Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
Selow om-om semua, apa yang diambil Pur nanti terjawab koks di sisa-sisa episode ini. By the way, ane lagi hangover nih.

Update untuk malam ini digeser ke kamis ya. Abis itu, sabtu tetep update untuk penghabisan. Stay tune.
 
gila..maraton 2 hari dari episode 1.mata & tangan gak lepas dari gadget..hahaha,,

keren suhu ceritanya.mantab
 
Episode 49
Bukan Begini Akhirnya


POV Purnawarman

Kami keluar bersama-sama dengan banyak angota polisi.

Tiga kawan Hari langsung pergi ke rumah sakit, menjenguk Hari dan Dani.

Akmal gelisah. Gak ada salah satu dari orang yang kami lawan itu yang merupakan adiknya Akmal.

Gue mengamati keadaan ramai malam ini dengan rupa muka orang yang macam-macam. Ada yang kebingungan, ada yang shock, dan ada juga yang marah-marah gak jelas. Mereka menuntut kejelasan kepada siapa atas ketidakjelasan yang sepertinya mereka alami sepanjang waktu tadi.

Kepala gue masih berkunang-kunang setelah sempat pingsan tadi, mungkin lima menitan atau lebih. Laras masih memapah gue dengan sabar, lalu mendudukkan gue di depan salah satu mobil milik polisi.

Air putih, kaleng oksigen, dan barang apapun yang bisa menolong gue, dia bawa silih berganti.

“Capek?” Tanya Laras.
“Banget.”
“Kita harus menghilang cepat. Kekuatan macem tadi bisa mengundang A.T.C.U. dateng. Tugas kita nolong Hari juga udah kelar....”

Laras memberi nasihat dengan sabarnya. Suaranya rendah dan sangat bijak. Bahkan lebih bijak dibanding siapapun motivator ulung yang pernah gue dengar. Mungkin, ini adalah rasa yang tulus yang pernah dia berikan. Sangat menusuk ke dalam hati.

Gue dan dia adalah partner sejak dalam kelas anak-anak Loki. Gak lebih, gak kurang. Ketika gue mencoba bermain-main dengan banyak cewek, dia cerewet. Tapi gue cuek aja.

Kali ini berbeda. Entah keberanian dari mana sehingga gue bersumpah dalam hati untuk terus ada buat dia. Laras dan gue adalah...

“Tadi apa yang lu ambil dari mereka?” Laras memotong lamunan.
“Apa?”
“Waktu quicky. Apa yang diambil?”

Gue tersenyum tertahan.

“Cinta.” Balas gue.
“Seriusan ah.”

Gue cuma sanggup meneruskan tawa. Raut lucunya saat gue buat dia kesal itu menjadi berbeda dari biasanya.

Apapun itu, entah karena efek dari api abadi yang gue hirup, atau kebohongan bersama kami saat berpura-pura menerima perintah cewek gila, membuat gue merubah segala pandangan gue terhadap Laras. Mungkin inilah akhirnya.

“Apa?” Laras memotong lagi.
“Apa?” Balas gue.
“Ih. Gak gue tolongin lagi nih.” Ancamnya.
“Iya, iya. Gue bakar semua obat-obat di dalam tubuh mereka.”

Begitulah yang gue lakukan tadi. Terdengar sepele dibanding mengangkat nyawa mereka satu demi satu. Tapi kami sekali lagi bukanlah pembunuh. Kami memang harus bertahan hidup sejak rumah kami, Asgard, diberitakan hancur. Tapi, mengambil nyawa bukanlah hak kami.

Jadi, gue berbuat sebaliknya. Membakar obat-obatan terlarang itu akan menolong semua orang, termasuk pacandunya sendiri. Efek utama dan sampingnya pasti akan hilang, dan kematian akibat kecanduan obat-obatan terlarang pasti tidak akan menghampiri ketujuh orang itu.

Laras menarik nafas, sepertinya dia lega akan sesuatu. Kemudian, Laras membalas gue hanya dengan tersenyum. Gue balaslah dia dengan tersenyum juga.

Tubuh kami mendekat satu sama lain. Lalu melekatlah badan gue kepadanya dalam dekapan yang penuh rasa.

“Pur, Laras, saya punya satu permintaan.” Tiba-tiba Akmal menghampiri.

Gue agak tengsin jadinya.

Akmal, dengan wajah tidak puasnya, ingin sekali menemui Jenggo secepat mungkin. Ini tindakan ilegal di luar operasi satuannya. Tapi dia memilih resiko tersebut. Apalagi kalau bukan untuk mencari adiknya.

Menemui Jenggo setelah pagi akan lebih sulit dibanding sekarang. Penjagaannya pasti lebih ketat daripada ketika situasi kacau seperti sekarang.

“Tugas kita belum selesai, kalo gitu.” Laras mengangkat bahu.

Laras beraksi sekali lagi dengan pedang dan portalnya. Kami pun berpindah dari TKP rumah tersangka, menuju sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta Selatan. Kami bertiga sampai langsung di dalam gedung, tepatnya di pantry. Pada jam-jam segini, ruangan ini gak sibuk. Pilihan yang tepat dari Laras.

Sebelum keluar ruangan, gue dan Laras menyamar menjadi keluarga seorang pasien. Gak ada lagi zirah dan jubah. Kami beralih dalam balutan kaos casual dan celana jeans. Ditambah dengan wajah lunglai sebagai efek menunggu pasien sehari semalam.

“Ayo.” Gue menuntun Akmal.

Pastinya Akmal juga menganggalkan seragamnya, meski dia gak bisa berganti pakaian seperti kami dalam satu jentikan jari.

Kami menuju resepsionis untuk mencari pasien yang baru masuk sini beberapa waktu lalu. Sayangnya, kami gak tahu nama asli Jenggo. Inilah penghambat kami selanjutnya.

Gue harap kami sampai di rumah sakit yang tepat.

---

POV Hari

Kepala gue pening. Di mana gue ini? Kok tercium bau obat di mana-mana?

“Selamat malam, bapak Hari.” Sahut seorang perempuan. Ibu-ibu.

Gue menoleh ke kiri. Ada perempuan di sana. Dia berdiri dengan pakaian serba biru. Gue pun makin berusaha menganalisis apa yang sedang terjadi. Beralih ke sisi kanan, ada korden dengan warna senada dengan pakaian si perempuan. Sayup-sayup terdengar juga keberisikan dari orang-orang.

Gue menyerah. Bertanya lebih gampang.

“Saya di mana?” Tanya gue.
“Bapak ada di UGD. Tadi dibawa oleh polisi bersama teman perempuannya juga.”

Penjelasan yang sangat jelas. Berarti dia perawat.

Gue hilang kesadaran saat gue berontak dibawa ke luar rumah. Begitu cerita singkatnya kenapa gue bisa berpindah ke atas kasur tinggi ini. Dan Dani, dia ada sebelah gue, tapi terhalang korden. Dari heningnya, gue tebak dia masih pingsan.

“Atas permintaan kepolisian, bapak Hari dan ibu Dani segera dipindahkan ke ruangan lain ya.” Kata si perawat.

Gue mengangguk lemah. Gak ada yang bisa gue perbuat sekarang dengan tubuh selemas ini, Perlindungan saksi yang diberikan polisi ini satu-satunya pilihan yang ada untuk sekarang.

Gue tadi itu bertindak gegabah. Harusnya sejak awal gue tetap pada tujuan menolong Eda. Tapi, begitu melihat Jenggo tepat di depan mata, gue langsung kalap. Padahal, gue udah mencoba meredam amarah dan dendam sejak kejadian di Bawean. Gue gak mau membahayakan teman-teman lagi. Nyatanya tetap aja gue masih menyimpan dendam kesumat.

"Kita jalan ya pak." Panggil si perawat dengan ramahnya.

Kasur gue perlahan bergerak karena didorong oleh beberapa orang. Sekilas gue melewati tempat Dani dan melihatnya. Dia masih tertidur dengan selang infus yang menusuk ke tangan kirinya. Dia tampak sangat rentan saat tidur seperti itu.

Gue merasa bersalah kepada Dani. Gue gak mau mendengar saat dia berusaha menahan gue ketika ingin membunuh Jenggo. Amarah gue nomor satu waktu itu, apalagi ketika Jenggo memakai kekuatan nyokap.

Kabar terbaru soal Eda, Jamet, Jennifer, dan Kak Rivin pun gue belum tau. Apakah mereka terlibat bahaya atau selamat. Apakah mereka hidup atau terluka, atau mati... Membayangkan yang terakhir itu membuat gue makin kalut.

“Sudah sampai ya, Pak Hari. Nanti ada polisi yang berjaga di depan pintu. Silahkan istirahat.” Titah sang perawat.

Mata gue menatap pada langit-langit. Hampa. Rekaman atas kejadian sejak tadi sore terus berputar berulang kali. Kenapa gue meluap-luap saat melihat Jenggo? Kenapa gue lupa sama Jamet? Kenapa gue gak memprioritaskan menolong Eda dan yang lainnya?

Gue, kalo bisa, ingin punya mesin waktu khusus hanya untuk mengulang hari ini.

Tapi, coba lihat sisi baiknya. Hari ini Erna gak ikut dalam bahaya.

What the fuck! Yang terputar selanjutnya adalah kesalahan gue akibat gak bisa menjaga Erna dalam aksi di Bawean. Jadi, gak ada yang baik dari dalam gue sekarang. Semua orang yang dekat dengan gue selalu terancam keselamatannya.

Tiba-tiba pintu kamar gue terbuka. Gue melihat seorang dibawa ke kamar yang sama dengan gue. Dia di atas kasur itu dengan mata yang setengah terbuka. Dia Dani.

Bagaimana gue bisa menatap Dani sekarang?

Pesan yang sama diberikan dari perawat kepada Dani. Ada polisi yang berjaga bla bla bla. Kemudian, perawat itu meninggalkan kami berdua. Sangat lama, semalaman suntuk kami akan berdua seperti ini.

Gue diam.

Dani diam.

Gue menoleh sedikit. Gue tau Dani gak benar-benar tidur.

“Dani.” Gue mencoba buka suara.
“Jangan...”
“Gue minta maaf. Sumpah, gue salah. Please.”

Kami berdua sama-sama lemas. Berdebat dengan tenaga hanya akan membuat energi kami terkuras tak bersisa. Dani pun sadar itu.

“Lu gak punya niat nolong temen.” Dani tepat menikam gue.
“Iya.” Gue merendah.
“Lu mau bikin kita semua mati.” Kata Dani lagi.
“Nggak... O-oke, iya.”
“Lu bahkan gak peduli sama gue.”

Kalimat yang satu itu gak bisa lagi gue bantah. Dani menunjuk dirinya sendiri secara personal. Itu membuat rasa bersalah gue semakin menggunung. Rasanya sejuta permintaan maaf dikali sejuta, dikali sejuta lagi, gak akan sanggup merubah pendapat yang barusan terlontar itu.

Gue bahkan tau Dani gak lagi PMS, itu berarti apa yang diucapkan benar-benar dari lubuk hatinya. Ke mana janji gue kepada Dani untuk saling menjaga. Dani benar, sesaat itu, gue gak peduli dengan dia dan keselamatannya. Gue hanya peduli atas ego besar gue sendiri.

Gue gak berhak ada di antara teman-teman gue sejak mendapat kekuatan ini. Bukan, ini bukan kekuatan. Ini kutukan. Inhuman adalah korban eksperimen Kree yang sepatutnya mati. Kami ini cuma produk senjata pemusnah yang gagal pada masanya.

Salahkan siapa lagi? Udah cukup gue menyalahkan siapa-siapa. Cukuplah gue menyalahkan diri sendiri sesalah-salahnya.

“Dani, setelah ini selesai. Gue minta kita jangan deket-deket lagi...” Kata gue.
“Itu bagus.” Dani memotong, tegas.

Bagus. Sangat bagus. Kami sepakat untuk yang satu ini.

“Soal A.T.C.U...” Gue bicara lagi.
“Gue udah tau ceritanya. Lu gak berhak ngambil keputusan buat orang lain! Lu gak berhak nentuin apa-apa! Lu itu... Lu itu... hhhaah... hah...”

Dani meledak seketika, lalu sesingkat itu pula nada bicaranya melemah. Nafasnya dengan habis dengan cepat. Pasti butuh tenaga untuk teriak seperti tadi. Butuh keinginan yang kuat, dan pastinya itu keinginan untuk marah karena gue dalam posisi yang salah.

Dia ingin gue pergi sejauh-jauhnya.

“Segera. Gue akan menghilang. Segera.” Kata gue, lemah.

Dani selanjutnya memilih membuang badan dari hadapan gue. Dia berbaring miring dengan punggung yang dipajang besar-besar. Dengan ini, gue aminkan bahwa pernyataan gue diterima olehnya sepenuh hati.

Harusnya ini hari-hari yang indah karena gue udah keluar dari A.T.C.U. Tapi, cukup karena satu tindakan kecil atas nama dendam, gue merusak segalanya. Pertemanan, kepercayaan, hingga kehormatan jadi hal yang telah dikorbankan akibat hasrat gue yang menggebu-gebu dalam jalan yang salah.

---

POV Purnawarman

Ini adalah rumah sakit yang tepat.

Dengan perawakan yang disebutkan dengan detail oleh Akmal tadi, kami tau di kamar mana Jenggo dirawat. Sayangnya, kami datang dalam waktu yang tidak tepat. Jenggo sedang menjalani operasi karena kakinya ditusuk pisau dan lukanya disebutkan fatal.

Kami terpaksa menunggu layaknya keluarga yang khawatir. Sedikit akting kami keluarkan untuk memberi pengaruh kepada orang-orang lain yang ikut menunggu keluarganya masing-masing, bersama kami. Meski begitu, raut alami Akmal yang gak sabaran masih tergambar jelas.

“Akmal, minum?” Gue menawarkan.
“Boleh.” Jawabnya.

Sebotol air langsung habis begitu aja ke dalam kerongkongan Akmal. Dia panik dan mengalami dehidrasi. Gak bagus.

“Kita terobos aja apa?!” Akmal berseru.

Orang-orang menoleh kepada kami bertiga.

“Sstt!! Kalem, kalem, ayah kamu pasti kuat. Dokter di sini juga hebat reputasinya. Percaya aja ya. Berdoa yang banyak.” Kata Laras, dia berakting.

Akmal malu sendiri setelah sadar sedang dilihat oleh orang-orang. Dia kemudian mencoba menenangkan diri dengan mencoba duduk, setengah berjongkok, bersandar pada dinding rumah sakit.

Jendela di seberang kami memberi nuansa malam yang melelahkan. Suasana kota Jakarta yang masih macet itu meski telah lewat tengah malam sangat melelahkan. Kami semua lelah.

“Operasinya masih lama. Tengok Hari dulu gak?” Tawar Laras.
“Laras bener, kalian coba cari Hari deh.” Sahut Akmal.

Gue dan Laras saling lihat.

“Oke, ayo kalo gitu.” Timpal gue.
“Gue gak ikut, pasti ada polisi yang jaga. Gue gak boleh kelihatan ada di sini.” Kata Akmal.

Akmal benar. Lalu kemudian, Laras dan gue memang memiliki ide untuk bergilir mencari dan menjenguk Hari, kalau bisa. Tapi Akmal bersikeras agar kami pergi berdua. Maka, dia memberi jaminan agar gak macam-macam kalau ditinggal sendirian di sini.

Jelas kami gak setuju. Gue lebih baik pergi sendirian.

Gue akhirnya benar-benar sendiri, berjalan dalam lorong menuju resepsionis untuk mencari pasien atas nama Hari Fiddi Lasya dan Persadani Putri.

Dari resepisonis, gue mengetahui bahwa mereka berdua mendapat perlakuan khusus, termasuk jam besuk. Ada polisi yang berjaga di depan kamar mereka. Mungkin gue bisa bernegosiasi untuk bisa melihat mereka sebentar.

Kamar Hari dan Dani ada di lantai lebih atas dari sini. Jadi, gue menaiki lift hingga dekat sekali dengan lantai teratas rumah sakit ini.

Tiba-tiba gue mendengar dengungan baling-baling helikopter. Desingannya keras, meski cuma gue dan Laras akibat pendengaran super. Ini bahaya, karena di atas sana, di rooftop, gue bisa merasakan hawa membunuh yang kuat. Pasti A.T.C.U. yang datang. Pasti ada Nicole di sana.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Thx updatenya hu
ATCU mau interogasi atau melenyapkan eks agennya nih?
Buruan Pur bantuin Hari dan Dani
 
dani oh dani...
janganlah engkau membenci hari....
 
Hari ini update ya suhu ? Kesel dah nenek lampir nicole balik lagi wkwkwkw
 
Waaw maaf ya jadi pada menunggu. Tiba-tiba jadwal memadat dengan sendirinya hahaha.

Ane juga sedang menggarap cerita yang memuncak di episode terakhir ini. Mohon bersabar yaa demi hasil yang sempurna. Semoga akhir pekan ini bisa selesai, tapi belom janji nih.
 
Ah selesai juga marathon dari season 1 sejak seminggu yg lalu, curi baca-baca di kantor haha.

Baru ngeh cerita sebagus ini ada di semport. Ga sabar episode terakhirnya.

Btw episode terakhir besok masih ada season selanjutnya ga ya suhu?
 
Waaw maaf ya jadi pada menunggu. Tiba-tiba jadwal memadat dengan sendirinya hahaha.

Ane juga sedang menggarap cerita yang memuncak di episode terakhir ini. Mohon bersabar yaa demi hasil yang sempurna. Semoga akhir pekan ini bisa selesai, tapi belom janji nih.
Wah.. bakalan seru nih...
O.K. suhu @Robbie Reyes ane siap dan tetap menunggu
 
Waaw maaf ya jadi pada menunggu. Tiba-tiba jadwal memadat dengan sendirinya hahaha.

Ane juga sedang menggarap cerita yang memuncak di episode terakhir ini. Mohon bersabar yaa demi hasil yang sempurna. Semoga akhir pekan ini bisa selesai, tapi belom janji nih.

siap suhu,,
 
Bimabet
Siap suhu, sesempetnya aja
Sy selalu sabar menanti
Waaw maaf ya jadi pada menunggu. Tiba-tiba jadwal memadat dengan sendirinya hahaha.

Ane juga sedang menggarap cerita yang memuncak di episode terakhir ini. Mohon bersabar yaa demi hasil yang sempurna. Semoga akhir pekan ini bisa selesai, tapi belom janji nih.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd