merah_delima
Calon Pertapa Semprot
Part 3
Hampir jam sepuluh pagi, akhirnya bapak kembali kerumah. Segelas teh panas kuhidangkan untuknya. Pram masih larut dalam dunia khayalan bersama Nova. Canda tawa Nova akibat godaan Pram hampir selalu terdengar sepanjang waktu. Mereka terlihat begitu menikmati kebersamaannya, hanyut dalam dunia mereka sendiri. Kehadiran bapak pun tak dihiraukan oleh Nova, begitu juga dengan kehadiranku disampingnya.
Langit teduh membuat suasana diluar sejuk, sehingga bapak dan Pram memilih untuk bersantai dikursi, dibawah pohon yang tumbuh rindang.
“Dedek mandi dulu yuk.” kataku, sambil mencoba meraih tubuhnya dari gendongan Pram. Seperti biasa, Nova menolaknya. Ia memeluk leher Pram dengan sangat kuat, tak ingin melepaskannya.
Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku berhasil merebutnya, walaupun tangisan mulai terdengar dari bibir mungilnya. Segera kubawa Nova kedalam rumah dan memandikannya, sementara bapak dan Pram berbincang-bincang.
“Kok nangis sih dek?” tanya ibuku saat melintas di dapur.
“Gak mau lepas dari Pram bu, mau dimandiin dulu.” jawabku singkat.
Ibuku tertawa, lalu mengikutiku ke kamar mandi.
“Aneh lho, Nova kok seperti lengket banget sama Pram. Padahal belum lama kenal sama Pram.”
Aku hanya bisa tersenyum, karena aku sendiri pun tak mengerti penyebabnya.
“Ibu tahu, Rindi suka Pram.” guman ibuku lagi sambil menungguiku memandikan Nova.
Tentu saja aku terkejut dengan ucapan ibuku karena mengerahui perasaanku terhadap Pram.
“Ibu ngomong apa sih?” tanyaku berpura-pura.
“Ibu juga wanita, dan kamu putri ibu. Ibu tahu dan mengerti isi hatimu. Ibu bisa melihatnya dari caramu memandang Pram. Ibu mengerti.” sambungnya.
Entah bagaimana aku harus merespon ucapan ibuku, namun apa yang ia ucapkan sesuai dengan apa yang telah kujalani selama beberapa waktu belakangan.
“Saya sadar bu, saya bukan wanita yang cocok untuk Pram.” gumanku pelan sambil mengusap tubuh Nova dengan sabun khusus untuk balita.
“Ibu mengerti, ibu paham dengan pikiran kamu. Ibu hanya berpesan supaya kamu jangan merasa rendah diri, merasa minder, malu terhadap dirimu sendiri.”
“Kalaupun akhirnya kamu resmi bercerai dan menjadi janda, terimalah dengan lapang dada.” sambung ibu.
“Tentang urusan hatimu, ibu tidak akan ikut campur, karena kamu sudah dewasa. Ibu yakin, Rindi pasti menyimpan perasaan terhadap Pram. Hal itu bukanlah sesuatu yang salah. Ibu pun yakin, Pram adalah seorang yang baik.”
Sebagai ibuku, beliau benar-benar mengenal dan mengetahui sangat baik tentangku. Apa yang dikatakannya sungguh benar adanya bahwa aku menyukai Pram, aku mencintainya.
Disisi lain, banyak fakta yang membuatku sedikit ragu tentang perasaanku padanya, walaupun aku sangat yakin, Pram pun memiliki perasaan yang sama padaku.
“Ibu benar, cepat atau lambat saya akan bercerai, karena saya sudah menutup hati saya untuknya. Saya siap untuk hal itu, bu. Saya hanya memikirkan nasib Nova, biar bagaimanapun, Nova tetap membutuhkan sosok ayah.” gumanku lirih.
Ibuku menyambut Nova dalam dekapannya setelah selesai kumandikan, lalu membawanya ke kamar tidur untuk dikenakan pakaian.
“Tentang Pram. Dia memang orang baik bu, dia telah banyak membantu saya. Ibu benar, saya menyukainya, saya memiliki perasaan itu. Tapi saya harus realistis juga bu. Usianya masih muda, sementara saya mungkin akan menjadi janda, dan memiliki Nova.”
Ibuku tersenyum sambil mengenakan pakaian pada tubuh Nova.
“Sudah, jangan dipikirkan. Perasaan itu gak bisa disalahkan karena memang muncul dari hati. Yang penting kendalikan dirimu dan jangan berharap lebih. Jalani saja.”
“Jujur saja. Ibu senang Rindi bisa bangkit dan mulai menerima kenyataan, walaupun kenyataan ini pahit. Ibu pun sedih jika memikirkan masa depan Nova dan masa depanmu. Tapi ibu yakin, sangat yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini dengan lapang dada.”
“Tentang Pram, ibu yakin kamu sudah cukup dewasa dan matang untuk mengambil keputusan. Ibu serahkan semua ke kamu. Yang penting, dipikirkan baik-baik, dipertimbangkan dengan matang.”
“Iya bu.” jawabku singkat. Saat kembali ke halaman, Nova disambut oleh Pram, dan tentu saja mereka segera kembali larut dalam dunianya sendiri. Jemarinya yang mungil sibuk menjamah wajah pram sambil tertawa keras karena Pram menggodanya, menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Kulanjutkan menyapu halaman rumah, sementara bapak memasuki rumah untuk membersihkan tubuh. Ibuku memilih untuk ke dapur, mempersiapkan makan siang untuk kami.
Sedikit banyak, apa yang ia katakan memberi sinyal dukungan padaku untuk maju dan melanjutkan hidup sesuai dengan keputusanku, yaitu bercerai. Mungkin beliau pun telah ikut terluka akibat pengkhiabatan suamiku terhadapku.
Sebagai seorang wanita dewasa, aku pun yakin bahwa keputusanku untuk bercerai adalah sebuah keputusan yang benar dan baik untuk jelanjutan hidupku, walaupun dibalik itu, ada beban yang harus kupikul, yaitu Nova, putri kecilku.
Aku kembali duduk disamping Pram yang sedang bercanda dan bermain bersama Nova. Mereka bampak bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama. Aku pun senang, dan ikut merasakan hal itu setelah melihat keharmonisan mereka. Bayangan tentang menjalani kehidupan rumah tangga bersama Pram membuaiku, membuatku tersenyum sendiri.
“Dedek gak capek?” tanyaku, ditengah keasyikan mereka.
“Kayaknya gak bakal capek bu.” jawab Pram.
Kuusap kepala putri kecilku dengan lembut, lalu mengecupnya.
“Nanti kita pulang jam berapa?” tanyaku.
“Kalo ibu mau, kita pulang jam dua atau jam tiga, biar ada waktu untuk membersihkan garasi dan halaman belakang.”
“Atau, kita tetap pulang sore seperti biasa, biar saya yang kerjakan semuanya, besok. Saya kan masih libur bu.”
“Gini aja, kita pulang jam tiga. Kita kerjakan sama-sama hari ini. Kalo belum selesai, besok kita lanjutkan lagi. Gimana?”
“Boleh bu.”
Ketika bapak kembali bergabung bersama kami, aku meninggalkan mereka untuk membantu ibuku memasak, sekedar meringankan pekerjaan rumah tangga yang selama ini ia jalankan. Sambil membantunya memasak,
sesekali kudengan teriakan dan canda tawa Nova daei arah luar. Aku dan ibu tersenyum dengan hal itu.
“Pasti digodain Pram lagi.” celetuk ibu.
“Iya bu, Nova gak ada capeknya kalo sudah main sama Pram.”
“Pram kan lagi libur, coba sesekali Nova dibawa pulang, biar bisa dekat sama kamu, bisa main sama Pram.”
Sebuah usulan yang tak terpikirkan olehku. Tentu saja aku sangat senang dengan ide tersebut.
“Takut ngerepotin Pram bu, Rindi kan harus kerja.”
“Oh iya, ibu lupa.”
“Pram pasti senang dan mau ngurusin Nova, cuman saya gak enak sama dia bu, nanti malah ngerepotin Pram.”
“Pram lagi persiapan mau skripsi bu, jadi hampir tiap hari dia sibuk cari bahan untuk skripsinya.”
Ibu mengangguk, memahami apa yang kukatakan. Aku pun merasa tak enak hati jika harus menitupkan Nova padanya selama aku bekerja. Namun ide untuk membawa Nova pulang sebenarnya sangat baik dan membuatku senang, karena bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama putriku.
Tak berapa lama berselang, Pram menyusul ke dapur, bersama Nova.
“Bu, sepertinya Nova haus.” gumannya.
Ibuku segera mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Pram. Dengan perlahan, ia memberi minum putriku, dan benar saja, Nova segera menghabiskan air minum tersebut.
“Pram mau, kalo kita bawa pulang Nova?” tanyaku.
“Mau bu. Malah kalo bisa selama saya libur ini, saya yang jagain Nova dirumah, biar ibu kerja.” jawabnya antusias.
“Kamu yakin?? Gak ngerepotin kamu? kamu kan lagi siapin bahan buat skripsi.”
“cuman siapin aja kok bu, belum dikerjain. Kalo cuman baca-baca buku aja kan bisa sambil momong Nova.”
“Lagian ibu kan pulangnya selalu lebih awal, jadi bisa momong Nova juga.”
Ibuku tersenyum setelah mendengar jawaban Pram.
“Ya sudah, Nova dibawa pulang aja nak. Sekalian nak Pram belajar momong anak, suatu saat nanti kan bakal jadi seorang ayah juga.” cetus ibuku.
“Iya bu, sekalian belajar. Lagian biar Nova juga bisa punya lebih banyak waktu sama bu Rindi.”
“Nanti ibu siapkan pakaian Nova.” Kata ibu penuh semangat.
Pram kembali meninggalkan kami, membawa serta Nova menuju ke ruang tengah. Entah apa yang mereka lakukan, namun suara tawa Nova kembali pecah, silih berganti dengan suara Pram.
Sebagai seorang ibu, tentu saja aku bisa merasakan kebahagiaan jika melihat putriku selalu tertawa ceria seperti itu. Fakta bahwa Pram adalah sosok yang benar-benar menyayangi putriku pun selalu meyakinkanku bahwa jika kelak ia menjadi suamiku, maka Nova akan menjadi putri kecilnya yang selalu tertawa dan ceria.
Sedangkan aku, tentu saja akan menjadi wanita paling beruntung dimuka bumi ini karena menjadi bagian dari hatinya.
Namun, bayangan indah itu acap kali terbentur dengan realita hidupku, siapa aku. Penolakan yang mungkin akan datang dari keluarga Pram pun pasti akan menjadi pengalang yang sukar untuk disingkirkan. Sebagai orang tua, tentu saja mereka menginginkan agar Pram mendaparkan pendamping hidup yang baik, yang bisa mereka banggakan. Setidaknya sosok yang sepadan dengan Pram. Aku memakluminya, dan bisa menerima hal itu.
Mungkin ada banyak jalan berliku menanti di depan sana, jika Aku dan Pram sungguh-sungguh berniat serius dalam menjalani hubungan kami.
Selepas makan siang, Ibuku mempersiapkan segala kebutuhan Nova yang akan kami bawa untuk pulang ke rumahku. Pram nampak begitu bersemangat karena akan mendapatkan lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama Nova.
Bapak tidak keberatan dengan hal ini, bahkan ikut mendukung ide tersebut demi Nova. Mereka pasti akan merasa kesepian karena selama beberapa waktu belakangan, Nova telah menjadi bagian dari keseharian mereka.
“Hari rabu, kami akan kembali kesini pak, bu.” kataku saat hendak bersiap untuk pulang.
“Iya, jangan lupa, sebelum kamu berangkat kerja, siapkan semua keperluan Nova, biar nak Pram gak kerepotan.” pesan ibu.
“Iya bu.” jawabku singkat.
“Nak Pram, kami titip Nova dan Rindi.” kata bapak kemudian.
Pram mengangguk lalu menyalami tangan kedua orang tuaku.
Sebelum berangkat, mereka kembali mengecup sang cucu, sebagai tanda perpisahan. Nova tampak senang karena selama beberapa jam belakangan, selalu berada dalam dekapan Pram, sehingga ketika kami meninggalkan rumah kedua orangtuaku, ia sama sekali tak memperdulikannya.
Aku berada dibelakang stir mobil, sambil sesekali melirik ke arah putriku yang tengah sibuk bercanda bersama Pram.
“Nanti malam mau makan apa?” tanyaku. “Apa aja deh bu, yang penting makan sama-sama ibu, sama Nova.”
“Ya udah, nanti kita mampir dulu, beli bahan buat masak nanti malam.”
Hampir memasuki area kota, akhirnya Nova tertidur dalam dekapan Pram. Nampaknya ia kelelahan setelah beberapa jam bermain bersama Pram.
“Pram nunggu disini sama Nova ya, biar ibu yang belanja.” kataku, ketika kami sampai didepan sebuah warung yang menyediakan aneka sayuran.
Pram hanya mengangguk pelan. Hanya butuh waktu beberapa menit bagiku untuk meraih beragam sayuran dan bumbu-bumbu, lauk pauk untuk makan malam bersama Pram dan Nova.
Tepat ketika aku melangkah meninggalkan warung tersebut, ponselku berdering. Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi meninggalkan Pram dan Nova, oleh karena itu, kuabaikan panggilan telfon itu, dan membiarkannya begitu saja.
Sesampainya dirumah, Nova masih terlelap, ia tidur dengan pulas ketika Pram membaringkannya dikamar tidurku.
“Ibu istirahat dulu, saya ganti pakaian trus bersihkan halaman belakang.”
“Istirahat dulu sebentar sayang, kita kan baru sampai.” kataku, ketika menyusulnya ke dapur.
“Atau, besok kita sewa orang aja buat bersihkan.” Pram menggelengkan kepala.
“Gak perlu sewa orang. Nanti saya yang bereskan bu.”
“Ya sudah, tapi jangan dipakasakan badannya. Kalo capek, istirahat aja ya, besok aja dikerjainnya.”
“Udah, sekarang ibu istirahat dikamar sama Nova, jagain dia tidur.”
“Ibu pengen dicium dulu.” kataku manja, sambil naik keatas pangkuan dan melingkarkan tangan dilehernya.
“Ada Nova bu..” bisiknya.
Tanpa membuang waktu, aku langsung melumat bibirnya dengan lembut. Kedua tangannya melingkar di pinggangku. Hampir satu menit berlalu sampai akhirnya ciuman itu berakhir.
“Terima kasih..” bisikku lembut.
Pram meletakkan kedua tangan dipipiku, memandangku dengan mesra.
“Iya bu, sama-sama.”
Seperti janjinya, sisa sore itu ia gunakan untuk merapikan halaman belakang rumahku. Dahan ponon-pohon yang rimbun ia pangkas, begitu juga dengan rumput liar yang tumbuh subur disana.
Hampir satu jam lamanya Nova tertidur pulas, dan ketika terbangun, aku membawanya ke halaman belakang rumah, melihat Pram yang sedang sibuk bekerja.
Sekujur tubuhnya bermandikan keringat, namun wajahnya tak menunjukan rasa lelah maupun bosan. Ia tetap bersemangat dalam bekerja. Dan ketika melihat Nova dalam gendonganku, ia berhenti sejenak dan menghampiri kami.
“Sayangku udah bangun.” gumannya sambil menggoda Nova.
Aku tersenyum dan dalam hati merasa bahagia karena sikapnya yang begitu lembut dan penuh kasih terhadapku dan Nova, putriku. Ia bersikap layaknya suami, sekaligus ayah bagi putriku.
“Sayang mandi dulu, udah hampir jam enam lhoo..” kataku.
“Nanti bu, tinggal dikit aja kok.”
Ia lantas meninggalkan kami dan melanjutkan pekerjaannya, sementara aku dan Nova menemaninya, memperhatikannya dari pintu dapur.
Mimpiku tentang membina kehidupan rumah tangga bersama Pram nyaris terwujud dalam kehidupanku, seperti yang saat ini terjadi.
Tak sedikit pun ada keraguan dalam diriku tentang sosok Pram. Sikap yang ia tunjukkan selama ini telah membuktikannya, dan memperkuat keyakinan bahwa Pram adalah pribadi yang bertanggung jawab.
Dengan kehadiran Nova diantara kami, selain bisa mengembalikan kedekatan dengan putriku, aku bisa melihat secara langsung bagaimana Pram akan bersikap terhadapnya. Ia pun bisa belajar bagaimana menangani anak, bagaimana cara mendidik dan memperlakukannya. Ini adalah pengalaman baru baginya, dan aku yakin Pram mampu menjalankannya dengan baik.
Jam setengah tujuh malam malam Pram telah selesai mandi dan kembali bersama kami di ruang tengah rumahku.
“Ibu mandi dulu ya, habis itu masak. Kamu bisa jagain Nova?”
Pram segera mengambil alih Nova dari pangkuanku dan mengajaknya bermain diatas ranjang. Sebuah awal yang baik, layaknya pasangan suami istri yang sedang berbagi tugas rumah tangga.
Kehadiran anak sudah barang tentu menjadi pelengkap kebahagiaan bahtera sebuah keluarga, namun aku menemukan masih banyak pasangan suami istri yang enggan berbagi tugas rumah, terutama jika menyangkut urusan pekerjaan wanita.
Dimataku, stigma bahwa urusan pekerjaan rumah adalah tanggung jawab seorang istri adalah sebuah pandangan kolot yang salah, karena sudah selayaknya beban pekerjaan itu menjadi tanggung jawab bersama.
Berkaca dari pengalaman keluargaku, dimana bapak tak segan untuk membantu ibuku dalam pekerjaannya, seperti mencuci pakaian, mencuci peralatan dapur, maupun memasak. Hal-hal kecil seperti itu menjadi moment bagi mereka untuk saling menguatkan ikatan cinta mereka. Terkadang, sambil membantu ibu mencuci, mereka saling berbagi cerita tentang keseharian, atau sekedar berbincang ringan tentan apa saja. Suatu contoh yang selalu terkenang dalam pikiranku hingga kini.
“Kita kedapur yuk, temenin mama masak.” guman Pram pada Nova yang tengah duduk bersamanya diatas ranjang.
Mendengar ucapannya, aku tersenyum, kagum pada sikap kedewasaan yang ia tunjukan. Pram bersikap layaknya suami dalam sebuah keluarga kecil.
Pram segera menggendong Nova dan mengikutiku menuju ke dapur. Sesekali Pram membawa serta Nova berdiri disampingku, melihatku merajang bumbu dan sayur yang akan kumasak. Putri kecilku pun ikut memperhatikan apa yang kukerjakan.
Aku benar-benar bahagia karena didampingi oleh dua orang yang sangat berarti dalam hidupku.
Sejenak, kukecup pipi putriku dengan lembut. Pram tersenyum dan mengusap kepala putriku dengan penuh kasih sayang. Demikian juga dengan Pram, pipinya pun mendapat kecupan mesra dariku.
“Kita duduk yuk. Mama mau masak.” katanya pada Nova.
Hampir satu jam kemudian, makan malam untukku dan Pram telah siap, begitu juga dengan bubur untuk Nova, Putriku.
Sambil menyantap makanannya, Pram pun harus menyuapi Nova, karena putri kecilku itu tak ingin terpisah dari Pram.
“Kamu udah cocok jadi seorang ayah.” kataku, lalu tersenyum.
“Kayaknya sih mudah aja, gampang banget bu, apalagi kalo punya anak kayak Nova. Gak rewel.”
“Iya dong, ibunya juga gak rewel kan?”
Pram tertawa geli, sambil terus menyuapi Nova. Pram sangat sabar dan telaten, layaknya seorang yang telah berpengalaman dalam mengurus balita. Aku benar-benar kagum padanya.
Selesai makan, giliran Pram yang bertugas membereskan meja makan dan mencuci semua peralatan dapur, sementara aku membawa Nova ke ruang tengah untuk bersantai sambil menunggunya.
Sisa malam kami habiskan dengan bercanda bersama Nova. Sebuah hal baru yang hadir diantara kami, dimana Nova ikut mengisi waktu senggang bersama.
Sedikit banyak, Pram lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Nova dibandingkan aku, dan aku senang dengan hal itu. Seperti yang sudah-sudah, Nova pun terlihat begitu senang dan antusias menikmati waktu bersama Pram. Jalinan rasa diantara mereka telah terbentuk, dan aku yakin Pram pun telah menempatkan Nova dalam hatinya.
Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh malam ketika Nova mulai mengantuk sehingga aku harus segera membawanya ke kamar tidurku.
“Saatnya bobok..” kataku sambil meraih tubuhnya dari pangkuan Pram.
“Tunggu sebentar ya sayang..” kataku lagi pada Pram.
Pram mengangguk dan tetap berada di ruang tengah menonton acara di tv.
Hampir tigapuluh menit kemudian, Nova putri kecilku terlelap dengan nyaman diatas ranjang. Kukecup pipi dan keningnya sebelum beranjak pergi, membiarkannya beristirahat.
‘Saatnya bersantai’ gumanku dalam hati sambil mengganti pakaian agar lebih nyaman sebelum beristirahat.
Pram tersenyum saat melihatku membuka pintu kamar tidur dan melangkah ke arahnya. Dua gelas teh hangat telah tersaji diatas meja, didepannya.
Aku hendak duduk disampingnya, namun Pram dengan segera menuntun tubuhku untuk berbaring, dengan kepala berada diatas pangkuannya. “Saatnya ibu bersantai..”
“Seharusnya kamu yang bersantai, istirahat. Tadi kan udah nyetir, bersihkan halaman belakang. Kok malah ibu yang disuruh istirahat.”
Pram segera membelai rambutku, kemudian menunduk dan mengecup keningku dengan mesra.
“Saya gak capek kok bu. Justru ibu yang harus banyakin istirahat, soalnya besok harus kerja.”
Hanya beberapa saat aku berbaring dipangkuannya, lalu bangkit dan duduk diatas pahanya. Kedua tanganku memegang lembut pipinya.
“Ibu bahagia, karena kamu sangat peduli terhadap Nova dan ibu.” gumanku.
“Karena Nova.. ibu… adalah orang-orang yang penting bagi saya. Kalian sangat berarti buat saya.”
“Nova, putri kecil ibu layak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kita. Selama ini ibu banyak kehilangan waktu kebersamaan dengannya.”
“Nah, mumpung dia bisa ikut kita pulang, kita harus berusaha untuk menebus semuanya, supaya Nova bisa puas dan bahagia.”
Apa yang Pram katakan adalah benar. Aku telah kehilangan moment yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama putriku. Aku melewatkannya karena keadaan yang memaksaku untuk terpisah dengan buah hatiku.
Aku yakin, tidak ada seorang ibu yang ingin terpisah dari putri kecilnya, melewatkannya begitu saja. Aku terpaksa, dan sejujurnya, akupun sedih karena kebersamaan itu hilang, berlalu begitu saja. Jika saja keluargaku masih utuh, Nova pasti akan selalu bersamaku setiap saat.
“Kadang ibu sedih karena gak bisa selalu sama-sama Nova.”
Dengan lembut, Pram membelai pipiku.
“Ibu melakukannya karena terpaksa.” sambungku.
Pram segera meletakkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku.
“Sudah. Jangan disesali. Jangan bersedih. Saya yakin, Nova pasti mengerti situasi ini jika kelak ia sudah dewasa.” kata Pram.
Kurebahkan tubuhku dipelukan Pram, sekedar menenangkan diri dan pikiranku. Nova adalah tanggung jawab terbesarku, karena dia adalah hidupku, buah hatiku.
Dengan lembut Pram mengusap punggungku, membiarkanku bermanja dalam dekapannya.
“Tehnya diminum dulu..” bisiknya.
Ia meraih gelas berisi teh, lalu menyerahkannya padaku. Setelah menyeruput sedikit bagian, Pram pun meraih gelas itu dan ikut meminumnya.
“Romantis.. segelas berdua.” gumannya.
“Iya, kayak orang pacaran aja.”
Pram kembali meletakkan gelas itu diatas meja lalu kembali melingkarkan tangan dipinggangku. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, lalu menciumku.
Ia melumat dengan lembut, penuh perasaan sehingga membuatku sangat menikmatinya.
Lambat laun, ciuman itu memantik birahiku, membangkitkan gairahku dengan perlahan.
Hampir dua menit aku menikmati bibirnya, lalu mulai mengalihkan kecupanku ke sekitar leher.
Nafasnya terdengar menderu, pertanda bahwa Pram pun mulai dilanda nafsu birahi.
Segera kutuntun satu tangannya menuju ke pangkal pahaku yang terbuka karena posisiku yang sedang duduk diatas kedua pahanya.
Pram mengerti, paham akan keinginanku dan langsung menggerayangi kemaluanku. Aku sengaja tak mengenakan pakaian dalam, karena telah terbiasa, apalagi jika melewati waktu bersama Pram dirumah.
Oleh karena itu, Lelakiku dengan mudah mempermainkan vaginaku, mengusapnya, bahkan mencoba menusuk liang kenikmatanku dengan jarinya.
Aku segera meloloskan baju kaos yang ia kenakan melalui kepalanya karena ingin menikmati tubuhnya, dan Pram pun menuruti keinginanku. Selanjutnya, tak sampai satu menit kemudian, tubuh kami pun terbebas dari pakaian yang menutupinya.
“Pengen ini…” gumanku pelan sambil menggengam penisnya saat ia berdiri dihadapanku setelah membuka celananya.
Sejenak, Pram membelai rambutku, membiarkanku mengocok pelan penisnya yang telah mengeras dengan sempurna.
Aku bergeser, sedikit maju ke arahnya agar dapat melihat setiap lekuk penis yang selalu memuaskan birahiku tersebut. Aku belum pernah sekalipun merasa seperti ini, dimana aku tergila-gila pada kemaluan pasanganku. Namun bersama Pram, aku berubah menjadi pecandu seks, menjadi wanita yang selalu ingin merasakan kenikmatannya.
Memandangi penis itu dari dekat membuat gairahku semakin menggebu. Bukan hanya dengan satu tangan, tetapi kedua tanganku menggengamnya dengan erat, hingga hanya menyisakan bagian ujungnya yang berbentuk seperti jamur.
Urat yang mengelilingi, menjalar disekujur batangnya membuatnya tampak perkasa dan menggodaku untuk segera merasakannya memasuki tubuhku.
Pram menundukkan wajah dan memegang daguku dengan lembut lalu kembali melumat bibirku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ciumannya terasa lebih panas dan sedikit kasar. Pram telah bergairah!
♡♡♡bersambung♡♡♡
part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
terima kasih
Hampir jam sepuluh pagi, akhirnya bapak kembali kerumah. Segelas teh panas kuhidangkan untuknya. Pram masih larut dalam dunia khayalan bersama Nova. Canda tawa Nova akibat godaan Pram hampir selalu terdengar sepanjang waktu. Mereka terlihat begitu menikmati kebersamaannya, hanyut dalam dunia mereka sendiri. Kehadiran bapak pun tak dihiraukan oleh Nova, begitu juga dengan kehadiranku disampingnya.
Langit teduh membuat suasana diluar sejuk, sehingga bapak dan Pram memilih untuk bersantai dikursi, dibawah pohon yang tumbuh rindang.
“Dedek mandi dulu yuk.” kataku, sambil mencoba meraih tubuhnya dari gendongan Pram. Seperti biasa, Nova menolaknya. Ia memeluk leher Pram dengan sangat kuat, tak ingin melepaskannya.
Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku berhasil merebutnya, walaupun tangisan mulai terdengar dari bibir mungilnya. Segera kubawa Nova kedalam rumah dan memandikannya, sementara bapak dan Pram berbincang-bincang.
“Kok nangis sih dek?” tanya ibuku saat melintas di dapur.
“Gak mau lepas dari Pram bu, mau dimandiin dulu.” jawabku singkat.
Ibuku tertawa, lalu mengikutiku ke kamar mandi.
“Aneh lho, Nova kok seperti lengket banget sama Pram. Padahal belum lama kenal sama Pram.”
Aku hanya bisa tersenyum, karena aku sendiri pun tak mengerti penyebabnya.
“Ibu tahu, Rindi suka Pram.” guman ibuku lagi sambil menungguiku memandikan Nova.
Tentu saja aku terkejut dengan ucapan ibuku karena mengerahui perasaanku terhadap Pram.
“Ibu ngomong apa sih?” tanyaku berpura-pura.
“Ibu juga wanita, dan kamu putri ibu. Ibu tahu dan mengerti isi hatimu. Ibu bisa melihatnya dari caramu memandang Pram. Ibu mengerti.” sambungnya.
Entah bagaimana aku harus merespon ucapan ibuku, namun apa yang ia ucapkan sesuai dengan apa yang telah kujalani selama beberapa waktu belakangan.
“Saya sadar bu, saya bukan wanita yang cocok untuk Pram.” gumanku pelan sambil mengusap tubuh Nova dengan sabun khusus untuk balita.
“Ibu mengerti, ibu paham dengan pikiran kamu. Ibu hanya berpesan supaya kamu jangan merasa rendah diri, merasa minder, malu terhadap dirimu sendiri.”
“Kalaupun akhirnya kamu resmi bercerai dan menjadi janda, terimalah dengan lapang dada.” sambung ibu.
“Tentang urusan hatimu, ibu tidak akan ikut campur, karena kamu sudah dewasa. Ibu yakin, Rindi pasti menyimpan perasaan terhadap Pram. Hal itu bukanlah sesuatu yang salah. Ibu pun yakin, Pram adalah seorang yang baik.”
Sebagai ibuku, beliau benar-benar mengenal dan mengetahui sangat baik tentangku. Apa yang dikatakannya sungguh benar adanya bahwa aku menyukai Pram, aku mencintainya.
Disisi lain, banyak fakta yang membuatku sedikit ragu tentang perasaanku padanya, walaupun aku sangat yakin, Pram pun memiliki perasaan yang sama padaku.
“Ibu benar, cepat atau lambat saya akan bercerai, karena saya sudah menutup hati saya untuknya. Saya siap untuk hal itu, bu. Saya hanya memikirkan nasib Nova, biar bagaimanapun, Nova tetap membutuhkan sosok ayah.” gumanku lirih.
Ibuku menyambut Nova dalam dekapannya setelah selesai kumandikan, lalu membawanya ke kamar tidur untuk dikenakan pakaian.
“Tentang Pram. Dia memang orang baik bu, dia telah banyak membantu saya. Ibu benar, saya menyukainya, saya memiliki perasaan itu. Tapi saya harus realistis juga bu. Usianya masih muda, sementara saya mungkin akan menjadi janda, dan memiliki Nova.”
Ibuku tersenyum sambil mengenakan pakaian pada tubuh Nova.
“Sudah, jangan dipikirkan. Perasaan itu gak bisa disalahkan karena memang muncul dari hati. Yang penting kendalikan dirimu dan jangan berharap lebih. Jalani saja.”
“Jujur saja. Ibu senang Rindi bisa bangkit dan mulai menerima kenyataan, walaupun kenyataan ini pahit. Ibu pun sedih jika memikirkan masa depan Nova dan masa depanmu. Tapi ibu yakin, sangat yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini dengan lapang dada.”
“Tentang Pram, ibu yakin kamu sudah cukup dewasa dan matang untuk mengambil keputusan. Ibu serahkan semua ke kamu. Yang penting, dipikirkan baik-baik, dipertimbangkan dengan matang.”
“Iya bu.” jawabku singkat. Saat kembali ke halaman, Nova disambut oleh Pram, dan tentu saja mereka segera kembali larut dalam dunianya sendiri. Jemarinya yang mungil sibuk menjamah wajah pram sambil tertawa keras karena Pram menggodanya, menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Kulanjutkan menyapu halaman rumah, sementara bapak memasuki rumah untuk membersihkan tubuh. Ibuku memilih untuk ke dapur, mempersiapkan makan siang untuk kami.
Sedikit banyak, apa yang ia katakan memberi sinyal dukungan padaku untuk maju dan melanjutkan hidup sesuai dengan keputusanku, yaitu bercerai. Mungkin beliau pun telah ikut terluka akibat pengkhiabatan suamiku terhadapku.
Sebagai seorang wanita dewasa, aku pun yakin bahwa keputusanku untuk bercerai adalah sebuah keputusan yang benar dan baik untuk jelanjutan hidupku, walaupun dibalik itu, ada beban yang harus kupikul, yaitu Nova, putri kecilku.
Aku kembali duduk disamping Pram yang sedang bercanda dan bermain bersama Nova. Mereka bampak bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama. Aku pun senang, dan ikut merasakan hal itu setelah melihat keharmonisan mereka. Bayangan tentang menjalani kehidupan rumah tangga bersama Pram membuaiku, membuatku tersenyum sendiri.
“Dedek gak capek?” tanyaku, ditengah keasyikan mereka.
“Kayaknya gak bakal capek bu.” jawab Pram.
Kuusap kepala putri kecilku dengan lembut, lalu mengecupnya.
“Nanti kita pulang jam berapa?” tanyaku.
“Kalo ibu mau, kita pulang jam dua atau jam tiga, biar ada waktu untuk membersihkan garasi dan halaman belakang.”
“Atau, kita tetap pulang sore seperti biasa, biar saya yang kerjakan semuanya, besok. Saya kan masih libur bu.”
“Gini aja, kita pulang jam tiga. Kita kerjakan sama-sama hari ini. Kalo belum selesai, besok kita lanjutkan lagi. Gimana?”
“Boleh bu.”
Ketika bapak kembali bergabung bersama kami, aku meninggalkan mereka untuk membantu ibuku memasak, sekedar meringankan pekerjaan rumah tangga yang selama ini ia jalankan. Sambil membantunya memasak,
sesekali kudengan teriakan dan canda tawa Nova daei arah luar. Aku dan ibu tersenyum dengan hal itu.
“Pasti digodain Pram lagi.” celetuk ibu.
“Iya bu, Nova gak ada capeknya kalo sudah main sama Pram.”
“Pram kan lagi libur, coba sesekali Nova dibawa pulang, biar bisa dekat sama kamu, bisa main sama Pram.”
Sebuah usulan yang tak terpikirkan olehku. Tentu saja aku sangat senang dengan ide tersebut.
“Takut ngerepotin Pram bu, Rindi kan harus kerja.”
“Oh iya, ibu lupa.”
“Pram pasti senang dan mau ngurusin Nova, cuman saya gak enak sama dia bu, nanti malah ngerepotin Pram.”
“Pram lagi persiapan mau skripsi bu, jadi hampir tiap hari dia sibuk cari bahan untuk skripsinya.”
Ibu mengangguk, memahami apa yang kukatakan. Aku pun merasa tak enak hati jika harus menitupkan Nova padanya selama aku bekerja. Namun ide untuk membawa Nova pulang sebenarnya sangat baik dan membuatku senang, karena bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama putriku.
Tak berapa lama berselang, Pram menyusul ke dapur, bersama Nova.
“Bu, sepertinya Nova haus.” gumannya.
Ibuku segera mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Pram. Dengan perlahan, ia memberi minum putriku, dan benar saja, Nova segera menghabiskan air minum tersebut.
“Pram mau, kalo kita bawa pulang Nova?” tanyaku.
“Mau bu. Malah kalo bisa selama saya libur ini, saya yang jagain Nova dirumah, biar ibu kerja.” jawabnya antusias.
“Kamu yakin?? Gak ngerepotin kamu? kamu kan lagi siapin bahan buat skripsi.”
“cuman siapin aja kok bu, belum dikerjain. Kalo cuman baca-baca buku aja kan bisa sambil momong Nova.”
“Lagian ibu kan pulangnya selalu lebih awal, jadi bisa momong Nova juga.”
Ibuku tersenyum setelah mendengar jawaban Pram.
“Ya sudah, Nova dibawa pulang aja nak. Sekalian nak Pram belajar momong anak, suatu saat nanti kan bakal jadi seorang ayah juga.” cetus ibuku.
“Iya bu, sekalian belajar. Lagian biar Nova juga bisa punya lebih banyak waktu sama bu Rindi.”
“Nanti ibu siapkan pakaian Nova.” Kata ibu penuh semangat.
Pram kembali meninggalkan kami, membawa serta Nova menuju ke ruang tengah. Entah apa yang mereka lakukan, namun suara tawa Nova kembali pecah, silih berganti dengan suara Pram.
Sebagai seorang ibu, tentu saja aku bisa merasakan kebahagiaan jika melihat putriku selalu tertawa ceria seperti itu. Fakta bahwa Pram adalah sosok yang benar-benar menyayangi putriku pun selalu meyakinkanku bahwa jika kelak ia menjadi suamiku, maka Nova akan menjadi putri kecilnya yang selalu tertawa dan ceria.
Sedangkan aku, tentu saja akan menjadi wanita paling beruntung dimuka bumi ini karena menjadi bagian dari hatinya.
Namun, bayangan indah itu acap kali terbentur dengan realita hidupku, siapa aku. Penolakan yang mungkin akan datang dari keluarga Pram pun pasti akan menjadi pengalang yang sukar untuk disingkirkan. Sebagai orang tua, tentu saja mereka menginginkan agar Pram mendaparkan pendamping hidup yang baik, yang bisa mereka banggakan. Setidaknya sosok yang sepadan dengan Pram. Aku memakluminya, dan bisa menerima hal itu.
Mungkin ada banyak jalan berliku menanti di depan sana, jika Aku dan Pram sungguh-sungguh berniat serius dalam menjalani hubungan kami.
Selepas makan siang, Ibuku mempersiapkan segala kebutuhan Nova yang akan kami bawa untuk pulang ke rumahku. Pram nampak begitu bersemangat karena akan mendapatkan lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama Nova.
Bapak tidak keberatan dengan hal ini, bahkan ikut mendukung ide tersebut demi Nova. Mereka pasti akan merasa kesepian karena selama beberapa waktu belakangan, Nova telah menjadi bagian dari keseharian mereka.
“Hari rabu, kami akan kembali kesini pak, bu.” kataku saat hendak bersiap untuk pulang.
“Iya, jangan lupa, sebelum kamu berangkat kerja, siapkan semua keperluan Nova, biar nak Pram gak kerepotan.” pesan ibu.
“Iya bu.” jawabku singkat.
“Nak Pram, kami titip Nova dan Rindi.” kata bapak kemudian.
Pram mengangguk lalu menyalami tangan kedua orang tuaku.
Sebelum berangkat, mereka kembali mengecup sang cucu, sebagai tanda perpisahan. Nova tampak senang karena selama beberapa jam belakangan, selalu berada dalam dekapan Pram, sehingga ketika kami meninggalkan rumah kedua orangtuaku, ia sama sekali tak memperdulikannya.
Aku berada dibelakang stir mobil, sambil sesekali melirik ke arah putriku yang tengah sibuk bercanda bersama Pram.
“Nanti malam mau makan apa?” tanyaku. “Apa aja deh bu, yang penting makan sama-sama ibu, sama Nova.”
“Ya udah, nanti kita mampir dulu, beli bahan buat masak nanti malam.”
Hampir memasuki area kota, akhirnya Nova tertidur dalam dekapan Pram. Nampaknya ia kelelahan setelah beberapa jam bermain bersama Pram.
“Pram nunggu disini sama Nova ya, biar ibu yang belanja.” kataku, ketika kami sampai didepan sebuah warung yang menyediakan aneka sayuran.
Pram hanya mengangguk pelan. Hanya butuh waktu beberapa menit bagiku untuk meraih beragam sayuran dan bumbu-bumbu, lauk pauk untuk makan malam bersama Pram dan Nova.
Tepat ketika aku melangkah meninggalkan warung tersebut, ponselku berdering. Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi meninggalkan Pram dan Nova, oleh karena itu, kuabaikan panggilan telfon itu, dan membiarkannya begitu saja.
Sesampainya dirumah, Nova masih terlelap, ia tidur dengan pulas ketika Pram membaringkannya dikamar tidurku.
“Ibu istirahat dulu, saya ganti pakaian trus bersihkan halaman belakang.”
“Istirahat dulu sebentar sayang, kita kan baru sampai.” kataku, ketika menyusulnya ke dapur.
“Atau, besok kita sewa orang aja buat bersihkan.” Pram menggelengkan kepala.
“Gak perlu sewa orang. Nanti saya yang bereskan bu.”
“Ya sudah, tapi jangan dipakasakan badannya. Kalo capek, istirahat aja ya, besok aja dikerjainnya.”
“Udah, sekarang ibu istirahat dikamar sama Nova, jagain dia tidur.”
“Ibu pengen dicium dulu.” kataku manja, sambil naik keatas pangkuan dan melingkarkan tangan dilehernya.
“Ada Nova bu..” bisiknya.
Tanpa membuang waktu, aku langsung melumat bibirnya dengan lembut. Kedua tangannya melingkar di pinggangku. Hampir satu menit berlalu sampai akhirnya ciuman itu berakhir.
“Terima kasih..” bisikku lembut.
Pram meletakkan kedua tangan dipipiku, memandangku dengan mesra.
“Iya bu, sama-sama.”
Seperti janjinya, sisa sore itu ia gunakan untuk merapikan halaman belakang rumahku. Dahan ponon-pohon yang rimbun ia pangkas, begitu juga dengan rumput liar yang tumbuh subur disana.
Hampir satu jam lamanya Nova tertidur pulas, dan ketika terbangun, aku membawanya ke halaman belakang rumah, melihat Pram yang sedang sibuk bekerja.
Sekujur tubuhnya bermandikan keringat, namun wajahnya tak menunjukan rasa lelah maupun bosan. Ia tetap bersemangat dalam bekerja. Dan ketika melihat Nova dalam gendonganku, ia berhenti sejenak dan menghampiri kami.
“Sayangku udah bangun.” gumannya sambil menggoda Nova.
Aku tersenyum dan dalam hati merasa bahagia karena sikapnya yang begitu lembut dan penuh kasih terhadapku dan Nova, putriku. Ia bersikap layaknya suami, sekaligus ayah bagi putriku.
“Sayang mandi dulu, udah hampir jam enam lhoo..” kataku.
“Nanti bu, tinggal dikit aja kok.”
Ia lantas meninggalkan kami dan melanjutkan pekerjaannya, sementara aku dan Nova menemaninya, memperhatikannya dari pintu dapur.
Mimpiku tentang membina kehidupan rumah tangga bersama Pram nyaris terwujud dalam kehidupanku, seperti yang saat ini terjadi.
Tak sedikit pun ada keraguan dalam diriku tentang sosok Pram. Sikap yang ia tunjukkan selama ini telah membuktikannya, dan memperkuat keyakinan bahwa Pram adalah pribadi yang bertanggung jawab.
Dengan kehadiran Nova diantara kami, selain bisa mengembalikan kedekatan dengan putriku, aku bisa melihat secara langsung bagaimana Pram akan bersikap terhadapnya. Ia pun bisa belajar bagaimana menangani anak, bagaimana cara mendidik dan memperlakukannya. Ini adalah pengalaman baru baginya, dan aku yakin Pram mampu menjalankannya dengan baik.
Jam setengah tujuh malam malam Pram telah selesai mandi dan kembali bersama kami di ruang tengah rumahku.
“Ibu mandi dulu ya, habis itu masak. Kamu bisa jagain Nova?”
Pram segera mengambil alih Nova dari pangkuanku dan mengajaknya bermain diatas ranjang. Sebuah awal yang baik, layaknya pasangan suami istri yang sedang berbagi tugas rumah tangga.
Kehadiran anak sudah barang tentu menjadi pelengkap kebahagiaan bahtera sebuah keluarga, namun aku menemukan masih banyak pasangan suami istri yang enggan berbagi tugas rumah, terutama jika menyangkut urusan pekerjaan wanita.
Dimataku, stigma bahwa urusan pekerjaan rumah adalah tanggung jawab seorang istri adalah sebuah pandangan kolot yang salah, karena sudah selayaknya beban pekerjaan itu menjadi tanggung jawab bersama.
Berkaca dari pengalaman keluargaku, dimana bapak tak segan untuk membantu ibuku dalam pekerjaannya, seperti mencuci pakaian, mencuci peralatan dapur, maupun memasak. Hal-hal kecil seperti itu menjadi moment bagi mereka untuk saling menguatkan ikatan cinta mereka. Terkadang, sambil membantu ibu mencuci, mereka saling berbagi cerita tentang keseharian, atau sekedar berbincang ringan tentan apa saja. Suatu contoh yang selalu terkenang dalam pikiranku hingga kini.
“Kita kedapur yuk, temenin mama masak.” guman Pram pada Nova yang tengah duduk bersamanya diatas ranjang.
Mendengar ucapannya, aku tersenyum, kagum pada sikap kedewasaan yang ia tunjukan. Pram bersikap layaknya suami dalam sebuah keluarga kecil.
Pram segera menggendong Nova dan mengikutiku menuju ke dapur. Sesekali Pram membawa serta Nova berdiri disampingku, melihatku merajang bumbu dan sayur yang akan kumasak. Putri kecilku pun ikut memperhatikan apa yang kukerjakan.
Aku benar-benar bahagia karena didampingi oleh dua orang yang sangat berarti dalam hidupku.
Sejenak, kukecup pipi putriku dengan lembut. Pram tersenyum dan mengusap kepala putriku dengan penuh kasih sayang. Demikian juga dengan Pram, pipinya pun mendapat kecupan mesra dariku.
“Kita duduk yuk. Mama mau masak.” katanya pada Nova.
Hampir satu jam kemudian, makan malam untukku dan Pram telah siap, begitu juga dengan bubur untuk Nova, Putriku.
Sambil menyantap makanannya, Pram pun harus menyuapi Nova, karena putri kecilku itu tak ingin terpisah dari Pram.
“Kamu udah cocok jadi seorang ayah.” kataku, lalu tersenyum.
“Kayaknya sih mudah aja, gampang banget bu, apalagi kalo punya anak kayak Nova. Gak rewel.”
“Iya dong, ibunya juga gak rewel kan?”
Pram tertawa geli, sambil terus menyuapi Nova. Pram sangat sabar dan telaten, layaknya seorang yang telah berpengalaman dalam mengurus balita. Aku benar-benar kagum padanya.
Selesai makan, giliran Pram yang bertugas membereskan meja makan dan mencuci semua peralatan dapur, sementara aku membawa Nova ke ruang tengah untuk bersantai sambil menunggunya.
Sisa malam kami habiskan dengan bercanda bersama Nova. Sebuah hal baru yang hadir diantara kami, dimana Nova ikut mengisi waktu senggang bersama.
Sedikit banyak, Pram lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Nova dibandingkan aku, dan aku senang dengan hal itu. Seperti yang sudah-sudah, Nova pun terlihat begitu senang dan antusias menikmati waktu bersama Pram. Jalinan rasa diantara mereka telah terbentuk, dan aku yakin Pram pun telah menempatkan Nova dalam hatinya.
Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh malam ketika Nova mulai mengantuk sehingga aku harus segera membawanya ke kamar tidurku.
“Saatnya bobok..” kataku sambil meraih tubuhnya dari pangkuan Pram.
“Tunggu sebentar ya sayang..” kataku lagi pada Pram.
Pram mengangguk dan tetap berada di ruang tengah menonton acara di tv.
Hampir tigapuluh menit kemudian, Nova putri kecilku terlelap dengan nyaman diatas ranjang. Kukecup pipi dan keningnya sebelum beranjak pergi, membiarkannya beristirahat.
‘Saatnya bersantai’ gumanku dalam hati sambil mengganti pakaian agar lebih nyaman sebelum beristirahat.
Pram tersenyum saat melihatku membuka pintu kamar tidur dan melangkah ke arahnya. Dua gelas teh hangat telah tersaji diatas meja, didepannya.
Aku hendak duduk disampingnya, namun Pram dengan segera menuntun tubuhku untuk berbaring, dengan kepala berada diatas pangkuannya. “Saatnya ibu bersantai..”
“Seharusnya kamu yang bersantai, istirahat. Tadi kan udah nyetir, bersihkan halaman belakang. Kok malah ibu yang disuruh istirahat.”
Pram segera membelai rambutku, kemudian menunduk dan mengecup keningku dengan mesra.
“Saya gak capek kok bu. Justru ibu yang harus banyakin istirahat, soalnya besok harus kerja.”
Hanya beberapa saat aku berbaring dipangkuannya, lalu bangkit dan duduk diatas pahanya. Kedua tanganku memegang lembut pipinya.
“Ibu bahagia, karena kamu sangat peduli terhadap Nova dan ibu.” gumanku.
“Karena Nova.. ibu… adalah orang-orang yang penting bagi saya. Kalian sangat berarti buat saya.”
“Nova, putri kecil ibu layak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kita. Selama ini ibu banyak kehilangan waktu kebersamaan dengannya.”
“Nah, mumpung dia bisa ikut kita pulang, kita harus berusaha untuk menebus semuanya, supaya Nova bisa puas dan bahagia.”
Apa yang Pram katakan adalah benar. Aku telah kehilangan moment yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama putriku. Aku melewatkannya karena keadaan yang memaksaku untuk terpisah dengan buah hatiku.
Aku yakin, tidak ada seorang ibu yang ingin terpisah dari putri kecilnya, melewatkannya begitu saja. Aku terpaksa, dan sejujurnya, akupun sedih karena kebersamaan itu hilang, berlalu begitu saja. Jika saja keluargaku masih utuh, Nova pasti akan selalu bersamaku setiap saat.
“Kadang ibu sedih karena gak bisa selalu sama-sama Nova.”
Dengan lembut, Pram membelai pipiku.
“Ibu melakukannya karena terpaksa.” sambungku.
Pram segera meletakkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku.
“Sudah. Jangan disesali. Jangan bersedih. Saya yakin, Nova pasti mengerti situasi ini jika kelak ia sudah dewasa.” kata Pram.
Kurebahkan tubuhku dipelukan Pram, sekedar menenangkan diri dan pikiranku. Nova adalah tanggung jawab terbesarku, karena dia adalah hidupku, buah hatiku.
Dengan lembut Pram mengusap punggungku, membiarkanku bermanja dalam dekapannya.
“Tehnya diminum dulu..” bisiknya.
Ia meraih gelas berisi teh, lalu menyerahkannya padaku. Setelah menyeruput sedikit bagian, Pram pun meraih gelas itu dan ikut meminumnya.
“Romantis.. segelas berdua.” gumannya.
“Iya, kayak orang pacaran aja.”
Pram kembali meletakkan gelas itu diatas meja lalu kembali melingkarkan tangan dipinggangku. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, lalu menciumku.
Ia melumat dengan lembut, penuh perasaan sehingga membuatku sangat menikmatinya.
Lambat laun, ciuman itu memantik birahiku, membangkitkan gairahku dengan perlahan.
Hampir dua menit aku menikmati bibirnya, lalu mulai mengalihkan kecupanku ke sekitar leher.
Nafasnya terdengar menderu, pertanda bahwa Pram pun mulai dilanda nafsu birahi.
Segera kutuntun satu tangannya menuju ke pangkal pahaku yang terbuka karena posisiku yang sedang duduk diatas kedua pahanya.
Pram mengerti, paham akan keinginanku dan langsung menggerayangi kemaluanku. Aku sengaja tak mengenakan pakaian dalam, karena telah terbiasa, apalagi jika melewati waktu bersama Pram dirumah.
Oleh karena itu, Lelakiku dengan mudah mempermainkan vaginaku, mengusapnya, bahkan mencoba menusuk liang kenikmatanku dengan jarinya.
Aku segera meloloskan baju kaos yang ia kenakan melalui kepalanya karena ingin menikmati tubuhnya, dan Pram pun menuruti keinginanku. Selanjutnya, tak sampai satu menit kemudian, tubuh kami pun terbebas dari pakaian yang menutupinya.
“Pengen ini…” gumanku pelan sambil menggengam penisnya saat ia berdiri dihadapanku setelah membuka celananya.
Sejenak, Pram membelai rambutku, membiarkanku mengocok pelan penisnya yang telah mengeras dengan sempurna.
Aku bergeser, sedikit maju ke arahnya agar dapat melihat setiap lekuk penis yang selalu memuaskan birahiku tersebut. Aku belum pernah sekalipun merasa seperti ini, dimana aku tergila-gila pada kemaluan pasanganku. Namun bersama Pram, aku berubah menjadi pecandu seks, menjadi wanita yang selalu ingin merasakan kenikmatannya.
Memandangi penis itu dari dekat membuat gairahku semakin menggebu. Bukan hanya dengan satu tangan, tetapi kedua tanganku menggengamnya dengan erat, hingga hanya menyisakan bagian ujungnya yang berbentuk seperti jamur.
Urat yang mengelilingi, menjalar disekujur batangnya membuatnya tampak perkasa dan menggodaku untuk segera merasakannya memasuki tubuhku.
Pram menundukkan wajah dan memegang daguku dengan lembut lalu kembali melumat bibirku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ciumannya terasa lebih panas dan sedikit kasar. Pram telah bergairah!
♡♡♡bersambung♡♡♡
part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan
terima kasih