Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RS The Submissive

Bimabet
Sekedar pemberitahuan, kalau gak ada kendala, akan ane update malam nanti. Dan setelah ane pelajari tentang judul cerita ini, ane agak bingung. Kemungkinan judul akan diganti.
:sendiri:
 
Sekedar pemberitahuan, kalau gak ada kendala, akan ane update malam nanti. Dan setelah ane pelajari tentang judul cerita ini, ane agak bingung. Kemungkinan judul akan diganti.
Tak apa-apalah judulnya ganti, gw aja aga bingung ama judulnya, tapi ceritanya menarik kok. Terus dilanjut smoga lancar jaya (hehe sorry kek nama toko besi) :semangat:
 
Sekedar pemberitahuan, kalau gak ada kendala, akan ane update malam nanti. Dan setelah ane pelajari tentang judul cerita ini, ane agak bingung. Kemungkinan judul akan diganti.
:sendiri:
Semoga gk da kendala n cpt rilis updatenya hu..
 
Mohon maaf sebelumnya, karena bagian ini tidak terlalu memenuhi ekspektasi.

Part 8

[HIDE]Memang seperti biasanya. Di rumah kami hanya ditempati 4 orang saja. Aku, adik perempuanku dan kedua orang tuaku. Kami tidak memiliki saudara lain di desa ini. Karena setahuku, saudara baik dari bapak dan ibuku semuanya merantau ke kota-kota besar. pertah terbesit dalam benakku, untuk pergi dari desa ini. Tapi apalah daya, keadaan ibuku yang sakit-sakitan membuat kehendak itu sirna. Meski tidak banyak yang kudapatkan, namun bekerja di kelurahan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Tapi, bagiku itu tidaklah cukup, jika memang ingin menyembuhkannya. Kami harus membawanya ke Rumah Sakit yang besar, karena penyakitnya terbilang serius dan butuh penanganan yang lebih ahli daripada puskesmas saja.

Hampir satu bulan sekali aku mendapat bonus dari Pak Lurah. Karena aku mengurus pekerjaan lainnya di rumah beliau. Pak Lurah adalah orang terkaya di desa ini. Dia memiliki peternakan sapi, dan beberapa hektar sawah dan ladang. Aku ikut membantu mengurus semua itu, ketika Pak Lurah harus pergi ke luar kota untuk dinas atau urusan lain.

“Mas, bangun, mas!” suara adikku terdengar samar-samar.

“MAS! BANGUN!!!”

Mataku langsung terbelalak. Di depanku sudah berdiri adik perempuanku dengan pakaian seragam sekolah.

“Tadi malem pulang jam berapa? Kok bisa kesiangan.”

“Gak tau dek,” jawabku.

“Hmm, mas udah ada uang belum?” tanya adikku.

“Obat ibu sudah habis,” tambahnya

“Nanti sore, mas bantu Pak Lurah. Besok baru bisa beli obat buat ibu.”

“Ya udah. Aku berangkat dulu, mas.”

Aku benar-benar kesiangan. Tubuh ini masih terasa berat akibat persetubuhanku dengan Bu Santi malam tadi. Aku memeriksa hp, untuk melihat jam. Tapi, ternyata Bu Santi sudah berulang kali menelponku. Di daftar panggilan yang tak terjawab ada pula nama Pak Lurah. Kemudian kuperiksa sms yang masuk. Sudah kuduga, Pak Lurah pergi ke luar kota pagi ini, dan sorenya aku disuruh ke rumah Pak Lurah untuk membantunya.

Ada pula sms dari Bu Santi.

Revan, temenin aku ke Kabupaten.

Kalo kamu mau, balas smsnya. Nanti jam 8, aku telpon.

Kulihat jam menunjuk pukul 7:38. Aku pun bergegas ke belakang rumah, tempat sumur berada. Dengan buru-buru kusiram badanku, sambil menggosok gigi. Sampe-sampe aku lupa untuk membalas sms Bu Santi terlebih dahulu. Akhirnya kupercepat membasuh seluruh tubuhku.

Setelah selesai, aku langsung mengecek hp, jam masih menunjuk pukul 7:52. Aku segera membalas pesan Bu Santi. Sembari menunggu telpon dari Bu Santi, aku mengenakan pakaian. Berulang kali aku melirik hp yang diam tak bordering sedikitpun. Apa Bu Santi sudah pergi? Tunggu dulu, kenapa aku bersemangat sekali.

Pikiran ini memang sudah ternodai, sudah jelas-jelas di pesan itu, Bu Santi hanya minta ditemani. Tapi aku memiliki kehendak lain, suatu keinginan yang menggebu-gebu. Bu Santi tak kunjung menelponku. Dengan terpaksa aku harus ke kantor lurah, barang kali ada pekerjaan yang sudah menunggu.

Aku agak kecewa, sampai aku sudah berada di kelurahan pun, Bu Santi tak menelpon, bahkan membalas pesanku juga tidak. Aku masuk ke kantor dengan agak lesu.

Kegiatanku di kantor bertambah satu, memandangi, dan menunggu hpku berdering. Pandanganku memudar, rasa kantuk menguasai mataku.

Tak tahu sudah berapa lama mataku terpejam. Dering hpku membuat mata ini melotot—segar kembali. Tapi, cukup kecewa saat melihat nama Pak Lurah yang menelponku.

“Iya Pak?” kataku.

“Van, kamu ke rumah sana. Pemborongnya sudah di rumah, buruan ya!”

“Ohh, iya iya Pak.”

Tak apalah Bu Santi tidak menelpon, karena kekecewaanku terobati dengan cepatnya rezeki datang, salah satu yang kutunggu-tunggu hari ini. Setelah mengemas bawaanku, kulihat jam menunjuk angka 10:55. Segera kupamitan dengan staf yang lain.

Sesampainya di rumah Pak Lurah, kulihat mobil pengangkut sayur-mayur sudah terpakir. Langsung kutemui bos yang akan memborong sayur-sayuran milik Pak Lurah yang sedang di panen. Sambil menunggu semua sayuran terkumpul, aku meminta Bi Juedah membuatkan minuman untuk pemborong.

Seraya dengan kegiatan timbang-menimbang, Bu Lurah—Bu Rita datang mengendarai motor, di belakangnya ada anak perempuan berseragam SD. Aku menyapanya sembari melempar senyum.

Setelah selesai, aku duduk di teras rumah. Kuhitung-hitung lagi uang hasil penjualan sayur itu. Lalu kuambil jatahku. Siang itu cukup terik, Bi Juedah dengan inisiatifnya menyodorkan es sirup kepadaku. Terbesit pikiran kotor saat melihat Bi Juedah pergi. Pantatnya cukup besar hampir menyamai Bu Etin.

“Ehem …,” suara Bu Rita mengagetkanku.

“Hehehe, ini Bu uangnya.”

“Udah ambil jatah kamu, Van?”

“Udah kok Bu,” jawabku.

Bu Rita menghitung kembali uang itu. Aku memandanginya, sosok Bu Lurah dengan daster dan jilbab menutupi kepalanya. Tubuh Bu Rita tergolong ideal. Baik depan maupun belakang, dua-duanya menonjol dengan serasi.

“Ya udah, Van. Makasih ya udah bantuin. Minumnya habisin dulu.”

“Iya Bu.”

Hpku berdering lagi, dalam hati kuberkata “mungkin kah kali ini dari Bu Santi?”. Saat kulihat, ternyata dari tetanggaku. Aku agak terkejut. Tidak biasanya tetanggaku menelpon. Apa terjadi sesuatu di rumah?

“Revan,” sapanya

“Iya, Bu?”

“Ini ibu kamu batuk-batuk berdarah.” Langsung kututup telpon,lalu beranjak dari duduk.

“Mau pulang, Van?” tanya Bu Rita.

“Iya Bu,” jawabku.

“Ada apa Van kok buru-buru?”

“Ibuku anu bu …”

“Pake mobil aja, Van. Biar sekalian ke rumah sakit,” katanya.

“Boleh bu?”

“Iya lah, bentar yah.”

Bu Rita masuk ke dalam, selang beberapa detik ia kembali, lalu menyodorkan kunci mobilnya kepadaku. Kemudian, ia menyerahkan separuh hasil penjualan tadi kepadaku.

“Sekalian Van, biar kamu gak pusing masalah uang,” katanya.

Aku sudah belajar mengemudi sejak masih sekolah, tentunya milik Pak Lurah dengan di mentori Mas Dirman. Kini kendaraan sudah ada, uang pun aku rasa sudah cukup ditambah dengan tabunganku di bank. Aku harap Ibu mendapat perawatan yang baik nantinya.

Sesampainya di rumah, suasana cukup ramai. Terdengar tangisan adikku. Tubuhku melemas, mata berkunang-kunang, pandanganku memudar, langkah kaki kian berat.

Pikiranku kosong ….

Pemakaman dilakukan pada hari itu juga. Karena kami memang tidak ada saudara yang ditungggu. Aku berusaha menenangkan adikku. Ayahku terlihat tegar. Namun kuyakin apa yang kurasakan sama dengannya.

Bu Rita menghampiriku, aku langsung menyerahkan kunci mobilnya. Saat hendak, menyodorkan uang yang dipinjamkannya, ia langsung menahan.

“Untuk kamu aja, Van. Ibu turut berduka. Ibu ngewakilin Pak Lurah juga, Van.”

“Iya, bu.”

Lalu kulihat Bu Santi menghampiriku, ia melakukan hal yang sama seperti pelayat yang kain. Mengucapkan bela sungkawa kepadaku. Beberapa staf kelurahan pun hadir.


Beberapa hari kemudian,

Aku bekerja seperti biasanya. Hal-hal yang menyenangkan kemarin—bersama Bu Santi, seakan sirna begitu saja.

Melihatku yang masih berduka di kantor, Bu Santi menghampiriku. Ia berbicara pelan kepadaku, “Van, nanti pulang ke rumah ya.”

Dalam benakku berkata, “Apa Bu Santi ingin menghiburku dengan tubuhnya?”

Dalam perjalanan pulang, aku bertemu Bu Rita. Ia menyapaku dengan membunyikan klakson mobilnya.

“Van, mau pulang?”

“Iya Bu.”

“Sepedamu mana, Van?”

“Umm, lagi gak semangat sepedaan Bu, maunya jalan aja.”

“Ya udah masuk, Van. Ibu anterin.”

“Gak usah, Bu. Aku mau ke rumah Bu Santi dulu.”

“Ohhh, Bu Santi …,” ucapnya.

Lalu Bu Rita, mengambil hp, kemudian menelpon seseorang.

“Nih, Van. Bu Santi.” Ia menyerahkan hpnya padaku.

“Van, ikut Bu Rita aja. Aku mau ke rumahnya juga kok,” kata Bu Santi dari balik telpon.

“Iya, bu.”

Detak jantugku mulai berdegup kencang. Ada apa ini? Akhirnya aku pun masuk ke dalam mobil. Aku tepat duduk di samping Bu Rita. Ia tersenyum padaku.

“Ibu tadi habis ngantar Pak Lurah ke stasiun, Bapak ada dinas.”

“Ohh, Mas Dirman kemana bu?”

“Dia lagi sakit katanya.”

Selama dalam perjalanan Bu Rita banyak tersenyum. Rasa sedihku, sedikit hilang karena penasaran kenapa Bu Santi mengajakku ke rumah Bu Rita?.

[/HIDE]
To be continued ...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Yahhh.. Revan lagi sedih berduka ditinggal ibunya.
 
izin bangun ruko suhu, belum berani komentar cara penulisan, nubi masih belajar... :Peace::Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd