Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

rl first priority sissy
good to see you around anyway
Nyobain sambil edit dikit2 paman, tapi karena seri 10 rada panjang, plus tugas dadakan dari tempat kerja, jadinya molor up.
Moga dalam 2 atau 3 hari kedepan bisa up..

Thank you for your support paman rev @revmental
 
Bimabet
Rindiani The series – Seri 10
Home sweet home

Part 1



Rindiani

Kenekatan dan kegilaan lelakiku, Pram, diwarung bakso membuatku takjub. Sebuah sisi lain yang akhirnya kuketahui, membuatku menggelengkan kepala dan tak habis pikir dengan hal itu. Permainan jemarinya kembali membuat kemaluanku basah. Ia berhasil mengembalikan gejolak birahiku pasca orgasme beberapa saat yang lalu.

“Sekarang kita kemana?” tanyanya ketika kami telah memasuki mobil dan bersiap pergi.

“Ibu pengen nongkrong di nol kilometer, atau nongkrong di warung kopi.”

“Kalo gitu, kita malam mingguan di warung kopi aja bu. Saya tau tempat yang enak buat ngopi."

Aku mengangguk, lalu kembali melingkarkan tangan di lengannya dan menyandarkan wajahku disisinya.

“Di bersiin dulu bu, pasti becek banget kan..” gumannya sambil memperlambat laju mobil karena jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan.

“Apanya?” tanyaku heran sambil memandang wajahnya.

“Ini..” jawabnya singkat sambil memegang pangkal pahaku, kemaluanku.

Aku tertawa kecil, lalu membenahi posisi duduk dan menyibak baju panjang yang kukenakan hingga ke bagian pinggang.

“Sayang sih.. nakal banget. Nih.. jadi basah lagi.” gumanku sambil sedikit membuka bibir kemaluanku dan meraih cairan lubrikasi dari celah vaginaku dengan ujung jari.


“Sesekali nakal kan boleh, biar ibu gak bosen sama saya.” jawabnya, lalu mengecup kepalaku.

“Ibu gak bosen kok sayang. Tapi tadi itu bikin ibu deg-degan. Takut kalo ada yang lihat.”

Lagi-lagi Pram tertawa, sambil mengusap pahaku.

“Udah saya perhitungkan kok bu. Taplak mejanya kan panjang, jadi gak bakal kelihatan dari depan.”

Kuraih berlembar-lembar tissue dari dashboard dan mulai membersihkan kemaluanku, sementara Pram terus memperhatikan jalan didepan kami. Sesekali mobil kami terhenti karena kemacetan yang tak mungkin terhindarkan.

“Kota ini makin padat penghuninya.” Gumanku sambil melihat keramaian dipinggir jalan yang kami lalui.

“Kayaknya sih, yang bikin penuh itu para pendatang, mahasiswa yang kuliah disini.” timpalnya.

“Iya lhoo. Dulu waktu ibu kuliah, angkatan ibu itu jumlahnya dua ribuan orang. Itu baru kampus ibu aja lho.. gak tau kalo kampus lainnya.”

Dari Selokan Mataram, mobil kami meluncur lambat menuju ke warung kopi yang berada di wilayah Nogorojo. Warung sederhana dengan sajian khas kopi tersebut adalah salah satu tempat berkumpulnya para pecinta kopi. Selain itu, sebagai wadah berkumpulnya berbagai komunitas yang tumbuh subur di kota pelajar.

“Nah, ini tempatnya bu..” kata Pram ketika mobil kami berhenti di depan sebuah bangunan besar dan sangat sederhana.

“Rame banget” gumanku sambil melihat melalui kaca jendela mobil.

Aku mengikuti langkah Pram, menuju ke sebuah tempat terbuka dimana beberapa meja kosong masih tersedia.

“Maaf mas, mbak, adanya meja lesehan. Kalo yang pakai kursi sudah terisi semua.” kata seorang pelayan.

“Iya, gapapa mas. Saya pesan kopi hitam satu.” kata Pram.

“Saya juga mas. Jangan terlalu manis” timpalku.

“Sekalian sama roti bakar ya mas. Saya minta empat.” kataku lagi.

Tempat sederhana itu benar-benar sangat ramai. Di area parkir, puluhan vespa berjajar rapi, tampaknya komunitas vesap kota pelajar sedang bersantai dan berkumpul disini.

“Pram tau tempat ini dari siapa?”

“Dari Galang sama Nina bu.”

“Mereka berdua kan sering ngopi disini.”

“Oooo… Galang.”

“Emang Galang pacarnya dimana sih? Kuliah juga?”

“Pacaranya Galang di jakarta bu, kuliah disana. Katanya sih temannya waktu masih SMA.”

“LDR..” gumanku.

Pram mengangguk, lalu menebarkan pandangan ke sekeling kami. Beberapa saat kemudian, minuman pesanan kami pun datang.

“Kalo Nina, dekatnya sama Galang, soalnya Galang yang pertama kali kenal dia sebelum akrab sama kami.

Aku pernah memdengar cerita ini dari Nina, dan Nina memang sangat bersyukur karena bisa bertemu dan mengenal Galang beserta teman-temannya, termasuk Pram.

“Kalo Rita deket sama siapa?” tanyaku.

“Kalo Rita deket sama Topan bu. Biar kayak anjing sama kucing gitu, tapi mereka itu deket lho, akrab banget. Sama Nina juga deket, soalnya cuman mereka berdua aja yang cewek diantara kami.

“Lucu kalo ngelihat mereka saling ledek, gak ada yang mau ngalah.”

Pram tertawa, lalu meraih roti tawar panggang yang telah diolesi selai.

“Kalo Deva ya kayak netral. Deket sama semuanya.” sambungnya.

“Sama kayak kamu?” tanyaku lagi.

Pram mengangguk, lalu menggigit sebagian kecil roti itu.

Malam minggu, bertepatan dengan jadwal siaran langsung sepak bola liga Inggris, membuat warung tersebut semakin dipenuhi oleh pengunjung yang ingin menikmati acara itu secara bersama-sama. Aku tak begitu menyukai sepak bola, begitu juga dengan Pram, sehingga kami tak memperdulikan sorak sorai pengunjung lain yang menyaksikan acara tersebut.

Diantara mereka, seorang wanita cantik sesekali memandangi ke arah kami. Aku tak mengenali sosok wanita tersebut, namun dilihat dari usianya yang masih muda, mungkin saja ia adalah seorang yang mengenali Pram, teman kampus atau lainnya.

Beberapa saat berlalu, dan wanita itu pun akhirnya melangkah, berjalan menuju ke arah kami.

“Pram..?” tanyanya.

Pram mengangguk, namun tampak bingung dengan sosok didepannya. Wanita pun duduk bersama kami.

“Kamu lupa?” tanyanya lagi.

Pram lelakiku, nampak sedang berpikir, mencoba mengingat sosok wanita tersebut.

“Dewi. Aku dewi, ngekost disamping rumah kontrakanmu dulu.”

“Oh iyaaa.. mbak Dewi.” timpal Pram.

“Kok Mbak sih?? Perasaan umur aku lebih muda dari kamu.”

Pram tersenyum, menunduk malu. Perempuan itu menjulurkan tangan padaku, berkenalan denganku.

“Dewi.”

“Rindi.” balasku sambil menjabat tangannya.

“Sekarang kamu ngontrak dimana?” tanyanya.

“Gak ngontrak lagi Wi, sekarang ngekost.”

“Kamu masih ngekost disana?”

“Iya.. males mau pindah lagi.” jawab Dewi.

“Ya udah, aku pamit dulu ya, tuh temen-temen pada nonton bola disitu. Aku kesini bareng mereka.”

“Kapan-kapan main ke kostku lagi dong Pram. Lama banget kamu ngilang.”

Pram tersenyum sambil mengangguk.

Dewi pun berlalu, dan kembali bergabung bersama teman-temannya.

“Dia kuliah?” tanyaku.

“Enggak bu. Kerja di butik.”

“Dulu waktu masih ngontrak rumah, dia sama temen-temen kerjanya sering main kerumah kontrakanku. Kebanyakan sih masak bareng, ato cuman ngumpul-ngumpul doang.”

“Kok di rumah kontrakan kamu?”

“Soalnya kost dia kecil bu, kamarnya sempit. Jadi ya seringnya kalo ngumpul di rumah kontrakan saya.”

“Oooo gitu.. cantik lhooo.. ibu seneng lihat dia.”

Pram tersenyum, lalu menyeruput kopi yang telah kami pesan.

“Cantik sih, tapi doyan minum.” celetuk Pram.

“Mabuk maksudnya?” tanyaku.

Pram mengangguk.

“Dia udah nikah?” tanyaku.

“Belum bu. Dia masih muda lhoo, kalo gak salah baru duapuluh tahun umurnya.”

Aku menggelengkan kepala.

“Pram bisa minum kayak gitu?”

“Enggak bu.”

“Pernah nyoba?” tanyaku.

“Belum.”

Aku tersenyum, dan dalam hati merasa bangga padanya.

“Susah nyari cowok kayak kamu. Gak minum, gak ngerokok, gak aneh-aneh.” sambungku.

“Ibu pernah minum?”

“Pernah sekali. Waktu bulan madu di Bali. Dikasih anggur gratis dari pihak hotel sebagai hadiah. Ibu sama suami minum.”

“Ibu mabuk??” tanyanya heran.

Aku mengangguk.

“Gak sampai mabuk parah sih. Cuman kayak berasa terbang aja, pandangan kayak muter-muter.”

“Tau gak? Kalo udah gitu, enak banget buat ngentot.” gumanku pelan.

Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Kalo sama suami sih gapapa bu.” timpalnya.

“Tapi besoknya badan ibu remuk. Rasanya capek banget, soalnya ngentot sama suami ibu sampe pagi.” lanjutku.

Pram tertawa, lalu kembali meneguk kopinya, begitu juga denganku.

“Mbak Aya itu yang jago kalo urusan minum kayak gitu.” sambung Pram.

“Mungkin karena sering keluar negri, disana kan dingin, jadi pasti sering minum untuk menghangatkan badan.” balasku.

Pram mengangguk.

“Dirumah ada beberapa koleksi anggurnya kok bu.”

“Katanya sih koleksi langka. Harganya puluhan juta sebotolnya.”

Aku menggelengkan kepala, takjub dengan apa yang Pram katakan.

“Itu beli?”

“Iya, ada yang beli, ada yang dikasih temennya.”

“Gila. Buat minum aja sampe puluhan juta gitu.”

“Makanya saya bilang, Mbak Aya itu boros banget pakai uang. Gak mikir panjang. Kalo dia suka, langsung beli, gak mikir harganya.” gerutu Pram.

Aku mengangguk, mengamini apa yang ia katakan. Calya memang sosok yang sangat royal, tidak memperhitungkan nilai rupiah jika sedang berbelanja.

“Kalo uangnya ditabung, disimpen, kan bisa untuk masa depan, untuk keperluan lain yang lebih penting.” sambung Pram.

“Iya sih. Tapi ibu yakin, mbak Aya pasti punya tabungan juga, punya simpanan untuk masa depannya.”

Pertandingan sepakbola yang tersaji di layar tv ternyata menjadi magnet yang cukup kuat untuk menarik perhatian hampir seluruh pasang mata yang ada disitu, terkecuali aku dan Pram, dan beberapa orang lain yang memang sepertinya bukan penggemar olah raga tersebut.

“Geliii..” gumaku.

Pram tersenyum, lalu beralih tempat duduk, kesampingku.

“Basah lagi?” tanya pram berbisik.

Aku mengangguk pelan sambil melihat keadaan disekeliling kami.

“Mau pulang?”

“Enggak, nanti aja. Kita malam mingguan dulu.” jawabku.

“Besok kita pulang kesini lebih cepat ya. Ibu mau bersihkan halam belakang. Rumputnya udah pada tinggi, garasi juga udah berdebu banget.”

“Kalo gitu, ibu pulang aja sendirian, biar saya yang bereskan rumah. Gimana?”

“Nanti kalo Nova nyari Pram gimana? Dia pasti kangen juga sama Pram.” sahutku.

Pram nampak berpikir sejenak, mencari solusi terbaik untuk rencana kami esok hari. Ia lalu menyeruput kopinya, begitu juga denganku.

“Ya udah, kita berangkat subuh, biar bisa agak lama dirumah. Jam tiga sore kita pulang. Gimana bu?” tanyanya.

“Boleh. Kita berangkat jam empat atau jam setengah lima aja. Gimana?”

Pram mengangguk lalu meraih roti dihadapan kami dan menyantapnya. Kusandarkan kepala dibahunya, sambil memandangi sekumpulan pengunjung warung yang tengah asyik menatap layar televisi didepan mereka. Sesekali mereka bersorak, lalu terdiam beberapa saat, dan kembali berteriak keras.

Aku tak begitu memahami dunia sepakbola, sehingga segala tingkah mereka itu terasa lucu bagiku.

“Kamu gak pernah nongkrong kayak gini sama temen-temenmu?”

“Pernah sekali bu, sama Topan, sama Rita, Galang dan Nina.”

“Ya nongkrongnya disini.”

“Ibu kira kamu gak pernah hangout”

“Saya gak terlalu suka jalan-jalan bu. Sesekali aja keluar-keluar, main.”

“Kamu ini bener-bener unik. Ibu bingung sama kamu. Duit ada, motor ada, tapi hidupnya monoton banget, biasa banget.” gumanku.

“Saya juga heran lihat orang lain yang seneng jalan-jalan, nongkrong. Bingung aja, asiknya dimana dengan kegiatan kayak gitu.”

“Buat refreshing sayang, biar gak jenuh sama kerjaan, sama kuliah.”

Pram mengangguk, lalu memandangi jam di tangannya.

“Pulang?” tanyaku.

“Bentar lagi bu. Jam sepuluh aja baru kita pulang. Setengah jam lagi.”

Meja lesehan yang kami tempati terletak di area terbuka, tanpa atap diatasnya sehingga aku bisa dengan bebas memandangi langit malam. Mendung nampak menutupi pijar bintang-bintang, sehingga langit nampak gelap gulita.

“Mbak Aya kok gak ada kabarnya?”

“Sekarang pasti udah dirumah. Udah tidur.” jawab Pram.

“Kok gak ngasih kabar ke kamu?”

Pram menghembuskan nafas panjang.

“Dia emang kayak gitu. Tapi pasti besok ngabarin kok bu.”

Sambil menikmati suasana, sesekali aku menggodanya, dibawah meja, mengusap paha, hingga selangkangannya. Hal ini membuat Pram tersenyum geli, sambil mengawasi keadaan disekeliling kami.

“Awas dilihat orang lho bu.” bisiknya.

Aku segera menarik tanganku dari bawah meja, dan kembali bersikap seperti biasa, dengan kepala tetap bersandar di bahunya.

Sambil tersenyum kurangkul pinggangnya, melupakan sejenak seluruh beban pikiranku, menikmati menit yang berlalu dalam diam disampingnya.

“Pulang yuk.” Kata Pram sambil melihat jam di pergelangan tangannya.

= = =

Dalam perjalanan pulang, obrolan tentang Dewi berlanjut.

“Dewi orang asli sini?” tanyaku.

“Iya bu.”

“Cantik banget.”

“Tapi doyan minum.” timpal Pram.

“Mungkin nanti kalo dia udah dewasa, baru sadar, trus berhenti minum.” kataku.

“Dulu, dia pernah mabuk, pulangnya kemaleman, pintu gerbang kostnya udah dikunci. Dia gedor-gedor pintu kontrakan saya.”

“Waktu itu jam dua malam. Saya buka pintu, dia lagi duduk dilantai teras, sambil muntah.” sambungnya.

Aku terkejut dengan penuturan Pram tentang dewi.

“Trus gimana?” tanyaku.

“Mau gak mau, saya bawa dia masuk kedalam rumah. Saya bawa ke kamar mandi. Disana dia muntah lagi.”

Aku menggelengkan kepala, heran dengan kenakalan Dewi yang masih belia.

“Kamu gak jijik?” tanyaku lagi.

“Kalo jijik ya jijik bu, tapi kalo gak saya tolongin, gimana nasib dia?”

“Gak mungkin saya biarin dia tidur diteras rumah kontrakan saya kan?”

“Iya sih.”

“Malam itu kayaknya dia minum banyak banget. Soalnya muntah mulu dikamar mandi. Bajunya, celananya, semuanya kena muntah. Kotor, bau banget.”

Aku membayangkan apa yang dihadapi Pram saat itu dan merasa mual.

“Trus trus, gimana?” tanyaku penasaran.

“Saya siram dia pakai air dingin.”

“Kamu mandiin?” tanyaku lagi.

Pram mengangguk.

“Dia bener-bener kehilangan kesadaran. Cuman diem aja waktu saya guyur air.”

“Trus, pakaiannya gimana, kamu buka juga?”

Lagi-lagi Pram mengangguk.

“Harus saya buka bu. Saya ganti pakaiannya dengan yang kering dan bersih. Saya pakaikan celana pendek punya saya, sama baju kaos saya.”

“Emang dia gak marah?”

“Jangankan marah, ngomong aja dia gak bisa bu. Mungkin karena udah gak sadar.”

“Saya papah dia, baringkan diatas kasur saya, biar dia istirahat.”

“Ckckckckckck.. untung aja kamu urus dia, kalo gak gimana nasibnya.”

“Waktu ganti pakaian Dewi, kamu gak pengen?”

Pram tertawa mendengar pertanyaanku.

“Saya laki-laki normal bu, pasti ya pengen. Tapi saya harus menolong dia, itu yang ada dipikiran saya waktu itu. Apalagi dia kan lagi mabuk, masa sih tega mengambil kesempatan dalam kondisi kayak gitu?”

“Itu sebabnya ibu sangat sayang sama kamu. Ibu bangga jadi perempuan yang kamu anggap spesial.” gumanku.

Pram tersenyum, lantas meraih lenganku dan memintaku untuk mendekatkan tubuh padanya.

“Ibu tahu, sejak saat itu, dia makin sering main ke kontrakan saya. Kadang cuman dateng untuk nonton tv, atau ngobrol, atau kadang cuman buat tidur siang atau tidur malam. Saya sih gak masalah, yang penting jangan sampai buat keributan aja.”

“Tidurnya bareng kamu?”

Pram menggelengkan kepala.

“Dia lebih senang tidur di sofa, sambil nonton tv bu. Saya tidur di kamar.”

“Tapi, sejak dia punya pacar, dia jadi jarang main ke kontrakan saya.”

“Tadi saya lupa sama dia, soalnya rambutnya udah panjang sekarang, diwarnain lagi.” sambung Pram.

“Iya, ABG gaul.. tapi keren kok. Cocok sama penampilannya. Kulitnya putih, langsing lagi.”

“Kalo ibu warnain rambut, jadi gimana ya? Kamu suka gak?” tanyaku.

Pram menggeleng.

“Ibu jangan warnain rambutnya. Biarin gitu aja.”

“Iyaaaa.. ibu manut sayang kok.” kataku, sambil memandangi kilatan petir di angkasa.

Tak berapa lama kemudian, gerimis pun mulai turun membasahi bumi kota pelajar, dan menit yang berlalu pun semakin menambah intensitasnya. Tak butuh waktu lama, hujan deras disertai angin kencang pun melanda.

“Saya suka ibu yang seperti ini, apa adanya aja.”

“Iya, ibu manut kamu aja sayang, yang penting kamu seneng.”

Aku mendekatkan tubuh padanya dan kembali merangkul pinggangnya, sementara Pram memperhatikan jalan didepan sembari berkonsentrasi menyetir mobil.

“Kamu suka ibu pakai celana panjang atau rok?”

“Pakai apa aja cocok kok bu, saya suka semua.”

Puas dengan jawabannya, aku lantas mengecup pipinya. Pram tersenyum, dan membalas mengecup kepalaku.

“Kalo memek, kamu suka yang gak ada bulunya atau yang berbulu?”

“Dari pertama saya lihat punya ibu emang gak ada bulunya, jadi ya terbiasa seperti itu. Tapi kalo ibu gak nyaman ya jangan dicukur bu. Biarin aja ada bulunya.”

“Justru ibu gak nyaman kalo ada bulunya. Kalo pipis susah ngeringinnya. Lagian kasian sayang kalo ada bulunya, pasti jadi gak enak kalo jilatin memek ibu.”

Pram tertawa mendengar jawabanku. Ia menggelengkan kepalanya.

“Kayaknya sih iya, pasti ada bulunya yang ikutan ketelen."

Giliranku tertawa mendengar celotehnya.

“Punya Nina juga gak ada bulunya lho sayang. Kalo punya Dewi gimana?” tanyaku.

“Ada bulunya bu, tapi dicukur pendek.”

“Emang sih, kalo kepanjangan juga rasanya gak betah. Risih. Gerah juga.” timpalku.

“Emang waktu kamu telanjangin Dewi, dia gak sadar?”

“Gak sadar sama sekali bu. Saya bukain semua pakaiannya di kamar mandi. Harus saya bugilin, soalnya pakaiannya basah semua saya guyur. Habis itu ya saya papah dia ke kamar. Saya pakaikan pakaian saya.”

“Emang kamu gak kepikiran buat nakalian dia? Dia kan lagi gak sadar.” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala.

“Dia lagi gak sadar bu, kasian dia. Saya gak tega.”

“Lagian, dia datengin saya berarti dia percaya sama saya. Saya gak mau pertemanan kami hancur karena nafsu saya.”

Kukecup pipi lelakiku, dan aku yakin bahwa Pram telah bercerita dengan jujur.

“Kamu emang laki-laki langka.” gumanku, sambil merebahkan kepala di pundaknya.

“Seks kadang bisa merusak segalanya. Bisa pula membuat segalanya menjadi indah.” timpalnya.

“Trus, waktu itu kamu temenin dia tidur?”

“Enggak. Saya tidur di sofa bu. Diruang tengah.”

“Trus, waktu dia sadar, dia gak marah?” tanyaku lagi.

Pram menggelengkan kepala.

“Dia cuman nanya gini ‘kamu yang gantiin pakaian aku?’”

“Saya jelasin semuanya ke dia, dan dia cuman senyum aja.”

“Trus bilang makasih. Udah. Gitu doang.”

“Bener-bener gila si Dewi.” sahutku.

‘Istimewa’ itulah satu kata yang bisa menggambarkan sosok lelaki disampingku ini. Tahan godaan dan selalu berusaha untuk berpikir jernih terhadap suatu kondisi. Cerita tentang Dewi adalah salah satu contohnya.

“Saya selalu bertanya-tanya, apa enaknya kalo seseorang sampe tega memperkosa perempuan. Apalagi kalo yang diperkosa lagi mabuk, atau gak sadar. Rasanya aneh aja sih bu, gak pantes banget.”

“Mungkin emang udah gak mikir panjang kali..” jawabku sekenanya.

“Ada bapak perkosa anak perempuannya. Ibu diperkosa anaknya. Ponakan diperkosa omnya. Manusia makin kesini makin beringas dan buas.” timpalnya.

“Amit-Amit.. moga-moga kita dijauhkan dari hal seperti itu.” kataku.

Telah beberapa kali Pram mengingatkanku untuk mulai belajar mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan birahiku agar tidak mudah tunduk dan selalu menuruti keinginanku untuk menegguk kenikmatan seks. Kuturuti nasihatnya karena hal tersebut sangat baik untukku, dan demi kebaikanku juga.

“Ibu punya Nova, moga aja dia selalu aman dan hidup dalam kedamaian.” kataku.

“Ibu Tenang aja.. Nova akan baik-baik aja. Selama ibu memdidik dia dengan baik dan benar, dia akan menjadi pribadi yang baik dan benar juga. Jangan khawatir bu, Nova pasti akan baik-baik saja.”

Puluhan menit berikutnya, akhirbya kami tiba dirumahku. Sama seperti area kota, daerah pinggiran pun diguyur hujan deras disertai angin kencang.

Aku berdiri didepan jendela kamarku, memandangi titik-titik air yang sedang berjatuhan dihalaman samping kamar tidurku. Dan aku sangat beruntung, Pram hadir, menemaniku disaat-saat seperti ini.

Kesendirianku tertutupi dengan sempurna oleh sosoknya. Sekali lagi, bukan sekedar pelepas dahaga seksku, namun kehadirannya memberiku ketengan, membuatku nyaman, terutama disaat-saat seperti ini.

Pram baru saja keluar kamar mandi, lalu berdiri disampingku, ikut menikmati kesunyian malam dan alunan gemercik hujan. Aku meliriknya sekilas sambil tersenyum. Pram balas melirik, menuntun tubuhku untuk berdiri didepannya dan melingkarkan tangannya diperutku. Terasa hangat dan nyaman melewati suasana malam dingin dalam dekapannya.

Pram, lelakiku, memanjakanku dengan segenap rasa hati. Berkali-kali kecupan lembut nan hangat dilayangkannya ke pipiku. Kedua tanganku menumpang diatas tangannya, berbagi kehangatan, berbagi kenyamanan dalam melewati detik yang berputar. Aku tahu, dalam diam yang menyelimuti kami, Pram mengungkapkan rasa hatinya.

Bermenit-menit lamanya kami berdiri mematung didepan jendela kamar tidurku, sekedar memandangi hujan yang turun semakin deras, menikmatinya seolah sedang menyaksikan tayangan film kesukaan kami.

“Istirahat yuk..” katanya kemudian.

Setelah berganti pakaian, kami merebahkan tubuh dibawah selimut. Pram kembali memelukku dengan erat diatas ranjang. Ia benar-benar membuatku merasa nyaman dan tenang. Dengan kepala bersandar didadanya, kunikmati belaian lembutnya dirambutku.

“Sayang udah ngantuk?” tanyaku, sambil membenamkan wajah didadanya.

“Belum bu.”

“Sayang lupa? Pram menatapku heran.

“Lupa apa bu??”

“Coba diinget-inget lagi.” kataku.

Sejenak Pram terdiam, mencoba memikirkan apa yang telah ia lupakan.

“Saya lupa bu.” gumannya kemudian.

“Ya udah, gapapa.. kita tidur, biar besok bisa cepet bangun. Kita pulang. Ibu udah kangen Nova.”

Pram tersenyum, satu tangannya mengusap pipiku, lalu melumat bibirku dengan lembut.


♡♡♡ bersambung ♡♡♡

part 2 akan rilis beberapa jam kedepan.

terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd