Chapter 28
"Ada apa, Sep?" tanyaku heran melihat kedatangan Asep.
"Nanti malam jadi, gak?" tanya Asep membuat ks dua sahabatku melihat ke arahku curiga.
"Jadi?" jawabku, membuat Ecih dan Tinah semakin curiga.
"Ini perlengkapannya." kata Asep memberiku sebuah bungkusan plastik yang cukup besar. Perlengkapan yang kupesan. Setelah menyerahkan bungkusan, Asep segera pergi tanpa pamit.
"Kamu janjian apa sama, Asep? Jangan jangan kamu janjian mau?????" tanya Tina dengan pikiran kotornya yang langsung disumpal. Untung Ecih menyumpal mulut Tina karena aku melihat ibu mendatangi jendela kamarku.
"Kom, buka pintu..!" kata Ibu melongok ke dalam kamar.
"Iya, Mak..!" jawabku setengah berlari ke depan untuk membuka pintu. Setelah membuka pintu aku segera kembali ke kamar dengan membawa martabak manis yang ibu beli. Aneh, padahal bilangnya ke rumah Bi Leha, tapi kok pulangnya bawa martabak manis? Pantas perginya lama. Ibu pasti bohong, tapi aku malas bertanya dari mana saja ibu pulangnya bisa bawa martabak manis.
Aku segera membuka martabak manis untuk dimakan bersama ke dua sahabatku yang langsung memakannya dengan lahap. Wajar, mereka sangat jarang makan martabak manis yang berkesan sebagai makanan mewah di desa kami yang kehidupan masyarakatnya serba pas pasan. Tidak heran banyak wanita di desa kami yang menjadi TKW.
*******
Pulang ngaji Asep sudah menunggu kami di pengkolan yang menuju Kuburan Pengantin. Pakaiannya yang serba hitam membuatnya sulit terlihat di kegelapan malam. Tapi aku bisa melihatnya karena sudah berjanji untuk bertemu di tempat ini untuk memulai rencana kami. Rencana menyelidiki kematian ayahku.
"Jadi...?" tanya Asep seperti berusaha memastikan.
"Jadi, donk." jawabku tegas. Tudak ada kata mundur lagi. Detektif amatir akan melakukan penyelidikan. Tapi sebelum itu kami harus menyusun sebuah rencana dan saling membagi tugas. Rencananya malam ini kami akan melakukan rapat.
"Kita mau ke mana, Kom?" tanya Ecih heran karena aku lupa memberitahu mereka untuk mengadakan pertemuan dengan Asep. Aku merasa perlu mengajak Asep untuk melakukan penyelidikan karena jasanya menemukan golok ayahku di sungai.
"Kamu mau ewean sama Asep, ya?" bisik Tina membuatku jengkel. Reflek aku mencubit pahanya agar tidak membuka mulut.
"Aduh, sakit..!" teriak Tina kesakitan oleh cubitanku. Setidaknya itu sebuah pelajaran agar tidak mengaitkan semua hal dengan ewean.
"Yuk, kita jalan sebelum ada yang lihat.?" seruku ke Asep yang langsung mendahului berjalan mendekati Makam Pengantin.
2 meter sebelum makam pengantin ada swbuah jalan setapak yang menuju ke tepian sungai. Jalan yang nyaris tidak pernah dilewati saat malam hari. Di tepi sungai ada sebuh gubuk yang sering digunakan untuk beristirahan setelah lelah bekerja di sawah. Ke sanalah tujuan kami. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari penemuan golok ayahku. Tepatnya di seberang dolok ayahku di temukan.
"Klm, mau ngapain kita ke sini?" tanya Ecih memegang tanganku yang berjalan lebih dahulu mengikuti Asep. Jalan yang kami lalui hanyalah jalan setapak sedangkan di kiri kanan jalan ditumbuhi pohon pohon liar, jadi kami harus berjalan beriringan.
Bulu kudukku meremang, suasana di sekeliling kami begitu mencekam membuat bulu kudukku berdiri tanpa dapat kutahan. Aki berusaha mengatur nafasku sehalus mungkin untuk mengusir rasa takut. Ecih semakin kencang mencengkeram pergelangan tanganku.
"Kom, mau ewean aja nyari tempat serem...!" seru Tina pelan, tapi di tempat seperti ini suara ranting jatuhpun akan terdengar. Aku yakin Asep pasti mendengarnya. Dasar mulut ember. Makiku dalam hati..
"Biar gak ada yang ngintip." timpal Asep membuatku tersipu malu. Kenapa juga aku harus tersipu malu. Harusnya perkataan Asep adalah pelecehan, tapi kenapa aku menyukainya.
"Tuh kan Kokom...?" seru Tina yang merasa dugaannya benar.
"Bisa diam gak sich, kamu?" bentakku. Suaraku terdengar nyaring membuatku terkejut dengan suaraku sendiri. Suasana yang tadi mencekam hilang dalam sekejap oleh percakapan kami yang saling bersahutan.
"Udah sampe..!" bisik Asep mengingatkan. Di hadapan kami ada sebuah gubuk yang kadang kala digunakan untuk sholat. Tempat ini lebih terbuka karena sudah dekat dengan hamparan sawah yang terletak di seberang kali. Ada sebuah jembatan kayu untuk menyeberang. Sebenarnya tempat ini menurutku aneh, kenapa gubuk tidak di bangun di seberang agar orang yang habjs bekerja di sawah tidak perlu bersusah payah menyebrangi jembatan bambu yang terdiri dari empat buah bambu yang disatukan.
Asep segera masuk diikuti kami. Gubuk ini terbuat dari bambu yang diambil dari pohonnya yang banyak tumbuh di sekitar sinj. Tidak ada tikar, hanya sebuah bale bambu yang sudah mengkilap karena seringnga bergesekan dengan pantat orang yang duduk.
"Sekarang kita mau ngapain di sini?" tanya Asep dengan suara yang agak bergetar.
Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena gelap. Kami seperti bayang bayang hitam. Tapi aku yakin, Asep tentu gelisah san berpikkr mesum karena duduk bersama tiga primadina desa di tempat seperti inj. Mungkin aku akan memberinya hadiah keniatan dari salah satu sahabatku atau mungkin aku sendiri yang akan memberinya kenikmatan sebagai hadiah. Tapi itu nanti setelah urusanku zelesai.
"Begini Sep, akj curiga Mang Gandhi yang membunuh ayahku. Cpba kamu perhatikan gerak gerik Mang Gandhi, siapa tahu ada sesuatu yang mencurigakan dan bisa kita gunakan sebagai bukti." kataku mulai membagi tugas.
"Baik, kebetulan aku disuruh Bu Haji buat ngebantuin Mang Gandhi bikin kandang bebek." kata Asep membuatku lega. Aku percaya dengan kegesitan Asep dan sepertinya dia cukup cerdas dalam mengambil keputusan. Terbukti dia tidak mengambil golok ayahku yang berada du sungai. Kalau saja dia mengambil golok itu tanpa sepengetahuan orang, maka kecurigaakln akan tertuju ke dia sebagai pelaku pembunuhan ayahku.
"Kamu Tin, coba kamu deketin Mang Gandhi. Kamu cerita tentang kematian ayahku yang gak wajar. Ingat, kamu cuma cerita tentang kematian ayahku, bukan bertanya siapa pembunuh ayahku." kataku memberi tugas je Tina. Tugas yang kuanggap cocok untuk Tina si mulilut ember. Dia paling suka bicara tentang banyak hal tanpa pernah mencari tahu hal itu bisa terjadi.
"Ak mau, nanti aku diewe Mang Gandhi...!" kata Tina cepat.
"Kan kamu paling seneng ewean...?" kataku tenang. Tina bicara begitu cuma di bibirnya dan tidak akan lernah menolak apa yang aku suruh.
"Iya, tapi kan Tina pengen ewean sama yang muda." jawab Tina lirih, seolah Asep tidak ada di tempat ini. Dasar itak mesuk, aku tahu yang dimaksud Tina pengen ewean dengan yang muda pasti maksudnya Asep.
"Och Tina sudah pernah diewe Mang Gandhi?" tanya Asep heran. Tangannya menowel pahaku. Gipa, si Asep ternyata tertarik mencoba memek Tina.
Aku melihat ke arah Tina yang mengangguk pelan. Suasana yang gelap membuat anggukannya tidak begitu terlihat. Tapi jarak kami yang begitu dekat melihatku bisa melihat gerakkan kepalanya.
"Tugasku apa?" tanya Ecih yang belum mendapatkan tugas dariku.
"Kamu korek keterangan dari ayah kamu, siapa saja yang membenci ayahku. Dengar semua gosip tentang keluargaku siapa tahu ada petunjuk." kataku senang karena bisa membagi tugas di antara kami. Ya, aku adalah pemimpinnya.
Sekali lagi Asep menowel pahaku. Sebuah isyarat yang sangat jelas.
"Kenapa, Sep? Kamu mau nyobain memek Tina apa Ecih?" tanyaku santai.
"Kokom, apa apaan, aich pake nawarin memek Ecih. Kenapa gak kamu tawarin memek kamu aja..!" kata Ecih sok jual mahal, padahal mau.
"Memek aku aja.!" Tina menimpali ucapan Ecih membuatku tersedak dan batuk dengan keras. Aku berusaha menahan batukku agar tidak berlarut larut, takut ada yang mendengarnya.
"Gelo, si Tina udah gatel pengen diewe." kata Ecih melotot mendengar Tina terang terangan mengobral memeknya. Harga dirinya sudah dicampakkan begitu saja.
"Enak...!" jawab Tina cuek. Tiba tiba kami mendengar suara dari seberang kali membaut mulut kami semua terbungkam tidak berani mengeluarkan suara.
Tiba tiba Asep mencolek pahaku lagi dan kali ini bukan sebuah isyarat mesum. Samar samar aku melihat jari telunjuknya di mulu lalu menunjuk jalan dari mana kami datang. Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. Aku menarik tangan Ecih dan menowel Tina agar mengikutiku kembali ke jalan yang kami lalui tadi. Tapi belum juga kami berjalan sebuah teriakkan mengurungkan langkah kami
"Hei, siapa itu?" teriakkan itu begitu kencang menghantam jiwaku, membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Dengkulku gemetar dan kedua kakiku seperti tertanam di tanah sehingga tidak mampu digerakkan.
"Saya...!" teriak Aswp menyahut sambil berjalan ke arah jembatan dengan cepat sebelum orang itu datang ke arah kami.
"Kamu itu, Sep?" tanya pria dari seberang menyorotkan senter ke wajah Asep yang sedang menyeberang. Asep mengangkat tangan melindungi matanya dari lampu senter.
"Iya...! Serab euy....! {Silau )" teriak Asep memperingatkan orang di seberang untuk tidak mengarahkan senter ke wajahnya.
Aku menarik tangan Ecih untuk meninggalkan tempat ini diikuti Ecih yang menarik tangan Tina. Kami berjalan cepat meninggalkan saung sebelum orang orang itu menyadari kehadiran kami. Bisa geger kampung kami kalau ada yang tau tiga primadona desa berada di yempat sepi dengan Asep.
Kami berjalan cepat melintasi jalan setapak yang gelap tanpa bantuan penerangan. Hanya insting kami yang terlatih berjalan di tempat gelap dan rasa takut kepergok orang yang membuat kami bisa melewati jalan setapak dengan cepat.
Kami berhenti setelah berhasil melewati jalan setapak, nafas kami tersengal sengal. Kami berusaha mengatur nafas yang hampir habis.
"Kom...!" bisik Tina menoleh ke arah kanan jalan. Aku ikut menoleh dan wajahku langsung pucat. Kami berhenti tepat di Makam Pengantin.
"Cih....!" kataku dengan suara tercekat. Entah siapa yang mulai, tanpa komando dan aba aba kami berlari secepat kilat meninggalkan makam pengantin.
Tiba tiba aku melihat ada tiga orang yang berdiri di bawah pohon bambu, tiga sosok yang sangat mengerikan. Apakah mereka adalah penunggu tempat ini karena di bawahnya ada pancuran yang konon ditunggu oleh mahluk halus sebangsa jin.
"Jurig.....!" aku berteriak histeris semakin memepercepat lariku diikuti kedua sahabatku.
"Kokom, Ecih, Tina...!" teriak ke tiga sosok itu manggil kami.
Aku semakin mempercepat lariku. Mereka benar benar mahluk halus penunggu yempat ini, buktinya mereka tahu nama kami.
"Kokom, berhenti Kom...!" teriakan Ecih tidak kuhiraukan. Di saat seperti ini seharusnya mereka harus berlari secepat mungkin sebelum tertangkap malhluk halus. Apa jangan jangan Ecih tertangkap mahluk halus.
Belum sempat aku berpikir untuk menyelamatkan Ecih, sebuah tangan menangkap pergelangan tanganku.
"Tolong, tolong emak ada jurig....!" aku berteriak meminta tolong memanggil emakku dan siapa saja yang mendengar teriakanku.
"Kom, ini A Agus..!" kata suara ini memelukku yang terus berusaha meronta. A Agus, apa benar mahluk ini A Agus bukan mahluk jadi jadian yang menyamar jadi A Agus. Tapi kata orang mahluk jadi jadian badannya bau sangit dan yang sedang memelukku bau tubuhnya sangat kukenal.
Aku membaca ayat kursy dengan keras untuk memastikan yang memelukku benar benar A Agus. Setelah aku membaca ayat kursy sebanya tujuh kali, aku baru berani membuka mata dan melihat sosok yang memelukku dan memang benar dia adalah A Agus.
"A Agus..!" seruku heran. Aku menoleh ke belakamg, Ecih dirangkil Mang Ikat dan Tina menggandeng tangan ayahnya Mang Oding. Ternyata tiga sosok yang berdiri di bawah pohon bambu adalah mereka bertiga. Pantas mereka kenal nama kami.
"Kamu kok ketakutan begitu? Abis lihat hantu?" tanya A Agus sambil membslai kepalaku dengan mesra.
"Kok A Agus ada di sini?" tanyaku heran, tidak menjawab pertanyaan A Agus.
"Iya, pulang kerja langsung ke sini. Kata Emak kamu belum pulang. Di sms ga bales. Sms ke Ustadzah katanya kamu sudah pulang. Mang Ikat dan Mang Oding juga dateng nyari Ecih dan Tina. Makanya kami nyari kalian. Paa sampai sini kami lihat kalian lari ketakutan." kata A Agus menjelaskan panjang lebar membuatku merasa malu karena ketakutan melihat mereka.
"Ya sudah Kang Agus, kami pulang dulu...!" pamit Mang Ikat disusul oleh Mang Oding berpamitan.
Sampai rumah aku disambut wajah cemas ibu yang langsung memelukku.
"Kamu ke mana, pulangnya telat?" tanya ibu sambil melepaskan pelukannya dan memperhatikan sekujur tubuhku yang tidak kurang apapun.
"Tadi ada perlu ke rumah ,Teh Euis." kataku berbohong. Kebohongan yang jarang aku lakukan.
"Sekali kali si Kokom dihukum mak, biar gak seenaknya." kata A Agus membuat sekujur tubuhku merinding mendengar kata hukuman. Kata yang membuatku bergairah. Entah kenapa birahiku sangat mudah terpancing oleh dua hal, kata hukuman. Ya, kata itu bagiku identik dengan sex, menghisap kontol dan menelan pejuhnya. Ke dua, bau tubuh pria, mampu membuat nafsuku bangkit tidak terkendali.
"Jangan begutu, Gus. Ini kan adek kamu." jawab ibu menuntunku masuk ke ruang tamu. Ibu mengajakku duduk di sampingnya.
Aku menunduk gelisah mengharapkan A Agus benar benar menghukumku dengan hukuman nikmat, menghisap kontolnya dan menelan pejuhnya yang sangat gurih. Baunya yang has mampu membuatku melayang.
"Pokoknya si Kokom harus merasakan gimana rasanya dihukum." jawab A Agus tegas.
"Dihukum apa, Gus?" tanya ibu berusaha meredakan kekesalan A Agus yang tiba tiba berdiri di hadapanku dan ibu.
"Dihukum pake, ini...!"/seru A Agus menurunkan celana trainingnya sehingga kontolnya yang sudah sangat tegang mengacung ke arah wajahku. Aku terbelalak takjub.
"Agus, Emak juga mau kalau dihukum pake kontol Agus...!" jawab Emak meraih kontol A Agus dan menarik ke arahnya. Tanpa minta persetujuan Ibu melahap kontol A Agus dengan bernafsu.
Kelakuan ibu benar benar membuatku jengkel karena telah mensabotase hukuman yang dipersiapkan untukku.
"Emak, Kokom yang mau dihukum, malah direbut Emak...!" kataku setengah membentak
Bersambung