Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Alkisah Di Desa Permai

Cerita manakah yang akan diterbitkan selanjutnya

  • Majlis Budak ( MC Nur )

    Votes: 388 58,4%
  • Sekolah Budak ( MC Intan )

    Votes: 220 33,1%
  • Serikan Budak ( MC Syifa )

    Votes: 56 8,4%

  • Total voters
    664
bosen haris terus
Hahaha bener hu, dan intan kan jg blm di buka kayak'y tuh segel ya hu hanya segel belakang yg sdh dibuka tp blm lebar wkwkwkw
Ini kayak'y sex dengan tanpa batas tingkat elastisitas'y hahahaha pa lg dah urusan perbudakan 1 kampung siapa aja ayooooo mana aja kwwkwkw
 
Pengorbanan Ibu

Pagi itu, aku sedang sibu memasak makanan di warung. Jam baru menunjukkan pukul 9. Warung belum sepenuhnya buka karena memang tidak ada pembeli pada jam segini karena orang-orang sedang sibuk-sibuknya bekerja di ladang. Biasanya warung akan buka jam 10 setelah sebelumnya dari jam 8 aku akan memasak makanan untuk dijual.

Semenjak kematian suamiku, aku dituntut untuk mengambil peran ganda tak cuma memberikan kasih sayang sebagai seorang ibu melainkan juga bekerja keras mencari nafsah layaknya ayah. Karena pembagian peran itu, aku sempat merasakan kalau waktu yang kucurahkan untuk bersama anak-anakku berkurang sehingga mungkin mereka tidak begitu menyayangi ibunya.

Aku cukup menyesal dengan keadaan itu terutama dengan Haris. Entah kenapa aku tidak terlalu nyaman berada bersamanya. Mungkin karena dia adalah satu satunya laki-laki di rumah sehingga aku tidak terlalu akrab dengannya. Hal itu berbeda dengan Syifa dan Intan. Tanpa sadar, aku mulai menjauhi putraku sendiri.

Aku tentu menyesal dengan keadaan itu. Namun apaboleh buat. Haris sepertinya juga tidak terlalu menerima kebaradaanku lagi sebagai ibunya. Namun itu semua berubah ketika akhirnya aku menjadi budaknya.

Awalnya aku malu ketika harus memuaskan nafsu anakku sendiri. Ibu mana yang tidak malu jika harus disuruh untuk terus telanjang, menjadi tempat penampungan sperma dan air kencing milik putranya, dan bahkan menerima siksaan dari anaknya sendiri. Itu adalah hal yang amoral dan bertentangan dengan aturan manapun.

Namun seiring waktu, aku merasakan perasaan aneh yang tumbuh dari dalam diriku. Perasaan nikmat yang membuatku terus terangsang setiap kali aku disiksa atau dipermalukan. Akhirnya, aku memutuskan kalau ini adalah bentuk pengabdian baruku. Menjadi budak yang akan memuaskan semua hasrat dari tuan baruku yang tak lain adalah anakku sendiri. Dengan begitu, setidaknya dia dapat mencintaiku lagi dan aku bisa menebus semua kesalahanku. Aku juga berhasil menjerumuskan kedua anakku yang lain menjadi budak dari Tuan Haris sehingga bersama-sama kami terikat sebuah ikatan baru yang melampui ikatan keluarga yaitu ikatan budak dan tuan.

"Loh, masih belum selesai gorenngnya, bu ?"tanya sebuah suara dari pintu dapur. Aku menoleh dan mendapati Bu Lail menjulurkan kepalanya melihatku. AKupun tersenyum sebagai jawaban.

"Iya nih. Tapi sebentar lagi juga paling selesai."

"Kalau udah, bisa temenin saya ngobrol gak ?"

"Eh, emangnya kenapa ?"tanyaku keheranan.

"Ada hal penting yang ingin saya sampaikan,"jawab Bu Lail dengan suara pelan. Aku ingin bertanya lebih jauh tapi aku memutuskan bungkam dan mengangguk saja.

"Baik. Nanti saya temani ibu."jawabku mengiyakan.

Butuh setengah jam kemudina hingga semuanya siap. Setelah memastikan kalau makanan yang dijual sudah cukup, aku akhirnya menemui Bu Lail di rumahnya tanpa lupa mengunci warung terlebih dahulu.

Rumah Bu Lail terletak tepat di samping warung. Rumah itu cukup besar dengan tiang-tiang kokoh dan pintu-pintu besar. Perabot yang ada di sana juga terkesan mewah. Hal itu tak mengherankan mengingat suami Bu Lail yaitu Pak Iskandar adalah salah seorang yang paling kaya di desa kami. Hal itu juga yang membuat Bu Lail biasanya memakai perhiasan paling mewah dan baju paling mahal.

Bu Lail ketika kuhampiri sedang menggunakan jilbab lebar seperut dan gamis berwarna hitam berbahan dasar sutra dengan bordiran emas di beberapa bagiannya. Ada juga sebuah bros berbentuk bunga dari perak yang menjepit salah satu sisi jilbabnya sehingga menambah kesan anggun dari Bu Lail yang memang harus kuakui cukup cantik.

"Ada apa sebenarnya yang ingin dibicarakan sama ibu ?"Tanyaku sopan pada Bu Lail yang sejak tadi kulihat agak murung.

"Saya sedang ada masalah nih sama anak saya, Ilyas. Mungkin ibu bisa bantu saya."

Aku termangu mendnegar kata-kata Bu Lail. Aku kenal Ilyas sebagai anak yang baik dan juga rajin. Dia saat ini sekelas dengan Intan di sekolah yang sama. Di sana dia dikenal sebagai murid yang pintar bahkan beberapa kali memang lomba olimpiade di luar. Itu tidak mengherankan sebab dengna uang yang dimiliki Pak Iskandar, dia dapat menggaji banyak guru hebat untuk memberikan pelajaran privat padanya.

"Memang kenapa dengan Ilyas ?"

"Kayaknya di stress banget sekarang."

"Stress ?"

"Iya. Dia seperti gak enakan kalau makan. Dia juga jadi lebih pendiam dan seperti menghindari kami. Bahkan dia hampir tidak pernah menyapa. Makanya saya ingin bicarakna ini dengan Bu Nur. Bu Nur kan lebih senior dalam mengurus anak, mungkin ibu bisa bantu saya cari jalan keluar."

"Gimana pendapat ayahnya ?"

"Ayahnya sih kayaknya abai gitu aja."Bu Lail menghela nafas panjang sambil menunduk."Saya jadi bingung."

"Ibu gak coba ngomong sama Ilyas ?"

"Sudah tapi, dia kayaknya gak mau ngobrol dengan saya."

Aku mengangguk pelan. Sepertinya aku mulai bisa menebak alasan dari sikap dan kondisi Ilyas."Apa ibu sering memarahinya ?"

"Biasanya ayahnya yang marah apalagi kalau nilainya di sekolah jelek. Saya juga kadang ngomel tapi gak separah ayahnya."

"Begitu ya, sepertinya alasan kenapa Ilyas seperti itu karena tekanan yang ibu dan suami ibu berikan."

"Tekanan ?"

"Bu, Ilyas itu masih remaja. Kondisi emosinya masih labil. Harusnya di usia itu Ilyas dapat bermain dengan bebas. Tapi ibu dan suami malah terus menekannya dengan belajar dan malah memarahinya jika dia berbuat kesalahan. Tentu saja dia merasa tertekan sekali."

"Kalau dia tertekan, kenapa dia tidak bilang saja."ujar Bu Lail sedikit menunjukkan rasa penyesalannya.

"Ibu dan ayahnya sendiri yang tidak mau dekat dengannya. Apa ibu ingat, sebelumnya, berapa kali ibu ngobrol dengan Ilyas."

Bu Lail mengingat sejenak. Terlihat raut penyesalan dari wajahnya."Itu sedikit sekali."

"Maka wajar kalau Ilyas menjadi seperti ini. Anak seharusnya memiliki waktu dekat dengan orang tuanya tapi alih-alih memberikannya, ibu malah menuntutnya untuk terus belajar. Tapi dengan sifat Ilyas yang patuh, dia memilih untuk diam dan tidak melawan. Akibarnya ya, dia jadi seperti ini."

"Lalu, apa yang harus saya lakukan ?"tanya Bu Lail penuh harap.

"Ibu harus bisa memanjakannya dan memberikan segenap cinta padanya."

"Tapi bagaimana ?"

"Ilyas adalah laki-laki,"gumamku sedikit mengambang."Tentu ibu tahu apa kenikmatan yang diinginkan setiap laki-laki."

"Itu biadab namanya !"seru Bu Lail gusar."Apa-apaan ibu ini."

"Mana yang lebih biadab. Melanggar ketentuan moral demi kebahagiaan sang anak atau terus menekannya seperti mesin."

Bu Lail terdiam mendengar kata-kataku. Dia seperti tersadar dengan semua kesalahannya yang akhirnya memunculkan rasa penyesalan yang terlihat di matanya. Perlahan semua kemarahannya sirna digantikan dengan rasa sesal.

"Tapi, apa harus sejauh itu ?"

"Justru ibu harus lebih berkorban. Ibu harus menjadi budak yang melayani anak ibu sebagai wujud dari cinta ibu. Ibu harus rela mendapatkan siksaan dan penghinaan dari anak ibu. Hanya dengan cara itu anak ibu akan bahagia."

"Tapi menjadi budak...."

"Bu,"potongku sambil menatap Bu Lail meyakinkan."Saya juga punya masalah yang sama. Kemudian saya memutuskan untuk menjadi budak yang melayani anak saya dan itu berhasil. Kami menjadi semakin dekat daripada sebelumnya. Semua masalah di masa lalu terlupakan seketika. Hal itu tak lain dilakukan demi kebahagiaan anak kita meski itu berarti mengorbankan kehormatan kita. Bukankah sudah seharusnya seorang ibu berkorban untuk anaknya."

Bu Lail masih terdiam namun kata-kataku sepertinya berhasil meresap ke alam bawah sadarnya. Perlahan semua pemahaman, ketakutan, rasa malu, luntur digantikan sebuah cinta tulus yang akna diwujudkan dengan statusnya sebagai budak yang akan melayani anaknya.

"Ajarkan saya menjadi budak yang baik."




Sore itu Ilyas pulang dengan langkah gontai. Tas yang ada dipunggungnya serasa lebih berat seiring dengan langkahnya menuju rumah. Bayangan akan pelajaran privat yang harus dia jalani dengan sungguh-sungguh membuat momen pulang ke rumah yang harusnya dinantikan malah memberatkannya. Setidaknya di sekolah dia masih punya teman yang sama-sama belajar. Sementara jika mengikuti pelajaran privat, dia harus menelan semua materi bulat-bulat tanpa ada tempat untuk berbagi.

Namun apa boleh buat. Dia tidak bisa menolak begitu saja perintah orang tuanya. Terlebih saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 12. Sebentar lagi dia akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Orangtuanya begitu mengharapkan dia dapat masuk di salah satu kampur negri favorit. Dan tentu saja itu semua hanya bisa dicapai dengan rangkaian belajar tanpa henti.

Memang dia bisa merasakan kalau kecerdasannya makin meningkat. Begitu juga dengan nilai pelajarannya di sekolah. Semuanya meningkat seiring jam belajar gila yang dia lakukan. Karena itulah dia sering mendapatkan pujian dari guru-guru. Namun meski kehidupannya serasa begitu indah dengan pujian yang dia terima, Ilyas sebenarnya merasa frustasi.

Dia kesal harus menghabiskan waktunya di depan guru privat sementara teman-temannya asyik bermain dengan orang sebayanya. Dia jengkel harus menghabiskan waktu membaca tumpukan buku sementara teman-temannya dapat menghabiskan waktu bermain game. Dia juga marah harus diomeli tiap hari oleh orang tuanya karena kelalaian atau kesalahan dalam mengerjakan soal sementara orang tua teman-temannya dapat menerima nilai anaknya berapapun jumlahnya.

Tapi Ilyas tak dapat melakukan apa-apa. Dia hanya bisa mengangguk patuh mendengarkan semua perintah orang tuanya tanpa pernah mendapatkan kesempatan untuk meminta. Dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan menyalahi perintah orang tuanya. Entahlah sampai kapan keadaan ini akan terus berlangsung.

Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya Ilyas sampai di depan rumahnya yang agak sepi sebab memang rumahnya di bangun agak jauh dari rumah penduduk lainnya. Namun betapa terkejutnya Ilyas ketika membuka pintunya dia mendapatiku berdiri menyambutnya.

"Halo Ilyas, sudah pulang sekolah ya ?"sambutku ramah.

"Bu Nur, kok di sini ?"tanya Ilyas tak mengerti."Di mana ibu ?"

"Ibumu sudah menitipkan hadiah padamu."

"Hadiah ?"tanya Ilyas tak mengerti. Jarang-jarang dia mendapatkan hadiah apalagi ini bukan hari ulang tahunnya.

"Benar. Hadiah karena selama ini kamu sudah menjadi anak yang patuh sekaligus permohonan maaf karena selama ini ibumu selalu memaksamu."

"Memang apa hadiahnya ?"

"Itu."Aku menunjuk sebuah karung goni yang diikat dengan tali rafia berwarna merah yang diletakan di sudut ruangan.

"Ini apa ?"

"Coba saja buka. Kau pasti suka."

Dengan agak ragu Ilyas membuka ikatan karung itu dan seketika dia tersentak mundur melihat apa yang ada di dalamnya. Matanya seolah tak percaya melihat pemandangan di depannya.

Di dalamnya, Bu Lail yang telanjang diikat pahanya hingga menyatu dengan betis dalam posisi mengakang sehingga memeknya yang ditumbuhi sedikit jembut terlihat jelas. Tangannya di satukan di belakang kepala sehingga ketiaknya yang bersih dapat terekspos dengan jelas. Tubuhnya diikat dengan jejalin tali yang membuat tokednya yang besar mencuat tegak karena ikatan tali disekitarnya. Mulut Bu Lail tersumpal dengan celana dalamnya sehingga dengan liur yang menetes karena mulut yang terlalu lama terbuka.

"I...i..ni..apa ?"tanya Ilyas masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ah, ini adalah mainan yang akan menemanimu selama belajar,"jelasku sambil menepuk kepala Bu Lail."Gimana, bagus bukan ?"

"Kenapa ibu begini ?"tanya Ilyas tak mempedulikan penjelasanku.

"Ibumu sudah salah karena selama ini terus mengekangmu. Karena itu dia ingin menebus semuanya dengan mempesembahkan tubuhnya untuk melayanimu."

"Tapi...apa-apaan ini ?"

"Yah, biarkan ibumu sendiri saja kali ya yang menjelaskan."Aku mengambil cd yang menyumpal mulut Bu Lail dan seketika Bu Lail terbatuk karena rahangnya senantiasa terbuka.

"Ilyas, ibu selama ini salah karena terus memaksamu. Ibu selama ini terus menuntutmu menjadi orang yang pintar tapi tak pernah memberiumu kasih sayang sebagaimana kasih sayang yang seorang ibu pada anaknya. Karena itulah ibu saat ini akan menyerahkan seluruh jiwa dan raga ibu untuk melayanimu sebagai budak. "

"Tapi bu, ini bejad sekali. Ibu gak punya malu apa ?"

"Kalau dem itu ibu bisa melayanimu, ibu rela, nak."Bu Lail tersenyum lebar penuh kasih sayang.

"Ilyas,"panggilku,"apa kamu mau menyianyiakan pengorbanan ibumu ?"

Ilyas berdiri dalam bimbang. Dia tahu kalau ini semua adalah salah. Melanggar moral dan bertentangan dengan ajaran yang dianutnya. Namun menyaksikan ibunya yang memohon, Ilyas akhirnya luluh.

"Baiklah, jika itu bisa membahagiakan ibu,"ujar Ilyas.

Ilyas beranjak mendekati ibunya. Terlihat kilatan penuh nafsu yang terpantul dimatanya. Dengan kasar Ilyas mencengkram kepala ibunya dan memaksa ibunya untuk berlutut mencium kakinya.

"Ibu suka kan ?"tanya Ilyas sudah mengganti gaya bicaranya yang sebelumnya sopan santun menjadi merendahkan.

"Iya nak. Ibu suka. Rendahkan ibu lagi."

"Jangan panggil nak lagi. Aku bukan anakmu. Aku tuan yang harus kamu layani."

"Iya Tuan Ilyas."jawab Bu Lail menunduk."Maafkan budak ini karena tak mengenali tuannya."

"Enak saja minta maaf. Kamu harus dihukum."

Ilyas beranjak pergi kebelakang dan mengambil beberapa jepit jemuran berukuran besar serta peralatan belajarnya. Dengan kasar Ilyas menjepit mulai dari puting, toked, klirotis, ketiak, hingga telinga bersamaan dengan kertas note kecil berwarna-warni berisi ringkasan materi dan rumus. Terlihat sekali Bu Lail sangat kesakitan ketika bagian sensitifnya dijepit dengan jepitan jemuran. Namun demi kepuasan sang anak, Bu Lail hanya bisa merintih pelan sebab dia tak ingin suaranya menganggu si anak.

Ilyas kemudian memasukan satu persatu alat tulisnya ke dalam memek ibunya hingga penuh. Bu Lail berusaha mati-matian menjaga tubuhnya untuk tetap diam agar alat tulis itu tidak terjatuh. Meskipun demikian dia harus menahan diri dari rangasangan yang muncul akibat memeknya yang dimasuki benda asing.

"Biasanya kontolku suka pegel kalau lagi belajar. Tapi untung sekarang aku punya alat pemijat kontol."ujar Ilyas yang membawa sebuah bangku dan buku. Dia membuka celananya sehingga kontolnya dapat terlihat jelas. Secara reflek Bu Lail langsung memasukan kontol anaknya ke dalam mulutnya sambil memaju mundurkan kepalanya agar kontol anaknya bisa mendapatkan kenikmatan.

"Bener-bener mantep."cercau Ilyas di tengah belajarnya."Coba aku punya alat kayak gini setiap belajar."

Aku tertawa melihat keadaan Bu Lail. Dia yang sebelumnya merupakan wanita kaya yang dihormati, sekarang berubah menjadi alat pemuas anaknya yang siap disiksa demi memberikan kenikmatan pada anaknya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd