Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
Episode 47
Ribut-Ribut


POV Purnawarman

Gue pernah melihat makhluk Kronan, Chitauri, planet penuh bebek yang bisa bicara, sampai orang-orang Xandar yang warna kulit mereka itu warna-warni. Gue pernah melihat kemampuan aneh-aneh yang dimiliki makhluk dari sembilan dunia, meski pada nyatanya mereka mahkluk kosmik biasa. Raksasa Frost Giant spesiesnya Loki pun lebih pernah gue lihat, kan beberapa waktu lalu kami menangkap Sherly.

Di Midgard, gue sering melihat sulap, hipnotis, sampai gendam. Juga semua kegiatan yang baik melalui metode hipnoterapi pernah gue lihat cara kerjanya. Juga hal-hal ghaib yang dikerjakan paranormal.

“HAAH!” Si botak mencoba memukul gue lagi.

Tapi baru kali ini gue melihat yang seperti ini. Manusia, tanpa aba-aba atau apapun, menyuruh orang lain dan mereka mau menurut begitu aja. Semua orang menurut apa yang dikatakan si cewek itu, kecuali gue.

Ini lumayan mengejutkan pada awalnya, tapi akhirnya biasa aja.

Gue bukan manusia sendiri di sini, sepertinya. Jadi, gue bisa berasumsi bahwa ilmu sakti si cewek cuma berpengaruh pada spesies yang sama. Artinya, gue lah yang hanya bisa menghentikan dia.

“MATI LO!” Kali ini vas bunga coba dilempar ke kepala gue.

Serangan dari tiga arah terus gue terima dari ketiga musuh. Mereka lah lawan gue yang diperintah cewek itu.

Mereka beringas. gak ada keraguan dari pancaran mata mereka untuk membunuh gue. Tekad mereka jelas sekali udah bulat untuk menyelesaikan kericuhan ini. Jadi, gue gak perlu banyak mikir lagi.

Si botak menyerang gue lagi dari depan sambil berlari. Gue memilih menunduk, lalu mengangkat dia dan membantingnya ke belakang. Lemparan gue tepat mengenai satu lagi rekan mereka sehingga tertiban. Gak ada ruang yang lebar di basement ini, maka melempar mereka ke rekannya supaya menghalangi jalan itu ide bagus.

Seorang lain, yang paling besar dari mereka, yang bermata sipit itu, mengambil kesempatan untuk menggebuk gue menggunakan balok kayu. Kepala belakang gue terhantam, tapi balok kayu itu putus menjadi dua.

Sebenarnya itu lumayan sakit. Boleh juga kekuatan ayunan lengan si mata sipit.

Gue menyingkir satu hingga dua langkah. Memakai baju zirah dalam keadaan yang kalah jumlah begini jelas efektif. Hanya aja, gue gak munculkan helm tadi karena meremehkan.

Si muka arab bangkit. Lalu dia meraih lengan gue untuk ditarik. Sayangnya, di gagal karena tenaga gue lebih kuat. Gue balik menarik dia untuk menghantam hidungnya berkali-kali.

Seru menonjok hidung yang mancung, tepat di bagian tulangnya. Darah bisa cepat keluar dan korban pasti langsung terasa pusing. Apalagi, semakin lucu ngeliat hidungnya yang mendadak belok itu.

“Ngaah..” Si arab sulit bersuara.

Maka, gue pukul dia tepat di ulu hati hingga pingsan. Lalu gue lempar ke si mata sipit sampai dia terjatuh juga.

“Girls! Kita ritual sekarang! Cepet!” Itu suara si cewek hipnotis.
“Tapi cowok-co...” Balas rekannya.
“Mereka bisa selamat kalau ritual selesai.” Balas cewek hipnotis lagi.

Gue menoleh. Si cewek hipnotis dan teman-temannya terburu-buru memakai kimono berwarna merah. Gue akui itu pakaian yang seksi dibalik badan telanjang mereka. Tapi, gue gak bisa lama-lama sibuk melihat adegan itu.

Kini gue satu lawan satu melawan si botak. Dia gak belajar dari temannya yang terus menerus jatuh. Itu tentunya akibat perintah bunuh-membunuh si cewek hipnotis. Si botak terus menantang gue bersama kepalan tinjunya.

“Kalo lo laki, lepas cosplay lo, hah!” Tantang si botak.
“Ide bagus.”

Gue menghentikan serangan agar dia berhenti juga. Adil buat dia untuk berhenti saling pukul ketika lawan gak siap. Tapi, sayangnya, setiap pertarungan itu gak ada kata adil dan gak adil. Apalagi gue dari awal sendirian.

Gue gak jadi menghilangkan baju zirah gue. Gue lebih memilih melempar benang gue ke leher si botak, selayaknya tali laso. Dia pun tertarik ke arah gue sambil tercekik. Kemudian, dengan sekali hantam di bagian belakang leher, dia gak sadarkan diri seketika.

Si sipit telat menghadapi gue. Tinggal dia sendiri karena dua temannya udah tumbang. Tapi, berita bagusnya mereka gak mati. Gue bukan pembunuh.

Kali ini gue mendengar komat-kamit para cewek. Laki-laki yang mau ditolong temannya Hari itu udah berbaring di dalam peti mati. Satu belati dipegang si cewek hipnotis dan sepertinya siap untuk ditancapkan.

Sedang apa mereka itu.

“Tania sama Dwi bantu Samuel. Dari sini gue bisa sendiri.” Si cewek hipnotis bertitah lagi.

Berita bagusnya, gue akhirnya tau si mata sipit itu namanya Samuel. Berita buruknya, gue kembali menghadapi tiga orang. Sial lah.

Lalu, tiba-tiba beberapa orang mencoba turun ke basement sini. Sayangnya, mereka terhalang dua teman Hari yang cowok-cewek itu karena mereka berdiam tepat di anak tangga. Selain itu, makin banyak suara terdengar dari atas sana. Sepertinya banyak warga yang mulai masuk ke dalam rumah.

“Ngerepotin, anjing.” Kata si cewek hipnotis.

Dia lalu berjalan ke arah tangga. Terdengarlah teriakan parau yang berisikan perintah supaya mereka yang di atas gak boleh turun ke bawah. Sekali pun ada yang mecoba turun, harus sebisa mungkin ditahan oleh orang yang lainnya dengan cara apapun.

Orang gila.

---

POV Hari

Orang macam apa gue ini sampai mau nurut sama orang asing. Tapi gue sangat ingin! Apalagi barusan ada teriakan perintah lain. Pasti dari cewek itu, karena semua kegiatan orang-orang mendadak terhenti di depan tangga.

“Akmal udah aku telepon. Dia polisi ya?” Tanya Kak Rivin.

Dani cuma mengangguk. Dani baru aja menembak ke arah yang kosong sampai amunisinya habis. Itu supaya semua orang bisa lewat dengan aman ke arah depan Dani.

“Ini kalian gimana? Mau digotong aja apa?” Tanya bapak-bapak.
“Ambil pisau saya, Pak.” Kata gue.

Kemudian, beberapa orang menolong melepas pisau gue dari genggaman tangan. Itu sekaligus memberi rasa aman Jenggo dari maut. Tapi, darah dari kakinya masih terus mengalir. Jenggo pun gak bisa dievakuasi karena gue masih ada di atas badannya.

“Nghhh... nghhh...” Suara nafas Jenggo.

Gue melihat Jenggo dengan penuh dendam, amarah, tapi sekaligus mengiba. Anaknya sendiri mengabaikan dia. Masalah keluarga panjang sepertinya.

“Itu.. Virus.. hhh...” Suara Jenggo.

Gue tergoda untuk bertanya.

“Virus apa?” Gue akhirnya bertanya.
“Kami impor obat ilegal... stimulan.. eksperimen manusia super.. Lalu sampailah satu sampel.. nghh...”

Gue menyimak Jenggo di setiap kata-katanyanya.

“Sampel virus... dari luar sana.. Mereka bilang dapat dari... nghhh.... ini sakit...” Jenggo meringis atas kakinya yang sakit.

Jelas itu sakit. Bagian yang gue tusuk tadi pastilah tendonnya. Mungkin sampai ke bagian sendi dan juga tergesek di tulang. Gue pernah dengar dari satu kuliah, kalau kejadian retak atau patah tulang rasanya bisa menyebabkan sesak nafas. Mungkin itu yang dialami Jenggo.

“Anak saya... nghh... selalu keras kepala. Susah diatur dari kecil, apalagi sejak ibunya meninggal...”

Oh, gue gak butuh curhatan bapak-bapak. Udah cukup sama cerita anak-orang tuanya. Gue terlalu banyak mendengar itu, dari kawan, orang asing, buku, film, bahkan seminar motivasi. Cerita berulang bukan lagi membuat gue mengiba atau menangis. Itu justru membuat gue kehilangan simpati.

Bahkan untuk diri gue sendiri yang ditinggal orang tua dengan cara tragis.

Gue butuh informasi siapa dan apa yang dialami anak Jenggo ini. Jelas sekali ini potensi tindak kejahatan yang berbahaya kalau semakin diteruskan. Apalagi sekarang ada keterlibatannya sama temen-temen gue.

“Fokus sama virusnya.” Gue memotong Jenggo.
“Virus itu.. Hah... dari mayat Kilgrave...”

Kilgrave. Gue kayanya pernah tau nama itu. Entah di mana, mungkin berita di tivi, youtube, atau instagram. Seorang bernama siapa tadi itu, dibunuh sama pahlawan jalanan di New York. Rumor di mana-mana.

Perdagangan obat-obatan ilegal semakin bahaya sekarang ini. Gue memahami itu dari Jenggo. Bahkan dia juga jual-beli obat dengan perusahaan luar. Masalahnya, ini berbahaya karena adiktif, tapi dengan cara berbeda dibanding narkoba.

Obat-obatan manusia super ini gak disetujui undang-undang atau pun ikatan dokter dari negara manapun. Tapi pasiennya semakin banyak karena keinginan mereka sendiri atau janji-janji manis. Mereka melihat Iron Man yang bisa terbang serta para pembasmi kejahatan lain yang namanya menjadi besar. Mereka ingin seperti itu.

Atau karena butuh uang. Atau sebagai pelarian, kaya cerita adiknya Akmal.

“Sekarang anak lo mau apa?” Tanya gue lagi.
“Namanya Alicia.” Kata Jenggo.
“Alicia.” Gue mengulangi.

Jenggo mengaku bahwa dia gak tau menahu. Bagian yang dia tau adalah indikasi dari virus miliknya itu. Katanya, virus itu bisa memberikan kemampuan menyebar semacam feromon inangnya ke udara, atau apalah. Dampaknya bisa dilihat, kami semua punya hasrat untuk menuruti keinginan Alicia.

Selain dari itu, ada resiko. Inang yang gak cocok akan rusak dalam jangka waktu panjang. Maka, kalau sebenarnya Alicia gak cocok dengan virus yang menggerogoti tubuhnya itu, dia bisa mati pada waktunya nanti.

Jenggo bukan ilmuwan. Cuma itu yang dia tau soal obat yang dia dagangkan. Selebihnya, dia melempar ke bodyguard cewek yang selalu bareng sama dia. Tapi bodyguard itu gak ada di sini sekarang.

---

POV Dani

“Aku harus gimana lagi sekarang?” Tanya Kak Rivin.
“Kak Rivin sekarang keluar, cari tempat aman. Jaga mobilnya Jennifer.” Suruh gue.

Kami, maksudnya gue, Hari, dan Si Jenggo ini masih diam di tempat. Pada akhirnya, warga gak sanggup lagi menolong kami untuk keluar karena selalu berontak. Di samping itu, gue gak fokus sama apa yang diceritakan Jenggo kepada Hari. Gue lebih fokus sama beberapa mas-mas yang nyoba gotong gue, tapi lebih kaya ngegerepe.

“Mas, kalo ngegerepe lagi nanti saya bunuh juga ya!” Gue mengancam.
“Bisa pergi aja gak dari sini?!” Kak Rivin menambahkan.

Kondisi rumah ini jadi semakin berisik ketika makin banyak warga yang masuk. Sebenarnya orang-orang gak sebanyak itu, karena ini perumahannya orang kaya. Tapi tetap aja kondisi ini berubah drastis dibanding saat sepi waktu kami masih mengintai sore tadi.

Lucunya, mereka gak bisa turun ke bawah di mana keributan lainnya terjadi. Itu berkat teriakan berupa perintah tadi yang dilontarkan si cewek. Jadinya, kami hanya bisa menunggu Akmal dan satuannya datang menolong.

“Jadi, sejak kapan?” Kak Rivin bertanya.
“Kapan apanya?” Gue bertanya balik.
“Semuanya, kenal sama cosplayer, bisa bela diri, punya pistol...”
“No comment.” Gue cepat-cepat memotong.

Kak Rivin beralih bertolak pinggang. Nafasnya memendek, dan matanya menyorot tajam kepada gue. Itu jelas gestur untuk orang yang gak puas dengan jawaban barusan.

“Banyak orang di sini.” Gue klarifikasi.
“So, apa yang bisa dikasih tau sekarang?” Tanya Kak Rivin.
“Sekarang kita mau nolong Eda.”

Kak Rivin menganga. Nah, dia baru ingat apa yang harusnya kami lakukan disini. Lalu, dia bertanya apa yang harusnya ditanyakan dari awal. Di manakah keberadaan Eda?

Eda harusnya ada di basement, karena semua orang turun ke bawah dari tadi. Itu termasuk Jamet dan Jennifer. Coba dengar juga samar-samar keributan di bawah itu. Pasti keadaan Eda lebih bahaya daripada kami di sini sekarang.

Terdengarlah raungan sirine polisi di luar, di jalanan.

“Polisi udah datang, sekarang jagain mobil Jennifer aja kak.” Suruh gue.

Kak Rivin akhirnya pergi ke luar.

Beberapa saat kemudian, segerombolan polisi datang. Mereka melihat kami bertiga yang diam di tempat dan terheran. Apa yang dilakukan warga tadi, dilakukan lagi oleh para polisi untuk memindahkan kami. Apa-apaan mereka mau memindahkan gue dari sini!

“Nggak! Nggak boleh! Gue harus di sini!” Itu Hari yang teriak-teriak.
“NGGAK BOLEH!” Suara gue lebih keras lagi.

Cuma Jenggo yang mau berontak, tapi udah lemas.

Perbedaannya sekarang adalah, para polisi lebih kuat untuk mengangkat kami. Satu per satu, termasuk Jenggo, berhasil diangkut keluar. Khusus Jenggo, dia dibawa menggunakan ambulans. Senjata gue disita untuk barang bukti di TKP.

“APAAN NIH?!! NGGAK BISA?!” Gue makin histeris begitu mereka berhasil membawa gue keluar rumah.

Susah payah mereka membawa gue. Harusnya gue masih di dalam rumah sana, diam di tempat. Sekarang gue malah diborgol pula di dalam mobil polisi.

“WOOO!!” Tiba-tiba para warga berteriak dari dalam rumah.

Keributan lainnya terjadi lagi. Pasti akibat perintah si cewek untuk menghindari siapapun turun ke basement. Para polisi didorong keluar rumah oleh semua warga yang berkerumun. Alhasil, ini waktu yang sangat pas. Poilsi sibuk dengan urusan ribut-ribut warga. Jadi, gue buru-buru pecahkan kaca mobil polisi ini, lalu mengambil kesempatan berlari ke dalam rumah.

Tiba-tiba badan gue ditahan seseorang dari belakang. Gue coba gigit tangannya.

Sebuah tusukan menekan sisi kiri leher gue...

Gue melemas... Ngantuk...

“Sorry, Dan.” Itu suara Akmal.

---

POV Akmal

Aku terpaksa membius Dani. Dia berontak terlalu liar, sama halnya dengan Hari di mobil yang lain.

“Ada yang luka, laki-laki paruh baya, empat puluh tahunan...” Suara di walky talky.

Aku mendengarkan informasi itu sampai selesai. Dari situ aku mengetahui bahwa Jenggo lah yang terluka. Jenggo, dia yang bertanggung jawab dengan adikku yang hilang.

Oh, aku benar-benar ingin memukul Jenggo, lalu menginterogasi dia supaya adikku diketahui keberadaannya. Sayangnya, aku sedang berseragam. Itu artinya tugas menjadi nomor satu. Apalagi sekarang ada ribut-ribut akibat bntrokan kami dengan warga.

Mereka dan anggota kami saling dorong tepat di depan pagar. Para warga sebenarnya punya jumlah gak seberapa, tapi sangat anarkis untuk memukul mundur kami. Sebaliknya, kami ditugaskan gak boleh agresif terhadap warga sipil. Ini merepotkan.

“Repot ya?” Laras datang dari pintu ajaibnya.

Dia merujuk pada keributan di depan mata.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Alicia


Talia


Dwi


Rista


Persadani Putri


Jennifer


Rivina Azzahra


Putri Larasati
 
Terakhir diubah:
Thx updatenya hu
Akhirnya Laras kembali juga, semoga Akmal dan kawan-kawannya tidak dimanfaatkan untuk menyerang Pur dan Laras
 
Wih ada yang marathon ya hahaha. Terima kasih, terima kasih.

Kirain peminat cerita fiksi begini sedikit orangnya lho.
 
Episode 48
Einherjar


POV Laras

“Sekarang gimana?” Akmal nanya ke gue.
“Lah, tanya sama komandan lu lah.” Sahut gue.

Yap, benar kan, Akmal harusnya nunggu perintah dari pimpinan satuannya. Bukan gue. Kalaupun gue bisa bersuara, itu hanya memberi masukan apa yang mereka gak ketahui.

Misalnya, kali ini kami bukan menghadapi alien. Ya, meski bakal ada alien-makhluk asing-aneh wanna be, tapi bukanlah itu yang kami lawan. Di dalam sana adalah sekelompok anak muda yang menggunakan obat-obatan super.

Thanks buat Niken yang dipaksa sadar oleh Rosi, di Vanaheim tentunya. Kemudian, dia akhirnya mau buka mulut soal info anaknya Jenggo dan kawan-kawan. Percaya atau nggak, dia punya agenda pribadi selain menjadi tangan kanan Jenggo.

“Saya sedang nyari sesuatu yang kuno. Ada banyak banget hal, salah satu yang saya lihat itu ada buku Gibborim di kamar anaknya Jenggo.” Kata Niken.

Lalu, apa gunanya dia melawan gue sampai muntah darah begitu? Hampir mati overdosis begitu? Padahal dia bisa ngajak kami kerja sama dari awal.

Rosi menemukan jawabannya. Rupanya itu karena efek samping dari obat yang Niken gunakan dalam jangka panjang. Intinya, itu bisa menyebabkan penyakit mental kronis. Pertanyaan selanjutnya, udah beberapa lama Niken mengonsumsi obat macam begitu?

Sayangnya, Niken gak mau jawab.

Mari lihat garis merahnya sekarang. Para dewasa muda di dalam sana pastilah berbahaya dua kali lipat. Mungkin mereka masih tahap awal mengonsumsi obat-obatan super, tapi, ya siapa yang tau seberapa parah penyakit mental yang mereka derita. Apalagi ada virus mematikan milik Jenggo yang hilang, kata Niken.

Sekarang, di hadapan gue ada cekcok mulut antara bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, dan semua warga sipil lainnya terhadap polisi. Jelas ini mengganggu jalannya operasi, buat mereka. Buat gue, ini hal bagus karena resiko korban di dalam sana menjadi berkurang.

“Lu koordinasi dulu sana. Gue masuk duluan.” Gue meninggalkan Akmal.
“Tunggu.” Panggil Akmal.
“Jenggo kan udah dibawa ambulans kalo mau cari tau soal adik lu.”

Gue tersenyum ramah kepada Akmal yang diam membisu. Selanjutnya, gue melangkah dan memunculkan lagi baju zirah Asgard. Warnanya yang keemasan langsung mengiilap disinari berbagai warna lampu yag cahayanya bersumber dari jalanan, dari teras rumah, dan senter-senter.

“Minggir.”

Gue melewati segerombolan polisi. Kemudian, melewati juga para warga menghalangi. Mereka gak memberi jalan pastinya. Apa boleh buat, satu hingga sekian tonjokan gue beri kepada mereka sampai jatuh, siapapun yang menghalangi jalan.

Sayup-sayup gue mendengar satu-dua bisikan dari kelompok polisi. Kata mereka, guelah alien yang terkenal sejak kejadian di Bawean, yang mana itu baru semingguan lalu. Pasti masih hangat-hangatnya jadi pebincangan internal kesatuan mereka. Mungkin ada juga di antara mereka yang bertemu gue di Bawean.

By the way, itu bukan masalah asal cerita mereka gak sampai ke media.

Gak sedikit warga yang akhirnya gak sadar karena gue tonjok atau gue lempar ke samping. Mereka lebih baik pingsan begitu daripada bertindak macam-macam. Polisi juga gue suruh tetap di luar sampai gue tau ancaman apa yang akan mereka hadapi. Padahal gue udah tau sih, tapi jaga-jaga aja supaya gak nambah resiko kan.

Sesampainya di dalam rumah, gue mendapati lampu di dalam rumah udah sepenuhnya menyala. Beda dengan pertama gue datang, waktu melempar Niken ke luar pagar. Semakin banyak orang, pasti keadaan TKP berubah, wajar.

Ada cucuran darah di lantai dekat dapur. Pasti itu darahnya Jenggo. Kondisi dapur juga lumayan berantakan dengan adanya piring yang jatuh berkeping-keping. Tapi suasana rumah ini sepi, gak seperti perkiraan awal. Jadi, gue memutuskan berkeliling untuk mencari petunjuk keberadaan mereka.

Gak lama, gue mendegar ada suara-suara yang menarik dari arah tangga menuju jalan ke bawah.

“Guys, gue gak mau ngelawan kalian.” Itu suara Pur.

Gue langsung buru-buru menuju sumber suara. Anak tangga gue turuni dengan cepat, hingga harus melompati beberapa langkahnya.

Di hadapan gue kini ada banyak orang melawan Pur yang sendirian. Gue hitung ada lima orang. Selain itu, ada dua laki-laki telanjang yang udah terkapar gak sadarkan diri.

“Terus gimanaaa?... Rasanya.. kita cuma mau nurut sama... cewek itu.” Ada cewek yang menangis di hadapan Pur.
“Kalian lawan lah hasrat kalian.” Balas Pur.
“Pur!” Gue datang.

Pur gak membantu sama sekali dengan pidatonya.

Di sisi lain, Pur sendiri tampaknya pilih-pilih untuk melancarkan pukulan demi pukulan. Dia hanya memukul orang yang diinginkannya, lalu dia memilih menghindar saat cewek yang menangis ketakutan itu berkali-kali datang mendekatinya.

Tiba-tiba, ada satu lelaki yang mendekap gue dari belakang dari kegelapan.

Gue berontak, berusaha melepaskan dekapannya. Tapi dia kuat juga. Gue coba lagi dengan menyikut perutnya. Gak kena. Opsi ketiga, gue memilih memundurkan badan gue jauh-jauh hingga jatuh menjengkang di atas anak tangga. Itu pasti sakit buat dia. Begitu ampuh taktik tadi sehingga dekapan kepada gue itu terlepas.

Gue pun bisa berbalik badan menghadap pada lawan gue itu. Kepalan tangan udah siap gue tarik ke belakang, satu ayunan lagi agar menghantam wajah culunnya.

“JAMEET!” Si cewek menjerit lagi.
“Stoop! Laraas!” Si Pur ikut berseru.

Gue menoleh.

“Jangan pukul yang itu. Itu temennya Hari.” Kata Pur.

Gak lama setelah Pur bicara, dia sibuk kembali dengan lawan-lawannya. Si cewek menjerit berlari ke arah gue. Gue kira dia datang memeluk, tapi rupanya dia melawan.

Untungnya, cewek yang satu ini gak berbahaya. Dia, gimana ya bilangnya, sangat-sangat lemah. Zirah gue aja gak ada lecet-lecetnya dipukul dia. Bukan dipukul juga, lebih tepat kalau disebut tepuk-tepuk lucu. Dorongan badannya bahkan gak bikin gue bergeser satu langkah pun.

“Demi nama Gibborim!” Ada teriakan cewek lain di ruangan sebelah.

Dari suara yang dikeluarkan itu gue akhirnya menyadari ada kegiatan lain di sini. Bahkan gue gak ngeliat itu karena ruangan di sini tertutup sekat-sekat.

“Gak sekarang!” Pur berseru lagi.

Pur melempar talinya seperti laso. Tali itu kemudian berhasil mengikat tangan lawan hingga menjatuhkan belati yang dipegangnya ke lantai.

Musuh-musuh Pur merespon cepat dengan perlawanan secara bersama-sama. Itu pasti supaya Pur cepat melepas tarikan talinya. Dengan begitu, kegiatan apapun yang sedang dilakukan mereka bisa selesai.

Sayangnya, gue udah tau. Gue ingat, pasti ini kegiatan ritual yang disebut sebagai gibborim gibborim itu. Sekali lagi, thanks to Niken atas infonya.

“Kalian berdua tidur aja ya.” Kata gue.

Gue totok si cewek yang dari tadi memukul sambil menangis ini tepat di belakang lehernya. Dia pingsan seketika. Gue lakukan hal serupa kepada laki-laki culun yang masih tergeletak kesakitan di tangga.

“Pur, lu urus orang-orang bugil ini. Gue ke dia.”

Gue bicara sambil melangkah melewati Pur yang dikerubungi tiga orang tersisa. Tali temali yang menahan tangan cewek itu masih mengikat, hingga tiba-tiba terputus akibat ditarik cewek lainnya yang bermata sipit.

Oh sial, gimana gue ingat semua cewek di sini. Ada banyak banget. Pokoknya tadi ada satu yang barusan gue totok, dia orang baik kayanya, temen Hari juga. Ada yang memegang belati, dia yang paling kecil dan pendek dan diikat tangannya oleh tali Pur.

Ada lagi tiga orang lagi telanjang bulat. Satu bermuka arab, satu sipit, dan satu lagi biasa aja tapi paling tinggi. Duh gimana sih ngegambarin cewek itu. Cantik kan relatif. Gak penting juga gue ngelihatin tanda lahir atau apapun dari tubuh mereka satu-satu.

Satu-satunya cowok yang masih jadi lawan kami adalah yang matanya juga sipit, berbadan gede.

“Jangan keluar dari peti! Gue mau beresin mereka dulu.” Kata si cewek kecil.

Si cewek kecil pergi ke arah lain. Dia mengobrak-abrik sesuatu di dalam kulkas. Hebat, ada kulkas di sini.

Ngomong-ngomong, kayanya gue harus kenalan sama mereka satu-satu biar gak pangling. Tapi, dengar itu, ada orang lain lagi di dalam peti mati. Siapa dia?

“Laras, jangan sampe dia bunuh temennya Hari di dalam peti!” Kata Pur.

Oh, ada temennya Hari yang lain. Mari selesaikan cepat-cepat, kalau begitu. Pur memilih berfokus dengan tiga orang yang menahan dia. Ada cowok sipit, cewek arab, dan cewek tinggi. Sedangkan gue sekarang berhadapan dengan cewek sipit.

“Hai.” Sapa gue.

Cewek ini langsung menyerang gue tanpa menyapa balik. Berarti waktunya serius.

Gerakannya cepat. Ini berbeda sewaktu gue memukul warga tadi. Dia gak langsung tumbang. Pantas Pur kewalahan sebelum gue datang. Bahkan, setelah beberapa kali kami jual-beli pukulan, gue mampu menakar bahwa cewek sipit ini lebih kuat dari orang-orang yang kami lawan di Karangtengah.

Gue lumayan tertantang melawan cewek sipit ini. Ribet sih lebih tepatnya. Meski gak terlalu kuat untuk bikin gue bonyok, tapi dia cepat dan tangkas. Semua serangan gue bisa ditangkis atau dihindarinya. Pukulan ke perut tertangkis. Pukulan ke wajah bisa dia hindari, bahkan tendangan pun gak sekali pun masuk ke badannya.

Ini waktunya pakai pedang. Tenanglah, pedang gue bukan untuk membunuh orang Midgard. Pedang gue masih punya sisi tumpul yang bisa dipakai untuk menggebuk.

Dari kehampaan, ruangan menjadi bercahaya emas untuk sesaat. Pedang gue muncul dan siap tergenggam dengan dua tangan.

Gue mengambil kendali setiap serangan. Kini, si cewek sipit ini gak berani untuk menangkis. Dia hanya menghindar dan terus mundur mencari jalan. Meski begitu, setiap ayunan pedang gue ke depan perut, ke sisi tangan kiri, kanan, hingga kakinya, masih gak kena satu pun.

Sampai suatu waktu, akhirnya dia terpojok ke dinding. Waktunya menggebuk sampai dia kalah. Pedang pun terayun...

Tapi.. Tiba-tiba pedang gue tersangkut sesuatu! Ada yang menahan pedang gue dari belakang. Gue terpaksa menoleh. Rupanya, sekarang si cowok sipit bergabung ke permainan gue. Gue dan dia malah bermain tarik-menarik pedang. Dia bahkan berani memegang erat bagian tajam pedang gue!

Dari sisi lain, kepala gue tiba-tiba dihantam televisi oleh si cewek tadi hingga jatuh tergeletak. Helm zirah pun sampai terlepas karena gue jatuh. Untungnya, tadi masih ada helm, jadi kepala gue gak kena luka luar. Gue cepat bangkit dengan pedang yang menghilang karena lepas dari genggaman.

“Pur!” Gue memanggil.

Itu bentuk protes gue kepada Pur karena dia gak menahan si cowok. Gagal rencana gue bermain cepat.

“Sibuk gue!” Sahutnya.

Kini, satu lawan dua. Mari mulai dari awal lagi dengan lebih fokus. Zirah dan helm kembali lengkap, pedang pun muncul lagi di tangan gue.

---

POV Purnawarman

Oke, itu salah gue gagal mencegah si cowok sipit pergi ke arah Laras. Mau gimana lagi, yang gue hadapi sekarang ini dua cewek telanjang. TE-LAN-JANG!!

Selain karena gak tega, gue juga memang gak fokus pada serangan. Ada dua pasang bukit empuk yang berayun-ayun sambil mereka mecoba menyerang gue. Lihat itu puting mereka yang coklat, minta ditarik-tarik.

******, ah! Fokus!

Anjir lah, jembut mereka dicukur rapi. Rutin waxing atau apa ya.

Fokus, Pur! Bego!

Gue sadar waktu kami makin menipis di sini. Siapa yang tau akan ada apa atau siapa yang datang. Apalagi, coba tengok si cewek cantik mungil yang sedang membuka kulkas itu. Dia sudah menemukan apa yang dicari. Obat-obatan cair lainnya yang udah gue pastikan berbahaya.

“Ladies, gue harus cepat. Gimana kalo kita quicky??” Goda gue.

Quicky yang gue maksud saat ini bukanlah seks cepat. Bukan pula permintaan waktu Laras atau gue kalau sedang lelah. Quicky di sini maksudnya adalah teknik rahasia einherjar. Seenggaknya, anak-anak Loki pernah diajari ini.

Gue memanggil Laras untuk menjaga gue. Dalam kemampuan ini, ada kerentanan yang bisa terjadi.

“Pur?! Yakin?!” Tanya Laras.
“Yakin.” Kata gue.
“Jangan mati.”
"Iya."

Padahal ini perjudian.

Asgard memiliki makam tersendiri di bawah istananya untuk para einherjar yang gugur. Di sana juga berbaring pasukan Odin yang berbahaya, termasuk Fenris. Kabar terakhir, para mayat itu dibangkitkan lagi dengan api abadi oleh Hela.

Kata Rosi, Asgard hancur sesuai nubuat sejak dahulu kala. Surtur dari Muspelheim berhasil menjangkau api abadi tersebut. Dia menjadi sebesar gunung dan gak ada yang menandingi. Lihat akibatnya, sekarang Asgard udah gak ada.

Siapa yang tau api abadi pernah dibagikan gratis kepada kelas anak-anak Loki yang berprestasi. Coba tebak siapa yang berprestasi? Bukan gue pastinya. Solomon yang dapat, dan dia sekarang gak ada kabar. Entah bagaimana ceritanya, tapi api abadi itu sampai pada tangan Rosi, lalu sampai kepada gue melalui kiriman burung dara.

Gue udah menghilangkan baju zirah. Tampilan luar gue kembali dengan baju polo putih, celana jeans biru dongker longgar, dan sepatu sneakers abu-abu. Tali temali merupakan perlengkapan einherjar satu-satunya yang masih aktif.

Gue merogoh saku. Api abadi tersimpan dalam bentuk yang gak terduga. Korek api gas!

Api abadi yang berkontak dengan jasad einherjar bisa menghidupkan mereka kembali menjadi berseker. Apa yang bisa terjadi jika api abadi bersentuhan dengan einherjar yang hidup? Menjadi seperti apa bentuknya? Lihatlah sendiri.

Korek api gue nyalakan dengan tangan kiri. Api kecil mulai berkobar dari lubang korek.

Dengan keyakinan penuh, gue mendekatkan api ke hidung. Gue hirup apinya, bukan asapnya. Itu gue lakukan kuat-kuat dan dalam hingga api tersebut bukan lagi berkobar tegak ke atas, melainkan masuk ke hidung gue.

“HUAAAH!!!”

Dari dalam hidung, panas menjalar ke paru-paru. Kemudian, terasa sekali api menjalar masuk ke dalam pembuluh darah. Akhirnya, apa yang dibawa dari paru-paru akan masuk ke jantung dahulu, lalu disebarkan ke seluruh anggota tubuh.

Badan gue seluruhnya memanas. Berkobar. Kulit gue menjadi layaknya api. Tali yang gue pegang menjadi cambuk membara. Semua yang gue lihat dari sudut mata ini menjadi merah menyala.

“Pur!” Laras memanggil.

Gue bisa melihat Laras sibuk dengan dua orang. Sementara itu, lawan gue terdiam kaku dalam posisi berdiri. Ini waktu yang tepat untuk quicky.

Gue berjalan perlahan menembus dua wanita cantik yang bugil ini. Kemudian, setelah selangkah menembus tubuh mereka berdua, gue mengambil apa yang harus gue ambil dari jasad mereka.

Kemudian mereka tergeletak jatuh.

Gue bukan manusia dan bukan lagi einherjar biasa. Gue bukan juga berseker yang gak punya akal. Seorang Purnawarman perlahan menjadi makhluk metafisik yang hidup dunia berbeda. Gue menarik apapun yang perlu untuk dibawa ke dunia tersebut.

Lawan gue dua-duanya kalah. Sekarang gue berjalan menuju kedua orang yang dilawan Laras. Di saat yang sama, Laras mundur menuju sisi belakang gue. Gue melihat dirinya sebentar, kemudian waktunya mengincar kedua bocah sipit ini.

Mereka gak bisa lari. Gue mengikat mereka berdua dengan cambuk dari tali gue. Apa yang gue lakukan pada dua orang sebelumnya, gue lakukan kepada mereka. Mereka pun pada akhirnya juga tergeletak jatuh.

Sekarang tinggal orang terakhir yang di depan kulkas itu. Quicky harus dilakukan cepat sebelum gue ikut terbakar dan masuk ke dimensi lain. Begitulah prinsipnya.

“STOP!!” BERHENTI KALIAN BERDUA!! CUKUP!!” Teriak satu cewek yang tersisa.

Dia, si cewek kecil itu, berdiri di ujung sana di dekat kulkas yang dia acak-acak tadi. Nafasnya tersengal dan keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya.

Gue pun berhenti dari fase quicky.

“Pur.” Laras memanggil lagi.

Gue menoleh dan kelelahan.

“Gue gapapa.” Balas gue.
“STOP! DIAM KALIAN BERDUA! GAK ADA SUARA!!” Teriak cewek itu lagi.

Gue ingin diam jadinya. Apa yang gue lihat sekarang di depan mata gue adalah sesosok perempuan berkulit ungu. Secara harfiah benar-benar ungu, seperti makhluk Kree. Bedanya, Kree itu biru, sedangkan dia ungu.

“DIAM!” Dia teriak lagi.

Gue dan Laras benar-benar diam.

Cewek itu perlahan sumringah. Dia menjadi sangat bangga dengan apa yang dia lakukan. Dari botol-botol obat dan suntikan yang berceceran di lantai, gue tebak dia menambah dosis apapun itu ke dalam tubuhnya.

“Sekarang buka baju kalian.” Dia mulai memerintah aneh-aneh.

Kini Laras mengikuti tepat keinginannya. Laras mulai menghilangkan zirah dan pedangnya. Lalu, seluruh bajunya dia tanggalkan ke lantai. Bahkan, bra dan celana dalam juga ikut diturunkan untuk memenuhi keseluruhan permintaan yang diucapkan.

“Heh, cowok. Lo juga buka!” Si cewek memerintah lagi.

Gue pun membuka semua baju gue. Helaian terakhir berupa celana dalam gue turunkan pelan-pelan hingga gue harus jongkok untuk sungguh-sungguh menahannya. Harusnya gak begini. Gue gak boleh begini, tapi gue harus begini.

“Kalian berdua sekarang ciuman.”

Maka gue dan Laras berciuman sambil disaksikan dia dan temannya Hari di dalam peti mati yang masih terbuka pintunya. Harusnya gak begini. Tapi untuk bagian ini, gue rasa gue suka. Tonggak gue mengeras.

“Cowok lo ngaceng, bikin dia puas.”

Laras berjongkok tepat di depan batang penis gue. Apa yang Laras lakukan saat kami di kamar, pun mulai dilakukan di sini. Gak ada keraguan dalam diri Laras saat melahap penis gue bulat-bulat. Kepalanya bergerak maju mundur tanpa ragu, bahkan juga terkesan menikmati. Di saat yang lain, lidahnya terjulur panjang saat menjilati bola-bola zakar gue.

Harusnya bukan begini akhir penggunaan quicky. Masih ada satu musuh yang tersisa. Sekarang malah dia yang menyerang balik dengan kemampuan gilanya itu.

“Cukup. Sekarang ambil belati itu di lantai. Potong kontolnya.”

Nah yang ini perintah gila! G I L A !

Gue hanya diam sembari menyaksikan Laras melangkah mengambil belati milik cewek itu yang terjatuh tadi. Gue mulai panik saat Laras mulai menggenggam belati itu dengan kuat. Laras menatap gue nanar dengan belati yang diacungkan.

Tiba-tiba aja... Laras secepat kilat berlari melesat ke arah si cewek kecil. Laras mendekap dia dari belakang, lalu menempelkan belatinya lekat-lekat ke kulit leher si cewek kecil.

“Pur! Quicky cepet!” Kata Laras.
“HA. HA.” Gue tertawa kesenangan.

Gue kembali menyalakan korek. Api abadi gue hisap kuat-kuat untuk kedua kalinya. Sekali lagi gue menjadi makhluk metafisik. Dengan langkah penuh keyakinan, gue menuju posisi Laras menyandera si cewek kecil mungil.

Akhirnya, gue mengambil apa yang harusnya gue ambil dari jasad cewek itu. Sama seperti akhir dari lawan-lawan sebelumnya, dia pun tergeletak jatuh.

Selesai.

Gue kembali dalam wujud manusia dengan sisa-sisa tenaga. Lewat sekian waktu aja, gue rasa gue bisa ikut lenyap dalam bentuk metafisik. Keringat gue mengucur deras layaknya orang dehidrasi yang baru diberi seteguk air.

Lalu, kami mengenakan pakaian kami kembali cepat-cepat, menolong teman-teman Hari, termasuk mengambilkan baju untuk salah satu temannya yang telanjang di depan peti mati.

Laras memanggil polisi masuk.

Gue pun terjatuh. Gelap.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Loh... Sudah selesai perlawanan Alis dan gank?
Thx updatenya hu
 
Apa yg diambil Pur dari tubuh lawan2nya..? Sesuatu yg harus diambil..? Apaan sih...?
 
Bimabet
suhu ane mantau dulu, ane lebih suka baca marathon aja nanti. Semangat updatenya suhu, jgn sampe updatenya jadi #wacanaforever hehehe becanda bosque
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd