Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kopi

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Masih ada tiga jam lagi sebelum hari senin habis. Baca mtd dulu :baca:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bab Terakhir


“Hahaha, brengsek. Email ini bahkan dikirim 3 tahun yang lalu, tapi kenapa aku nggak menyadarinya,” Budi tertawa-tawa menggelengkan kepalanya.

Yah, 3 tahun yang lalu Budi memang masih dalam kondisi yang terpuruk, sehingga dia tak memperhatikan apapun di sekitarnya, termasuk email ini. Dia terlalu sibuk menangisi kepergian Ara sehingga tak menyadari bahwa ada sebuah petunjuk yang dikirimkan kepadanya.

“Pa, makan malam udah siap. Papa nggak mandi dulu?” ujar Indah yang masuk ke ruangan kerja Budi. Tak mendapat jawaban dari Budi membuat Indah bingung kemudian mendekat.

“Pa, Papa kenapa?” tanya Indah melihat Budi tertawa-tawa sendiri menatap laptop.

“Lihat ini Ma,” ujar Budi menyuruh Indah untuk mendekat.

Indah kemudian bergerak ke arah Budi untuk melihat laptop itu. Dan ekspresi Indah sama seperti ekspresi Budi saat pertama kali membuka kedua tautan itu tadi. Indah menatap tak percaya ke arah Budi. Kemudian Budi menceritakan tentang percapakannya dengan Ardi tadi tentang Ara.

“Jadi Pa, kalau gitu, Mbak Ara masih...?”

“Iya. Seharusnya begitu Ma.”

Indah kembali menatap ke arah laptop milik Budi itu. Kedua tautan itu di-minimize dan ditempatkan berdampingan. Tautan pertama adalah database dari dinas imigari lebih dari empat tahun lalu yang menampilkan data siapa saja orang asing yang masuk ke Indonesia. Tertanggal beberapa bulan sebelum peristiwa mengerikan itu. Terdapat sebuah nama dalam daftar itu, nama yang sempat disebutkan oleh Fuadi dalam video yang dikirimkan kepada Budi. Nama orang itu adalah Lee Sung Eul.

Di tautan kedua yang berada di sampingnya, sebuah portal berita yang menampilkan peristiwa meninggalnya seorang dokter ahli bedah plastik terkenal dari Korea Selatan. Di berita itu tertera tanggal kematian sang dokter adalah tepat dua bulan sebelum kedatangan Lee Sung Eul ke Indonesia. Judul berita dalam portal berbahasa Inggris itu adalah, Doctor Lee Sung Eul, South Korean well-known plastic surgeons expert has died for an UNKNOWN reason.

*****

THE END


"Wuih bagus ya filemnya mas."

Aku mengangguk mengiyakan.

Kami baru saja keluar dari gedung bioskop. “Vanquish 2: Next level”. Sekuel dari film berjudul sama, “Vanquish”. Film bikinan produser tersohor Alan Smith memang lagi laris di dunia. Bahkan katanya sudah mendapat predikat box office. Memang menarik sih film ini. Gak salah aku menerima tawaran mbak Ani. Dari awal sampai akhir cerita seru semua. Bahkan menimbulkan banyak pertanyaan. Yah, ujung-ujungnya meminta kepuasan melalui sekuel vanquish berikutnya. Hah, biarlah itu menjadi pe-er bagi si Alan.

“Memang bagus mbak. Aku suka,” ucapku sambil memakan sisa pop corn yang ada di tanganku.

“Mas, makan terus. Tambah ndut lho ya.”

“Yang penting kamu suka,” balasku singkat.

“Dasar.”


-o0o-​


Kami duduk santai di sofa panjang lobby bioskop yang kami tonton barusan. Aku sedang mengamati lalu lalang manusia yang, entah belanja, nongkrong, ataupun melakukan aktivitas lainnya di dalam mal ini. Sementara mbak Ani duduk di sebelahku. Tangannya memeluk tangan kananku. Kepalanya, tentu bersandar di bahuku hehehe. Nikmat bukan.

“Mas.”

“Hmmm.”

“Trims ya.”

“Hmmm.”

“Mas.”

“Hmmm.”

“Mas.”

“Mas.”


Plak…

“Wathiauw!”

“Mas To ngelamunin apa sih? Atau… hmmm pantes. Ada pacarnya juga matanya masih meleng. Waduh orang ini. Gimana kalo gak ada pacarnya ya.”

“E… e… eh. Bukan… bukan begitu. Anu kitu… aku anu…” aku gelagapan menjelaskan permasalahannya. Haduh mata ini. Kenapa gak bisa jaga diri ya. Jadi gak enak kan mbaknya.

“Maaf mbak. Bukannya gitu. Maklumlah mbak. Seumur-umur gak pernah pacaran. Jadi lupa kalo sudah pacaran. Lagipula aku juga jarang nongkrong di mal mbak. Jarang lihat begituan. Jadi ya harap maklum mbak,” ucapku jujur.

“Bukannya gitu mas. Sebel aja liat mas To gitu. Mana matanya sampe mendolo gitu kalo liat. Sampe akunya dicuekin.”

“Iya dah maaf.”

“Tapi janji, lain kali gak meleng lagi ke cewek lain seperti ini.”

“Iya dah janji.”

“Bener?”

“Iya.”

“Mana buktinya?”

“Nih.”


Cup…


Kukecup punggung tangannya. Mbak Ani tersenyum malu. Pipinya merona merah.

“Nih DP nya. Sisanya nanti pas di rumah,” ucapku.

“Ah mas To bisa saja,” mbak Ani tersipu malu.

Fiuh lega juga bisa lolos dari hukumannya mbak Ani. Bukan apa-apa sih, cuman gak enak aja ketahuan sedang ngeliat cewek lain sama kekasih sendiri. Sampe nyuekin pula. Yah, bagaimana pun hal ini hatus segera dikurangi. Termasuk menghayalkan cewek lain sambil co… tau sendiri lah.

“Mbak,” aku menunduk memainkan jemariku sendiri.

“Ya mas?” jawabnya antusias.

“Makasih ya mbak. Dah nemeni aku sore ini.”

“Iya dik, sama-sama. Dah dikasih permen belom hari ini? Hihihi,” lho mbak Ani kok jawabannya gak nyambung.

“Mbak?”

“Eh, iya, ada apa maaf,” ucap mbak Ani seperti tersadar akan keberadaanku.

Aku menoleh kepadanya. Mendapatinya dengan wajah lugu. Tampak pula seorang gadis kecil berjalan menjauhi mbak Ani. Tampaknya baru saja terjadi di antara mereka, dan menimbulkan interaksi keduanya. Dan aku… dicuekin begitu saja. Kalau kalian lihat ekspresi wajahku saat itu. Persis dengan iklan “ada akua?”. Persis dah, gak beda sama sekali.

“Ada apa mas?” ucapnya tanpa ada rasa bersalah sama sekali.

“Emmm… entahlah. Lupa,” jawabku asal.

Entah aku sendiri juga lupa mau ngomong apa. Momen awkward barusan menghapus semua memori… kosakata yang sudah kususun sedemikian rupa sehingga menjadi kalimat puitis untuk kuungkapkan… halah, ngomong opo sih aku.

Sumpah aku beneran lupa mau ngomong apa!


-o0o-​


Tiga puluh menit kita di sini tanpa suara
Dan aku resah harus menunggu lama kata darimu

Mungkin butuh kursus merangkai kata untuk bicara
Dan aku benci harus jujur padamu, tentang semua ini

Jam dinding pun tertawa,karna ku hanya diam dan membisu
Ingin kumaki diriku sendiri, yang tak berkutik di depanmu

Ada yang lain di senyummu yang membuat lidahku gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu dan memaksa diri
Tuk bilang aku sayang padamu

Aku sayang padamu

Cup...

Kukecup punggung tangan mbak Ani, seiring berakhirnya lagu yang didengarkan dari pengeras suara di mall. Lagu yang tepat sekali dengan kekakuan kami saat ini. Kulihat matanya, indah sekali. Bibirnya menyunggingkan senyum, manis. Senyum itu. Senyum yang selalu kutunggu. Kunantikan, sekalipun tiap saat ku melihatnya. Senyum itu....


Uhhh... aku meleleh.....


Untuk beberapa saat lamanya kami masih tetap diam, tanpa suara. Hanya tangan kami saling menggenggam erat. Kepala mbak Ani yang sudah bersandar di bahuku mengisyaratkan kepasrahannya. Hatiku seperti menyambung dengan hatiya. Penuh dengan gelombang-gelombang elektromagnet yang siap dikirim, dan antena-antena penerima sinyal untuk menangkap gelombang elektromagnet yang dikirim oleh kubu lawan, emmm mbak Ani. Tanpa kata tanpa suara pun aku bisa merasakan betapa hatinya saat ini begitu mendamba ku. Menginginkanku.

Beberapa saat inilah aku merasa dunia memang benar-benar milik kita berdua. Yang lain cuma kos semua. Eh, ngilang ding. Hehehe. Benar saja. Mataku memang menatap ke mana-mana. Hanya saja pikiranku, perasaanku, hatiku tidak seperti itu. Rasanya semua sudah menghilang. Tinggal aku, mbak Ani, dan kursi yang jadi tempat duduk kami inilah yang tersisa.

“Mas,” ucapnya memecahkan kebisuan ini.

“Pulang yuk. Laper.”

“Eh? Gak salah tuh? Lapar ya maem di sini saja mbak.”

“Hehehe. Boleh.”

“Kalo gitu ayo.”

“Iiih, masnya kalo urusan makan mah semangatnya luar biasa. Tahan dikit kek,” mbak Ani memasang muka sok cemberut. Jadi tambah cantik kelihatannya.

“Hehehe, terserah deh.”

Setapak demi setapak dengan ringan kami melangkahkan kaki menuju ke food court. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya mbak Ani memandang toko-toko pakaian yang berjejer di mal ini, dan mengoceh excited tentangnya. Persis seperti anak kecil yang dilewatkan di depan toko mainan. Ngueng-ngueng begitu kira-kira suaranya. Aku sih mengangguk saja sambil menikmati pemandangan lainnya. SPG di toko itu. Hehehe.

Hingga suatu saat tiba-tiba saja suara ngueng-nguengnya menghilang. Sama sekali! Pelukannya juga semakin erat kurasakan. Aku merasa ada yang aneh. Kutoleh wajahnya. Tampak tegang, dan terlihat... sedikit emosi mungkin. Sikapnya aneh. Sungguh aneh. Jika aku bisa menganalogikan, dia seperti monyet yang berebut menangkap kacang yang dilempar pengunjung, tetapi ternyata kacangnya gak ada isinya. Tanpa persetujuanku mbak Ani mempercepat langkahnya, dan menyeretku dengan penuh keherananku.

“A.. ada apa mbak?” aku bertanya sambil gelagapan.

“Sudah diam. Ayo.”

Kami berjalan cepat seperti monyet ketinggalan kereta. Entah apa maksudnya. Mbak Ani baru berhenti setelah kami berdua duduk di kursi food court, tanpa memesan makanan terlebih dahulu. Setelah duduk pun begitu. Dia masih tampak tegang, gusar.

“Mbak Ani kenapa?” aku mencoba bertanya sekali lagi.

Yang ditanya diam saja. Masih menunduk, memejamkan mata, dan memasang muka tegang, gusar.

“Mbak?” aku merasa khawatir dengannya.

Kugeser kursiku mendekatinya. Kuacuhkan food court yang agak ramai ini. Yang penting mbak Ani duluan. Kurangkul dia. Kuelus rambutnya. Mencoba memberikan ketenangan kepadanya. Tubuhnya bergetar halus. Tangannya menutupi mukanya. Mbak Ani menangis.

Kudiamkan mbak Ani untuk beberapa saat. Kubiarkan dia menangis sepuasnya. Sehingga isaknya mulai menurun. Sehingga dia berkata, “Itu... Dia.”

“Sssst...” cuma itu yang bisa kuucapkan saat ini.

Kudiamkan lagi mbak Ani dalam tangisnya yang mulai mereda. Kubiarkan dia menyelesaikan emosinya yang tertunggak. Aku mencoba sebisa mungkin tidak mengintervensi... emmm... mengganggu dirinya. Apalagi marah ataupun penasaran. Aku tahu yang dia maksud. Paling tidak aku menduga itu. Dia melihat seseorang yang dulu pernah dekat dengannya, hingga menyentil luka lama yang dulu pernah dia dapatkan. Mantan suaminya mungkin. Dan sungguh tak bijak jika aku ikut mengkritiknya saat ini. Nantilah kalau dia sudah tenang akan kubicarakan dengannya. Bicara baik-baik, tanpa emosi, tanpa paksaan. Toh mbak Ani orangnya terbuka kok sama aku. Hehehe #lirik Paidi.

Sejam sudah kami duduk di sini. Mbak Ani juga sudah berhenti tangisnya. Jiwanya masih terguncang. Sangat terguncang. Melihatnya seperti sebuah tekanan batin sendiri. Aku bisa membayangkan apa yang dia rasakan sekarang.

“Mbak, ayo kita pulang,” ucapku setelah mbak Ani leibh tenang.

Mbak Ani mengangguk. Wajahnya masih memancarkan kesedihan yang teramat sangat. Aku menuntunnya ke motorku.

Jalan menuju ke parkiran mal serasa sangat jauh dan berat. Berat untukku. berat untuknya juga. Mbak Ani galau, aku pun jadi sedih. Walau bagaimanapun aku tetap harus kuat. Paling tidak agar mbak Ani tidak tambah jatuh. Paling tidak kekuatanku akan jadi penambah semangat baginya.

Kutuntun, kupeluk dia di sepanjang jalan. Beruntung waktu sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Orang-orang sudah banyak yang pulang. Jadi aku gak terlalu malu membawa perempuan dalam kondisi sedih. Kenapa harus malu? Entahlah.

Kami naik motor berboncengan tanpa suara. Perlahan merayap menyusuri jalanan malam kota Surabaya yang masih saja padat di jam segini. Mbak Ani memelukku erat. Kepalanya menunduk di pundak kiriku. Kepalaku pun terpaksa harus miring ke kanan. Gak nyaman sih, tapi demi kekasihku, apa sih yang tidak.

Sepanjang perjalanan mbak Ani diam seribu bahasa. Aku pun begitu. Pikiranku mengembara. Ujung-ujungnya sih berkutat pada pertanyaan, “bagaimana caranya biar mbak Ani gak sedih lagi”. Ah, sungguh sulit bagiku yang tak berpengalaman ini. Seandainya aku sudah punya pacar dari dulu. Tidak, itu takdir. Dan takdirlah yang membawaku kemari. Bertemu dengannya, menggodanya, menarik perhatiannya, membuatnya menyukaiku hingga kami seperti ini sekarang, hingga entah apa yang akan terjadi di masa depan.

“Mas, ke tempatmu saja,” ucap mbak Ani pendek, saat kami akan memasuki kampung.

Aku diam mengiyakan. Kulajukan motorku ke kos-kosan.


-o0o-​


Mbak Ani berbaring di kasurku dengan malasnya. Pakaiannya telah berganti. Kini dia mengenakan kaus dan celana pendekku. Begitu pun juga aku. Tak perlu dijelaskanlah bagaimana kami berganti pakaian. Yang jelas bra dan cdnya tersemat rapi di gantungan pakaian belakang pintu kamar. Yup, mbak Ani tidak memakai daleman!

Aku berbaring di kasur. Memeluk mbak Ani. Kasihan kekasihku ini. Dia tampak capek sekali. Capek fisik, juga pikiran. Wajahnya tampak kusut. Tampak jelas bedanya dibandingkan dengan beberapa hari lalu, saat kami lari pagi. Tak tega aku meninggalkannya saat ini.

Kubelai rambutnya yang halus. Berharap setiap sentuhanku bisa menenangkannya. Tangannya mendekapku erat. Seperti memeluk guling kesayangannya.

No no no no. Ini salah. Ini betul-betul salah. Tidak seharusnya tangan mbak Ani masuk ke celanaku. Tidak seharusnya dia mencium putingku. Tidak boleh tidak boleh. Oh tidaaaaak. Lha kausnya malah dia lemparkan begitu saja. Lha tanganku dipegangnya ke arah dadanya.

“Mbak, sadar mbak.”

Hanya itu yang bisa kuucapkan. Itu pun lirih keluar dari mulutku. Aku tak bisa menahan keinginannya. Mbak, sadar mbak. Sadar. Nyebut mbaaak... nyebuuut.

Fiuh. Sampai juga tanganku di dadanya. Empuk, kenyal. Tapi itu kalo kondisi normal. Lha ini,mbak Ani dalam kondisi depresi kayak gini. Mana tega aku mempermainkan dirinya.

“Enggak mbak. Ini enggak bener,” ucapku lirih.

Seharusnya mbak Ani mendengar suaraku. Tapi tetap saja gak ada reaksi darinya. Justru sekarang bibirnya aktif mempermainkan otongku yang sedari tadi sudah berdiri tegak perkasa. Aduuh rasanya ingin lari saja dari sini.

Setelah beberapa saat, mbak Ani melepaskan pusakaku dari lumatannya. Aku merasa lega. Berharap mbak Ani insyaf. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Dia naik ke atas tubuhku. Melumat bibirku dengan ganas. Tangannya mencengkeram burungku, sambil digesekkan ke vaginanya. Entah kapan dan bagaimana pula celana yang dikenakannya tadi bisa menghilang.

Aku takut. Sungguh aku takut. Mbak Ani menjelma dari seseorang yang mandiri, menjadi manja dan penuh kasih sayang, kini berubah menjadi seorang monster sex. Tak kulihat kelembutan di matanya. Yang ada hanya nafsu, juga keputusasaan. Di satu sisi itu membuatku takut. Di sisi lain hal ini membuatku merasa kasihan kepadanya. Luka yang tergores di hatinya membuatnya seperti ini.

Aku sama sekali tidak menemukan kenyamanan, bahkan saat buayaku masuk ke dalam lubangnya. Namun apa daya, seluruh badanku terasa lemas. Seolah dirinya menghisap semua energi dalam tubuhku. Akhirnya kupasrahkan semuanya. Aku diam sekarang. Diam sambil berharap. Berharap saat ini kan segera berlalu, dan takkan terulang kembali. Aku rindu mbak Ani yang ceria, yang manja, yang lembut, yang menyayangiku seperti tadi, seperti kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi. Bukan yang seperti ini.

Mbak Ani terus menggoyangkan pinggulnya. Ke atas-bawah, depan-belakang, ke kanan-kiri, muter-muter gak karuan. Dia mencoba mengejar orgasmenya. Sedangkan aku? Jangankan mengejar. Aku malah merasa gak nyaman. Sama sekali gak nyaman dengan persenggamaan ini. Aku ingin merasakan percintaan, tapi tidak dengan cara seperti ini. Ini seperti sebuah… pemerkosaan. Ya, aku diperkosa. Oleh kekasihku sendiri yang sedang kesurupan setan putus asa dan setan maniak sex.

Waktu berjalan terasa lama sekali. Mbak Ani masih terus menggoyangkan pinggulnya gak karuan. Dari sudut matanya kulihat ada air mata. Apakah mbak Ani sudah mulai sadar. Entahlah, aku sendiri gak tau.

Setelah sekian lama menjajahku, mbak Ani mempercepat goyangannya. Sekarang lajunya semakin tidak stabil. Lebih cepat dan lebih cepat lagi. Matanya semakin berair. Beberapa tetes sudah jatuh di perutku.

“Oooh…”

Lenguhan yang seharusnya terdengar erotis di telingaku pun muncul juga. Mbak Ani mencapai puncak kenikmatannya. Badannya mengejang kaku. Punggungnya melanting ke belakang. Menonjolkan payudaranya yang padat. Matanya terpejam. Mulutnya menganga. Kedua tangannya yang sedari tadi menumpu di dadaku, mencengkeram erat kulitku. Menimbulkan rasa sakit di sana. Mungkin lecet, tapi biarlah, itu urusan nanti.

Tanganku memeluk pinggangnya. Menahan jangan sampai dia terjatuh. Bagaimanapun juga aku gak akan rela kalau kekasihku ini terjatuh. Meskipun itu hanya ke kakiku. Namun itu juga sia-sia. Hanya dalam hitungan detik, mbak Ani melentingkan tubuhnya ke depan. Ke arahku. Mbak Ani ambruk di dekpanku. Lenguhan yang sebelumnya ku dengar, berganti dengan isak tangis yang memilukan. Tubuhnya bergetar… berguncang kuat. Sekuat guncangan jiwanya. Kupeluk erat tubuhnya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Memeluk erat tubuhnya.

“Maafkan aku mas,” ujar mbak Ani lirih di sela-sela isak tangisnya.

“Ssst,” aku mencoba menenangkannya.

Dalam alam sadarku, aku merasa jiwanya terguncang hebat. Dan akulah yang harus menenangkannya. Harus.

Kukecup lembut kepalanya. Kuusap lembut undaknya. Kubelai rambutnya. Kucoba sebisa mungkin menenangkannya. Perlahan guncangan mbak Ani mulai melemah. Tangisnya mulai mereda. Urat syarafnya mulai mengendur. Aku terus bersabar memperlakukannya. Dalam hati aku merasa kasihan kepadanya. Kasihan kepada masa lalunya. Rasa kasihan yang menyeruak mendampingi kasih sayangku kepadanya.

“Maafkan aku, mas,” ucapnya kembali, tanpa menoleh ke wajahku. Lirih kudengar suaranya.

“Hmmm” hanya itu jawabanku. Sementara tangan ku terus membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang.

Selanjutnya kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lama kami terdiam dalam lamunan, hingga akhirnya suara lirih mbak Ani membuka percakapan.

“Maafkan aku mas.”

“Iya mbak.”

“Aku tadi melihatnya sekali lagi. Dia dan dia.”

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja bayangan itu muncul begitu saja. Aku takut mas. Takut.”

“Saat ini aku berpikir mungkin aku terlalu kekanak-kanakan. Aku belum bisa lepas dari hal itu. Aku...”

Sial, cerita itu datang kepadaku. Aku gak mau bernasib seperti itu. Paidi beruntung dia ketemu Novi. Lha aku sama siapa? Gak jelas!

“Aku tahu kamu mungkin merasa sakit juga mas. Bisa jadi kamu cemburu. Aku minta maaf mas. Aku gak tau harus bagaimana. Tapi aku merasa aku...”

Tidak. Jangan kau ucapkan itu mbak...

“Aku merasa nyaman denganmu. Kamu baik. Baiiik sekali. Aku... Aku tahu kamu baik. Sedangkan aku mempunyai masa lalu yang kelam. Aku...”

Mbak Ani kembali menangis sesenggukan. Sekali lagi aku mengusap air yang keluar dari matanya. Dalam hati aku sudah mengetahui hal ini. Aku akan berusaha sekuat tenaga untukmu mbak. Aku akan berusaha. Aku berjanji.

“Mas.”

“Aku gak tau apa keputusanku ini benar. Tapi aku merasa aku gak pantas untukmu.”

“Maafkan aku mas.”
 
Terakhir diubah:
Kehidupan bagaikan roda yang terus berputar
Ada kalanya kau berada di atas kadang kau ada di bawah

Kejadian demi kejadian adalah takdir
Takdir yang kan membawamu menuju kedewasaan jika kau benar benar memetik hikmahnya
Karena kedewasaan, kan membawamu menjadi manusia yang lebih baik

Tak ada sesuatu yang kekal di dunia ini
Semua pasti berubah, seiring dengan perkembangan
Semua kan berubah, seperti laju roda
Seiring berputarnya roda maka dia akan meninggalkan tempat yang lama menuju tempat yang baru
Meninggalkan jejak kehidupan
Seperti yang kutulis pada kisah ini
Bagian kecil dari sebuah kehidupan
Yang kusebut dengan...


Nukilan kehidupan






Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah

Heii Sampai jumpa dilain hari
Untuk kita Bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap Tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu


Kopi Selesai

 
Terakhir diubah:
Assalamualaikum.
Special thanks kupersembahkan buat:
The Art of "Cornering" crew:​
@alan_smith
@AndreDiaz
@NastarPelangi aka apel beracun
@chadzelongated
@downhill
@namrif
@ikeh kimochi
@lerlah
@sikabau
@Marucil
@MrL aku lupa id barumu
@Multizone
@little_crot
@nickolai
@nijyuuichi
@Nostradamus
@brokencoffee
@polim_kan7ut
@racebannon
@Soleman
@s_h_e
@upil_hero aka @diantoro29
@tj44
@whitelotus
@Enyas

@ubur_2
@eins99
@papa_Zzola
@bekhi
@Messier45
@sawah515
@hagemaru007
@semua yang tidak akan pernah habis aku sebutkan satu persatu

Ah, iya. Paling sepecial buat paidi dan novi yang sudah berbahagia, salam buat keluarga.

Semuanya saja maaf kalau ceritanya terlalu pendek. Tidak memuaskan sama sekali, ssnya jelek, banyak typo, kentang sampai akhir, apdetnya cuma nyelilit,dll. Sampai sekarang aku sendiri gak tau kenapa juga harus selesai. Endingnya juga kacau. Ah, sudahlah. Biarlah cerita ini selesai sampai di sini. Wasaalam.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd