Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Alkisah Di Desa Permai

Cerita manakah yang akan diterbitkan selanjutnya

  • Majlis Budak ( MC Nur )

    Votes: 388 58,4%
  • Sekolah Budak ( MC Intan )

    Votes: 220 33,1%
  • Serikan Budak ( MC Syifa )

    Votes: 56 8,4%

  • Total voters
    664
Ga sabar nunggu kelanjutan nya suhu, semoga ga terlalu lama
 
Mantaabb, gak sabar nunggu tambahan budak budak berjilbab lainnya. Makasi suhu update nyaa
 
Bahasan Tabu

Sore itu suasana rumahku ramai. Bagian ruang tamu yang agak luas sudah dibersihkan dari kursi dan meja kemudian dihamparkan karpet tipis berwarna merah untuk mendapatkan area duduk yang lebih luas. Di tengah karpet tersebut, berbagai hidangan mulai dari gorengan, kue-kue kering, dan kue basah bersama degan teko besar dan belasan gelas di tata rapi di tengah karpet mengundang selera.

Aku dan Syifa akhirnya menyelesaikan persiapan tepat waktu. Makanan dan minuman yang sudah bercampur dengan ramuan spesial kami sudah terhidang mengunggah selera. Dengan racikan yang pas, maka rasa ramuan spesial kami tidak akan terlalu kentara.

"Assalamualaikum,"sahut sebuah suara dari luar.

"Waalikum salam,"jawabku sambil membukakakn pintu.

Di luar, ada 3 orang yang sudah menunggu. Pertama adalah ketua halaqah kami, Bu Jannah. Dia adalah lulusan pesantren besar di jawa sehingga keilmuannya tentang agama tidak perlu dipertanyakan lagi. Bu Jannah juga merupakan istri dari Buya Salim. Ulama besar yang menjadi pimpinan dari Desa Permai dan merupakan juga cucu dari Sutan.

Bu Jannah terkenal sebagai sosok yang sangat alim. Dia seringkali mengisi kajian di desa ini dan bahkan juga sering untuk mengisi pengajian di luar karena keilmuan dan kesalehannya sudah begitu terkenal di seluruh kota. Bu Jannah saat ini memakai gamis longgar semata kaki dengan warna hitam diserta bordiran emas berbentuk bunga. Kakinya terbungkus kaus kaki putih membuat tampilannya begitu anggun. Terlebih sebuah jilbab yang menutup hingga bokongnya yang berwarna hitam juga semakin mempercantik wajahnya yang agak kecoklatan namun berhidung mancung dengan bulu mata lentik yang meskipun telah berumur 40 tahunan, namun masih terkesan menawan.

Di samping Bu Jannah ada Bu Lail. Dia adalah seorang keturunan arab sana sehingga memiliki kulit putih bersih, hidung mancung, dan mata besar. Wajah cantiknya ditopang dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan berisi. Gamis biru polos yang berpadu dengan jilbab putih besarnya tak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang menggoda terutama bongkahan pantatnya yang nampak lebih besar dan bergoyang menggoda ketika Bu Lail berjalan.

Bu Lail adalah istri seorang juragan pemilik belasan rumah makan di kota. Namun kecintaan suaminya yang bernama Iskandar membuatnya tetap berada di Desa Permai dan mengurus belasan rumah makannya dari sana. Bu Lail terkenal sebagai orang yang sangat dermawan. Dia sering kali menyumbangkan hartanya untuk membantu orang miskin. Bahkan masjid yang habis direnovasi sebagian merupakan hasil sumbangannya dengan suaminya.

Terakhir adalah Bu Riska. Dia adalah seorang bunga desa yang meskipun sudah beranjak mendekati umur 30 tahun namun masih belum juga memutuskan untuk berkeluarga. Bu Riska merupakan seorang gadis bertubuh mungil dengan wajah bulat dan mata agak sipit disertai pipi yang seringkali merona. Tubuhnya meskipun cukup mungil, namun memiliki buah dada yang terbilang cukup besar dibanding ukuran tubuhnya. Dengan kecantikan yang dimilikinya, Bu Riska menjadi primadona bagi para pemuda desa. Saat ini Bu Riska mengenakan kemeja putih dengan jilbab instan berwarna hijau dan juga rok panjang berwarna hitam menambah kesan anggun darinya.

Bu Riska bisa dibilang adalah orang yang spesial sebab dialah perempuan pertama yang menjadi dokter. Karena kecintaannya pada Desa, Bu Riska memutuskan untuk mengabdi di puskesmas desa. Saat ini Bu Riska masih tinggal bersama ayahnya yang bernama Luqman. Seorang juragan pemilik belasan hektar ladang.

"Wah, ibu-ibu ini, rajin banget datangnya,"sambutku di bawah pintu. Kami segera saling bertukar pelukan hangat dan bersalaman erat.

"I ya dong, nanti kalau telat malah gak kebagian kuenya bu Nur."jawab Bu Riska dengan senyum tipis.

"Bener tuh. Waktu itu aja saya datang telat setengah jam, kuenya udah mau ludes. Untung Bu Jannah ngingetin ibu-ibu lainnya supaya sisahin bagian saya."sahut Bu Lail.

"Tenang aja ibu-ibu, saya udah bikin banyak kue untuk sekarang."Aku tersenyum meyakinkan.

"Beneran nih bu, waktu itu aja berapa kali saya ingetin supaya kuenya gak dihabisin soalnya masih ada belum kedapetan."Bu Jannah mengangkat alisnya meragukan.

"Beneran toh. Masa iya saya bohong."Aku tertawa kecil.

"Lah, masalahnya bukan banyaknya bu. Kue Bu Nur itu enak banget sampai orang kenyang juga mau makan lagi."balas Bu Lail ikut tertawa.

"Sudah-sudah, gak enak kalau ngobrol di luar gini. Ayo semuanya masuk,"ajakku pada ketiga ibu-ibu itu.

Kami pun masuk dan duduk di atas karpet. Beberapa saat kami terlibat dengan obrolan ringan seputar kehidupan rumah tangga dan segala keluh kesahnya sebagai seorang yang harus mengurus anak atau suami. Tak lama kami memulai obrolan, satu persatu anggota majlis pengajian mulai berdatangan dan segera bergabung.

"Apa semuanya sudah datang ?"tanya Bu Jannah sambil menyapukan pandangannya.

"Sepertinya Bu Salma gak datang kayaknya,"jawabku.

"Memangnya kenapa Bu Nur ?"

"Katanya lagi sakit kulit. Gatel-gatel gitu."jawabku lagi.

"Waduh kasihan banget. Mudah-mudahan cepet sembuh."

"Tapi perasaan Bu Salma gak ke puskesmas deh,"tukas Bu Riska curiga.

Aku mengutuki diriku dalam hati mendengar perkataan Bu Riska. Tapi kemudian aku berhasil menenangkan diri dan menjawab,"kemarin Bu Salma ngomong ke saya kalau kayaknya penyakitnya gak bisa disembuhin di puskesmas makanya dia pengen berobat ke kota."

"Oh begitu tuh. Ya udah, mudah-mudahan cepet sembuh Bu Salmanya."

"Amin,"sahut ibu-ibu lainnya.

Namun belum juga Bu Jannah membuka majlis, tiba-tiba seruan salam terdengar dari luar. Begitu kami menjawabnya dan aku mempersilahkan masuk, terlihatlah sosok Bu Salma dengan penampilan yang cukup membuat mulut ternganga.

Bu Salma masuk menggunakan gamis berwarna coklat susu dengan jilbab lebar senada tak lupa dilengkapi dengan kaus kaki yang menutupi betis. Namun yang membuat semua mata melotot tak percaya adalah bagian dadanya.

Kancing depan gamis Bu Salma terbuka seluruhnya. Bu Salma tidak mengenakan bra sehingga buah dadanya yang nampak lonjong keluar begitu saja di balik gamisnya. Tokednya yang nampak berurat terlihat cukup besar di banding buah dada biasanya. Putingnya yang gelap juga cukup besar dan mengundang lelaki manapun untuk mencubitnya. Di tambah dengan jilbab panjangnya yang disampirkan ke belakang membuat kedua tokednya terlihat jelas oleh siapapun apalagi Bu Salma tak terlihat menyembunyikannya.

"Astagfirullah, Bu Salma !"seru Bu Riska tak percaya melihat pemandangan di depannya.

Ibu-ibu di rumahku juga menjerit kaget melihat penampilan Bu Salma yang begitu memalukan. Bahkan para lonte sekalipun rasanya tak akan mengumbar toked mereka meskipun di depan perempuan sekalipun.

"Bu Salma ngapain diliatin payudaranya ?"tanya Bu Jannah dengan sepasang mata melotot.

"Ma...ma..maaf."jawab Bu Salma terbata sambil menunduk tak berani beradu pandang dengan Bu Jannah.

"Cepet tutup, bu !"sergah Bu Lail mencoba bangkit dan menutup gamis Bu Salma. Namun dengan cepat Bu Salma menangkisnya.

"Gak usah bu."

"Bu Salma ini kenapa ? Gak malu apa payudaranya keliatan jelas begitu ?"

"I ya nih, Emang ibu udah gak punya rasa malu lagi."

"Bu, lonte aja gak akan seberani ini loh."

"Ibu-ibu,"Aku buru-buru menengahi dan mencoba untuk menenangkan terlebih melihat wajah Bu Salma yang terus bersemu merah."Biarkan Bu Salma beri penjelasan."

"Be...be..begini. Jadi kulit saya yang bagian payudara lagi sakit dan sekarang udah diolesin obat salep. Dokter bilang kulit saya harus kena udara terbuka dan gak boleh terkena benda apapun."

"Masa begitu sih,"Bu Riska tak percaya,"harusnya seenggaknya dikasih perban begitu."

"Tapi kata dokter saya begitu."

"Ini salah bu."

"Bu,"balasku menatap Bu Riska."Kita hormati aja. Toh, mungkin dokternya Bu Riska lebih ahli."

"Terserah ibu aja lah,"Bu Riska mendengus jengkel.

"Tapi kalau sakit, lebih baik Bu Salma di rumah aja."Bu Jannah ikut menimpali.

"Saya cuma gak pengen kelewatan pengajian,"Bu Salma mulai berkaca-kaca,"Maafkan saya. Saya harus pergi ke pengajian dengan kondisi seperti ini."

Bu jannah menghela nafas panjang tapi akhirnya dia mengangguk dan berujar," ya sudah. Kita lanjutkan aja pengajiannya. Nanti terlambat."

Akhirnya pengajian dilanjutkan dengan ceramah panjang lebar dari Bu Jannah. Dengan terampil Bu Jannah menyampaikan peranan istri dalam keluarga mulai dari melayani suami sampai mengurus anak. Dengan mahir Bu Jannah menyampaikan dalil-dalil untuk memperkuat kata-katanya. Suaranya yang lembut namun berwibawa dengan baik mampu menarik perhatian pendengar.

Namun suasana di pengajian itu serasa begitu aneh. Aku bisa melihat ibu-ibu yang ada mencoba untuk menjauh dari Bu Salma. Beberapa dari mereka bahkan kudapati berbisik-bisik sambil melirik sinis ke arah toked Bu Salma. Bahkan Bu Jannah kelihatan sekali mencoba untuk mengalihkan pandangannya dari Bu Salma.

Sementara itu Bu Salma hanya bisa menunduk membiarkan kedua tokednya terlihat jelas. Wajahnya begitu merah pertanda kalau dia terus mencoba untuk menahan rasa malu yang tentu saja sangat besar. Namun demi melaksanakan perintah, dia terpaksa menahan rasa malu itu dan tetap diam membiarkan orang lain bisa melihat tokednya.

"Baik, jadi begitulah bagaimana tugas istri dalam keluarganya,"ujar Bu Jannah mengakhiri ceramahnya."Mudah-mudahan kita bisa menjadi ibu sekaligus istri yang baik sehingga dapat mengumpulkan keluarga kita di surga kelak."

"Amin,"sahut ibu-ibu yang lain.

"Ayo bu, silahkan kuenya dihabiskan,"kataku mempersilahkan ibu-ibu yang ada untuk menghabiskan sisa hidangan yang sebelumnya diambil sedikit demi sedikit ketika Bu Jannah berceramah.

Dengan riang tangan-tangan ibu-ibu pengajian mengambil kue, gorengan, serta menuangkan minuman dari teko ke gelas. Mulut mereka segera terisi dengan makananku yang terkenal sangat enak hingga hidangan yang ada di atas karpet mulai habis.

"Bu Salma gak makan ?"tanyaku yang berada di sebrang Bu Salma.

"Eh, nggak usah. Saya lagi gak selera,"jawab Bu Salma yang terus menunduk menghindari tatapan sinis ibu-ibu yang lain.

"Bu Salma, ayo di makan, nanti habis loh."Bu Jannah yang perlahan iba ikut membujuk.

"Gak usah kok, bu. Ibu-ibu makan aja,"balas Bu Salma dengan air mata berlinang membuat beberapa orang mulai terdiam.

"Kalau ibu merasa malu karena payudara ibu kelihatan, saya punya jalan keluarnya...."Perlahan tangaku meraih resleting gamis yang ada di belakang dan mulai menurunkannya.

"Bu Nur ngapain !"jerit salah seorang ibu pengajian melihat gamisku yang mulai melorot.

"Gak apa-apa kok. Daripada Bu Salma malu sendiri, lebih baik dia ditemani."

"Tapi gak gini juga Bu."sahut Bu Lail.

"Ini lebih baik daripada kita harus menjauhi Bu Salma."tegasku yang kemudian melepaskan bra hingga tokedku yang seperti pepaya dapat terlihat jelas."Harusnya kita menghargai niat Bu Salma yang rela datang walau dengan penampilan yang memalukan Kita harusnya bisa menghormati itu bukan malah membuatnya tambah malu dengan sikap kita."

"Iya sih, tapi...."

"Lagipual kita sama-sama perempuan. Jadi harusnya ini gak apa-apa kan ustazah?"tanyaku sambil menatap Bu Jannah.

"Eh, iya...."

"Nah, kalau begitu Bu Salma gak usah malu lagi. Bu Salma gak sendiri,"kataku meyakinkan.

"Eh, makasih ya Bu Nur,"kata Bu Salma tersenyum lemah,"tapi ibu gak apa-apa payudaranya kelihatan."

"Kalau demi membantu saudara sesama muslim, kenapa harus malu. Benarkan ustazah ?"

"Eh, iya "jawab Bu Jannah lagi.

Akhirnya acara makan-makan dapat dilanjutkan kembali. Dengan diriku yang masih percaya diri meski bagian atas tubuhku yang terlihat jelas sebab jilbab yang kusampirkan ke belakang, Bu Salma mulai mencair dan berbaur kembali dengan ibu-ibu lainnya. Sementara itu, peserta pengajian yang lain mulai terbiasa dengan keadaan ini dan memilih untuk mengabaikannya.

"Oh ya, payudara Bu Nur kayaknya gede banget,"komentar Bu Lail di sampingku.

"Iya nih. Udah nasibnya,"jawabku sambil tersenyum ramah.

"Saya jadi iri loh,"komentar Bu Riska sambil terus menatap kedua payudaraku.

"Ibu mau megang ?"kataku menawarkan.

"Boleh nih,"ujar Bu Lail ragu.

"Silahkan aja,"kataku meyakinkan."Masa sesama perempuan harus malu."

Dengan perlahan Bu Lail mulai menyentuh payudaraku dengan ujung jarinya. Setelah beberapa lama, Bu Riska dengan ganas malah langsung mencengkram payudaraku dengan gemas. Sementara itu ibu-ibu yang lain terlihat hanya diam dan perlahan mulai terangsang. Sepertinya Gendhing Abira Abilasa yang diberikan Tuk Siamang ditambah campuran khusus milikku ke dalam makanan mulai berbuahkan hasil.

"Wih, payudara Bu Nur emang mantep. Meski kelihatan gemuk tapi tetap kencang jika digenggam,"cetus Bu Riska.

"Iya. Payudara saya mah gak seberapa."timpal Bu Lail.

"Jangan bilang begitu. Setiap payudara punya keistemawaannya masing-masing. Benerkan ustazah ?"

"Eh iya. Kita harus mensyukuri tubuh kita sendiri."jawab Bu Jannah yang perlahan mulai terangsang melihat tokedku dimainkan.

"Bener tuh. Kayak gini..."Dengan ganas kedua tanganku meraih toked milik Bu Riska dan Bu Lail dan mulai meremasnya.

"Eh, Bu Nur kenapa....."Kata-kata Bu RIska bungkam oleh desahan kenikmatannya.

"Aduh geli nih,"Bu Lail memejamkan matanya menikmati permainan tanganku

"Gantian dong bu, masa saya doang yang payudaranya dimainin."balasku sambil tersenyum sementara yang lain hanya memperhatikan.

Perlahan tanganku membuka kancing bagian depan dari Bu Riska hingga terpampanglah yang bulat dan besar yang terbungkus dengan bh berwarna biru. Sementara itu Bu Lail yang sudah terbakar nafsu malah dengan sendirinya membuka gamis sekaligus bh nya sehingga tokednya bisa terlihat jelas.

Kami bertiga melanjutkan permainan dengan saling meremas toked yang lain disertai tawa dan desahan penuh nikmat. Melupakan kalau ini adalah majlis pengajian tempat ajaran agama disebarkan. Namun yang lain bukannya menegur malah terlihat menikmati permainan kami.

"Ibu-ibu, udah dulu ya,"tegur Bu Jannah dengan muka memerah melihat permainan kami."Kita tutup dulu pengajiannya."

"Eh iya, maaf ustazah, malah jadi kelepasan."jawabku mencoba bangkit tanpa mempedulikan pakaianku yang sudah melorot hingga bahkan perutku terlihat jelas. Bu Lail dan Bu Riska juga beranjak duduk dengan toked yang terlihat jelas.

"Bu bajunya dipakai dong,"Bu Jannah mengingatkan.

"Gak papa kok bu. Enakan begini."

"Lagipula, kalau begini kan Bu Salma jadi lebih nyaman,"tambah Bu Riska.

"Ya udah kalau ibu-ibu maunya begitu."Bu Jannah menghela nafas pelan." Sebelum kajian ini ditutup, ada yang mau bertanya dahulu."

"Bu saya mau bertanya, selain yang ibu katakan sebelumnya, ada gak cara supaya kita bisa mempererat rumah tangga kita ? "tanyaku.

"Sebenarnanya masih ada lagi seperti misalnya berdandan cantik ketika melayani suami."

"Wah berarti kita juga bisa begitu ke keluarga kita yang lain,"cetusku.

"Ya gak boleh lah,"sergah Bu Jannah."Itu terlarang. Tubuh kita cuma boleh dinikmati suami kita."

"Tapi bukannya kata ibu kita sebagai seorang wanita harus mengabdikan hidup kita demi keluarga. Berarti kita juga harus siap mengorbankan tubuh kita untuk dinikmati keluarga yang lain."

"Gak bisa begitu dong,"

"Tapi kan yang paling penting kita harus menjaga keutuhan keluarga. Kalau dengan itu kita harus mengorbankan tubuh kita misalnya dengan disetubuhi anak sendiri..."

"Ibu sudah gila ya !"seru Bu Jannah agak marah.

"Saya kan hanya memisalkan. Lagipula, laki-laki itu biasanya cuma tertarik dengan tubuh wanita. Kalau dengan tubuh kita, kita bisa menyatukan keluarga, bukankah itu lebih penting daripada dosa berzina."jawabku tenang."Kita seharusnya dapat memakai tubuh kita untuk melayani nafsu keluarga kita agar mereka tetap betah dan hidup rukan. Benar begitu kan ?"

Bu Jannah seperti hendak membantah lagi namun kesadarannya seperti tersentak oleh pemahaman yang kuberikan. Pada akhirnya Bu Jannah hanya bisa menggeram tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

"Ya udah, kalau begitu, kita sudahi aja pertemuan kali ini,"ujar Bu Lail mencarikan suasana.

Akhirnya dengan suasana agak canggung kami semua meneruskan untuk menghabiskan hidangan. Meski perlahan sepertinya pemahaman mengenai pelayanan mutlak untuk dinikmati keluarganya mulai merasuki pemikiran ibu-ibu di sini.

Aku tersenyum penuh kemenangan. Meski harus dengan cara halus, tapi sepertinya rencanaku untuk membuat ibu-ibu alim ini menjadi budak akan segera berhasil. Dengan begini, aku pasti akan mendapatkan kenikmatan kontol lagi.
 
Bimabet
tinggal nunggu esekusinya ni kira kira siapa yang beruntung dpet giliran pertama
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd