Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Mudah2an dlm sepeminuman teh dan sepelemparan kolor ada abdet
 
BAGIAN 21


Sore itu, langit cerah tanpa awan.
Angin bertiup sepoi-sepoi.
Si bulat bundar di langit pun tidak segarang seperti tadi siang.
Beberapa burung camar terlihat saling berlomba memburu ikan. Beberapa kali terlihat menyambar-nyambar ke arah permukaan air laut, lalu melesat naik dengan kaki mencengkeram hasil tangkapan.
Jalu Samudra, Adiprana dan Cideng terlihat berdiri dekat anjungan menikmati sore. Tiga laki-laki muda ini saling bercerita satu sama lain, namun toh pada intinya cuma satu.
Apalagi jika bukan perkara ... cewek!
Baru diketahui oleh Adiprana dan Cideng kalau Jalu Samudra atau yang kini mereka kenal dengan nama besar si Pemanah Gadis ternyata telah beristri.
“Wah ... hebat juga kau!” seru Cideng sambil menepuk pelan pundak Jalu. “Tapi ada satu pertanyaan dariku. Kau mau jawab?”
“Apa?”
“Gini! Eeee ... waktu kau malam pertama, kerepotan ga?”
“Lho, kenapa kau bilang begitu?” tanya Jalu, heran. Mata putihnya sedikit melebar. “Ada yang aneh begitu?”
“Yach ... engga sih. Cuma ... “ kata Cideng sedikit menggantung. Apalagi jika takut menyinggung perasaan Jalu Samudra.
“Cuma apa?”
“Anu ... hehehehe ... apa kau tidak salah tempat waktu memasukkan senjata pusakamu ... “ sahut Cideng sambil nyengir kuda.
“Hahahahaha!”
Bukannya marah, justru si pemuda bertongkat hitam ini tertawa keras. Beberapa burung camar sampai kaget mendengar suara tawa yang bebas lepas.
“Kalau perkara itu, kau jangan khawatir sobat! Pasti pas! Ga mungkin meleset!” ucap Jalu dengan tetap tertawa.
Adiprana sendiri tersenyum geli saat melihat muka Cideng justru merah padam.
“Hayooo, kau bayangin apa?” goda Adiprana sambil menyenggol bahu Cideng.
“Ahhh ... engga ... ga bayangin apa-apa.”
“Ah ... masak?” kembali goda Adiprana.
Meski kadangkala terlihat angkuh, namun setelah mengenal pribadinya beberapa waktu, Jalu berpikir kalau Adiprana menjadi angkuh karena didikan dari gurunya yang mantan orang aliran hitam yang --tentu saja-- masih memiliki sifat-sifat keangkuhan meski tidak seperti dahulu.
Kembali ketiganya tertawa lebar.
Saat itulah, tanpa sengaja mata Adiprana menangkap suatu gerakan di bawah air.
“Apa itu?” desisnya dengan mata sedikit menyipit.
“Apa ada?”
Jari telunjuk Adiprana menunjuk ke bawah sambil berkata, “Itu ikan, bukan?”
Terlihat disana, sesosok bayangan putih yang diyakini seekor ikan tampak berenang pelan. Namun yang membuat ketiganya kaget adalah bentuk sosok ikan itu hampir sama besar dengan kapal Surya Silam!
Belum lagi ikan putih raksasa menghilang lenyap, muncul empat ekor ikan putih raksasa yang bentuknya sedikit lebih kecil dari yang pertama.
“Jangan-jangan itu ... Ikan Gajah Putih!?” gumam Jalu Samudra, sedang dalam otaknya kembali berkecamuk. “Menurut guru Dewa Pengemis, wilayah Kepulauan Tanah Bambu berada tidak jauh dari lintasan Ikan Gajah Putih. Jika memang ini yang namanya Ikan Gajah Putih, pasti tempat yang aku tuju sudah tidak jauh lagi.”
Matanya mengedar ke sekelilingnya. Namun yang dicarinya tidak ada.
“Setahuku, Ikan Gajah Putih atau Ikan Gajah Putih Pembunuh paling senang berada di wilayah yang sedikit tawar airnya,” kata Adiprana sambil terus memandangi sosok-sosok raksasa yang berenang kesana-kemari di bawah kapal Surya Silam. “ ... dan setiap kawanan ini melintas, pasti akan melakukan hal yang mengerikan.”
“Apa itu?” tanya Cideng tanpa sadar.
“Ikan Gajah Putih senang bercanda dengan membenturkan tubuh ke benda-benda yang bergerak,” kata Adiprana enteng. “Syukur-syukur bisa makan gratis.”
“Makan gratis?” tanya Jalu Samudra.
“Ya. Maksudku ... makan orang secara gratis!” sahut si Naga Terbang. “Beritahu Kakang Gautama, agar menghentikan laju kapal sebelum terlambat.”
“Aku saja!” kata Cideng, segera ia berkelebat cepat ke arah juru mudi yang jaraknya memang tidak begitu jauh.
Sedang Jalu Samudra dan Adiprana mengawasi gerak-gerik kawanan pembawa maut ini.
“Kita harus memberitahu yang lain agar tidak panik. Sebab kepanikan justru memancing keberingasan kawanan liar ini,” tutur Adiprana.
“Apa sebaiknya kita biarkan saja orang-orang di kapal ini agar tidak memancing kepanikan?” usul Jalu Samudra sambil terus memandang kawanan ikan yang berada tepat di bawah kapal.
Adiprana tidak menjawab, tapi memandang lekat-lekat ke arah Ikan Gajah Putih paling ujung. Sosok penguasa laut paling besar diantara para kawanan lain terlihat tenang di bawah sana.
“Kurasa tidak perlu, Sobat! Gerakan kapal ini pada dasarnya sudah memancing hasrat para kawanan Ikan Gajah Putih untuk membenturkan tubuhnya,” kata Adiprana. “Coba kau lihat ikan yang paling besar di sana. Dia terlihat memutar tubuh.”
“Lebih baik aku beritahu teman-teman yang lain,” ucap Jalu Samudra.
Sebentar saja, puluhan orang sudah berkumpul di setiap sisi kapal Surya Silam untuk melihat kawanan Ikan Gajah Putih. Namun dasar orang tidak tahu bahaya, justru mereka melempar beragam jenis makanan ke arah kawanan Ikan Gajah Putih yang menurut mereka jinak.
Jalu Samudra dan Adiprana geleng-geleng kepala melihat tingkah laku para penumpang.
“Aku tidak melihat Trihasta. Kemana dia?” tanya Adiprana dengan mata mengedar.
“Mungkin masih di kamar,” sahut Jalu Samudra. “Biar aku beritahu dia.”
Tanpa menunggu jawaban dari si Naga Terbang, Jalu Samudra melayang naik ke lantai tiga. Menuju kamar Trihasta Prasaja yang memang letaknya hanya bersebelahan dengan kamarnya.
“Trihasta, kau ada di dalam?”
Tidak ada sahutan sama sekali.
“Jangan-jangan dia lagi molor?” pikirnya. “Lagian pintunya sedikit terbuka. Buka engga ya?”
“Trihasta! Kalau kau tidak menjawab, aku masuk nih,” panggil si Pemanah Gadis.
Setelah menunggu beberapa lama dan tidak ada sahutan dari dalam, Jalu mendorong pintu kamar yang memang awalnya agak terbuka, setelah di dalam ia kembali memanggil nama Trihasta beberapa kali.
“Trihasta ... kau dimana ... ?” panggil Jalu Samudra.
Kembali tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara gemericik air mengalir di kamar mandi sehingga Jalu berkesimpulan Trihasta Prasaja tidak bisa mendengar karena terhalang suara gemericik air jatuh.
Namun saat mengetuk pintu kamar mandi, alangkah terkejutnya Jalu Samudra karena ternyata pintunya terbuka sendiri, mungkin karena si penghuni tidak menutupnya dengan benar, sehingga dengan sedikit sentuhan saja pintunya jadi terbuka.
Begitu pintu terkuak lebar-lebar, terlihat sesosok gadis sedang membasuh tubuh putih mulus di bawah pancuran air dengan posisi tepat menghadap ke arah Jalu Samudra.
Jalu Samudra justru terperanjat kaget bukan alang kepalang!
Mata putihnya melihat jelas tubuh telanjang seorang gadis muda lengkap dengan sepasang bukit kembar padat menantang!
“Jaluuuu ... !” terdengar jeritan khas seorang gadis. “Apa-apa’an kau ini!?”
Si gadis sendiri terlihat kaget, segera saja ia menutup sepasang bukit kembar membulat dengan kedua tangan, sedangkan kaki kanannya agak disilangkan dengan maksud untuk menutupi wilayah gerbang istana kenikmatan yang terpampang jelas, lalu posisi tubuh dibalik membelakangi. Namun akibatnya kini terlihat bongkahan pantat padat nan seksi.
Saat itu si Pemanah Gadis sangat kaget, takut si gadis menyangka dirinya sengaja berbuat kurang ajar.
“Eh ... ma ... maaf ... itu ... ee ... aku ada perlu dengan Trihasta ... dia ada ... ?” kata Jalu Samudra terbata-bata sementara tubuhnya mematung tanpa bisa digerakkan dengan sepasang mata putih tetap menatap tubuh si gadis tanpa bisa dikendalikan.
“Wah, berabe nih ... “ pikir Jalu Samudra. “Ga tahunya dia sembunyi’in gadis di kamarnya. Cantik dan sexy betul dia! Dapat darimana dia? Perasaan waktu datang cuma sendirian deh ... “
Melihat yang masuk adalah Jalu Samudra, si pemuda buta yang memiliki kesaktian edan-edanan, hati si gadis sedikit lebih tenang. Meski tidak bisa menyembunyikan rasa malunya, gadis itu tetap berusaha setenang mungkin.
“Oh ... iya ... ada perlu apa?” suara merdu terdengar dari bibir sang gadis dengan tetap membelakangi Jalu Samudra sambil menutupi sepasang bukit kembar. Sementara itu, air dari pancuran terus mengguyur tubuh sekal si gadis, sehingga memantulkan segala keindahan yang dimiliki tubuh mulusnya.
“Trihasta dimana?”
“Aku ini ... Trihasta Prasaja!” bentak si gadis yang mengaku bernama Trihasta Prasaja.
“Ah, masa’ kau Trihasta?” ucap Jalu meragu. “Bo’ong nih!?”
“Dasar Jalu brengsek! Lihat mata dan wajahku!” tukas gadis yang mengaku Trihasta sambil membalik pinggang namun tetap menutupi sepasang bukit kembar dengan ke dua tangan.
“Sama, ‘kan?” kata si gadis setelah si Jalu terdiam beberapa saat. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. “Bego benar aku ini! Dia kan buta, mana bisa melihat?”
Meski agak malu, gadis cantik yang mengaku bernama Trihasta berjalan mendekati Jalu Samudra yang tetap memandang tanpa kedip dengan mata putihnya. Kedua tangannya sudah tidak lagi menutupi bongkahan padat menantang dengan ujung-ujung berwarna merah segar.
“Kalau begini bagaimana?” katanya dibuat berat seperti suara Trihasta yang biasa di dengar Jalu.
“Aku percaya.”
“Kau benar-benar percaya?”
Jalu mengangguk.
“Lebih baik kau berpakaian dulu,” kata Jalu beranjak pergi dengan tetap mengetukkan tongkat hitam, suatu kebiasaan yang tidak pernah lepas dari tangannya dan duduk di kursi dekat ranjang dengan degup jantung yang sangat cepat.
Sesaat kemudian terdengar langkah Trihasta Prasaja keluar dari kamar mandi. Gadis itu menutupi sebagian tubuhnya dengan selembar kain pendek, hingga bagian pahanya dengan jelas terlihat begitu indah.
Sementara itu si Pemanah Gadis terus memandangi tubuh Trihasta Prasaja, memandangi paha mulus yang tertutup sekedarnya, jika saja gadis yang menyamar ini agak membungkuk pasti pantatnya akan terlihat cukup jelas. Si Pemanah Gadis terus menikmati pemandangan indah itu, rangsangannya begitu kuat sehingga terasa sekali bagian bawah perutnya terasa menegang.
Jika saja tidak ditahan, pasti malu-maluin dech!
“Maaf tadi ... tadi nggak sengaja,” kata Jalu pelan.
“Iya ... udah ... nggak apa-apa ... “ sahut Trihasta Prasaja dengan suara merdu sambil berdiri di depan Jalu Samudra. “Toh kau buta, jadi tidak bisa melihat tubuhku. Tapi kau harus berjanji, tidak akan mengatakan kejadian ini pada siapapun!”
“I ya deh ... i ya ... “
“Jalu! Ada perlu apa kau mencariku?” kata lembut Trihasta Prasaja.
“Di bawah kapal ada ... “
Belum lagi suara Jalu terucap sepenuhnya, tiba-tiba saja terdengar suara keras.
Brakk! Brakk ... !
“Celaka!” seru Jalu Samudra. “Kawanan itu sudah mengamuk.”
“Kawanan apa?”
Kembali terdengar suara keras berderaknya kayu. Namun belum lagi Jalu Samudra beranjak dari duduknya dan Trihasta Prasaja bertanya lebih lanjut apa yang terjadi, tiba-tiba ...
Brakkk ... ! Brakkk ... ! Brakkk ... !
Rupanya, kawanan Ikan Gajah Putih menjadi liar saat mendengar suara-suara sorak-sorai penumpang kapal Surya Silam bahkan ada diantaranya yang melempari bergaai jenis makanan ke laut. Seekor Ikan Gajah Putih yang berukuran lebih kecil, melesat cepat dari bawah air dan membenturkan moncongnya ke lambung kapal.
Brakk!
Beberapa orang terjatuh ke dalam air dan tanpa sempat menyelamatkan diri lagi, mereka yang terjatuh ke laut dalam waktu kurang dari satu kedip telah menjadi penghuni perut kawanan Ikan Gajah Putih.
Mungkin besok pagi sudah jadi kotoran ikan!
Brakk! Brakk!
Beberapa ekor ikan putih raksasa berebutan menghantamkan moncong ke lambung kapal Surya Silam, hingga dalam waktu tidak kurang dari tiga puluh detik, kapal Surya Silam pun karam!
Blubb! Blubb!
Kapal tenggelam begitu cepat.
Bahkan si Pemanah Gadis sendiri yang entah bagaimana, tahu-tahu sudah berada di dalam air. Begitu menyentuh dinginnya air, Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ kembali menunjukkan kelasnya.
“Dimana gadis itu?” gumam Jalu Samudra. Kepala mengedar, lalu menangkap sesosok tubuh sedang sibuk mengikat kain yang melilit tubuhnya. “Itu dia!”
Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga berenang ke arah gadis yang bernama Trihasta Prasaja, lalu mendekap erat tubuh si gadis.
Krepp!
Trihasta Prasaja tentu saja kaget, namun melihat siapa yang telah mendekapnya, dia hanya memandang penuh terima kasih.
“Atur napasmu,” kata Jalu Samudra dalam air.
Si gadis mengangguk sambil menjungkitkan alis keheranan, pikirnya, “Gila! Dalam air pun ia bisa berbicara seperti biasa! Kesaktian macam apa yang dimiliki si buta ganteng ini?”
Beberapa orang pesilat yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi, masih bisa bertahan di dalam air. Namun, sergapan ganas dari kawanan Ikan Gajah Putih membuat mereka salang-tunjang tak karuan. Bagaimana pun juga, penguasa laut ini merupakan biangnya mahkluk buas penghuni laut. Gerakan mereka gesit meski tubuhnya besar luar biasa.
Crakk! Crakk!
Cukup dengan membuka mulut saja, lima orang langsung tertelan sekaligus dan dengan gigi-gigi tajam sebesar batang kelapa, langsung mengunyah ‘makanan gratis’ yang ada.
Dia kejauhan, sejarak tujuh tombak terlihat satu bola cahaya warna hijau pupus membungkus sosok tubuh seseorang. Beberapa Ikan Gajah Putih berusaha menelan bola cahaya hijau, namun dengan gesit pula, bola cahaya hijau berhasil menghindar sambil melontarkan poukulan-pukulan mematikan ke arah kawanan Ikan Gajah Putih.
Blamm! Blamm!
Meski tidak membuat matinya ikan, namun cukup menyakitkan juga dan pada akhirnya kawanan ikan meninggalkan bola cahaya hijau pupus, mengarahkan pada buruan lain yang paling gampang.
Jalu sendiri belum pernah melihat ilmu kesaktian seperti itu, namun setidaknya ia bisa menduga siapa orang yang berada di dalam bola cahaya hijau pupus.
Siapa lagi jika bukan Adiprana, murid Naga Terkutuk Dari Neraka!?
Seekor Ikan Gajah Putih berukuran sedang menerjang dengan mulut terbuka lebar siap mencaplok tubuh Jalu dan Trihasta sekaligus.
Srattt!
Dengan sigap, Jalu melesat ke atas menghindar. Namun, sosok Ikan Gajah Putih ternyata berlaku cerdik. Mangsa pertama lolos, sosok lain telah menerjang dari belakang.
“Weeee ... ikan kurang ajar! Beraninya main keroyokan!?” seru Jalu sambil berkelebat kesana-kemari sambil mendekap erat Trihasta Prasaja.
Namun pada sergapan yang kesekian kali, dekapannya pada Trihasta terlepas, yang terpegang cuma selembar kain yang tadi dipakai si gadis.
Lepas dari perlindungan Jalu Samudra membuat Trihasta Prasaja yang kini telanjang bulat menjadi kelimpungan. Tidak ada waktu untuk malu, yang ada dalam otaknya hanya menyelamatkan selembar nyawanya. Namun ...
Crasss!
Secepat-cepatnya Trihasta bergerak dalam air, toh tetap kalah cepat dengan sambaran ikan raksasa ini.
Tak pelak lagi, dada kiri yang membusung tersayat sirip ikan! (Aduuh ... eman-eman rek ... !!)
Seketika, gadis yang mengaku bernama Trihasta Prasaja segera merasakan sakit yang merejam di dada kirinya. Darah merah tersembur keluar, dan praktis saja air langsung masuk ke dalam paru-paru karena tanpa sadar tatkala Trihasta menjerit kesakitan.
Akan tetapi belum lagi rasa sakitnya bisa diatasi, dari bawah kaki si gadis, kembali menerjang cepat ikan putih raksasa dengan mulut terbuka lebar ke arah sepasang kaki si gadis.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
BAGIAN 22


Crakkk!
Karena dua kakinya bergerak terus, kaki kiri selamat tapi kaki kanan Trihasta Prasaja langsung putus!
Kembali Trihasta menjerit kesakitan, namun yang keluar justru suara seperti orang tercekik disertai gelembung-gelembung udara keluar dari mulut.
Pertahanannya jebol sudah!
Trihasta jatuh pingsan di dalam air!
Jalu yang sedang sibuk dan mendengar ’jerit kesakitan’ dari Trihasta Pasaja segera bergerak menghindar cepat.
“Kalian memang tidak bisa diberi hati!” bentaknya sambil mengerahkan tingkat pertama dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ sehingga tangan kiri memancarkan sinar biru kusam sedang tangan kanan bersinar hitam cemerlang. Lalu dengan sigap tangan kanan-kiri mengibas ke belakang!
Wutt! Wutt ... !
Dua bentuk hawa naga warna biru kusam menerjang ke arah kawanan Ikan Gajah Putih yang ada di belakang sedang hawa naga yang berwarna hitam cemerlang menerjang ke arah Ikan Gajah Putih yang menyerang Trihasta Prasaja.
Blamm! Blamm ... !!
Jurus ‘Naga Sakti Menggoyang Ekor (Shen Long Bai Wei)’ dari Ilmu ‘18 Jurus Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’ yang digunakan si Pemanah Gadis memang tidak sedahsyat jika dilakukan di atas permukaan tanah, namun efek daya ledak yang menggelora tetap menjadi daya hancur tersendiri.
Empat ekor Ikan Gajah Putih langsung hancur berantakan terkena sambaran hawa dahsyat dari jurus ‘Naga Sakti Menggoyang Ekor (Shen Long Bai Wei)’ bahkan yang menyerang Trihasta Prasaja luluh-lantak kecuali bagian mulutnya.
Jalu segera berkelebat cepat lalu menyambar tubuh pingsan si gadis.
Tappp!
“Kakinya hilang satu!” kata Jalu kaget.
Matanya bergerak memandang ke sekeliling.
Sesaat matanya terpaku pada sosok kepala ikan yang melayang-layang tanpa badan lagi.
“Rupanya dia yang gigit. Brengsek! Sempat-sempatnya ikan kampret ini memilih gadis cantik di saat begini!” gumam Jalu sambil berenang mendekat. Diambilnya potongan kaki milik Trihasta Prasaja.
Di ujung sana, masih terlihat empat ekor Ikan Gajah Putih yang berpesta pora daging teman-temannya yang hancur akibat pukulan maut si Pemanah Gadis, namun Jalu tidak melihat satu sosok pun manusia yang bisa diselamatkan.
Baru kali ini murid Dewa Pengemis menyadari satu hal.
Bagaimana pun juga ia juga manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Sehebat-hebatnya dia, tetap juga tidak bisa mendahului kehendak Sang Penguasa Jagad.
Kali ini Jalu Samudra mengakui keunggulan mahkluk penghuni laut!
Jalu segera berenang ke permukaan air sambil membopong Trihasta Prasaja termasuk potongan kaki si gadis.
Sejenak matanya mengedar. Seulas senyum kecil terhias saat sejarak lima tombak di depan melihat potongan papan yang lumayan lebar. Kesanalah ia berenang dengan ’barang bawaannya’.
“Hemm ... kukira papan ini cukup lebar dan kokoh,” gumamnya sambil meletakkan sosok pingsan Trihasta Prasaja yang telanjang bulat. Diperiksanya luka si gadis, “Gila! Dadanya ampe terbelah lebar begini! Benar-benar ikan kurang ajar!”
Jalu segera duduk bersila sambil mengerahkan jurus pertama dari Ilmu ‘Tapak Sembilan’ yang bernama ‘Sambung Nyawa’ untuk mengobati luka robek yang diderita Trihasta Prasaja. Saat dua tangannya memancarkan sinar ungu transparan segera saja mengusap-usap lembut dada yang robek besar.
Srett!
Dua kali usapan, luka menganga di dada kiri Trihasta Prasaja langsung sirna. Namun dasar jahil, Jalu justru keenakan mengusap-usap dada membusung si gadis yang sudah kembali normal.
Tangan kirinya mengambil potongan kaki kanan dan diletakkan dekat paha si gadis. Kali ini, si Pemanah Gadis mengerahkan jurus ‘Sambung Tulang dan Nadi’ untuk menyambung kembali tulang dan urat-urat yang terputus.

--o0o--

“Uhhh ... dimana aku ini?” desis seorang gadis saat terbangun dari pingsannya.
Tiba-tiba saja ...
“Aaaahhh ... kakiku ... kakiku .... !”
Tanpa sebab yang jelas, gadis itu berteriak-teriak seperti orang gila.
Atau dia memang benar-benar gila?
Namun, saat melihat kakinya utuh, dia justru menghela napas lega.
Tiba-tiba ia meraba dada kirinya.
“Heran, tidak sakit,” gumamnya.
Disibaknya baju di bagian dada kiri.
Srett!
Yang terlihat hanya dada putih kencang membusung tanpa luka alias mulus total. Sesaat terlihat rona kebingungan di wajah cantik itu.
“Aku masih ingat, dada kiriku robek besar tersambar sirip ikan putih raksasa dan ... kaki kananku putus,” gumamnya. “Tapi kenapa sekarang pulih seperti sedia kala? Seperti tidak pernah terjadi apa-apa padaku! Aneh!”
Saat memandang berkeliling, ia mendapati dirinya berada di atas kasur kapas empuk. Di kiri kanannya hanya ada papan panjang yang ditancapkan begitu saja seakan papan panjang itu sudah menyatu dengan papan kayu yang menjadi alasnya.
Di paling pojok sebelah kanan, ada tiga guci besar yang entah apa isinya. Di sebelahnya ada tungku yang masih merah menyala. Di sebelah tungku, ada tumpukan arang yang cukup untuk menimbun kerbau. Beruntunglah barang-barang di pojok ‘ruangan’ di sekat tersendiri sehingga tidak mengotori ‘ruangan’ yang lain.
Kembali mata indah si gadis memandang mengedar.
Di tiap sudut papan kayu selebar lima kali lima tombak terdapat tiang penyangga setinggi dua tombak yang menyangga sebentuk kotak berongga berbentuk limas. Jika dilihat sekilas, seperti sebuah gubuk dari kayu yang biasa dibuat para petani.
Yang jadi masalah cuma satu, gubuk aneh itu mengapung di atas air!
“Lalu ... ini baju siapa?” gumamnya. Ia masih ingat dirinya tidak memakai apa-apa kala diserang Ikan Gajah Putih. Tanpa sadar, si gadis berdiri sambil memandang suasana ke sekelilingnya. Dan saat berdiri, ia merasakan sensasi semilir di bawah perutnya.
“Brengsek! Ternyata aku cuma pake baju saja,” desisnya kembali.
Sesaat setelah desisan si gadis yang cuma pakai baju atas saja, tepatnya di bagian depan gubuk aneh, dari bawah terlihat sebentuk tonjolan di permukaan air yang semakin lama semakin membesar. Bahkan sekarang menyerupai gunung kecil yang terbuat dari air.
Mata si gadis membelalak!
“Apa lagi itu!?” desisnya. “Jangan-jangan ikan kemarin datang lagi?”
Hingga pada akhirnya ... dari dalam gunung air melesat keluar satu sosok tubuh kekar.
Byarrrr!!!
Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali, terus melesat cepat ke arah gubuk di atas air.
Plekk!
“Sudah sadar?” tanya sosok tubuh yang ternyata pemuda bertelanjang dada. “Lama sekali kau pingsan. Dua hari dua malam aku menunggumu bangun, jadi bosan sendiri.”
“Jalu!?” kata si gadis, heran.
“I ya ... kaget ya?” sahut si pemuda bertelanjang dada yang ternyata Jalu Samudra adanya.
“Kau ... kau yang menolongku?”
“Betul.”
“Kau yang membuat gubuk antik ini?”
“Tidak salah!”
“Kau pula yang memakaikan baju padaku?”
“Seperti yang kau pakai sekarang.”
“Lalu ... kenapa kau tidak memakaikan celana sekalian!” bentak si gadis.
“Enak aja! Emangnya aku harus telanjang bulat apa?” sahut Jalu, enteng. “Inget, Non! Yang kau pakai itu bajuku. Bisa saja aku memintanya kembali. Lagi pula, di sini kalau malem dingin menusuk tulang.”
“Jadi kau ... kau telah melihat semua?” kata si gadis makin lirih setelah menyadari kalau perkataan yang baru saja terlontar tidak pantas diucapkan.
“Lho, bukannya pas mandi kemarin aku juga sudah melihatnya?”
Keduanya terdiam beberapa saat.
“Kita makan dulu,” kata Jalu memecah kesunyian.
“Tapi ... “
“Apalagi sih ... “
“Apa ... benar-benar tidak ada celana disini?” tanya si gadis kembali.
Jalu menghela napas, lalu berkata, “Trihasta ... “
“Nagagini!” kata si gadis. “Namaku Nagagini.”
“Baiklah! Gini ... “
“NAGAGINI!” bentak Nagagini, mulutnya langsung meruncing. “Jangan panggil namaku dengan sepotong-sepotong seperti itu!”
“Oke ... oke ... ! Nagagini! Sekarang kau tinggal pilih, pakai baju tanpa celana atau pakai celana tanpa baju?” kata Jalu memberi pilihan. “Sebab disini cuma ada satu baju dan satu celana, yaitu milikku sendiri.”
“Apa tidak ada pilihan lain?”
Jalu menggeleng.
Setelah menimbang beberapa saat, barulah Nagagini berkata, “Yach ... terpaksa dech. Ga ada yang lain. Lagipula kita cuma berdua di tengah laut ini.”
“Hehehehe, pasrah juga dia,” kata hati Jalu Samudra.
Pada awalnya Nagagini agak rikuh karena berulang kali angin laut yang nakal menerjang dari bawah hingga baju biru lautnya yang kebesaran menggelembung kemasukan angin yang tentu saja segala macam perabotnya yang ada dibawah perut karena tidak bercelana jadi tontonan gratis.
Akan halnya Jalu sendiri sering tertawa melihat tingkah gadis muda yang sebelumnya menyamar menjadi laki-laki dengan nama Trihasta Prasaja itu. Berulang kali mata putihnya melihat sebentuk ‘pemandangan yang luar biasa indahnya’.
Akhirnya, Nagagini capek sendiri dan membiarkan saja angin laut berbuat semaunya.
Keduanya duduk di tepian gubuk sambil kaki dimasukkan ke dalam air.
Sambil makan ikan laut yang telah matang karena dibakar di atas tungku, Jalu berkata, “Kenapa kau menyamar jadi laki-laki?”
“Supaya aman dari laki-laki jahil macam dirimu,” tukas Nagagini sambil mengunyah daging ikan.
“Ada maksud lain?”
“Ngga ada. Cuma itu saja,” sahut Nagagini sambil tangan kirinya membalik ikan bakar agar tidak gosong, “Hanya saja, aku kehilangan teman-teman dari Perguruan Golok Tanpa Bayangan. Kasihan mereka.”
“Aku turut berduka cita.”
“Terima kasih,” jawab Nagagini. “Boleh kupanggil Kakang Jalu? Tidak enak rasanya dengan orang yang lebih tua berbicara ceplas-ceplos.”
“Aku tidak keberatan. Dipanggil kangmas boleh, kakanda juga tidak menolak, kakang juga tidak salah,” sahut Jalu sekenanya. “Apalagi dipanggil ‘suamiku’!? semakin ngga bisa nolak, hahahahah!”
“Ahhh ... brengsek kau!” seru Nagagini sambil mendorong pelan bahu Jalu.
Keduanya bercanda hingga sore pun menjelang.
“Nagagini, aku sempat melihat ilmu cambukmu ada kalanya macet atau tenaga dalam tidak tersalur dengan sempurna,” tanya Jalu Samudra. “Apa ada hal-hal yang membuatmu tidak bisa menguasai ilmu cambukmu dengan baik.”
“Benar, Kang! Jurus cambuk yang kupelajari dari Nini Guru Parikesit yang warga persilatan menggelarinya sebagai Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal adalah jurus yang luar biasa aneh,” terang Nagagini.
“Anehnya dimana?”
“Jurus cambuk ini akan mudah dikuasai oleh orang cacat,” ucap Nagagini sambil memandang kaki kanannya yang kini telah utuh kembali. “Nini Guru sendiri berhasil menguasai 19 jurus Ilmu ’Cambuk Cacat’ tangan kirinya putus akibat serangan lawan.”
“Apa kau ... menyesal kaki kananmu kusambung lagi?” tanya Jalu Samudra sambil melirik kaki kanan Nagagini yang sebelumnya putus.
“Tidak, lebih baik aku tetap seperti ini dari pada berkaki tunggal,” sahut Nagagini, masgul. “Jadi gadis cacat apa enaknya?”
”Kan jadi orang sakti,” potong Jalu, cepat.
”Tetep ga enak,” sahut Nagagini dengan mata melotot indah.
Enak buat dicolok!
“Apa ada cara lain menguasai Jurus ’Cambuk Cacat’ selain memutuskan salah satu anggota tubuh?” tanya Jalu Samudra kembali.
“Menurut Nini Guru Parikesit ... tidak ada.”
Jalu sedikit heran dengan ilmu ’Cambuk Cacat’ yang dimiliki oleh gadis yang cuma memakai baju atas itu. Selama hidupnya, baru kali ini ia mendengar kalau ingin menguasai ilmu silat harus menjadi cacat dulu.
Apa jangan-jangan dirinya juga begitu?
Cuma bedanya, ia cacat mata sejak lahir, meski sekarang bisa melihat dunia seperti orang bermata normal.
Cuma ... ya cuma ini ... matanya tetep aja putih!
Mata putih yang sering bikin orang salah sangka kalau ia bermata buta.
“Bisa memperagakan salah satu jurus cambukmu? Itu kalau tidak keberatan, lho! Mungkin saja aku bisa membantumu meningkatkan kemampuan,” kata Jalu Samudra sambil mengulurkan sebuah tali tambang sepanjang tiga tombak. “Kalau mau ... nih, anggap saja ini cambuk.”
Nagagini tersenyum manis.
Dia tahu seberapa hebat Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis ini. Tokoh hitam sekelas Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil saja sanggup ditumbangkan dengan mudah, pastilah pemuda ganteng bermata putih yang sekarang bertelanjang dada ini memiliki kesaktian tanpa tanding.
“Baiklah,” ucap Nagagini sambil berdiri, “Tapi kalau salah jangan diketawain.”
Tidak, tidak, tidak,” kata Jalu sambil menggoyangkan tangan kiri pulang-pergi.
”Jurus ini bernama ’Antara Ada Dan Tiada’. Coba Kakang Jalu perhatikan!”
Tubuh Nagagini berkelebat ke tengah gubuk, lalu menggerakkan tali tambang pengganti cambuk ke sana kemari dengan sigap. Ujung tali tambang mematuk-matuk liar tak tentu arah.
Wertt! Wertt!
Ada kalanya menyerang ke sudut mati yang jelas-jelas tidak bisa dicapai dalam satu serangan. Menginjak ke pertengahan jurus, ujung tali tambang mendadak kehilangan kontrol. Ujung tali tambang bergerak liar tanpa sebab yang jelas. Pada akhirnya justru menjerat kaki kiri Nagagini dan akibatnya ...
Brughh!
Tubuh gadis baju biru kedodoran itu jatuh meninju lantai. Untung saja tidak jebol.
Jalu segera memburu dan membantu bangun Nagagini.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa, Kang.” kata Nagagini sambil bangkit berdiri. “Sudah tradisi.”
”Tradisi?”
”Maksudku ... tradisi jatuh, hihihi ... ” sahut Nagagini sambil terkikik geli.
Jalu pun tertawa lirih.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAK BERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
BAGIAN 23


“Sudahlah, nanti kita pikirkan cara menguasai jurus cambukmu yang aneh itu tanpa membuatmu menjadi gadis cacat,” hibur Jalu Samudra setelah tawanya hilang.
Tanpa terasa, malam pun menjelang.
Jalu menyulut obor dengan sebagian kecil tenaga dalamnya lalu menancapkan di tiap ujung gubuk sehingga gubuk terlihat terang benderang.
“Sebenarnya aku punya tujuan lain naik kapal Surya Silam,” tutur Nagagini setelah Jalu Samudra duduk di sampingnya.
“Boleh ... aku tahu?”
“Sebenarnya tidak boleh, tapi karena Kakang telah menolongku, kukira tidak ada salahnya aku katakan,” jawab gadis murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal ini.
Jalu diam menanti kelanjutan cerita Nagagini.
Tidak bertanya, hanya menunggu kelanjutan perkataan si gadis berbodi mantap ini.
“Aku sedang mencari sebuah pulau yang bernama Kepulauan Tanah Bambu,” sahut Nagagini kemudian. “Hanya aku sendiri tidak tahu tempatnya. Yang kudengar letaknya di tengah laut dan selalu diselimuti kabut gaib. Itu saja.”
Jalu Samudra tersentak kaget!
Ternyata tidak hanya dirinya yang mencari Kepulauan Tanah Bambu. Gadis cantik yang tidak pakai apa-apa di bagian bawah tubuhnya ini juga tengah mencarinya. Jangan-jangan bukan hanya dirinya dan Nagagini saja yang berniat ke pulau itu? Mungkin pula Adiprana alias si Naga Terbang dan yang lainnya memiliki tujuan yang sama?
“Kakang Jalu terlihat kaget ... atau jangan-jangan Kakang juga mempunyai tujuan yang sama denganku?” tebak Nagagini saat melihat rona kekagetan di wajah si Pemanah Gadis.
“Aku juga punya tujuan yang sama,” tutur Jalu kemudian setelah mempertimbangkan masak-masak untuk mengatakan maksud dan tujuannya, “Tapi sebelum kukatakan apa tujuanku mencari tempat yang konon katanya diselimuti kabut gaib itu, apa kau bisa mengatakan tujuanmu terlebih dahulu?”
“Aku hanya mencari seseorang, tepatnya saudara seperguruan guruku yang memilih jalur sesat akibat pengaruh seseorang,” terang Nagagini.
”Pasti dia oorang yang dikenal di rimba persilatan.”
“Warga persilatan menjulukinya ... Nyai Kembang Hitam.”
“Nyai Kembang Hitam? Rasa-rasanya pernah dengar. Dimana ya?” desis Jalu sambil berusaha mengingat-ingat. Namun hingga kepalanya pening, ga ketemu juga.
“Kupret! Udah mikir ampe pusing ga tahu juga,” pikirnya.
“Dari kabar yang berhasil kusirap, ia berhasil menyusup masuk ke wilayah Kepulauan Tanah Bambu. Tujuannya hanya satu! Mencuri kitab sakti yang bernama Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’. Dengan menguasai intisari dari kitab ini, kabarnya bisa membuat orang awet muda dan memiliki umur panjang serta menguasai ilmu kesaktian tanpa tanding.”
Jalu Samudra mengangguk-anggukkan kepala mendengar keterangan dari Nagagini.
“Kalau begitu, tujuanmu berbeda denganku,” lalu sambil memperbaiki duduknya, kembali pemuda telanjang dada ini berkata, “Aku disuruh ... tepatnya diminta seseorang untuk mengembalikan sebuah benda ke pemilik syah Kepulauan Tanah Bambu.”
“Sebuah benda?”
“Tepatnya ... sebuah kujang.”
“Kujang?” tanya heran Nagagini dengan kening berkerut. “Setahuku, senjata kujang hanya dimiliki para petinggi dari Tanah Pajajaran nun jauh di ujung barat Pulau Jawadwipa.”
“Tepat! Perkataanmu sama persis dengan ucapan Ki Gegap Gempita ... “
“Oooo ... dari Kitab Pengelana rupanya.”
“Kau kenal?”
“Bukan hanya kenal, tapi Ki Gegap Gempita dari Aliran Danau Utara masih terhitung pamanku ... tepatnya adik ipar dari ayahku.”
“Oooo ... pantes ... ”
“Boleh kulihat senjatamu, Kang?”
“Yang ini ... ” sahut Jalu sambil menuding bawah perutnya. Tentu saja ia bermaksud bercanda.
Selebar muka sontak Nagagini merah matang.
Maklum aja, masih perawan ting-ting!
Jadi kalau disinggung dengan ’kata-kata ajaib’ seperti itu, mukanya sedikit-sedikit merah. Waktu diliat Jalu pas mandi saja malunya sudah kagak ketulungan, apalagi pas sesi penyelamatan diserang Ikan Gajah Putih yang pakai acara peluk-pelukan segala yang secara tidak sengaja menyentuh langsung dada kencangnya, makin membuat dirinya malu bukan main.
“Maksudku ... kujang yang Kakang ceritakan,” katanya dengan sedikit menunduk malu. Pikirnya, “Duuuh ... mukaku pasti merah nih ... “
Jalu sedikit terperangah melihat rona merah semburat di wajah si gadis. Rona itu semakin menambah kecantikannya di antara bias cahaya obor. Sulit sekali mengungkapkan dengan kata-kata yang tepat untuk keadaan Nagagini saat ini.
Intinya ... benar-benar memukau!
Murid Dewa Pengemis segera mengusap telapak tangan satu sama lain sebanyak tiga kali.
Settt!
Pada usapan ketiga, seolah keluar dari alam gaib tahu-tahu di telapak tangan kanan pemuda sakti dari Goa Walet ini tergeletak benda berbentuk huruf ‘S’. Sebuah senjata berbentuk unik. Di bagian bawah melengkung sedikit bertolak belakang di bagian depan. Sedang dekat ujung yang tajam dan runcing terdapat sembilan lubang kecil-kecil. Panjang dari ujung hingga hulu tidak lebih dari sejengkal. Sedangkan gagang senjata unik ini hanya setengah jengkal saja.
“Ini pasti merupakan benda pusaka yang jarang tandingannya,” kata Nagagini sambil mengambil benda di tangan Jalu. Diamati dan ditimang-timang sebentar, lalu dikembalikan ke telapak tangan kanan Jalu Samudra. “Berat dugaanku, benda ini seperti sejenis kujang yang ada di Tanah Pajajaran.”
“Menurut Ki Gegap Gempita juga begitu,” kata Jalu sambil mengusap-usap dua telapak tangan yang didalamnya terdapat kujang dan dalam usapan ketiga, benda itu lenyap.
“Hihihi, kau ini seperti tukang sihir saja,” gurau Nagagini sambil tertawa merdu. “Kapan-kapan aku juga mau belajar ilmu seperti itu.”
“Boleh,” sahut Jalu Samudra, lalu sambungnya, “ ... tapi ngomong-ngomong ... “
“Apa?”
“Sudah saatnya kau mandi,” kata Jalu Samudra sambil mendorong Nagagini dengan tiba-tiba.
Byurrr ... !
Tak pelak lagi, Nagagini langsung terjatuh ke air dengan sukses!
“Dasar brengsek!” seru Nagagini saat muncul ke permukaan air. Tangannya bergerak pelan memercikkan air. Namun karena Jalu Samudra sudah menghindar menjauh sambil tertawa terbahak-bahak.
“Dari tadi aku mencium bau kecut, rupanya kaulah sumbernya.”
“Ahhh ... bodo!” gerutu Nagagini, setelah beberapa saat merasakan kesegaran air, murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal keluar dari air. Baju yang basah mencetak denagn sempurna segala sesuatu yang ada di tubuh Nagagini.
Katanya gusar, “Liat nih ... bajuku jadi basah kuyup begini. Mana ga ada ganti lagi?”
“Gampang-lah. Lepas aja bajunya. ’Kan beres!?” timpal Jalu.
“Huh, lepas baju!? Enakan Kakang Jalu dong!”
“Kalau ga di lepas, ga cepat kering,” sahut Jalu kembali.
“Kalau cuma keringin baju, ahh ... kecil!” katanya sambil menjentikkan jari.
Segera saja Nagagini pasang kuda-kuda kokoh dengan dua tangan terkepal di samping. Disertai tarikan napas lembut, dua tangan di dorong ke depan secara perlahan.
Woshhh ... !
Pelan tapi pasti, keluar asap tipis berhawa panas dari tubuh si gadis. Gerakan tangan dan tarikan napas dilakukan terus-menerus hingga gumpalan uap semakin lama semakin banyak.
“Cerdik juga dia! Pakai tenaga dalam sejenis inti api untuk mengeringkan baju,” kata hati Jalu Samudra melihat olah jurus yang dilakukan Nagagini. Dan setelah sepenanakan nasi, barulah ia menghentikan olah jurus dan napas.
“Gimana? Kering, bukan?” katanya sambil merentangkan tangan, lalu memutar-mutar tubuhnya.
Tanpa terasa, malam pun menjelang tiba.
Benar seperti apa yang dikatakan si Pemanah Gadis, jika malam hari, angin laut terasa dingin menusuk tulang. Yang jelas, angin berhembus keras sekali malam itu. Dinginnya terasa sekali menusuk tulang dan sumsum. Belum lagi dengan bunga-bunga es beterbangan seperti pasir putih di sekitar gubuk aneh tempat mereka berdua bermalam. Jalu sengaja membiarkan Nagagini bertahan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Ia berniat melihat seberapa jauh Nagagini sanggup bertahan dalam situasi seperti itu.
Kadang-kadang, ia merasa Nagagini adalah seorang lemah yang perlu dilindungi!
Apalagi, si gadis melihat suasana malam untuk pertama kalinya mengaku agak ngeri melihat cuaca malam ini. Di tengah laut --apalagi cuma berdua dengan seorang pemuda-- cuaca seperti ini memang menambah suasana semakin mencekam. Suara angin seperti raungan raksasa yang sedang marah. Gelap-gulita di sekeliling gubuk, tak terdengar suara apa-apa selain badai angin yang mengamuk!
Beruntung jalu sudah memberi pemberat di tiap sudut gubuk hingga tidak begitu terguncang-guncang terkena tiupan angin.
Jalu mendengar gigi Nagagini bergemeletuk menahan dingin.
Tidak tega, Jalu mendekati sang gadis, dan memeluknya dengan hangat.
Nagagini sendiri pada mulanya merasa bagai dimasukkan ke dalam air beku, namun begitu pemuda yang kemana-mana selalu mengetukkan tongkat hitamnya ini memeluk tubuh menggigilnya, terasa kehangatan menjalari tubuh hingga dalam dua helaan napas saja, rasa membeku hilang seketika.
Bagaimana pun, perkara hangat-menghangati, Jalu Samudra adalah pakarnya!
Dengan mengerahkan sedikit saja dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, sudah lebih dari cukup untuk menahan hawa dingin akibat amukan badai angin dan terpaan bunga-bunga es. Baginya, hawa dingin di laut tidak seberapa dingin jika di banding dengan hawa dingin kalau Kumala Rani mengalami penyempurnaan Ilmu ’Tenaga Sakti Kabut Rembulan’ yang sanggup memaksanya mengerahkan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ hingga beberapa tingkat.
Kemudian, jalu membimbing nagagini ke kasur empuk dari kapas yang diletakkan menyudut dan terhalang oleh papan tebal. Tahulah sekarang nagagini fungsi dari papan yang dibuat memanjang.
Untuk menahan angin rupanya.
Desah nafas Nagagini dekat sekali di pipi Jalu. Harum mulut gadis itu juga sampai samar-samar di hidung Jalu. Entah sengaja atau tidak, bibir Nagagini yang agak basah itu sesekali menyentuh pipi Jalu.
“Takut?” bisik Jalu di telinga Nagagini.
Jalu merasakan gadis itu mengangguk. Juga merasakan nafasnya agak cepat.
“Walah ... jangan-jangan dia ... “ pikir Jalu.
“Cium aku, Kang ... ” gadis itu berbisik, hampir tak terdengar.
Jalu tersenyum dalam keremangan.
“Ada-ada saja permintaan Nagagini. Tetapi ... mengapa tidak?” pikirnya. “Mungkin perlu juga berciuman di tengah badai di tengah laut.”
Perlahan Jalu menyentuh bibir Nagagini dengan bibirnya. Nafas gadis itu menyerbu mukanya, terasa semakin panas. Lalu, bibir gadis itu terbuka sedikit. Jalu mengecupnya ringan, membiarkan masih ada jarak di antara kedua mulut mereka.
Nagagini terdengar mendesah.
Gelisah.
Terasa gadis itu menggeser tubuh sintalnya semakin rapat ke tubuh Jalu. Di bandingkan Kumala Rani yang secantik bidadari atau Beda Kumala yang sedikit liar, Nagagini pastilah kalah (kalah pengalaman maksudnya ... ), meski dadanya sama-sama padat membusung. Walau begitu, jantung Jalu bergetar juga merasakan lengannya menekan dada Nagagini yang turun naik dengan cepat.
Nagagini kini merangkul leher Jalu --dan seperti tak sabar-- ia menarik pemuda itu sehingga bisa sepenuhnya berciuman. Jalu membiarkan gadis itu mengulum bibirnya dengan desah yang semakin gelisah.
Diam-diam Jalu khawatir juga, kemana arah percumbuan ini?
Lidah keduanya secara otomatis saling memagut, seperti dua ekor ular yang sedang bercengkrama. Jalu sebenarnya hanya ingin berciuman di bibir, tetapi tampaknya Nagagini ingin lebih dari itu. Dengan mau-tak-mau, Jalu menggunakan jurus ‘Lilitan Lidah Ular’ untuk mengimbangi gaya silat lidah Nagagini yang menurutnya masih amatir. Dengan jurus ini pula, Nagagini merasakan sebentuk kenikmatan yang semakin membuatnya merem-melek.
Sesaat kemudian, satu kakinya sudah naik, menumpang di paha Jalu. Tangannya semakin kuat merengkuh leher si pemuda. Nafasnya juga sudah semakin memburu.
Lalu, entah bagaimana mulanya, tangan Jalu telah menelusup ke balik baju biru laut yang membungkus tubuh Nagagini. Kini telapak tangan pemuda itu mengusap-usap benda kenyal di dada Nagagini yang memang sudah terbebas dari halangan apa pun karena memang si gadis tidak memakai apa-apa di balik bajunya. Gadis itu mengerang pelan, mulutnya semakin bersemangat menciumi Jalu. Nafasnya kini tersengal-sengal, dan badannya gelisah bergerak kesana-kemari.
Jalu membalas pagutan Nagagini. Dihisapnya kedua bibir gadis yang punya lesung pipit itu yang awalnya tidak ia ketahui karena ia memakai bedak tebal waktu ia menyamar sebagai Trihasta Prasaja. Dikulumnya lidah gadis itu yang sejak tadi menerobos masuk ke mulutnya. Kadang-kadang digigit perlahan salah satu bibir Nagagini, membuat gadis itu mengerang manja.
Nagagini merasakan tubuhnya dibungkus kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan, hingga tanpa sadar kedua pahanya menjepit erat salah satu paha Jalu. Karena di bagian bawah tubuhnya tidak mengenakan apa-apa, gerbang istana kenikmatan Nagagini mulai melembab terasa sekali di celana hitam si Pemanah Gadis. Cairan hangat terasa mengalir perlahan dari dalam pinggulnya. Selangkangannya terasa dipenuhi geli-gatal yang menggelisahkan. Dengan gerakan tak karuan, Nagagini menggosok-gosokan bagian depan gerbang istana kenikmatan ke paha Jalu.
“Oh ... seandainya saja Kakang Jalu ini mau memasukkan tangannya ke sana!” jerit Nagagini dalam hati.
Tetapi rupanya Jalu cepat sadar. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa melihat tingkah-polah gadis itu yang sedikit kasar, bisa dipastikan Nagagini benar-benar masih ‘utuh’!
Maka cepat-cepat ia menghentikan usapan tangannya di dada Nagagini, lalu menjauhkan mukanya dari muka gadis itu. Namun rupanya Nagagini sedang berpacu menuju titik puncak asmara pertamanya. Tubuh gadis itu sedang meregang ketika Jalu melepaskan ciumannya. Kedua pahanya erat mencengkeram paha Jalu, membuat pemuda itu meringis karena merasa agak pegal. Lalu, terdengar Nagagini mengerang pelan dan panjang.
“Ooooh ... ! Aaaaaaggh ... !”
Dan kedua kakinya kaku mengejang, menyusul guncangan di seluruh tubuh.
“Kakang Jalu ... jangan berhenti ... cium aku ... ” gadis itu mengerang di tengah guncangan tubuhnya.
Nagagini tampak menikmati momen itu.
Beberapa saat kemudian, Nagagini tersadar dari puncak kenikmatan asmaranya.
“Waaa, kok basah!?” jerit Nagagini saat ia merasakan sesuatu.
“Lhah, emang mau kekeringan?” canda Jalu sekenanya.
Gemas, Nagagini mencubiti pinggang si pemuda, yang hanya bisa mengaduh. Si pemuda hanya pasrah diserang demikian rupa.
Maklum, sakit-sakit nikmat!
“Nagagini, udahan belum?”
“Udahan apa?” Nagagini sedikit terkejut. ”Cubitnya!?”
“Mau diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi?”
Nagagini bisa merasakan desiran darah di wajahnya.
Ke tempat tingkat yang lebih tinggi?
Jauh di lubuk hatinya, ia merasa jengah. Membayangkan dirinya, seorang gadis, yang notabene masih benar-benar gadis, main peluk-cium dengan seorang laki-laki yang memang ia kagumi sejak awal meski belum kenal begitu lama. Tapi dalam benaknya mendorong untuk menerima tawaran itu.
Kapan lagi waktu yang lebih baik untuk mengenal seorang lelaki selain di rumah dan di ranjang?
“Nggak mau? Ya udah ... ” Jalu berkata selembut mungkin, pura-pura menekan nada kecewa dalam suaranya.
Wah ... buaya darat juga dia!

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAK BERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
Wah nimas rani udh gk nongol lagi yah....tuh suaminya lg nyari gadis baru lg...
 
Belum kebayang gubuk ditengah laut berdua...
kumala rani ama beda kemana hu...
 
Sayang cersil si pemanah gadis ga sampai tamat di tulis oleh sipengarang. Jujur sampai sekarang masih penasaran dengan jalan cerita di Tanah Bambu ini.

Klo cerita ini mentok kenapa ga di orbitkan cersil yg ada 17+ yang lain hu yang ada emblem Tamat, Seperti cersil Wisang Geni atau tabib gila yg bisa di tambahin bumbu-bumbu saat lagi bercinta yg oleh pengarang nya di sensor.

Nostalgia cersil, terima kasih hu udah di upload kembali ceritanya..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd