SG 34 - A Bitter Truth and A Sweet Hope
2 Jam kemudian..
Aku mengajak Vera masuk ke dalam rumah dan memandunya menuju ruang keluarga.
Hanya ada aku sendirian di rumah ini. Hari ini hari kamis, dan sudah menjadi jadwal rutin mertuaku, bapaknya Lia, untuk
medical checkup.
Tadinya Lia berusaha membujukku untuk ikut mengantarkan bapak, tapi aku bersikeras tidak mau dengan alasan ada pekerjaan kantor yang harus kuselesaikan. Dan sebenarnya Lia juga tahu itu cuma sekedar alasanku.
Lia tahu aku masih kecewa dengan bapak karena sampai dengan detik ini pun bapak tidak mau berkunjung ke rumah kami.
Aku merasa keputusan dan keras kepalanya mertuaku itu membuat harga diriku sebagai seorang laki-laki serasa tidak dihormati olehnya.
Aku heran dengan apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Apakah dia masih kecewa dengan pilihan Lia yang memilihku menjadi suaminya ketimbang anak temannya itu, yang memang dulu jauh lebih mapan dariku?
Padahal saat ini aku sudah membuktikan kepadanya bahwa aku juga sanggup membahagiakan anak perempuannya.
Atau karena aku tidak mampu memberinya seorang cucu?
Ntahlah.. Tapi kalau memang itu yang membuatnya masih kecewa denganku, maka itu adalah kekecewaan dari pemikiran yang dangkal dan remeh kekanak-kanakan.
Yang jelas aku sudah menunjukkan kepadanya bahwa aku sangat mencintai Lia dan berusaha sekuat tenagaku untuk membahagiakan putri sulungnya itu.
Tapi untunglah aku tidak jadi ikut dengan Lia. Saat ini ada urusan yang lebih penting buatku yang harus kuprioritaskan.
Gagal atau berhasilnya rencanaku, tergantung pada wanita cantik yang sedang berjalan mengikutiku ini.
Sesampainya di ruang keluarga, aku mempersilahkan Vera untuk duduk di sofa di depanku.
Namun sepertinya Vera tidak berniat untuk duduk. Vera hanya diam berdiri sambil menatap lantai. Terlihat jelas olehku kegugupan yang sedang dirasakannya dari jari tangannya yang sedang meremas dress yang dipakainya.
Kali ini Vera terlihat berdandan lebih cantik dibanding waktu dia makan malam di rumahku.
Bisa kulihat dari
effortnya yang menata cantik rambutnya dengan
hairclip di samping kepalanya.
Walaupun
make up yang dipakainya sekarang juga terlihat biasa dan tidak berlebihan, hal itu justru membuat aura kecantikannya lebih natural dan mempesona.
Vera saat ini mengenakan
dress tipe kimono berwarna biru pastel yang menjuntai ke bawah setinggi lututnya, sehingga memperlihatkan kakinya yang putih jenjang itu.
Ditambah dengan liontin permata
saphire yang melingkar di lehernya, membuatnya tampil elegan namun menampilkan kesan lugu dan
innocent.
“Hah jadi kamu mau menunjukkan bahwa dirimu tidak bersalah? Nice try budakku.. nice try”, batinku mencibir.
Aku hanya diam dan duduk bersantai sambil memperhatikan gerak gerik wanita ini. Vera tampaknya masih bimbang menyusun kata-kata yang akan diucapkannya kepadaku.
Sebenarnya aku sudah yakin, hari ini juga Vera akan tunduk dan menjadi budakku. Hal ini sudah bisa kuanalisa dari
thought dan nilai
loyalty-nya yang berubah setelah menjalani hukuman yang kuberikan selama 2 hari ini.
Namun status dan kasta Vera dalam haremku nanti, akan bergantung dari apa yang akan dikatakannya padaku saat ini.
Walaupun kurasakan proses penaklukkan Vera terjadi begitu cepat, tapi itu semua tidak merubah rencanaku. Dan Vera tetap menjadi salah satu kunci penting agar aku bisa menyingkirkan Bramono.
Aku mengetahui kurang lebihnya rencana Bramono kepadaku dan Lia. Pengalamanku di kehidupanku sebelumnya sudah memberiku sebuah pelajaran berharga tentang kewaspadaan dan loyalitas.
Dan untuk menghancurkan Bramono dan Rudy Zhao, selain dengan strategi yang matang, aku juga membutuhkan bantuan dari orang-orang yang bisa kupercaya sepenuhnya.
Tadinya aku berharap, aku bisa membuat Vera tunduk kepadaku dengan cara-cara yang lembut seperti apa yang kuterapkan pada Indah.
Tapi keputusannya yang membantu niat buruk Bramono terhadapku dan Lia, membuatku harus merubah caraku menjadi lebih kasar dan memaksa.
Dalam 2 hari ini, aku tahu mental dan kesadaran Vera sudah semakin menipis akibat rangsangan-rangsangan yang terus menerus kuberikan padanya.
Dengan menggunakan skill [
Stop Climax] ditambah dengan nilai
sensitivitynya yang sering kumaksimalkan, maka ‘
carrot’ yang sangat ingin diraihnya itu menjadi mustahil diperolehnya. Hal ini akhirnya membuatnya frustasi dan putus asa.
Baru pagi ini, sengaja nilai
sensitivitynya kubalikkan ke angka 0.
Aku berharap dengan kembalinya rasionalitasnya, maka Vera akhirnya bisa mengetahui alasan kenapa dirinya seperti sedang dihukum lalu ia menyadari kesalahannya.
Dan strategiku berjalan dengan sempurna..
Kulihat Vera masih enggan untuk berbicara. Karena tidak sabar, aku mengaktifkan perintah
ring lalu menaikkan nilai
sensitivitynya menjadi 10.
Kemudian aku meremas dengan gemas pantatnya lalu langsung kembali ke dunia nyata.
“Hiyaaah”, kulihat Vera terperanjat dan refleks melihatku. Aku balas menatap matanya seraya tersenyum kepadanya.
Aku memang sudah memutuskan untuk tidak lagi berpura-pura. Kartuku sudah kuletakkan di atas meja, tinggal Vera memutuskan untuk
call atau
fold.
“Mass..”, katanya lirih.
“Hmm?”, jawabku santai masih dengan tersenyum.
Lalu, sesuai dengan yang kuprediksi sehingga aku sudah menguatkan mentalku, Vera jatuh berlutut dan menangis terisak-isak.
“Ma-maafin Vera mas..hiks hiks.. Vera su-sungguh menyesal.. Vera sama sekali gak mau mencelakakan mas dan mba Lia.. hiks hiks.. tapi Vera ga punya pilihan lain”, Vera berusaha menjelaskan kepadaku sambil sesenggukan.
“Selalu ada pilihan lain..”, jawabku dingin.
“Vera takut mass.. Mas gak tau gimana kejamnya sua..”
“Aku sangat mengenal Bramono lebih dari kamu mengenalnya”, potongku. Lalu aku melanjutkan,
“Tapi mencelakakan orang lain untuk menyelamatkan diri sendiri? Terlebih orang itu adalah istriku? Wanita baik dan tidak bersalah yang sudah mengkhawatirkan kondisimu kemarin??”, intonasi suaraku terdengar semakin meninggi.
“Maafin aku mass.. huuuu hiks hiks”, tangisan Vera semakin menjadi-jadi.
Aku diam beberapa saat agar tangisan Vera mereda dan menunggu alasan Vera berikutnya.
Namun respon Vera kali ini berbeda dengan apa yang kuprediksi. Setelah sedikit ragu-ragu, Vera dengan perlahan melepaskan
dress yang dipakainya hingga jatuh ke lantai.
Kemudian ia meloloskan
dress itu dari kakinya hingga kini Vera berdiri menghadapku setengah telanjang.
Tubuhnya yang putih mulus dan langsing itu saat ini hanya tinggal tertutup oleh bra dan CD nya yang berwarna putih, menyaru dengan kulitnya.
Bra yang dipakai Vera kulihat tidak cukup untuk menampung gundukan payudaranya yang membusung indah.
Lalu dengan wajah yang masih tertunduk dan terlihat memerah, Vera mulai menurunkan dengan sangat perlahan CD yang menutup area kewanitaannya itu dan meloloskannya juga lewat kakinya.
Kemudian Vera membalik badannya sehingga kini ia berdiri memunggungiku. Dan..
“FCK !!! Binatang biadab…”, ujarku terperanjat dan menggeram.
Tanganku mengepal dengan keras dan gigiku bergemeletuk akibat amarah yang hampir tidak bisa kukontrol.
Punggung dan bokong indah Vera tersaji didepanku. Tapi bukan kemulusan dan kemolekan tubuhnya yang menjadi fokusku.
Di bagian bokongnya dan sedikit di punggung dekat pinggangnya, terlihat bekas-bekas luka dan sayatan memanjang.
Terutama di daerah bokongnya, bekas-bekas luka itu begitu jelas terlihat sehingga pantatnya yang seharusnya menjadi sebuah aset keindahan dan kecantikan Vera, kini harus ternodai dan menimbulkan perasaan ngilu dan sedikit jijik bagi orang yang melihatnya.
Entah apa yang sudah dilakukan Bramono kepada wanita ini, namun yang pasti itu adalah sebuah tindakan yang sadis dan tidak manusiawi.
Tindakan seperti ini bukanlah perbuatan seorang manusia, melainkan perilaku seekor binatang yang tidak memiliki hati.
Bagaimana mungkin seorang manusia tega memperlakukan orang lain sekeji ini, terlebih orang itu adalah wanita secantik Vera.
Darahku mendidih membayangkan kalau sampai Lia jatuh ke tangan binatang itu. Ingatan-ingatan memilukan malam itu kembali terbayang di benakku yang langsung membuat emosiku meluap-luap. Lalu aku bertanya kepada Vera dengan geram,
“Kenapa kamu masih bertahan dengannya, setelah apa yang ia lakukan kepadamu? Kenapa kamu tidak kabur saja?”
“Vera gak bisa mas.. Vera takut.. Bramono memiliki banyak anak buah dan mata-mata. Lagipula..”, Vera menjawab sambil masih memunggungiku.
“Ngga bisa atau ngga mau? Demi bisa merasakan kemewahan, kamu membiarkan dirimu tersiksa seperti ini?”, aku memotong perkataannya.
Mungkin emosiku yang sedang tinggi ini sudah membuatku menjadi tidak bisa berfikir jernih.
“Tidak mas.. mas salah menilaiku.. hiks hiks”, Vera kembali menangis terisak-isak.
Setelah beberapa saat aku menghela nafas panjang dan menyadari kekeliruanku lalu berkata kepada Vera,
“Maafin aku.. tidak sepantasnya aku men-judge mu seperti itu.. Hufffhh.. Baiklah... Walaupun aku masih marah kepadamu yang sudah secara tidak langsung menjebak aku dan Lia, tapi aku tahu kamu juga hanyalah korban dari laki-laki bajingan itu. Jadi aku tidak akan menghukummu lagi tapi dengan 1 syarat”
“Benarkah mas??”, Vera berbalik menghadapku dan menunjukkan raut wajah lega sebelum melanjutkan,
“Apapun mas.. Apapun akan Vera lakukan untuk bisa menebus kesalahan Vera kepada mas dan mba Lia”
“Biarkan aku berfikir sebentar..”, jawabku seraya memejamkan mataku dan memijat keningku dengan tangan kiriku.
Lalu aku masuk ke dalam ring untuk mengecek status Vera.
[
Thought : relief, honest, hopeful ]
..
“Hmm tampaknya Vera benar-benar berkata jujur”, pikirku. Lalu aku melanjutkan berfikir untuk mempertimbangkan rencanaku yang sudah kususun sebelumnya.
Sebenarnya dalam kondisi ini, aku bisa langsung meminta Vera untuk menjadi budakku dan pasti Vera mau tidak mau, akan menyanggupinya.
Tapi aku merasa ada yang salah kalau aku melakukan hal itu. Sesuatu yang membuatku akan menyesali tindakanku yang tergesa-gesa untuk menjadikan Vera sebagai budakku.
Lalu aku teringat dengan evaluasi sistem setelah keberhasilanku menyelesaikan misi memperbudak Indah.
Sistem memberikanku penilaian dan skor yang tinggi atas cara-cara yang kugunakan dan juga hasil akhir dari persetujuan Indah menjadi budakku secara sukarela.
Lalu aku membandingkannya dengan kondisi Vera saat ini.
Aku merasa walaupun nanti aku berhasil menjadikan Vera sebagai budakku, sistem akan memberikanku skor yang buruk atau setidaknya lebih buruk dari skorku dengan Indah.
Aku merasa sepertinya ada yang kurang dari metode yang kugunakan kepada Vera saat ini. Aku seperti melewatkan sesuatu yang penting. Tapi apa?? Lalu tiba-tiba..
“Ehh??”, aku sontak membuka mataku dan melihat Vera kini sedang berjongkok di depanku.
Lalu dengan perlahan dia membuka resleting celanaku dan mengeluarkan penisku dari balik boxer. Penisku yang hanya sedikit menegang, menyembul keluar dari celah resleting yang terbuka.
Kemudian dengan sedikit ragu-ragu, Vera memajukan kepalanya dan mulai menciumi dan menjilat kepala penisku.
Sepertinya Vera salah paham dengan tingkahku tadi. Mungkin dia menganggap aku sedang memberinya kode untuk melakukan sesuatu, atau mungkin juga libidonya yang 2 hari ini kupermainkan membuat dirinya haus untuk meraih orgasmenya.
Aku hanya diam saja memperhatikan aksi Vera yang dengan telaten mengulum dan menjilati kepala penisku.
Perlahan penisku yang tadi masih lemas mulai menegang dengan sempurna. Lalu kulihat Vera mendongak ke atas dan menatapku dengan tatapan sayu dengan matanya yang masih berkaca-kaca.
Aku menghela nafas dan berkata,
“Sudah cukup Ver.. aku tidak mau Lia tiba-tiba pulang dan melihat kita dalam situasi seperti ini”
Vera masih menatapku dengan tatapan sayu dan memelas. Ekspresi wajahnya seperti mau menangis lagi.
Aku dengan sekejap mengaktifkan perintah ring dan mengembalikan nilai sensitivitynya ke angka 0. Lalu sambil membelai kepalanya, aku melanjutkan dengan suara yang lebih lembut kali ini.
“Pakailah bajumu dan duduk disampingku. Aku ingin mendengar ceritamu”, ujarku tersenyum berusaha menenangkannya seraya menepuk sofa di sebelahku.
Kali ini Vera menurut. Ia berdiri dan mengambil bajunya lalu mengenakannya. Aku pun menyarungkan kembali senjataku yang sudah berdiri tegak.
Kemudian kulihat Vera duduk di sebelahku dengan wajah yang tertunduk.
“Apa tujuanmu menikah dan bertahan dengan Bramono”, tanyaku dengan suara yang masih penuh kelembutan.
“Vera mau mencari kakak Vera”, jawabnya lemah masih dengan tertunduk.
“Apa hubungan kakakmu dengan Bramono?”, tanyaku lagi.
Vera terdiam beberapa saat lalu mulai bercerita panjang lebar.
“Waktu umur Vera masi 16 tahun, ibu Vera sakit keras dan butuh perawatan dengan biaya yang besar. Ayah berusaha sekuatnya mencari biaya supaya ibu bisa mendapatkan perawatan yang layak, bahkan sampai harus berhutang sana sini.”
“Sampai akhirnya ayah harus berhutang kepada seorang rentenir. Tapi karena penyakit ibu yang sering kambuh, hutang ayah menjadi membengkak sampai tidak bisa melunasinya.”
“Pada saat hutang ayah jatuh tempo, rentenir itu datang ke rumah kami dan menagih uangnya kepada ayah. Ayah yang sudah tidak memiliki uang sama sekali, meminta orang itu untuk menunda sebentar tempo pembayarannya. Tapi orang itu gak mau..”
“Lalu orang itu menawarkan sebuah solusi kepada ayah. Kakak Vera, kak Meyla, yang umurnya beda 7 tahun dengan Vera, ditawari pekerjaan untuk menjadi TKW di luar negri dengan gaji yang lumayan besar supaya bisa membantu ayah untuk melunasi hutang-hutangnya dan membantu biaya perawatan ibu."
"Awalnya ayah tidak setuju. Tapi kemudian laki-laki itu membawa dokumen-dokumen resmi untuk lebih menunjukkan kredibilitas perusahaannya dan meyakinkan ayahku.”
“Ayah tetap tidak setuju. Tapi kak Meyla memaksa ayah karena kak Meyla mau membantu meringankan beban ayah. Akhirnya ayahpun menyetujui keputusan kak Meyla.”
“Beberapa hari kemudian Kak Meyla berangkat diantar oleh orang itu. Itu hari terakhir kami melihat kak Meyla. Setelah itu kami tidak pernah mendengar kabar dari kak Meyla lagi.”
“Ayah sudah mencoba mendatangi kantor laki-laki itu. Tapi mereka menyangkal sudah memberangkatkan TKW atas persetujuan perusahaan itu.”
“Ayah langsung melaporkan hal ini ke polisi dan akhirnya diketahui bahwa dokumen-dokumen yang dibawa laki-laki itu adalah palsu. Dan laki-laki itu menghilang tidak diketahui jejaknya.”
“Lalu polisi menetapkan kasus ini menjadi kasus penculikan. Dari hasil penyelidikan terakhir, kak Meyla terdeteksi dibawa ke pulau B. Lalu setelah itu jejak kak Meyla juga hilang gak diketahui kemana.”
“Ibu Vera gak lama meninggal dunia setelah itu. Ayah yang merasakan kesedihan setelah ditinggal ibu, dan rasa bersalah ayah karena merasa dirinyalah yang membuat kak Meyla diculik orang membuatnya jatuh sakit juga. Beberapa bulan kemudian, ayah juga menyusul ibu..”
Sampai disini air mata Vera kembali mengalir. Ia menangis sesenggukan. Aku mengambil tisu di meja dan memberikannya kepada Vera. Lalu aku mengusap-usap lembut punggungnya.
Beberapa saat kemudian kulihat Vera menjadi sedikit lebih tenang dan melanjutkan ceritanya..
“Setelah itu Vera diasuh sama nenek Vera di kampung. Sebelum meninggal, ayah berpesan kepada Vera untuk berusaha mencari tahu keberadaan kak Meyla.”
“Vera udah berusaha mencari cari kemana-mana. Tapi gak ada hasil. Baru sekitar 2 tahun lalu Vera tahu bahwa perusahaan bekas orang itu bekerja adalah anak perusahaan dari perusahaan yang dimiliki Bramono.”
“Lalu Vera berusaha mendekati Bramono. Bramono suka sama Vera trus dia melamar Vera untuk dijadikan istri mudanya dan Vera setuju.”
“Vera mengira dengan menikahi Bramono, Vera bisa mencari info tentang keberadaan kak Meyla. Tapi sampai sekarang Vera belum berhasil. Vera gak tahu kak Meyla ada dimana.. huuuu.. hiks”, tangisan Vera pecah lagi.
Aku terdiam sebentar lalu berkata, “HK”.
“Eh??”, tangisan Vera seketika terhenti. Vera menatapku dengan matanya yang masih penuh air mata.
“Kemungkinan besar, kakakmu ada di HK”, lanjutku.
“Mas tahu dari mana?”, tanya Vera. Kali ini suaranya terdengar penuh harapan. Matanya yang masih berkaca-kaca itu kulihat sedikit berbinar. Aku menghela nafas panjang lagi lalu mulai menjelaskan kepadanya,
“Bramono itu sebenarnya adalah kaki tangan mafia konglomerat dari HK bernama Rudy Zhao. Aku pernah mendengar info bahwa Bramono diduga terlibat human trafficking dengan mengirimkan gadis-gadis muda ke HK untuk dijadikan sebagai…TKW di HK”, lanjutku sedikit berbohong.
“Aku tidak tahu apa kakakmu masih hidup atau ngga. Tapi kemungkinan besar dia berada di HK”
“Be-benarkah mas? .. Bi-bisa kah mas membantu Vera nyari mba Meyla?? .. aku mohon mass.. hiks hikss.. tolongin Veraa.. bantu Vera nyelamatin kak Mey.. kumohoon hiks hiks..”, Vera mencengkram tanganku sambil kembali menangis terisak.
Aku hanya terdiam mendengarkan pinta Vera itu. Aku tidak mau menjanjikan sesuatu padanya yang aku tahu kemungkinan besar tidak dapat kutepati.
Vera menjadi semakin cemas dan histeris melihat kebisuanku.
“Kumohon mass.. tolongin Veraa.. Vera gak tau harus gimana lagi.. pleasee bantuin Vera.. Vera akan melakukan semua yang mas mau.. Vera akan menyerahkan semua yang Vera miliki untuk mas, asal mas bisa bantu Vera nyelamatin kak Mey..”, kali ini Vera memohon kepadaku sambil menggoyangkan lenganku.
Lalu dia melanjutkan,
“Bahkan kalaupun mas menyuruh Vera untuk membunuh Bramono, Vera siap mas.. asal mas berjanji bisa bantu Vera menemukan kak Mey..”, Vera menatapku tajam untuk menunjukkan keseriusannya.
Aku tersenyum kepadanya seraya mengusap air mata yang mengalir di pipinya dengan tanganku yang tidak dipegangnya.
“Kamu gak perlu berbuat sejauh itu. Lagipula aku masih membutuhkan Bramono hidup supaya bisa mendekati Rudy Zhao. Mas gak bisa janji untuk nyelamatin kakakmu. Tapi kalau rencana ku berhasil, kalau kakakmu masih hidup, aku akan menemukannya dan membawanya kepadamu. Kalau kakakmu ternyata sudah meninggal, aku akan mencari tahu dimana makamnya”, ujarku tulus kepada Vera.
“Benarkah mas?”, Vera tampak bahagia mendengar perkataanku. Lalu ia meraih tanganku, mengecup punggung tanganku kemudian meletakkannya di pipinya.
“Terima kasih mas.. makasih banyak.. itu aja udah cukup buat Vera”, air matanya mulai mengalir lagi membasahi pipinya dan tanganku.
Namun kali ini air mata itu bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata dari secercah harapan yang akhirnya ditemukannya.
Aku tersenyum lalu mengecup keningnya lembut seraya berkata,
“Ssh..shh.. udah jangan nangis lagi.. sekarang dengar baik-baik rencanaku…”
…..
…..
……