Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sanggar Aa Drajat

"Melakukan kebaikan adalah suatu perjuangan, karena sebenarnya sifat dasar manusia itu jahat"

(Kata mutiara Aa Drajat)


********************************

Kisah 3 : Wagino dalam dilema (Bagian 7)


Pesan penulis :
Kisah Wagino ini sangat dianjurkan dinikmati selagi masih hangat, sangat cocok untuk teman minum kopi dan merokok, dan dibaca dengan santai dan teliti. Janganlah terburu-buru, kata nenek itu tidak baik.

***

Saya berdua Sari duduk bersila di rumah kontrakan dengan lampu sengaja dimatikan, dan hanya cahaya dari sebuah TV yang menayangkan sebuah sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Return.

Cahaya TV kadang terang, kadang redup, sesuai dengan adegan yang sedang dibawakan. Cahaya TV membuat bayang-bayang bergerak di seluruh ruangan, termasuk cahaya yang menimpa wajah Sari.

Mata Sari lurus menatap TV, berusaha menangkap setiap gerakan dan suara yang sengaja dikecilkan hingga terdengar sayup-sayup. Dia tenggelam dalam cerita sinetron.

Usia sari sudah 18 tahun, tetapi tingginya, beratnya, ekspresi wajahnya, perilakunya, seperti belum sampai pada usia itu. Tidak dipungkiri, itulah yang membuat saya sangat sayang pada Sari.

"Boleh bapak singkirkan rambut kamu, nak ?"

Saya sebenarnya bukan bertanya, tetapi hanya memberitahunya. Karena sebelum Sari menjawab, saya sudah menggenggam rambutnya yang mulai panjang sepunggung. Rambut yang tebal dan berat, begitu sehat dengan aroma shampoo yang harum.

"Rambut kamu udah harus dipotong Sar, nih ujungnya udah bercabang-cabang." Saya pikir kalau dipotong sedikit ujungnya tidak akan mengurangi keindahan rambut si Sari.

"Iya nanti pak, dipotong sama ibuk aja." Jawab Sari tak terlalu hirau, dia sedang tenggelam dalam cerita sinetron.

"Ibuk pulang besok loh." Saya mengingatkan Sari tentang kepulangan ibuknya dari kampung, sambil tangan saya memegang kancing dasternya, lalu membukanya satu-persatu sampai ke pinggang.

"Eh iya, emang bapak belum tau? Ibu kirim sms tadi sore katanya pulangnya malam ini. Urusan di kampung udah selesai." Jawab Sari sambil memalingkan wajahnya serta badan bagian atasnya ke belakang, ke arah saya.

Karena gerakan berpaling itu, daster yang dikenakan Sari turun dari bahunya lalu tertahan oleh kedua siku lengannya. Tapi bahu serta bagian punggungnya menjadi terbuka, putih dengan rambut-rambut sangat halus menghiasi punggung. Gerakan itu juga membuat rambutnya terkibas, menguarkan aroma harum semerbak dari rambutnya.

"Lah kok ibuk ngga ngasih tau bapak ya ?" Kalau istri saya pulang malem ini, berarti nanti subuh sekitar jam 4 dia sudah sampai di rumah.

Angin berkesiur diluar, sepertinya akan segera hujan.

"Iya, ibu tadi sebetulnya pesan ke Sari supaya ngasih tau bapak. Tapi Sari lupa.... hehe... maap ya pak."

"Iya wis, rapopo. Sana, madep sana lagi." Sari madep ke tv lagi, melanjutkan nonton sinetron.

Sebuah beha kecil berbahan kaos putih tanpa kaitan seperti beha yang umum, dikenakan Sari di dadanya. Ini seperti yang sering digunakan oleh atlet. Bagian belakangnya membentuk huruf X.

"Bapak pake baca-bacaan juga?" Tanya Sari tiba-tiba.

Saya jadi berpikir, untuk meyakinkan Sari rasanya memang harus baca-baca gitu lah. Tapi... dasar... saya nggak pernah ngaji, jadi nggak tau bacaan kitab suci.

Saya harus baca apa ya ?

Otak berputar, berusaha mengingat-ingat sesuatu yang bisa dibaca. Ah iya, dulu waktu jaman sekolah pernah diajarin sesuatu sama temen.

"Ya iyalah, segala hal itu pasti ada bacaannya." Jawab saya.

Sari mengangguk-anggukkan kepala.

Bibir saya berbisik pelan, yang penting terdengar membaca sesuatu walaupun tak jelas terdengarnya.

"
Niat ingsun mantek aji pengasihan.
Gegamanku sada lanang
Tak sabetake bumi bledhak
Tak sabetake banyu asat
Tak sabetake marang wong iki
Teka kedanan.

Kedanan utekke
Kedanan awake
Kedanan sak kulit-kulite
Kedanan sak bulu-bulune
Puahhhh.

"

Bersamaan dengan kata 'puahhh', saya meniup punggung Sari.

Bersamaan dengan itu pula rintik hujan mulai jatuh menimpa atap seng rumah kontrakan.

Pertama pelan-pelan.
Tik.... tik..... tik... tik...

Lama-lama mengencang
Triktiktiktiktitktitk....

Lalu hujan melebat, disertai kesiuran angin kencang.

"Dingin pak." Kata Sari.

Saya mengambil secawil minyak denggan ujung jari, lalu meratakan ke kedua telapak tangan sambil digosok-gosok.

Setelah beberapa lama menggosok kedua telapak tangan, saya menempelkannya ke pundak Sari yang halus.

"Tangan bapak anget." Komentarnya.

Kedua telapak tangan saya menelusuri sepanjang pundaknya, lalu ke belakang tengkuknya yang berhias anak-anak rambut.

"Wenake pol, pak." Suara Sari terdengar menggantung di tenggorokan. Dia menikmati pijatan halus saya.

Saya tidak paham ilmu perdukunan, tapi sangat paham pijat memijat. Pengalaman jaman waktu di kampung dulu seringkali disuruh bapak saya untuk memijat.

Selesai mengurut pundak, tangan saya mengurut ke depan yaitu ke arah tulang selangka yang ada diatas dada.

Sari diam menikmati, matanya mulai sayup-sayup. Layar sinetron tidak terlalu diperhatikannya lagi.


Perlahan, sarung yang saya kenakan berubah menjadi tenda.

Awalnya cuman seukuran tenda pramuka.
Lama kelamaan, jadi tenda pleton angkatan darat.

Dari duduk bersila, saya bangkit menjadi berlutut agar posisi saya lebih tinggi dan bisa mengurut lebih nyaman.

Setelah berlutut, posisi saya jadi lebih leluasa untuk mengurut sampai di bawah tulang selangka. Tepatnya hingga ke batas dada yang seharusnya terdapat gumpalan payudara.

Bukannya nggak ada, tapi gumpalan payudara Sari masil belum terbentuk sempurna. Masih tipis, tapi masih ada potensi.

Saya berlama-lama mengurutnya perlahan disana.

"Ehm....." Sari mendehem, entah apa maksudnya.

Tekanan-tekanan yang saya lakukan pada bagian atas dada Sari membuat tubuhnya tertarik mendekat. Apalagi ketika Sari mulai mengantuk, punggungnya tersandar ke bagian depan tubuh saya.

Titit saya yang tertutup sarung menempel pada punggungnya.
Mengeras, mengembang.

Sari menegakkan lagi tubuhnya, hingga punggungnya menjauh dari titit saya yang baru saja mulai merasa nyaman dengan punggungnya yang bersandar.

"Sakit ?"

"Nggak pak."

Tangan kanan saya merayap melalui bahunya, turun ke samping dada.

"Eh..." Sari mengeluh.

"Sakit ?" Tanya saya lagi.

"Eh...." jawabnya ragu.

Saya mengusap-usap samping dadanya, sisi dan kanan, dengan kedua tangan. Sport bra itu masih melindungi dadadanya.

"Pak...." Katanya.

Kedua tangan saya merayap perlahan ke tengah dada sari. Sedikit menyentuh putingnya dengan telapak tangan seolah tak sengaja, lalu saya tarik kedua telapak tangan saya melewati tengah-tengah dada dan kembali ke bahu.

"Ya Sar." Jawab saya sedikit serak.

Sari menghembuskan nafas lega.

"Kenapa cowok suka tetek yang gede ?" Pertanyaan Sari membuat saya menebak-nebak arah pembicaraannya.

"Kenapa cewek suka pemain basket ?" pertanyaan dijawab dengan pertanyaan.

"Karena pemain basket itu keren."

"Nah, cewek bertete gede juga keren menurut sebagian cowok."

"Semua cowok suka ?" Tanya Sari.

"Semua cewek suka pemain basket ?" Tanya saya.

"Ya nggak semua lah, tapi rata-rata suka."

"Begitu juga cowok, ngga semua suka yang besar. Ada hal lain yang lebih penting buat beberapa orang." Saya tetap diplomatis.

Sari diam lama, saya terus memijat pundak dan tengkuknya.

"Siapa sih cowok yg lagi kamu suka ?" Saya bertanya.

Sari sedang berfikir untuk menjawab pertanyaan saya ketika kedua telapak tangan saya menelusup melalui ketiaknya dan masuk ke balik sport-bra dari arah depan.

Sari seperti kecolongan. Dia sedang memikirkan cowok yang dia sukai, dan tak sempat memberikan penolakan.

"Si Boy, anak basket." Jawabnya.

Kami terdiam tak saling bicara.

"Pak...."

Dua telapak tangan saya mengelus payudaranya berputar putar tanpa menyentuh puting kecilnya.

"Kalau dada Sari kecil, si Boy bisa suka Sari nggak?"

"Bisa aja, kalau tau caranya."

Dua jempol saya sekarang pura-pura bergesekan tak sengaja dengan putingnya. Ternyata mengeras.

Sari terlonjak. Mungkin geli.

"Kalau...... kalau Sari nggak jadi gedein..... gimana ?" Dia ragu.

Bagai seorang pemburu yang melihat kelinci buruannya menjauh, saya menarik nafas panjang karena ada sedikit rasa kecewa.

"Ya nggak apa-apa. Ini juga kan kamu yang minta ke bapak. Emang kenapa ? risih ya ?"


Sari tertawa cangor, tertawa nggak jelas lah gitu.

"Ya udah, kalau nggak jadi bapak mau tidur. Kamu juga tidur sana."

Ucapan saya memang menyuruh dia tidur, tapi kedua tangan saya memeluknya dari belakang. Dagu saya hinggap pada bahunya.

"Ga apa apa pak ?"

"Iya, sana tidur." Pada saat itu dua telapak tangan saya masuk lagi ke balik sport-bra nya dan hinggap tepat di dada kecil Sari.

Benar, putingnya mengeras.

Saya mengusapkan kedua telapak tangan diatas payudara kecil Sari dengan cara berputar berlawanan. Titit saya yang tegang menempel erat pada punggungnya.

"Kamu masih mau iPhone ?" Tanya saya.

Sari diam, tak menjawab.

"Kalau kamu mau, besok bapak beliin. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa."

Kelinci yang setengah ketakutan itu diiming-imingi sebuah wortel berwarna oranye segar.

"Bapak nggak akan bilang ke ibuk, kalau kamu pergi ke dukun. Bapak juga nggak akan bilang kalo kamu suka selfi-selfi tanpa baju. Bapak juga nggak akan laporin kamu yang diem aja diremes-remes bapak tua di mobil Bison."

Kelinci putih kecil itu diam, menimbang-nimbang.

"Tidur gih...." Ujar saya.

Tapi kedua telapak tangan saya masih mengusapi susu kecilnya.

Kecil sih.

Tapi sensasinya itu ya Aa.

Sari diam tak bergerak, badannya kaku.

Saya perlahan-lahan kembali duduk tetapi tidak bersila melainkan kedua kaki saya terjulur lurus dengan mengangkang. Bokong kecil Sari bersarang di tengah-tengah paha saya yang sarungnya terangkat.

"Hape kamu itu sebentar lagi rusak ya ?" Tanya saya.

Maksudnya sih bukan benar-benar bertanya, tapi menanamkan ilusi bahwa hp nya sebentar lagi rusak dan dia pasti butuh hape baru.

Diluar sana, hujan deras masih terus berlangsung. Cuaca dataran tinggi jawa barat ini memang dingin, tetapi rapatnya tubuh kami membuat kami hangat. Saya yakin, itu pula yang dirasakan Sari.

"Nah kan.... dada kamu mulai besar nih." Saya berbisik di telinganya.

Dan saya tidak bohong, dada kecil itu sekarang terasa lebih penuh dalam genggaman.

Bukan, bukan karena jampi-jampi tadi.

Bukan juga karena minyak kelapa.

Tapi, payudara wanita mana yang tak akan membengkak jika dielus mesra ?

"Coba kamu pegang." Saya melepaskan elusan pada dada Sari lalu memegang pergelangan tanggannya dan mengarahkan agar telapak tangannya meraba dadanya sendiri.

"Gede kan ?" Bisik saya pada telinganya sambil menempelkan dagu di tengkuknya.

Sari merabai dadanya.

Dia mengangguk.

"Tambah gede...." Desisnya seakan tak percaya.

"Yaudah sana tidur." Sekali lagi saya mengingatkan.

Tapi Sari tetap diam disana, merabai dadanya sendiri.

"Pak...."

"Ya nak."

"Kalau ke dukun kan dosa....." Katanya

"Iya, terus ?"

"Kalau kayak tadi..... sama bapak ?"

Apa yang harus saya jawab ?

Saya memutar otak, tetapi ternyata nafsu birahi saya yang menjawab.

"Kamu ingat kisah pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing ?"

Sari mengangguk.

"Urusan dosa, kita cuman bisa berusaha menghindari. Tapi yang diatas itu maha pengampun."

Spik malaikat.

Sari mengangguk lagi.

"Sana cepet tidur, udah mau jam 11."

"Pak..."

"Ya nak ?"

"Mata bapak kenapa merah ?"

Saya kaget atas pertanyaan Sari.

Aduh....

"Melakukan ritual kayak tadi kalau terputus di tengah jalan gini memang suka berbalik membuat bapak sakit." Saya tentu cuman berbohong. Saya sedang menjebak kelinci putih yang mulai jinak.

"Ohhh....." Sari terlihat merasa bersalah.

Memang itu tujuannya.

"Ya udah nggak apa-apa kok." Saya menenangkannya.

"Emang harusnya masih ada lanjutannya ya ?"

"Iya sih."

"Ya udah lanjutin aja pak. Biar bapak nggak sakit."

Kelinci putih mulai melongok-longok ke pintu jebakan.

"Bener ? bisa lama Sar. Kamu besok kan sekolah."

"Iya lanjutin aja gpp."

"Matiin dulu aja tv nya Sar."

Sari mengambil remot lalu mematikan tv.

Ruangan sekarang semakin remang-remang hanya diterangi cahaya lampu teras halaman yang sebagian cahayanya menembus lewat lubang ventilasi udara.

"Sar, menurut kamu sebaiknya ibu tau nggak ya?" Saya memancing Sari, ingin tahu resiko di depan.

"Engh.... nggak usah ya pak, pliis. Ibu tuh bawel, apa aja dibilang salah."

Emh... hati ini legaaa sekali Aa.

Lega, tapi jantung semakin berdebar.

"Yaudah, sekarang kamu duduk ngadep sini." Perintah saya.

Sari nurut, dia membalikkan arah duduknya dan kita jadi berhadapan.

Kaki saya masih seperti tadi, selonjoran dengan kedua kaki terbuka.

"Sari duduk begini ?" Dia duduk dengan kedua lutut menekuk, dan kedua telapak kakinya melangkahi dua kaki saya. Kakinya membentuk huruf M.

Saya mengangguk.

"Sekarang kamu merem, dan ikutin petunjuk bapak ya."

Sari memejamkan mata dengan dua lengan bersidekap menutupi dadanya yang tertutup beha sport warna putih.

"Ikutin ucapan bapak pelan-pelan."

Sari mengangguk.

"Tarik nafas panjang dulu, terus bilang....

Ka batara nu di girang
Ka batari nu di hilir
Clom giriwil
Clom giriwil

."

Saya tau, itu jampi yang suka dipakai penduduk sini kalau sedang mancing agar ikannya dapat.

Tapi apa peduli saya? Toh Sari juga mungkin nggak tau.

Sari mengikuti terbata-bata.

Pelan, saya memegang kedua tangannya yang seddang bersidekap lalu saya naikkan keatas setelah melepaskan lengan daster yang tertahan. Daster yang dikenakan Sari jatuh ke pinggangnya.

Dada kecil itu terlihat lebih menonjol dari balik beha.

Saya, memegang ujung bawah behanya.

Perlahan menaikkan keatas, melalui kepala Sari, hingga terlepas dari ujung kedua tangannya yang sedang teracung keatas.

Dada kecil itu bengkak.

Bentuknya seperti buah pir di toko buah Koh Acung yang sering saya lewati tapi nggak pernah saya beli.

Bening, mengkal.

Kedua tangan saya gemetaran waktu mulai meraba sekelilingnya.
Jadi ingat, bagaimana kakek tua di mobil Bison sempat mendapat rezeki nomplok dengan mengelusi susu mengkal ini dengan tangan keriputnya.

Aki-aki sialan.

Kedua tangan ini tetap gemetar waktu dua buah dada kecil mengkal itu ditangkup.

"Tetep merem ya.... sambil diulang-ulang dalam hati bacaan yang tadi."

Sari mengangguk.

Matanya terpejam rapat.

Jidatnya berkerut, dia meringis ketika bibir dan lidah saya mendarat di salah satu susu mengkalnya.

"Paaak....." bisiknya gemetar.

"Hmm.. cpok cpok... kenyapa ?" Saya bicara ditengah kenikmatan mengecupi buah dada kecil mengkalnya.

"Gelii....." suara Sari tambah gemetar, mungkin menahan rasa geli.

"Tahan...syebentyar...mmh cpok cpok."

Suatu aroma terasa menguar dari tubuh Sari.
Saya kenal sekali aroma itu.
Aroma feromon perempuan yang sedang birahi.

Di sela aroma feromon itu saya juga mulai mencium wangi lain.
Wangi melati.

Suara air hujan yang turun menimpa atap masih terdengar deras, tetapi suara angin telah berhenti.

Pentil susu si Sari yang masih kecil itu terasa sangat nikmat di lidah saya yang menyesap-nyesap, mempermainkannya ke kiri kekanan, atau bahkan melingkarinya.

"Paak... ngga kuaat..."

"Mmmph... clpot clepot..mmmh.." Saya memuaskan dahaga dengan menyesapi susu sari yang tak berair.

"Paaak.... pegel tangannya...."

Aduuh nih anak bawel banget sih dari tadi.

Saya membimbing kedua tangan Sari yang masih teracung keatas, untuk turun dan bertahan di punggung saya yang mengenakan kaos Cap Cabe.

Saya mengenyot cukup kuat, bahkan mungkin terlalu kuat.

Tubuh Sari gemetar, kuku tangannya mencakar-cakar punggung saya. Untung saya pakai kaus cap cabe.

Setelah puas mengenyoti satu susunya, yang bisa masuk semua ke mulut saya, bukan hanya putingnya, saya melepasnya.

"Ahhhhhh....." Sari bernafas lega.

Tapi tidak lama.

Saya menggeser duduk, mendekat hingga ujung titit saya menempel pada selangkangan Sari.

Nikmatnya.

Hangatnya.

Harumnya.

Dengan kedua tangan, saya mengangkat pantat Sari lalu mendudukannya di pangkuan saya.

Bersamaan dengan itu, daster Sari terangkat semua dan sarung yang saya pakai juga terangkat.

Sari masih bercelana dalam, tapi saya tidak.

Titit saya bersarang, hanya terhalang celana dalam yang dikenakan Sari.

Oooh.... begini aja uddah enakkk.

Ketika mulut saya mencelomoti susu Sari yang satu lagi, Sari teriak lirih.

"Aaaaakkkkh......"

"Matanya tutup.... konsentrasi ke bacaan yang tadi."

Dan Sari menggelepar-gelepar, untung saya peluk tubuh kecilnya. Kalau nggak, mungkin udah jatuh terlentang.

"Paak..udah paak... geliii."

Dan karena gelinjangannya itu, titit saya makin terjepit di tengah goyangannya.

"Aaah...." saya mengerang nikmat, dan susu mengkal yang sedang numbuh itu terlepas dari mulut.

Sari terengah-engah, dadanya naik turun.

Susunya terlihat kemerahan, makin lencir karena membengkak ddan berkeringat. Aroma keringatnya enak banget.

Tak memberi waktu lama untuk Sari menarik nafas, saking nafsu yang telah menggebu saya menyosor ke lehernya.

Sambil memeluk tubuhnya erat, saya menggesekkan selangkangannya ke titit saya yang tegang.

Awalnya dia tak bereaksi, tapi lama kelamaan tanpa dipandu akhirnya dia turun naik sendiri menggesekkan selangkangannya.

"Hhhh.... hhh... hhh..." nafas Sari terengah.

Hujan mulai reda, tetapi nafsu saya semakin menggebu.

Dengan menarik celana dalamnya ke samping, saya menyelipkan ujung titit saya.

Sekilas saya lihat memeknya yang berbulu halus itu basah sekali.

Eh.... saya juga melihat, ujung titit saya kok semakin hitam?

Ternyata bulu-bulu yang kemarin terlihat sangat halus, sekarang menjadi lebih panjang dan lebih tebal.

Wah, gimana ini ?

Sari masih terpejam di pangkuan.

Ada yang menggelitik rasa penasaran, gimana kalau titit yang ujungnya berbulu ini dimasukkan ?

Pelan tapi pasti, saya menyelipkan titit saya ke celana dalam sari yang tersibak.

Memang benar perkiraan saya, licin sekali.

"Eh.... pak..." Sari terpekik kecil.

Tak ada ampun, mulut saya langsung nyosor lagi ke susunya yang turun naik seirama tarikan nafasnya.

"Hkkk..... ahhh..." Tubuh Sari menegang.

Perlahan, bonggolan kepala titit saya menelusuri sepanjang belahan memeknya yang licin.

Luar biasa.

Rasanya greges greges bikin badan panas dingin.

Gatalnya ujung titit saya makin menjadi.

Aroma vagina mulai menguar.

Tanpa disadari oleh Sari, ujung titit saya menelusup ke bibir memeknya yang begitu licin.

Lembut, halus, empuk, hangat.

Apa lagi ya yang kelewat ?

Emmm... gurih.

Sari menggigit bibirnya.

Matanya rapat terpejam.

Plep.

Ujung titit saya yang berbulu menelusup lebih dalam hingga seluruh helmnya terasa dicengkeram sesuatu yang begitu lembut.

Setelah masuk helemnya, pelan pelan saya tarik keluar.

Begitu berulang ulang.

Ujungnya saja yang masuk, tapi memek basah sari yang licin telah memberikan kenikmatan yang tidak ada duanya.

Di luar rumah, hujan berhenti.

Suara hujan tergantikan oleh suara jangkrik dan kodok bersahutan. Kadangkala terdengar juga gumaman suara dari tetangga sebelah yang berbagi dinding dengan kontrakan kami.

Sesekali terdengar suara dak duk dak dug dengan irama yang begitu saya hafal. Pasti tetangga sebelah sedang main juga. Hmmh.... boleh aja Pak Wahyu tetangga saya sedang nikmatin memek istrinya yang sudah lumayan tua itu.

Nggak akan ada yang menyangka bahwa di sebelah rumah mereka sedang ada seorang bapak yang menikmati remasan bibir memek anaknya yang sangat nikmat.

"Paaak...."

"Hmmmh...." Jawabku sambil tetap mencucuk-cucukkan kepala helm tititku yang berbulu itu keluar masuk bibir memek Sari.

"Sari.... mau pipis...."

"Ya udah.... pipis aja..."

"Ngga mau..." Jawabnya

Saya menarik ulur titit saya lebih berperasaan, lebih menyentuh itil kecilnya.

"Paaak.... mau ke wc...."

"Disini aja...."

"Nggak mauu.."

Saya makin bernafsu menggoyang titit saya.

"Pakkkk... sari gak tahan.... mau pipis."

Saya menggesek titit berbulu itu keluar masuk bibir vaginanya, masuk secara tanggung hanya ujung helmnya.

"AAah.... bapaaak.... Sari pipiiiis...."

Dengan lembut, saya mendelepkan helm titit saya sekali lagi dan menahannya tepat di pintu masuk vagina.

Tangan kanan saya menggerayang ke bawah, ke arah kacang itilnya yang basah.

Satu sentuhan jari saya pada itilnya.

Dua sentuhan...

Pada sentuhan ketiga, saya menekan itilnya sembari mendelepkan kepala helm.

"Aaaaakhhh.... bap...bapaaak..." Sari menjerit

Saya tersenyum.

"Sari pipiiisss... maaap... ma'aaap." Tubuh sari bergemetaran dengan nafas tersengal sengal. Wajahnya sendu, bibirnya terbuka.

Dengan kuat, saya menghisap puting susu kecilnya yang tegang.

Sari makin melonjak lonjak.

Lalu tiba-tiba terkulai.

"Paaak... Sari kenapaaah... ini lemes..."

Beberapa waktu kemudian Sari menggelinjang, tidak mau dihisap lagi puting susunya.

"Ngilu pak." Katanya.

Tubuhnya terkulai lemas, lalu saya bangkit dan membaringkannya di lantai.

Dia berbaring dengan kedua tangan melindungi susunya yang sensitif setelah puncak kenikmatan tadi.

Kedua kakinya masih mengangkang, dan terangkat.

Saya secepat kilat meloloskan celana dalamnya.

Sempat Sari bertahan dengan tetap mengangkang, kakinya tidak mau dirapatkan.

Tapi Sari yang lemah tak mampu melawan lagi ketika celana dalamnya saya loloskan.

Bibir vaginanya yang berbulu halus terlihat memerah dadu, licin mengkilap penuh cairan dari dalam vaginanya.

Saya berlutut dan mengepaskan ujung titit saya ke sela memeknya.

plep.

Masuk lagi perlahan.

"Nggh..." erang Sari.

Saya menekan lagi.

Sari menggerinjal.

"Pak.... sakit." desisnya.

Tapi saya terus menekan.

"Auuuuh.... bapak.... udah pak...."

Tubuhnya mulai menggelinjang, berusaha menghindar.

Tapi mana bisa, dia sedang ada dalam tindihan saya dengan kedua kaki mengangkang terangkat keatas.

Otot vagina Sari menjepit keras, nyaris saja titit saya yang tegang tak mampu digerakkan.

Tapi setelah beberapa kali tarik ulur, akhirnya...

blep

Masuk juga setengah.

"Aduuuuh... paaak... periih."

Nafsu ini sudah ke ubun-ubun, apalagi cengkeraman memeknya menjepit keras, berkedutan meremas-remas titit yang dulu membuatnya tercipta.

Sari mengerang-ngerang dan mengaduh-aduh.

Saya menekan lagi, lebih memaksa.

bret

hah ? suara itu keluar dari sela-sela bibir vaginanya yang melesak. Mungkin ada angin keluar.

bleb

Tamat sudah, titit saya menyentuh dasar vaginanya, tak bisa ditekan lebih dalam lagi.

Memek sari makin mencengkeram, ototnya keras namun terasa lembut.

Saya megap-megap menahan rasa nikmat yang membludak.

Suara jangkrik tiba-tiba berhenti.

Suara kodok sekarang tak terdengar.

Suara motor menggantikannya.

Pertama pelan, jauh.

Makin lama makin mendekat.

Motor itu berhenti di depan rumah.

Memek Sari terasa semakin sedap, meremas lembut.

Dan saya tak kuat lagi didera nikmat.

"Makasih ya kang." Ada suara istri saya diluar.

Ah.... ?

Sari bergelinjang berusaha lepas, karena dia juga mendengar suara ibunya.

"Sama sama ibu..." suara tukang ojek.

Ahhhhk.... sedikit lagi...

sleb...sleb... saya menekan lebih kuat.


Suara sendal menghampiri halaman, lalu...

kriyeeet.....

pintu pagar dibuka, lalu ditutup lagi.

Dikiiit lagiiii ooooh

Sari mulai blingsatan, tapi saya memaksanya dengan tindihan.

Dan...

"Paaak....." Istri saya memanggil.

Dikiiiit lagi sampai.

"Sariiii..." Suara panggilan ibunya membuat sari tambah blingsatan berusaha lepas dari tindihan.

Dan...

"Aaaaaakkkkkkh....."

Tubuh saya berkelojotan, menumpah muncratkan segala isi kantung sperma.

Sperma panas lengket yang menyemprot ujung rahim Sari.

Dia diam, menatap saya.

Mulutnya terbuka seperti akan berteriak.

Dan cairan panas itu terus menyemproti rahimnya yang perawan.

tok tok tok tok

"Paaaak..."

ceklek ceklek ceklek

Pegangan pintu berusaha dibuka.

Saya melepaskan tubuh sari dari himpitan tindihan.

Secepat kilat Sari bangkit dan berlari ke kamarnya.

Getaran-getaran nikmat itu masih saya rasakan di seluruh tubuh.

"Buka pintu paaak... banguun." Istri saya mulai menggedor.

Jam berapa ini ? kok baru jam 12 istri saya udah datang.

Saya blingsatan masuk ke kamar setengah berlari, merapikan sarung lalu berteriak dari dalam kamar.

"Tunggu buuk... bentar."

Saya berjalan dengan sedikit rasa ngilu yang nikmat masih terasa.

Apalagi tergesek-gesek oleh sarung, aduuh ngilu banget.

Ceklek, kunci pintu saya buka.

Perlahan, ppintu terbuka.

"Bapak... udah pada tidur ya?" Istri saya melepas sendal selop nya lalu langsung masuk ke rumah.

"Iya udah tidur. Kok ibuk udah sampai ?"

"Tadi ibuk naik bis yang jam 3 dari sana. Biar cepet sampai."

"Oooh... gitu..." Kata saya sambil mengikuti istri saya masuk ke kamar.

"Loh... ini apa ?" Kaki istri saya menginjak sesuatu. Dia membungkuk dan mengambil sesuatu yang diinjaknya.

Celana dalam putih bergambar bunga-bunga kecil berwarna kuning.

Astagaaaa !

"Kok ada disini ?" Istri saya mengangkat celana dalam Sari ke depan wajah saya.

Dia menatap tajam.

Saya.... tergagap tak mampu memberi jawaban.

Bersambung.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd