SAWAH
BAB. 01
INDIKATOR KEMAKMURAN
Pagi yang cerah, secerah wajah sang mentari yang muncul tanpa selembar awan dilangit biru yang benar2 biru tanpa campuran warna lain selain pendaran sinar mentari yang memerah kekuningan.
Kecerahannya menginspirasi suara2 burung2 berkicau, ayam berkokok dan berkotek mulai sibuk mencari makan disekitar rumah mungil nancantik milik pak Sumarto, petani yang mungkin menjadi barometer para petani lainnya dalam hidup dan kehidupan.
Rumah itu kecil saja, mungil bahkan kalau dibandingkan dengan rumah2 lain di desa itu. Warnanya didominasi warna biru dan ada aksen oranye yang mencolok di beberapa bagian yang memberikan kesan segar.
Halamannya luas seperti halnya penduduk lainnya yang memiliki pekarangan luas. Disini ditulis halaman karena memang bukan pekarangan seperti milik penduduk lainnya, ya seperti halaman di kota2 yang tertata apik.
Ada saung2an kecil di sisi kanan depan rumah, ada semacam jogging track yang melingkari pekarangan atau taman2 indah dan kolam2 ikan di bawah saung kecil tadi.
Halaman itu seolah petak2 yang berbentuk semacam taman2 modern di kota. Ada yang semacam lapangan rumput hijau dengan aneka bunga2 indah nan cantik disekelilingnya.
Ada sebentuk kebun buah yang isinya bermacam buah2an disana, ada mangga bermacam jenis mangga manalagi, arummanis (sebagian orang menyebutnya harum manis) golek dan gedong gincu.
Ada rambutan, jambu dan kedondong. Sebelah kiri depan ada setidaknya 12 pohon kelapa berjajar, macam2 pula kelapanya ada kelapa hijau, kuning hibrida juga ada.
Sepetak kecil berupa tanaman obat2an dan rempah2 buat masak.
Yang membedakan dengan rumah penduduk lainnya adalah pagarnya, ya itulah perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan rumah penduduk lainnya yang biasanya borderless (tanpa batas yang jelas) dengan tanah milik sekitarnya.
Pak Sumarno memagari tanah pekarangannya dengan pagar yang permanen layaknya rumah2 dikota. Pengalaman hidup pak Sumarno dahulu yang pernah bersengketa batas lahan membuatnya mendirikan pagar permanen.
Beliau awalnya dianggap nyeleneh karena tak biasanya rumah pekarangan berpagar, seolah mengisolasi diri dari rumah2 lainnya, namun beberapa kasus batas lahan yang mencuat menjadikan dirinya dianggap contoh yang bagus agar terhindar dari sengketa.
Pak Sumarna memiliki banyak peliharaan, mulai ayam, itik, ikan bahkan kambing dan sapi beliaupun punya. Entah beliau pintar mengolah lahan pekarangan, entah karena kondisi lingkungan yang pas, rumah pak Sumarna di sulap sedemikian ruma sehingga seolah dikelilingi parit yang mengalirkan air sungai ke kolam2 nya yang berjenjang mengelilingi sungai dan alirannya kembali bermuara ke sungai.
Parit dan kolam2 itulah yang membuat seolah ada petak2 di pekarangan rumah pak sumarna. Kolamnya kecil kecil menurut ukuran kolam penduduk di kampungn, paling hanya sebesar 3x6 sampai 5x7 meteran lah.
Ada 3 buah kolam2 kecil yang ditanami gurame, lele dan bawal, 2 kolam agak besaran ditanami nila dan satu kolam yang ditanami ikan hias.
Pak Sumarna dan ibu sudah agak berumur, kisaran 45 sd 50 an lah, namun badan pak Sumarna yang kekar berotot karena hampir tiap hari mengolah sawah dan kebunnya, nampak kelihatan lebih muda 10 tahun.
Bu Sumarna sendiri berusia lebih muda 2 tahun dari suaminya juga nampak segar dan kelohatan belia. Keseharian Bu Sumarna yang rajin merawat pekarangannya beserta isinya membuat beliau tampil enegik sepanjang hari.
Beliau berdua dikaruniai 3 orang anak, semuanya lelaki, yakni Rangga, Bayu dan Bimasena
Masing2 berusia 24, 20 dan 17 tahun.
Semuanya gagah dan ganteng, berkulit putih bersih dan cerdas.
Si sulung baru saja lulus Kuliah di Universitas negeri di jogjakarta jurusan pertanian.
Putra kedua Baru saja masuk perguruan tinggi negeri Surabaya, semester 3.
Si bungsu, masih SMA kelas 3, sangat berprestasi di sekolahnya melanjutkan prestasi kebanggaan dari kakak2nya yang selalu menjadi juara di sekolahnya.
***
Cerita ini mengambil setting di pedesaan di jawa timur. Saat ini mulai menggeliat menuju kemakmuran karena pembangunan.
Cerita ini mengambil tema bahasan berupa keseharian hidup di desa yang mungkin agak terkesan asing bagi masyarakat kota.
Cerita ini adalah cerita keseharian yang mungkin pernah banyak orang temui dan hadapi.
Cerita ini adalah cerita biasa2 saja namun mungkin juga bukan cerita biasa.
Cerita ini adalah soal anak2 pak Sumarna yang memang menjadi impian para gadis didesanya.
Cerita ini adalah soal bagaimana romantisme hidup di desa yang mulai menggeliat dengan adanya kontaminasi budaya kota.
Bagaimana galaunya si Rangga yang jauh dari pacarnya karena harus pulang membantu bapaknya mengurus sawah.
Bagaimana pusingnya si Bayu hidup di Surabaya
Bagaimana indahnya masa SMA si Bimasena yang menjadi impian anak gadis satu sekolahnya.
***
Kisah ini adalah kisah sederhana yang biasa2 saja tak ada anehnya dan luar biasa.
Mengambil setting utamanya di Rumah Pak Sumarna dan desanya yang masih berupa desa yang dihidupi oleh pertanian. Suatu keseharian masyarakat di Indonesia.
***
Kisah ini adalah kisah tentang pasangan suami istri yang juga sarjana berpreatasi di masanya tetapi memilih hidup di desa dimana mereka tinggal dan memiliki anak2 yang berprestasi pula.
Kisah ini adalah soal pilihan hidup serta bagaimana menjalani pilihan hidup tersebut.
***
Kisah ini adalah tentang bagaimana tetangga mereka juga, bagaimana gadis2 desanya dan bagaimana keluarga pak Sumarna menjadi salah satu model keluarga yang menjadi teladan.
Impian para suami, memiliki istri macam Bu Sumarna..
Impian para istri, memiliki suami macam Bu Sumarna
Impian para gadis memiliki cinta anak2 mereka.
***
Kisah ini adalah kisah tentang sawah dan segala permasalahannya, kisah tentang kolam ikan, kebun buah dan sekitarnya.
Bukan kisah yang muluk2 dan memang hanya keseharian saja.
Bukan kisah tentang gemerlapnya dunia malam di Surabaya, Jogjakarta Bandung bahkan Jakarta, yang penuh dengan mengalirnya uang milyaran bahkan trilyunan rupiah.
Bukan soal baju tas bahkan lingerie yang harganya jutaan bahkan ratuan juta.
***
Kisah ini adalah soal bagaimana penduduk desa membuat standar kemakmuran secara sederhana, yaitu bagaimana membuat keluarga semacam keluarga pak Sumarna yang seolah menjadi indikator kemakmuran dindesanya.
Itu saja, tak lebih dan tak kurang.
Sederhana.
Simpel
Lugu