Allakhazam (Kekacauan)
Dilanjutpun...
---
Kukendarai CRV ku dengan kecepatan sedang-menerawang tanpa tujuan. Sore itu atmosfir bumi terasa begitu lembab di hati dan jiwaku. Maklum, lagi galau!. Pokoknya aku hanya ingin jalan. Suntuk! Menunggu memang suatu hal yang paling menjemukan. 2 bulan masa yang harus ku habiskan tak-berkegiatan untuk menunggu pendaftaran ujian profesi pasca cadet pereode depan. Belum lagi masalah hilangnya Vika, yang mau-gak-mau selalu ngerecoki setiap kali pikiranku kosong. Plus aku agak kapok ke Café. Serem!
Jadi, start dari Nest, aku menyusur Jalan Setia Budi, Teuku Umar, Sultan Agung, Diponegoro, Pahlawan trus muter Simpang Lima sebanyak tujuh kali
(1) berkelok dengan syahdu ke-arah Pandanaran, aku berniat meneruskan jejak petualang ke Marina atau Tanjung Mas via Sugijapranata. Pengen ke laut. Malah jadi inget film Dono Kasino Indro: Ke-pantai yuk Don! Gila lu Ndro! Dasar Kadal bunting, kecoak goreng, babi ngepet!
(1) Kalo aja Mas-Nda Sukawi, Pak wali pereode ini lihat, aku pasti dapet hadiah payung cantik SPA – Semarang Pesona As* << SPA: satu project nyleneh, produk otak kader suatu Partai Politik; walau gw masih sangsi, apa mereka beneran punya otak, yang di kemudian hari di cap GAGAL & Penuh Intrik Korupsi.
Masak sih salah satu programnya: Mau bikin Twin City antara Semarang dengan salah satu kota di China. Maimen, itu hal yang Impossible!!! Setinggi apapun tehnologi Negeri Tirai Bambu itu, mereka gak bakalan bisa menciptakan ‘ROB’ dan ‘Banjir Musiman’ - walau kualitas KW-3 sekalipun, soalnya kalau tanpa itu, mana bisa mirip ama kota-ku tercinta ini…ckckck…!! Hihihi…
Hidup Semarang Kaline Banjirrrr!!!
Namun apa daya, Malang tak dapat di tolak, mujur tak dapat di raih, SPG tak dapat di SSI.
Pas habis tikungan Simpang, muncup-muncup Pandanaran, tepat di halte depan Gramedia, sebuah tangan melambai, lalu sebuah lagi, lalu segerombol tangan melambai-lambai dengan panik. Menghentikan laju kereta tak berkuda-ku. Aku tergagap. Dengan ketenangan tingkat unyil plus berbekal mentalitas sopir angkot, aku menepi. Dengan sembarangan tentunya…
“What’s up maimen?” Waduh jabang-bayi, masih kebiasa Speak English. Maklum, abis makan KFC, masih berasa American banget di lidah…Ckckckc!
“Wonten nopo pak? Ada apa pak?” ulangku dengan sopan, ala Arjuna mencari PK
“ini Brow, pliiss…pliss…tolongin mbak-nya ini, bawa ke Kariadi sana gih!” jawab abang-abang tukang becak gaol dengan kaca mata Rayben KW ala Cobra atau John Ramboo yang melongok ke kaca mobilku sambil nunjuk-nunjuk sesosok wanita yang tergeletak pingsan di depan Halte, sudah di kerubungin semut, eh, dikerubungin massa…
“waduh?”
“kasihan lah mas, dia tiba-tiba pingsan di Halte…” ujarnya lagi
“ayolah mas…pliiisss, kasihan dia…” abang ganjen itu masih dengan gigih membujukku
“Oke lah bang, bantu naikin ke mobil” kataku setelah berfikir singkat. OK…tepatnya, tanpa sempet berfikir. Bukan karena panik, lebih karena bego
--
“mas nya yang bertanggung jawab atas ibu ini?” kata mba perawat manis itu dengan sopan, sambil menyodorkan formulir-formulir. Mbak itu sudah diturunkan dari mobil dan mereka memprosesnya di UGD
“eh?”
“kok eh? Mas-nya yang bertanggung jawab, kan?” ulangnya
Aku garuk garuk kepala
“ini gini mba, saya ini cuman mengantarkan, mbak-nya itu di temukan sama orang-orang di halte depan Gramed Pandanaran, pingsan. Trus saya kebetulan lewat, trus ya saya bantu bawa ke sini. Saya sendiri juga gak tau dia siapa…saksinya banyak mba…”
“wah, ya saya ndak tau mas, pokoknya kalau mau di rawat ya, harus ada yang bertanggung jawab untuk administrasi dan keuangannya” jawabnya, kali ini sedikit ketus. Hilang deh manisnya…
Aku garuk-garuk kepala lagi. Indonesia banget, pikirku…
--
Akhirnya, mbak-kasihan itu di rawat juga…
“Ah, tekanan darahnya rendah sekali, walau sekarang sudah agak stabil, tapi dia hampir terkena Vertigo karena Transient Ischemic, atau kurangnya supply darah ke otak. saya sarankan menginap dulu saja biar bisa di pantau kondisinya…” kata dokter tua itu sambil sesekali melirik ke formulir yang ada di tangannya
“Ooo, gitu Dok…” jawabku sambil mengangguk-angguk dan tak lupa garuk-garuk kepala menanggapi informasi dokter piket itu
“iya, yang paling penting, kita pantau janin-nya, soalnya kalau sampai kenapa-napa, bahaya juga buat ibunya…” lanjutnya
Janin? Dia hamil? OMG! Ini semakin kacau!
Aku menelan ludah, ternganga…
Mana sekarang aku baru nyadar lagi, bapak-bapak yang menemukan si Mbak di halte gak ada satupun yang bertanggung jawab ikut nganterin ke rumah-sakit. Aeeeehhh… mimpi apa aku semalam…
--
Aku menghela nafas panjang sambil menghampaskan pantatku ke sofa keras di dalam ruang kamar Rumah Sakit itu. 06:30 kulirik Casio kinetic yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Semalaman aku terpaksa mendadak menginap di sini, menemani mbak-kasihan yang namanya saja aku tidak tahu. Dan sampai sejauh ini, dia memang belum membuka matanya. Sebuah selang infuse mengalirkan cairan dari dua tabung berbeda yang di parallel ke nadi tangan kirinya dan selang alat bantu pernafasan tertanam di lobang hidungnya. Kelihatan agak serius kondisinya. Tapi syukurlah, tidak seperti semalam, kondisinya sekarang sudah tenang dan demamnya sudah turun. Makanya barusan ku tinggal nyari kopi dan sarapan, abis laper semalem gak ma’em. Hedeh…
Kupandangi wanita itu. Sedikit manis sih, walau mukanya agak cemet
(2) namun ia mempunyai proporsi kontur wajah yang ‘pas’ sehingga pada wajahnya yang walau sekarang kelihatan pucat, dia masih kelihatan manis. Bajunya sudah di ganti baju pasien, kalau kelas VIP memang dapet baju ginian kali ya? Kulihat juga, tak ada satu perhiasan pun menempel pada tubuhnya, bahkan tanpa anting yang biasanya wajar di pakai oleh kaum hawa.
Di jari kedua tangannya pun tidak ku temukan cincin kawin. Tapi dia hamill. Hamil di luar nikah kah? Aku geleng-geleng kepala lagi. Sodara bukan, tetangga bukan, boro-boro pacar, teman aja bukan, bahkan kenalpun tidak. Menemukan wanita hamil tanpa identitas yang pingsan di jalan ku kira tidak bisa di sebut sebuah keberuntungan. Dede…dede…apes bener nasibmu ama kaum hawa. Apa jadi gay aja ya enaknya? Tuh ada Geofany. Ih, amit-amit!!
(2) Gimana ya diskripsiin arti muka cemet? Acha Septriasa, nah dia contoh wajah ‘cemet’ menurut deskripsiku. Ya, kalau di lihat-lihat agak-agak mirip juga sih si Mbak-Kasihan sama Acha. Apalagi kalau kamu litanya make sedotan
Tak kusadari sedari tadi aku melihat wajahnya lekat lekat. Dan kulihat, kelopak matanya mulai menggeliat. Aku mendekat. Dan dia membuka matanya. Memandang dengan bingung. Tapi belum mampu berkata-kata. Nafasnya masih terdengar lirih dan lemah. Dia mengerang. Kaget, aku berlari keluar untuk mencari suster jaga
--
Suster setengah baya keibuan yang baik hati itu merawat si Mbak-Kasihan yang baru sadar dengan hati-hati. Di lepasnya alat bantuan pernafasan biar dapat menelan. Pastinya tenggorokannya terasa sangat kering setelah hampir seharian pingsan. Suster itu juga menyuapinya air glukosa hangat. Sekarang kondisi Mbak-Kasihan memang terlihat jauh lebih baik
“Nah sekarang rebahan dulu saja bu…kepalanya agak tinggi gak papa, segini cukup?” kata suster itu lagi sambil men-stel ranjang elektronik khas rumah-sakit yang di pakai berbaring Mbak-Kasihan
“Nanti kalau tenggorokannya agak enakan, di coba nelen makanan ya? Tu kan sudah di kasih bubur” lanjutnya sambil menunjuk piring ransom dari logam khas rumah-sakit di atas buffet kecil di samping tempat tidur
“Minta suap sama mas-nya…di suapin ya? Agak di paksa dikit nelennya, biar lambungnya terisi!” katanya lagi sambil menoleh kearahku. Aku hanya tersenyum canggung sambil mengangguk
“Makasih Sus”
“Lha yo kok bisa kaya gini tuh gimana to mas? Punya istri cantik mbok di jaga… apalagi sudah isi gini, anak pertama ya?” tanya-nya lagi sok tau
“Iya Sus, anak pertama…abis dia sih, suruh istirahat susah, jadinya gini deh…tolong di marahi Sus!” jawabku asal, sambil garuk-garuk kepala
“Eeeh, orang sakit kok di marahi, ya-udah, tak tinggal dulu ya…kamu beruntung nok
(3) punya suami baik, semaleman dia jagain sambil ganti-ganti kompres…” ujar bu Suster baik namun sok tau itu sambil membelai rambut si Mbak-Kasihan. Pandangan mata Mbak-Kasihan masih nampak kosong dan bingung. Bener deh, aku jadi kasihan beneran
“Maaf Sus, tolong jangan cuman disebutin baik-baik-nya saya saja, kalau bisa di tambahin juga: ganteng, pengertian, sayang dan setia” candaku ke suster baik itu. Mbak-Kasihan akhirnya tersenyum. Lumayan juga kalau senyum…
“Haiyah!”
Suster baik sok kenal itupun keluar dari kamar
(3) Nok kependekan dari ‘Denok’; sebutan daerah sini buat anak perempuan. Tau kan lagunya? Duh denok gandulaning ati…tegamu nyulayani… Yaampun, Didi Kempot banget sih gue! Njir!
--
“Mas siapa?” tanya si Mbak-Kasihan lirih, tepat setelah bu suster meninggalkan ruangan
“Sama-sama” jawabku singkat
“Eh, iya maaf…makasih ya mas… hihihi… lupa…”
“Aku Dede, aku yang bawa kamu ke sini, ini Kariadi…kemaren, ada yang nemuin kamu pingsan di halte Pandanaran, kebetulan aku pas lewat trus di stop…” aku memperkenalkan diri sekaligus memberikan keterangan singkat sambil mengulurkan tangan
“Ineke, panggil aku Ine…makasih ya mas sekali lagi…Ine malah jadi ngerepotin mas…”
Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu, lalu duduk di tepi ranjang
“eh…ee…mas...tas dan barang-barangku mana ya?”
Aku kembali mengangkat bahu
“ada barang berharganya kah? Uang? Mungkin emas berlian? Serifikat tanah, lembar kepemilikan deposito, saham atau obligasi?” tanyaku
“hihihi…mas’e lucu…enggak sih, cuman baju…”
“Ooo…” desis-ku berlagak sok gak tertarik
“Oooh? Lha itu vital lho mas…kalau gak ada baju, aku telanjang dunk…”
“Haiyah!”
“Hihihi…”
Kami langsung akrab. Setan Alas! ini lho yang aku gak suka dari diriku sendiri, banyak orang -- OK, kebanyakan cewe sih -- yang langsung merasa akrab denganku, walau baru bicara sepatah-dua patah kata. Dan ini (seringnya) menyeret aku kepada masalah. Vika contohnya…Vika… Ingatanku kembali melayang padanya. Aku mendesah, mengusir kangen dan gundahku
“Ine mau makan sekarang?”
“Eh…eee…anu…”
“Anu apa? Atau mau bunuh diri? Bentar tak cariin alat, mau tali, pisau atau baygon?”
“Enak aja bunuh diri! Dosa tau!”
“Lagian, kamu ini, di-anugerahi wajah cantik, badan bagus tapi gak di-rawat gitu, sampai pingsan sembarangan… bahaya tau…”
“hihihi…emang aku cantik ya mas? Lagian…”
“Lagian apa lagi?”
“Lagian, kalau bunuh diri sekarang rugi ah…barusan dapet kenalan mas yang baik, ganteng, pengertian, sayang dan setia ini…” ledeknya niruin candaanku sama bu suster
“Haiyah!”
“Trus mau apaan?” tanyaku lagi
“Mau…pipis…”
Gubrak!
--
“Suamimu kemana emangnya Mba Ine?” tanyaku sambil menyuapinya bubur setelah tadi mengantarkannya pipis. Pake acara nyebokin segala. Astagah!!
“Ga punya…”
“Eh? Tapi kamu tau kalau kamu hamil kan?”
“Tau”
“Eh? Trus kamu hamil ama siapa?”
“Ga-tau…”
“Eh?” aku garuk-garuk kepala
Mampus gue!
Ini bakalan jadi Ruwet bin kacau beneran… Allakhazam !!!
- End of Allakhazam –
INDEX