Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Rumble X Riot!

Status
Please reply by conversation.
EPISODE III:
Unravel







Kupakai sneakers kesayanganku, dapat dari Mira sih. Beberapa hari lalu dikasih. Katanya, biar punya sepatu baru. Alasan klise, tapi logis; berhubung sepatu yang lama rusak parah dan udah ga bisa diapa-apain lagi. Loh, kenapa jadi ngomongin sepatu?

Oke, jadi gini. Karena kelas tiga abis ujian, jadi mereka sekarang masuk class meeting. Untuk kelas satu dan dua, ga ngaruh sih. Tetep aja masuk jam belajar. Nah, berhubung aku ini siswa bandel disana... yah, jadi masuk ga masuk pun ga masalah. Jadi, kumanfaatkan momen ini untuk pulang kampung. Bukan, bukan ke kampung Bunda. Tapi ke kampungnya Kakek. Tempat semuanya bermula.

"Yakin mau pulang? Aku kesepian nanti," kata Mira, sambil memelukku dari belakang.

Aku tersenyum. Seharusnya aku bisa tetap disini, sih. Kurang enak apalagi coba? Tinggal gratis, makan gratis, tidur gratis, bahkan... bahkan... kalau horny ada pelampiasan yang gratis pula. Bhahahaha, enak kan?

Tapi aku harus tetap pulang. Ada urusan yang harus diselesaikan.

"Iya, sebentar doang kok. Semingguan paling. Nanti pasti balik lagi kok," jawabku.

"Tapi turnamen nanti ikut?"

Mira, Mira, Mira. Justru aku pulang karena mau persiapan menghadapi turnamen nanti. Gimana sih? Di rumah Kakek di kampung sana, ada semua yang kubutuhkan saat ini.

"Ikut dong. Eh, formatnya tim ya? Gue kan belom bentuk tim."

Mira melepas pelukannya, terus bersender ke dinding. "Nanti aku coba tanya Yugo, tapi satu orang lagi? Aku kan ga bisa berantem kayak kamu," katanya, manja.

"Nanti gue cari," aku berdiri, terus menghampiri Mira, "Yang penting kelas satu, kan?"

Mira langsung setuju. Terus, dia tatap mataku, manja banget. Ini cewek kenapa?

"Riza... sebelum pergi... boleh?" tanya dia.

Aku tersenyum geli. Tinggal satu rumah ternyata membuat Mira jadi cewek yang mudah terangsang. Ya iya sih, hampir tiap malam kita begituan. Kenyataan bahwa sampai saat ini Mira ga hamil sudah membuatku lega. Soalnya... kebanyakan keluarinnya... di dalem. Hehe.

"Tapi quickie ya?" tawarku, tentu sambil mengangkat satu paha Mira.

Kebiasaan Mira yang cuma pakai daster tipis tanpa dalaman kalau dirumah memudahkanku menggarapnya kapan saja, disini. Termasuk kali ini, ketika kami berada di sisi terluar ruang tamu. Kupepetkan tubuh Mira ke pintu yang menutup, lalu kusangga pahanya diatas satu pahaku. Susah ih, mesti buka resleting dulu.

"Biar ga kangen banget... hehe, ga apa-apa kan?" tanya dia, memastikan.

Sekarang batang kemaluanku tegak bebas, mengarah tanpa hambatan ke bibir kemaluannya. Sekilas, kulihat jam dinding. Whops, udah setengah delapan. Bisa ketinggalan bus nanti. Makanya, langsung saja kusentak pinggulku, membuat batangku melesak masuk ke kemaluan Mira.

"Aaaa... Ri... Ri... men... hmmmpp..."

Ah, seperti biasa. Dinding kemaluan Mira menjepit batangku kuat-kuat. Memang benar sih kata artikel di internet, yang kurus itu lebih 'ngejepit'. Ayo Riza, kamu berlomba dengan waktu. Jadilah badan Mira kupompa dengan cepat.

"Riza... Riza... aahh ahhh auuhh... pelan... pellaaaannn....nnngghh...!"

Melihat ekspresi wajah Mira yang keenakan begini, makin membuatku tergoda menggarapnya. Ayo, tunjukkan wajah itu. Wajah memelas yang takluk sepenuhnya padaku.

Bosan, kucabut batangku sebentar lalu kubalik tubuh Mira sehingga membelakangiku. Makin dikejar waktu, langsung kupompa lagi tubuhnya. Tanganku juga aktif meremas buah dadanya yang minimalis ini. Satu hal yang kupelajari, salah satu titik sensitif Mira ada di putingnya. Dipilin begini, maka...

"Hyaaaahh... Riza, Riza, Riza! Aku... aku..."

Whops, time is running out! Kucabut batangku, lalu kusarungkan kembali. Buru-buru pakai celana lagi, aku membiarkan tubuh Mira lunglai di lantai. Yah, aku tahu, dia hampir orgasme tadi. Berhenti saat hampir mencapai klimaks itu menyiksa, serius. Tapi, justru disitu sensasinya. Tahu ga, aku paling suka melihat wajah-wajah kebingungan itu.

"Maaf ya, sisanya lanjutin sendiri. Gue mau ngejar bis, hehe," kataku, enteng.

Mira yang masih kebingungan, hanya sanggup menatapku tanpa bisa berkata-kata. Aku lalu mengecup bibirnya sekilas, kemudian membuka pintu.

Pfft, rasain deh tuh kentang~

•••​

Perjalanan dari terminal kota ke kampung lumayan lama. Ya... ada deh sekitar lima jam. Tuh, jauh kan? Kalau ga perlu banget, aku males kembali kesini. Serius.

Sehabis turun dari bus, yang pertama menyambut kedatanganku adalah gapura. Gapura ini sudah lumayan lapuk, juga banyak retakan dimana-mana. Kalau sudah sampai sini, tandanya sedikit lagi aku sampai ke tujuanku.

"Woy, woy, awas jangan bengong dijalan!"

Aku menengok, dan dari arah kanan ada motor bebek yang mengarah padaku dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit sebentar, lalu melompat ke belakang untuk menghindar. Agak kesal, kutendang saja sisi motornya. Si pengendara pun langsung terjungkal ke samping.

"Sia mau cari ribut hah?!" begitu omelnya, setelah bisa menguasai diri.

"Lah, lagian ngapain mau nabrak gue segala," balasku. Aku menghampirinya, ku ulurkan tangan untuk membantunya berdiri. "Tadi reflek, maaf ya. Ga apa-apa kan?"

Tapi tanganku ditepis. Lalu orang ini, cowok gemuk dengan dandanan mirip preman kampung, segera berdiri meski kepayahan. Dia dengan cepat merilis sebilah pisau lipat dari balik saku belakangnya.

"Sok sini kalo mau ngajak ribut!" katanya.

Yaelah.

Aku pun maju, maksudnya sih mau ajak damai saja. Tapi si cowok malah menghunuskan pisaunya ke arahku. Mau gimana lagi, kutangkap pergelangan tangannya, lalu kupelintir kuat-kuat. Pisau yang digenggamnya lalu terlepas, dan kutangkap dengan tangan kananku. Jleb, pisau kutusukkan dalam-dalam ke pahanya, dan dengan sekali tarik ke dalam, maka... kubuat luka robek itu semakin menganga!

"Anjing, anjing, sa--"

Terakhir, kutendang wajahnya. Dia terpental kebelakang, langsung pingsan seketika.

"Berisik. Lagian yang salah siapa, kok yang marah siapa."

Merasa masalah sudah selesai, aku melanjutkan perjalanan. Untungnya, suasana disekitar benar-benar sepi. Fyuh, bisa repot kalau ramai.

Perjalanan dari gapura ke kampungku lumayan jauh. Seingatku, harus menyusuri jalan setapak bertanah ini selama beberapa kilometer. Ditemani barisan pohon-pohon besar dan tua, perjalanan ini terasa sunyi. Kadang, hanya ada suara jangkrik memecah hening.

"Selamat datang di..." kubaca papan selamat datang sisi kiri jalan. Tulisan di papan sendiri mulai pudar, jadi sulit kubaca. Yah, gimanapun juga, aku dulu tinggal disini. Jadi aku tahu nama kampungku sendiri. "Leuwimunding."

Sengaja kupilih jalan memutar kerumah Kakek. Sebisa mungkin, aku menghindar dari warga kampung. Bukan berarti aku ga bisa melawan mereka, tapi aku hanya meminimalisir keributan. Soalnya, emosiku pasti memuncak kalau bertemu salah satu dari mereka.

"Tch. Gubuk ini makin ga keurus aja." Aku geleng-geleng kepala melihat rumah Kakek yang bobrok, hampir-hampir ambruk.

Pelan, kugeser pintu masuk yang terbuat dari kayu. Bunyi gesekan kayu dengan tanah menggema di bangunan terbengkalai ini. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam. Tapi...

"Duh, aura menekan ini. Kalo Kakek udah mati, terus yang ada disini siapa?"

Aku berlari menuju ruang keluarga. Semacam aula kecil tempat aku dan Kakek berlatih dulu. Perasaan was-was ini benar-benar membuatku tak nyaman. Seperti kengerian yang menggelitik hati. Hanya ada dua orang yang kukenal yang bisa mengeluarkan aura menekan ini. Kakek, dan satu lagi....

"Yaelah... ngapain disini, bos?"

Di tengah-tengah aula, seseorang sedang duduk bersila membelakangiku. Seorang pria bertubuh kekar, bertelanjang dada dan bercelana kain putih panjang yang lusuh. Lihat otot-otot kerasnya yang mengkilap, terpapar sinar mentari yang menembus lewat celah-celah atap yang bolong. Pria dengan rambut panjang sebahu, duduk dengan ketenangan luar biasa.

"Seharusnya kamu bisa lebih sopan, Riza. Apa ibu kamu gak mengajari itu?" tanya dia, masih membelakangiku.

"Oke, oke. Ayah ngapain disini?"

Yap, pria di depanku ini adalah ayahku. Tepatnya, ayah kandungku, yang berkelana jauh keliling dunia dengan tujuan klise: mewujudkan obsesinya menjadi petarung terhebat di dunia. Norak, kan? Maksudku, jaman sekarang, petarung? Emangnya dia hidup di jaman Wiro Sableng atau semacamnya, hah?

Memutar tubuhnya, Ayah kini duduk berhadap-hadapan denganku. Haaah, wajah itu. Wajah tua dengan guratan-guratan usia di pipi. Sisanya ditutupi rambut-rambut halus dari jambang sampai dagu. Seingatku, waktu Ayah pergi dulu mukanya bersih. Tapi kenapa sekarang jadi bewok begitu?

Ah, mungkin dia mau meniru-niru Adam Levine.

"Ayah mau tanya. Kamu jawab baik-baik," katanya, datar dan kaku.

"Iye, tanya apa? Cepet ah."

"Kemana gulungan terakhir yang Kakek tulis? Seingat Ayah, Kakek simpan di aula ini."

Aku menepuk kening. "Yaelah, Yah. Riza juga cari gulungannya, makanya pulang kesini. Nyari juga? Riza tau kok dimana," jawabku. "Tapi ra-ha-si-a."

Ayahku ini memang ga sabaran. Dia langsung berdiri, lalu melompat, menerjang ke arahku. Tangan kanannya merentang berusaha menjamahku, tapi...

Whops, aku bergeser ke samping. Kukerahkan gerakan tercepatku. Serius, ga ada main-main atau menahan diri kalau berhadapan dengannya.

"Enak banget lu, pulang-pulang langsung minta gulungan Kakek!" teriakku. "Emang lu kemana aja selama ini, ninggalin gue sama kakek-kakek gila yang--"

Ugghh, kata-kataku terpotong karena satu tendangan mengenaiku. Meski bisa kutangkis, tapi tenaganya yang besar sanggup mendorongku beberapa jengkal ke belakang.

"Bentar, bentaaaaar!" teriakku, memotong pertarungan ini. Membuat Ayah berhenti menyerangku; berdiri tegak sembari mengernyitkan dahi.

"Ayah dari kapan disini?"

Dia tampak berpikir. Kok lama? Heh, situ kenapa mikirnya sampe lama gitu? "Dua hari lalu. Ayah gak tahu dimana Kakek simpan gulungannya, jadi Ayah bersemedi disini, coba ingat-ingat. Kenapa?"

Semedi? Ya ampun Yah, jadul banget sih.

Heran ya, pertemuan ayah dan anak ini ga dramatis sama sekali? Ga ada adegan kaget-kagetan, atau tangis haru sambil pelukan. Yah, aku sudah berhenti menganggap orang ini istimewa di hidupku. Sudah sejak lama, dari saat Ayah meninggalkanku dan Bunda. Hubunganku sekarang dengannya hanya sebatas darah dan DNA. Bahkan, kalau bisa, mestinya kubunuh orang ini sekarang juga.

Heh? Kenapa ga dicoba?

Oshiete oshiete yo sono, shikumi wo
Boku no naka ni dare ga iru no?

Kowareta kowareta yo kono, sekai de
Kimi ga warau nanimo miezu ni​

"Kayak orang bego, ngapain dua hari cuma bengong doang. Berarti ini takdir, kita ketemu disini."

"Iya, ternyata firasat Ayah masih kuat. Lagipula, kamu sudah besar," ga disangka, Ayah senyum padaku, "Riza."

Senyum itu. Senyum yang kubenci. Tiap kali dia tersenyum padaku, ingin rasanya kusayat lehernya. Senyum tulus itu, seakan ingin mengklaim lagi statusnya sebagai ayahku. Senyum yang....

Being as broken as I am, I hold my breath
And it can't be unraveled, it can no longer be unraveled...
Not even the truth

Freeze

Breakable; unbreakable
Psychotic; unable to go insane
I'll find you, and..!​

Shit, I'm pissed off.

"Jangan senyum ke gueeee kayak gituuuu!"

Yuganda sekai ni dan dan boku wa sukitootte mienaku natte
Mitsukenaide boku no koto wo mitsumenaide​

Aku merangsek padanya. Kulesakkan satu tinju kiri menuju ke arahnya. Tinju yang mudah ditepis, tapi itu cuma pengalihan. Serangan lututku telak menghajar perut Ayah. Tapi tinju kiri Ayah menghantam bahu kananku. Shit, tenaganya kuat banget!

"Seharusnya lo ga ninggalin gue!" Tinjuku menghantam pipinya.

Aku kembali menghajar perutnya. "Seharusnya lo lebih mentingin gue sama Bunda!"

Tapi... ugghh! Serangan siku kanan Ayah telak menghantam dadaku.

"Seharusnya... seharusnya... semuanya ga kayak gini..."

Dareka ga egaita sekai no naka de anata wo kizutsuketaku wa nai yo
Oboeteite boku no koto wo...

Azayaka na mama​

Aku mencoba bangkit. Aku masih kuat dong. Meski nafasku tersengal karena stamina yang terkuras, aku belum mengerahkan seluruh kemampuanku. Yap, sekarang saatnya.

"Gara-gara elo... gue... gue..."

Ya, semua gara-gara dia. Semua. Dulu, aku anak kecil yang bahagia. Dulu, senyumku adalah senyum Ayah dan Bunda. Dulu. Tapi semenjak Ayah pergi karena menuruti obsesi gilanya...

Mugen ni hirogaru kodoku ga karamaru
Mujaki ni waratta kioku ga sasatte​

Bunda jadi depresi. Aku yang belum bisa apa-apa, dititipkan ke Kakek. Tapi, ayahnya Ayahku ini ternyata orang gila. Kakek yang suka menyiksa. Kakek psikopat. Sama ambisiusnya. Hanya karena dia ga bisa lagi mewujudkan impiannya jadi petarung nomer satu, dia melampiaskan seluruh obsesinya padaku. Semua. Semua. Semua. Dicekik. Dilempar ke jurang. Digantung semalaman. Ditenggelamkan di sungai. Latihan yang menyiksa. Disuruh melawan macan. Di... di... aku di...

Ugokenai.
Ugokenai.
Ugokenai.
Ugokenai.
Ugokenai.
Ugokenai yo.​

Eh, aku dibilang aneh.

Dijauhi.

Dianggap pembawa sial.

Diasingkan.

Tak punya teman.

Sendirian.

Unravelling the world

Temanku satu-satunya diperkosa lalu dibunuh. Sendirian. Selalu sendirian.

Ja-jadi... jadi pembunuh. Orang-orang mulai takut. Makin... makin dijauhi. Lalu... lalu... merreekkaa... mereka... ttakut. Ya, mereka takut. Ahahaha, aku dibiarkan sendiri karena ditakuti. Mmm... mmm... eh, aku harus mikir apa lagi? Apa? Semuanya... semuanya berantakan. Kacau. Harus apa?

Kucengkeram rambutku sendiri. Kekacauan di kepalaku sudah ga bisa ditahan lagi. Apa? Apa yang kacau? Semuanya. Siapa? Eh, dia? Ayahku penyebabnya?

Ahaha. Semua gara-gara dia.

"MMMMAAAAAAATTTIIIIII~~~~~~!"

Kukerahkan kecepatan maksimal. Melawan Ayah harus total. Aku melompat, lalu melesakkan tendangan samping padanya. Ayah berhasil menangkis, tapi aku memutar badanku di udara, lalu menyarangkan tumit kiri ke pelipisnya. Kena!

I've changed; I couldn't go back to the way I was.
As the two twines around one another, the both of us will perish away...

Breakable; unbreakable
Psychotic; unable to go insane

I can't afford to let you be defiled!​

Ayah kehilangan keseimbangan. Nah, kesempatan. Memanfaatkan momentum di udara, aku membenturkan kepalaku ke kepalanya. Masih belum! Tinju kiri menghantam ulu hatinya. Disusul uppercut kanan bersarang di dagunya. Kemudian siku kananku melesak di lehernya.

Ayah makin kehilangan keseimbangan, mundur beberapa langkah ke belakang. Kukerahkan semua tenagaku untuk satu teknik serangan yang akan kuarahkan padanya. Aku maju, lalu kaki kiriku menghentak keras ke lantai kayu--disusul kedua tangan yang mengepal, dengan cepat melesak ke dadanya lalu menghentak keras. Ayah langsung terpental jauh ke belakang. Membentur dinding kayu dengan keras, kemudian jatuh terduduk.

"Hmph, lumayan," katanya, sambil tersenyum sinis.

Lumayan? Lumayan, katanya? Oh, memang seharusnya kubunuh dia. Kakek, maaf ya. Semua yang Kakek ajarkan padaku, akhirnya kugunakan untuk membunuh anakmu.

Ayah bangkit, dan langsung bergerak secepat kilat. Hheeegghh, tinjunya telak menghantam pipiku. Aku terpental, tapi Ayah kini sudah berada di sampingku. Ayunan lengan kanannya susah payah kutangkis. Tapi pertahananku tembus ketika pukulan kirinya menyusul serangan tadi. Aku kembali terpental. Damn, tenaganya benar-benar kuat!

"Riza..."

In this shaken, twisted world, I gradually become transparent, unable to be seen.

Please don't bother looking for me; don't stare at me...

In a trap of solitude someone had set, before the future unravels,

Remember me; as vivid as I was.​

Kutangkap sorot mata sedih di matanya saat memandangku. Sorot mata itu...

Seketika ada perih menggangggu hati ini.

"HEEAAAHAHAHAHAHAAAAARRRGGGHHHHHHHHHH! BERISIK! MATI AJA SEMUANYA! SEMUANYA! SESESEEMMUUAAA... AHAHAHA, SEMUA... GUE GA NGERTI LAGI! KACAU! TERBALIK... DUNIA INI... AAAAAAAARRRGGHHH!"

Wasurenaide

Wasurenaide

Wasurenaide

Wasurenaide​
[/center]

Tinju kanan melesat bersamaan dengan teriakanku. Ayah juga melesatkan tinju kanannya. Tinju kami saling beradu. Tulang menghantam tulang. Aku lalu mencakar dadanya lewat tangan kiri yang membuka. Selanjutnya, seranganku membabi buta. Menghajar apapun di tubuhnya. Tapi pada satu momen, Ayah menangkis seranganku.

Dan tanpa kuduga, dia menyerang balik menggunakan teknik serangan yang tadi kukerahkan.

Kawatte shimatta koto ni paralyze
Kaerarenai koto darake no paradise
Oboeteite boku no koto wo​

"Riza, berhenti. Serahkan gulungannya. Kamu gak harus jadi seperti Ayah. Sebelum terlambat."

Berusaha berdiri, aku menatap tajam padanya. Berhenti menatap sedih padaku!

"Gue ga mau. Gue ga mau. Jahat. Heh. Ahaha. Lo jahat. Semua orang jahat. Gausah kasihanin gue!"

Oshiette...​

Ayah mendekat. "Riza...," dia memanggil namaku, lirih.

Shit. Sialan. Bajingan. Bangsat. Brengsek. Kurang kuat. Harus. Bunuh. Orang. Ini. Harus. Harus. Harus. Ha....

Oshiette...​

Aku melompat tinggi, lalu mengayunkan tendangan kanan. Tentu Ayah bisa menangkisnya, tapi aku yang kini mendarat ke lantai langsung merunduk menghindar dari sapuan lengannya. Kemudian kulakukan satu lompatan kuat, seraya pukulan kiri melesat kencang ke arahnya.

"Riza, maaf."

Boku no naka ni

Dare ga iru no?​

Lalu semuanya gelap.

•••​
 
EPILOG




Tubuh lelahku berbaring pasrah di atas lantai kayu. Kutatap langit-langit yang berlubang. Menatap kosong. Samar-samar dari celah lubang, awan-awan bergerak pelan. Begitu pelan.

Tubuh lelahku berbaring pasrah. Babak belur. Penuh luka lebam dan darah mengucur dari sela bibir. Berusaha mengatur nafas. Hening. Suasana sunyi ini sanggup membuatku mendengar detak jantungku sendiri. Detak yang lemah. Teratur. Pelan.

"Baik. Ayah mengalah. Ambil saja gulungannya, Riza. Tapi Ayah peringatkan, isi gulungan itu berbahaya. Berisi semua teknik dan jurus terlarang yang digunakan untuk membunuh. Yah, bukan berarti semua teknik dan jurus yang dipelajari Ayah dan kamu itu untuk membela diri. Aliran bela diri keluarga kita memang bertujuan untuk membunuh. Hanya saja... isi gulungan itu... anggap saja hal-hal yang gak boleh ada di dunia ini.

"Berjanji satu hal pada Ayah. Pelajari gulungannya, dan gunakan untuk melawan Ayah. Suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi. Kamu adalah kesalahan terbesar Ayah. Bukan produk gagal. Kamu itu mahakarya, Riza. Tapi kamu gagal menjadi manusia, maka dari itu kamu adalah kesalahan. Satu kesalahan terbesar yang seharusnya Ayah tebus sekarang. Tapi...

"Jadi, semoga takdir mempertemukan kita lagi. Sampai saat itu tiba, jangan mati. Sampai saatnya kita membuat satu perhitungan terakhir. Sampai jumpa."

Kata-katanya sebelum pergi masih terngiang-ngiang di kepalaku. Ops, tenang. Aku sudah benar-benar stabil sekarang. Makanya, aku bisa mengingat kata-katanya dengan jelas. Tch, perhitungan terakhir, katanya. Gunakan untuk melawan Ayah? Lah, memangnya kenapa kalau kugunakan sesukaku? Dasar ayah brengsek, urusi saja urusanmu sana.

"Nah, sekarang saatnya ambil gulungannya, deh. Tapi, adududuh... badan gue... sakit semua, duh."

Turnamen ya? Kayaknya cocok buat uji coba semua teknik yang ada di gulungannya. Yah, sukur-sukur ada lawan yang menantang. Hmph, ga sabar kan jadinya.

"Yap, blood will shed. More blood. More... like a festival. Blood festival."

Sweet!









=END OF SEASON 1.5=



SEE YOU IN A WHOLE DARKER STORY,
LOTS OF BLOOD,
TEARS,
AND TRAGEDY.


Coming soon

=SEASON 2=

RUMBLE X RIOT:
BLOOD FESTIVAL
 
Bimabet
apdetnya pendek amat...

But...

Lanjutannya buruan dan jangan tersendat2
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd