Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Part 3



Rindiani


Hampir jam sepuluh pagi, akhirnya bapak kembali kerumah. Segelas teh panas kuhidangkan untuknya. Pram masih larut dalam dunia khayalan bersama Nova. Canda tawa Nova akibat godaan Pram hampir selalu terdengar sepanjang waktu. Mereka terlihat begitu menikmati kebersamaannya, hanyut dalam dunia mereka sendiri. Kehadiran bapak pun tak dihiraukan oleh Nova, begitu juga dengan kehadiranku disampingnya.

Langit teduh membuat suasana diluar sejuk, sehingga bapak dan Pram memilih untuk bersantai dikursi, dibawah pohon yang tumbuh rindang.

“Dedek mandi dulu yuk.” kataku, sambil mencoba meraih tubuhnya dari gendongan Pram. Seperti biasa, Nova menolaknya. Ia memeluk leher Pram dengan sangat kuat, tak ingin melepaskannya.

Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku berhasil merebutnya, walaupun tangisan mulai terdengar dari bibir mungilnya. Segera kubawa Nova kedalam rumah dan memandikannya, sementara bapak dan Pram berbincang-bincang.

“Kok nangis sih dek?” tanya ibuku saat melintas di dapur.

“Gak mau lepas dari Pram bu, mau dimandiin dulu.” jawabku singkat.

Ibuku tertawa, lalu mengikutiku ke kamar mandi.

“Aneh lho, Nova kok seperti lengket banget sama Pram. Padahal belum lama kenal sama Pram.”

Aku hanya bisa tersenyum, karena aku sendiri pun tak mengerti penyebabnya.

“Ibu tahu, Rindi suka Pram.” guman ibuku lagi sambil menungguiku memandikan Nova.

Tentu saja aku terkejut dengan ucapan ibuku karena mengerahui perasaanku terhadap Pram.

“Ibu ngomong apa sih?” tanyaku berpura-pura.

“Ibu juga wanita, dan kamu putri ibu. Ibu tahu dan mengerti isi hatimu. Ibu bisa melihatnya dari caramu memandang Pram. Ibu mengerti.” sambungnya.

Entah bagaimana aku harus merespon ucapan ibuku, namun apa yang ia ucapkan sesuai dengan apa yang telah kujalani selama beberapa waktu belakangan.

“Saya sadar bu, saya bukan wanita yang cocok untuk Pram.” gumanku pelan sambil mengusap tubuh Nova dengan sabun khusus untuk balita.

“Ibu mengerti, ibu paham dengan pikiran kamu. Ibu hanya berpesan supaya kamu jangan merasa rendah diri, merasa minder, malu terhadap dirimu sendiri.”

“Kalaupun akhirnya kamu resmi bercerai dan menjadi janda, terimalah dengan lapang dada.” sambung ibu.

“Tentang urusan hatimu, ibu tidak akan ikut campur, karena kamu sudah dewasa. Ibu yakin, Rindi pasti menyimpan perasaan terhadap Pram. Hal itu bukanlah sesuatu yang salah. Ibu pun yakin, Pram adalah seorang yang baik.”

Sebagai ibuku, beliau benar-benar mengenal dan mengetahui sangat baik tentangku. Apa yang dikatakannya sungguh benar adanya bahwa aku menyukai Pram, aku mencintainya.

Disisi lain, banyak fakta yang membuatku sedikit ragu tentang perasaanku padanya, walaupun aku sangat yakin, Pram pun memiliki perasaan yang sama padaku.

“Ibu benar, cepat atau lambat saya akan bercerai, karena saya sudah menutup hati saya untuknya. Saya siap untuk hal itu, bu. Saya hanya memikirkan nasib Nova, biar bagaimanapun, Nova tetap membutuhkan sosok ayah.” gumanku lirih.

Ibuku menyambut Nova dalam dekapannya setelah selesai kumandikan, lalu membawanya ke kamar tidur untuk dikenakan pakaian.

“Tentang Pram. Dia memang orang baik bu, dia telah banyak membantu saya. Ibu benar, saya menyukainya, saya memiliki perasaan itu. Tapi saya harus realistis juga bu. Usianya masih muda, sementara saya mungkin akan menjadi janda, dan memiliki Nova.”

Ibuku tersenyum sambil mengenakan pakaian pada tubuh Nova.

“Sudah, jangan dipikirkan. Perasaan itu gak bisa disalahkan karena memang muncul dari hati. Yang penting kendalikan dirimu dan jangan berharap lebih. Jalani saja.”

“Jujur saja. Ibu senang Rindi bisa bangkit dan mulai menerima kenyataan, walaupun kenyataan ini pahit. Ibu pun sedih jika memikirkan masa depan Nova dan masa depanmu. Tapi ibu yakin, sangat yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini dengan lapang dada.”

“Tentang Pram, ibu yakin kamu sudah cukup dewasa dan matang untuk mengambil keputusan. Ibu serahkan semua ke kamu. Yang penting, dipikirkan baik-baik, dipertimbangkan dengan matang.”

“Iya bu.” jawabku singkat. Saat kembali ke halaman, Nova disambut oleh Pram, dan tentu saja mereka segera kembali larut dalam dunianya sendiri. Jemarinya yang mungil sibuk menjamah wajah pram sambil tertawa keras karena Pram menggodanya, menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.

Kulanjutkan menyapu halaman rumah, sementara bapak memasuki rumah untuk membersihkan tubuh. Ibuku memilih untuk ke dapur, mempersiapkan makan siang untuk kami.

Sedikit banyak, apa yang ia katakan memberi sinyal dukungan padaku untuk maju dan melanjutkan hidup sesuai dengan keputusanku, yaitu bercerai. Mungkin beliau pun telah ikut terluka akibat pengkhiabatan suamiku terhadapku.

Sebagai seorang wanita dewasa, aku pun yakin bahwa keputusanku untuk bercerai adalah sebuah keputusan yang benar dan baik untuk jelanjutan hidupku, walaupun dibalik itu, ada beban yang harus kupikul, yaitu Nova, putri kecilku.

Aku kembali duduk disamping Pram yang sedang bercanda dan bermain bersama Nova. Mereka bampak bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama. Aku pun senang, dan ikut merasakan hal itu setelah melihat keharmonisan mereka. Bayangan tentang menjalani kehidupan rumah tangga bersama Pram membuaiku, membuatku tersenyum sendiri.

“Dedek gak capek?” tanyaku, ditengah keasyikan mereka.

“Kayaknya gak bakal capek bu.” jawab Pram.

Kuusap kepala putri kecilku dengan lembut, lalu mengecupnya.

“Nanti kita pulang jam berapa?” tanyaku.

“Kalo ibu mau, kita pulang jam dua atau jam tiga, biar ada waktu untuk membersihkan garasi dan halaman belakang.”

“Atau, kita tetap pulang sore seperti biasa, biar saya yang kerjakan semuanya, besok. Saya kan masih libur bu.”

“Gini aja, kita pulang jam tiga. Kita kerjakan sama-sama hari ini. Kalo belum selesai, besok kita lanjutkan lagi. Gimana?”

“Boleh bu.”

Ketika bapak kembali bergabung bersama kami, aku meninggalkan mereka untuk membantu ibuku memasak, sekedar meringankan pekerjaan rumah tangga yang selama ini ia jalankan. Sambil membantunya memasak,

sesekali kudengan teriakan dan canda tawa Nova daei arah luar. Aku dan ibu tersenyum dengan hal itu.

“Pasti digodain Pram lagi.” celetuk ibu.

“Iya bu, Nova gak ada capeknya kalo sudah main sama Pram.”

“Pram kan lagi libur, coba sesekali Nova dibawa pulang, biar bisa dekat sama kamu, bisa main sama Pram.”

Sebuah usulan yang tak terpikirkan olehku. Tentu saja aku sangat senang dengan ide tersebut.

“Takut ngerepotin Pram bu, Rindi kan harus kerja.”

“Oh iya, ibu lupa.”

“Pram pasti senang dan mau ngurusin Nova, cuman saya gak enak sama dia bu, nanti malah ngerepotin Pram.”

“Pram lagi persiapan mau skripsi bu, jadi hampir tiap hari dia sibuk cari bahan untuk skripsinya.”

Ibu mengangguk, memahami apa yang kukatakan. Aku pun merasa tak enak hati jika harus menitupkan Nova padanya selama aku bekerja. Namun ide untuk membawa Nova pulang sebenarnya sangat baik dan membuatku senang, karena bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama putriku.

Tak berapa lama berselang, Pram menyusul ke dapur, bersama Nova.

“Bu, sepertinya Nova haus.” gumannya.

Ibuku segera mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Pram. Dengan perlahan, ia memberi minum putriku, dan benar saja, Nova segera menghabiskan air minum tersebut.

“Pram mau, kalo kita bawa pulang Nova?” tanyaku.

“Mau bu. Malah kalo bisa selama saya libur ini, saya yang jagain Nova dirumah, biar ibu kerja.” jawabnya antusias.

“Kamu yakin?? Gak ngerepotin kamu? kamu kan lagi siapin bahan buat skripsi.”

“cuman siapin aja kok bu, belum dikerjain. Kalo cuman baca-baca buku aja kan bisa sambil momong Nova.”

“Lagian ibu kan pulangnya selalu lebih awal, jadi bisa momong Nova juga.”

Ibuku tersenyum setelah mendengar jawaban Pram.

“Ya sudah, Nova dibawa pulang aja nak. Sekalian nak Pram belajar momong anak, suatu saat nanti kan bakal jadi seorang ayah juga.” cetus ibuku.

“Iya bu, sekalian belajar. Lagian biar Nova juga bisa punya lebih banyak waktu sama bu Rindi.”

“Nanti ibu siapkan pakaian Nova.” Kata ibu penuh semangat.

Pram kembali meninggalkan kami, membawa serta Nova menuju ke ruang tengah. Entah apa yang mereka lakukan, namun suara tawa Nova kembali pecah, silih berganti dengan suara Pram.

Sebagai seorang ibu, tentu saja aku bisa merasakan kebahagiaan jika melihat putriku selalu tertawa ceria seperti itu. Fakta bahwa Pram adalah sosok yang benar-benar menyayangi putriku pun selalu meyakinkanku bahwa jika kelak ia menjadi suamiku, maka Nova akan menjadi putri kecilnya yang selalu tertawa dan ceria.

Sedangkan aku, tentu saja akan menjadi wanita paling beruntung dimuka bumi ini karena menjadi bagian dari hatinya.

Namun, bayangan indah itu acap kali terbentur dengan realita hidupku, siapa aku. Penolakan yang mungkin akan datang dari keluarga Pram pun pasti akan menjadi pengalang yang sukar untuk disingkirkan. Sebagai orang tua, tentu saja mereka menginginkan agar Pram mendaparkan pendamping hidup yang baik, yang bisa mereka banggakan. Setidaknya sosok yang sepadan dengan Pram. Aku memakluminya, dan bisa menerima hal itu.

Mungkin ada banyak jalan berliku menanti di depan sana, jika Aku dan Pram sungguh-sungguh berniat serius dalam menjalani hubungan kami.

Selepas makan siang, Ibuku mempersiapkan segala kebutuhan Nova yang akan kami bawa untuk pulang ke rumahku. Pram nampak begitu bersemangat karena akan mendapatkan lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama Nova.

Bapak tidak keberatan dengan hal ini, bahkan ikut mendukung ide tersebut demi Nova. Mereka pasti akan merasa kesepian karena selama beberapa waktu belakangan, Nova telah menjadi bagian dari keseharian mereka.

“Hari rabu, kami akan kembali kesini pak, bu.” kataku saat hendak bersiap untuk pulang.

“Iya, jangan lupa, sebelum kamu berangkat kerja, siapkan semua keperluan Nova, biar nak Pram gak kerepotan.” pesan ibu.

“Iya bu.” jawabku singkat.

“Nak Pram, kami titip Nova dan Rindi.” kata bapak kemudian.

Pram mengangguk lalu menyalami tangan kedua orang tuaku.

Sebelum berangkat, mereka kembali mengecup sang cucu, sebagai tanda perpisahan. Nova tampak senang karena selama beberapa jam belakangan, selalu berada dalam dekapan Pram, sehingga ketika kami meninggalkan rumah kedua orangtuaku, ia sama sekali tak memperdulikannya.

Aku berada dibelakang stir mobil, sambil sesekali melirik ke arah putriku yang tengah sibuk bercanda bersama Pram.

“Nanti malam mau makan apa?” tanyaku. “Apa aja deh bu, yang penting makan sama-sama ibu, sama Nova.”

“Ya udah, nanti kita mampir dulu, beli bahan buat masak nanti malam.”

Hampir memasuki area kota, akhirnya Nova tertidur dalam dekapan Pram. Nampaknya ia kelelahan setelah beberapa jam bermain bersama Pram.

“Pram nunggu disini sama Nova ya, biar ibu yang belanja.” kataku, ketika kami sampai didepan sebuah warung yang menyediakan aneka sayuran.

Pram hanya mengangguk pelan. Hanya butuh waktu beberapa menit bagiku untuk meraih beragam sayuran dan bumbu-bumbu, lauk pauk untuk makan malam bersama Pram dan Nova.

Tepat ketika aku melangkah meninggalkan warung tersebut, ponselku berdering. Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi meninggalkan Pram dan Nova, oleh karena itu, kuabaikan panggilan telfon itu, dan membiarkannya begitu saja.

Sesampainya dirumah, Nova masih terlelap, ia tidur dengan pulas ketika Pram membaringkannya dikamar tidurku.

“Ibu istirahat dulu, saya ganti pakaian trus bersihkan halaman belakang.”

“Istirahat dulu sebentar sayang, kita kan baru sampai.” kataku, ketika menyusulnya ke dapur.

“Atau, besok kita sewa orang aja buat bersihkan.” Pram menggelengkan kepala.

“Gak perlu sewa orang. Nanti saya yang bereskan bu.”

“Ya sudah, tapi jangan dipakasakan badannya. Kalo capek, istirahat aja ya, besok aja dikerjainnya.”

“Udah, sekarang ibu istirahat dikamar sama Nova, jagain dia tidur.”

“Ibu pengen dicium dulu.” kataku manja, sambil naik keatas pangkuan dan melingkarkan tangan dilehernya.

“Ada Nova bu..” bisiknya.

Tanpa membuang waktu, aku langsung melumat bibirnya dengan lembut. Kedua tangannya melingkar di pinggangku. Hampir satu menit berlalu sampai akhirnya ciuman itu berakhir.

“Terima kasih..” bisikku lembut.

Pram meletakkan kedua tangan dipipiku, memandangku dengan mesra.

“Iya bu, sama-sama.”

Seperti janjinya, sisa sore itu ia gunakan untuk merapikan halaman belakang rumahku. Dahan ponon-pohon yang rimbun ia pangkas, begitu juga dengan rumput liar yang tumbuh subur disana.

Hampir satu jam lamanya Nova tertidur pulas, dan ketika terbangun, aku membawanya ke halaman belakang rumah, melihat Pram yang sedang sibuk bekerja.

Sekujur tubuhnya bermandikan keringat, namun wajahnya tak menunjukan rasa lelah maupun bosan. Ia tetap bersemangat dalam bekerja. Dan ketika melihat Nova dalam gendonganku, ia berhenti sejenak dan menghampiri kami.

“Sayangku udah bangun.” gumannya sambil menggoda Nova.

Aku tersenyum dan dalam hati merasa bahagia karena sikapnya yang begitu lembut dan penuh kasih terhadapku dan Nova, putriku. Ia bersikap layaknya suami, sekaligus ayah bagi putriku.

“Sayang mandi dulu, udah hampir jam enam lhoo..” kataku.

“Nanti bu, tinggal dikit aja kok.”

Ia lantas meninggalkan kami dan melanjutkan pekerjaannya, sementara aku dan Nova menemaninya, memperhatikannya dari pintu dapur.

Mimpiku tentang membina kehidupan rumah tangga bersama Pram nyaris terwujud dalam kehidupanku, seperti yang saat ini terjadi.

Tak sedikit pun ada keraguan dalam diriku tentang sosok Pram. Sikap yang ia tunjukkan selama ini telah membuktikannya, dan memperkuat keyakinan bahwa Pram adalah pribadi yang bertanggung jawab.

Dengan kehadiran Nova diantara kami, selain bisa mengembalikan kedekatan dengan putriku, aku bisa melihat secara langsung bagaimana Pram akan bersikap terhadapnya. Ia pun bisa belajar bagaimana menangani anak, bagaimana cara mendidik dan memperlakukannya. Ini adalah pengalaman baru baginya, dan aku yakin Pram mampu menjalankannya dengan baik.

Jam setengah tujuh malam malam Pram telah selesai mandi dan kembali bersama kami di ruang tengah rumahku.

“Ibu mandi dulu ya, habis itu masak. Kamu bisa jagain Nova?”

Pram segera mengambil alih Nova dari pangkuanku dan mengajaknya bermain diatas ranjang. Sebuah awal yang baik, layaknya pasangan suami istri yang sedang berbagi tugas rumah tangga.

Kehadiran anak sudah barang tentu menjadi pelengkap kebahagiaan bahtera sebuah keluarga, namun aku menemukan masih banyak pasangan suami istri yang enggan berbagi tugas rumah, terutama jika menyangkut urusan pekerjaan wanita.

Dimataku, stigma bahwa urusan pekerjaan rumah adalah tanggung jawab seorang istri adalah sebuah pandangan kolot yang salah, karena sudah selayaknya beban pekerjaan itu menjadi tanggung jawab bersama.

Berkaca dari pengalaman keluargaku, dimana bapak tak segan untuk membantu ibuku dalam pekerjaannya, seperti mencuci pakaian, mencuci peralatan dapur, maupun memasak. Hal-hal kecil seperti itu menjadi moment bagi mereka untuk saling menguatkan ikatan cinta mereka. Terkadang, sambil membantu ibu mencuci, mereka saling berbagi cerita tentang keseharian, atau sekedar berbincang ringan tentan apa saja. Suatu contoh yang selalu terkenang dalam pikiranku hingga kini.

“Kita kedapur yuk, temenin mama masak.” guman Pram pada Nova yang tengah duduk bersamanya diatas ranjang.

Mendengar ucapannya, aku tersenyum, kagum pada sikap kedewasaan yang ia tunjukan. Pram bersikap layaknya suami dalam sebuah keluarga kecil.

Pram segera menggendong Nova dan mengikutiku menuju ke dapur. Sesekali Pram membawa serta Nova berdiri disampingku, melihatku merajang bumbu dan sayur yang akan kumasak. Putri kecilku pun ikut memperhatikan apa yang kukerjakan.

Aku benar-benar bahagia karena didampingi oleh dua orang yang sangat berarti dalam hidupku.

Sejenak, kukecup pipi putriku dengan lembut. Pram tersenyum dan mengusap kepala putriku dengan penuh kasih sayang. Demikian juga dengan Pram, pipinya pun mendapat kecupan mesra dariku.

“Kita duduk yuk. Mama mau masak.” katanya pada Nova.

Hampir satu jam kemudian, makan malam untukku dan Pram telah siap, begitu juga dengan bubur untuk Nova, Putriku.

Sambil menyantap makanannya, Pram pun harus menyuapi Nova, karena putri kecilku itu tak ingin terpisah dari Pram.

“Kamu udah cocok jadi seorang ayah.” kataku, lalu tersenyum.

“Kayaknya sih mudah aja, gampang banget bu, apalagi kalo punya anak kayak Nova. Gak rewel.”

“Iya dong, ibunya juga gak rewel kan?”

Pram tertawa geli, sambil terus menyuapi Nova. Pram sangat sabar dan telaten, layaknya seorang yang telah berpengalaman dalam mengurus balita. Aku benar-benar kagum padanya.

Selesai makan, giliran Pram yang bertugas membereskan meja makan dan mencuci semua peralatan dapur, sementara aku membawa Nova ke ruang tengah untuk bersantai sambil menunggunya.

Sisa malam kami habiskan dengan bercanda bersama Nova. Sebuah hal baru yang hadir diantara kami, dimana Nova ikut mengisi waktu senggang bersama.

Sedikit banyak, Pram lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Nova dibandingkan aku, dan aku senang dengan hal itu. Seperti yang sudah-sudah, Nova pun terlihat begitu senang dan antusias menikmati waktu bersama Pram. Jalinan rasa diantara mereka telah terbentuk, dan aku yakin Pram pun telah menempatkan Nova dalam hatinya.

Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh malam ketika Nova mulai mengantuk sehingga aku harus segera membawanya ke kamar tidurku.

“Saatnya bobok..” kataku sambil meraih tubuhnya dari pangkuan Pram.

“Tunggu sebentar ya sayang..” kataku lagi pada Pram.

Pram mengangguk dan tetap berada di ruang tengah menonton acara di tv.

Hampir tigapuluh menit kemudian, Nova putri kecilku terlelap dengan nyaman diatas ranjang. Kukecup pipi dan keningnya sebelum beranjak pergi, membiarkannya beristirahat.

Saatnya bersantai’ gumanku dalam hati sambil mengganti pakaian agar lebih nyaman sebelum beristirahat.

Pram tersenyum saat melihatku membuka pintu kamar tidur dan melangkah ke arahnya. Dua gelas teh hangat telah tersaji diatas meja, didepannya.

Aku hendak duduk disampingnya, namun Pram dengan segera menuntun tubuhku untuk berbaring, dengan kepala berada diatas pangkuannya. “Saatnya ibu bersantai..”

“Seharusnya kamu yang bersantai, istirahat. Tadi kan udah nyetir, bersihkan halaman belakang. Kok malah ibu yang disuruh istirahat.”

Pram segera membelai rambutku, kemudian menunduk dan mengecup keningku dengan mesra.

“Saya gak capek kok bu. Justru ibu yang harus banyakin istirahat, soalnya besok harus kerja.”

Hanya beberapa saat aku berbaring dipangkuannya, lalu bangkit dan duduk diatas pahanya. Kedua tanganku memegang lembut pipinya.

“Ibu bahagia, karena kamu sangat peduli terhadap Nova dan ibu.” gumanku.

“Karena Nova.. ibu… adalah orang-orang yang penting bagi saya. Kalian sangat berarti buat saya.”

“Nova, putri kecil ibu layak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kita. Selama ini ibu banyak kehilangan waktu kebersamaan dengannya.”

“Nah, mumpung dia bisa ikut kita pulang, kita harus berusaha untuk menebus semuanya, supaya Nova bisa puas dan bahagia.”

Apa yang Pram katakan adalah benar. Aku telah kehilangan moment yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama putriku. Aku melewatkannya karena keadaan yang memaksaku untuk terpisah dengan buah hatiku.

Aku yakin, tidak ada seorang ibu yang ingin terpisah dari putri kecilnya, melewatkannya begitu saja. Aku terpaksa, dan sejujurnya, akupun sedih karena kebersamaan itu hilang, berlalu begitu saja. Jika saja keluargaku masih utuh, Nova pasti akan selalu bersamaku setiap saat.

“Kadang ibu sedih karena gak bisa selalu sama-sama Nova.”

Dengan lembut, Pram membelai pipiku.

“Ibu melakukannya karena terpaksa.” sambungku.

Pram segera meletakkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku.

“Sudah. Jangan disesali. Jangan bersedih. Saya yakin, Nova pasti mengerti situasi ini jika kelak ia sudah dewasa.” kata Pram.

Kurebahkan tubuhku dipelukan Pram, sekedar menenangkan diri dan pikiranku. Nova adalah tanggung jawab terbesarku, karena dia adalah hidupku, buah hatiku.

Dengan lembut Pram mengusap punggungku, membiarkanku bermanja dalam dekapannya.

“Tehnya diminum dulu..” bisiknya.

Ia meraih gelas berisi teh, lalu menyerahkannya padaku. Setelah menyeruput sedikit bagian, Pram pun meraih gelas itu dan ikut meminumnya.

“Romantis.. segelas berdua.” gumannya.

“Iya, kayak orang pacaran aja.”

Pram kembali meletakkan gelas itu diatas meja lalu kembali melingkarkan tangan dipinggangku. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, lalu menciumku.

Ia melumat dengan lembut, penuh perasaan sehingga membuatku sangat menikmatinya.

Lambat laun, ciuman itu memantik birahiku, membangkitkan gairahku dengan perlahan.

Hampir dua menit aku menikmati bibirnya, lalu mulai mengalihkan kecupanku ke sekitar leher.

Nafasnya terdengar menderu, pertanda bahwa Pram pun mulai dilanda nafsu birahi.

Segera kutuntun satu tangannya menuju ke pangkal pahaku yang terbuka karena posisiku yang sedang duduk diatas kedua pahanya.

Pram mengerti, paham akan keinginanku dan langsung menggerayangi kemaluanku. Aku sengaja tak mengenakan pakaian dalam, karena telah terbiasa, apalagi jika melewati waktu bersama Pram dirumah.

Oleh karena itu, Lelakiku dengan mudah mempermainkan vaginaku, mengusapnya, bahkan mencoba menusuk liang kenikmatanku dengan jarinya.

Aku segera meloloskan baju kaos yang ia kenakan melalui kepalanya karena ingin menikmati tubuhnya, dan Pram pun menuruti keinginanku. Selanjutnya, tak sampai satu menit kemudian, tubuh kami pun terbebas dari pakaian yang menutupinya.

“Pengen ini…” gumanku pelan sambil menggengam penisnya saat ia berdiri dihadapanku setelah membuka celananya.

Sejenak, Pram membelai rambutku, membiarkanku mengocok pelan penisnya yang telah mengeras dengan sempurna.

Aku bergeser, sedikit maju ke arahnya agar dapat melihat setiap lekuk penis yang selalu memuaskan birahiku tersebut. Aku belum pernah sekalipun merasa seperti ini, dimana aku tergila-gila pada kemaluan pasanganku. Namun bersama Pram, aku berubah menjadi pecandu seks, menjadi wanita yang selalu ingin merasakan kenikmatannya.

Memandangi penis itu dari dekat membuat gairahku semakin menggebu. Bukan hanya dengan satu tangan, tetapi kedua tanganku menggengamnya dengan erat, hingga hanya menyisakan bagian ujungnya yang berbentuk seperti jamur.

Urat yang mengelilingi, menjalar disekujur batangnya membuatnya tampak perkasa dan menggodaku untuk segera merasakannya memasuki tubuhku.

Pram menundukkan wajah dan memegang daguku dengan lembut lalu kembali melumat bibirku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ciumannya terasa lebih panas dan sedikit kasar. Pram telah bergairah!


♡♡♡
bersambung♡♡♡

part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

terima kasih :rose:
 
Masih ada konflik ga ya kira2.
Misal rindi jd binal ma sandi
Seperti yang udah pernah aku sampaikan, kalo kondlik fisik sih gak ada lagi selain di awal kisah ini.

Konflik batin aja sih, seperti dilema, cemas, khawatir, tentang kehidupan.

Rindi jadi binal sama Sandi?
Kayaknya sih...anu mwahahahahaha

Makasih ya :rose:
 
Apalagi kayanya ga lama lagi si pram nya lulus ya sist, jadi makin bimbang deh si mba Rindi nya...
Yaa apapun itu, Semoga pram fans mba Rindi happy ending lah... Lebih bagus happy ending nya di pelaminan... Wkwkwk
Hhmmmm... ini no comment dulu ya bang.. scara ini pan rahasia dapur, mwahahahahaha... kalo dibuka sekarang, jadi rada gimana gitu.

Thanks anyway :rose:
 
Single parent emang berat.. Tapi disamping pria seperti pram hilang semua masalah. Bagus ceritanya.. Lanjutkan
 
Mau comment juga ngomentarin apa.. Cerita udah bagus begini.. Mengalir gitu aja kalo di baca.. Ya semoga happy ending lah ya untuk semuanya.. Dan bener bener tercipta pelangi di kehidupan bu rindi.. Amin..
Sehat terus sist @merah_delima
 
Ceritanya ngalir. Enak dibaca. Cuman ya itu. Konfliknya kurang menggigit.
Mungkin bisa dibumbui dg keadaan suaminya yang bakal jd mantan itu, peliknya proses persidangan, atau si sandi yang mulai kehabisan akal dan sedikit kalap hingga melakukan pemaksaan kepada rindi.
Mohon maaf hu, sekedar saran, bukan maksud mendikte 🙏
 
Part 3



Rindiani


Hampir jam sepuluh pagi, akhirnya bapak kembali kerumah. Segelas teh panas kuhidangkan untuknya. Pram masih larut dalam dunia khayalan bersama Nova. Canda tawa Nova akibat godaan Pram hampir selalu terdengar sepanjang waktu. Mereka terlihat begitu menikmati kebersamaannya, hanyut dalam dunia mereka sendiri. Kehadiran bapak pun tak dihiraukan oleh Nova, begitu juga dengan kehadiranku disampingnya.

Langit teduh membuat suasana diluar sejuk, sehingga bapak dan Pram memilih untuk bersantai dikursi, dibawah pohon yang tumbuh rindang.

“Dedek mandi dulu yuk.” kataku, sambil mencoba meraih tubuhnya dari gendongan Pram. Seperti biasa, Nova menolaknya. Ia memeluk leher Pram dengan sangat kuat, tak ingin melepaskannya.

Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku berhasil merebutnya, walaupun tangisan mulai terdengar dari bibir mungilnya. Segera kubawa Nova kedalam rumah dan memandikannya, sementara bapak dan Pram berbincang-bincang.

“Kok nangis sih dek?” tanya ibuku saat melintas di dapur.

“Gak mau lepas dari Pram bu, mau dimandiin dulu.” jawabku singkat.

Ibuku tertawa, lalu mengikutiku ke kamar mandi.

“Aneh lho, Nova kok seperti lengket banget sama Pram. Padahal belum lama kenal sama Pram.”

Aku hanya bisa tersenyum, karena aku sendiri pun tak mengerti penyebabnya.

“Ibu tahu, Rindi suka Pram.” guman ibuku lagi sambil menungguiku memandikan Nova.

Tentu saja aku terkejut dengan ucapan ibuku karena mengerahui perasaanku terhadap Pram.

“Ibu ngomong apa sih?” tanyaku berpura-pura.

“Ibu juga wanita, dan kamu putri ibu. Ibu tahu dan mengerti isi hatimu. Ibu bisa melihatnya dari caramu memandang Pram. Ibu mengerti.” sambungnya.

Entah bagaimana aku harus merespon ucapan ibuku, namun apa yang ia ucapkan sesuai dengan apa yang telah kujalani selama beberapa waktu belakangan.

“Saya sadar bu, saya bukan wanita yang cocok untuk Pram.” gumanku pelan sambil mengusap tubuh Nova dengan sabun khusus untuk balita.

“Ibu mengerti, ibu paham dengan pikiran kamu. Ibu hanya berpesan supaya kamu jangan merasa rendah diri, merasa minder, malu terhadap dirimu sendiri.”

“Kalaupun akhirnya kamu resmi bercerai dan menjadi janda, terimalah dengan lapang dada.” sambung ibu.

“Tentang urusan hatimu, ibu tidak akan ikut campur, karena kamu sudah dewasa. Ibu yakin, Rindi pasti menyimpan perasaan terhadap Pram. Hal itu bukanlah sesuatu yang salah. Ibu pun yakin, Pram adalah seorang yang baik.”

Sebagai ibuku, beliau benar-benar mengenal dan mengetahui sangat baik tentangku. Apa yang dikatakannya sungguh benar adanya bahwa aku menyukai Pram, aku mencintainya.

Disisi lain, banyak fakta yang membuatku sedikit ragu tentang perasaanku padanya, walaupun aku sangat yakin, Pram pun memiliki perasaan yang sama padaku.

“Ibu benar, cepat atau lambat saya akan bercerai, karena saya sudah menutup hati saya untuknya. Saya siap untuk hal itu, bu. Saya hanya memikirkan nasib Nova, biar bagaimanapun, Nova tetap membutuhkan sosok ayah.” gumanku lirih.

Ibuku menyambut Nova dalam dekapannya setelah selesai kumandikan, lalu membawanya ke kamar tidur untuk dikenakan pakaian.

“Tentang Pram. Dia memang orang baik bu, dia telah banyak membantu saya. Ibu benar, saya menyukainya, saya memiliki perasaan itu. Tapi saya harus realistis juga bu. Usianya masih muda, sementara saya mungkin akan menjadi janda, dan memiliki Nova.”

Ibuku tersenyum sambil mengenakan pakaian pada tubuh Nova.

“Sudah, jangan dipikirkan. Perasaan itu gak bisa disalahkan karena memang muncul dari hati. Yang penting kendalikan dirimu dan jangan berharap lebih. Jalani saja.”

“Jujur saja. Ibu senang Rindi bisa bangkit dan mulai menerima kenyataan, walaupun kenyataan ini pahit. Ibu pun sedih jika memikirkan masa depan Nova dan masa depanmu. Tapi ibu yakin, sangat yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini dengan lapang dada.”

“Tentang Pram, ibu yakin kamu sudah cukup dewasa dan matang untuk mengambil keputusan. Ibu serahkan semua ke kamu. Yang penting, dipikirkan baik-baik, dipertimbangkan dengan matang.”

“Iya bu.” jawabku singkat. Saat kembali ke halaman, Nova disambut oleh Pram, dan tentu saja mereka segera kembali larut dalam dunianya sendiri. Jemarinya yang mungil sibuk menjamah wajah pram sambil tertawa keras karena Pram menggodanya, menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.

Kulanjutkan menyapu halaman rumah, sementara bapak memasuki rumah untuk membersihkan tubuh. Ibuku memilih untuk ke dapur, mempersiapkan makan siang untuk kami.

Sedikit banyak, apa yang ia katakan memberi sinyal dukungan padaku untuk maju dan melanjutkan hidup sesuai dengan keputusanku, yaitu bercerai. Mungkin beliau pun telah ikut terluka akibat pengkhiabatan suamiku terhadapku.

Sebagai seorang wanita dewasa, aku pun yakin bahwa keputusanku untuk bercerai adalah sebuah keputusan yang benar dan baik untuk jelanjutan hidupku, walaupun dibalik itu, ada beban yang harus kupikul, yaitu Nova, putri kecilku.

Aku kembali duduk disamping Pram yang sedang bercanda dan bermain bersama Nova. Mereka bampak bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama. Aku pun senang, dan ikut merasakan hal itu setelah melihat keharmonisan mereka. Bayangan tentang menjalani kehidupan rumah tangga bersama Pram membuaiku, membuatku tersenyum sendiri.

“Dedek gak capek?” tanyaku, ditengah keasyikan mereka.

“Kayaknya gak bakal capek bu.” jawab Pram.

Kuusap kepala putri kecilku dengan lembut, lalu mengecupnya.

“Nanti kita pulang jam berapa?” tanyaku.

“Kalo ibu mau, kita pulang jam dua atau jam tiga, biar ada waktu untuk membersihkan garasi dan halaman belakang.”

“Atau, kita tetap pulang sore seperti biasa, biar saya yang kerjakan semuanya, besok. Saya kan masih libur bu.”

“Gini aja, kita pulang jam tiga. Kita kerjakan sama-sama hari ini. Kalo belum selesai, besok kita lanjutkan lagi. Gimana?”

“Boleh bu.”

Ketika bapak kembali bergabung bersama kami, aku meninggalkan mereka untuk membantu ibuku memasak, sekedar meringankan pekerjaan rumah tangga yang selama ini ia jalankan. Sambil membantunya memasak,

sesekali kudengan teriakan dan canda tawa Nova daei arah luar. Aku dan ibu tersenyum dengan hal itu.

“Pasti digodain Pram lagi.” celetuk ibu.

“Iya bu, Nova gak ada capeknya kalo sudah main sama Pram.”

“Pram kan lagi libur, coba sesekali Nova dibawa pulang, biar bisa dekat sama kamu, bisa main sama Pram.”

Sebuah usulan yang tak terpikirkan olehku. Tentu saja aku sangat senang dengan ide tersebut.

“Takut ngerepotin Pram bu, Rindi kan harus kerja.”

“Oh iya, ibu lupa.”

“Pram pasti senang dan mau ngurusin Nova, cuman saya gak enak sama dia bu, nanti malah ngerepotin Pram.”

“Pram lagi persiapan mau skripsi bu, jadi hampir tiap hari dia sibuk cari bahan untuk skripsinya.”

Ibu mengangguk, memahami apa yang kukatakan. Aku pun merasa tak enak hati jika harus menitupkan Nova padanya selama aku bekerja. Namun ide untuk membawa Nova pulang sebenarnya sangat baik dan membuatku senang, karena bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama putriku.

Tak berapa lama berselang, Pram menyusul ke dapur, bersama Nova.

“Bu, sepertinya Nova haus.” gumannya.

Ibuku segera mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Pram. Dengan perlahan, ia memberi minum putriku, dan benar saja, Nova segera menghabiskan air minum tersebut.

“Pram mau, kalo kita bawa pulang Nova?” tanyaku.

“Mau bu. Malah kalo bisa selama saya libur ini, saya yang jagain Nova dirumah, biar ibu kerja.” jawabnya antusias.

“Kamu yakin?? Gak ngerepotin kamu? kamu kan lagi siapin bahan buat skripsi.”

“cuman siapin aja kok bu, belum dikerjain. Kalo cuman baca-baca buku aja kan bisa sambil momong Nova.”

“Lagian ibu kan pulangnya selalu lebih awal, jadi bisa momong Nova juga.”

Ibuku tersenyum setelah mendengar jawaban Pram.

“Ya sudah, Nova dibawa pulang aja nak. Sekalian nak Pram belajar momong anak, suatu saat nanti kan bakal jadi seorang ayah juga.” cetus ibuku.

“Iya bu, sekalian belajar. Lagian biar Nova juga bisa punya lebih banyak waktu sama bu Rindi.”

“Nanti ibu siapkan pakaian Nova.” Kata ibu penuh semangat.

Pram kembali meninggalkan kami, membawa serta Nova menuju ke ruang tengah. Entah apa yang mereka lakukan, namun suara tawa Nova kembali pecah, silih berganti dengan suara Pram.

Sebagai seorang ibu, tentu saja aku bisa merasakan kebahagiaan jika melihat putriku selalu tertawa ceria seperti itu. Fakta bahwa Pram adalah sosok yang benar-benar menyayangi putriku pun selalu meyakinkanku bahwa jika kelak ia menjadi suamiku, maka Nova akan menjadi putri kecilnya yang selalu tertawa dan ceria.

Sedangkan aku, tentu saja akan menjadi wanita paling beruntung dimuka bumi ini karena menjadi bagian dari hatinya.

Namun, bayangan indah itu acap kali terbentur dengan realita hidupku, siapa aku. Penolakan yang mungkin akan datang dari keluarga Pram pun pasti akan menjadi pengalang yang sukar untuk disingkirkan. Sebagai orang tua, tentu saja mereka menginginkan agar Pram mendaparkan pendamping hidup yang baik, yang bisa mereka banggakan. Setidaknya sosok yang sepadan dengan Pram. Aku memakluminya, dan bisa menerima hal itu.

Mungkin ada banyak jalan berliku menanti di depan sana, jika Aku dan Pram sungguh-sungguh berniat serius dalam menjalani hubungan kami.

Selepas makan siang, Ibuku mempersiapkan segala kebutuhan Nova yang akan kami bawa untuk pulang ke rumahku. Pram nampak begitu bersemangat karena akan mendapatkan lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama Nova.

Bapak tidak keberatan dengan hal ini, bahkan ikut mendukung ide tersebut demi Nova. Mereka pasti akan merasa kesepian karena selama beberapa waktu belakangan, Nova telah menjadi bagian dari keseharian mereka.

“Hari rabu, kami akan kembali kesini pak, bu.” kataku saat hendak bersiap untuk pulang.

“Iya, jangan lupa, sebelum kamu berangkat kerja, siapkan semua keperluan Nova, biar nak Pram gak kerepotan.” pesan ibu.

“Iya bu.” jawabku singkat.

“Nak Pram, kami titip Nova dan Rindi.” kata bapak kemudian.

Pram mengangguk lalu menyalami tangan kedua orang tuaku.

Sebelum berangkat, mereka kembali mengecup sang cucu, sebagai tanda perpisahan. Nova tampak senang karena selama beberapa jam belakangan, selalu berada dalam dekapan Pram, sehingga ketika kami meninggalkan rumah kedua orangtuaku, ia sama sekali tak memperdulikannya.

Aku berada dibelakang stir mobil, sambil sesekali melirik ke arah putriku yang tengah sibuk bercanda bersama Pram.

“Nanti malam mau makan apa?” tanyaku. “Apa aja deh bu, yang penting makan sama-sama ibu, sama Nova.”

“Ya udah, nanti kita mampir dulu, beli bahan buat masak nanti malam.”

Hampir memasuki area kota, akhirnya Nova tertidur dalam dekapan Pram. Nampaknya ia kelelahan setelah beberapa jam bermain bersama Pram.

“Pram nunggu disini sama Nova ya, biar ibu yang belanja.” kataku, ketika kami sampai didepan sebuah warung yang menyediakan aneka sayuran.

Pram hanya mengangguk pelan. Hanya butuh waktu beberapa menit bagiku untuk meraih beragam sayuran dan bumbu-bumbu, lauk pauk untuk makan malam bersama Pram dan Nova.

Tepat ketika aku melangkah meninggalkan warung tersebut, ponselku berdering. Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi meninggalkan Pram dan Nova, oleh karena itu, kuabaikan panggilan telfon itu, dan membiarkannya begitu saja.

Sesampainya dirumah, Nova masih terlelap, ia tidur dengan pulas ketika Pram membaringkannya dikamar tidurku.

“Ibu istirahat dulu, saya ganti pakaian trus bersihkan halaman belakang.”

“Istirahat dulu sebentar sayang, kita kan baru sampai.” kataku, ketika menyusulnya ke dapur.

“Atau, besok kita sewa orang aja buat bersihkan.” Pram menggelengkan kepala.

“Gak perlu sewa orang. Nanti saya yang bereskan bu.”

“Ya sudah, tapi jangan dipakasakan badannya. Kalo capek, istirahat aja ya, besok aja dikerjainnya.”

“Udah, sekarang ibu istirahat dikamar sama Nova, jagain dia tidur.”

“Ibu pengen dicium dulu.” kataku manja, sambil naik keatas pangkuan dan melingkarkan tangan dilehernya.

“Ada Nova bu..” bisiknya.

Tanpa membuang waktu, aku langsung melumat bibirnya dengan lembut. Kedua tangannya melingkar di pinggangku. Hampir satu menit berlalu sampai akhirnya ciuman itu berakhir.

“Terima kasih..” bisikku lembut.

Pram meletakkan kedua tangan dipipiku, memandangku dengan mesra.

“Iya bu, sama-sama.”

Seperti janjinya, sisa sore itu ia gunakan untuk merapikan halaman belakang rumahku. Dahan ponon-pohon yang rimbun ia pangkas, begitu juga dengan rumput liar yang tumbuh subur disana.

Hampir satu jam lamanya Nova tertidur pulas, dan ketika terbangun, aku membawanya ke halaman belakang rumah, melihat Pram yang sedang sibuk bekerja.

Sekujur tubuhnya bermandikan keringat, namun wajahnya tak menunjukan rasa lelah maupun bosan. Ia tetap bersemangat dalam bekerja. Dan ketika melihat Nova dalam gendonganku, ia berhenti sejenak dan menghampiri kami.

“Sayangku udah bangun.” gumannya sambil menggoda Nova.

Aku tersenyum dan dalam hati merasa bahagia karena sikapnya yang begitu lembut dan penuh kasih terhadapku dan Nova, putriku. Ia bersikap layaknya suami, sekaligus ayah bagi putriku.

“Sayang mandi dulu, udah hampir jam enam lhoo..” kataku.

“Nanti bu, tinggal dikit aja kok.”

Ia lantas meninggalkan kami dan melanjutkan pekerjaannya, sementara aku dan Nova menemaninya, memperhatikannya dari pintu dapur.

Mimpiku tentang membina kehidupan rumah tangga bersama Pram nyaris terwujud dalam kehidupanku, seperti yang saat ini terjadi.

Tak sedikit pun ada keraguan dalam diriku tentang sosok Pram. Sikap yang ia tunjukkan selama ini telah membuktikannya, dan memperkuat keyakinan bahwa Pram adalah pribadi yang bertanggung jawab.

Dengan kehadiran Nova diantara kami, selain bisa mengembalikan kedekatan dengan putriku, aku bisa melihat secara langsung bagaimana Pram akan bersikap terhadapnya. Ia pun bisa belajar bagaimana menangani anak, bagaimana cara mendidik dan memperlakukannya. Ini adalah pengalaman baru baginya, dan aku yakin Pram mampu menjalankannya dengan baik.

Jam setengah tujuh malam malam Pram telah selesai mandi dan kembali bersama kami di ruang tengah rumahku.

“Ibu mandi dulu ya, habis itu masak. Kamu bisa jagain Nova?”

Pram segera mengambil alih Nova dari pangkuanku dan mengajaknya bermain diatas ranjang. Sebuah awal yang baik, layaknya pasangan suami istri yang sedang berbagi tugas rumah tangga.

Kehadiran anak sudah barang tentu menjadi pelengkap kebahagiaan bahtera sebuah keluarga, namun aku menemukan masih banyak pasangan suami istri yang enggan berbagi tugas rumah, terutama jika menyangkut urusan pekerjaan wanita.

Dimataku, stigma bahwa urusan pekerjaan rumah adalah tanggung jawab seorang istri adalah sebuah pandangan kolot yang salah, karena sudah selayaknya beban pekerjaan itu menjadi tanggung jawab bersama.

Berkaca dari pengalaman keluargaku, dimana bapak tak segan untuk membantu ibuku dalam pekerjaannya, seperti mencuci pakaian, mencuci peralatan dapur, maupun memasak. Hal-hal kecil seperti itu menjadi moment bagi mereka untuk saling menguatkan ikatan cinta mereka. Terkadang, sambil membantu ibu mencuci, mereka saling berbagi cerita tentang keseharian, atau sekedar berbincang ringan tentan apa saja. Suatu contoh yang selalu terkenang dalam pikiranku hingga kini.

“Kita kedapur yuk, temenin mama masak.” guman Pram pada Nova yang tengah duduk bersamanya diatas ranjang.

Mendengar ucapannya, aku tersenyum, kagum pada sikap kedewasaan yang ia tunjukan. Pram bersikap layaknya suami dalam sebuah keluarga kecil.

Pram segera menggendong Nova dan mengikutiku menuju ke dapur. Sesekali Pram membawa serta Nova berdiri disampingku, melihatku merajang bumbu dan sayur yang akan kumasak. Putri kecilku pun ikut memperhatikan apa yang kukerjakan.

Aku benar-benar bahagia karena didampingi oleh dua orang yang sangat berarti dalam hidupku.

Sejenak, kukecup pipi putriku dengan lembut. Pram tersenyum dan mengusap kepala putriku dengan penuh kasih sayang. Demikian juga dengan Pram, pipinya pun mendapat kecupan mesra dariku.

“Kita duduk yuk. Mama mau masak.” katanya pada Nova.

Hampir satu jam kemudian, makan malam untukku dan Pram telah siap, begitu juga dengan bubur untuk Nova, Putriku.

Sambil menyantap makanannya, Pram pun harus menyuapi Nova, karena putri kecilku itu tak ingin terpisah dari Pram.

“Kamu udah cocok jadi seorang ayah.” kataku, lalu tersenyum.

“Kayaknya sih mudah aja, gampang banget bu, apalagi kalo punya anak kayak Nova. Gak rewel.”

“Iya dong, ibunya juga gak rewel kan?”

Pram tertawa geli, sambil terus menyuapi Nova. Pram sangat sabar dan telaten, layaknya seorang yang telah berpengalaman dalam mengurus balita. Aku benar-benar kagum padanya.

Selesai makan, giliran Pram yang bertugas membereskan meja makan dan mencuci semua peralatan dapur, sementara aku membawa Nova ke ruang tengah untuk bersantai sambil menunggunya.

Sisa malam kami habiskan dengan bercanda bersama Nova. Sebuah hal baru yang hadir diantara kami, dimana Nova ikut mengisi waktu senggang bersama.

Sedikit banyak, Pram lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Nova dibandingkan aku, dan aku senang dengan hal itu. Seperti yang sudah-sudah, Nova pun terlihat begitu senang dan antusias menikmati waktu bersama Pram. Jalinan rasa diantara mereka telah terbentuk, dan aku yakin Pram pun telah menempatkan Nova dalam hatinya.

Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh malam ketika Nova mulai mengantuk sehingga aku harus segera membawanya ke kamar tidurku.

“Saatnya bobok..” kataku sambil meraih tubuhnya dari pangkuan Pram.

“Tunggu sebentar ya sayang..” kataku lagi pada Pram.

Pram mengangguk dan tetap berada di ruang tengah menonton acara di tv.

Hampir tigapuluh menit kemudian, Nova putri kecilku terlelap dengan nyaman diatas ranjang. Kukecup pipi dan keningnya sebelum beranjak pergi, membiarkannya beristirahat.

Saatnya bersantai’ gumanku dalam hati sambil mengganti pakaian agar lebih nyaman sebelum beristirahat.

Pram tersenyum saat melihatku membuka pintu kamar tidur dan melangkah ke arahnya. Dua gelas teh hangat telah tersaji diatas meja, didepannya.

Aku hendak duduk disampingnya, namun Pram dengan segera menuntun tubuhku untuk berbaring, dengan kepala berada diatas pangkuannya. “Saatnya ibu bersantai..”

“Seharusnya kamu yang bersantai, istirahat. Tadi kan udah nyetir, bersihkan halaman belakang. Kok malah ibu yang disuruh istirahat.”

Pram segera membelai rambutku, kemudian menunduk dan mengecup keningku dengan mesra.

“Saya gak capek kok bu. Justru ibu yang harus banyakin istirahat, soalnya besok harus kerja.”

Hanya beberapa saat aku berbaring dipangkuannya, lalu bangkit dan duduk diatas pahanya. Kedua tanganku memegang lembut pipinya.

“Ibu bahagia, karena kamu sangat peduli terhadap Nova dan ibu.” gumanku.

“Karena Nova.. ibu… adalah orang-orang yang penting bagi saya. Kalian sangat berarti buat saya.”

“Nova, putri kecil ibu layak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari kita. Selama ini ibu banyak kehilangan waktu kebersamaan dengannya.”

“Nah, mumpung dia bisa ikut kita pulang, kita harus berusaha untuk menebus semuanya, supaya Nova bisa puas dan bahagia.”

Apa yang Pram katakan adalah benar. Aku telah kehilangan moment yang seharusnya bisa kuhabiskan bersama putriku. Aku melewatkannya karena keadaan yang memaksaku untuk terpisah dengan buah hatiku.

Aku yakin, tidak ada seorang ibu yang ingin terpisah dari putri kecilnya, melewatkannya begitu saja. Aku terpaksa, dan sejujurnya, akupun sedih karena kebersamaan itu hilang, berlalu begitu saja. Jika saja keluargaku masih utuh, Nova pasti akan selalu bersamaku setiap saat.

“Kadang ibu sedih karena gak bisa selalu sama-sama Nova.”

Dengan lembut, Pram membelai pipiku.

“Ibu melakukannya karena terpaksa.” sambungku.

Pram segera meletakkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku.

“Sudah. Jangan disesali. Jangan bersedih. Saya yakin, Nova pasti mengerti situasi ini jika kelak ia sudah dewasa.” kata Pram.

Kurebahkan tubuhku dipelukan Pram, sekedar menenangkan diri dan pikiranku. Nova adalah tanggung jawab terbesarku, karena dia adalah hidupku, buah hatiku.

Dengan lembut Pram mengusap punggungku, membiarkanku bermanja dalam dekapannya.

“Tehnya diminum dulu..” bisiknya.

Ia meraih gelas berisi teh, lalu menyerahkannya padaku. Setelah menyeruput sedikit bagian, Pram pun meraih gelas itu dan ikut meminumnya.

“Romantis.. segelas berdua.” gumannya.

“Iya, kayak orang pacaran aja.”

Pram kembali meletakkan gelas itu diatas meja lalu kembali melingkarkan tangan dipinggangku. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, lalu menciumku.

Ia melumat dengan lembut, penuh perasaan sehingga membuatku sangat menikmatinya.

Lambat laun, ciuman itu memantik birahiku, membangkitkan gairahku dengan perlahan.

Hampir dua menit aku menikmati bibirnya, lalu mulai mengalihkan kecupanku ke sekitar leher.

Nafasnya terdengar menderu, pertanda bahwa Pram pun mulai dilanda nafsu birahi.

Segera kutuntun satu tangannya menuju ke pangkal pahaku yang terbuka karena posisiku yang sedang duduk diatas kedua pahanya.

Pram mengerti, paham akan keinginanku dan langsung menggerayangi kemaluanku. Aku sengaja tak mengenakan pakaian dalam, karena telah terbiasa, apalagi jika melewati waktu bersama Pram dirumah.

Oleh karena itu, Lelakiku dengan mudah mempermainkan vaginaku, mengusapnya, bahkan mencoba menusuk liang kenikmatanku dengan jarinya.

Aku segera meloloskan baju kaos yang ia kenakan melalui kepalanya karena ingin menikmati tubuhnya, dan Pram pun menuruti keinginanku. Selanjutnya, tak sampai satu menit kemudian, tubuh kami pun terbebas dari pakaian yang menutupinya.

“Pengen ini…” gumanku pelan sambil menggengam penisnya saat ia berdiri dihadapanku setelah membuka celananya.

Sejenak, Pram membelai rambutku, membiarkanku mengocok pelan penisnya yang telah mengeras dengan sempurna.

Aku bergeser, sedikit maju ke arahnya agar dapat melihat setiap lekuk penis yang selalu memuaskan birahiku tersebut. Aku belum pernah sekalipun merasa seperti ini, dimana aku tergila-gila pada kemaluan pasanganku. Namun bersama Pram, aku berubah menjadi pecandu seks, menjadi wanita yang selalu ingin merasakan kenikmatannya.

Memandangi penis itu dari dekat membuat gairahku semakin menggebu. Bukan hanya dengan satu tangan, tetapi kedua tanganku menggengamnya dengan erat, hingga hanya menyisakan bagian ujungnya yang berbentuk seperti jamur.

Urat yang mengelilingi, menjalar disekujur batangnya membuatnya tampak perkasa dan menggodaku untuk segera merasakannya memasuki tubuhku.

Pram menundukkan wajah dan memegang daguku dengan lembut lalu kembali melumat bibirku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ciumannya terasa lebih panas dan sedikit kasar. Pram telah bergairah!


♡♡♡bersambung♡♡♡

part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

terima kasih :rose:
Smooth...selooow
 
Part 4



Rindiani

Aku sedang hendak memasukan penisnya kedalam mulutku ketika terdengar suara Nova dari arah kamar tidurku. Nova terbangun dari tidurnya.

Buru-buru Pram dan aku kembali mengenakan pakaian, lalu bergegas ke kamar. Kami mendapati Nova telah terjaga dari tidurnya karena popok yang ia kenakan telah penuh dengan air seninya. Segera kuganti popok itu dan Pram kembali menggendongnya, membiarkannya untuk kembali beristirahat dalam dekapannya.

“Ibu istirahat, tidur. Nanti saya tidur kalo Nova sudah tidur.” bisiknya.

Kukecup lembut pipi dan kening putri kecilku, lalu mengecup bibir Pram sekilas. Entah suatu kebetulan atau memang Nova memahami apa yang ia lihat, ia tersenyum saat melihatku mengecup bibir lelakiku, Pram, walaupun pandangan matanya nampak sayu karena masih mengantuk. Pram pun menyaksikan kejadian itu, lalu tersenyum.

“Kayaknya Nova udah ngerti..” bisiknya pelan.

Aku hanya tersenyum, lalu memeluknya dengan mesra.

“Nova belum mengerti apa-apa, tapi mungkin sudah bisa merasakan bahwa dia sedang senang dan bahagia karena kamu. Dan ibu ibu juga merasakan hal yang sama.”

Pram mengecup kening Nova, lalu mengecup keningku. Tak ada kata yang ia ucapkan, namun aku tahu, aku bisa merasakan ketulusan kaaih sayang dan cintanya pada kami berdua.

Hal terakhir yang aku lihat sebelum terlelap dalam istirahatku adalah Pram menggendong Nova, berusaha menidurkannya kembali. Dan ketika suara adzan subuh berkumandang, aku mendapati Nova masih tertidur pulas disampingku, sementara Pram berada disebelahnya.

Sebuah pemandangan yang sangat membahagiakanku di awal hari. Putri kecilku dan lelakiku terlelap dalam damai, bersama-sama denganku diatas ranjangku. Rasanya seperti mimpi, namun aku sadar, pemandangan yang tengah kusaksikan ini adalah realita kehidupan yang sedang kujalani.

Dengan perlahan, aku turun dari tempat tidur lalu menuju ke kamar mandi. Dan ketika kembali, mereka masih saja tertidur pulas. Aku tersenyum sambil memandangi mereka. Kubenahi selimut yang menutupi tubuh Pram, dan tubuh putri kecilku, lalu meninggalkan mereka untuk menyiapkan sarapan pagi.

Kubuat segelas kopi untukku terlebih dahulu, sebagai pengusir rasa kantuk yang masih tersisa ditubuhku.

Kehadiran putri kecilku dirumah seolah mengembalikan kehidupan, menghadirkan warna indah dalam ruang antara aku dan Pram. Tak dapat dipungkiri, Nova membuatku menjadi lebih bersemangat dalam hidup, membuatku yakin bahwa kami akan baik-baik saja, walaupun harus menjalani masa depan tanpa kehadiran suamiku.

Selain itu, kehadiran Pram pun sedikit banyak telah meyakinkanku bahwa masih ada kebahagiaan lain didunia ini untukku dan putri kecilku. Dimataku, Pram telah menerimaku dan Nova dalam hidupnya, suatu hal yang membuat hatiku terasa utuh kembali. Setidaknya, rumah ini telah menjadi sebuah tempat yang hangat berkat kehadiran Pram dan Nova.

“Pagi..” sapa Pram dengan lembut sambil memelukku dari belakang.

“Pagi sayang..” “kok cepet bangunnya? Semalam tidur jam berapa?” tanyaku.

“Gak lama setelah ibu tidur, saya baringkan Nova, trus tidur.” jawabnya sambil mempererat pelukannya.

Kukecup pipinya yang berada tepat disamping wajahku, lalu kembali menyiapkan sarapan, membuat segelas teh dan kopi untuk kami berdua.

“Dedek masih tidur?”

“Masih bu, biarin aja dia istirahat dulu, jangan dibangunkan.”

Pram melepaskan pelukannya, lalu berdiri di sampingku.

“Kopi..?” tanyaku setelah menyeruput sedikit bagiannya.

Pram meraih gelas dari tanganku, lalu ikut meminumnya. Ia membuka pintu belakang, lalu bersandar disisi pintu, memandangi langit yang masih gelap. Ia nampak termenung, seolah sedang memikirkan sesuatu.

“Lagi mikirin apa sih?” tanyaku, ikut berdiri disisi pintu yang lain.

“Enggak mikir apa-apa kok bu. Seneng aja ada Nova disini.”

“Beneran? Gak ngerepotin kamu kan??”

“Enggak bu. Beneran gak ngerepotin. Malah saya senang bisa punya banyak waktu sama Nova.”

Pram menarik tanganku, menuntunku untuk berdiri dihadapannya, lalu kembali memelukku dengan erat.

“Ibu juga senang, bisa sama-sama Nova lagi.” gumanku.

Tak ada lagi percapakan setelah itu. Kami membiarkan kesunyian mengisi ruang, menikmatinya, sambil memandangi dedaunan yang basah karena butiran embun.

Hawa dingin yang terasa menusuk membuatku beralih dan bersembunyi dibelakang tubuh lelakiku. Kedua tanganku mengunci erat tepat didepan pinggulnya, dan kedua tangannya ikut menumpang diatas tanganku.

Berkali-kali ia mengecup pipiku yang berada tepat disamping wajahnya. Ia membuatku merasa nyaman, merasakan damai di awal hari.

Tepat saat ia hendak kembali mengecup pipiku, aku berpaling, menyambut bibirnya dengan bibirku. Lumatannya terasa begitu lembut dan pelan, membuaiku, menghanyutkanku.

Hampir satu menit kemudian, ketika ciuman kami berakhir, Pram mengajakku kembali kedalam dapur. Ia meraih kursi dan duduk, lalu menuntunku untuk duduk diatas pangkuannya.

“Badan ibu berat gak sih?” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala, lalu meletakkan kedua tapak tangan di pipiku. Sesaat kemudian, bibir-bibir kami kembali bersatu dalam sebuah ciuman yang panas.

Pagi yang dingin tak lagi terasa, berganti dengan hangat buaian dan belaian manja darinya. Beberapa saat berlalu, Pram mengalihkan perhatiannya pada leherku, sementara kedua tangannya mulai aktif menjamah payudaraku.

Tak lama berselang, aku telah larut dalam birahi yang menggebu. Aku berdiri, lalu mengajak Pram ke ruang tengah, agar bisa lebih nyaman dalam mengumbar birahi kami.

Kursi sofa yang empuk adalah tempat terbaik karena Nova sedang beristirahat dikamarku.

Sambil berdiri, kami kembali berpelukan, saling menjamah tubuh, saling melumat bibir dengan panas. Hanya dalam beberapa detik, tubuh kami telah terbebas dari pakaian yang menutupinya.

Pram menuntunku untuk duduk, sementara ia berdiri dihadapanku. Aku mengerti, Pram ingin merasakan permainan lidahku di penisnya. Tanpa membuang waktu, segera kuraih penisnya dan menggengamnya dengan erat.

Kocokan lembut dariku membuatnya mendesah pelan. Kupandangi wajahnya sambil tersenyum, lalu mendekatkan wajah pada pangkal pahanya. Kukecup mesra ujung penisnya, lalu mulai menjulurkan lidah untuk menjilatnya.

Nafasnya tercekat saat lidahku mulai menari, menelusuri pangkal hingga kebagian ujung penisnya.


Matanya terpejam, sementara kedua tangannya menjambak rambutku dengan sedikit keras. Pram terlena, ia larut dalam kenikmatan yang kuberikan.

Hanya beberapa saat, seluruh bagian kemaluannya basah oleh air liurku. Permukaannya yang licin semakin memudahkanku untuk mengocok batang penisnya.

Hampir satu menit kemudian, akhirnya penis lelakiku kembali mengunjungi rongga mulutku. Diiringi oleh kocokan pelan dibagian batang, ujung penisnya tenggelam dalam mulutku.

Tentu saja lidahku segera menari-nari, mempermainkannya hingga Pram merintih nikmat. Aku tahu, Pram sangat menyukai caraku memanjakan penisnya karena pinggulnya mulai bergerak-gerak, seolah sedang menyetubuhi kemaluanku.

Air liur segera menetes, jatuh ke lantai karena semakin lama, goyangan pinggulnya semakin cepat, bahkan tusukan penisnya di mulutku terasa semakin dalam.


Hampir seluruh bagian kemaluannya memenuhi rongga mulutku, dan cukup membuatku sedikit kerepotan akibat cepatnya goyangan pinggul Pram.

Hampir dua menit berlalu dan perlahan ia mulai memperlambat gerakan pinggulnya, hingga akhirnya berhenti. Kedua tangannya pun beralih, meremas lembut payudaraku, mempermainkan putingku dengan jemarinya.

Rahangku terasa lelah sehingga untuk sejenak, tanganku mengambil alih tugas mulut, dan kembali mengocok kemaluannya. Tampaknya Lelakiku pun menyukainya karena rintihan-rintihan mengalun lembut dari bibirnya.

Pinggulnya pun mulai kembali bergerak pelan, seirama dengan kocokan pada penisnya. Pram benar-benar terlena dalam kenikmatan ketika aku mengocok penisnya dengan kedua tanganku.

Genggaman erat jemariku dan licinnya batang penis akibat dilumuri air liurku membuatnya semakin bergairah. Karena hal itu pulalah yang membuatku sadar, ukuran panjang penis lelakiku memang istimewa. Bahkan setelah menggengam dengan kedua tanganku, masih ada bagian dari penisnya yang terbebas, tak terjangkau oleh jemariku. Benar-benar istimewa dan membuatku kagum.

Tujuh menit berlalu, akhirnya Pram menuntun tanganku untuk berhenti mempermainkan kemaluannya.

“Kenapa?” tanyaku, lalu tersenyum.

“Gak kuat, bisa-bisa malah keluar.” jawabnya, lalu duduk dilantai, diantara kedua pahaku.

“Jangan dikeluarin dulu. Ibu masih pengen..” bisikku nakal ditelinganya.

Pram tersenyum lalu menuntun kedua kakiku untuk terangkat keudara. Lututku tertekuk dan kupegang erat dengan kedua tanganku, sementara punggungku bersadar sepenuhnya di sofa. Pinggulku berada diujung sofa dengan kedua pada terbuka lebar, tepat dihadapan wajah lelakiku.

Posisi ini membuat bibir kemaluanku terbuka, bahkan belahan pantatku pun bisa ia jangkau.

Jantungku berdebar tak karuan ketika perlahan Pram mendekatkan wajah dan menjulurkan lidah. Nafasku tertahan, menanti sentuhannya di kemaluanku.

Tak sampai satu detik, akhirnya lidahnya yang hangat membelai lembut pangkal pahaku, mulai dari bagian atas, clitorisku hingga kebagian terbawah dan terus menjalar hingga kebagian pantat, permukaan liang anusku.

Tubuhku lemas seketika karena terjangan badai kenikmatan ciptaan Pram. Kugigit bibirku demi menahan suara desahan, agar tak terdengar hingga keluar ruangan, apalagi Nova sedang tertidur dikamarku.

Bibir kemaluanku merekah, terbuka dengan sendirinya karena kedua pahaku terbuka, dan Pram, lelakiku dengan leluasa menjalarkan lidahnya disana, membuat sekujur tubuhku merinding, melihat ia begitu rakus melahap kemaluanku.


Jilatan-jilatannya membuat kemaluanku semakin basah dan licin, air liur bercampur cairan lubrikasi yang keluar dari liang vaginaku bercampur menjadi satu, melumuri sekujur selangkanganku.

Seiring detik berlalu, cairan itu pun mengalir perlahan kebagian bawah, melalui belahan pantatku hingga membasahi sofa yang kududuki.

Belum sampai lima menit, Pram hampir membuatku orgasme, bahkan hanya dengan permainan lidahnya!

Dan benar saja, sebuah hisapan keras di clitorisku akhirnya mengahantarkan orgasme yang pertama. Tubuhku menggelinjang hebat, dan dengan sekuat tenaga aku menahan kedua kakiku agar tetap pada posisinya. Nafasku memburu dan jantungku berdebar-debar melihat Pram membuatku orgasme lewat hisapannya yang keras.

Lidahhnya menari lincah, menyambut cairan orgasme itu dan melahapnya, menelannya tanpa rasa jijik sedikitpun.

Detik yang berlalu membuatku semakin tak berdaya. Pandangan mataku terasa berat, namun aku tak ingin kehilangan moment tersebut. Dengan tatapan sayu, aku melihat lelakiku menghisap vaginaku, membersihkan cairan orgasmeku dengan lidahnya.

Setelah orgasmeku, Pram meneruskan permainannya. Ia tak memberiku waktu sedetikpun untuk beristirahat. Ia langsung mengirimkan kedua jarinya untuk menjelajahi liang vaginaku, bahkan lidahnya ikut beraksi, dengan menjilati clitorisku.

Aku benar-benar kepayahan, tubuhku kehilangan tenaga, bahkan hanya untuk menahan kedua pahaku saja aku tak mampu. Dengan perlahan, kulepaskan pegangan tangan pada kakiku, dan menapakkannya dilantai. Kupasrahkan tubuhku, kemaluanku, menjadi bulan-bulanan lidah Lelakiku.

Hanya beberapa menit berselang, aku kembali merasakan orgasme untuk yang kedua kalinya, kali ini sensasinya jauh lebih hebat karena Pram berhasil membuatku mengeluarkan air seni, lagi.

Aku benar-benar tak berdaya. Bahkan ketika air seni itu mengali keluar dari tubuhku, lidahnya terus saja mengusik kemaluanku, mempermainkan lubang kecil dimana air itu keluar. Pram benar-benar gila! Ia tak memperdulikan jika air kencingku mengenai lidahnya, mengenai bibirnya.


Pram berhenti mengoral vaginaku ketika air seniku telah berhenti mengalir. Ia tersenyum bangga karena mampu membuatku merasakan dua kali orgasme, bahkan tanpa menggunakan penisnya.

“Masih kuat?” tanyanya sambil berlutut, lalu mendekatkan wajahnya padaku.

Satu tanganku meraih penisnya lalu menggengamnya dengan erat sementara tanganku yang lain menyentuh pipinya dengan lembut.

“Ibu belum ngerasain ini..” bisikku nakal sambil mengocok pelan penisnya.

Pram tersenyum lalu melumat bibirku dengan lembut.

“Yakin?? Ibu udah dua kali keluar lho.”

Aku mengangguk pasti, lalu kembali mengocok penisnya.

“Ibu pengen diperkosa sayang..” bisikku nakal.

Pram mengangguk, lalu berdiri di hadapanku. Ia mengajakku meninggalkan ruang tengah, menuju ke kamar tidur lainnya, yang selama ini tak pernah kami gunakan.

Didepan ranjang, kami kembali berciuman, saling melumat bibir dengan panas sementara tangan-tangan kami sibuk saling menjamah, saling meraba, saling merangsang satu sama lain.

Dengan buas, Pram menjilati sekujur dadaku, menghisap kedua putingku secara bergantian dengan keras. Pram benar-benar beringas dan bernafsu. Ia tak memberiku kesempatan untuk menikmati tubuhnya. Ia sangat dominan, memperlakukanku bak boneka mainannya.

Setelah puas menikmati payudaraku, Pram menuntun tubuhku untuk berbaring diatas ranjang, membuka lebar kedua pahaku dan mengangkat kedua kaki ke udara. Kedua lututku tertekuk, tertahan oleh kedua lengannya yang menapak tepat disamping pinggulku.


Ia berdiri ditepian ranjang, lalu mengarahkan penisnya ke pangkal pahaku.

Aku tersenyum padanya, lalu mengangguk pelan. Pram pun tersenyum, lalu mulai menekan penisnya ke liang vaginaku.

Kupejamkan mataku, merasakan dan menikmati keperkasaan penisnya bergerak pelan memasuki tubuhku. Hanya dalam hitungan detik, kemaluan Pram telah tenggelam sempurna dalam liang vaginaku.

Liang kenikmatanku terasa sesak, penuh, karena ukuran kemaluannya yang besar dan panjang.

Tanpa membuang waktu, Pram segera menggerakkan pinggulnya, mulai mengocok vaginaku dengan penisnya. Aku kembali tersenyum padanya, lalu memegang kedua pipinya dengan lembut.

Sambil terus menyetubuhiku, Pram melumat bibirku dengan mesra selama beberapa saat. Gerakan pinggulnya begitu lamban, dengan irama yang konstan, membuatku sangat menikmati gesekan antara dinding-dinding liang vaginaku dengan batang penisnya.

Pram bermain dengan penuh kesabaran dan lembut. Setiap hujaman kemaluannya terasa hingga ke bagian terdalam, menusuk jauh hingga terasa mentok.

Dan kenikmatan yang melandaku semakin hebat ketika bibirnya kembali menghisap kedua putingku secara bergantian. Sesekali dipermainkannya dengan ujung lidahnya, lalu kembali dihisapnya dengan lembut.

Kuraih bantal disamping tubuhku untuk menutupi wajahku demi meredam suara desahanku. Aku benar-benar terbuai dengan kehebatan permainan lelakiku.

Hampir sepuluh menit berlalu, dan Pram mulai menaikan tempo permainannya. Perlahan, gerakan pinggulnya mulai dipercepat, sementara kedua putingku terus menerus menjadi santapannya. Dihisap, dijilat, bahkan sesekali digigitnya dengan lembut.

Kemaluanku benar-benar basah dibuatnya. Cairan lubrikasi yang keluar dari liang kenikmatanku memudahkan gerakan keluar masuk penisnya. Pram benar-benar menggila, ia benar-benar membuatku tak berdaya dengan caranya bermain.

Aku hanya berpasrah, menanti detik-detik orgasmeku yang ketiga ketika Pram mempercepat lagi gerakan pinggulnya.

Bahkan tubuhku pun dibuatnya bergetar, payudaraku mengayun seirama dengan hentakan pinggulnya menghujamkan penis kedalam liang vaginaku.

Dibalik bantal yang menutupi wajahku, aku mendesah kencang, merintih, meracau tak karuan karena hempasan badai kenikmatan yang datang bertubi-tubi.

Tak lama berselang, akhirnya aku mencapai puncak kenikmatan, orgasmeku yang ketiga.

Sekujur tubuhku bergetar, otot-otot disekitar selangkanganku menegang, mencengkram penisnya yang masih terus menghujam liang vaginaku.

Pram mendesah panjang, lalu mengentakkan pinggulnya, mengirimkan penisnya ke dalam tubuhku hingga tertanam sempurna dalam liang vaginaku.

Pram pun mencapai puncak orgasmenya.

Aku bisa merasakan semburan spermanya didalam rahimku. Terasa hangat dan penuh didalam liang kenikmatanku. Kupeluk erat tubuhnya yang bermandikan keringat, lalu memgecup kepalanya berkali-kali, hingga kurasakan semburan sperma itu berhenti.

Pram pun melepaskan pijakan tangannya, membebaskan kedua kakiku hingga bisa menapak ke lantai.

“Lemes banget..” gumanku sambil memeluk erat tubuhnya.

Pram mengacuhkanku, ia menyandarkan kepalanya didadaku. Aku yakin, ia pun merasakan hal yang sama.

“Iya, lemes banget.” katanya kemudian. Aku tertawa pelan, lalu mengusap kepalanya dengan lembut.

“Tapi enak..” sambungnya lagi.

“Apanya yang enak?”

“Punya ibu..”

Aku tersenyum, lalu mencubit ujung hidungnya.

Pram masih membenamkan penisnya dalam liang vaginaku, membiarkannya begitu saja, tanpa menggerakkan pinggulnya.

“Punya ibu itu ada namanya sayang.. disebuting dong.” protesku manja.

Pram tertawa pelan, kedua tangannya meremas lembut payudaraku.

“Iya.. memek ibu enak.”

“Nah.. gitu kan enak didenger.. ibu suka kalo kamu ngomong jorok gitu sama ibu. Lain kali gak perlu malu-malu sama ibu.”

Pram kembali tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke arahku dan melumat bibirku.

“Kontol sayang juga enak..” bisikku, sambil menggoyangkan pinggulku, mempermainkan penisnya yang masih mennancap di vaginaku.

“Lagi…?” tanyaku.

Pram tersenyum, lalu menggelengkan kepala.

“Ibu harus siap-siap kerja..” jawabnya.

Pram benar. Aku benar-benar terbuai kenikmatan sampai lupa waktu. Sejenak kualihkan pandangan ke arah jendela. Dibaliknya, samar-samar terlihat suasana diluar telah terang. Pagi telah datang.

“kita mandi yuk.” katanya kemudian.

Perlahan, Pram menarik keluar penisnya dan sperma yang mengisi liang vaginaku segera mengalir keluar.

Aku beringsut, menjauhkan pinggulku dari kasur dan membiarkan sperma itu menetes, jatuh ke lantai. Mata kami tertuju pada tetesan itu, dan Pram tersenyum.

“Nanti saya bersihkan bu.” gumannya, lalu menarik kedua lenganku agar segera bangkit berdiri.

“Nanti malam ibu dipijetin ya..” pintaku saat telah berdiri di hadapannya.

Pram mengangguk, lalu mengajakku melangkah meninggalkan kamar itu.

“Abis dipijet, ibu pengen dientotin lagi..” sambungku sambil melangkah disisinya, menuju ke kamarku.

Pram tertawa, lalu menepuk pelan pantatku.

Kami mendapati Nova masih tertidur pulas. Tampaknya ia tak terganggu oleh suara permainan kami, sehingga masih terlelap. Pram mengecup pipi putriku, lalu mengajakku kekamar mandi.

= = = = =

“Hati-hati dijalan ya bu.” pesan Pram padaku sambil menggendong Nova.

“Iyaaa.. kalian yang akur dirumah. Jangan lupa, susu untuk Nova, makan siangnya juga.”

Kukecup kening putri kecilku, lalu mengecup bibir Pram. Sekali lagi, Nova tersenyum melihat kami berciuman dihadapannya.

Tangannya yang mungil menggapai wajah kami berdua dan terus menatap kami dengan mata berbinar-binar.

Sekali lagi kukecup pipinya, lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Saat menunduk, Pram mengecup kepalaku yang telah tertutupi jilbab.

Sungguh awal hari yang indah bagi kami, walaupun gerimis mulai turun, membelai bumi dengan mesra.

Sambil menyetir, aku tersenyum karena telah memulai hari ini dengan sempurna.

semua akan baik-baik saja’ gumanku dalam hati.

Sebagai seorang ibu, penerimaan terhadap putriku adalah hal mutlak yang wajib, bagi laki-laki yang ingin menjadi pendamping hidupku. Nova adalah salah satu kunci untuk meraih hatiku, bukan hanya sekedar mencintaiku dan menyenangkan hatiku.

Melihat kebaikan Pram padaku dan putri kecilku, dan bagaimana Nova begitu senang dan betah menghabiskan waktu bersamanya, membuatku turut merasakan bahagia.

Pram melakukannya dengan sempurna karena bukan hanya menerimaku, tetapi sekaligus menerima kehadiran Nova.

Aku sangat yakin, hati seorang ibu akan merasa bahagia jika mengalami hal seperti yang terjadi padaku. Penerimaan secara utuh terhadapku berarti menerima aku dan buah hatiku. Pram telah dan sedang melakukannya.

Sesaat setelah aku memarkirkan mobil, Sandi pun terlihat memasuki gerbang kampus dan memarkirkan kendaraannya disamping mobilku.

“Pagi mbak Rindi.” sapanya ramah.

“Pagi mas Sandi. Mau kerja?”

“Iya mbak, biasalah, nyiapin materi pengajaran semester depan.”

“Benar-benar dosen teladan. Cocok banget jadi dosen favorit.” kataku sambil melangkah bersisian bersamanya.

“Namanya juga tugas mbak, jadi ya sebisa mungkin dikerjakan dengan baik.”

“Kok gak dianterin Pram?” tanyanya.

“Pram lagi sibuk mas, siapin bahan skripsi.”

Sandi menganggukkan kepala.

“Mas mau sarapan dulu?” tanyaku ketika Sandi terus mengiringi langkahku menuju ke warung.

“Iya mbak, kebetulan tadi belum sarapan dirumah.”

Tak terasa, percakapan singkat itu mengantarkan kami hingga kedepan warung. Senyum ramah si ibu pemilik warung menyambut kedatangan kami.

Sepanjang pagi, tak ada kejadian yang berarti. Semua berjalan seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah. Lelah tubuhku tak begitu terasa, karena aku merasakan damai dan bahagia dalam hati. Rasa-rasanya tak sabar lagi untuk segera pulang kerumah, berkumpul bersama kedua orang yang sangat berarti dalam hiduku kini.

Sambil beristirahat, kunikmati segelas kopi hangat sambil menemani Sandi menyantap sarapannya.

“Mbak Rin penikmat kopi?”

“Enggak mas, cuman biar gak ngantuk aja kok.”

“Saya kira pecinta kopi. Saya kurang suka dengan kopi. Hanya sesekali aja minumnya.”

“Iya, sama. Saya juga begitu mas.” jawabku lalu kembali menyeruput kopiku.

“Kalo gitu, kapan-kapan bisa ngopi bareng.”

Aku tersenyum padanya, sambil memegang gelas berisi kopi dihadapanku.

“Gak tau mas, soalnya..”

“Iya, Pram..” sambungnya setelah memotong kalimatku.

Aku mengangguk pelan.

“ya gapapa mbak. Saya paham.”

“Mas Sandi pasti punya banyak teman. Coba ajak mereka ngopi bareng.”

“Hampir semua teman-teman saya sudah berkeluarga dan sibuk dengan kehidupan mereka. Agak susah untuk mengajak mereka berkumpul, atau sekedar ngopi bareng.”

“Kalo udah kerja, udah berkeluarga, emang sulit untuk mencari waktu buat bersantai.” gumanku.

Sandi mengangguk, setuju dengan apa yang kukatakan.

“Karena keluarga, kerja, adalah prioritas utama.” timpalnya.

Sisa hari berlalu begitu saja karena warung sepi pengunjung. Saat jam nakan siang pun keadaan tetap sama, sepi. Beberapa pegawai kampus dan mahasiswa yang memang menjadi pelanggan setia menjadi wajah-wajah yang mengisi kesunyian suasana warung.

Tepat jam setengah dua siang, si ibu pemilik warung pun memutuskan untuk menutup warung, karena gerimis yang turun sejak pagi tak kunjung reda.

Suasana dijalan raya pun sedikit lebih sepi dari biasanya, lalu lalang kendaraan yang selalu membuat kemacetan tak nampak disepanjang jalan yang kulalui.

Gerimis yang membasahi kota pelajar nyaris merata disemuah wilayah, bahkan kedaerah pinggiran seperti tempat tinggalku.

Saat membuka pintu depan rumah, samar-samar terdengar suara televisi dari ruang tengah, namun tak ada tanda-tanda kehadiran Pram dan Nova.

Aku melangkah pelan, menuju ke dalam dan mendapati Nova, putri kecilku tengah terlelap didada Pram dalam baby carrier, begitu juga dengan Pram.

Diatas meja, sebuah mangkuk sisa bubur makanan Nova tergeletak disana, segelas air putih, dan dot berisi susu untuk Nova.

Kutundukkan wajah, lalu mengecup kepala putriku, lalu mengecup kepala lelakiku, Pram.

Nova tak bereaksi, namun Pram segera membuka mata dan memandangiku. Dengan pelan, kuraih tubuh Nova, lalu membawa ke kamar tidur dan kembali membaringkannya diatas ranjangku.

Senang dan bahagia, itulah yang kurasakan saat pulang kerumah dan menemui orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.

Hidupku terasa lengkap, dan seperti berjalan normal normal kembali.

Pram sedang mencuci peralatan makan Nova saat aku menyusulnya kedapur.

“Sayang udah makan siang?” tanyaku sambil berdiri disampingnya.

“Sudah bu, tadi saya makan dulu, trus suapin bubur Nova.”

“Ibu sudah makan?”

“Sudah, tadi malan di warung. Nova tidur udah lama?”

“belum lama kok bu, tadi habis makan trus nonton tv, trus ketiduran.”

Pram menyeruput kopi diatas meja makan, lalu duduk disana.

“Kalo masih ngantuk, istirahat dulu. Tidur siang.” kataku.

“Enggak bu, mau beresin kamar tidur dulu, dari tadi belum sempat saya bereskan.

“Udah, gak usah dibereskan. Nanti aja. Sekarang istirahat dulu.” kataku, sambil melangkah ke arahnya.

Pram merengkuh tubuhku, tangannya melingkar dipinggangku lalu menyandarkan kepala di perutku. Segera kuusap kepalanya dengan mesra.

“Ibu juga harus istirahat.” gumannya.

Aku mengangguk, lalu menunduk dan kembali mengecup kepalanya.

“Ibu ganti pakaian dulu ya.” kataku kemudian.

Pram melepaskan pelukannya, dan membiarkanku berlalu sementara ia tetap duduk disana, menikmati kopinya dalam keheningan.

Dikamar tidur, aku kembali tersenyum setelah melihat putri kecilku masih terlelap. Sekali lagi kuusap kepalanya, lalu mengecup pipinya.

Sejenak aku duduk ditepian ranjang dan memandanginya.

Semua akan baik-baik saja’ gumanku dalam hati.

Beberapa saat berlalu, dan aku beranjak menuju kedepan lemari pakaianku, memilih pakaian yang lebih santai.

Mataku tertuju pada beberapa helai kemeja lengan panjang pemberian Pram beberapa wakru lalu, dan ketika aku mencoba mengenakannya, ternyata ukurannya sesuai dengan tubuhku.


Setelah berganti pakaian, aku kembali ke dapur, menyusul lelakiku yang tengah duduk bersantai dengan segelas kopi.

“Seksi..” gumannya setelah melihatku berdiri disampingnya.

“Ibu boleh minta kopinya?” Pram tersenyum, lalu mengangguk dan memberiku kopi miliknya.

Kuteguk sedikit bagiannya lalu menyerahkan gelas itu padanya.

“Sini..” gumannya sambil menuntun tubuhku untuk duduk diatas pangkuannya.

Aku duduk menyamping diatas pahanya dengan kedua tangan melingkar dileher. Pram memegang pinggangku.

“Bajunya cocok di badan ibu?”

“Iya, agak kegedean sih, tapi bahannya bagus, jadi enak dipakai.”

“Emang baju mahal itu beda.” sambungku.

Pram tertawa, lalu mencubit pipiku.

“Mahal atau enggak, tapi emang pas dibadan ibu.” gumannya.

Pram mengusap pahaku hingga kebagian pangkalnya, lalu kembali memcubit pipiku dengan gemes.

“Kok gak pakai celana dalam?” tanyanya sambil kembali mencubit pinggangku.

“Maless.. lagian kan cuman dirumah aja, sama sayang aja.”

“Nanti kalo ada tamu gimana?”

“Gak akan ada tamu hujan-hujan gini.”

Pram menggelengkan kepala lalu menjamah payudaraku.

“Gak pakai bra juga.” gumannya.

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum.

“sayang gak suka?” tanyaku.

Ia menggeleng pelan lalu mengusap pipiku dengan penuh kelembutan.

“Saya suka, yang penting ibu nyaman.” jawabnya.

Kudekatkan wajahku, lalu melumat bibirnya dengan lembut.

Inilah keluarga yang kuimpikan, inilah jalan hidup yang kuinginginkan. Aku tahu, aku tidak sedang bermimpi. Pram adalah sosok nyata yang mengisi kekosongan hariku, hatiku.

Aku telah memiliki Nova, buah hati yang menjadi penyemangat dan harapanku. Dan setelah kepergian suamiku, semesta mempertemukanku dengan lelaki muda baik hati, yang menghadirkan senyum dan tawa. Rumah ini memiliki kehidupan lagi karenanya.

♡♡♡ Seri 10 TAMAT ♡♡♡

Sampai jumpa di seri berikutnya.

Terima kasih :rose:
 
Bimabet
Ceritanya ngalir. Enak dibaca. Cuman ya itu. Konfliknya kurang menggigit.
Mungkin bisa dibumbui dg keadaan suaminya yang bakal jd mantan itu, peliknya proses persidangan, atau si sandi yang mulai kehabisan akal dan sedikit kalap hingga melakukan pemaksaan kepada rindi.
Mohon maaf hu, sekedar saran, bukan maksud mendikte 🙏
Makasih saran dan masukannya ya :rose:
Kalo dari sisi perempuan, apalagi yg dalam kondisi seperti Rindi, berat banget lho. Bayangin aja jadi janda di usia muda, punya anak juga.

Trus ketemu sama cowok yg emang bener2 udah klop dan pas dihati, tapi usianya jauh lebih muda, tajir pulak.

Jadi, maksud aku, yang mau aku sampaikan dlm kisah ini adalah gambaran suasana hati, dilema, galau kalo kata anak jaman sekarang. Bagi pribadi seperti Rindi ( dan bagi perempuan lain yg hidupnya sama seperti ini) aku yakin, rasanya pasti berat banget.

Jadi, kalo tentang konflik suapay kisah ini lebih gimana gitu, kayaknya sih gk ada.

Semua ini tentang suasana hati, tentang perasaan aja sih bang.

Kira-kira gitu ya.

Makasih atas sarannya bang :ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd