Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Rekah Dua Bulan

Earmuffs

Semprot Baru
Daftar
25 Oct 2017
Post
30
Like diterima
9
Bimabet
Pembuka

Selamat pagi / siang / sore / malam semuanya.

Izinkan saya, seorang pemula, untuk membuat cerita baru di sini.

Cerita ini sangat minim adegan "panas". Jadi, jikalau saja anda tidak berkenan, anda sekalian dapat memilih untuk membaca cerita lain yang tersedia di forum ini.

Dan karena cerita ini mengandung beberapa topik yang mungkin bersifat "sensitif", dimohon dengan sangat kepada semua pembaca agar dapat menerima cerita ini dengan pikiran yang terbuka. Terima kasih.



Daftar Isi:

  1. Bab 1
  2. Bab 2
  3. Bab 3
  4. Bab 4 - Page 2
  5. Bab 5 - Page 2
  6. Bab 6 - Page 2
  7. Bab 7 (Terakhir) - Page 2
 
Terakhir diubah:
Bab 1

Suasana lounge hotel saat ini tak begitu ramai. Hanya terlihat beberapa pasang manusia yang tengah duduk dengan santainya di meja makan sembari mendengarkan lantunan merdu seorang biduan wanita bersama band pengiringnya yang bermain di panggung kecil lounge tersebut. Lesunya kegiatan di lounge hotel membuat para pelayan lebih memilih untuk bercengkerama dengan kerabat kerja mereka. Lani Prawinata yang mengenakan kemeja merah marun dan kacamata berbingkai sedikit bulat baru saja memasuki area lounge dan memilih untuk duduk di salah satu sudut terpencil yang tak terlalu terlihat. Gurat di wajahnya menunjukkan bahwa dirinya sedang ingin sendiri saat ini. Satu pelayan kemudian mendatanginya dan memberikannya sebuah buku menu. Ia segera menolak dan memberitahu pelayan bahwa ia hanya ingin memesan segelas anggur. Tak lama, pelayan itu pun pergi.

Lani kembali tenggelam dalam kesendiriannya. Baginya, malam ini berlalu begitu lambat, dan sesuatu yang tengah terperam di dalam hatinya membuat pergerakan malam semakin jelas terasa. Ia sendiri tidak tahu pasti apa yang sedang terperam di dalam hatinya. Namun yang jelas, hal itu berhasil membuat nuansa hatinya meredup.

Ia kemudian memutuskan untuk memejamkan matanya. Ia berharap usahanya itu setidaknya mampu mengenyahkan sejumput keresahan yang menghinggapinya. Dan ia terus bertahan seperti itu.

Sebelum akhirnya sebuah suara membuatnya harus membuka mata kembali.

"Ini pesanan orange juice anda." Ucap seorang pelayan dengan baki di tangannya dan segelas orange juice di atas baki itu.

Alis Lani bertaut. "Maaf, tidak pesan."

Sang pelayan terlihat bingung. Ia memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri berulang kali, berusaha mencari dimana pelanggan sebenarnya yang memesan segelas orange juice itu.

Kebingungan yang melanda keduanya akhirnya tersudahi tatkala seorang perempuan berambut ikal dengan kulit sawo matang yang duduk tak jauh dari Lani memanggil sang pelayan.

"Mbak ? Saya yang pesan."

Sang pelayan kemudian memberikan gestur maaf kepada Lani dan mengantarkan pesanan tersebut kepada perempuan tadi. Melihat masalah sudah selesai teratasi, Lani pun menyenderkan kepalanya di senderan kursi sofa dalam - dalam dan kembali menutup mata.

"Mbak ?"

Lagi - lagi sebuah suara. Ia terpaksa membuka matanya kembali dan menengok ke arah suara tersebut berasal. Ternyata perempuan berambut ikal tadi.

"Ya ?"

"Kalau boleh tahu, sekarang jam berapa ya ?" Tanya perempuan itu. "Saya tidak bawa jam."

Lani melirik arloji yang tersemat di pergelangan tangan kanannya.

"Jam 9 malam." Jawab Lani sekenanya. Jujur saja, ia sedikit kesal diberi pertanyaan. Bukan karena apa yang ditanyakan perempuan itu, melainkan momennya.

Perempuan berambut ikal itu kemudian tak membalas jawabannya dengan kata - kata, melainkan dengan anggukan kepala dan senyum simpul. Melihat hal ini, Ia mulai merasa tak enak. Ia berpikir tak seharusnya menjawab pertanyaan perempuan itu dengan sangat dingin. Perempuan itu tidak salah. Dia hanya ingin bertanya mengenai waktu.

"Sedang menunggu seseorang, mbak ?" Tanya Lani. Ia akhirnya memutuskan untuk berbasa - basi dengan perempuan itu.

"Oh, enggak." Jawab perempuan itu sambil menggeleng - gelengkan kepalanya. "Mbak sendiri ?"

Lani tersenyum. "Enggak juga."

Pembicaraan yang terjadi saat itu terhenti karena seorang pelayan telah membawa segelas anggur yang dipesan oleh Lani sebelumnya.

"Mbak, boleh duduk bareng ?" Tanya perempuan itu.

Lani berpikir sejenak. "Boleh." Jawabnya sedikit ragu.

Perempuan itu pun membawa minuman dan tasnya untuk pindah ke kursi yang berada di depan Lani.

"Tenang saja, bukan MLM." Ucap perempuan itu sembari tersenyum, seperti bisa membaca kecurigaan Lani. Ia pun akhirnya duduk berhadap - hadapan dengan Lani.

"Tempat ini cukup sepi." Tanya perempuan itu.

"Ya, mungkin karena sekarang bukan weekend." Jawab Lani.

"Kamu sering menginap di sini ?"

"Lumayan."

Perempuan itu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Ku dengar hotel ini berhantu." Ucap perempuan itu setengah berbisik.

Lani tersenyum. "Ah, itu cuma bualan belaka."

"Tidak, masalahnya temanku pernah menginap di sini, dan katanya dia pernah melihat hantu.” Kata perempuan itu. “Waktu itu dia sedang check in jam 2 pagi, dan melihat ada anak kecil berambut panjang yang berbaju jaman dulu di sekitar lounge ini, berdiri mematung, dan menatap dia. Aku sedikit takut sekarang."

"Kalaupun ada, sekarang baru jam 9. Hantunya juga mungkin masih tidur." Jawab Lani. Ia memang tak begitu percaya dengan hal seperti itu. "Apakah itu alasan kenapa kamu mau duduk bersamaku ?"

Lama perempuan itu tak menjawab.

"Bisa dibilang.....iya." Jawabnya sambil tersenyum konyol. "Tapi bukan itu tujuan utamaku."

Alis Lani bertaut.

"Aku penasaran denganmu."

"Maksudmu ?" Tanya Lani kembali.

"Sejak masuk tadi, aku lihat wajahmu begitu murung. Apakah harimu sedang buruk ?"

Lani menggeleng - gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Aku hanya..... entahlah." Ia menyerah. Ia memang sedang kesulitan menjelaskan perasaanya sekarang.

"Tidak apa - apa kalau kamu tak mau membicarakannya. Omong - omong, siapa namamu ?" Tanya perempuan itu sembari menjulurkan tangannya.

Lani menyodorkan tangannya. "Lani. Kamu ?"

"Saya Dinar.” Ucap Dinar sembari menjabat tangan Lani. “Minumlah minumanmu itu. Sudah pesan mahal - mahal, tidak kamu minum."

Lani tertawa. Malam ini sepertinya tidak seburuk yang ia pikirkan.

-----

Selanjutnya, mereka berdua terus berbincang - bincang. Karena Dinar selalu saja mendominasi, pembicaraan pun menjadi lebih sering bertemakan hantu dan segala eksistensinya di dunia. Tidak ada satupun kalimat yang diutarakan Dinar masuk dan mengendap di otak Lani. Meski begitu, mendengar seseorang mengoceh dengan menggebu – gebu rupanya terasa begitu mengasyikkan bagi Lani.

Mereka begitu larut dalam perbincangan hingga tak menyadari bahwa waktu telah berlalu hingga satu jam. Sudah tidak ada lagi nyanyian yang terdengar di lounge. Biduan beserta personil band pengiringnya sudah turun panggung dari setengah jam yang lalu. Lounge semakin sepi. Hanya tinggal mereka berdua yang masih setia untuk duduk di situ.

"Hoamm..." Dinar menguap. Ia menutupi mulutnya yang terbuka lebar dengan tangannya.

"Kamu sudah mengantuk ?" Tanya Lani.

"Tidak-"

"Tapi kamu menguap." Potong Lani.

"Memang." Jawab Dinar. "Tapi aku belum merasakan kantuk." Sebuah senyum tersungging di bibirnya. "Jam berapa sekarang ?"

Lani melihat arloji yang tersemat di pergelangan tangan kanannya. "Jam sepuluh. Wah, tidak terasa ya ?"

"Iya. Hoaamm..." Dinar kembali menguap.

"Lihat, kamu menguap lagi." Kata Lani. "Itu tandanya tubuh kamu perlu istirahat."

"Baiklah, nyonya." Ucap Dinar dengan penekanan pada kata nyonya. "Aku mau kembali ke kamar. Kamu masih mau disini, atau-"

"Tidak." Potong Lani. "Aku juga akan kembali ke kamarku."

Dinar mengedikkan bahunya. "Kalau begitu,” Ucapnya sembari berdiri dan membawa tas, “marilah kita pergi."

"Kamu tidak mau membayar minuman yang kamu pesan ?" Tanya Lani dengan sebuah senyum di pipi.

"Astaga !" Dinar membiarkan mulutnya terbuka lebar, begitu lucu. Ia kembali duduk. "Bagaimana aku bisa lupa ?"

Lani kemudian memanggil seorang pelayan dan meminta bon pembayaran untuk mereka berdua. Pelayan itu pun kembali dengan dua buah bon pembayaran. Lani lantas mengeluarkan dompet dari tasnya dan mengambil dua lembar seratus ribu dari dalam dompetnya.

"Biar aku yang bayar minumanmu." Ucapnya.

"Ah, tak perlu." Tolak Dinar.

"Hitung - hitung ucapan terima kasih dariku untuk perbincangan kita malam ini.” Kata Lani.

Dinar tak bisa menolak. Lani pun memberikan uang tersebut kepada sang pelayan dan menolak kembalian yang ditawarkan sang pelayan. Ia dan Dinar kemudian pergi dari lounge dan berjalan ke tempat lift yang berada persis di samping lounge dan masuk ke dalam lift tersebut.

"Lantai berapa ?" Tanya Dinar di dalam lift.

"Sembilan." Jawab Lani.

Dinar menekan tombol bernomor 9 dan 11 pada panel lift. Pintu lift kemudian tertutup dan lift pun mulai meluncur ke atas.

“Memangnya kamu tinggal di kamar nomor berapa ?" Tanya Dinar lagi.

"912." Jawab Lani.

Selama lift bergerak, ia hanya mengamati angka pada layar informasi di atas panel lift yang terus berubah - ubah. Tetapi, sudut matanya menangkap bahwa Dinar sedang menatapnya. Tak ia gubris.

Tanpa ada perhentian, lift dengan segera sampai di lantai 9. Pintu lift pun terbuka.

"Dah." Ucapnya sembari melambaikan tangan dan melangkah keluar dari lift.

"Dah." Balas Dinar. Pintu lift menutup seusai Lani keluar dari dalam lift. Sepersekian detik sebelum pintu lift benar - benar tertutup, ia sempat berbalik. Terbesit dalam benaknya untuk mengejar Dinar dan berkenalan lebih jauh dengannya. Tapi ia urungkan niat itu. Lift sudah naik ke lantai sepuluh dan dirinya pun memutuskan untuk kembali berjalan di koridor hotel menuju kamarnya.

------

Lani kini telah sampai di dalam kamarnya. Hal yang ia lakukan selanjutnya adalah melepas kacamatanya dan mengganti pakaian yang ia kenakan dari kemeja berwarna merah marun menjadi sebuah t-shirt berwarna hitam. Tak lupa, ia juga membasuh wajah dan membersihkan make up yang ada pada wajahnya. Setelah semua kegiatan bersih - bersih itu selesai, ia naik ke atas tempat tidur dan mulai memejamkan mata. Ia berpikir bahwa segalanya telah berakhir untuk hari ini.

Tidak secepat itu.
 
Terakhir diubah:
Alur sederhana,mengalir secara alami,sepertinya menarik..semoga bukan kisah horor..
 
Bab 2

Dering telepon bergema dengan lantangnya di kamar Lani. Ia pun segera menjulurkan tangannya untuk mengangkat telepon yang terletak pada meja kecil di sebelahnya.

"Halo ?" Sapanya dengan setengah malas.

"Ini Dinar." Jawab Dinar di ujung sana. "Aku tak bisa tidur. Bisakah kamu kemari ? Kita bisa melanjutkan perbincangan di sini."

"Baiklah." Ucap Lani setengah heran. Ia masih berpikir, mengapa Dinar tak berbicara dengannya lewat telepon saja ?

"Aku tunggu kamu di sini." Timpal Dinar.

Seketika saja Lani menyadari sesuatu.

"Tunggu, jangan ditutup dulu teleponnya !"

"Ada apa ?" Dinar terdengar seperti terkejut.

"Berapa nomor kamarmu ? Aku belum tahu."

"Oh iya. 1255."

Lani terdiam lama.

"Halo ?” Sapa Dinar. “Kamu masih bangun ?"

"Iya." Kata Lani. "Aku akan segera ke sana."

Ia menutup panggilan dan membiarkan pikirannya mengalun sejenak. 1255. Angka tersebut mengingatkan dirinya akan seseorang yang spesial di dalam hidupnya. Ia sudah lama tak menemui orang itu. Mungkin, orang itulah yang menyebabkan hatinya begitu resah hari ini.

Ia kemudian bergegas bangkit dari tempat tidurnya, mengambil jaket, kacamata, mencabut kartu hotel dari tempat yang menyalakan listrik untuk seisi kamar, lalu pergi meninggalkan kamar itu.

------

Lani sudah berada di depan kamar Dinar. Ia memencet tombol bel pada saklar berwarna putih yang berada tepat di sebelah kanan pintu kamar Dinar.

"Housekeeping !" Ucap Lani bercanda. Ia lantas mendengar suara langkah kaki seseorang yang mendekat ke arah pintu. Pintu pun lalu terbuka.

"Hai." Sapanya. Dinar yang sudah membuka pintu tak membalas sapaan itu. Ia hanya terperanjat memandangi Lani.

Lani mengernyit. Ia merasa aneh. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya: rambutnya digerai lurus hingga menyentuh area punggung, dan kacamatanya masih setia melindungi kedua matanya. Atau justru penampilan tanpa make upnya yang terlihat janggal ?

"Nar ?"

"Mmmmm...." Dinar menggeleng - gelengkan kepalanya.

"Kamu kenapa ?" Tanya Lani.

"Tidak. Masuklah. Duduk saja di tempat tidur." Jawab Dinar sembari membuka pintu kamar lebih lebar dan mempersilahkan Lani untuk masuk. Lani pun melangkahkan kakinya kedalam kamar, menaruh kartu kamar hotelnya di meja dan segera duduk di tempat tidur; sementara Dinar menutup pintu dan tetap berdiri disana, mematung. Kedua bola matanya tak pernah lepas dari wajah Lani.

"Serius, kamu kenapa ?"

"Kamu cantik sekali."

"Cantik ?” Tanya Lani. “Tanpa make up seperti ini ?"

"Iya.” Dinar mengangguk. “Aku lebih suka kamu begini."

Lani tersenyum."Terima kasih. Kamu juga."

Dinar pun akhirnya bergerak dan duduk disebelah Lani. Ada keheningan yang melingkupi mereka berdua.

"Kita tak mungkin menghabiskan waktu dengan berdiam diri, bukan ?" Tanya Lani.

"Oh iya, maaf. Sampai dimana kita tadi ?" Ujar Dinar seperti orang linglung.

"Kita bahkan belum memulai.” Kata Lani sembari tersenyum kecil. “Apa kamu sedang sakit ?"

Tangan Lani bergerak untuk memegang dahi Dinar. Dengan cekatan, Dinar menggengam tangan Lani dan memindahkannya jauh - jauh dari daerah dahinya.

"Tidak. Aku tidak sakit." Jawab Dinar tegas.

Hening kembali. Kamar ini seakan - akan penuh sesak dengan udara kecanggungan.

"Baiklah, aku akan mulai berbicara." Ucapnya memecah kebuntuan. "Mengapa kamu menyebut dirimu sebagai housekeeping tadi ? Aku kira kamu benar – benar housekeeping."

"Tidak, aku cuma bercanda. Teman - temanku ketika menginap di hotel selalu berkata seperti itu jika ingin masuk kamar menemuiku. Tidak penting dan tidak begitu lucu." Jawab Lani. Dinar menganggukan kepalanya.

"Mau minum teh atau kopi ? Aku buatkan jika kamu mau." Tanya Dinar sembari berdiri dan berjalan menuju sebuah meja kecil didepan tempat tidur yang menyediakan termos, botol air mineral, serta beberapa kemasan kecil teh, kopi, dan gula.

"Tidak, terima kasih." Jawab Lani. Dinar hanya mengedikkan bahunya. Ia sedang sibuk menuangkan isi botol kemasan air mineral ke dalam termos, membuat teh untuk dirinya sendiri. "Kamar ini...."

"Kenapa dengan kamar ini ?" Seketika Dinar menghentikan aktivitas membuat tehnya dan menengok ke arah Lani.

"Tidak, sebelum kamu mengasosiasikannya dengan hantu, tidak.” Lani menggelengkan kepalanya. “Aku tidak melihat hantu."

Dinar menghela napas dan kembali melanjutkan kegiatannya.

"Hanya saja nomor kamarnya.... mengingatkanku pada seseorang.” Ucap Lani. “Itu tanggal lahir ibuku: 1 Februari 1955."

"Memangnya kenapa dengan ibumu ?"

"Kami sangat dekat, setidaknya sampai SMA. Lalu aku kuliah dan semuanya berubah. Aku tidak dekat lagi dengan ibuku. Semua perkataannya terlihat salah. Apa yang menjadi pedomannya bukanlah apa yang menjadi pedomanku. Begitu pun sebaliknya. Aku tahu ini hal lumrah yang dialami setiap orang, hanya saja..... kami dulu sungguh dekat. Ada perasaan bersalah yang tumbuh pada diriku. Yang kulihat setiap hari dari ibuku hanyalah raut kekecewaan. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubah itu. Apa yang aku bicarakan tak akan didengar oleh ibuku; sementara apa yang ibuku bicarakan takkan didengar olehku. Perbincangan kami tak pernah ada ujungnya dan itu tak lebih dari sebuah kesia - siaan belaka." Jelas Lani panjang lebar. "Aku menghormati ibuku dan sepertinya berbicara dengannya hanya akan membuatnya semakin kecewa. Jadi aku memutuskan untuk mengurangi waktu berbicara dengan ibuku."

Dinar sudah selesai memasukkan air ke dalam termos. Ia menyalakan termos dan berjalan menuju tempat tidur untuk duduk.

"Selesai kuliah, aku memutuskan untuk pindah kota dari kota ini ke kota sebelah untuk mencari pekerjaan. Aku hanya memberitahu ibuku lewat sms, dan sudah, aku tidak bertemu dengannya untuk sekedar minta restu, atau apapun itu." Ujar Lani. "Ya, kurasa aku anak durhaka." Ia menundukkan kepalanya.

"Sejak saat itu pula, aku hanya menemuinya jika aku mendapatkan libur panjang, dan kegiatan itu sudah terhenti sejak dua tahun yang lalu." Lanjutnya.

"Jadi kamu sudah tidak bertemu dengan ibumu selama dua tahun ?" Tanya Dinar.

"Iya.” Jawab Lani. “Dan besok tanggal satu, tepat hari ulang tahun ibuku. Mungkin itulah alasan kenapa suasana hatiku sedikit kacau hari ini." Ia menatap Dinar lesu.

"Mengapa kamu tak datang mengunjungi ibumu besok ?" Tanya Dinar dengan hati - hati.

"Entahlah, aku merasa malu dan tak pantas." Jawab Lani kembali tertunduk.

"Tak usahlah kamu seperti itu.” Hibur Dinar. “Besok aku temani, jika itu bisa membuatmu mau."

Lani mendongakkan kepalanya. Wajahnya menjadi sedikit cerah. "Kamu serius ?"

"Iya, sekalian aku check out paginya.” Jawab Dinar. “Kebetulan, aku tak punya acara besok, setidaknya hingga malam."

Lani tersenyum. Corak kelabu yang ada di dalam pikirannya setidaknya dapat tersingkirkan, meski hanya sejumput.

"Baiklah. Terima kasih." Kata Lani. Dinar tersenyum. Ia kemudian menepukkan kedua telapak tangannya.

"Berceritalah mengenai masa SMAmu."

Lani mengernyit. "Memangnya ada apa dengan masa SMA ?"

"Menurutku membahas masa SMA itu selalu menyenangkan." Balas Dinar. "Kamu punya satu kata yang bisa dengan tepat menggambarkan masa SMAmu ?"

"Ada. Tunggu sebentar." Lani menaruh telunjuknya di dagu dan memandang lekat langit - langit kamar. "Mmmm.... Neraka."

Dinar tergelak.

"Ya begitulah.” Lani menatap Dinar. “Sampai sekarang aku masih benci dengan orang - orang yang dengan gembira berkata ‘masa - masa SMA adalah masa - masa paling menyenangkan....’ Persetan dengan itu. Semua kebahagiaan yang ada pada jenjang pendidikan itu berakhir di TK. Mungkin SD."

"Mengapa berhenti di SD ?" Tanya Dinar penasaran.

"Karena setelahnya, kita semua sudah berubah menjadi monster. Kita semua adalah para bajingan yang berusaha menyelamatkan diri dari ganasnya persaingan, apapun itu: kepintaran, ketenaran, skill.... Ego kita melonjak drastis, saling sikut - menyikut. Ingat bagaimana ortu kita begitu ‘rewel’ dalam mengurus kita saat SD ? Saat SMP, hal tersebut justru terjadi pada kita, apalagi SMA. Orang tua kita justru tak lagi melakukan hal serupa. Mereka hanya bertindak di belakang layar, menyuruh kita untuk lebih giat lagi." Jawab Lani begitu lancar.

"Masa SMAku tidak seperti itu." Sanggah Dinar.

"Beruntungnya dirimu." Ucap Lani. "Rangking berapa kamu dulu di kelas ?"

"10 besar."

"Pantas." Kata Lani ketus.

"Tapi kan rangking tidak memepengaruhi apakah seseorang punya teman atau tidak." Bantah Dinar.

"Jelas mempengaruhi. Ya memang tidak bisa dikatakan teman sih... Tapi setidaknya kamu akan didekati siswa maupun siswi di kelasmu dan dimintai jawaban ketika ulangan. Jika kamu konsisten dalam memberikan jawaban dan dapat diandalkan, kamu bisa punya banyak teman dari situ." Ujarnya. Ia mengedikkan bahu. "Hanya olahragawan, pemain gitar, pemberi jawaban ulung, kutu buku, dan pemilik wajah rupawan yang bisa punya banyak teman. Terlepas itu teman atau,” Ia membuat tanda kutip dengan jemarinya, “‘teman’. Selebihnya.... siap - siaplah menjadi hantu kelas selama tiga tahun."

Dinar menganggukan kepalanya pelan. "Masa SMAmu benar - benar buruk ya ?"

Lani memicingkan mata. "Memang apa yang kamu asosiasikan ketika mendengar kata neraka ?"

Dinar diam tak menjawab.

"Muak aku dengan masa SMA." Rutuk Lani. "Masa perkuliahan memang tak jauh beda, tapi.... aku lebih memilih mengulang masa kuliah daripada SMA. Setidaknya bisa lebih bebas di kampus."

Ting ! Terdengar sebuah bunyi yang berasal dari termos. Bunyi tersebut menandakan bahwa air yang dimasak Dinar sudah panas.

"Tunggu sebentar ya ?" Ucap Dinar sembari beranjak dari tempat tidur. Ia pergi ke tempat dimana termos itu berada dan segera menuangkan isinya ke dalam gelas. Tak lupa, ia juga mengeluarkan sebungkus teh dan mencelupkannya ke dalam gelas tersebut. Sembari menunggu Dinar menyelesaikan proses membuat tehnya, Lani pun memutuskan untuk bersenandung.

"Mmmmm...."

"Lagu apa itu ?" Tanya Dinar sembari membawa gelas yang berisi tehnya dan duduk disebelah Lani.

"Tidak ada." Jawab Lani. "Aku hanya mengarang."

Lani kembali melanjutkan senandungnya. Senandung yang terdengar sayup itu membuat Dinar mengernyitkan alisnya. Jelas ada yang mengganjal dalam benaknya.

"Tunggu sebentar. Kamu penyanyi ?"

"Bukan."

"Suaramu sedikit familiar. Bisakah kamu nyanyikan satu lagu untukku ?"

Lani mengangguk. Ia segera menjernihkan kerongkongannya dan mulai bernyanyi.

"Aku masih menunggu~"

"Dan bila hujan atau terik~ Kamu perempuan itu !" Sergah Dinar. "Astaga, sedari tadi aku berbincang dengan artis." Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Tidak usah berlebihan." Kata Lani sembari tersenyum namun tetap merendah.

"Lagumu yang satu itu benar - benar meledak empat tahun yang lalu." Ucap Dinar sebelum menyeruput isi teh yang ada di gelasnya. "Kamu tidak, entahlah, membuat album ?"

"Albumku sudah ada dua." Jawab Lani.

Dinar melongo. "Dua ?"

"Ya, kamu saja yang kurang update.” Ujar Lani. “Laguku setelahnya memang tidak ada yang meledak lagi."

Dinar mengedikkan bahunya. "Sepertinya aku akan segera membeli cd albummu nanti."

Lani mencoba mempertegas informasi yang ia dengar. "Cd ?"

"Ya, aku lebih suka yang bentuk fisik." Jawab Dinar. "Ada nilai lebih di dalamnya. Kita bisa tahu siapa saja yang terlibat dalam proses perekaman."

Lani mengangguk - anggukan kepalanya. "Bagus juga seleramu." Tak ada yang bisa dibantah dari kalimat yang dilontarkan Dinar. Dia terlihat seperti penggemar musik sejati.

"Kamu tidak berpikir untuk membuat album baru ?" Tanya Dinar.

"Aku sudah pensiun dari dunia musik." Jawab Lani.

"Kenapa ?"

"Aku tak begitu menyukai profesi itu. Lagipula, suaraku lumayan buruk."

"Siapa yang bilang ?"

"Aku."

"Well, menurutku tidak."

Dinar kembali menyeruput segelas teh hangat yang ada di tangannya, kali ini hingga benar - benar habis.

"Kamu tahu ?" Lani mengedikkan kepalanya kepada Dinar. "Melihatmu minum teh membuatku ingin minum teh juga."

Dinar memanyunkan bibirnya. "Sudah kutawarkan tadi, kamu malah menolak."

Lani tersenyum malu.

"Serius, kamu mau ? Aku buatkan jika kamu mau." Tanya Dinar sembari bersiap berdiri.

"Tidak, terima kasih." Tolak Lani segera.

Dinar mengedikkan bahunya dan kembali duduk. "Baiklah, kalau kamu masih malu, kamu bisa membuatnya sendiri di sana."

Lani tersenyum. "Terima kasih, nanti saja."

Dinar memainkan jemarinya di antara gelas yang dipegangnya. Lani tahu bahwa Dinar tengah berupaya mencari topik, dan ia juga tahu, ketika sudah ada topik yang terlintas dalam benak Dinar, jemari Dinar pun pasti akan berhenti bergerak.

"Berbicara-“

Benar saja.

“mengenai masa SMA-"

"Astaga ! Kita kembali ke topik itu ?" Protes Lani. Dinar seketika tertawa geli melihat reaksi Lani akan ucapannya.

"Iya, kita belum selesai.” Ucap Dinar. “Apakah kamu punya lelaki dambaan yang tak sempat kamu miliki di sana ?"

"Tidak." Jawab Lani singkat dan kaku. Wajahnya berubah menjadi suram.

"Ayolah...." Bujuk Dinar sembari memamerkan wajah memelas dengan sangat luar biasa. Mimik wajah itu tak membuat Lani menjadi luluh. Ia malah makin kesal.

"Sudah kubilang tadi bahwa masa SMAku itu cukup kelam. Aku tidak pernah berpikir ke arah sana pada saat itu. Aku hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa cepat - cepat lolos dari lubang neraka itu." Ujarnya. "Baiklah, aku balas pertanyaanmu." Ia bertolak pinggang. "Apakah kamu punya lelaki dambaan yang tak sempat kamu miliki saat di SMA ?"

"Tidak, karena aku berhasil mendapatkan setiap lelaki yang aku dambakan saat SMA." Jawab Dinar begitu percaya diri.

"Sombong sekali anda." Ledek Lani dalam konteks bercanda.

"Bahkan sampai ada yang berhubungan seksual denganku." Kata Dinar sembari mengedikkan kedua alisnya.

"Apa ?" Mata Lani membesar.

Dinar tersenyum penuh kemenangan. "Iya."

Lalu ia tertawa, geli dengan tindakannya sendiri. Lani menggeleng - gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan ucapan Dinar.

"Berapa orang ?"

"Lima."

"Wow." Lani bertepuk tangan dengan cepat. "Fantastis. Peringkat sepuluh besar dan sudah berhubungan intim sebanyak lima kali..... impian setiap perempuan rebel."

"Kamu sendiri... Apakah pernah begituan ?" Tanya Dinar.

Lani mengernyit. "Begituan ?" Ia tidak paham. Kata yang rancu.

"Kamu tahulah,” Dinar memasukan jempolnya di antara telunjuk dan jari manisnya, “bersenggama."

Lani tertawa kecil. "Kenapa kamu menggunakan kata bersenggama ?"

"Aku tak tahu.” Dinar menggelengkan kepala. “Kata itu terdengar cukup lucu. Senggama....."

Mereka berdua sama - sama tertawa.

"Pernah." Jawab Lani setelah tawanya mereda. "Dengan pacarku dulu, waktu aku kuliah. Ia juga yang memperawaniku, tapi aku tak begitu peduli."

"Bagaimana dengan perempuan ?" Tanya Dinar.

Pertanyaan itu tak kunjung dijawab oleh Lani. Ada bayang – bayang kegetiran yang tiba tiba datang menjelma di benaknya.

"Maaf." Ucap Dinar pelan. "Aku terlalu kasar ya ?"

Lani tertawa kecil. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela kamar hotel.

"Kenapa kasar ? Tidak." Ucapnya sembari menggelengkan kepalanya. "Aku memang belum pernah."

Ia mengambil nafas pelan.

"Tapi aku pernah menyukai seorang perempuan, sekali, waktu SMA dahulu." Lanjut Lani. "Namanya Rini. Dia salah satu teman dekatku. Di antara 'panasnya' neraka SMA, hanya dialah yang bisa membuatnya menjadi sedikit dingin. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana masa SMAku kalau tidak ada dia."

"Seberapa dekat kamu dengannya ?" Tanya Dinar.

"Sangat dekat. Tidak ada hari - hariku tanpa didampingi dia. Dimana ada Lani, di situ ada Rini. Dimana ada Rini, di situ ada Lani. Kita sudah seperti sepasang kakak - adik yang akur." Jawabnya. "Omong - omong, ia sedikit mirip denganmu, minus kelakuannya saja."

Ia menatap Dinar sembari tersenyum kecil sejenak, sebelum kembali melihat jendela kamar.

"Semenjak kuliah, kami jadi jarang bertemu. Dia pindah kota. Pertemuan terakhir kami terjadi sekitar 3 tahun yang lalu. Dan terakhir yang aku tahu, dia sudah punya pacar."

"Perempuan ?"

Lani menggelengkan kepalanya dan kembali menatap Dinar. "Tentu tidak. Laki - laki." Ia kemudian menghembuskan nafas melalui hidungnya dengan cepat.

"Dia bahkan tidak pernah tahu kalau aku suka dengannya."

"Kenapa ?" Tanya Dinar.

"Kenapa ?" Tanya Lani kembali. "Apakah kamu bermukim di negara lain ?"

"Tidak."

"Kalau kamu tinggal di sini, seharusnya kamu tahu kenapa aku tidak memberitahukan perasaan yang aku punya." Ujar Lani. "Aku takut seandainya aku memberitahukan perasaanku, dia akan kaget dan pergi meninggalkanku.” Suaranya melemah. “Dan semua itu percuma, karena pada akhirnya, aku tetap ditinggal pergi juga." Ia tertawa dengan penuh kegetiran di ujung kalimat.

Mendengar hal itu, Dinar pun tersenyum. Ia menggerakkan tangannya untuk mengelus tangan Lani.

"Terimakasih." Kata Lani.

"Sama - sama." Jawab Dinar. Ia lalu beranjak berdiri dan menaruh gelas yang sudah kosong itu di atas meja.

"Kamu sendiri ?" Tanya Lani. Dinar berjalan kembali ke arah tempat tidur.

"Well," Dinar membaringkan badannya di tempat tidur, "aku pernah berpacaran dengan perempuan.” Ia tersenyum. “Dua kali. Tidak sebanyak dengan laki - laki, namun kenyataannya aku pernah."

Lani mendengarkan dengan begitu seksama.

"Ada perbedaan yang begitu besar dari sebuah hubungan lesbian dengan hubungan hetero."

"Jenis kelamin yang melakukannya sama ?" Tebak Lani.

Dinar memutar kedua bola matanya ke atas. "Semua orang juga tahu kalau itu." Ia menatap Lani dengan serius. "Ketika kamu menjalin hubungan lesbian, resiko kamu atau pacarmu untuk selingkuh itu lebih besar."

"Maksudnya ?"

"Begini, pacarmu bisa menjalin hubungan asmara dengan mantan pacarmu; sementara mantan pacarnya dari mantanmu itu bisa menjalin hubungan asmara dengan kamu. Bisa kamu bayangkan betapa canggungnya kalian jika bertemu." Jelas Dinar.

Lani tersenyum kecil. "Kamu pernah mengalami kejadian itu ?"

Dinar mengangguk pelan. "Pernah. Dan aku berharap untuk tidak mengalaminya lagi. Itu sangat buruk sekali." Ucap Dinar sembari menggeleng - gelengkan kepalanya.

Dinar kemudian memajukkan badannya lebih dekat ke arah Lani. Sekarang ia sudah tak sepenuhnya berbaring. Ia duduk, dengan badan masih bergelayut pada tempat tidur. Kedua tangganya menopang badannya agar tidak kehilangan keseimbangan.

"Balik lagi ke Rini. Kalau misalnya sekarang kamu diberikan kesempatan untuk memberi tahu perasaanmu kepada dia, kamu mau bilang apa ?"

Lani berusaha berpikir.

"Ya, aku juga tidak tahu apakah dia lesbian atau bukan...."

Dinar membetulkan kembali posisi duduknya.

"Seandainya. Seandainya saja dia sudah tahu mengenai hal itu dan dia menerima kamu."

"Terus ?"

"Ya, coba kamu bayangkan dia itu aku." Dinar menunjuk dirinya sendiri. "Apa yang bakal kamu utarakan ?"

"Aku tak terlalu pandai bergombal." Jawab Lani.

"Tidak apa - apa." Kata Dinar sembari menepuk - nepuk pelan punggung Lani. “Anggap ini semua sebagai alternate reality, atau kalau kamu bermain game, kamu sedang berusaha memainkan checkpoint terakhir yang kamu simpan, yang bisa kamu coba berkali – kali sampai kamu mendapatkan apa yang kamu mau.”

Lani mengembangkan bibirnya sedikit. Ia pun kemudian menarik napas dalam – dalam, sebelum menggenggam kedua tangan Dinar dan menatapnya erat - erat, seakan - akan Dinar akan lenyap begitu saja kalau pandangannya lepas.

"Rini, kamu tahu me-“

Lani tiba – tiba melepas genggamannya. Matanya mengerling ke arah tempat tidur.

“Sudahlah Dinar, ini bodoh.” Ucapnya lemah. Ia lantas merasakan tangannya digenggam.

“Hei,”

Lani kembali menatap mata Dinar.

“lihat aku.”

Lani terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan organ mata dan otaknya, tapi yang sekarang dilihatnya di depan bukanlah Dinar, melainkan Rini. Ya, jelas itu Rini.

"Rini, kamu tahu mengapa dunia ini diciptakan ?"

Rini menggelengkan kepalanya.

"Aku juga tidak tahu." Jawab Lani. "Di antara berjuta pertanyaan yang pernah terlintas di pikiranku, hanya itu yang paling membekas. Dan dari berjuta pertanyaan sisanya, aku tak memasukkan pertanyaan tentang belahan jiwa. Kamu tahu kenapa ?"

"Kenapa ?" Tanya Rini.

"Karena aku tahu belahan jiwaku sedang ada di depanku sekarang, menatapku dengan tatapan aneh dan berkata dalam hati ‘apa yang kamu pikirkan, Lani ?’" Ujar Lani. "Namun sama seperti halnya misteri mengenai tujuan dunia diciptakan, aku juga tidak tahu mengapa aku bisa jatuh cinta padamu, dan aku tak peduli.” Ia menggelengkan kepalanya berulang kali. “Mungkin ini dosa, entahlah. Tapi seandainya pun ini dosa, aku rela, karena menurutku tak ada yang salah dengan jatuh cinta. Manusia itu selalu sama, tak peduli jenis kelaminnya."

Ada setitik air mata yang mulai menggumpal di pelupuk matanya.

"Aku tidak datang ke dunia ini untuk membunuh banyak orang tak berdosa. Aku datang untuk menemanimu, mendampingimu. Jadi aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku. Hanya itu yang aku minta. Aku akan tetap bahagia asalkan kamu ada di sisiku." Ia tak lagi mampu membendung bulir air mata yang mulai jatuh menetes dari kelopak matanya.

Rini tergugah. Disingkirkannya jejak air mata di pipi Lani dengan tangannya, lalu tersenyum begitu manis. Dengan cepat, ia mengecup bibir Lani. Lembut.

Lani menyambut kecupan itu. Bibir keduanya berpagut, untuk sementara. Tanpa ada kecanggungan, tanpa ada keresahan.

Saat terlepas, keduanya menjadi hening. Namun itu tak lama sebelum Lani balas berganti mengecup bibir Rini. Dan bagai kayu pohon paper-birch yang disulut oleh api, semuanya berubah menjadi sebuah kobaran yang begitu dahsyat.

Lani mencumbu Rini tanpa ampun dan mendorong Rini ke tempat tidur, sehingga keduanya terjerembab di atas tempat tidur, dengan posisi tubuhnya berada tepat di atas Rini. Keduanya terus saling mengecup, bergumul, dan meraba.

Rini lantas membuka baju dan pakaian dalamnya; sementara Lani melepas kacamatnya dan menaruhnya di atas meja di samping tempat tidur. Lani kemudian kembali menyerang Rini, kali ini leher dan telinga Rini yang menjadi sasarannya. Rini pun mulai bergelinjang. Ia sepertinya cukup sensitif di bagian tersebut.

Di tengah serbuan serangan cumbu yang dilancarkan Lani, tangannya perlahan menyelinap masuk di antara celana tidur yang dikenakan Rini. Tangannya terus bergerak hingga ia menemukan celana dalam Rini yang sudah mulai lembab karena terkena cairan kental dari sepasang bibir di bawah sana.

Rini meminta lebih. Ia segera membuka celana tidur sekaligus celana dalamnya, dan membuangnya jauh - jauh. Kini tubuhnya sudah tak tertutupi oleh apa pun.

Jemari Lani mulai merangsang sepasang bibir di bawah sana, yang mengantarkannya pada liang sempit yang berdenyut – denyut, sembari terus memagut mulut Rini. Suara lenguhan serta erangan yang keluar dari mulut Rini terdengar begitu merdu di telinga Lani.

“Ahh..”

“Mmmh…”

Melihat Rini sudah tak mampu melawan, Lani memberhentikan pagutannya. Ia memilih untuk fokus pada gerakan tangannya di liang sempit itu.

"Hah...."

Lani terus menatap Rini dengan begitu dalam; sementara jemarinya terus bermain, semakin kencang dan kencang...

Hingga Rini pun tak kuasa untuk menahan klimaksnya.

"Ough...."

Lani tersentak. Suara lenguhan itu membuatnya tersadar: ia sedang tidak bersama Rini. Yang ada dihadapannya saat ini adalah Dinar, dan mereka adalah dua orang yang berbeda.

Kecepatan jemari Lani di liang itu pun terus melambat, hingga akhirnya berhenti total. Sekarang ia terdiam, mematung di atas tubuh Dinar. Dinar yang melihat Lani sedang kehilangan fokus segera mengambil alih kekuasaan dan memutar posisi mereka sehingga kini Dinar yang berada di atas Lani.

"Sekarang giliranmu." Ucap Dinar dengan nafas memburu.

"Tunggu-"

Dinar tidak memperdulikan ucapan Lani. Ia langsung membuka paksa baju beserta pakaian dalam yang dikenakan Lani dan mulai mengecup leher Lani. Semakin lama, kecupan bibir Dinar terus turun hingga mencapai dada Lani. Ia kemudian berhenti sejenak untuk memandangi kedua puting payudara Lani yang berwarna merah muda, lalu mulai mengecup puting payudara Lani yang berada di sisi kiri.

Lani mulai merasakan kenikmatan. Matanya sekarang terperjam dan puting payudaranya pun jadi mencuat. Namun ditengah - tengah itu, kesadarannya kembali datang. Ia langsung menahan kepala Dinar.

"Dinar, seharusnya-"

"Ssst." Ucap Dinar. Wajahnya meninggalkan area dada Lani. Ia menatap dan mengelus wajah Lani, kemudian mendekatakan bibirnya ketelinga Lani.

"Tidak usah takut. Aku tahu kamu teringat dia. Tidak apa - apa, kamu bebas membayangkanku sebagai apa saja." Bisik Dinar. Ia pun lalu mengecup lembut bibir Lani dan bergerak kembali ke arah dadanya.

Lani masih berusaha menolak ucapan itu, namun pemikirannya runtuh saat Dinar mulai mengecup kembali putingnya dan meremas payudaranya.

“Ssshh…”

Dinar terus mengecup dan mengecup puting Lani, terkadang diselingi dengan hisapan serta jilatan, dan suara desahan yang dikeluarkan Lani semakin nyaring terdengar.

Sekujur dada Lani kini sudah basah dijamah oleh liukan lidah Dinar, bahkan ada beberapa bagiannya yang mencetak bercak berwarna kemerahan. Namun hal itu tak membuat Dinar patah arang. Ia malah kian menggila. Ia terus turun kebawah dan mencium pusar Lani. Ia juga membuka paksa celana dan celana dalam yang dikenakan Lani; sementara Lani hanya mampu berpegangan erat pada seprai dan sesekali rambut Dinar yang ikal nan indah itu.

Kini Dinar sudah berhadapan dengan liang kenikmatan milik Lani. Ia sudah bersiaga untuk membuat seisi otot dalam liang kenikmatan itu berdenyut dan berkontraksi. Namun sesaat sebelum Dinar melakukan itu semua, ia sempat mendongak dan memberikan senyum kepada Lani sebagai sebuah simbol perizinan. Lani hanya melihat itu semua tanpa daya, tanpa respon apa - apa.

Dan dengan anggunnya, Dinar langsung melesakkan lidahnya ke dalam liang kenikmatan itu.

Lani mengerang begitu syahdu. Tangannya seketika meremas lebih erat seprai yang ada di bawahnya. Dinar terus menggila dengan menjilat tonjolan kecil yang mencuat di balik selaput kulit yang agak tebal itu. Habis - habisan. Tubuh Lani mengikut kemana arah lidah Dinar mengerjainya terus menerus; sementara kepalanya pasrah mendongak ke langit - langit kamar.

Hingga akhirnya keinginan itu datang tanpa bisa dihindari lagi.

"Argghhh."

Lani berteriak lantang. Tubuhnya melenting luar biasa, lalu terjerembab seketika ke tempat tidur. Ia pun hanya bisa tergolek lemah di tempat tidur, dengan dada yang terus timbul tenggelam karena paru - parunya sedang berusaha keras mencari oksigen. Tenaganya terkuras habis untuk bertahan dari serangan Dinar. Ia jelas kalah dari Dinar soal seks.

Dinar mendongakkan kepalanya. Ada sisa cairan lubrikasi milik Lani yang masih menempel di sudut bibirnya, namun Dinar terlihat tak peduli. Ia tetap mengecup bibir Lani. Lani hanya balas mengecup dengan lemah, karena yang diinginkan Lani sekarang hanyalah tidur.

Tidur di antara bunga mimpi yang melenakan.
 
Terakhir diubah:
Sudah mulai panas inih........lancruutkan Om
 
Bab 3

Lani terbangun ketika suara dering ponsel masuk mengaduk - adukkan gendang telinganya. Ia kemudian melihat jam yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Sudah pukul 3:50 dini hari. Dinar ada disebelahnya, masih tertidur pulas sembari memeluk dirinya. Keduanya bertelanjang dada dan hanya tertutupi oleh kain selimut.

Tak lama kemudian, Dinar pun ikut terbangun. Ia segera mengucek - ngucek kedua matanya dan menatap Lani dengan sayu.

"Maaf, itu ponselku." Ucap Dinar lesu.

Dengan nyawa yang sepertinya belum sepenuhnya terkumpul, Dinar mencabut kabel pengisian baterai yang masih tersambung dengan ponselnya dan mengangkat panggilan itu dengan wajah yang begitu kusut.

"Sayang, kenapa kamu menelponku pagi - pagi buta begini ?"

Lani terperanjat. Pikirannya menjadi kalut. Mengapa dia luput mempertanyakan hal itu sebelumnya ?

"Iya, nanti aku beritahu kamu. Sekarang, biarkan aku tidur dulu ya ? Ok, bye."

Dinar menutup panggilan telepon.

"Dinar ?" Panggil Lani pelan.

"Ya ?" Jawab Dinar.

"Maaf, aku tidak tahu kalau-"

"Maaf ?" Potong Dinar. "Kenapa kamu meminta maaf ?"

"Itu pacarmu...."

"Oh... sudahlah, tidak apa - apa. Lagipula, mengapa kamu yang merasa bersalah ? Seharusnya kamu marah karena aku tak memberitahu kamu bahwa aku sudah punya pacar." Ujar Dinar masih dengan wajah yang begitu lesu karena tak bisa melawan kantuk. Namun ditengah kelesuannya, ia masih bisa menangkap adanya raut ketakutan di wajah Lani. Ia pun mengelus bahu Lani untuk menenangkannya.

"Tidak apa - apa, Lan. Ini hanya sebatas satu malam, bukan ?"

Lani menganggukan kepalanya. Ia setuju.

Dinar kemudian menguap. "Aku mengantuk."

"Sama." Ucap Lani tersenyum.

Mereka berdua lantas kembali berbaring dan berusaha memejamkan mata untuk kembali tidur. Namun belum ada beberapa menit, sebuah suara kembali berhasil membangunkan mereka.

"Suara apa itu ?" Tanya Dinar ketakutan. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Dinar terdengar begitu terjaga.

"Mungkin kamar sebelah." Jawab Lani sekenanya sembari masih memejamkan mata. Ia juga menangkap suara tersebut. Suara itu terdengar seperti bunyi kayu yang dicakar oleh kuku, dan ia tak peduli. Rasa kantuk lebih menguasainya.

Namun, suara itu semakin lama semakin membesar. Lani pun akhirnya ikut terganggu.

"Sepertinya berasal dari lemari." Tebak Lani. Ia kemudian menengok sejenak ke arah Dinar. Dinar sudah menghilang di balik selimut.

"Aku takut." Ucap Dinar sedikit tak jelas karena tertutup selimut.

"Astaga..." Kata Lani kesal. Ia langsung membuka selimut yang menutupi sekujur tubuh Dinar. "Kamu sudah dewasa. Umurmu itu berapa ?"

Dinar tak menjawab. Ia hanya memejamkan kedua matanya.

Lani mendengus. "Aku heran denganmu. Kamu bisa bercinta denganku dan membuatku orgasme hingga aku merasa seperti nyaris kehilangan nyawa, sementara untuk urusan suara mengesalkan seperti ini, kamu ketakutan setengah mati."

"Itu bukan perbandingan yang setara." Kata Dinar membela dirinya sendiri.

"Tentu itu perbandingan yang setara !" Timpal Lani langsung tanpa ampun.

Suara misterius itu menjadi kian lantang, dengan frekuensi yang juga semakin banyak. Dinar segera melompat ke badan Lani dan memeluknya begitu erat ketika mendengar itu. Lani nyaris saja terjengkang kalau tidak kuat menahan tubuhnya.

"Hei, lihat - lihat !" Protes Lani.

"Maaf." Jawab Dinar dari balik punggung Lani.

Suara itu kemudian berubah menjadi bunyi kayu yang dipukul kencang berkali - kali. Lani terkejut dan penasaran secara bersamaan. Ia harus mengeceknya, pikirnya.

"Dinar ?"

"Iya ?"

"Bisa kamu lepas pelukanmu ? Aku mau mengecek lemari dulu."

"Jangan !" Dinar seketika mengencangkan pelukannya pada Lani.

"Hey, jangan kencang - kencang ! Aku tak bisa bernapas." Protes Lani.

"Maaf." Jawab Dinar tanpa melakukan apa yang disuruh Lani.

Karena rasa penasaran sudah begitu menyeruak di dalam hati Lani, ia pun terpaksa membawa serta Dinar yang menggelendot manja di punggungnya untuk mendekat ke arah lemari.

"Jangan." Pinta Dinar.

"Bisakah kamu tenang sedikit ?" Tegas Lani.

Dinar akhirnya terdiam. Lani pun berjalan dengan pelan ke depan lemari. Kalau harus jujur, bulu kuduknya sekarang sedikit berdiri.

"Permisi ? Maaf menganggu." Ucap Lani. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.

Lani kemudian menggerakan tangannya. Ia berniat membuka pintu lemari.

"Lan, jangan. Tolong, jangan."

Lani tak menggubris ucapan Dinar. Ia tetap membuka pintu lemari itu.

Lani dan Dinar seketika terperanjat.

Kosong. Lemari itu kosong. Dan suara aneh itu pun berhenti.

"Sudah kubilang, tidak ada apa - apa." Ujar Lani. "Mungkin dari kamar sebelah."

Tidak ada sepatah kata pun yang mengalir dari mulut Dinar.

"Nar ?"

Lani memalingkan wajahnya dan melihat Dinar hanya menyembunyikan wajahnya di pundak Lani.

"Nar ?"

Dinar mendongakkan kepalanya secara perlahan. Matanya memerah. Ia sedang menahan tangis.

"Dinar, kamu tidak apa - apa ?"

"Tidak." Dinar menjawab dengan sesenggukan.

"Maaf." Kali ini, Lani yang mengucapkan kata itu, dan hal tersebut berhasil membuat pertahanan Dinar runtuh. Dinar akhirnya menangis.

"Dinar, maafkan aku." Ucap Lani sembari tangannya merangkul tubuh Dinar dan melekapkannya erat - erat di dada Dinar.

"Tidak...ap-" Dinar mencoba menahan sengguknya, "pa - apa. Aku terlalu berlebihan. Sekarang jam berapa ?"

Lani mengerling ke arah jam yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur.

"Empat." Jawab Lani. "Tidurlah kembali."

Dinar menggelengkan kepalanya. "Aku takkan bisa tidur."

"Baiklah, lalu kamu mau apa sekarang ?" Tanya Lani.

"Aku mau mandi." Jawab Dinar. "Aku mau secepatnya pergi dari hotel ini."

Lani mengernyit.

"Kita tidak sarapan di sini ?"

"Tidak !" Jawab Dinar cepat. "Kita sarapan di luar saja. Aku yang bayar."

"Ok." Ucap Lani mengendur. "Ya sudah, aku akan turun ke kamarku, biar aku juga mandi dan kita bisa segera pergi."

Lani bangkit berdiri dari tempat tidur. Belum sempat Lani berjalan, tangan Dinar sudah mengenggam dengan erat tangan Lani, menahannya untuk bergerak.

"Kenapa ?" Tanya Lani.

"Bisa temani aku mandi ? Aku takut. Hehehe." Ujar Dinar sembari tersenyum manja.

Lani menepuk wajahnya pelan dengan tangannya sendiri.

-----

Tepat pukul enam pagi, mereka berdua sudah ada di lobby hotel. Dinar masih sibuk mengurus proses check out di bagian resepsionis, sementara Lani duduk menunggu di satu sofa panjang yang berada di dekat pintu keluar, dengan sebuah tas di tangannya dan koper berwarna merah tua milik Dinar di sebelah sofa yang ia duduki.

Tak lama, Lani melihat bahwa Dinar telah menyelesaikan proses check out dan tengah berjalan ke arahnya. Ia pun bangkit berdiri.

"Sudah ?" Tanya Lani.

"Iya." Jawab Dinar.

"Kita kemana sekarang ?"

"Sarapan."

"Di ?"

Dinar berpikir keras. Ia terlihat tak cukup mengenal baik kota ini.

"Apa kamu tahu tempat sarapan yang ada di dekat sini ?"

Alis Lani mengernyit. "Aku tahu sebuah kedai."

"Ya sudah, kita ke tempat itu saja." Kata Dinar.

"Kopernya ?" Tanya Lani sembari menunjuk ke arah koper milik Dinar.

"Biar aku titipkan saja di sini." Dinar pun segera menggeret koper miliknya dan berjalan menuju lobby boy yang sedang berjaga di depan pintu keluar. Ia menyerahkan koper tersebut dan kembali kepada Lani.

"Sudah. Ayo kita berangkat."

Lani dan Dinar pun beranjak pergi meninggalkan lokasi hotel.
 
masih misteri..so far so good lho..keren..tapi delima jadi rada parno juga:bata:
 
masih misteri..so far so good lho..keren..tapi delima jadi rada parno juga:bata:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd