Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Chapter 10:

A Little Thing Called Weekend

Matahari pun akhirnya terbenam. Petualangan yang luar biasa, dua wanita dalam sehari, setidaknya membuatku tak begitu merindukan Metta. Hmm, omong-omong soal Metta, aku belum dapat kabar darinya lagi. Terakhir kali jam lima tadi Metta bilang akan berangkat pulang dari Bandung, namun setelah itu belum ada kabar lagi. Aku jadi khawatir, udah sampai belum ya, dia? Aku sekarang jadi kangen banget sama Metta, semoga dia tidak apa-apa di jalan.

Namun benar-benar panjang umur, saat aku tengah memikirkan dia, mendadak hapeku berbunyi. Yah, ini dari Metta. Aku buru-buru mengangkatnya.


"Hei, Met, udah nyampe Jakarta, belum?"

"Udah, Beb. Bukain pintunya, dong!"

"Apa? Bukain pintunya?"

"Iya, tolong bukain pintunya."



Aku mendengar suara di latar belakangnya dan ternyata mirip dengan suara di jalanan dekat kosanku. Mustahil! Jangan-jangan...

Buru-buru aku segera meraih kunci sambil turun ke bawah, dan langsung kubuka pintu gerbangnya. Saat pintu akordeon bergeser membuka, saat itulah di depanku berdiri wajah cantik yang saat ini kurindukan. Ya, itu Metta, berdiri di sana. Mukanya agak kucel, namun dia tersenyum dengan lebar saat melihatku.


"Metta?"

"Iya, Beb, aku di sini."



Tanpa mengucap apa-apa, aku langsung memberinya pelukan erat, melepaskan rasa rinduku yang tertahan beberapa hari ini. Metta hanya tersenyum dan tertawa saja melihat tingkahku, sebelum akhirnya balas memelukku.


"I miss you so much."

"Iya, Beb, I know, I'm here."

"Nggak ada kabar dari tadi."

"Oh... Surprise!"



Aku tertawa kecil, kemudian mencubit pipi Metta yang tampak lucu saat dia mengatakan "surprise" itu. Aku kemudian celingak-celinguk, coba mencari mobil Metta, namun tak kulihat tanda-tandanya.


"Nyari apaan?"

"Mobil kamu mana?"

"Ya di rumah lah, Beb."

"Hah?? Terus kamu pake apa ke sini?"

"Dianterin pake mobil kantor, kan langsung dari Bandung aku turun di sini. Nih, gak lihat aku bawa koper?"

"Hah? Lha terus kamu ke sini mau ngapain??"

"Ngapain? Ya nginep di tempat kamu, lah. Dah yuk, masuk, aku udah capek nih."



Metta langsung berjalan masuk sementara aku mengikutinya sambil membawa kopernya. Aku sendiri agak panik, karena Ci Lily terkenal agak ketat dalam masalah ini, bahkan dia saja mengeluhkan Vinny yang sering menyelundupkan pacarnya ke sini, apalagi Metta.

Namun bukan itu saja masalahnya, bagaimana kalau ternyata Sheila atau Friska comel dan mengatakan bahwa aku pernah "main-main" dengan mereka? Bisa berabe semuanya. Sheila sih aku yakin tidak akan sampai kelepasan, tapi Friska ini yang kukhawatirkan. Friska ini orangnya lumayan polos, sehingga risiko terselip lidahnya cukup besar.


"Sepi ya, Beb, kosan kamu?"

"Iya, penghuninya juga sedikit."

"Oh ya? Berapa orang?"

"Sama aku berarti 5 orang, plus Ci Lily ama anaknya."

"Oh, penghuninya cowok apa cewek?"

"Umm... Cewek semua."

"Oh..."



Metta tak memberikan reaksi berlebihan seolah mewajarkan fakta bahwa aku satu-satunya cowok di kosan ini. Perhatiannya kemudian tertuju pada sebuah motor jenis S*pra 125 yang terparkir di depan kamar Vinny.


"Terus ini motor siapa? Motor kamu?"

"Iya, kan aku tadi bilang pagi ini datang."

"Oh, ini ya."



Dia lalu mengelus motornya seolah melihat sesuatu yang menarik dan tidak biasa.


"Aku gak pernah naik motor."

"Masa sih?"

"Iya, di kompleksku mana ada motor, ada juga yang pake satpam atau tukang. Eh, helmnya cuman satu, ya?"

"Iyalah, kan cuman buat aku doang."

"Terus aku?"

"Belum beli lah, namanya juga baru nyampe tadi pagi."

"Oh, beli helm di mana ya?"

"Ada deket sini. Mau dibeliin?"

"Umm, besok aja deh, sekalian kita keluar."

"Keluar? Ke mana?"

"Ada deh. Tunggu aja, that's another surprise for you. Eh, kamar kamu di mana, sih?"

"Lantai dua, kamar nomor 7."

"Okay!"



Bagaikan anak kecil yang antusias, Metta segera menaiki tangga, sementara aku masih menggeser kopernya yang, astaga, apa sih isinya??

Saat aku sampai di atas, Metta sedang di pintu kamarku dan melongok ke dalamnya sambil bersenandung. Dia tampaknya penasaran sekali dengan apa yang ada di dalamnya.


"Kecil itu, nggak gede kayak di kamar kamu."

"Iya, mana kamar mandinya di luar pula. Eh, nggak ada AC ya?"

"Nggak ada cuman exhaust fan doang, ama ntar aku mau beli kipas angin."

"Yah, tetep panas dong. Si Ibu Kos nggak ngebolehin pasang AC apa?"

"Entah, belum pernah coba diomongin sih. Cuman takutnya sih kalau misal Ci Lily setuju, dia bakal naikin harga sewanya."

"Oh ya, gak apa-apa, kan?"

"Aku sih gak apa-apa, gimana ama yang lain?"

"Iya juga, ya."



Metta lalu menaruh sandal pada tempat sandal di depan kamar kosku, lalu masuk, dan menjatuhkan diri di atas kasur. Terdengar suara berdebum agak keras, dan wajah Metta terlihat meringis kesakitan. Aku tertawa saja.


"Adaowww... Ih, Bebeb parah nih, malah ngetawain."

"Lagian kamu juga maen terjun-terjun aja, kan kasurnya nggak seempuk punya kamu."

"Per-nya nih udah kaku, makanya keras. Aaaahhh... Koq Bebeb bisa sih tidur di kasur keras gini??"

"Asal bisa dipake tidur sih di mana aja gak masalah."



Aku kemudian memasukkan kopernya, lalu duduk di kasur menemani Metta, yang tampak masih takjub melihat seisi kamarku.


"Kenapa sih? Ngeliatin apa kamu?"

"Enggak, ya, kecil ya, emang?"

"Ya emang kecil, namanya aja kosan murah, tapi yang penting kan bersih, dan nyaman buat tidur. Lagian ini juga deket dari kantor, tinggal naik motor."

"Hmm, it's okay. I could get use to this. Kali aja besok pas nikah kita tinggal di tempat macam gini."

"Ah, bercanda kamu. Ya gak bakal lah, aku pasti bakal usahain beli rumah yang kamarnya lebih gede daripada ini."



Metta melihatku dengan tatapan mata yang mengandung senyum, lalu dia mengelus pipiku dengan tangannya yang halus.


"Amin ya, Erik, semoga terlaksana. Tapi misal cuman dapet kayak gini aja aku nggak masalah koq, as long as I'm with you."


Kami berpandangan sejenak, lalu aku pun mengecup bibirnya. Hampir saja kuteruskan dengan ciuman yang lebih erotis kalau tak dihentikan Metta yang ingin mandi.


"Beb, pinjem handuk kamu, ya?"

"Hah? Kamu emang gak bawa handuk?"

"Ada, tapi kecil. Lagian kan di hotel pasti ada handuk, jadi ngapain aku bawa handuk gede-gede."

"Ya udah, di pintu ngegantung."

"Oh oke."



Metta bangkit dan mengambil handukku yang tergantung di pintu. Di saat itu dia lalu memilah-milah pakaian dan celanaku yang juga aku gantung di pintu.


"Penuh banget, gak ada rencana mau nyuci apa? Apek pula, iyuuh."

"Kebanyakan, belum sempet aku nyucinya."

"Ya, nggak dibiarin gini juga sih, Beb. Tempat cucinya di mana?"

"Di atas, di atap, biasanya aku rapel sih, jadi besok cuci semua."

"Ya, berarti besok cuci semua ya! Dah, ah, aku mau mandi dulu. Ada makanan apa ya?"

"Aku beliin aja deh, mau M*D apa K*C?"

"Apa aja deh, laper banget aku. Aku pokoknya ayam ama nasi aja, jangan yang burger-burgeran."

"Oke, Bos!"



Metta lalu menuju ke kamar mandi, dan aku mengambil kunci motor untuk membeli makanan. Sebenarnya baik M*D atau K*C hanya berjarak 10 menit jalan kaki, namun aku malas harus jalan kaki malam-malam, belum kalau harus antre. Saat aku akan berangkat, aku mengetuk pintu kamar mandi.


"Sayang, aku berangkat dulu, ya!"


Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, dan Metta menjulurkan kepalanya. Terlihat dia sudah membuka semua pakaiannya.


"Eh, Beb, mandinya gimana ya?"

"Mandinya gimana?"

"Iya, kudu nyebur gitu ke bathtub-nya? Tapi kan bathtub-nya kecil, mana tinggi lagi."

"Astaga, itu bak mandi, Sayang, bukan bathtub. Kamu pake gayung, airnya ambil dari bak, lalu guyurin ke badan. Sini aku..."

"Eh, jangan masuk, jangan masuk."

"Kenapa sih? Kan aku udah tahu semuanya."

"Pokoknya jangan masuk, tunjukin aja."

"Gayung di dalem bak tuh, yang warna biru, kamu pakai aja buat ambil air lalu guyur."

"Ribet, ya. Nggak mau pasang shower aja gitu?"

"Nggak ada. Jangan aneh-aneh deh."

"Iya, iya."

"Jangan lupa kalau mau mandi airnya dinyalain, jadi ntar baknya nggak kosong."

"Oke, siap, Sayang. Eh ya, kalau mau pup gimana ya?"

"Ya ada WC kan, di sebelah bak?"

"Nggak tahu cara pakenya gimana."

"Ya ampun, oh yeah, right... Kamu kebiasa pake WC duduk, ya. Sini aku contohin..."

"Eh, dibilangin gak boleh masuk."



Metta menahan pintunya sehingga aku tak bisa masuk.


"Terus gimana caranya aku nunjukin?"

"Ya udah, bentar."



Pintu kembali tertutup. Entah apa yang dia lakukan, lalu setelah dibuka kembali, dia sudah mengenakan kaus yang tadi dipakainya, meski tanpa bawahan.


"Ya udah, tunjukin aja."


Aku pun masuk lalu menuju ke WC jongkok.


"Jadi gini, kamu jongkok aja, nongkrong gitu, lalu keluar deh. Nah, abis itu pake gayung buat nyiram, jangan ada yang kesisa ya?"

"Nggak ada flush-nya, emang?"

"Nggak ada. Pokoknya pake gayung, air dinyalain, oke? Paham?"

"Oke, sip-sip, paham-paham. Yaudah, sana, sana, kamu berangkat sana, beli makan... Shoo... Shoo..."

"Berasa kucing nih diusir-usir gini."



Metta hanya nyengir saja, namun dia memberiku kecupan di pipi sebelum aku keluar dari kamar mandi. Setelah itu pintu pun ditutup, dan aku berjalan. Terdengar suara mesin air menyala, tanda Metta sudah menyalakan keran air. Saat aku ingin turun tangga, tiba-tiba...


"Beb! Ini nggak ada air panasnya, ya??"


Astaga! Aku pun menepuk jidat.


"Nggak ada! Kalau mau air panas ngerebus sendiri!"


Kemudian aku pun berjalan turun untuk mengambil motorku. Namun dalam perjalanan, aku pun mau tidak mau berpikir mengenai tingkah Metta tadi. Kenapa dia tidak mau aku masuk ke dalam kamar mandi, bahkan aku baru boleh masuk saat dia sudah memakai kausnya? Apa dia tak mau aku melihatnya bugil? Tapi aku kan sudah melihat semua dalaman Metta seutuhnya? Lagipula, kalau cuman perkara bugil, kenapa Metta hanya memakai kaus saja dan bottomless, masih memperlihatkan mekinya padaku? Pikiran-pikiran itu menjadi semakin liar dengan aku menerjang dinginnya malam.






Setelah aku pulang, Metta sudah rapi memakai kaus bali dan celana hotpants longgar, dengan rambutnya tertutup oleh handuk. Kaus bali yang dikenakan oleh Metta ini tipis, dengan lubang leher dan lengan yang agak besar, sehingga aku bisa tahu bahwa Metta tak memakai beha lagi di dalamnya. Kami pun makan bersama, dan dia amat lahap memakan satu porsi ayam dan nasi. Aku hanya memperhatikannya sambil makan, karena ada hal yang aneh bahwa Metta seolah berusaha menutupi lubang lengan dan lehernya.


"Nggak usah ditutupi, aku juga udah pernah lihat semuanya."

"Ih apaan sih, geli tahu, kan aku gak pake beha, jadi berasa kayak mau melorot mulu, nih."

"Lagian, napa gak pake beha?"

"Aku cuman bawa beha ngepas, jadinya yang lain masih kotor."

"CD juga berarti?"

"Iyalah, Beb, kan satu set."



Ya, aku pernah melihat koleksi pakaian dalam Metta, dan selalu ada pasangan beha dan CD yang matching. Dia bilang ini memang sudah kebiasaannya sejak pertama kali memakai beha, karena menurutnya ini lucu saja.


"Yaudah, gak apa-apa, biar nggak gerah."

"Emang panas ya, Beb?"

"Ya, dingin sih, tapi dinginnya kipas angin ama exhaust fan gimana sih? Gak bisa sedingin AC lah."

"Oo, gitu ya."

"Lagian napa beha ama CD-nya nggak dipakai side-A side-B aja?"

"Ha? Maksudnya?"

"Dibalik gitu, lalu dipakai lagi."

"Ih, Beb, itu kan kotor, jorok kamu. Jangan-jangan kamu gitu lagi."

"Ya, kadang-kadang, kalau nggak sempet nyuci CD."

"Iyuuh... Iyuuhh... Jorooook!! Ini CD kamu udah berapa hari kamu pake??"

"Baru dua hari."

"Dua hari baru!!?? Joroook!! Ntar kontolnya tumbuh jamur lho."

"Ya gak apa-apa, ntar kalau tumbuh lalu jamurnya dipotong, terus dimasak, jadi jamur kontol krispi."

"BEBEEEEEBBBBB!!!! Jorok banget sih!!!"



Metta pun beberapa kali memukulku hingga aku mengaduh kesakitan.


"Sakit!"

"Lagian kamu juga sih, jadi mbayangin kan aku, jamur kontol... Arrrrggghhhh!!"



Aku pun tertawa terbahak-bahak melihatnya. Tak berapa lama setelah makan, kami pun membereskan piring dan yang lainnya. Tadinya kukira Metta tidak bisa mencuci piring, namun ternyata dia melakukannya dengan baik dan bersih. Katanya, Tante Melly memang mengajarkannya agar selalu mencuci piring dan gelas sehabis makan supaya tidak merepotkan pembantu, jadi dia sudah terbiasa dengan tugas mencuci piring. Tidak hanya itu, dia masih sempat-sempatnya menyapu lantai kamarku sebelum kami akhirnya lelah dan ambruk di tempat tidur.

Posisiku berada di pinggiran tempat tidur, sementara Metta mojok di sisi yang menempel pada dinding. Kasurku adalah kasur single, jadinya aku harus berhimpitan dengan Metta. Untunglah dia kecil, meski aku masih agak bersalah mengingat bukan Metta wanita pertama yang tidur di sini.

Metta tidur menyamping, mengambil setengah bantal sendiri dan menghadap ke dinding sehingga memunggungiku. Kami sempat mengobrol sebentar, namun Metta tampak tidak mau membicarakan pekerjaannya di Bandung. Mungkin dia lelah, aku pun juga pasti tak mau bicara soal pekerjaan di luar jam kantor.

Aku berbalik lalu memeluknya dari belakang, dan Metta beringsut, memberi ruang bagi lenganku untuk bisa memeluknya. Tubuh Metta terasa sejuk dan wangi, dan aroma inilah yang selama ini selalu kurindukan selama ini.

Kemudian aku meniup bagian belakang telinganya hingga Metta bergidik kegelian. Setelah itu kusibak rambutnya yang panjang sepunggung, dan kujilat serta kukulum bagian telinga kanannya.


"Ah, Beb, geli tau?"


Namun dia tak menolak, hanya bergidik kegelian, sementara kuciumi juga bagian lehernya yang penuh dengan rambut kuduk halus. Tanganku pun mengelus-elus perut Metta dari kausnya yang tersingkap, kemudian aku merayap masuk dan meremas susu serta putingnya yang sudah kurindukan ini. Namun Metta malah menahan tanganku.


"Baby..."

"Hmm?"

"Can we not do this tonight, please? Aku lagi capek banget soalnya."



Aku hanya diam saja dengan penolakannya. Saat itu Metta berbalik ke arahku, dan dia memeluk serta mencium mulutku dengan amat mesra. Lidahnya sedikit bermain namun tidak terlalu bernafsu birahi.


"I promise, kita akan lakuin ini besok malem, but not tonight, please. Today has been very crazy..."

"Sure..."

"Tapi aku mau peluk..."



Aku tertawa dan langsung memeluk Metta dengan erat, begitu pula dia pun langsung memelukku. Kami bertukar ciuman sejenak sebelum dia kembali mendesakkan kepalanya pada dadaku. Sayangnya adegan itu hanya berlangsung kurang dari satu menit, karena jujur saja, cuacanya sedang gerah sekali, jadi kami melepaskan diri dan menuju ke sisi masing-masing. Tak berapa lama kemudian, kudengar dengkuran kecil, tanda Metta telah tertidur. Tak biasanya dia tidur secepat ini, mungkin memang benar bahwa dia kelelahan akibat hari ini. Ya, tidak heran, dia pun baru saja pulang dari Bandung dan langsung ke sini. Aku segera mencium keningnya, kemudian menyandarkan kepalaku ke bantal dan menutup mata.







Keesokan Harinya...


"Sudah siap semuanya?"


Metta mengangguk. Di kepalanya kini sudah terpasang helm warna putih dengan gambar Hello Kitty. Dia tampak amat bangga dengan helm barunya itu, yang baru saja kubelikan.


"Bagus nggak? Cocok kan, aku pake helm ini?"


Dia tersenyum sambil memutar tubuhnya seolah ingin memperlihatkan keseluruhan yang dia pakai kepadaku, bukan cuma helm saja. Dia memakai blouse kemeja biru langit, dengan kamisol putih, dan rok pleat biru dongker yang panjangnya hanya setengah pahanya. Awalnya Metta membawa itu karena mengira bahwa bakal ada sesi santai di Bandung, tapi ternyata karena saking hectic-nya, sehingga tidak ada waktu untuk keluar, dan tidak sempat dipakai. Sebagaimana Metta, semua yang menempel di tubuhnya selalu tampak cocok. Hanya saja...


"Jangan gerak terlalu banyak, nyeplak tuh pentil."

"Mana? Oh iya, keliatan banget ya."



Metta lalu mengatupkan kemejanya untuk menutupi putingnya yang menonjol dari kamisolnya, namun dia tidak mengancingkannya.


"Lagian, napa nggak pake beha sih?"

"Kan dibilangin, beha aku kotor semua, Beb."

"Perasaan baru dua hari dipakai, masa udah kotor?"

"Ah, udahlah, pokoknya aku risih kalau pake daleman kotor. Udah yuk ah, kita masih harus sarapan kan, ini? Gimana nih, naiknya?"

"Singsingin aja dikit, lalu naik, kaya kalau kamu naik sepeda aja."

"Yah, Beb, sepeda kan kursinya kecil, gampang dikangkangin, kalau ini kan gede."

"Ya, prinsipnya sama lah. Ayuk ah."

"Ih, bentar, susah ini naiknya, kan aku pake rok."

"Makanya tadi kan aku bilang pake celana aja."

"Celananya kotor semua, Bebeb.

"Nggak mau nyamping aja duduknya?"

"Ogah, ntar jatuh lagi. Dah, Bebeb turun dulu deh, biar aku bisa naik."



Aku menghela nafas kemudian turun dulu dari motor sambil menyandarkan motorku pada standar ganda. Metta kemudian memijak pada footstep belakang, sambil tangannya berpegangan padaku. Dia tampak ragu-ragu sesaat, namun akhir berani juga mengangkangkan kakinya dan setengah melompat untuk menjangkah ke balik jok. Saat akan menurunkan kaki, keseimbangannya agak goyah hingga dia hampir jatuh, untung saja aku memeganginya. Dia malah justru agak panik membenahi roknya yang tadi agak menyingkap saat dia menjangkah. Baru setelah dia bisa duduk dengan mantap, aku duduk di depan, lalu kujalankan motorku. Sepanjang perjalanan, Metta pun memeluk perutku dengan erat, kurasakan dadanya menempel padaku dan detak jantungnya terasa menepuk-nepuk di punggungku.


"Kamu tenang aja, Sayang, koq deg-degan gitu sih?"

"Hah? Emang kerasa ya?"

"Ya kerasa lah. Tenang aja, I'll be gentle in driving, okay?"

"Bukan, bukan soal itu..."

"Terus?"

"Tadi pas aku naik, persis di belakang kita ada orang enggak?"

"Wah, nggak merhatiin tuh, tapi emang agak rame sih."

"Aduh, gawat..."

"Kenapa?"

"Rokku tadi kebuka ya?"

"Iya, pas kamu jatuh, berapa detik doang."

"Itu dia, Bebeb, kamu tahu kan, kalau beha ama CD aku pada kotor semua."

"Hah?? Jadi maksud kamu??"

"Iya, aku nggak pake CD. Kalau ada orang di belakang ya dia bisa ngelihat semuanya lah."

"What!?? Oh my God!"



Metta lalu memelukku tambah erat, hingga aku bisa merasakan putingnya keras menusuk punggungku. Astaga, ada apa sebenarnya dengan Metta? Dia tampak bicara padaku bahwa tidak mengenakan beha dan CD dengan amat enteng. Namun lebih utama lagi, ada apa denganku? Kenapa aku tidak marah saat Metta berkata begitu?

Dalam hati aku berpikir, ada perbedaan saat diriku berpacaran dengan Rini dan Metta. Bila saat bersama Rini, aku menjadi amat protektif, bahkan saat Rini berpakaian agak terbuka atau ada yang tersingkap, aku selalu langsung mengingatkannya. Namun dengan Metta, semua seperti berbeda 180 derajat. Aku merasa lebih nyaman dan bangga saat bisa memamerkan kecantikan dan kemolekan Metta. Rasanya seperti mengirimkan pesan kepada semua orang di dunia bahwa salah satu wanita tercantik di dunia adalah milikku. Kini aku bisa memahami perasaan Menelaus dari Sparta yang rela memamerkan seluruh tubuh istrinya, Helen dari Troya, dengan telanjang bulat di hadapan seluruh raja-raja Yunani, tak lain untuk menunjukkan dominasi dan keunggulan dari Sparta yang telah menguasai wanita tercantik di dunia, mengangkangi seluruh raja Yunani lain. Dengan kata lain, dipamerkannya Helen secara telanjang menjadi simbol hegemoni Sparta atas polis lain di Yunani. Dan kini, aku merasakan bagaimana rasanya menjadi Menelaus.






Namun, terlepas dari hal itu, aku akhirnya menemukan sisi baru dari Metta. Meski agak canggung pada awalnya, dia ternyata cukup menikmati perjalanan dengan motor. Alasannya adalah ya, karena ini berbeda dengan mobil. Walau dalam mobil kita terlindung dari panas dan hujan, namun berada di atas motor membawa kita lebih menyatu dengan suasana sekitar, di samping pemandangan yang lebih leluasa dibandingkan dari melihat via jendela mobil. Metta bahkan bilang supaya nanti misal sudah bisa beli mobil sendiri, motor ini tidak usah dijual, supaya kami masih bisa berjalan-jalan dengan motor.

Lalu ke mana kami hari ini? Setelah berjalan lama, baru aku tahu jawabannya bahwa Metta mengajakku ke Dufan, ya, Dunia Fantasi di kawasan Ancol. Memang agak random, tapi Metta bilang dia ingin sekali mengajakku ke taman bermain. Tentu saja, sebagai bagian dari kejutan, Metta yang membayar semuanya termasuk tiket masuk, meski aku sendiri agak keberatan, mengingat baru dua minggu lagi aku gajian, sehingga bila terserah aku, akan kupilih alternatif yang lebih murah. Namun sekali Metta punya mau, susah untuk menolaknya, meski aku jujur sudah berutang banyak sekali padanya bila semua pemberiannya padaku diitung sebagai utang.

Sayangnya, setelah sampai di sana, baru kami sadar kalau kami sudah melakukan sebuah kesalahan besar: datang ke Dufan di hari Sabtu! Karena apa? Penuh! Padahal ini bukan tanggal muda. Antrean beli tiket masuk saja sudah panjang dan memakan waktu satu jam sendiri, dan di dalamnya rasanya seperti sebuah sup manusia. Orang di mana-mana, sampai tak ada satu spot pun di Dufan yang sepi dari orang.

So, bagaimana cerita kami di sana? Tak ada banyak yang bisa diceritakan sih. Pertama, kami tidak naik beberapa wahana populer seperti Ontang-anting, Tornado, atau Histeria, selain karena penuh juga, mengingat situasi Metta yang tidak pakai beha dan CD, bila naik macam wahana-wahana tersebut, bisa-bisa dia yang jadi tontonan sama semua orang di bawah. Namun, tentu saja ada cerita di sini, dan itu dimulai dari keteledoran kami gara-gara ingin naik wahana yang bernama "Arung Jeram".

Aneh? Ya, kalau dipikir setelah itu. Namun kami, aku dan Metta, memang punya kesamaan dalam wahana "Arung Jeram". Pertama, itu adalah wahana kesukaan kami di Dufan. Kedua, pengalaman naik Arung Jeram bagi kami berdua sebelum ini adalah kami sama-sama termasuk golongan orang yang "beruntung", dalam artian tidak terlalu banyak basah, sehingga ada false sense of security bahwa wahana ini aman. Well, memang aman, namun tidak saat Metta dalam kondisi seperti sekarang.

Mulai dari antre amat panjang yang tidak manusiawi, yang bahkan Metta yang biasa ceria pun bersungut-sungut dan mulai mengomel. Dari sini aku pun mengerti, ternyata Metta lebih tidak sabaran dibandingkan Rini. Rini masih bisa menahan diri untuk tidak mengomel di depan umum meski dari raut muka tampak kesal, tapi Metta tampak tidak menahan diri bahkan di hadapan banyak orang.

Setelah antre, akhirnya kami pun mendapatkan jatah gondola. Bagi yang pernah menaiki Arung Jeram tentu tahu bentuk rakit yang membulat seperti segi delapan, untuk delapan orang yang naik. Mungkin karena banyak yang tidak sabaran, semua berebutan untuk naik, sehingga aku dan Metta tidak mendapat tempat sebelahan, aku berada selisih satu kursi dari Metta. Hanya ada dua orang cowok di sini, aku dan sepertinya pasangan orang pacaran lain. Mereka beruntung bisa dapat posisi sebelahan dan yang cowok tepat berada di depan Metta.

Setelah dengan buru-buru mengancingkan sabuk pengaman, dengan dipastikan oleh petugas, rakit pun meluncur melalui alur jeram. Para penumpang berteriak kegirangan saat rakit menerjang ombak demi ombak dan berputar menghantam batu. Aku dan Metta masih saling menatap dan tersenyum hingga akhirnya...


"BYUUUURRRR!!!"


Rakit mengenai sebuah ombak besar yang menerjang dari belakang kami dan langsung membasahiku dengan kuyup, belum sempat pulih dari terjangan ombak ini, ombak lain muncul dari depan, hingga melebihi tinggi kursi di depan dan menghantam kami.

Aku gelagapan coba untuk mencari pegangan, sementara mataku agak kabur dan pedih terkena air. Padahal hanya tinggal berapa detik lagi masuk ke bagian yang arusnya lebih tenang. Baru ketika rakit mencapai aliran yang tenang, aku bisa mulai memperhatikan keadaan sekitar, dan yang pertama kali kulihat adalah cowok di depan Metta tampak melotot sementara si ceweknya sedang sibuk merapikan rambutnya yang basah. Aku awalnya tidak sadar hingga melirik ke arah Metta.

Astaga! Karena Metta menggunakan kamisol putih, maka warna kulit Metta benar-benar menceplak jelas di kamisolnya, dan dengan kemejanya agak tersingkap, maka kamisol itu membentuk siluet jelas dari dada Metta, termasuk putingnya yang pink kecokelatan serta menonjol. Aku memberi kode pada Metta, yang tampak terkejut dan langsung menutup kemejanya. Upayaku memberi kode pun membuat si cewek akhirnya sadar apa yang sedang diperhatikan oleh cowoknya, dan langsung menjulurkan tangannya untuk mencubit si cowok dengan keras.

Detik-detik saat rakit menuju ke peron yang seharusnya singkat saja mendadak menjadi amat lama. Aku langsung melepaskan sabuk pengaman meski belum mencapai peron, dan langsung berdiri dan membantu Metta untuk lepas juga. Begitu sampai, aku menarik Metta yang tampaknya masih syok untuk segera melompat ke peron, dan menariknya untuk segera meninggalkan rakit. Semua orang di rakit itu tampaknya menyadari apa yang terjadi, dan melihat pada kami yang mengeloyor buru-buru pergi, namun perhatian mereka segera dialihkan pada si cewek yang mengamuk pada pasangannya, entahlah, kami tak peduli.


"Aman?"

"Aman..."



Metta langsung lemas saat kami berada di sebuah sudut yang kebetulan tidak ramai orang, di balik sebuah gerai churros yang agak tertutup oleh semak-semak. Barulah dia berani melepaskan pegangannya pada kemeja, membuat susunya menggantung dengan bebas dan indah, yang bahkan aku saja masih bisa menelan ludah.


"Gila, nggak nyangka bener tadi..."

"Ya salah aku juga sih, udah tahu kamu nggak pake beha malah milih naik Arung Jeram."

"Biasanya nggak nyampe sebasah ini sih, Beb."

"Iya, tetep aja, itu kan seharusnya calculated risk."

"Terus gimana ini, Beb? Masa aku begini terus?"

"Kayaknya deket-deket sini tadi ada kios suvenir deh, aku beliin kaos aja ya, jadi kamu bisa ganti dulu."

"Oke, duitnya ambil aja di tas ya, Beb. Tapi jangan lama-lama."



Aku mengangguk dan mengambil beberapa lembar uang dari tasnya. Untung dompet serta hape aku masukkan ke tasnya Metta yang memang antiair, sehingga tidak sampai basah. Dengan segera aku pun berlari mencari kios yang menjual suvenir, di mana di situ biasanya ada kaus Dufan. Aku lalu secepatnya mengambil kaus yang berbahan agak tebal dan berwarna gelap semacam Army Green, bahkan terpaksa menerabas antrean supaya cepat membayar, karena aku tak enak meninggalkan Metta sendirian dengan keadaan seperti itu.

Setelah membeli kaus, aku pun segera kembali, dan Metta masih ada di titik itu, bersembunyi. Kulihat kemejanya dia rapatkan dengan tangan. Segera saja kuhampiri dan kuserahkan kaus yang baru kubeli kepadanya.


"Kamu balik, Beb, liatin keadaan, aman apa nggak?"

"Iya, cepetan..."



Segera aku menoleh, dan Metta yang sudah melepas kemejanya langsung berjongkok. Dia benar-benar sudah topless tanpa ada satu kain pun menutupi tubuh bagian atasnya.


"Bebeb!! Jangan liatin, awasin keadaan!"

"Iya, Sorry!"



Aku berbalik kembali.


"Sudah?"

"Bentar, susah..."



Kembali aku berbalik dan kepala Metta saat ini tertutup oleh kaus, berusaha untuk keluar dari lubangnya. Untungnya susunya sudah tertutup kaus, namun punggung dan perutnya masih telanjang. Aku segera membantunya mengeluarkan kepalanya. Dan tepat di saat itu, pintu belakang gerai churros itu terbuka, dan si mas-mas penjualnya keluar, tampak melihat kami, hanya saja tidak kaget. Astaga, walau hanya sepersekian detik, aku yakin dia sudah melihat punggung dan sebagian siluet tubuh depan Metta.


"Udah, Beb, yuk, jalan lagi."


Metta lalu menarikku keluar dari tempat itu tanpa menoleh ke belakang, seolah tak menghiraukan ada mas-mas penjual churros di situ.






Setelah fiasco pada Arung Jeram itu, akhirnya situasi kembali mereda. Orang-orang di sini terlalu ramai untuk hal ini bisa menjadi skandal. Walau aku masih penasaran dengan nasib pasangan yang cowoknya melotot pada Metta tadi dan diamuk oleh ceweknya. Apa mereka kira-kira sudah baikan, ya?

Karena situasi masih penuh, kami pun naik wahana-wahana lain yang "aman", macam Petualangan Dino, Istana Boneka, atau Rama Shinta, yang juga kebetulan tidak ramai. Kami tidak mau antre yang tidak manusiawi lagi, sehingga kami memutuskan hanya menikmati saja suasana di sana.

Tanpa disangka, hari pun mulai malam, dan kebanyakan orang sudah mulai meninggalkan Dufan. Antrean di beberapa wahana pun semakin menyusut, dan sepertinya hanya mereka yang masih die-hard saja yang masih tinggal di sini saat hari sudah gelap. Kami sebenarnya sudah hampir pulang, hingga kemudian Metta menunjuk sesuatu.


"Beb, kita naik Bianglala, yuk?"

"Hmm, boleh deh, kebetulan udah mulai sepi juga."

"Iyalah, siapa mau naik Bianglala malem-malem?"



Namun ternyata memang ada yang mau naik Bianglala malam-malam, dan setelah diperhatikan, rata-rata adalah pasangan berdua seperti kami (namun tidak ada pasangan yang tadi). Kami pun juga masuk dalam baris antrean terakhir, karena setelah itu antrean untuk wahana ditutup karena memang sudah hampir waktunya tutup.

Pagar dibuka, orang-orang turun dari gondola, dan kami berdua pun naik. Hmm, kukira akan ada lagi yang naik, ternyata tidak ada, jadi hanya kami berdua di gondola itu. Kami pun duduk, dan tiba-tiba Metta langsung merangkul dan menyandarkan kepalanya padaku.


"Thank's for today, Babe."

"Koq aku? Kan kamu yang ngasih kejutan, seharusnya aku dong yang terima kasih."

"I don't know, terlalu banyak masalah, dan akhirnya malah kamu yang kerepotan. Kamu kecewa ya Beb?"

"Nggak sih. As long as I'm with you, it's okay."



Aku merangkul Metta. Namun pada saat itu aku langsung teringat dengan beberapa kejadian yang aneh dengan Metta. Cara Metta menolak aku masuk ke kamar mandi, juga saat di tempat tidur, lalu di motor, Arung Jeram, dan saat ganti baju. Ada yang aneh dari Metta, yang belum bisa kuketahui apa itu, namun semua penalaran sirkumstansial hanya menghasilkan satu kemungkinan alasan. Sayangnya, entah bagaimana, memikirkan hal itu justru membuat kontolku tiba-tiba tegang. What? Kenapa tiba-tiba tegang saat ini?? Lebih parahnya lagi, Metta tahu soal ini.


"Kontol bangun tuh."

"Iya, biarin aja."

"Eh, kasihan lah, kudu dibuka biar nggak kesempitan."



Belum sempat aku mencegah, Metta sudah menurunkan resleting celanaku dan tahu-tahu saja kontolku sudah berdiri tegak keluar dari sarangnya, dengan Metta terus memegang dan mengelusnya.


"Sayang, ini di luar lho..."

"So? Cuman ada kita koq di sini, Beb."

"Kalau kelihatan orang gimana?"

"Koq kamu panik, sih? Kemaren di hotel aja kamu mamerin aku di jendela biasa aja. Gantian lah."

"Tapi, Sayang..."

"Udah, berisik ah, keburu muter nih."



Aku yang tegang hanya bisa melihat kanan kiri sementara bianglala naik satu persatu. Ada jeda beberapa detik saat satu gondola menurunkan dan menaikkan penumpang, dan dengan ukuran Bianglala, akan perlu waktu untuk mencapai puncak. Tiba-tiba kurasakan kontolku hangat dan basah, pertanda Metta sudah mulai menyepongnya di tengah kegelapan malam. Di gondola ini tidak ada lampu, hanya lampu hias yang temaram, sehingga orang-orang hanya terlihat seperti siluet, dan di tengah ruang terbuka ini, Metta dengan agresif mengulum kontolku hingga mengeras sempurna.


"Nah, udah keras..."


Metta tersenyum bagai anak kecil yang senang saat mainannya menyala. Begitulah selama ini dia menganggap kontolku, seperti sebuah mainan pribadinya. Gondola masih dalam proses naik, dan pada saat ini kami praktis tidak terlihat oleh siapa pun. Saat itulah Metta berdiri, lalu mengangkat roknya, hingga ke perut, dan aku bisa melihat bagian bawahnya yang telanjang. Mekinya rupanya sudah basah mengkilat dari balik cahaya temaram lampu hias.


"Sayang, jangan..."

"Udah, berisik, Beb. The time is short. Jagain kontolnya."



Aku memegang kontolku saat Metta dengan mantap mendudukinya di pangkuanku dan blesss...


"Aaaaahhhhhh... Fuckkk..."


Agak susah Metta untuk bisa turun, namun karena sudah terbiasa dengan bentuk kontolku, dengan cepat dia bisa bermanuver hingga kontolku masuk sempurna ke mekinya, dan dia duduk di pangkuanku.


"Anget, Beb, penuh banget... Aaaahhh... Issh..."


Gobloknya, aku yang masih tegang malah secara otomatis menggerakkan tanganku masuk ke dalam kaus Metta dan menggerayangi susunya dari balik kaus.


"Yess... Yess, Baby... Terus... Aaaahhh..."


Pinggul Metta pun bergoyang. Aku tak berani menggoyangkan pinggul, karena takut gondola ini berguncang dengan aneh, sehingga Metta mengambil inisiatif untuk kali ini. Kami merasa amat deg-degan dan detak jantung serta adrenalin kami terpacu dengan kencang. Aku terus merangsang susu Metta, sementara Metta menggoyangkan pinggul, hingga...


"Wait, Beb, look..."


Kami berhenti, dan ternyata gondola sudah sampai di puncak. Pemandangan Ancol dan lanskap Jakarta di malam hari pun terlihat jelas. Kami terdiam, tidak bergerak, hanya melihat pemandangan, sementara kedua kelamin kami masih menyatu. Aku memeluk perut Metta.


"Beautiful, right?"

"Mm-hmm."

"Kayak bercinta di Mile-High Club, ya?"

"Ya beda lah, Sayang."

"I love you, Beb."

"Love you too, Sayang."



Begitu gondola kembali bergerak, Metta mulai menggoyang, tapi agak keras. Kami berhenti ketika gondola dalam putaran turun, dan kembali bergoyang saat naik. Tipisnya kesempatan, berpacu dengan waktu, dan berada di ruang terbuka yang rawan ketahuan membuat situasi menjadi semakin tegang, namun entah kenapa ini membuat kami menjadi semakin bergairah. Akhirnya pada siklus putaran kedua, pada build-up pertama yang kami dapatkan, aku langsung ikut menggenjot keras Metta supaya langsung keluar.


"Bebh... Bebh... Terusshh, Bebh... Aku mhau keluaaaaaaaAAAAARRRRHHHHH!!


Aku langsung membekap mulut Metta karena lengkingannya saat orgasme. Kontolku langsung terasa seperti diremas-remas dengan orgasmenya, dan kakinya pun berkedut-kedut.


"Ya, yang teriak tadi tolong pegangan ya, jangan sampai jatuh, tinggi soalnya!"


Kami jelas saja deg-degan mendengar pengumuman dari operator itu, yang mungkin mengira kami kehilangan keseimbangan. Andai saja dia tahu apa yang kulakukan.

Metta ngos-ngosan, namun kami menahan posisi ini saat turun, dan baru ketika naik kembali, dengan cepat Metta berdiri hingga kontolku lepas dengan bunyi "plop", lalu dia berlutut di depanku dan menyepongku. Sepongannya kali ini amat agresif, dan karena posisiku tadi juga sudah hampir keluar, tak lama aku pun meledakkan pejuku di dalam mulut Metta, yang langsung ditelan olehnya, bahkan Metta pun menyedot kontolku untuk menguras sperma yang masih tertinggal, membuatku merasa ngilu dan mencengkeram pegangan dengan keras saking sakitnya.

Setelah dirasa kering, Metta pun berdiri dan duduk kembali di sampingku, tepat saat gondola kembali mengayun turun untuk terakhir kalinya. Dia tersenyum, dan kulihat pejuku berada meleleh di sudut bibirnya, yang langsung dia usap dengan tangan. Aku sendiri masih agak-agak termangu akibat aksi ini, hingga akhirnya Metta lah yang memasukkan kontolku kembali ke celana dan mengancingkannya. Lalu dia pun memeluk dan mendesakkan kepalanya padaku bak putri yang tengah bermanja-manja.






Kami berjalan di tengah keremangan malam menuju ke tempat parkir yang kini sudah sepi. Motorku masih ada di sana, dan aku menunjuk ke arah hotel bintang empat yang beberapa hari lalu kami jadikan tempat memadu kasih.


"Mau ke sono?"

"Ngapain, Beb?"

"Ya, kan kalau ke kosan itu nggak ada air panas, shower, panas, banyak nyamuk. At least di hotel bakal lebih nyaman."



Metta melirik sejenak ke hotel itu.


"Nggak lah, kita balik aja ke kosanmu, ya Beb."

"Yakin? Nggak takut kepanasan, kenyamukan, mandi pake air dingin?"

"No, I think I can handle that."

"You sure?"



Metta mengangguk dengan pasti.


"Yang penting, kamu ada sama aku, Beb. And never leave me."


Aku tersenyum sambil membantu memakaikan helmku pada Metta.


"Yuk, kita pulang. As I promised you, I'll give you a very hot sex tonight."

"Hahaha, ayok lah, siapa takut?"



Kami pun segera menaiki motor yang lalu menembus kegelapan malam. Meski kami agak salah jalan karena gelap, kami akhirnya pulang, dan sebagaimana janji Metta, kami pun bercinta, beberapa kali hingga menjelang pagi.

Next >>> Upside Down
 
Terakhir diubah:
Meta punya tatto?
Atau ada cupangan?

Btw, cerita di Dufan jadi inget waktu SMP th 93 dulu.
Jam 9 pagi masuk Dufan, keluar jam 10 malem.
Maklum ane anak daerah yg kebetulan lagi main ke rumah sodara di Klender.
Jadi puas²in mumpung di sono:D:D
 
menarik ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd