Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 27

Gila, dua sahabatku melihatku sedang diewe dengan kontol Mang Ikat masih tertancap di memekku
Sebenarnya ini tidak masalh nuatku. Toh aku sering liat Ecih diewe oleh beberpa pria termasuk oleh A Agus. Jadi ini bukan masalah besar buat kami. Tapi kenapa wajah Ecih seperti tegang seperti itu melihatku diewe ayahnya.

Mang Ikat mencabut kontolnya dari memekku. Perlahan pejuhnya merembes keluar dari memekku. Rasanya geli geli nikmat saat pejuh Mang Ikat merembes kelluar dari memekku. Hanya mereka yang punya memek yang bisa merasakannya.

Aku tidak perduli dengan kehadiran dua sahabatku, kakiku tetap mengangkang membiarkan lelehan pejuh Mang Ikat keluar. Tina menghampiriku melihat memekku dengan takjub dan tiba tiba Tina berjongkok menjilati memekku, lebih tepatnya menjilati pejuh Mang Ikat.

"Tina, nanaonan maneh? ( apa apaan kamu?)" tanyaku menggelinjang nikmat lidah Tina menyapu memekku. Nikmat, benar benar nikmat hingga pejuh Mang Ikat habis ditelan, Tina baru menyudahi aksinya.

Aku masih melihat Ecih berdiri mematung di pintu, melihat adegan yang terjadi. Berdiri seperti patung sangat berbeda dengan sifatnya yang lincah dan cerewet. Sementara Mang Ikat duduk di kursi kayu yang menempel di bilik, cuek dengan kehadiran Ecih. Matanya lebih tertuju pada aksi Tina. Jangan jangan Mang Ikat pengen nyobain memek Tina.

Hal yang tidak kuduga terjadi, Tina ternyata cewek agresif dan memang dia yang paling centil di antara kami bertiga. Melihat Mang Ikat duduk dengan tubuh bugil, kontolnya terlihat menjuntai lemas. Tina langsung berjongkok di hadapan Mang Ikat. Tanpa basa basi Tina meraih kontol Mang Ikat dan langsungsug dikulumnya. Sepertinya Tina berusaha membangunkan kontol Mang Ikat yang isinya sudah kukuras habis.

"Ampun Tina, kontol Mamang ngilu...!" Mang Ikat mengerang berusaha mencegah Tina menghisap kontolnya dengan keras. Tapi sepertinya Tina semakin kuat menghisap kontol Mang Ikat, terlihat dari pipinya yang menjadi kempot.

"Terus Tin, biar kapok si ayah berani ngewe Kokom.?" kata Ecih masuk dan menarik tangan Mang Ikat yang berusaha menahan kepala Tina.

Melihat adegan yang terjadi membuatku tertawa geli. Aku ikut membantu Ecih memegang tangan Mang Ikat agar Tina semakin leluasa menghisap kontol Mang Ikat yang lemas dan tidak mau bangkit sekeras apapun Tina menghisapnya.

"Ampun, udah Tin. Kontol Mamang ngilu...!" Mang Ikat mengeliat berusaha melepaakan diri dari kami bertiga. Tapi kami tidak mau mengalah, sekuat tenaga kami menahan Mang Ikat, memberinya pelajaran agar kapok.

*******

Sepanjang perjalanan pulang aku tidak berhenti tersenyum membayangkan kejadian yang baru saja terjadi. Mang Ikat yang meraung minta ampun terpaksa kami lepaskan saat mendengar suara adzan dari masjid. Yang lucu adalah melihat wajah Mang Ikat yang pucat dan hampir kehabisan nafas. Benar benar kejadian lucu yang akan sangat sulit kulupakan.

"Kom...!" panggil Eko dari kejauhan menghentikan langkahku. Tidak.ada alasan buatku terus terusan menghindar darinya karena dia akan semakin nekad mengejarku. Aku menunggunya di bawah pohon rindang yang melindungiku dari sengatan matahari sambil memperhatikan Asep yang berlari kecil di pematang sawah menghampiriku.

"Ada apa, Sep?" tanyaku berusaha berdamai dan melupakan kejaengkelanku. Toch aku lebih kotor dari pada Asep. Sekarang aku tidak lebih dari piala bergilir yang bisa dinikmati oleh setiap pria.

"Aku mau ngasih liat sesuatu ke kamu..!" kata Asep wajahnya terlihat sangat serius mampu menarik perhatianku.

"Apaan yang mau kamu kasih liat?" tanyaku penasaran. Dari raut wajahnya yang serius jelas si Assp gak akan macem macem. Kalaupun macam macam dia tidak akan bisa merawanin aku lagi. Segelku sudah rusak.

"Ikut...!" ajak Asep agar mengikitinya yang berjalan lebih dulu ke arah sungai yang airnya digunakan untuk saluran irigasi. Setelah berjalan sekitar 150 meter kami sampai di sebuh pohon yang batangnya menjorok ke sungai. Tempat ini agak rimbun oleh pphon pohon liar yang tumbuh di sepanjang sisinya. Setahuku tempat ini sangat jarang di gunakan oleh penduduk sekitarnya.

"Lihat itu!" seru Asel menunjuk ke bawah.

Aku melihat sebuah golok yang gagangnya terbuat dari tanduk dan berukir kepala garuda tersangkut di antara pohon pohon liar yang biasa tubuh di pinggir sungai. Golok yang sangat aku kenal, golok ayahku. Semua masyarakat di sini sudah tau dengan golok ayahku yang selalu dibangga banggakannya du beri nama si Naga. Walau terasa janggal karena bentuk gagangnga lebih mirip dengan kepala garuda dibandingkan naga.

"Itu golok ayah...!" seruku dengan jantung berdegup kencang dan dengkul bergetar nyaring tidak mampu menahan tubuhku. Golok itu hilang bersamaan dengan kematian ayahku. Padahal golok itu selalu dibawanya kalau keluar rumah. Golok yang menjadi kebanggannya dan katanya sudah memakan korban saat dirinya menjadi jagoan di Jakarta..

"Aku ambil, ya...!" kata Asep tanpa menunggu jawabanku dia turun dengan berpegangan pada pohon pohon di sekelilingnya untuk bisa mengambil golok itu.

Aku memperhatikannya dengan tegang. Asep mengacungkan golok yang tanpa sarung ke arahku. Aku seger mengulurkan tangan meraih golok yang diberikan Asep. Tangannku gemetar memegangnya. Ada bercak hitam yang memenuhi badan golok. Tapi sepertinya bukan karat.

"Itu noda darah...!" kata Asep menerangkan bercak hitam di golok tanpa aku minta. Aku menoleh ke arahnya yang sudh berdiri di sampingku.

"Darah?" tanyaku untuk memastikan apa yang kudengar.

"Iya, itu darah..!" jawab Asep yang menjatuhkan pantatnya di atas tanah yang keras.

Darah, kenapa ada darah di golok ini padahal selama ini selalu terawat. Ayah sangat rajin mengasahnya agar tetap tajam tanpa karat. Tapi sekarang kenapa ada noda darah? Apa ini darah ayah? Apa golok ini yang digunakan untuk membunuh ayahku karena polisi tidak menemukan alat untuk membunuh ayahku. Aku juga tidak tahu bagian mana yang terluka dari tubuh ayah karena aku langsung pingsan saat mayatnya dibawa pulang.

"Kamu bisa menemukan golok ini bagaimana caranya?" tanyaku curiga. Jangan jangan Asep tahu sesuatu selain golok ini. Apa benar yang dikatakan Mang Ikat pembunuh ayah adalah Mang Gandhi?

"Aku lagi nyari telor bebek, tahu tahu aku lihat golok itu. Tapi aku gak berani ngambilnya. Tadinya mau bilang ke Bu Haji." jawab Asep sambil mempermainkan daun yang ada di tangannya. Entah sejak kapan dia memetiknya.

Kalau benar golok ini digunakan untuk membunuh ayah, berarti orang yang melakukannya orang yang sangat akrab dengan ayah. Karena setahuku ayah tidak pernah membiarkan orang memegangnya apa lagi meminjamkannya. Kalau Mang Ikat mengatakan Mang Gandhi adalah pembunuh ayahku, itu masuk akal. Karena orang yang paling dekat dengan ayahku adalah Mang Gandhi dan beberapa kali aku melihat Mang Gandhi disuruh mengasah golok ini.

"Gak ada sarungnya..!" gumamku gelisah.

"Kabawa palid, meureun..!( kebawa anyut, kali.)" gumam Asep melihat ke arahku yang ikut duduk di sampingnya.

Jarak kami sangat dekat, bahkan tanpa kusadari kami duduk berdempetan dan berdempetan dan itu memancing rasa heran Asep yang menatapku dari samping. Sebenarnya wajar aku duduk menempel Asep untuk menghindari panasnya matahari. Tapi pikiran Asep beda lagi, dia menganggapku memberinya lampu hijau.

"Jangan culangung..! (Kurang ajar )" bentakku saat Asep merangkul pinggangku. Hanya ventakan kospng karena aku membiarkan tangannya tetap berada di pinggangku. Bau keringat Asep terasa menyegat. Bau keringat has lelaki yang memancing gairahku.

"Golok ini sepertinya dibuang oleh orang yang membunuh ayah kamu." bisik Asep semakin berani membisiku, tepat menempel di telingaku yang tertutup jilbab.

"Siapa yang membunuh ayahk?" tanyaku sedih. Tanganku memeluk dengkul dan daguku menempel dengkul sambil melihat bayang bayang pohon di kali. Angin yang berhembus tidak mampu menghilangkan kegelisahanku. Bahkan angin semakin mempertajam bau keringat Asep. Bau has lelaki yang mampu meruntuhkan keimananku.

Golok ayahku tergeletak di tanah dekat kakiku sudah tidak kuperhatikan lagi. Bau keringat Asep telah mendominasi kegelisahanku.

"Pulang yuk...!" ajakku masih tetap duduk. Rasanya aku enggan untuk meninggalkan tempat ini, menghirup bau keringat Asep memenuhi rongga dadaku.

"Yuk...!" Asep berdiri mendahuluiku. Menyadarkanku dari pesona bau keringatnya. Aku mengambil golok ayahku dan berdiri dengan perasaan bingung. Rasanya terlalu mencolok membawa golok yang terhunus dan pasti akan menimbulkan kehobohan orang yang melihatnya.

"Goloknya bungkus pake kertas ini...!" kata Asep mengambil kertas semen yang tergeletak tidak jauh dari kami duduk. Walau kertas utu tidak menutupi seliruh bagian golok, setidaknya bisa nenutupi bagian besinya. Mudah mudahan di jalan kami menemukan kertas yang lebih besar untuk menutupnya.

"Aku yang bawa goloknya biar gak kelihatan orang ya?" Asep menawarkan jasanya.

"Gimana caranya biar gak kelihatan orabg?" tanyaku heran.

Asep mengambil golok yang kupegang dan memaaukkannya ke dalam celananya. Bagian gagangnya lansung tertutup oleh kaos yang sudam mulai pudar warnanya. Nahkas maauk dalam kategori dekil. Dalam sekejap golok sudah hilang dari pandanganku, tersembunyi di balik celana dan baju Asep.

******

Aku merahasiakan penemuan golok ayah karena menganggapnya sebagai sebuah petunjuk penting yang bisa membawaku pada pembunuh ayah. Walau Mang Ikat mengatakan pembunuh ayahku adalah Mang Gandhi dan bukti mengarah ke Mang Gandhi. Tapi aku harus melakukan penyelidikan lebih mendalam agar tidak salah orang.

Sempat terpikir olehku untuk menyerahkan golok ini ke polisi yang sedang menyelidiki kematian ayahku seperti yang disarankan Asep. Tapi rasa penasaran dan keinginanku untuk menyelidikinya sendiri membuatku tidak melaporkan penemuanku ke polisi hingga aku merasa menemui jalan buntu.

Sepertinya aku harus menemui Mang Gandhi saat ini juga, tapi sekarang sudah jam 4 sore, sebentar lagi Ecih dan Tina datang menyampar ngaji. Apa lagi malam ini aku harus mempersiapkan segala macam atribut sekolah. Lusa aku sudah mulai sekolah. Sekolah SMA N yang jaraknya hanya 2 kilo meter dari rumahku. Bisa ditempuh dengan Angkutan Umum karena ibu melarangku membawa motor sendiri dengan segudang alasan.

"Kokom...?" panjang umur ke dua sahabatku, saat aku sedang memikirkan mereka, mereka langsung datang. Mereka memanggilku dari jwndela kamar yang terbuka. Aneh, biasanya mereka mengetuk pintu bukan kewat jendela seperti sekarang.

"Kok lewat ndndela?" tanyaku heran melihat kedatangan mereka yang terlihat sudah rapi karena akan pergi mengaji.

"Iya, pintu depan di konci. Bu Haji ke mana, Kom?" tanya Ecih.

"Ke rumah Bi Leha nganterin uang ngored." jawabku sambil keluar kamar mau membukakan pintu untuk ke dua sahabatku. Kami memang bersahabat sejak kecil. Orang menjuluki kami tiga serangkai bunga desa walau julukan itu rasanya sudah tidak cocok lagi buat kami setelah kami ternoda. Mungkin julukan tiga serangkai jilbab binal lebih cocok buat kami sekarang.

Begitu aku membuka pintu, ternyata ke dua sahabatku sudah berdiri di depan pintu. Gerakkan mereka lebih cepat dariku. Tanpa disuruh mereka menerobos masu ke dalam rumahku dan langsung menuju kamarku yang lebih luas dibandingkan kamar mereka

"Tadi lucu, ya?" kata Tina mulai membuka percakapan di anyara kami seperti biasanya.

"Apanya yang lucu?" tanyaku heran.

"Itu Mang Ikat kontolnya gak bisa ngaceng lagi. Malah ampun ampunan.." kata Tahu mengingatkan kejadian tadi membuatku tersenyum geli.

"Gila kamu...!" Ecih tertawa geli sambil mencubit paha Tina.

"Aduh, sakit tahu. Jangan jangan semalam abis ewean sama kamu sampe gak bisa bangun lagi ya?" tanya Ecih semakin gila...

"Gelo kamu, masa Ecih ewean sama bapak sendiri. Kamu kali ewean sama bapak sendiri...!" kata Ecih semakin sewot.

"Gak apa apa, Cih. Yang penting jangan sampai hamil." kata Tina membuatku berpikir jangan jangan si Tina sudah melakukannya dengan bapaknya sendiri.

"Gimana rasanya ewean sama bapak kamu, Tin?" tanyaku berusaha menjebak Tina.

"Kokom, apaan sich! Belum pernah tau. Orang tua Tina nyangkanya Tina masih perawan." kata Tina melotot ke arahku. Aku hanya tertawa melihat espresi wajahnya yang lucu.

"Kom, ini apa?" tanya Ecih melihat golok peninggapan ayahku yang tergeletak di meja belajarku terbungkus kertas semen tapi gagangnya tetap terlihat sangar. Golok yang sangat terkenal di kampungku.

"Itu golok almarhum ayahku, tadi dutemuin Asep di pinggir kali." lalu aku mencerikan penemuan golok ini kepada dua sahabatku yang mendengarkan ceritaku dengan serius.

Sudah saatnya ke dua sahabatku ini tahu dengan rencanaku mencari orang yang sudah membunuh ayahku. Siapa tahu mereka bisa membantu penyelidikanku. Apa lagi kami tiga serangkai bunga desa mempunyai cara interogasi yang tidak mungkin gagal. Interogaai kami adalah dua bibir yang bicara. Bibir atas dan bibir selangkangan. Ide itu muncul mengingat kejadian dengan Mang Ikat. Ya, rencana ini bisa aku jalankan dengan ke dua sahabatku ini.

"Kalian mau bantu aku melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh ayahku gak?" tanyaku.

"Mau....!" sahut Ecih dan Tina berbarengan. Ya, sudah saatnya aku menyusun rencana dengan ke dua sahabatku ini.

"Kom, Kokom....!" serentak kami melihat ke arah jendela. Asep nyengir melihat ke arah kami dari luar.

Bersambung....
Samak mana samak nungguan Saha anu di tanyakan ku tilu serangkai
 
Sempat kecewa krn aku kirain si ecih bakalan incest sm bapaknya tp ternyata nggak :(, tp nggak apa, siapa tahu di update berikutnya bakal terjadi :bacol:

Sepertinya TS nggak begitu tertarik sama incest. Yah, kita tunggu next update mudah-mudahan ada incest. Soalnya kokom ga akan bisa incest, lha A'Agus ternyata bukan kakak kandung, dan ayah kokom juga sudah ga ada. Mau sama siapa coba kokom incestnya?
 
Chapter 28

"Ada apa, Sep?" tanyaku heran melihat kedatangan Asep.

"Nanti malam jadi, gak?" tanya Asep membuat ks dua sahabatku melihat ke arahku curiga.

"Jadi?" jawabku, membuat Ecih dan Tinah semakin curiga.

"Ini perlengkapannya." kata Asep memberiku sebuah bungkusan plastik yang cukup besar. Perlengkapan yang kupesan. Setelah menyerahkan bungkusan, Asep segera pergi tanpa pamit.

"Kamu janjian apa sama, Asep? Jangan jangan kamu janjian mau?????" tanya Tina dengan pikiran kotornya yang langsung disumpal. Untung Ecih menyumpal mulut Tina karena aku melihat ibu mendatangi jendela kamarku.

"Kom, buka pintu..!" kata Ibu melongok ke dalam kamar.

"Iya, Mak..!" jawabku setengah berlari ke depan untuk membuka pintu. Setelah membuka pintu aku segera kembali ke kamar dengan membawa martabak manis yang ibu beli. Aneh, padahal bilangnya ke rumah Bi Leha, tapi kok pulangnya bawa martabak manis? Pantas perginya lama. Ibu pasti bohong, tapi aku malas bertanya dari mana saja ibu pulangnya bisa bawa martabak manis.

Aku segera membuka martabak manis untuk dimakan bersama ke dua sahabatku yang langsung memakannya dengan lahap. Wajar, mereka sangat jarang makan martabak manis yang berkesan sebagai makanan mewah di desa kami yang kehidupan masyarakatnya serba pas pasan. Tidak heran banyak wanita di desa kami yang menjadi TKW.

*******

Pulang ngaji Asep sudah menunggu kami di pengkolan yang menuju Kuburan Pengantin. Pakaiannya yang serba hitam membuatnya sulit terlihat di kegelapan malam. Tapi aku bisa melihatnya karena sudah berjanji untuk bertemu di tempat ini untuk memulai rencana kami. Rencana menyelidiki kematian ayahku.

"Jadi...?" tanya Asep seperti berusaha memastikan.

"Jadi, donk." jawabku tegas. Tudak ada kata mundur lagi. Detektif amatir akan melakukan penyelidikan. Tapi sebelum itu kami harus menyusun sebuah rencana dan saling membagi tugas. Rencananya malam ini kami akan melakukan rapat.

"Kita mau ke mana, Kom?" tanya Ecih heran karena aku lupa memberitahu mereka untuk mengadakan pertemuan dengan Asep. Aku merasa perlu mengajak Asep untuk melakukan penyelidikan karena jasanya menemukan golok ayahku di sungai.

"Kamu mau ewean sama Asep, ya?" bisik Tina membuatku jengkel. Reflek aku mencubit pahanya agar tidak membuka mulut.

"Aduh, sakit..!" teriak Tina kesakitan oleh cubitanku. Setidaknya itu sebuah pelajaran agar tidak mengaitkan semua hal dengan ewean.

"Yuk, kita jalan sebelum ada yang lihat.?" seruku ke Asep yang langsung mendahului berjalan mendekati Makam Pengantin.

2 meter sebelum makam pengantin ada swbuah jalan setapak yang menuju ke tepian sungai. Jalan yang nyaris tidak pernah dilewati saat malam hari. Di tepi sungai ada sebuh gubuk yang sering digunakan untuk beristirahan setelah lelah bekerja di sawah. Ke sanalah tujuan kami. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari penemuan golok ayahku. Tepatnya di seberang dolok ayahku di temukan.

"Klm, mau ngapain kita ke sini?" tanya Ecih memegang tanganku yang berjalan lebih dahulu mengikuti Asep. Jalan yang kami lalui hanyalah jalan setapak sedangkan di kiri kanan jalan ditumbuhi pohon pohon liar, jadi kami harus berjalan beriringan.

Bulu kudukku meremang, suasana di sekeliling kami begitu mencekam membuat bulu kudukku berdiri tanpa dapat kutahan. Aki berusaha mengatur nafasku sehalus mungkin untuk mengusir rasa takut. Ecih semakin kencang mencengkeram pergelangan tanganku.

"Kom, mau ewean aja nyari tempat serem...!" seru Tina pelan, tapi di tempat seperti ini suara ranting jatuhpun akan terdengar. Aku yakin Asep pasti mendengarnya. Dasar mulut ember. Makiku dalam hati..

"Biar gak ada yang ngintip." timpal Asep membuatku tersipu malu. Kenapa juga aku harus tersipu malu. Harusnya perkataan Asep adalah pelecehan, tapi kenapa aku menyukainya.

"Tuh kan Kokom...?" seru Tina yang merasa dugaannya benar.

"Bisa diam gak sich, kamu?" bentakku. Suaraku terdengar nyaring membuatku terkejut dengan suaraku sendiri. Suasana yang tadi mencekam hilang dalam sekejap oleh percakapan kami yang saling bersahutan.

"Udah sampe..!" bisik Asep mengingatkan. Di hadapan kami ada sebuah gubuk yang kadang kala digunakan untuk sholat. Tempat ini lebih terbuka karena sudah dekat dengan hamparan sawah yang terletak di seberang kali. Ada sebuah jembatan kayu untuk menyeberang. Sebenarnya tempat ini menurutku aneh, kenapa gubuk tidak di bangun di seberang agar orang yang habjs bekerja di sawah tidak perlu bersusah payah menyebrangi jembatan bambu yang terdiri dari empat buah bambu yang disatukan.

Asep segera masuk diikuti kami. Gubuk ini terbuat dari bambu yang diambil dari pohonnya yang banyak tumbuh di sekitar sinj. Tidak ada tikar, hanya sebuah bale bambu yang sudah mengkilap karena seringnga bergesekan dengan pantat orang yang duduk.

"Sekarang kita mau ngapain di sini?" tanya Asep dengan suara yang agak bergetar.

Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena gelap. Kami seperti bayang bayang hitam. Tapi aku yakin, Asep tentu gelisah san berpikkr mesum karena duduk bersama tiga primadina desa di tempat seperti inj. Mungkin aku akan memberinya hadiah keniatan dari salah satu sahabatku atau mungkin aku sendiri yang akan memberinya kenikmatan sebagai hadiah. Tapi itu nanti setelah urusanku zelesai.

"Begini Sep, akj curiga Mang Gandhi yang membunuh ayahku. Cpba kamu perhatikan gerak gerik Mang Gandhi, siapa tahu ada sesuatu yang mencurigakan dan bisa kita gunakan sebagai bukti." kataku mulai membagi tugas.

"Baik, kebetulan aku disuruh Bu Haji buat ngebantuin Mang Gandhi bikin kandang bebek." kata Asep membuatku lega. Aku percaya dengan kegesitan Asep dan sepertinya dia cukup cerdas dalam mengambil keputusan. Terbukti dia tidak mengambil golok ayahku yang berada du sungai. Kalau saja dia mengambil golok itu tanpa sepengetahuan orang, maka kecurigaakln akan tertuju ke dia sebagai pelaku pembunuhan ayahku.

"Kamu Tin, coba kamu deketin Mang Gandhi. Kamu cerita tentang kematian ayahku yang gak wajar. Ingat, kamu cuma cerita tentang kematian ayahku, bukan bertanya siapa pembunuh ayahku." kataku memberi tugas je Tina. Tugas yang kuanggap cocok untuk Tina si mulilut ember. Dia paling suka bicara tentang banyak hal tanpa pernah mencari tahu hal itu bisa terjadi.

"Ak mau, nanti aku diewe Mang Gandhi...!" kata Tina cepat.

"Kan kamu paling seneng ewean...?" kataku tenang. Tina bicara begitu cuma di bibirnya dan tidak akan lernah menolak apa yang aku suruh.

"Iya, tapi kan Tina pengen ewean sama yang muda." jawab Tina lirih, seolah Asep tidak ada di tempat ini. Dasar itak mesuk, aku tahu yang dimaksud Tina pengen ewean dengan yang muda pasti maksudnya Asep.

"Och Tina sudah pernah diewe Mang Gandhi?" tanya Asep heran. Tangannya menowel pahaku. Gipa, si Asep ternyata tertarik mencoba memek Tina.

Aku melihat ke arah Tina yang mengangguk pelan. Suasana yang gelap membuat anggukannya tidak begitu terlihat. Tapi jarak kami yang begitu dekat melihatku bisa melihat gerakkan kepalanya.

"Tugasku apa?" tanya Ecih yang belum mendapatkan tugas dariku.

"Kamu korek keterangan dari ayah kamu, siapa saja yang membenci ayahku. Dengar semua gosip tentang keluargaku siapa tahu ada petunjuk." kataku senang karena bisa membagi tugas di antara kami. Ya, aku adalah pemimpinnya.

Sekali lagi Asep menowel pahaku. Sebuah isyarat yang sangat jelas.

"Kenapa, Sep? Kamu mau nyobain memek Tina apa Ecih?" tanyaku santai.

"Kokom, apa apaan, aich pake nawarin memek Ecih. Kenapa gak kamu tawarin memek kamu aja..!" kata Ecih sok jual mahal, padahal mau.

"Memek aku aja.!" Tina menimpali ucapan Ecih membuatku tersedak dan batuk dengan keras. Aku berusaha menahan batukku agar tidak berlarut larut, takut ada yang mendengarnya.

"Gelo, si Tina udah gatel pengen diewe." kata Ecih melotot mendengar Tina terang terangan mengobral memeknya. Harga dirinya sudah dicampakkan begitu saja.

"Enak...!" jawab Tina cuek. Tiba tiba kami mendengar suara dari seberang kali membaut mulut kami semua terbungkam tidak berani mengeluarkan suara.

Tiba tiba Asep mencolek pahaku lagi dan kali ini bukan sebuah isyarat mesum. Samar samar aku melihat jari telunjuknya di mulu lalu menunjuk jalan dari mana kami datang. Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. Aku menarik tangan Ecih dan menowel Tina agar mengikutiku kembali ke jalan yang kami lalui tadi. Tapi belum juga kami berjalan sebuah teriakkan mengurungkan langkah kami

"Hei, siapa itu?" teriakkan itu begitu kencang menghantam jiwaku, membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Dengkulku gemetar dan kedua kakiku seperti tertanam di tanah sehingga tidak mampu digerakkan.

"Saya...!" teriak Aswp menyahut sambil berjalan ke arah jembatan dengan cepat sebelum orang itu datang ke arah kami.

"Kamu itu, Sep?" tanya pria dari seberang menyorotkan senter ke wajah Asep yang sedang menyeberang. Asep mengangkat tangan melindungi matanya dari lampu senter.

"Iya...! Serab euy....! {Silau )" teriak Asep memperingatkan orang di seberang untuk tidak mengarahkan senter ke wajahnya.

Aku menarik tangan Ecih untuk meninggalkan tempat ini diikuti Ecih yang menarik tangan Tina. Kami berjalan cepat meninggalkan saung sebelum orang orang itu menyadari kehadiran kami. Bisa geger kampung kami kalau ada yang tau tiga primadona desa berada di yempat sepi dengan Asep.

Kami berjalan cepat melintasi jalan setapak yang gelap tanpa bantuan penerangan. Hanya insting kami yang terlatih berjalan di tempat gelap dan rasa takut kepergok orang yang membuat kami bisa melewati jalan setapak dengan cepat.

Kami berhenti setelah berhasil melewati jalan setapak, nafas kami tersengal sengal. Kami berusaha mengatur nafas yang hampir habis.

"Kom...!" bisik Tina menoleh ke arah kanan jalan. Aku ikut menoleh dan wajahku langsung pucat. Kami berhenti tepat di Makam Pengantin.

"Cih....!" kataku dengan suara tercekat. Entah siapa yang mulai, tanpa komando dan aba aba kami berlari secepat kilat meninggalkan makam pengantin.

Tiba tiba aku melihat ada tiga orang yang berdiri di bawah pohon bambu, tiga sosok yang sangat mengerikan. Apakah mereka adalah penunggu tempat ini karena di bawahnya ada pancuran yang konon ditunggu oleh mahluk halus sebangsa jin.

"Jurig.....!" aku berteriak histeris semakin memepercepat lariku diikuti kedua sahabatku.

"Kokom, Ecih, Tina...!" teriak ke tiga sosok itu manggil kami.

Aku semakin mempercepat lariku. Mereka benar benar mahluk halus penunggu yempat ini, buktinya mereka tahu nama kami.

"Kokom, berhenti Kom...!" teriakan Ecih tidak kuhiraukan. Di saat seperti ini seharusnya mereka harus berlari secepat mungkin sebelum tertangkap malhluk halus. Apa jangan jangan Ecih tertangkap mahluk halus.

Belum sempat aku berpikir untuk menyelamatkan Ecih, sebuah tangan menangkap pergelangan tanganku.

"Tolong, tolong emak ada jurig....!" aku berteriak meminta tolong memanggil emakku dan siapa saja yang mendengar teriakanku.

"Kom, ini A Agus..!" kata suara ini memelukku yang terus berusaha meronta. A Agus, apa benar mahluk ini A Agus bukan mahluk jadi jadian yang menyamar jadi A Agus. Tapi kata orang mahluk jadi jadian badannya bau sangit dan yang sedang memelukku bau tubuhnya sangat kukenal.

Aku membaca ayat kursy dengan keras untuk memastikan yang memelukku benar benar A Agus. Setelah aku membaca ayat kursy sebanya tujuh kali, aku baru berani membuka mata dan melihat sosok yang memelukku dan memang benar dia adalah A Agus.

"A Agus..!" seruku heran. Aku menoleh ke belakamg, Ecih dirangkil Mang Ikat dan Tina menggandeng tangan ayahnya Mang Oding. Ternyata tiga sosok yang berdiri di bawah pohon bambu adalah mereka bertiga. Pantas mereka kenal nama kami.

"Kamu kok ketakutan begitu? Abis lihat hantu?" tanya A Agus sambil membslai kepalaku dengan mesra.

"Kok A Agus ada di sini?" tanyaku heran, tidak menjawab pertanyaan A Agus.

"Iya, pulang kerja langsung ke sini. Kata Emak kamu belum pulang. Di sms ga bales. Sms ke Ustadzah katanya kamu sudah pulang. Mang Ikat dan Mang Oding juga dateng nyari Ecih dan Tina. Makanya kami nyari kalian. Paa sampai sini kami lihat kalian lari ketakutan." kata A Agus menjelaskan panjang lebar membuatku merasa malu karena ketakutan melihat mereka.

"Ya sudah Kang Agus, kami pulang dulu...!" pamit Mang Ikat disusul oleh Mang Oding berpamitan.

Sampai rumah aku disambut wajah cemas ibu yang langsung memelukku.

"Kamu ke mana, pulangnya telat?" tanya ibu sambil melepaskan pelukannya dan memperhatikan sekujur tubuhku yang tidak kurang apapun.

"Tadi ada perlu ke rumah ,Teh Euis." kataku berbohong. Kebohongan yang jarang aku lakukan.

"Sekali kali si Kokom dihukum mak, biar gak seenaknya." kata A Agus membuat sekujur tubuhku merinding mendengar kata hukuman. Kata yang membuatku bergairah. Entah kenapa birahiku sangat mudah terpancing oleh dua hal, kata hukuman. Ya, kata itu bagiku identik dengan sex, menghisap kontol dan menelan pejuhnya. Ke dua, bau tubuh pria, mampu membuat nafsuku bangkit tidak terkendali.

"Jangan begutu, Gus. Ini kan adek kamu." jawab ibu menuntunku masuk ke ruang tamu. Ibu mengajakku duduk di sampingnya.

Aku menunduk gelisah mengharapkan A Agus benar benar menghukumku dengan hukuman nikmat, menghisap kontolnya dan menelan pejuhnya yang sangat gurih. Baunya yang has mampu membuatku melayang.

"Pokoknya si Kokom harus merasakan gimana rasanya dihukum." jawab A Agus tegas.

"Dihukum apa, Gus?" tanya ibu berusaha meredakan kekesalan A Agus yang tiba tiba berdiri di hadapanku dan ibu.

"Dihukum pake, ini...!"/seru A Agus menurunkan celana trainingnya sehingga kontolnya yang sudah sangat tegang mengacung ke arah wajahku. Aku terbelalak takjub.

"Agus, Emak juga mau kalau dihukum pake kontol Agus...!" jawab Emak meraih kontol A Agus dan menarik ke arahnya. Tanpa minta persetujuan Ibu melahap kontol A Agus dengan bernafsu.

Kelakuan ibu benar benar membuatku jengkel karena telah mensabotase hukuman yang dipersiapkan untukku.

"Emak, Kokom yang mau dihukum, malah direbut Emak...!" kataku setengah membentak

Bersambung
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd