Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Yang Disembunyikan Sejarah [LCPI 2016]

hellondre

Guru Semprot
Daftar
30 Apr 2014
Post
560
Like diterima
2.298
Bimabet





Yang Disembunyikan Sejarah
 
Terakhir diubah oleh moderator:
Yang Disembunyikan Sejarah







Sinar mentari pagi ini benar-benar tak santai! Mentang-mentang sebentar lagi akan terjadi gerhana matahari total, jadi pancaran sinarnya begitu terik terasa. Aku bahkan sampai harus menutupi kepala dengan binder yang kubawa-bawa dari mobil tadi. Ah, lembur... kalau bukan gara-gara aku butuh uang tambahan untuk bayar semester, tak sudi aku berpanas-panas sepagi ini. Sedih memang nasib anak perantauan macam aku ini. Apa-apa harus usaha sendiri.

Kutatap bangunan berpondasi batu di hadapanku ini. Nuansa megah itu tetap terasa, berapa kalipun aku mengunjunginya. Candi Prambanan, kompleks candi hindu terbesar di Indonesia ini adalah lokasi kerja dimana atasanku menempatkanku bertugas. Aku sendiri bekerja sebagai pegawai magang di PT Taman Wisata Candi, BUMN yang baru dibentuk setelah situs Candi Borobudur dan Candi Prambanan masuk daftar warisan dunia UNESCO. Pekerjaanku? Memantau kondisi situs Candi Prambanan, serta melaporkan tiap kerusakan; sekecil apapun itu.

"Jadi...," aku membuka binder, mengecek daftar candi-candi yang harus kupantau, "Jadwal hari ini cuma ke candi utama. Sip lah~"

Sebelumnya, aku memang pernah memasuki candi utama ini, Candi Siwa. Tapi itu pun beramai-ramai. Di sesi lembur ini, adalah momen perdana aku memasukinya sendirian. Sebagai staff magang, aku diberi kewenangan untuk masuk ke candi utama di waktu sepagi ini. Sekilas, aku menengok ke langit. Matahari kini hampir sejajar dengan bulan, menyiratkan sinar terangnya; membuat kompleks candi ini bermandikan cahaya. Aku harus cepat.

Tungkaiku melangkah cepat, masuk di salah satu gerbang utama dari sisi barat. Seketika, semilir angin merengkuhku. Menghantarkan kesan merinding yang meremangkan bulu tengkuk. Sensasi yang tak biasa, mengingat saat ini aku seperti disambut ketika memasukinya sendirian.

"Om swastiastu."

Mataku terpaku ke satu sosok pria berkepala botak berperawakan tinggi besar, berselimutkan kain putih yang dibebatkan di bahu kiri sementara bahu kanannya terlihat jelas. Entah dari mana datangnya pria ini; yang kutahu bahwa hanya aku orang pertama yang masuk kesini hari ini. Apalagi, disaat gerhana total seperti sekarang?

Aku tiba-tiba menjadi tak yakin bahwa orang ini manusia.

"Lho, tak usah curiga begitu. Ini hal yang wajar," ujarnya, seakan bisa menebak pikiranku. "Perkenalkan, saya Gupala... seorang patih kepercayaan Prabu Baka."

Prabu Baka... Gupala... sebentar, rasanya aku pernah... tunggu! "P-Pak, ja-jangan... bercanda, Gu-Gupala kan cuma... ada di dongeng...."

Tapi pria botak itu hanya tersenyum, sebuah senyum menyeringai yang membuatku ngeri. Maka, segera aku mengambil langkah seribu keluar dari candi. Alamak, kakiku terantuk permukaan batu yang berundak! Aku sempat menikmati momen melayang di udara ini, untuk beberapa saat. Lalu, semua menggelap ketika kepalaku mencium landasan batu.


•••​


"Nak, Nak... sudah bangun?"

Aku mengerjap beberapa kali, mengumpulkan kesadaran. Samar, kupaksakan penglihatanku untuk fokus ke bayang-bayang satu sosok yang masih belum jelas kutangkap secara visual.

"Uuuhh... apa yang...."

"Kau pingsan, Nak. Tepatnya, koma. Sekarang kau ada di ambang batas hidup dan mati," balas sosok samar itu. Sekarang semakin jelas, pria botak tadi.

"Jangan ber... waaaa...! Pak, Pak, itu kenapa badan aku tengkurap begitu?!" tanyaku, sambil menunjuk ke satu sosok yang tidur dalam posisi tengkurap dengan luka di kepala yang mengeluarkan darah segar. "Terus, kalau badan aku disitu, aku yang disini...."

Pria botak itu menggeleng. "Saya sudah berusaha semampunya."

"Jangan becanda Pak! Aku masih belum lulus kuliah! Kalau aku mati sekarang, nanti merasa bersalah sama Amanguda karena tak bisa undang nanti pas wisudaku!"

Kulihat, si pria botak manggut-manggut sok mengerti. "Batak kau?"

"Siantar, Pak."

"Marga?"

"Nasution. Aji Nasution, Pak. Bapak batak juga kah?"

"Ah, kata Opung yang waktu itu kesini, semua manusia juga kalau dirunut punya darah batak, Nak. Nama saya Gupala," katanya. Astaga, ternyata memang itu namanya. "Saya patih di kerajaan Baka, yang dipimpin Prabu Baka, yang mempunyai seorang putri bernama...."

"Roro Jonggrang," potongku. Aku hafal betul dengan isi dongeng itu. Makanya, ketika Gupala memberitahuku namanya, itu terasa seperti bertemu hantu. Ah, tapi aku pun sudah mau jadi hantu sekarang, menyadari ini membuat kekagetanku berangsur-angsur mereda. "Jadi, dongeng itu nyata?"

Gupala hanya tersenyum. Ia lalu mengajakku, roh-ku tepatnya, masuk lebih jauh ke dalam Candi Siwa. Menuju ke sisi utara, tempat bersemayamnya arca Durga; yaitu patung batu berbentuk dewi dengan delapan tangan yang berdiri di atas badan seekor lembu. "Nak, tahu kau arca siapa ini?" tanyanya, santai.

"Durga Mahisasuramardini, yang artinya Durga si pembasi lembu Sura. Aku juga tahu disebut apa arca ini sama penduduk sekitar," jawabku.

"Kasihan majikanku ini, Nak. Jiwanya terkurung selamanya di dalam batu ini, karena kutukan si laknat Bandung Bondowoso itu." Gupala terus berceloteh dengan nada lirih, seakan hidupnya hanya di isi oleh derita saja. "Nak, temani saya ngobrol sebentar. Jangan takut, kau nanti hidup lagi. Mumpung sedang jadi roh begini, jadi mudah saya bicara sama kau."

"Tapi... aku penasaran, gimana bisa Pak Gupala..."

"Patih." Ia mengkoreksi.

"Iya, Patih. Gimana bisa, Pak Patih Gupala...."

"Gupala saja." Ia mengkoreksi lagi.

"Puheleeeaseeee, Pak. Aku mau tanya!"

"Tanya apa kau?"

"Ga jadi!"

"Ah, manusia." Gupala menggelengkan kepala beberapa kali. "Merajuk terus kerjaannya. Sabar, pasti saya jawab. Tak usah kaget, Nak. Fenomena ini selalu rutin, terjadi tiap gerhana matahari. Ketika gerhana, gerbang dimensi terbuka sehingga saya bisa menyusup ke dimensi kau. Begitu saja, mudah."

"Lalu kenapa Patih Gupala terus ada di Candi Siwa? Harusnya kan...."

"Saya punya tanggung jawab," balasnya, sambil memandang kosong. "Saya telah bersumpah, akan setia menemani Putri Roro Jonggrang sampai kutukannya dilepaskan. Meski harus mengarungi keabadian."

"Jadi dongengnya nyata?" tanyaku, untuk kesekian kali.

"Senyata realita manusia. Mau saya ceritakan?"

Aku berpikir sejenak. Jika benar katanya bahwa aku akan hidup lagi, maka tak ada salahnya menyimak cerita Gupala. Hitung-hitung menambah pengalaman. Kalau ternyata aku nanti mati, bisa jadi oleh-oleh cerita buat Bapak dan Mamak di alam sana nanti. "Boleh, Patih. Cerita sedetil mungkin ya."

"Ceritanya mungkin akan extra-ordinary." Alamak, hantu dari jaman lampau tahu istilah orang bule. "Jangan salah kau, saya hanya meniru bahasa yang sering diucapkan wisatawan yang kesini," katanya lagi.

Lalu, Gupala memintaku untuk menatap bagian mata dari arca Durga. Memfokuskan pandangan disana. Sampai segalanya terasa berputar... lalu direnggut gelap yang perlahan menyeruak.

Tapi hanya sebentar, karena tiba-tiba, mata batu itu memancarkan cahaya terang; serupa sinar proyektor. Bagai proyeksi tiga dimensi, pemandangan tercetak jelas pada ruang kosong. Menampilkan pemandangan satu kerajaan, lalu dengan cepat beralih ke kerajaan lain.

"Cerita ini bermula dari dua kerajaan yang bertetangga di Jowo kuno, kerajaan Pengging dan kerajaan Baka. Pengging adalah kerajaan yang subur dan makmur, dipimpin oleh Prabu Damar Maya, yang mempunyai seorang putera bernama Bandung Bondowoso. Sementara Baka, dipimpin oleh seorang raksasa pemakan manusia, bernama Prabu Baka. Saya adalah Patih kepercayaannya, Gupala. Tugas saya yang utama adalah memastikan ketentraman putri Prabu Baka, Roro Jonggrang."

Kalimat Gupala bagai echo yang menggaung, susul-menyusul, persis ketika orkes dangdut kampung melakukan tes mikrofon. "Patih, ga usah pakai gaung begitu, bisa? Pusing aku dengarnya," protesku.

"Oh, baik. Ehem, jadi... saya teruskan. Sampai dimana tadi?"

"Roro Jonggrang, Patih." Dari detik ini, aku baru sadar kalau hantu juga bisa lupa.

"Ah, iya. Itu. Karena ingin memperluas daerah kekuasaan, kerajaan Baka menginvasi kerajaan Pengging. Dibawah komando Prabu Baka, kerajaan Baka mengobarkan api perang. Tentu, banyak korban jiwa berjatuhan dari pihak Pengging...."

Di proyeksi yang dipancarkan cahaya dari mata arca Durga, aku melihat gambar berubah menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan, serta para prajurit yang dengan santainya melangkahi mayat-mayat tersebut.

"Prabu Damar Maya tak tinggal diam. Maka, ia mengutus puteranya, Bandung Bondowoso, yang sakti mandraguna untuk memberangus perlawanan kerajaan kami. Sungguh, itu merupakan kejadian yang tak akan bisa saya lupakan seumur hidup...."

Sekarang, aku melihat satu pemuda dengan santainya melemparkan bola api ke satu batalyon pasukan, lalu beralih ke pasukan lainnya; membakar mereka hidup-hidup. Kesaktian Bandung Bondowoso seketika mengingatkanku pada Mage di Clash of Clans yang suka sekali melemparkan bola api untuk menghanguskan pasukan dan pertahanan musuh. Yap, sekarang aku tahu darimana asal kesaktian para Mage itu.

"Berkat kesaktiannya pula, Bandung Bondowoso berhasil membunuh Prabu Baka. Mengetahui hal ini, saya selaku Patih segera menaiki awan suci ke istana, untuk memberitahu putri Roro Jonggrang...."

Dari yang kulihat, Patih Gupala yang terproyeksi disana berambut panjang dan lurus. Halus berkibar ketika angin menghempasnya, tatkala dirinya menaiki segumpal awan--melesat kencang. "Patih, dulu rambutnya panjang?" tanyaku heran.

"Hmm," Gupala seakan enggan menjawab, "Penuaan dini. Biasa, tekanan mengurus kerajaan."

"Terus... awan sucinya kok mirip awan kinton Son Go Ku?"

"Dari sana lah konsepnya berasal. Lanjut?"

Aku mengangguk, mantap.

"Bandung Bondowoso berhasil menjebol istana, dan menemukanku bersama dengan putri Roro Jonggrang. Dalam sekali pandang, saya bisa tahu bahwa ia tertarik oleh kecantikan putri. Bandung Bondowoso seketika ingin membawa pulang putri Roro Jonggrang ke kerajaannya, namun tampaknya putri tak sudi dipersunting oleh orang yang telah membunuh ayahnya. Maka, putri Roro Jonggrang mengajukan dua syarat...."

Ya, pantas saja Bandung Bondowoso tertarik. Roro Jonggrang ini cantik, langsing, jelita. Aku bahkan tak percaya ia adalah anak dari raksasa pemakan manusia. Putri ini lebih seperti... manusia.

"Syarat pertama adalah membangun sumur Jalatunda, dan syarat kedua adalah membangun seribu candi dalam semalam. Sang pangeran pun menyetujui. Digalinya sumur, namun...."

Aku melihat dengan jelas, ketika Bandung Bondowoso telah berada di dasar sumur dan terus menggali, Roro Jonggrang dibantu Patih Gupala menutup mulut sumur dengan kayu. Lalu ditumpuk batu besar. Kemudian arca. Rumah. Padepokan. Kuil. Candi. Bertumpuk-tumpuk sampai aku tak mengenali lagi itu adalah sumur atau sandwich batu.

"Patih sakti juga, bisa angkat segitu banyak bangunan buat nutup sumur." Aku memberi komentar.

"Tidak sesakti itu, Nak. Habis itu saya encok sebulan penuh," ujar Gupala seraya mengusap-usap pinggangnya, seakan sakit dan ngilu masih membekas. "Bandung Bondowoso bisa mendobrak keluar dari sumur, lalu dalam keadaan marah, ia mengamuk. Untunglah, Roro Jonggrang berhasil membujuknya sehingga ia kembali luluh. Tapi, dari sini bagian paling serunya dimulai....

"Syarat selanjutnya adalah membangun seribu candi dalam semalam. Sadar kesaktiannya bahkan tak cukup untuk melakukan hal tersebut, sang pangeran Pengging memanggil bangsa lelembut dan jin dari perut bumi, untuk membantunya. Maka, dimulailah proyek kebut semalam... lengkap dengan mandor dan kepala proyeknya."


Aku mengikuti alur cerita yang dipertontonkan proyektor gaib ini. Tampak Bandung Bondowoso memakai helm oranye, memegang cetak biru; berdiri di satu lahan kosong amat luas. Di belakangnya, berbaris makhluk berpigmen hijau, biru, dan merah; bertanduk dan bercula dengan barisan gigi menyeramkan. Bodohnya, mereka juga memakai helm yang sama. Alamak, ini mereka benar mau kerja proyek?

Satu persatu, para jin melesat cepat ke segala penjuru. Ada yang bertugas mengumpulkan batu, ada juga yang bertugas membentuk pondasi dan struktur. Lainnya, ada yang mengoperasikan alat berat macam crane dan beko untuk mengeruk tanah. Aku bahkan tak lagi yakin ini adalah dongeng.

"Patih, itu serius ada arsitek segala?"

Gupala menggumam. "Sudah, tonton saja. Bangsa jin mempunyai teknologi dan tingkat inteligensi yang jauh diatas manusia. Makanya, tadi di awal saya bilang bahwa ini akan menjadi cerita yang extra ordinary. Kamu tak percaya, sih."

Tampak di layar tiga dimensi, sang arsitek jin sedang berdiskusi dengan Bandung Bondowoso, berkonsultasi soal nilai estetika; haruskah dibubuhkan unsur seni disana atau ini murni hanya pembangunan candi saja tanpa nilai artistik. Serius, ini mulai melenceng dari dongeng yang kutahu.

"Patih, maaf aku menyela. Tapi setahuku, sejarahnya bukan begini." Aku berusaha mengingat-ingat, sejarah terbentuknya Candi Prambanan dari sumber-sumber yang selama ini kubaca. "Dari sumber prasasti Siwagrha, Prambanan mulai dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan. Rakai Pikatan sendiri adalah pangeran dari dinasti Sanjaya, yang menikah dengan Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Nah, disebutkan di prasasti itu, Rakai Pikatan membangun Candi Prambanan bertujuan untuk memfungsikan candi ini sebagai pusat keagamaan Hindu, yang pada waktu itu dianut oleh sebagian besar masyarakatnya.

"Candi Prambanan sendiri, diperluas pada masa pemerintahan Dyah Balitung Mahasambu, seorang raja Mataram Kuno yang memerintah pada masa sekitar 899-911. Nah, jika kita membicarakan legenda Roro Jonggrang, maka kita juga akan mengkaitkan situs Candi Prambanan dengan situs Ratu Baka yang berjarak tiga kilometer di selatan candi ini. Juga dengan situs Candi Sewu yang berjarak delapan ratus meter ke arah utara dari sini. Kenapa? Karena ketiganya berhubungan, apalagi mengingat lokasinya yang berdekatan, maka--"

"Nak, kau yakin itu sejarahnya?" tanya Gupala, menyela. Ada keseriusan dalam nada bicaranya.

"Te-tentu! Itu kan tertulis di prasasti...."

"Bagaimana kalau ternyata saya yang mengukir cerita di prasasti-prasasti tersebut? Nak, bagaimana kalau..." Gupala mendekatiku, memegang kedua bahuku, "...Saya mengarang bebas, entah dongeng atau sejarah dari prasasti; atau keduanya? Jika ternyata... semua situs ini dibangun oleh satu peradaban yang jauh diluar jangkauan pemikiran manusia, bagaimana menurutmu?"

Itu... adalah satu kemungkinan yang tak pernah terpikir olehku. Seharusnya aku memikirkan kemungkinan kesana. Kemungkinan tentang sejarah sebenarnya, yang tak terekspos waktu. Atau, sengaja disembunyikannya. Jika... selama ini... sejarah yang aku tahu... ternyata bukan yang sebenarnya... ah, cukup! Aku tak berani memikirkan lebih jauh.

Seakan bisa membaca kekalutan pikiranku, Gupala tersenyum kecil. Lalu sang patih Baka mengayunkan sebelah lengannya, mengarahkan pandanganku untuk menyaksikan lagi proyektor gaib yang masih memainkan adegan demi adegan.

"Nak, lihat lebih jauh. Semua proses pembangunan Prambanan disaksikan oleh Rakai Pikatan dari kejauhan." Ya, aku melihat seorang pria gagah yang berdiri di satu puncak bukit seraya memandangi prosesi pembangunan candi yang super ngebut itu. "Kerajaan Baka dan Kerajaan Pengging adalah kerajaan gaib, yang tak bisa dilihat oleh kasat mata kecuali yang memiliki kanuragan tinggi. Semua konfliknya adalah nyata, namun memang... tak bisa disaksikan langsung oleh mata telanjang. Adapun, saksi hidup dimulainya legenda ini berasal dari mata Rakai Pikatan sendiri. Rakai Pikatan memang tak mencampuri urusan kerajaan gaib yang berdiam di wilayah kekuasaannya, tak lain dan tak bukan hanya karena satu alasan...."

Aku, seketika menyadari sesuatu. Yap, ternyata semua ini berhubungan. Astaga... "Candi Prambanan dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan... jangan-jangan... Patih, ini kejadian sebenarnya?"

"Rakai Pikatan mempunyai perjanjian khusus dengan Bandung Bondowoso untuk tak mencampuri urusannya dalam membangun candi, dan ia akan mempersembahkan candi yang dibangunnya untuk Rakai Pikatan. Tapi, sebelum itu... Rakai Pikatan sendiri mempunyai satu perjanjian dengan Roro Jonggrang, yaitu mengarahkannya untuk memberi syarat membangun seribu candi ke Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang sendiri dijanjikan akan dibantu untuk menggagalkan prosesnya di candi terakhir...

Di proyeksi itu, aku menyakiskan semuanya dengan jelas. Bagaimana Rakai Pikatan mengerahkan rakyatnya bersamaan dengan rakyat gaib kerajaan Baka, bersatu padu menumbuk lumbung padi. Para lelaki juga diperintahkan untuk membakar tumpukan jerami di sisi timur, agar terlihat seperti mentari yang mulai naik; menyongsong fajar di langit yang masih gelap. Ayam-ayam mulai bersahutan, tertipu karena suasana ramai dan bunyi lumbung padi ditumbuk; mengira bahwa hari mulai pagi. Sahut-sahutan ayam berkokok kencang, apalagi disaat para binatang tersebut melihat berkas cahaya kekuningan di ufuk timur.

"Putri Roro Jonggrang tahu, bahwa bangsa jin takut dengan waktu pergantian hari baru. Maka, saat mereka tertipu bahwa matahari mulai naik, mereka panik dan lari kalang-kabut. Helm-helm proyek dilempar, alat-alat berat ditinggalkan, cetakan-cetakan rancang bangun tergeletak begitu saja di atas tanah. Tepat ketika ingin membangun candi yang ke seribu, mereka kembali ke perut bumi, hanya menyisakan Bandung Bondowoso yang murka karena tak terima bahwa ia kalah....

"Tapi... ia sadar kalau ternyata telah ditipu," balasku.

Aku menyaksikan pemandangan bergerak, bagaimana Bandung Bondowoso marah dan menghancurkan candi yang habis dibangunnya. Rakai Pikatan tak bisa berbuat banyak selain cari aman, karena jika ia turun tangan... maka Bandung Bondowoso curiga ia terlibat dibalik tipu daya ini. Maka, sang Pangeran dinasti Sanjaya hanya bisa diam, ketika menyaksikan Bandung Bondowoso menarik rambut Roro Jonggrang; menyeretnya masuk ke dalam Candi Siwa ini. Lalu Roro Jonggrang dihadapkan pada satu ruang kosong yang ada di sisi utara candi.

"Malang... putri kerajaan Baka dikutuk oleh Bandung Bondowoso menjadi patung batu. Arca Durga. Jiwanya terjebak di dalam patung ini, sampai akhir zaman.

Cahaya yang berpendar sebagai pengantar proyeksi itu pun mendadak sirna. Suasana kembali menggelap di dalam sini. Menyisakan hening, milikku dan milik Gupala. Pria besar nan tinggi ini pun menatap muram ke arca Durga.

"Nak, setelah menyaksikan kenyataannya... mau kau apakan kenyataan itu?" tanyanya, masih melihat arca itu.

Aku mengangkat bahu. Bagiku, tak ada lagi yang akan mengejutkanku lebih dari ini. Sejarah yang bertahun-tahun kutahu, yang ditulis di buku-buku pelajaran selama berpuluh-puluh tahun, yang dipelajari dan diteliti para sejarawan; ternyata hanya sejarah buatan. Kulit luarnya saja.

Sejarah sebenarnya, jauh lebih licik dari yang kukira.

"Mungkin, aku akan simpan untukku sendiri."

Ada senyum puas terkembang di wajah Gupala. Lagipula, pandangan matanya menyiratkan rasa hangat, kerinduan akan ditemani seseorang. Rasanya, aku sedikit mengerti perasaannya. Sendirian sekian lama, setia menemani puteri rajanya tanpa ditemani siapapun sebelumnya. Ia pasti sangat kesepian.

"Nah, pergilah Nak. Gerhana sudah usai, kau juga sudah harus kembali ke tubuhmu atau--"

Aku memotong. "Sebentar, jadi Patih memang sengaja mengeluarkan rohku dari tubuhku sendiri? Supaya ada teman ngobrol, begitu?"

"Nak, tak setiap gerhana matahari total yang umbra-nya menyorot ke wilayah negeri ini. Saya hanya mencari teman, mungkin agak kelewatan, sedikit. Nah, sekarang pergi."

"Tapi gimana cara--"

Gupala mengusap wajahku dengan cepat. Lalu, semuanya mendadak gelap.


•••​


"Uuuhh...."

Perlahan, mataku mengerjap; berusaha mengembalikan kesadaran secepatnya. Aku merintih. Merayap pelan, sambil mengangkat tubuhku. Perlu usaha keras untuk membuatku berdiri, apalagi dengan pening yang masih merayap di sekujur kepalaku.

Kulihat langit. Ah, masih silau! Meski gerhana sudah lewat, tapi pancaran sinar mentari masih terlalu berbahaya untuk terpapar mata telanjang. Lalu, aku menyeka pasir yang mengotori sekujur tubuhku.

"Gupala?"

Tapi hanya ada hening. Bahkan sampai suaraku yang menggema di seantero ruangan hilang ditelan sunyi, yang kupanggil tak juga muncul. Tak ada pria botak berpostur tinggi besar yang dari tadi menemaniku. Atau, mungkin memang tak pernah ada?

Atau mungkin aku hanya bermimpi tadi? Tapi kenapa terasa bagai nyata?

"Ah, sudahlah. Memang mimpi yang tadi itu." Aku berceloteh sendiri.

Kuputuskan untuk memikirkannya nanti, yang penting aku harus segera mendapat perawatan darurat untuk luka di keningku ini. Maka, aku berjalan keluar dari area Candi Siwa. Menuruni tangga berbatu yang berundak empat tingkat, tungkai-tungkaiku menjejak ringan.

Aneh, suasana tak sesepi ini tadi. Tapi kali ini, tak ada satu orang pun kutemui sepanjang aku mengedarkan pandangan. Suasana hening yang tak biasa ini....

"Ji, kau sedang apa disana?! Bengong saja kerjanya kau! Sini cepat hampiri Mamak kau! Capek Mamak tunggu kau dari tadi!"

Suara itu berasal dari seorang wanita tua yang jauh berada di depanku. Wanita agak bungkuk, yang terus mengunyah sirih. Mendadak, tubuhku kaku. Darah bagai berhenti mengalir. Seluruh bulu kuduk meremang, dan ketakutan hebat merayap cepat di sanubariku. Aku... seketika menyadari sesuatu....

"Aji, cepat kau! Kasihan bapak kau tunggu di sana! Cepat lah, tak kangen kau kita kumpul lagi?!"

Suara itu menggema, semakin menguatkan keyakinanku akan sesuatu. Merasuk sampai ke bagian terdalam diriku. Susah payah, aku mengumpulkan keberanian untuk menengok ke belakang. Ke arah pintu masuk Candi Siwa.

Disana, kulihat tubuhku sendiri terbujur kaku dalam posisi tertelungkup. Tak bergerak. Tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Dengan darah yang mulai mengering di pelipis.

Aku sudah mati. Dan, di sudut dalam Candi Siwa, berdiri tegak seorang pria botak berperawakan tinggi besar. Tersenyum menyeringai padaku. Lalu ia tertawa, dan kukira... aku tahu untuk apa.

Menertawakan kematianku.




-Tamat-
 
Huahahaha.....Gupala kamfret!:galak:
tega tenan kau Pak Patih!

Ceritanya :jempol: suhu black sigil
 
tidaaaaak:aduh: lagi-lagi arwah bercerita......

dan kelakuan mereka berdua sungguh konyol:lol:

bagaimana ini ane :bingung: ngejelasinnya ya? nuansa campur bawur seperti mimpi aneh di saat bobo sore-sore... pas terbangun malah bingung....

Kalau untuk cerita Legenda Roro Jonggrang di sini hampir sama dengan yang pernah di pilem kan. hanya gaya penuturan nya saja yang berbeda versi setan patih gundul Gupala.

*Dejavu dengan model :takut:senyuman mengejek ala Patih Gupala tadi..
 
Terakhir diubah:
lucu dan seram, kreatif agan ini,
:cendol:
 
Saya jarang baca ceritan tapi cerita ini...

WOW....

Ceritanya seru sekali ini. Kereeeenn.....
:jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol:

Saya ikut berimajinasi saat membaca cerita ini. Cek kulkas, :)
:cendol: ditunggu karya luar biasa lainnya.

Regard's
:papi:
Grawuk HT Macan
 
wuasuuu keren asli gan ceritanya
berasa ikut jadi arwah -_-

makasih bro udah berbagi cerita (y)
cuma bisa berbagi GRP sebagai reward dan penyemangat
 
:jempol: nice story suhu :cendol:
 
keren ceritanya, sungguh nyata terasa.
cuma ada yg bikin kepikiran, pada paragraf pertama "tak sudi aku berpanas-panas sepagi ini"..hadeh jd sedikit buyar konsentrasi tuk beberapa paragraf berikutnya
 
Mantap,, mantap,,,
Seharusnya kalo buku pelajaran ditulis dengan santai dan sedikit humor begini lebih mudah dipahami sih, dan lebih enak dibaca,,
Vote Black sigil for menteri pendidikan nasional 2022
:jempol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd