6
Permainan sudah memasuki putaran ke lima dan Ceu Lilis kelihatannya kalah melulu, wajahnya yang manis itu berubah masam. Tiba-tiba di depan gang, ada seseorang yang berlari kencang, selang beberapa menit kemudian terdengar riuh suara teriakan warga dan beberapa orang berlari di gang itu.
Ceu Lilis, Ceu Enah, Emak dan Bi Popong saling berpandangan. Lalu cepat-cepat mereka meraup uang masing-masing dan langsung membereskan kartu dan menyembunyikannya di bawah tikar. Semuanya bangkit dan pergi ke luar rumah.
Pada saat Ceu Lilis bangkit itulah roknya baru tersingkap.
Ugi yang sejak awal mempersiapkan diri untuk sekedar melihat celana dalamnya, terkesiap. Mulutnya melongo. Dia tidak bersiaga sama sekali akan melihat belahan memek Ceu Lilis yang agak kemerahan.
Edan. Ternyata Ceu Lilis tidak memakai celana dalam.
"Jangan-jangan, dia juga tidak memakai BH?" Pikir Ugi, dia menyesal mengapa tidak dari tadi memperhatikan belahan dadanya. Sial. Sayang Ceu Lilis sudah keburu kabur ke rumahnya.
Emaknya kini sedang memegang sapu lidi, pura-pura menyapu. Bi Popong dan Ceu Enah masuk ke rumahnya masing-masing. Beberapa menit kemudian puluhan warga menyesaki gang kecil itu, di belakangnya 3 orang polisi berseragam lengkap dan mungkin ada 4 atau 5 orang yang berpakaian preman.
"Di mana rumahnya? Cepat tunjukkan?" Kata Petugas itu sambil mendorong seorang lelaki yang bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek, dengan tangan terborgol ke belakang, agar berjalan lebih cepat.
"Pasti mereka mencari si Umang." Kata Emaknya. "Yang tadi lari itu si Ojon, temannya, dia pasti bermaksud memberi tahu si Umang agar lari."
"Memang kenapa, Mak?" Tanya Ugi.
"Katanya sih, emak denger-denger, mereka diduga membongkar rumah Haji Komar, minggu kemarin."
"Yang ditangkap itu siapa, Mak?"
"Enggak tahu, Gi. Emak enggak kenal."
"Mak, itu kang Dadang bukan?"
"I ya, Gi. Cepat deketin."
Ugi berjalan melewati halaman rumahnya dan menyapa Kang Dadang.
"Kang, Kang Dadang..."
Orang yang disapa melihat Ugi dengan menyelidik. Raut wajahnya mengatakan bahwa dia tidak mengenal Ugi.
"Saya Ugi, Kang. Anaknya Mak Pupung."
"Ugi? Halah... kamu sudah besar, ke mana saja?"
"Kerja, Kang. Di Cimahi."
"Itu... itu motor kamu?"
"I ya, Kang."
"Wah, hebat euy. Ada apa perlu ya Gi?"
"Itu kang, saya mau membuat KTP, jadi saya ...."
"Yuk, yuk ke rumah saja." Katanya. Dia memasuki terasnya dan mengetuk pintu. "Lis, buka pintu."
Ceu Lilis membuka pintu.
"Kang, kenapa sudah pulang?"
"Motornya mogok, sekarang ada di bengkel."
"Atuh engga narik?"
"Habis gimana lagi, mogok... Gi, masuk Gi."
Ugi mengikuti Kang Dadang dan duduk di sofa yang sudah robek-robek lapisan luarnya. "Sebagai ketua RT saya berkewajiban untuk melayani warga dengan baik, walaupun ya... motor mogokk, uang belanja habis, tapi itu bukan halangan." Kata Kang Dadang sambil mencari-cari sesuatu. Dia kemudian berteriak, "Lis, di mana buku register sama blanko surat keterangan?"
"Di situ, kang. Di mana lagi atuh?" terdengar suara dari balik dinding.
"Sini dulu, di sebelah mana?"
Ceu Lilis datang dengan tangan dan baju basah, kelihatannya dia tadi sedang mencuci. Ugi menelan ludah melihat bayangan tubuh seksinya dari balik daster singlet yang mulai tipis.
"Nenennya amboi..." Desis Ugi dalam hatinya.
"Nih, yang nyimpen di sini siapa?" Kata Ceu Lilis sambil mengambil tumpukan kertas di bawah meja sofa. "Ini buku register, ini blanko..." Katanya dengan kesal, lalu dia pergi lagi ke dalam. Mungkin meneruskan pekerjaannya yang tadi.
Kang Dadang kemudian menuliskan sesuatu di buku regster dan di blanko surat keterangan serba guna.
"Ini nanti di bawa ke Pak RW, dicap dan ditanda tangan. Senin, bawa ke kelurahan. Jangan lupa sertakan fotocopi kartu keluarga."
"Siap." Kata Ugi. "Kang, bagaimana kalau yang ke Pak RWnya kang Dadang saja. Ini buat rokoknya." Ugi memberikan selembar uang sepuluh ribuan.
"Oh, siap. Pak RW mungkin lagi ada di Kolam Pemancingan, saya langsung ke sana saja ya sekarang."
"Kang, mau ke mana lagi? Mana resikonya?" Kata suara di balik dinding itu.
"Mau ke Pak RW sebentar." Katanya sambil terus melangkah pergi.
Pura-pura bermaksud sopan, Ugi melongokkan kepalanya melewati ambang pintu partisi ruang tamu dan ruang tengah, melihat Ceu Lilis sedang berjongkok membelakanginya. Ugi melihat jelas belahan pinggul dan pantatnya meski terbungkus oleh selembar kain daster yang sudah tipis.
"Ceu, permisi." Kata Ugi. Sambil tetap memelototi punggung itu.
"I ya, Gi. Mangga."
"Kang Dadang sungguh beruntung." Kata Ugi dalam hatinya sambil pergi ke luar. Dia melihat Cucu, sepupunya, sedang duduk di atas motor bebeknya.
"Eh, kang Ugi..." Katanya. "Kata Wak Pupung, ini motor akang ya?"
"I ya, atuh." Kata Ugi sambil mengeluarkan HPnya dan berpura-pura membukanya, seakan-akan ada pesan yang penting.
"HPnya juga bagus... kang lihat." Kata Cucu. Kemudian dia dengan setengah memaksa mengambil HP itu dari tangan Ugi. Tapi setelah dipegang, dia tidak bisa membukanya karena sudah terkunci.
"Bukain..."
"Bukain... emangnya celana." Kata Ugi. Dia lalu membuat huruf Z pada touchscreennya, maka kunci pun terbuka. Tiba-tiba Cici datang dan ikut mengerubuti HP tersebut.
"Awas kalau rusak ganti." Kata Ugi.
Dua bersaudari itu kemudian bertengkar mulut dan saling menyalahkan.
Ugi masuk kembali ke rumah dan menyalakan rokok. Emaknya sudah berdandan, entah mau pergi ke mana. Bi Popong juga.
"Ke mana, Mah?" Tanya Cucu.
"Jangan banyak tanya." Kata Bi Popong. "Hayu,Ceu."
Mereka pun berangkat.
"Kalian udah pada lulus semua?" Tanya Ugi.
"Sudah, kang." Jawab Cucu.
"Kerja?"
"Nganggurrrr..." jawab mereka bersamaan.
"Bokek atuh.... kasian deh lo."
"I ya kang, nih, enggak punya duit." Kata Cici.
"Minta traktir dong sama pacarnya."
"Ah, percumah. Punya pacar juga bokek... maunya cuma pegang-pegang doang." Kata Cucu.
"Eh, jangan gegabah ya... dipegang-pegang juga cewek ikut enak." Kata Ugi
"Siapa bilang enak?" Kata Cici sambil nyengir. "Tapi srrr...srrr...ah... ah...ah..." Kata Cici sambil tertawa.
"Eh, kamu sama si Usep sudah digutiun yah...awas nanti hamil." Kata Cucu.
"Alah kamu juga sama si Gugun udah pernah kan." Kata Cici.
"Kalian ngomong apa sih?" Ugi pura-pura bego.
"Mau tahu apa mau tahu banget?" Kata Cucu.
"Ah, kalian bikin pusing. Siniin HPnya."
"Entar dulu... Ci, hayu selfie." Kata Cucu, mereka lalu saling menjulurkan lidah ke kamera. Lalu cepret! Cepret!
"Eh, kita teh cantik ternyata." Kata Cucu.
"I ya, Cu. Kita teh cantik."
Tiba-tiba Kang Dadang datang. "Gi, ni suratnya sudah selesai." Katanya sambil memberikan secarik kertas itu.
"Makasih, Pak RT."
"I ya sama-sama." Katanya sambill masuk ke dalam rumahnya.
"Kang, di sana sudah punya pacar belum?" Tanya Cici.
"Belum. Soalnya akang sibuk sibuk kerja."
"Akang kerja apa sih?" Tanya Cucu.
"Jadi kuli, jadi pesuruh, jadi sopir... terserah bos aja."
"Bosnya kaya ya?"
"Ya, i yalah. Namanya juga, Bos. Mobilnya aja ada 4, motor 3, rumahnya mewah."
"Berarti akang belum pernah ciuman." Kata Cici. "Eh."
"Ya, belum. Cariin pacar dong buat akang, yang cantiknya minimal kaya kalian."
Ugi sekejap melihat wajah kedua sepupunya memerah.
"Eh, akang lapar nih. Kalian ada nasi enggak?"
"Emang di dapur Uwak enggak ada nasi?" Tanya Cici.
"Enggak. Kalian ada enggak?"
"Sama."
"Beli beras atuh ke Ceu Nining. Kalian nanti yang masak."
"Kata mamah tadi bilang sudah habis." Jawab Cici.
"Kalau gitu beli ke warung bawah."
"Mana duitnya?" Tanya Cucu.
Ugi mengeluarkan dompetnya dan menarik satu lembar uang 20 ribuan.
"Wow, si akang banyak uangnya." Kata Cucu.
"Nih." Kata Ugi.
"Eh, Cu. Mendingan belinya di warung Cucun, sekalian beli kerupuk sama cabe, garam dan bumbu-bumbu kalau bisa sama lalap terong." Kata Cici
"Setuju." Kata Ugi.
"Tapi jauh."
"Pengorbanan atuh sedikit." Kata Cici.
"Ya, udah. Tapi aku nanti jatah kerupuknya yang paling banyak ya." Katanya sambil pergi ke luar halaman menuju gang.
Cucu pun menghilang di balik rumah-rumah.
"Ci, akang belum pernah dicium cewek. Nyobain dong nyium kamu."
"Ih, akang ini gimana. Kita kan saudara." Kata Cici sambil masuk ke dalam rumahnya. "Aku mau nyalain hawu (tungku) dulu."
Ugi mengintil di belakang Cici.
"Sebentar aja. Kamu kan udah pengalaman sama si Usep, coba ajarin akang." Kata Ugi. Cici diam saja sambil mencoba menyalakan kayubakar.
"Itu ambil kayu itu ke sini." Kata Cici, suaranya agak gemetar. Setelah api menyala dengan stabil, dia kemudian mengambil panci yang pantatnya sudah sangat hitam, mengisi air dan meletakkannya di atas tungku.
"Nah, sudah."
"Ih, belum juga." Kata Ugi
"Maksud Cici pancinya."
Ugi mendekatkan wajahnya ke wajah Cici. "Maksud akang ciumnya." kata Ugi. Cici menatap Ugi, seakan ingin menguji kesungguhan lelaki yang mulai berangkat dewasa itu.
Tiba-tiba Cici mendekatkan bibirnya ke bibir Ugi, mula-mula cuma nempel kemudian rapat, tahu-tahu mereka sudah saling pagut.
"Udah, kang." Cici melepaskan diri. Wajahnya memerah dan dadanya turun naik.
"Enak ya." Kata Ugi. "Apa semua bibir perempuan sama kayak kamu enaknya."
"Mana kutahu." Kata Cici, dia membungkuk untuk memasukkan kayu-kayu bakar lainnya.
"Ci, satu kali lagi aja. Udah ini, udah."
"Terakhir ya?"
"Ya, tapi sambil duduk di bawah."
"Tapi terakhir ya?"
"Ya."
Cici duduk di lantai, di atas tikar yang sudah usang. Ugi mendekatinya dan berdiri di atas lututnya. Dia menunduk dan mencium bibir Cici dengan mesra dan lembut. Mengulumnya dan mengemutnya. Satu tangan Ugi melingkar di punggung Cici dan satunya lagi bergerilya ke balik roknya dan meraba pahanya.
"Addduuhhh... kang." Keluh Cici melepaskan bibirnya dari mulut Ugi. Cici mengeluh karena satu jari Ugi sudah menyentuh ujung celana dalamnya yang ternyata sudah basah. Ujung jari itu bergerak pelahan turun naik mengikuti mengikuti belahan itu.
"Kang... udah, nanti cucu keburu pulang."
"Kamu suka ya? Memek kamu sudah basah." Bisik Suradi.
"Ih, si akang!" Kata Cici.
"Bibir kamu enaaaaakkk sekali. Mau lagi."
"Jangan."
"Lagi."
"Jangan. Tuh, Cucu udah dateng."
Mereka saling menjauhkan diri dan mencoba bersikap biasa-biasa.
"Eh, barusan Ceu Lilis ke sini ada apa?" Tanya Cucu.
Cici dan Ugi saling berpandangan.
"Enggak tahu." Jawab Cici.
"Aku juga." Kata Ugi.
"Kalian kelihatan aneh?" Kata Cucu. "Yuk, kita masak." Katanya.
Ugi dan Cici tidak tahu, ketika mereka berciuman, Ceu lilis melihat mereka dengan tubuh gemetar.