Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AGUS, Sang Pemijat Wanita

GiselleSan

Semprot Kecil
Daftar
16 Oct 2023
Post
84
Like diterima
613
Bimabet
Permisi semuanya, sebelum mulai aku mau menyampaikan bahwa mungkin setelah kalian selesai membaca cerita ini kalian berpikir pernah membaca/melihat cerita ini. Saya disini melanjutkan cerita dari Ricoalex dan Irfanramli, aku sudah kontak keduanya, dikarenakan lupa password dan sulit untuk login lagi, jadi cerita ini saya yang dipercayakan untuk melanjutkannya, terimakasih atas perhatiannya. Happy reading!




•••



Hallo semua, kali ini saya ingin bercerita tentang curhat teman yang berprofesi sebagai tukang pijat. Untuk menyamarkan cerita, saya buat versi novel ya. Sekalian mengasah kemampuan menulis.





*Awal Mula Profesi Tukang Pijat*







Namaku Agus, usiaku 16 tahun dan kehidupanku berjalan normal seperti pemuda kebanyakan lainnya. Yang sedikit berbeda mungkin sepeninggal ayahku yang wafat waktu aku berumur 12 tahun. Kehidupanku dan ibuku menjadi sedikit sulit dan tersendat. Saat itu aku baru lulus SD, dan butuh biaya untuk melanjutkan ke SMP.



Ibuku-atau kau dapat memanggilnya Ibu Tia mulai berpikir bagaimana caranya bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Saat itu ibuku hanya melakukan pekerjaan serabutan. Bekerja apa saja asal halal dan pulang membawa uang untuk membeli beras dan kebutuhan kami sehari-hari. Almarhum ayahku tidak menginggalkan harta apa-apa, selain sebuah rumah sederhana yang sekarang kami tinggali di sebuah gang kecil yang padat dan ramai.



Sejak muda ibuku mempunyai keahlian memijat. Keahlian turun-temurun dari keluarga nenekku yang sempat terabaikan itu mendadak sempat terpikirkan oleh Ibuku untuk kembali menekuninya. Awalnya Ibuku memijat para tetangga yang kecapekan, lama-kelamaan mulai banyak orang yang mendengar keahlian Ibuku dan datang untuk meminta dipijat.



Bukan hanya orang tua, tetapi anak-anak yang habis terjatuh atau sakit, masuk angin, meriang, semua mendatangi Ibuku untuk dipijat.



“Alhamdulillah anak saya sudah sembuh, Bu. Terima kasih banyak.” Seorang ibu bergegas keluar dari rumah ibuku. Semakin hari rumah kami semakin ramai. Kini ibuku mendapat julukan baru, Mbok Tia si tukang pijat.



Lama-kelamaan bukan hanya melayani orang yang datang saja, ibuku juga menerima panggilan. Tentu saja dengan tarif yang berbeda. Jika ada orang yang memanggil untuk datang dan dipijat olehnya, Ibuku selalu memintaku untuk mengantarnya dengan motor butut kesayanganku.



“Kamu besok antarkan Ibu ke perumahan di Jalan Cempaka, ya, Gus. Ibu ada panggilan memijat di sana.”



“Jam berapa, Bu?” tanyaku yang sedang menikmati sepiring sarapan dengan nasi uduk lauk jengkol menjadi makanan favoritku.



“Besok jam tiga sepulang sekolah, kalau pagi biasanya masih banyak orang datang ke sini.”



Aku segera menghabiskan sarapan lalu segera berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian sekolah. Aku sudah punya cita-cita untuk bekerja ke luar negeri.



Menurut informasi dari guruku kalau ada lowongan bekerja di luar negeri dengan gaji yang cukup lumayan. Hal itu yang membuatku tak sabar ingin segera menyelesaikan pendidikanku untuk membantu ibuku mencari uang.



Malam harinya, aku mengutarakan maksud untuk bekerja di luar negeri. Namun betapa terkejutnya ibuku kala mendengar niatku itu.



“Untuk ke luar negeri biayanya berapa, Gus?” tanya ibuku.



“Nanti Agus akan cari yang tidak perlu biaya banyak dan dipotong gaji saja, Bu.”



“Kalau cuma sedikit Ibu bisa usahakan. Yang penting sekarang sepulang sekolah kamu antarkan ibu keliling menerima panggilan. Kalau Ibu yang datang, upahnya lumayan, Gus. Apalagi kalau orangnya cocok sama pijatan ibu dan royal.”



“Memijat itu ada ilmunya, ya, Bu?” tanyaku asal.



“Ada tekniknya, kalau kamu mau belajar, Ibu bisa ajarin kok.”



“Susah, nggak, Bu?”



“Nggak susah asal kamu mau belajar. Setelah makan nanti Ibu ajari kamu.”



“Ibu nih masa laki-laki belajar pijat, nggak mau, ah.”



“Lho, nggak papa, kalau kamu punya keahlian itu lebih bagus. Mumpung Ibu masih hidup, Gus. Setidaknya kamu ini punya darah tukang pijat turunan dari nenekmu, sekarang Ibu yang mewarisi, nantinya kamu juga harus belajar.”



Seketika aku terdiam sejenak, sebenarnya aku tidak mau belajar memjiat, tapi ibuku terus memaksa, hingga akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai belajar memijat, meskipun awalnya sangat terpaksa.



Setelah belajar memijat dari ibuku, ibu juga mengajakku berkeliling ke rumah pelanggan. Ibuku ingin aku melihat secara langsung ilmu yang sudah diberikan. Setiap ibuku dipanggil memijat dari rumah ke rumah, aku selalu mendampingi.



Aku adalah Agus si muda berwajah lumayan tampan yang kini sudah mulai paham cara Ibuku memijat. Dari situlah berawal, aku mulai belajar memijat dan awalnya memijat ibuku sendiri.



Pengalaman pertamaku akhirnya datang saat aku mengantar Ibuku memijat pasangan suami istri muda.



"Gus, abis belajar nanti jam 8 malam antar Ibu ke kompleks perumahan Rinjani ya, Ibu ada panggilan pijat di sana," ujar Ibuku setelah kami selesai makan malam sekedarnya hanya nasi putih dengan lauk tempe goreng.



Lidah kami sudah terbisa dengan makanan sederhana, hanya ditambah sambal terasi saja, kami sudah menghabiskan nasi dengan lahap.



“Iya, Bu. Nanti Agus mau nyiapin jadwal untuk pelajaran besok dulu.”



Perlahan kini aku sudah mulai menguasai teknik memijat. Sedikit demi sedikit aku mulai belajar sesuai arahan Ibuku.



Sejak Ayahku wafat, aku dan Ibu tinggal di rumah kecil sederhana dengan satu kamar tidur dan satu kamar mandi kecil. Aku lebih memilih tidur di ruang tamu menggelar kasur tipis di depan TV tabung 14 inch. Tempat yang paling nyaman bagiku yang sudah terbiasa hidup susah. Kehidupan sederhana tapi cukup membahagiakan dengan ibuku. Aku bercita-cita suatu saat nanti akan membahagiakan ibuku dengan membeli rumah yang lebih layak untuk tempat tinggal kami.



Karena mendpaat perintah dari Ibuku, tentu saja aku segera menyiapkan buku-buku sekolah untuk jadwal pelajaran besok pagi. Setelah rapi semua, ak segera berganti baju dan menunggu ibuku selesai beres-beres.



Ibuku segera membereskan meja makan dan mencuci perabotan. Ibuku yang sudah berusia lima puluh tahunan itu segera bersiap-siap untuk berangkat memenuhi panggilan pijat di perumahan mewah yang tak jauh dari rumah kami. Sejak menerima panggilan di sebuah perumahan, entah dari mana semua berawal Ibuku juga tidak tahu, tiba-tiba saja ia menerima banyak orderan. Kata pelanggan yang terakhir ia datangi, orang itu membuat status di Facebook dan banyak kawan-kawannya yang membaca dan berkomentar.



“Sudah siap, Gus?” tanya ibuku saat melihat diriku sudah menunggu di teras kecil rumah milik kami. Aku sudah berdandan rapi dengan celana jeans dan kemeja lengan pendek, satu-satunya bajuku yang terlihat pas dan membuat penampilanku berbeda.



Banyak orang bilang aku mempunyai wajah yang tampan. Garis wajahku lebih banyak menurun dari Ayah, pria kelahiran Manado. Kulitku putih bersih, dengan hidung mancung membuatku terlihat menarik. Di sekolah aku juga banyak mempunyai penggemar dan ditaksir kawan-kawan perempuan. Bahkan beberapa di antaranya sempat berantem memperebutkan diriku yang tidak terlalu tertarik untuk menanggapi teman-teman perempuan.



Aku yang polos dan lugu tak ingin membuang waktuku hanya untuk berpacaran, aku lebih fokus belajar dan ingin lulus dengan nilai bagus supaya bisa bekerja di luar negeri. Hanya itu cita-citaku, membuat ibuiu tidak lagi bekerja dan mempunyai kehidupan yang layak.



“Kompleknya nggak terlalu jauh, kan, Bu? Bensinnya kayaknya mau habis ini.” ujarku sambil membuka tangki bensin dan menggoyang-goyangnya motornya sedikit, untuk melihat bensin yang tinggal sedikit.



“Iya, di depan sana kurang lebih lima belas menit sampai, kok. Nanti pulangnya saja kita beli bensin.”



Ibuku segera menguci rumah lalu bergegas menaiki motor butut milikku. Satu-satunya barang berharga, sepeda motor tua yang dibelikan oleh ibuku dari hasil memijitnya dua bulan lalu.



Angin malam berhembus pelan menerpa wajah kami yang mencoba mengais rezeki untuk tetap melanjutkan kehidupan kami yang sederhana. Tak berapa lama kemudian kami tiba di sebuah rumah berlantai dua. Entah kenapa jantungku berdetak lebih kencang, sebab aku belum pernah memasuki rumah mewah.







•••



Bersambung...


•••


About me:
Giselle San, gadis 23 tahun, cewek tulen, sedang belajar menulis. Terima kasih apresiasinya.
 
Terakhir diubah:
*Bab 2*

Sesampainya di depan rumah yang mau dipijat, ibuku pun turun dari atas motor kemudian melepas helmnya dan memberikannya padaku.

"Parkir dulu motornya Gus, kunci motornya," perintah ibuku.

"Siap, Bu," jawabku lalu memarkirkan motor dan menguncinya sesuai perintah.

Ibuku lalu berjalan menghampiri pintu kemudian memencet bel yang ada di samping pintu rumah tersebut.

Tidak lama kemudian pintu dibuka, dan muncul sesosok pria yang berdiri di depan ibuku dengan senyum yang ramah.

Dari kejauhan aku memperhatikan ibuku tengah sibuk berbincang dengan pria tersebut sambil si pria sesekali melihat ke arahku, tentu saja aku bingung.

Pria itu terlihat mengangguk dan mempersilahkan ibuku untuk masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Ibuku berbalik dan memanggilku untuk ikut masuk kedalam rumah itu. Aku turun dari motor dan berjalan menghampiri ibuku.

"Guss, hayuk masuk." Ibuku kemudian melambaikan tangan dan memberi isyarat padaku agar ikut masuk ke dalam rumah.

Dengan patuh aku berjalan menuju pintu sambil berjalan agak menunduk dan ikut masuk ke rumah itu menyusul Ibuku. Aku berjalan menghampiri ibuku sambil sesekali melihat ke kanan dan ke kiri.

Aku memperhatikan seisi rumah itu dengan sekilas, sambil kepalaku berputar melihat ke sekeliling. Rumah ini sangat unik, berbeda dari rumah-rumah yang pernah kulihat.

Rumah itu memang tidak besar dan tidak mewah, tapi rumah itu nampak asri dan nyaman serta di bagian dalam ruangannya tertata juga dengan rapi.

Saat sudah berada di dalam rumah bersama ibuku, aku melihat pria yang tadi membuka pintu dan mengobrol dengan ibuku sedang asyik menonton TV di ruang tamu.

Pria itu menoleh ke arahku dan ibuku, dia berbicara dengan ramah sambil tersenyum. Aku mengangguk sambil tersenyum ramah pada pria itu.

"Masuk dan langsung naik ke atas saja Bu, anaknya sekalian ajak naik juga, nggak papa, kok."

"Permisi, ya, Pak, saya mau naik ke atas dulu," kata Ibuku dengan sopan sambil menarik tanganku pelan agar ikut naik ke atas.

"Ayo naik, Gus," ujar Ibuku berbisik kepadaku lalu berjalan perlahan menaiki tangga rumah itu untuk menuju ke atas.

Akupun menurut dan mengikuti ibuku dari belakang dan ikut berjalan perlahan menaiki tangga ke atas.

Saat menaiki tangga, aku dapat melihat dari atas tangga, rumah itu cukup bagus dan nyaman walau tidak besar. Kesan rumahnya nampak elegan dan perabotan yang ada juga tertata rapi.

Seketika aku berpikir kalau suatu saat ingin memberikan rumah seperti ini untuk ibuku agar bisa tidur dengan lebih layak.

Sesampai di lantai atas, akupun kembali memandang ke sekeliling, sambil sesekali memperhatikan ibuku.

Di lantai atas itu terlihat sebuah ruangan minimalis dengan sofa panjang buah yang berhadapan dengan dua buah sofa pendek dengan meja kecil di tengahnya.

Di salah satu sofa pendek itu terlihat sedang duduk seorang wanita muda. Ia nampak sangat santai padahal ada aku yang merupakan lawan jenisnya berada di situ.

Mataku dengan seksama memperhatikan wanita muda itu, kulirik dari ujung rambut sampai ujung kaki wanita muda tersebut.

Wajahnya terlihat cantik, kulitnya putih bersih, hidungnya juga mancung dengan tinggi badan sekitar 155 cm, tubuhnya terlihat langsing tapi tidak terlalu kurus, bisa dibilang cukup proporsional.

Dia mengenakan celana pendek berwarna biru muda dengan setelan kaos tanpa lengan yang cukup pendek sehingga pusarnya terlihat jelas.

Kaos yang di pakai wanita muda itu cukup ketat, sehingga nampak jelas lekuk tubuhnya yang sexy dan menggoda. Pemandangan itu membuatku yang merupakan seorang pria tulen secara tidak sadar menelan ludahnya.

"Ehhh, Mbok Tia sudah datang," sapa wanita muda itu sambil tersenyum saat melihat ibuku.

"Wah Mbok bawa si Agus juga, ya, ini yang katanya sudah bisa mijet itu, kan, ya? Anaknya ternyata ganteng lho Mbok," ucap wanita cantik tadi lalu bangkit dan berdiri.

"Ehh, iya Non, ini anak saya Agus," balas ibuku sambil basa-basi.

"Ah non Maya ini bisa saja, Agus mah orang kampung, Non. Nggak ganteng, kok, Non." celetuk Ibuku sambil tersenyum malu-malu.

Aku yang mendengar ucapan ibuku dan wanita muda itu seketika jadi menunduk malu, dan terlihat pipiku yang berubah bersemu merah.

"Agus, ayo salim sama Mbak Maya," perintah Ibuku sambil menarik pelan tanganku untuk bersalaman dengan wanita itu.

"Eh, iya, Bu," aku menjawab dengan kikuk, akupun bergegas mendekati dan langsung salim ke Mba Maya.

"Aduh Agus, sudah ganteng kamu juga sopan, ya," kata Mbak Maya saat melihatku sambil tertawa pelan setelah melihat tingkahku yang kikuk.

"I-iya, terima kasih Mbak Maya," sahutku hanya bisa menunduk dan tersenyum malu. Mbak Maya balas tersenyum lalu melihat ke arah ibuku.

"Mari kita di kamar saja pijatnya Mbok," ajak Mbak Maya lalu ia berjalan lebih dulu ke arah kamar yang semenjak tadi pintunya sudah dibuka.

Ibuku pun dengan sopan mengikuti Mbak Maya berjalan menuju kamar yang dimaksud.

"Lhooo, Agusnya tidak diajak Mbok?" tanya Mbak Maya yang berjalan keluar dan melihat aku dan ibuku dari pintu kamarnya.

"Agus, ngapain kamu diam saja disitu? Ayo ikut masuk siniii," panggil Mbak Maya sambil melambaikan tangannya ke arahku yang hanya berdiri di tempatku berpijak tanpa bergerak selangkahpun.

Ibuku yang berjalan di depan juga memberikan isyarat agar aku ikut masuk juga ke dalam kamar.

Akhirnya akupun dengan malu-malu berjalan perlahan mendekat lalu masuk ke dalam kamar.

"Permisi," ucapku dengan sopan dan pelan setelah memasuki kamar bersama ibuku.

"Sebentar aku mau lepas pakaian dulu dan ganti pakai kain, ya, Mbok," kata Mbak Maya lalu berjalan ke arah ujung kamar tersebut.

Ternyata di kamar ini ada kamar mandi lagi di dalamnya, aku yang tadi hampir mau keluar kamar lagi saat mendengar Mbak Maya mau melepas pakaiannya langsung menghela nafas lega.

"Kamu kenapa, Gus?" tanya Ibu dengan berbisik sambil melirik ke arahku.

"Tidak ada apa-apa, Bu," jawabku sambil menggeleng singkat agar tidak dimarahi ibunya, lalu dia mulai memperhatikan ruangan kamar tersebut.

Di dalam kamar itu tersedia 2 tempat tidur, ada lemari dan 1 sofa duduk. Seketika aku berfikir untuk apa ada dua tempat tidur ya?

Namun kebingungan seketika terhenti karena tidak lama Mbak Maya keluar dari kamar mandi.

"Saya sudah selesai, Mbok." ucap Mbak Maya berjalan keluar dari kamar mandi, dan terlihat tubuhnya yang hanya dililit kain serta dilapisi pakaian dalam, terlihat juga tali bra berwarna biru muda pundak Mbak Maya.

Lagi-lagi tanpa sadar aku menelan ludah, bagiku yang jarang melihat wanita hal itu sungguh pemandangan yang sangat seksi untuk ukuran seorang pemuda sepertiku.

Mbak Maya hanya tersenyum ramah dan geli melihat sikapku yang tampak begitu polos.

"Jadi yang mau memijat Maya, Mbok Tia atau Agus, nih?" tanya Mbak Maya seraya menatap aku dan ibuku sambil tersenyum ramah.

"Kalau tidak keberatan Agus saja boleh Non? Sekalian saya mau liatin, bener nggak dia mijitnya," pinta ibuku sambil menunjuk ke arahku.

Aku yang mendengarnya cukup terkejut, tapi aku berusaha tenang dan tidak mau menunjukkan hal itu pada ibuku dan Mbak Maya. Jadi, aku hanya terdiam saja tanpa berkata apa-apa.

"Baik kalau begitu, aku tengkurap seperti biasanya saja, kan?" tanya Mbak Maya langsung berjalan menuju tempat tidur yang berada di tengah dan tiduran tengkurap.

Tempat tidur itu sepertinya sudah dipersiapkan oleh Mbak Maya, karena bagian atasnya sudah dialasi kain panjang polos berwarna navy tua.

"Gus, kamu buka jaket dan celana panjangnya lalu kamu cuci tangan di sana," perintah ibuku sambil menunjuk ke ujung kamar tempat kamar mandi berada.

"Permisi ya Non, Agus mau saya suruh cuci tangan dulu, takut kotor tangannya." ucap ibuku sambil tersenyum sopan pada Mbak Maya.

"Di sana, ya, Gus, kamu masuk kamar mandi, wastafel ada di dalam lalu gantung jaket dan celana panjang kamu di dalam juga, ya," kata Mbak Maya sambil tersenyum dan menunjuk kamar mandi.

Aku hanya mengangguk dan langsung berjalan menuju ke kamar mandi. Jantungku berdegup kencang saat kembali melihat lekuk tubuh Mbak Maya yang tiduran dengan tengkurap itu.

Aku berulang kali menelan ludahnya lalu masuk dengan cepat ke dalam kamar mandi.

Saat aku sedang berada di dalam kamar mandi, Maya mengajak ngobrol ibuku dengan ramah.

"Gimana Mbok, lagi rame nggak mijitnya?" tanya Mbak Maya yang tetap tiduran sambil tengkurap.

"Daripada berdiri saja di sana, Mbok Tiq duduk aja di sofa situ," perintah Mbak Maya sambil menunjuk sofa yang ada didalam kamar.

"Iya, terima kasi, Non," jawab Ibuku kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk dengan sopan.

"Iya begitulah Non, kadang ada kadang juga nggak ada," jawab Ibuku dengan raut wajah terlihat agak lesu.

"Terus kalau nggak mijit Mbok dapat uang darimana?" tanya Mbak Maya yang memandang sedih ke arah ibuku.

"Ya Mbok jadi pembantu panggilan atau nyuci baju tetangga Non,"

Mbak Maya yang mendengarnya hanya mengangguk dan tidak berkata apa pun lagi.

Selang tidak lama kemudian, aku sudah keluar dari kamar mandi mengenakan setelan kaos dan celana pendek.

Mbak Maya yang melihat diriku dengan pakaian seperti ini lalu tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Hayuk sini Gus, coba pijit saya yang enak, kalau cocok nanti saya sering manggil kamu buat mijit kesini, Gus," kata Mbak Maya sambil memberikan semangat padaku.

"Tuh, Gus, dengerin kata Non Maya, tunjukin hasil pijatan kamu," kata ibuku yang terdengar lumayan keras suaranya.

"Baik, Bu," aku mengangguk dan tersenyum kecil lalu berjalan pelan mendekati Maya.

"Permisi Mbak Maya, saya pijat ya," sapaku dengan sopan dan meminta izin untuk memijit tubuhnya.

"Iya Gus, lakukan saja," kata Mbak Maya dengan ramah sambil tengkurap.

Aku pun memulainya dengan mengoleskan tanganku dengan minyak untuk pijat kemudian aku mulai memijat pelan pergelangan kaki Mbak Maya. Kupijat pergelangan kaki wanita itu dengan seksama sesuai dengan apa yang telah ibuku ajarkan sebelumnya.

Ibuku yang duduk di sofa juga memperhatikan diriku yang sedang memijat langganannya itu, terlihat ada sedikit kekhawatiran di wajahnya.

Namun saat memijat orang lain, aku adalah seorang yang serius, sikap kikuk dan malu-malu yang aku tunjukkan tadi seketika hilang. Bahkan aku melupakan kalau diriku sedang memijat tubuh wanita yang membuatku menelan ludah beberapa kali.

Aku melakukannya dengan serius dan hati-hati seperti sudah terbiasa memijat dan sesuai dengan apa yang ibuku ajarkan.

Dimulai dengan titik titik di pergelangan kedua kaki dipijat dengan seksama namun tidak terlalu kuat, mengingat yang aku pijat adalah seorang wanita.

"Hmmm … kamu cukup bagus juga mijitnya, ya, Gus, lumayan enak," ujar Mbak memuji kemampuan memijatku, sedangkan aku menjadi malu dan tanpa sengaja memijat dengan kuat.

"Aduh! Gus, kamu kekencangan mijitnya!" pekik Mbak Maya yang membuat aku dan ibuku terkejut.

"Agus, kamu gimana sih mijitnya?" tanya ibuku dengan kesal karena aku tidak bisa memijat dengan benar.

"Ma-maaf Bu," ucapku yang merasa bersalah dan takut Mbak Maya akan marah lalu tidak memakai jasa pijat ibuku lagi.

"Sudah sudah, tidak apa, kok, Mbok Tia," Mbak Maya mencoba menenangkan ibuku yang nampak kesal.

"Namanya juga baru pengalaman pertama mijat, jadi mungkin masih agak kaku," timpal Mbak Maya yang melihatku terdiam lalu buka suara lagi

"Jadi, kamu mau lanjut mijitin saya nggak, Gus?" tanya Mbak Maya dengan ramah.

"Iya mba Maya, saya pijat lagi ya … maaf untuk yang tadi," ucapku sambil kembali memijat pergelangan kaki Mbak Maya.

"Jika terlalu kencang atau kurang terasa pijatannya bilang saya, ya, Mbak Maya," kataku lalu memijat betis kanan Mbak Maya.

"Iya Agus … sip, segini sudah terasa enak dan pas, kok," balas Mbak Maya dengan santai.

Aku yang mendengarnya merasa senang dan kembali memijat Mbak Maya dengan hati-hati. Tanganku yang terampil memijat seluruh bagian tubuh Mbak Maya kecuali pantat dan dadanya.

Ibuku yang melihat caraku memijat beberapa kali memberitahuku saat ada kesalahan dalam memijat.

"Bukan begitu loh Gus, tapi begini yang benar," kata Ibuku sambil mengarahkan aku cara memijat yang benar.

Aku mengangguk lalu memperbaiki cara memijatku, Mbak Maya yang sedang dipijat hanya bisa tertawa geli karena sikapku yang diam saja saat dimarahi ibuku.

"Kalau begini pijatnya, saya bisa langganan, nih, kayaknya," celetuk Mbak Maya tiba-tiba.

"Terimakasih banyak Mbak Maya, saya akan lakukan yang terbaik," ujarku tersenyum masih sambil memijat punggung Mbak Maya.

"Iya tentu, Gus."

Ibuku yang melihatnya jadi memiliki harapan kalau anaknya aku bisa mewarisi kemampuan memijatnya dengan baik dan bisa mencari uang sendiri nantinya.


•••



Bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd