Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA The Measure Of Happiness

Status
Please reply by conversation.
CHAPTER 1 :
Worth Of Million Tears





Sesosok pemuda berkemeja necis rapi tampak duduk bersandar secara malas di atas sebuah sofa panjang di sudut ruangan berlampu fluorescent redup. Stellaris Lounge & Drink, adalah kafe live music berkategori kelas menengah yang cukup terjangkau oleh kalangan mahasiswa. Biasanya sehari-harinya selalu diisi canda tawa atau ambience obrolan seru yang riuh bersahutan. Namun, entah kenapa detik ini terasa sedikit sepi. Beruntung sebetulnya bagi pemuda tersebut, karena suasana inilah yang ia mau.

Sang Pemuda berwajah kaku menyelipkan batang rokok filter di tangannya demi menghisapnya perlahan. Kepalanya ternengadah, meniupkan asap ke atas layaknya lokomotif kereta api era perang dunia.

Lantunan musik Say So - Doja Cat versi Jepang mulai mengalun lembut saat ia mengangkat tangan melihat jam dengan ekspresi penuh kekesalan. Dan, disaat mulutnya hendak memaki, seketika saja sekujur badannya tersengat ketegangan ketika dilihatnya seorang gadis cantik tetiba muncul memasuki pintu café dengan langkah terburu-buru.

Pesona kecantikan gadis itu memancar begitu bening. Terlampau ‘surgawi’.

Rambutnya yang shaggy sedada dicat keemasan tampak berpadu amat sempurna dengan jaket denim ala street-outfit yang ia kenakan. Sekujur aset paha mulusnya terpampang begitu jelas, karena ia memakai celana hot-pants yang sungguh pendek menggoda. Tak heran bila seluruh perhatian mata para lelaki tanpa ampun langsung terampas olehnya, terpana kagum, menelan ludah, membuat pemuda berkemeja necis tadi tersenyum bangga dalam hati karena ia tahu gadis itu pasti akan duduk menemaninya, menempati sofa empuk di sebelahnya.

“Sayang, maaf aku kelamaan, tadi aku lupa nyimpen hape aku di mana.” Manja, gadis itu merapatkan bahu, bersandar mesra di sisi sang Pemuda.

“Iya, gapapa, udah biasa.”

Pemuda berambut semi-cepak tersebut mematikan rokok. Ternyata, kebanggaan yang tadi sempat tergurat di wajahnya sudah lenyap menghilang. Menguap, entah ke mana. Berganti dengan wajah kaku nan tegang bak wajah Michael Corleone sesaat sebelum ia menembak kepala Sollozzo di meja restoran.

Seakan tidak memiliki waktu panjang lagi untuk berkencan, serta merta, pemuda tersebut langsung menatap runcing si Gadis Cantik. Hanya membutuhkan hitungan menit untuk berbasa-basi sebelum ia terjun ke topik utama pertemuan.

“Sebetulnya… aku tuh cuma pengen nanya sesuatu ama kamu. Atau, lebih tepatnya klarifikasi. Mengenai kegiatan kamu di Hotel Grand Paradiso kemaren sore. Kamu… nginep sampe pagi di sana?”

Bak dihantam petir di tengah badai hujan lebat, tubuh sang Gadis tersentak. Bibir lembut berlipstick merah seksinya ternganga. Raut mukanya memucat. Ia benar-benar tak menyangka rentetan kalimat bertendensi menuduh tersebut terlontar tanpa pengantar dari mulut si Pemuda.

“H-Hotel? Maksud kamu? Aku nggak—”

“Jadi gini,” Jari-jemari tangan si Pemuda bergemeretak, saling meremas. “Kemaren sore, sebenernya aku tuh batal ngerjain tugas bareng di rumah temen karena semuanya pada mendadak males. Nah, aku langsung ke kampus kamu, dong, pengen ketemu sekalian jemput. Aku emang lupa ngabarin kamu karena, toh, gak penting juga. Terus… tiba-tiba, aku ngeliat kamu di sekitaran gerbang depan. Kamu… keliatannya lagi dijemput sama seseorang, pake mobil BMW item.”

“….”

Tiada sebisik pun kata keluar dari bibir si Cantik. Gadis ber-hot pants pendek itu hanya menatap pacarnya seraya membelalak lebar serta menggelneg tak percaya.

So, berinisiatiflah aku ngikutin BMW itu sampe akhirnya berenti di depan hotel Grand Paradiso. Kamu keluar dari mobil terus masuk pintu hotel sama seorang bapak-bapak—”

“K-Kamu salah paham, Sayang! I-Itu sodara Papa aku dari—“ Panik, gadis cantik itu memotong perkataan sang Pemuda, namun pemuda itu tampak bereaksi mengangkat tangannya disertai mimik tak sabar.

“Aku belum selesai bicara!” sergahnya, “Karena penasaran, aku tanya-tanya ama beberapa pegawai hotel di sana. Awalnya mereka gak mau bicara banyak, tapi aku punya cara tertentu untuk memancing mereka supaya lebih informatif.”

“….”

“….”







Sejenak, Pemuda tersebut menarik nafas sebelum menguarkan rangkaian kalimat penutupnya. Ia pandang bola mata sang Kekasih yang tengah membisu tajam menusuk.

“Lelaki itu namanya Boris. Boris Winoto, pemilik grup media—”

“CUKUP!”

Suara teriakan marah campur tangis seketika meledak di ruangan kafe yang mulai agak padat tersebut. Sontak, seluruh lirikan mata pun memusat ke sumber konflik, meja sang Pemuda.

“K-Kamu itu kurang ajar, ya, Rif. Kamu itu emang pacar aku, TAPI BUKAN BERARTI KAMU BOLEH SEENAKNYA CAMPURIN HAK PRIVASI AKU!”

Gadis cantik yang aura gesturnya sudah mirip seorang bintang itu segera berdiri. Ia meraih tas bermerk serta ponselnya diselingi isak pilu.

Pemuda berkemeja rapi tersebut sesaat mendelik sekeliling. Ia mendapati beberapa lelaki sok pahlawan, mekhun (memeq hunter), serta para ‘pembela wanita’ dadakan sudah tampak mengambil ancang-ancang untuk bersiap menghajar dirinya bila terjadi tindak KDHP (kekerasan dalam hubungan pacaran).

“Tunggu Hanna, aku cuma pengen klarifikasi. Seengaknya aku bisa denger dari mulut kamu langsung!”

Sang pemuda berusaha bersikap tenang. Mendapati kekasihnya hendak beranjak minggat, ia turut berdiri lalu menahan lengan sang Gadis sesantun mungkin. Sosok cantik itu memang berhenti, namun tak seperti yang si Pemuda harapkan. Ia berbalik, memperlihatkan parasnya yang berlinangan air mata, lalu melayangkan seayun tamparan keras pada pipi sang Pemuda

PLAKKK!!!

Tiada lagi pembicaraan setelah itu. Sang Gadis menghilang. Si Pemuda pun kembali duduk. Merokok sambil menikmati segelas mojito orange yang kembali ia pesan, seakan-akan barusan tak terjadi peristiwa apa-apa sama sekali.






mungkin sulit untuk dapat dimengerti
ku seperti ingin selalu terbang tinggi
jauh tinggi...

cinta ini tak akan mungkin memudar
Kata hati tak akan mungkin berubah
Jadinya... karenanya...


( Keinginan - Indra Lesmana & Sophia latjuba)





===========================​





“Rif, Woi! Gimana kelanjutannya kemaren? Lo cerita kentang banget! Terus gimana nasib lo?”

“UHUK!”

“Lo tuh jadinya masih jalan ama Hanna apa udah putus?”

Saat itu, adalah saat jeda waktu yang cukup panjang setelah aku kelar kuliah Moneter pagi dan siang nanti masih ada jadwal kelas Statistika yang harus aku hadiri. Momen yang begitu amat berharga, untuk memulihkan otak serta kesegaran jasmani. Sejujurnya, aku benar-benar masih ingin menyendiri di kala tersebut. Namun, kehadiran satu sahabat kampus terdekatku ini rasanya tak dapat dielakan lagi.

Well, sudah sangat jamak jika di sekitaran area kampus (manapun) akan banyak sekali tempat makan dengan berbagai jenis menu serta harga yang bisa kita pilih. Dari hidangan barat yang sarat keju sampai makanan timur yang pedasnya bikin mencret. Dari yang imut unyu-unyu semodel kue bakpao sampai yang ekstrim seperti daging gurita hentai. Semua pernah aku coba. Telah aku jelajahi dunia dengan cara mencicipi bumbu dan rasa. Tapi untuk siang ini dan hari-hari biasa, rasanya aku cukup menikmati sepiring soto babat Madura serta segelas teh manis saja di tenda Mas Rofiq langganan.

Mengenai satu manusia yang kini tiba-tiba bergabung di sebelahku, ah, sebenarnya gak penting juga sih aku membahas dia. Sayang, orangnya terlanjur nongol. Jadi, kubalas tatap saja wajah yang agak tak enak dilihat ini penuh malas.

Namanya, Juki. Dia seorang wibu akut. Hobinya akan Jejepangan bisa langsung terlihat dari topik obrolan serta musik-musik atau film yang ia kerap tonton. Sebenarnya Juki adalah orang yang baik. Kadang, ia pun bisa bersikap sangat dewasa dibalik pikirannya yang mesum serta menggemari cewek-cewek loli. Malang, penampilannya yang terbilang creepy sering membuat para perempuan ketakutan. Badan ceking, rambut berantakan, kacamata tebal, ditambah jaket besar yang selalu kedodoran. Yah, walau bagaimanapun, Juki ini sahabat dekatku sejak SMP dulu. Dia tahu sejarah panjang bagaimana mesranya aku dan Hanna.




“Rif, woi, gimana? Kok elo malah bengong?” Juki mengambil sebatang rokok Marlboro lalu menyulutnya pakai Zippo. Serius, orang seculun dia kelihatan gak pantes bergaya ala koboi.

“Lah, emang gue belum cerita, ya?”

“Belum. Lo langsung skip ke cerita elo beli Tequilla terus mabok-mabokan, terus nekad nyetir pulang sendiri ke rumah.”

Aku menggaruk kepala, buru-buru menghabiskan sisa nasi sotoku yang tinggal sedikit. Sebelum, bergabung klepus-klepus asap bersama Juki.

“Gue udah resmi, Ki. Resmi jadi jomblo. Jomblo kesepian kayak lo.”

“….”

“Sorenya, setelah gue pulang dari café, Hanna mutusin gue lewat telepon. Gue minta ketemu lagi, dia gak mau. Katanya dia minta waktu untuk gak ngeliat muka gue lagi.”

Juki menatapku dengan serius. Aku pun mengangkat bahu, seolah berkata, ‘that’s all, folks’.

“Gue yakin Hanna masih cinta ama lo.” Tiba-tiba, nada suara Juki berubah dingin layaknya suara protagonis anime. Aku membuang muka. Aku tahu, dia bakal menasehatiku. “Lo gak boleh nyerah sampe di sini. Gue amat berharap lo bedua balikan, entah nanti ato kapan, yang jelas lo harus memperbaiki ini semua.”

Kaget, aku meniup asap. “Lho, kok gue?”

“Lo tau problemnya apa?” Juki mencengkeram pundakku erat-erat. “Elu tuh bloon! Pake main detektif-detektifan segala! Ngapain lo interogasi Hanna segala kaya dia seorang kriminal gitu? Wajar Hanna kaget dia dikuntitin terus dikorek-korek kelakuannya macam penjahat. Harusnya lo sabar! Cari cara lain buat ngebicarain hal ini sama Hanna!”

“Tapi dia itu udah gak bener, Ki!” Wajahku meringis gemas mengingat tingkah Hanna. “Tiga bulan, Ki! Tiga bulan, coba, dia rela dipake Om Boris dibelakang gue demi

“Nah, itulah inti masalahnya! Itu duri terpendam yang ada di hubungan lo ama Hanna!” Juki menyela omonganku, tak memberiku kesempatan bicara.

“Gue mau bicara jujur. Tapi, gue minta lo jangan tersinggung ya, Rif. Ini pertama kalinya gue ungkapin hal ini ama lo.”

“….”

“Lo nyadar gak, sih, selama ini lo tuh jadi beban buat Hanna?”

“Maksud lo?”

“Inget waktu SMP waktu kalian pacaran? Hanna sampe rela membunuh impiannya untuk ikut audisi grup idol MTP48 karena dia lebih memilih elo daripada harus putus demi ikut peraturan. Terus waktu SMU, dia juga pernah nolak cinta seorang vokalis band terkenal gegara dia pengen setia ama lo dan gak mau ngehianatin lo. Hanna itu cewek berkualitas S-tier, Rif. Dia muda, cantik, dan punya bakat segudang. Banyak jalan cemerlang terbuka buat dia kalo aja dia gak mikirin perasaan lo yang kadang posesif kayak bocah!”

Kata-kata Juki barusan jujur membuat aku terhenyak. Kepalaku tertunduk, meniupkan asap ke bawah. Ya, silakan bila kalian semua ingin berbalik mencercaku dan membela Hanna. Inilah aku, si Bodoh yang tak tahu diri.

“Walau gak bisa dibilang miskin, keluarga Hanna gak bisa dibilang amat berkecukupan juga. Bokapnya cuma PNS kelas menengah. Wajar kalo selain ambisi pribadi, dia juga pengen mengangkat ekonomi keluarganya. Seengaknya hidup mandiri. Dunia hiburan di negeri ini emang keras, kotor, dan penuh permainan, Rif. Walau gue akui salah, tapi gue bisa paham dengan kekalutan pikiran Hanna yang bikin dia jadi begitu. Time ticking fast, ini saat usia-usia keemasan dia. Kalo kesempatan gak diraih, kapan lagi?”

Aku meraih ponselku lalu sejenak melamun. Jemariku membuka folder-folder foto lalu melihat secercah foto Hanna yang masih tersimpan di sana. Bayangan indah kecantikan itu… aku rasa gak salah, kan, kalau kemarin aku menangis? She’s worth of million tears, isn’t it?




Bila kalian menemukan seorang gadis bernama Siti Rohana Hidayati, ya, itulah nama asli Hanna. Nama ndeso tapi muka K-Pop. Entah dia bakal memakai nama apa ketika sudah terkenal menjadi seorang bintang nanti, yang jelas, aku merasa bangga bisa menjadi sepotong bagian dari sejarah hidupnya.

“Mungkin Hanna udah ada di titik jenuhnya, Rif,” Juki melanjutkan, “Belum lagi elo pake mancing-mancing kemarahan dia segala. Gue yakin, Hanna masih cinta ama lo. Buktinya? Lo kudu tau, buat Hanna tuh gampang banget ngedepak lo demi cari pacar baru yang lebih kaya dan prospektif, tapi itu gak pernah dia lakuin, kan? seengaknya sampe kemaren? Itu pun gara-gara elo.”

Shit! Gara-gara si Juki, sekarang malah aku yang ngerasa bersalah. Aku pengen minta maaf sama Hanna, tapi gak berharap juga dia bakal mau balikan lagi sama aku. Hmm, gimana caranya, ya?

“Ki…,”

“Yup?”

“Lo tuh… kalo bicara ama gue keren, ya? Bijak, lancar, tegas, inspiratif. Tapi… kenapa tiap kali lo ngomong ama cewek malah selalu berubah jadi gagap gak jelas kayak orang bego, sih? Lo gak mau punya pacar? Gak bosen lo jomblo?” candaku sambil tertawa plus meninju bahu si Wibu Bawang. Juki pun berubah kecut. Ia menghempaskan batang Marlboronya ke asbak.

“Entahlah, Rif. Mungkin ini penyakit. Gue mesti di rukyah ato ke psikiater kali ya biar sembuh?”

Aku terkekeh pelan, “Mungkin pikiran lo terlalu mesum. Karena otak lu fokus ke yang lain, makannya lo selalu ngomong gak jelas tiap kali ngobrol di depan cewek.”

“Sialan, lo!” seru Juki balas meninju bahuku. “Eh, ngomong-ngomong, g-gimana kabar adik lo? Icha masih suka makan okonomiyaki?”

Lah, kenapa si Kunyuk ini jadi tiba-tiba nanyain adik gue? Aku memandang Juki dengan sorot curiga.

“Kenapa emangnya?”

“Enggak,” Juki termesem malu-malu, “g-gue cuma pengen ngasih dia bekel aja. Pagi-pagi, gue pengen mampir ke sekolah dia, terus—”

“Woi! Woi!” sergahku menyela selorohan Juki, “tahan hawa nafsumu, jomblo ngehek! Adik gue jangan dijadiin target operasi, dong! Lagian pecuma, gak bakal suksesl!” Aku memprotes rencana Juki sembari mengangkat kepalan tinju, seolah-olah menunjukan bahwa dirikulah yang bakal menjadi faktor utama ketidaksuksesan niatnya. “Cari bacolan lain! Udah bener lo pacaran ama cewek anime aja, ah!”

“Yee, gak segitunya, kali,” Juki merengut pasrah, “gue cuma pengen ngasih makanan aja, kok, ama dia. Selanjutnya ya gue gak berharap apa-apa, hihi~”

“Adik gue lagi bosen ama Okonomiyaki, sekarang sarapannya Pork Sandwich ama Yoghurt,” ketusku mantap menyalakan sebatang rokok lagi. Karena tak enak menghabisi jatah kursi tenda, aku pun kembali memesan segelas teh manis pada Mas Rofiq.

Ucapan tadi rupanya sukses membuat Juki lemas. Alih-alih turut membeli sesuatu, ia malah ikut-ikutan memantik Marlboronya. Beli makanan, kek, atau apa? Dateng cuma nongkrong doang ngabisin bangku!

“Lo beruntung ya, Rif, punya adek amoy cantik, mama seksi, keluarga saling beda agama pun hidup rukun banget. Kalo gue jadi elo nih ya, pasti gue udah… hihi, ah ga jadi ah.” Juki terkekeh.

Iya, gue tau maksud lo! Aku membatin seraya hembuskan asap.

“Yah, mo gimana lagi, Ki? Jujur, gue juga gak pernah sih berharap atau menduga bakal seperti ini. Tapi takdir ternyata menuju arah sini, ya udah kita syukuri aja penuh kebahagiaan.” balasku pada si Wibu.

Yah, memang, itulah kehidupan keluarga kecilku sekarang. Aku dan Papa memang berbeda ras agama dengan Tante Clara dan Alicia, tapi itu sama sekali bukan halangan bagi kami untuk terus menjalani kehidupan. Kadang, ada hal-hal baru atau satu kejadian yang sama sekali belum pernah aku alami, sih, namun ya kuanggap seru aja.

“….”

Sama sepertiku, Juki pun tiba-tiba tampak terdiam penuh perenungan. Aku tak tahu apa yang ada di isi kepalanya saat ini. Curiganya, sih, hal-hal berbau porno. Prasangka buruku.

Di sela kebisuan kami berdua, aku melihat ada seorang pengemis tua bertongkat muncul di depan tenda. Perawakanya sungguh membuatku iba dengan rambut memutih tipis serta wajah keriput tanda penghujung usia. Aku membuka dompet dan memberi pengemis tersebut selembar uang 50 ribu.

Kaget tak menyangka, sang Pengemis pun langsung berterima kasih disertai rentetan ucapan-ucapan doa. Ia berusaha tunduk menyalami tanganku. Hatiku tentu merasa gak enak ada orang yang jelas-jelas jauh lebih tua tampak memperlihatkan sikap hormat berlebihan pada aku yang seumur jagung. Sambil tersenyum, aku lalu berkata, “Udah, Mbah, gak apa-apa. Doain aja, nih, temen saya supaya dapet pacar cantik kayak artis Jepang. Kasian, Mbah, udah lama jomblo,” sembari menunjuk Juki.

Aku bisa merasakan Juki menendang pelan kakiku sebagai bentuk protes, kubalas tepuk pundaknya saja sambil tertawa.

“Santai, Ki, huahaha, dijamin makbul! Kalo segala daya, upaya, serta usaha gak mampu mengatasi, kan tinggal doa aja jalannya, hahahaha!”

Aku terus tergelak sedikit mengejeki Juki, sementara itu kudengar si Pengemis masih melanjutkan doanya.











==================


Playlist :



Yah, si juki ngeracunin
 
btw, minta usul mulustasi MILF (40 tahunan) buat tante Clara dong, tadinya mo pake pic Miyabi, tapi yahh... bingung juga :bata: :pandaketawa:

Natsume Iroha aja, 'kali ya? Kalo Miyabi kayaknya pesonanya nggak cocok kalau buat tokoh ibu tiri, apalagi kalau ibu tirinya kerja jadi dosen. Terlalu mencolok. Kalau ibu tirinya kerja jadi aktris atau model paruh baya sih cocok.
 
Emang beda kalo Runner up juara.
Cara penulisan nya rapi, enak dibaca dan pastinya ceritanya juga menarik. Sebenarnya gw kurang suka drama percintaan ala abegeh gini, tapi cerita suhu sayang buat di lewatkan 😁
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd