si Friska akhirnya pulang sekitar jam 2 malam, namun dia langsung ke kamar, bahkan tak menanyakan atau penasaran kenapa Sheila tak ada di kamarnya.

Karena Sheila harus berangkat pagi, jadi dia mandi sekitar jam 5, dan tentu saja aku mandi bersamanya, dan kami sempat quickie sejenak di kamar mandi. Tidak lama, karena Sheila harus berangkat dan kosan juga mulai akan "hidup" pada jam 6. Untungnya, karena kamarnya akhirnya sudah dibuka, maka Sheila bisa mengambil seragamnya di kamarnya. Luar biasanya, dengan semua ini, Friska tetap tidur seolah tak terjadi apa-apa.


"Mas Erik, aku jalan dulu ya," kata Sheila yang sudah rapi dengan seragam merahnya. Bau parfumnya lembut menggelitik hidungku.

"Oke, eh si Friska belum bangun tuh?"

"Oh, kebo dia mas kalau udah tidur, dibanguninnya susah banget, alarm udah pasang ampe 5 aja bablas, apalagi ini libur, kalau bisa jam 10 bangun ajaib banget."

"Hoo, gitu ya. Ya udah, ati-ati di jalan, jangan ampe dikerjain lagi."

"Hehehe, iyak."



Sheila berhenti sejenak lalu berbalik menghadapku.


"Napa lagi? Ada yang ketinggalan?"

"Hehehe, cium dulu dong."

"Ah, dasar, kamu."



Namun entah kenapa aku malah maju dan mengecup bibir serta keningnya. Dia tersenyum, berterima kasih, lalu melangkah pergi dengan riang. Aah, I love this kind of life. Kenapa nggak dari dulu aja ya aku jadi black knight?




"Mas Erik..."


Aku yang sedang membaca buku di koridor menoleh dan melihat Friska baru saja bangun dengan wajah berantakan dan masih memakai gaun baby doll yang dia pakai kemarin. Seperti biasa, dia saking cueknya hingga tak sadar bajunya terlipat di sana-sini memperlihatkan paha dan bagian atas dadanya lebih banyak daripada yang seharusnya.


"Udah bangun, kamu?"

"Jam berapa ya sekarang?"

"Jam setengah 11, kenapa?"

"Duh, lama ya aku tidurnya."

"Kamu libur, bukan? Jam berapa semalem kamu balik?"

"Jam 2 kali ya, duh, pusing..."



Dia lalu duduk di sebelahku dan menunduk sambil memegangi kepalanya. Kerah bajunya jatuh membuatku bisa melihat susunya yang mengintip menggantung. Hmm, perasaan dia kemarin berangkat pakai beha, kenapa sekarang tidak pakai?


"Sheila kemaren udah balik, Mas?"

"Udah, gak bisa masuk kamar dia, kuncinya kamu bawa."

"Eh, masa sih? Terus koq kayaknya semalem nggak ada? Dia tidur di mana?"

"Dia ke tempatnya temennya deket sini, baru balik Subuh, terus mandi berangkat lagi deh, soalnya katanya shift pagi."

"Oh ya, syukur deh."



Tentu saja aku bohong, karena Sheila tidur bersamaku semalam. Namun kami memang sudah bersepakat kalau Friska bertanya dijawabnya sebaiknya seperti itu. Sheila juga menambahkan bahwa Friska itu orangnya polos, jadi dia nggak bakal banyak tanya, dan memang seperti itulah juga yang terjadi. Friska tampaknya lebih fokus pada sakit kepalanya.


"Pusing?"

"Iya, pusing ama pegel semua ini badan..."



Aku mencium bau minuman keras darinya, jadi mungkin dia sedang hangover. Sayang di kosan ini tak ada kopi. Seharusnya aku biarkan saja dia atau menyuruhnya masak mie instan, namun reaksi yang keluar dari mulutku justru bukan itu.


"Mau aku pijitin?"

"Mas Erik emang bisa mijit?"

"Bisa lah, gimana?"



Friska tampak berpikir sejenak, tapi dia lalu mengangguk.


"Iya, boleh deh..."


Fakk!! Koq gampang banget?? Kali ini malah gantian aku yang merinding. Friska sendiri sudah kembali masuk ke kamarnya, sementara aku masih duduk di kursi panjang.


"Mas, katanya mau mijit?"

"Oh iya, bentar, aku pipis dulu. Kamu ada lotion atau baby oil, Fris? Kalau ada siapin aja dulu, sekalian buat alasin kasur yaa."

"Oke, Mas."



Aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Duh, apa yang harus kulakukan? Berbeda dengan Sheila yang memang mengambil inisiatif dan aku hanya ikut saja, kali ini Friska yang membuka kesempatan. Masalahnya karena dia orangnya polos, bila tak kulakukan dengan benar, efeknya bisa ke mana-mana. Ah, berengsek, di saat aku perlu berpikir dengan hati-hati, si kontol ini malah jadi setengah tegang. Sepertinya setelah Metta dan Sheila, si kontol benar-benar ingin dipuaskan, tak seperti diriku dulu yang bisa mengendalikan. Masa bodoh! Aku melepas celanaku, lalu celana dalamku, dan kucantolkan saja celana dalam itu di gantungan baju, dan memakai celanaku, sehingga aku hanya memakai celana saja tanpa celana dalam, lalu aku keluar kamar mandi dan menuju kamar Friska walau dengan rasa dag-dig-dug yang amat sangat.

Pemandangan yang kulihat di dalam kamar justru makin membuat jantungku berdetak semakin kencang. Friska sudah berbaring tengkurap dengan kain seprai cadangan yang dia bentangkan di atas kasur. Dia masih memakai gaun baby doll, namun dengan gaun yang amat pendek itu boleh dibilang hampir seluruh pahanya terlihat jelas, bahkan aku bisa mengintip CD warna hitamnya dari sini.


"Pijitin semua ini, Fris?"

"Iya, Mas, pegel banget semua badan aku. Gak apa-apa, kan?"

"Ya, gak apa-apa."

"Lotionnya di samping ya, Mas."

"Eh, baju kamu nggak mau kamu ganti dulu? Takutnya kena lotion kotor."

"Oh iya ya, lupa, tapi pake apa ya?"

"Sarung atau anduk gede gitu ada?"

"Ada anduk, Mas Erik balik badan dulu ya, jangan liat."



Friska lalu berjalan ke lemari dan mengambil sebuah handuk besar. Dia bahkan tidak mengusirku keluar dulu, hanya meminta berbalik badan. Duh, bayangan Friska melepas baju dan berganti dengan handuk membuatku gemetaran. Aku belum pernah melakukan pijat sensual sebelumnya, bahkan pada Rini, walau aku tahu dan menguasai teknik-tekniknya dari film JAV yang kutonton.


"CD-nya dilepas juga gak, Mas?"


Oh astaga, damn!! Pikiranku melayang ke mana-mana.


"K-Kakimu pegel nggak?"

"Pegel sih, Mas, lepas aja berarti ya?"

"I-Iya, Fris, biar enak."

"Oke."



Jantungku semakin dag-dig-dug nggak karuan, karena ada wanita cantik, hanya beberapa langkah saja dariku, menanggalkan semua pakaiannya dan hanya memakai handuk saja.


"Udah belum?"

"Udah, ayo, Mas."



Aku berbalik dan Friska sudah memakai handuk besar itu sebagaimana kemben. Dia kemudian tengkurap pada alas di atas kasur. Aku perlahan mendekatinya dan melupakan jantungku yang berdetak amat kencang. C'mon, Erik, you can do it. Aku duduk di dekat kakinya dan sejenak memperhatikan betisnya yang indah itu. Kuelus sejenak, dan dia mengikik kegelian.


"Geli, Mas."

"Gampang gelian ya, kamu?"

"Iya."

"Oke, mulai aja ya, aku pijitin kakinya dulu."

"Iya, Mas, oh ya, pintu gak usah ditutup aja ya?"

"Gak apa-apa."



Ya, tentu saja tidak apa-apa, karena aku tahu bahwa situasinya aman, nyaris tidak ada orang, ditambah posisi kamar Friska terletak menjorok lebih jauh dari tangga, sehingga orang yang lalu lalang tak akan melewatinya tanpa sengaja.

Aku membalurkan lotion dan mulai memijat dari betis kanan, kuurut dari tumit, naik ke atas hingga lutut, lalu turun kembali ke tumit, dan kuulangi beberapa kali. Friska tampak mengaduh kesakitan saat kulakukan itu.


"Sakit ya?"

"Iya, Mas, sakit banget."

"Tegang ini ototnya, padahal aku nggak neken keras. Tahan dikit ya, ntar kalau udah pasti agak enakan."

"Iya, Mas."



Kuurut beberapa kali, atas bawah, dengan tekanan yang konstan, kadang sengaja kutekan pada titik-titik tertentu pada betisnya, dan menggunakan kedua tangan untuk melakukan gerakan semacam menguleni. Perlahan otot betis yang semula terasa keras itu lama-lama melembut, dan Friska sudah tak lagi merasa kesakitan.


"Enak?"

"Iya, Mas, udah enakan."

"Yang kiri sekarang ya, kalau sakit tahan."



Aku melakukan hal sama pada betis kirinya, kuurut dengan sekuens dan tekanan yang sama hingga ototnya yang tegang kembali melembut. Lalu perlahan-lahan aku pun naik ke bagian atas tekukan lutut. Mulai dari sini, aku merasa sudah agak nyaman, sehingga tak lagi deg-degan. Mungkin nafsu juga sudah mengambil alih. Dengan santai, kulipat handuknya hingga hanya menutupi pantatnya saja, dan dia agak terkejut.


"Eh, Mas, koq dibuka handuknya?"

"Aku geser biar nggak ngalangin kalau pas ngurut paha."

"Oh gitu, tapi nggak keliatan kan ya, pepek aku?"

"Enggak, nggak kelihatan koq, tenang aja."



Friska kembali menyandarkan kepalanya di kasur dengan tenang. Tentu saja aku bohong, dengan posisiku di bagian belakang dan handuk kulipat hingga ke pantat, tentu saja ujung mekinya kelihatan jelas! Termasuk juga lubang boolnya yang mengintip dari tepian handuk. Dari posisi ini aku baru tahu bahwa Friska memiliki bentuk labia yang agak menggelambir, walau tak begitu parah. Ugh, kontolku mulai terasa berontak ingin keluar, untung saja celana dalam sudah kulepas, jadi tidak kesempitan. Meski begitu aku tak mau terburu-buru. 10 tahun pengalaman sudah mengajarkan hal ini padaku.

Aku mulai mengurut dari betis, kuusap dengan tekanan sama hingga ke paha luar, awalnya hanya beberapa senti dari lutut, lalu kutarik lagi kembali ke betis, dan mengulanginya kembali, dan pada setiap pengulangan aku bergerak sedikit semakin tinggi, dari seperempat paha, lalu setengah paha, lalu merayap hingga pada ketinggian pantat, menggunakan lotion sebagai pelicin.


"Aaaow..."


Friska mengerang pelan, namun ada sedikit nada desahan di dalamnya.


"Sakit?"

"Sakit, Mas, tapi enak."

"Soalnya otot kamu yang tegang lagi dilemesin. Ntar kalau udah lemes kan enak lagi."

"Iya, Mas."



Aku memainkan gerakan tanganku, dari rapat pada betis hingga melebar seluruhnya ke atas, sehingga di mencapai di dekat batas bokong, beberapa sentimeter saja dari selangkangannya, lalu kembali. Cukup sampai ke situ saja, aku tak ingin terlalu ke atas dan membuat Friska waspada. Aku harus membuatnya cukup terlena, hingga dia terbiasa dengan sentuhanku di posisi itu. Dari awalnya mengaduh, lalu mengerang, sedikit mendesah, hingga akhirnya menggeram halus, tanda dia semakin menikmati pijatanku. Setelah dia tak bersuara, aku menutup kembali bokongnya dengan handuk, namun memang tidak sampai ke seluruh paha, hanya setengah paha saja.

Setelah itu aku beralih ke atas, membuka handuknya di bagian atas dan melipatnya hingga punggung dan batas atas belahan pantatnya terlihat. Saat ini kontolku sudah mengeras betul, dan supaya tak mengganggu, maka kukeluarkan dari salah satu sisi lubang celana, masih tertutup oleh celanaku, walau cukup disingkap saja untuk membuatnya mencuat.


"Aku pijat punggungnya ya."

"Iya, Mas."



Aku memegang bagian dasar lehernya, di antara dua bahunya, dan seperti dugaanku, keras sekali, tanda otot bagian itu amat tegang. Aku membalurkan lotion lalu mengurut pelan bagian itu dengan kedua ibu jariku. Friska mengerang kesakitan.


"Iya, Mas, yang itu sakit bener, aaauww..."

"Tegang ini, Fris, emang kamu abis dari mana semalem koq bisa tegang begini?"

"Cuman maen aja ama temen-temen, Mas, happy-happy ke disko."

"Pasti narinya heboh banget ya, ampe sebadan-badan sakit semua gini?"

"Iya, asyik sih... Tapi emang aku juga capek, Mas, soalnya beberapa hari ini kudu angkat-angkat barang juga dari gudang ke display."

"Ngangkatnya nggak bener pasti ini posisinya."

"Iya, Mas, kayaknya ya?"



Dia terdiam menahan sakit saat aku mengurut bagian belakang lehernya dengan jempolku. Bulu-bulu halusnya amat terasa, melemas oleh lotion, dan saat ini fokusku adalah untuk melakukan pijatan ini sebaik-baiknya. Semenjak kecil, karena sering main sembarangan, jadi jatuh dan otot tertarik sudah menjadi langganan bagiku, sehingga aku sering dipijat, dan dari sinilah aku mempelajari secara otodidak sambungan antar otot, juga bagaimana gerakan memijat yang benar. Hanya saja, Rini jarang memintaku memijatnya, karena baginya pijatanku sakit, hanya bila ototnya benar-benar sedang sakit atau pegal saja. Ya, bukan salahku, karena dari dulu aku memang suka pijatan dengan tekanan yang agak keras. Pijat sensual sendiri kupelajari secara otodidak dari melihat JAV dan hasil googling. Pernah juga beberapa kali kuterapkan ke Rini, namun tak pernah sampai lama, karena saat dia sadar aku melakukan pijat sensual, dia pasti akan langsung memberi isyarat, entah hentikan atau lanjut ke ML biasa.

Friska bersendawa saat aku memijat lehernya, dan baunya benar-benar wow. Tidak menyangka cantik-cantik bisa bau naga juga. Namun aku tak berkomentar dan melanjutkan memijat pundaknya dengan bagian bawah telapak tanganku. Dia pun tampak semakin nyaman dengan pijatanku, juga sentuhanku, meskipun aku beberapa kali sedikit off-side dengan mengusap bagian samping dadanya. Friska tampak bergidik tiap aku melakukannya, tapi tak berkata apa-apa.

Setelah mengolah kedua bagian pundak, aku langsung mulai dari bawah, pada titik di tengah pangkal pinggul, menggunakan tanganku yang kubentuk menjadi kepalan, kuurut pada bagian backstrap, dua otot besar yang memanjang mengapit tulang belakang. Friska berjengkit saat kuurut bagian itu dari bawah ke atas, melebar ke pundaknya, karena dari kekerasannya saja aku bisa tahu bahwa itu memang sakit. Saking kerasnya bagian ini hingga aku harus menumpukan sebagian berat badanku pada punggungnya, dan mungkin karena sakit, dia agak melengkung mengikuti arah urutanku.

Friska tampak terengah-engah, dia kesakitan, tapi sekaligus juga merasa enak. Namun dengan semakin lemasnya otot besar itu, dia mulai bernafas dengan teratur lagi. Selanjutnya, seperti biasa aku hanya melakukan semacam cooling dengan tekanan yang tak begitu besar, supaya rileks.


"Enakan?"

"Iya, Mas, lumayan banget rasanya, udah enteng..."

"Artinya kamu udah rileks, aku pijit samping perutnya ya?"

"Iyaa..."



Tak ada nada keraguan, artinya dia sudah percaya padaku. Lalu aku mengusap bagian punggung bawahnya, pertama dari pangkal pinggul sepanjang backstrap, namun sebelum sampai ke rusuk, tanganku melebar ke arah tepian tubuh, lalu sambil ke bawah aku tanganku kulewatkan ke perut seolah akan mengangkatnya. Friska langsung bersendawa. Kuulangi hingga beberapa sekuens lagi, dan entah karena geli atau apa, Friska tidak bisa tenang saat kupijat perutnya hingga beberapa kali aku mengenai bagian pangkal dari susunya. Tentu saja tak terasa apa-apa bagiku karena hanya menyenggol saja, namun kurasakan Friska seperti menahan nafas dan bergidik tiap kali aku tak sengaja menyenggol susunya.

Aku tak melakukan lebih daripada itu, dan beralih ke bagian bawah lagi, kali ini pijitanku lebih ke untuk supaya Friska rileks saja.


"Oh ya, depannya mau sekalian gak?"

"Eh, depan, Mas Erik?"

"Iya, depan."

"Err... Entar kelihatan dong akunya."

"Bisa ditutupin pake handuk, atau kalau mau udahan ya gak apa-apa."

"Eh, jangan, depan boleh deh, kayaknya banyak yang pegel juga.



Hmm, aku agak curiga dengan gadis ini. Sepolos-polosnya dia masa berani menghadap depan hanya ditutup handuk saja? Namun peduli setan, aku sudah tak memikirkan hal itu, ada gadis cantik bugil di depanmu, sikat sajalah! Tidak, Erik, jangan, Ci Lily sudah mempercayakan mereka padamu, jangan kau rusak.

Perdebatan antara setan dan malaikat dalam kepalaku tiba-tiba sunyi saat Friska berbalik, dalam kondisi ini aku bisa melihat jelas tubuh telanjangnya dari dekat meski dia berusaha menutupinya dengan tangan. Segera saja aku menutup tubuh depannya dengan handuk, namun kali ini hanya menutupi setengah dada dan juga sampai ke garis kemaluan.


"Kelihatan nggak sih, Mas?"

"Enggak, rapet koq, ketutupan anduk."



Sekali lagi aku berbohong karena ketika aku ingin memulai mengurut kaki, maka sudut ini menjadi sudut terbaik untuk melihat mekinya.

Aku segera memulai dari telapak kakinya, kuuleni agak keras pada bagian telapaknya yang halus dan lentik, dalam dan luar. Aku tak berusaha membunyikan jarinya karena selain aku tidak bisa, juga karena aku paranoid takut aku benar-benar mematahkan jarinya. Setelah mengolah telapak, aku mengurut bagian betis tulang kering, lalu naik ke paha, namun bila tadi paha luar, maka kini aku lebih fokus pada paha dalam, dari lutut mengikuti alur otot aduktor.

Saat memulai sekuens ini, aku merasa Friska agak-agak tidak tenang, mungkin karena area otot aduktor memang amat sakit saat diurut, atau mungkin juga dia kegelian, karena beberapa kali jempolku sampai masuk dan menyentuh bibir mekinya. Terlihat dia ingin supaya aku lepas, namun dia menahan tangannya sendiri untuk bertindak. Setiap kali bibir meki tebal itu terkena jempolku, dia mengeluarkan sedikit desahan lirih dengan dadanya membusung tanda dia menahan napas. Pada posisi ini jempolku benar-benar bisa merasakan tekstur bibir meki dan gelambir meki Friska, dan tiap kali mencapai bagian itu, dia merasa seperti tersentak.


"Sakit?"

"Nggak apa-apa, Mas Erik, terusin aja, enak koq."

"Enak?"

"Iyah..."



Sepertinya si Friska ini agak-agak horny. Suara nafasnya terdengar agak tersengal-sengal dan beberapa kali dia mengeluarkan lenguhan kecil. Saat ini bisa saja aku langsung full-sensual dan menyerang bagian sensitifnya, namun tidak kulakukan. Entahlah, biarpun nafsuku sudah di ubun-ubun, rasanya tetap agak salah bila aku melakukan itu. Friska ini orangnya polos, jadi at somehow itu memicu naluriku untuk melindungi, bukan memanfaatkan. Karena itulah setelah kurasa cukup dengan kakinya, aku menyudahinya dan berpindah ke atas. Friska tampak melihatku dengan pandangan penuh tanda tanya, namun aku tak begitu menggubrisnya.


"Yang bawah udah, Mas?"

"Udah, udah lemes tuh. Gantian yang di atas. Kenapa? Kamu mau lagi?"

"Oh, eng-enggak, yang di atas juga pegel soalnya."

"Iya, kan ototnya ada di belakang ama depan, nah, belakang tadi kan udah, tinggal di depan. Tapi..."



Aku berhenti bicara, bukan karena ragu, lebih untuk memberikan efek dramatis saja. Sebenarnya aku sendiri agak gamang haruskah aku berkata seperti itu, namun peduli setan, sebaiknya omongin saja, soal hasilnya bagaimana itu urusan belakang.


"Tapi kenapa, Mas?"

"Kan aku kudu mijit otot yang di seputaran dada juga, kira-kira anduknya bisa diturunkan enggak?"

"Hah? Di-diturunkan? M-maksudnya, di-dibuka gitu?"

"Iya."



Aku menjaga nada bicaraku supaya mantap dan tanpa keraguan serta tidak terputus-putus atau terbata-bata dengan di saat yang sama menjaga kontak mata dengannya, dan juga ekspresi wajah supaya tetap keras dan dingin. Friska langsung menyilangkan dan mengatupkan tangannya di depan dadanya yang tertutup oleh handuk. Tadinya kukira dia tidak berkenan melanjutkan, namun ternyata pelan-pelan, dengan pandangan mata bergetar, dia menurunkan sendiri handuknya hingga lingkar atas areolanya tampak.


"Dituruninnya segimana, Mas?"

"Sampai perut lah, kira-kira."

"Tapi berarti ntar kelihatan dong, tetek aku?"

"Iya, makanya aku nanya."



Kami saling berpandangan sejenak, dan walau tanpa berkata apa-apa, aku tahu dia ingin bernegosiasi supaya tak terlalu terbuka, namun aku tetap memasang wajah datar. Erik 2009 mungkin akan langsung menyerah, namun entah karena nafsu atau hal lain, aku tak mau mengalah soal ini. Friska tampak menelan ludah, lalu tangannya pun membuka terkulai di samping badannya.


"Mas Erik aja yang turunin ya, aku malu nih..."


Tanpa mengatakan apa pun, aku memegang ujung handuknya, bersiap untuk membuka. Posisiku berlutut di samping dekat sekali dengan kepalanya. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil memalingkan kepala, mungkin saking malunya. Perlahan-lahan aku membuka handuknya, menurunkannya. Saat seluruh susunya terbuka, dengan cepat Friska kembali menyilangkan tangannya untuk menutupi susunya, meski areolanya masih mengintip dari celah lengannya. Aku terus membuka handuk dengan perlahan namun mantap, tak begitu mempedulikan badan Friskan yang gemetaran, dan aku sedikit berbohong saat kubilang menurunkan handuk sebatas perut, karena kenyataannya handuk kulipat hingga ke batas atas jembutnya, sehingga secara efektif hanya bagian selangkangannya saja yang tertutup.


"Udah belum, Mas?"

"Udah, buka aja matanya."

"Nggak mau, aku malu, Mas."

"Ya udah, aku mulai pijitin bahunya, ya."

"Iya, Mas."



Aku duduk di belakang kepalanya, dengan kedua kakiku yang terlipat kubuka, sehingga kepala Friska tepat berada di depan selangkanganku. Bila dia membuka matanya, dia akan bisa melihat kontolku yang menyembul dari celana longgarku. Kutekan otot trapesium pada kedua pundaknya sekaligus, dan terasa keras hingga walau kutekan pelan saja Friska mengerang kesakitan. Aku langsung mengoleskan lotion dan memijat bagian otot pundak dan otot dada sekitar tulang belikat. Friska tampak agak menegang menerima pijatanku.


"Nggak usah tegang, Fris, lemesin aja..."

"I-Iya, Mas."



Friska mulai lebih relaks akhirnya, dan dari pundak, aku semakin turun ke dada. Awalnya hanya bagian bidang saja, namun sedikit-sedikit menyentuh kaki bukit payudaranya. Tampak Friska seperti melenguh namun tak ada suara, hanya napas saja yang keluar, dan matanya masih ditutup. Karena terhalang oleh tangannya yang menyilang, aku pun membuka tangan itu, yang walaupun dikakukan, namun tidak melawan saat kugerakkan membuka, hingga akhirnya kini Friska pun benar-benar telanjang di hadapanku. Muka Friska tampak merah padam walau dia masih menutup matanya.


"Permisi sebelumnya ya, Fris."

"I-Iyah, Mash..."



Begitu mendapat izin, aku segera menggerakkan tanganku memijat bagian dada Friska, as in, bener-bener meremas susunya dari pangkal ke ujung memanfaatkan licinnya lotion. Friska mengerang setiap kali remasanku mencapai lepas dari ujung susunya, karena aku juga memilinnya sedikit dengan jariku. Satu hal yang akhirnya kupelajari dari Friska dan Sheila adalah saat bermain mereka sama-sama berisik! Kalau begini caranya bisa-bisa teriakan dan erangan Friska memancing Ci Lily untuk turun. Aku harus menyumpal mulutnya, tapi dengan apa?

Saat sedang bingung itu tiba-tiba kurasakan kontolku dipegang oleh tangan yang lembut dan licin. Rupanya aku tidak sadar bahwa celanaku tersingkap hingga mengakibatkan kontolku keluar dari celahnya, dan saat memijat dada Friska, kontolku menggantung tepat di atas wajahnya. Friska kemudian meraih dan memasukkan kontolku ke mulutnya yang hangat. Aaah, rasanya nikmat sekali. Hangat, basah, lembut, namun Friska tampak agak bingung harus diapakan, sehingga dia hanya mengenyot saja tanpa memberi stimulasi berarti. Biarlah, tujuannya supaya dia diam. Aku melanjutkan gerakan dengan mengurut dari dada, lalu perut, hingga ke bukit kemaluan, dan kuulang-ulang. Aku tak bisa melihat apa yang Friska lakukan dengan kontolku di bawah sana, namun pastinya sudah masuk hingga hampir ke pangkal, bahkan kantung zakarku pun kurasakan membentur hidungnya.

Aku saat ini sudah tidak peduli pada pijat lagi dan setelah beberapa sekuens pemijatan dari dada ke bukit kemaluan, aku langsung mengocok mekinya yang kini telah basah. Aku bahkan menjatuhkan kepalaku ke sana hingga kini kami melakukan posisi 69, dan kujilat serta kulahap meki Friska dengan ganasnya, tidak dengan tenang seperti ketika aku lakukan 69 dengan Metta atau Sheila, karena posisi kamarnya masih terbuka, dan aku tak tahu erangan Friska tadi menarik siapa, jadi aku bermain tempo cepat saja. Gelambir pada meki Friska benar-benar memberikan sensasi baru pada mulut dan lidahku, karena kini ada yang bisa dimainkan selain itilnya. Akhirnya Friska pun mengejang dan....


"HMMMPPPHHH... HMMMPPPPHHHHHH..."


Teriakan orgasme Friska tertahan oleh kontolku di mulutnya. Tubuhnya berkedut-kedut dan bergetar kencang, namun tak ada cairan yang memancar. Kudiamkan saja sejenak hingga getaran itu berhenti sebelum aku bangun dan mencabut kontolku dari Friska. Sebenarnya aku hendak keluar dan menuntaskan di kamar mandi, namun Friska menahanku.


"Ngocoknya di sini aja, Mas, aku pengen lihat."


Tanpa menunggu komando dua kali, aku langsung mengocok kontolku yang memang posisinya sudah hampir ejakulasi dan...


"CROOT... SRRRR..."


Cairan putih agak encer pun keluar. Aku berusaha menadahinya dengan tanganku, namun sebagian ada yang menetes di wajah dan dada Friska. Karena tadi malam aku sudah habis-habisan dengan Sheila, maka cairan yang keluar siang ini agak kurang bagus. Aku pun ambruk di kasur bersama Friska, dan kulihat dia mengambil tetesan spermaku yang jatuh di badannya lalu menjilatnya.


"Nggak ada rasanya..."

"Kurang banyak kamu ngejilatnya..."



Tiba-tiba aku tersentak ngilu karena Friska langsung saja memasukkan dan menyedot kontolku, saking ngilunya hingga aku merasa sepertinya nyawaku akan ikut keluar disedot oleh Friska. Untunglah hanya beberapa detik saja, karena setelah itu Friska duduk, mencecap lidahnya berusaha menentukan apa rasanya, namun kemudian hanya mengangkat bahu tanpa berkata apa-apa lagi, kemudian ambruk di sebelahku.






"Jadi kamu emang belum pernah ngewe ya, Fris?"


Itu pertanyaanku ketika kami akhirnya sudah pulih dari badai orgasme. Pintu kamar sudah kami tutup, dan Friska kini sudah memakai lagi celana dalam dan handuknya sebagai kemben untuk menutupi ketelanjangannya.


"Belum, Mas. Tapi kalau yang ngajakin sih ya sering, cuman aku tolak."

"Terus kalau kamu maen ampe tengah malem itu ke mana aja?"

"Ya ke diskotik, Mas, apa ke hotel, tapi ya bareng ama si Santi. Biasanya temen-temen cowoknya Santi pada ngikut, ntar kita happy-happy di kamar gitu."

"Happy-happy maksudnya?"

"Ya gitu lah, Mas. Minum-minum doang ama ndengerin musik atau kalau nggak ya cuman nikmatin fasilitas hotel aja."

"Gak ngewe?"

"Itu si Santi, Mas."



Dari sini aku bisa menyimpulkan bahwa benar kata Sheila, yang sebenarnya nakal itu adalah Santi. Semua cowok-cowok yang pernah pergi bersama mereka adalah teman-teman Santi, dari teman F*cebook, teman dekat kosan, sampai customer di store Santi, bahkan Friska juga bercerita kalau Santi pernah membawa juga sepupu-sepupunya yang cowok dan mereka berpesta orgy. Di sini biasanya Friska hanya diam saja, mengambil posisi jauh, sambil main handphone, atau kalau nggak ya keluar kamar sementara Santi digangbang oleh teman-teman cowoknya. Bagi Friska, berjoget di diskotik, minum-minum, atau bermain kartu itu lebih seru daripada ngeseks, apalagi Friska boleh dibilang sendirian di Jakarta, sehingga dia hanya bisa jalan-jalan dan main-main bila bersama Santi.

Lalu bagaimana bisa Friska melihat cowok bugil atau melihat Santi sedang ML dengan teman-temannya tapi tidak terangsang sama sekali? Ya, itu karena cara pandang Friska memang berbeda dari orang kebanyakan. Kalau tahu bagaimana anak kecil lawan jenis bisa saling telanjang tanpa malu dan terangsang, ya seperti itulah Friska bila melihat ada cowok bugil di depannya. Sebagaimana halnya dia yang sering teledor sehingga tanpa sengaja memamerkan beberapa bagian tubuhnya tanpa sadar, begitu pun dia amat indifferent melihat cowok bugil. Pernahkah ada yang menggodanya saat bersama Santi itu? Jangan ditanya lagi, banyak.


"Pernah ada gitu temennya Santi pas nunggu giliran minta aku kocokin, tapi aku tolak terus pas dia maksa aku gebukin aja dia. Gini-gini aku jago berantem lho, Mas."

"Oh, gitu, jadi nggak terangsang sama sekali, apa kamu itu jangan-jangan lesbi?"

"Nggak ah, Mas. Cuman nggak mau aja, entah kenapa. Kecuali mungkin kalau aku kenal baik ama orangnya, atau aku suka ama orangnya, baru ya kerasa dag-dig-dug gitu."

"Kayak pacarmu gitu?"

"Yang di Medan, iya kalau dia. Makanya dia nggak aku bolehin macem-macem dulu, takutnya aku kebablasan."

"Koq yang di Medan? Emang ada yang lain?"

"Hehehe, ada, Mas, pas aku di sini ada yang nembak, terus aku terima, cuman ya aku nggak gitu suka ama dia sih, cuman aku anggep temen main doang aja."

"Yah, kasihan dia dong."

"Biarin aja, lagian lama-lama ngeselin orangnya, minta gituan mulu. Paling bentar lagi aku putusin."

"Hmm, gitu ya. Hmm..."

"Kenapa, Mas?"

"Kalau gitu kenapa kamu tadi malah mau aku pijitin ampe bugil dan malah pake nyepongin aku?"

"Hehehe, aku penasaran aja, Mas, soalnya sering liat kalau Santi main gitu, pengen tahu aja. Lagian baru Mas Erik aja yang tongkolnya bisa aku liatin sedekat itu."

"Iya, lalu apa bedanya ama yang lain?"

"Nggak tahu juga, cuman dari pertama ketemu kan aku lihatnya Mas Erik kayak orangnya baik, terus penyayang gitu, makanya aku suka. Tadi sebenernya aku was-was juga sih, soalnya takut kan, Mas Erik bisa aja perkosa aku, tapi ternyata pas mijitin masih sopan, nggak terlalu off-side. Makanya aku juga yakin kalau bakal aman, ya akhirnya aku coba aja lah ke Mas Erik."

"Hmm, gitu ya. Tapi kamu kalau bisa jangan sering-sering kayak gitu. Untung selama ini kamu ketemunya cuman ama buaya-buaya cupu, digertak dikit aja mundur. Kalau ntar kamu ketemu ama buaya veteran bisa-bisa jebol beneran kamu."



Dari sini aku bisa melihat bahwa meski polos, Friska cukup paham untuk tidak macam-macam dalam perkara seksual. Masalahnya adalah dia itu hanya paham apabila ada yang mengajaknya secara frontal. Kalau orangnya ternyata bermain halus, macam aku tadi, bisa-bisa dia baru nyadar setelah jebol. Dari sini naluriku untuk melindunginya semakin tumbuh, karena rasanya memang lebih seperti bicara dengan adik sendiri.


"Iya, Mas. Tapi kalau buaya veterannya kayak Mas Erik ya nggak apa-apa juga, sih."

"Ah, dasar kamu, kayak gini nih, bikin serba salah."

"Serba salah kenapa, Mas? Oh aku tahu, nggak enak ya, Mas, aku nyepongnya?"

"Ya, jujur belum enak lah, tapi kamu kan masih pemula, kudu belajar lagi."

"Maaf ya, Mas."

"Aku yang minta maaf, soalnya berani megang-megang kamu kayak gitu."

"Nggak apa-apa sih, awalnya emang agak takut ama risih sih, tapi lama-lama enak, koq, apalagi Mas Erik beneran pijitin, bukan bo'ong-bo'ongan. Juga kan Mas Erik gayanya sopan gitu, kalau mau ngapain permisi ama minta maaf dulu, jadi ya aku lama-lama tenang. Padahal awalnya takut kalau ternyata Mas Erik cuman mau ngewe ama aku, karena ya maaf aku nggak bisa ngasih. Aku masih mau ngejaga ampe besok nikah, Mas. Ini aja baru pertama aku beneran bugil di depan cowok."

"Ya, bagus itu, kenapa minta maaf? Eh, bentar, tadi kamu bilang aku cowok pertama yang lihat kamu bugil?"

"Iya, pacarku aja nggak pernah aku kasih walau minta mulu. Tapi beneran koq, Mas Erik beneran jago mijitnya, badan aku udah lebih enak nih, sekarang."

"Ya, kamu juga pasien pijit pertama aku, Fris. Baguslah kalau kamu puas."

"Wah, masa? Aku jadi tersanjung nih, Mas. Kapan-kapan kalau aku pegel-pegel lagi tolong pijitin lagi ya, Mas, soalnya aku udah cocok ama pijitannya Mas Erik."

"Iya, boleh."

"Aseek! Makasih ya, Mas Erik baik deh. Oh ya, satu lagi..."

"Kenapa?"

"Mas Erik bisa ajarin aku nyepong gak?"

"HAH!??"







Matahari pun akhirnya terbenam. Petualangan yang luar biasa, dua wanita dalam sehari, setidaknya membuatku tak begitu merindukan Metta. Hmm, omong-omong soal Metta, aku belum dapat kabar darinya lagi. Terakhir kali jam lima tadi Metta bilang akan berangkat pulang dari Bandung, namun setelah itu belum ada kabar lagi. Aku jadi khawatir, udah sampai belum ya, dia? Aku sekarang jadi kangen banget sama Metta, semoga dia tidak apa-apa di jalan.

Namun benar-benar panjang umur, saat aku tengah memikirkan dia, mendadak hapeku berbunyi. Yah, ini dari Metta. Aku buru-buru mengangkatnya.


"Hei, Met, udah nyampe Jakarta, belum?"

"Udah, Beb. Bukain pintunya, dong!"

"Apa? Bukain pintunya?"

"Iya, tolong bukain pintunya."



Aku mendengar suara di latar belakangnya dan ternyata mirip dengan suara di jalanan dekat kosanku. Mustahil! Jangan-jangan...

Buru-buru aku segera meraih kunci sambil turun ke bawah, dan langsung kubuka pintu gerbangnya. Saat pintu akordeon bergeser membuka, saat itulah di depanku berdiri wajah cantik yang saat ini kurindukan. Ya, itu Metta, berdiri di sana. Mukanya agak kucel, namun dia tersenyum dengan lebar saat melihatku.


"Metta?"

"Iya, Beb, aku di sini."



Tanpa mengucap apa-apa, aku langsung memberinya pelukan erat, melepaskan rasa rinduku yang tertahan beberapa hari ini. Metta hanya tersenyum dan tertawa saja melihat tingkahku, sebelum akhirnya balas memelukku.

Next >>> Weekend
 
Terakhir diubah:
Btw tokoh Metta ini jadi ingat cerbung di sini yang tokoh wanitanya juga Metta namanya. Keren ceritanya, sayang ga ada kelanjutannya:'(

Eh, Metta atau Meta ya? Pokoknya judul ceritanya Lembaran Baru
 
menarik ceritanya
 
Rilis doong POV Metta:'''

Btw thanks untuk update nya

Nanti ya, ada rencana sendiri soal ini...

Btw tokoh Metta ini jadi ingat cerbung di sini yang tokoh wanitanya juga Metta namanya. Keren ceritanya, sayang ga ada kelanjutannya:'(

Eh, Metta atau Meta ya? Pokoknya judul ceritanya Lembaran Baru

Kesamaan nama saja hu, kan yang namanya Metta itu banyak hehehe :D
 
Bimabet
kalau nanti ada pov Metta harusnya ada juga pov Rini kenapa sampai tidak bisa mengurus tubuhnya setelah melahirkan
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd