Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
24

Di sebuah rumah yang asri bernuansa eksotik Bude sedang bersih-bersih bersama dengan Pakde yang sedang menyiapkan kedatangan sang empunya rumah, Inne.

“Jam berapaan katanya, Bu? mbak Inne datangnya?” tanya Pakde kepada Bude yang sedang mengelap meja.

“Katanya jam 9 jam 10-an, mau dijemput mas Yassar, tapi ini udah jam segini mas Yassar belum ada pulang.”

“Loh, bukannya mas Yassar tadi berangkat pake motor ya pas berangkat kerja?”

“Iya, Pak. Makanya, masa jemput mbak Inne pake motor, barang bawannya kan pasti wuakeh nemen...”

“Jam berapa sih ini emang, Bu?”

“Jam 7, Pak. Sebentar lagi isya, ayo siap-siap dulu ke mesjid, biar sama Ibu saja bersih-bersihnya...”

“Lhoh gak kerasa ya, ya sudah Bapak siap-siap ke mesjid dulu ya, Bu...”

“Enggeh, Pak...”

Pakde pun kemudian bersiap untuk pergi ke mesjid, melaksanakan kewajiban. Namun, ketika Pakde keluar dari gerbang terdengar rauman motor yang cukup keras.

“Bruummm... brummm... brummm...”

“Ada apa, Pak? Siapa itu yang bawa motor berisik gitu?”

Pakde memicingkan matanya agar bisa melihat siapa yang membawa motor menuju ke arahnya.

“Gak tau siapa itu, suara motor mas Yassar bukan gitu.”

Tak lama, si pengendara pun terlihat jelas oleh Pakde. Orang itu mengenakan jaket kulit hitam, celana jeans biru, dan sepatu boots. Tak lupa, wajahnya tertutup oleh helm fullface.

“Ngapunten, Pak. Ini benar rumahnya mas Yassar?” ucap orang itu tanpa turun dari motornya.

“Betul, ada perlu apa?” tanya Pakde tegas.

Sedangkan Bude hanya mengintip di balik pintu rumah.

“Mas Yassar nya ada nggak, Pak?”

“Ada perlu apa?” ulang Pakde.

“Oh, saya lupa, perkenalkan saya Codot...” ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Pakde mengkerutkan keningnya.

Pakde pun menjabat tangan Codot sembari menatapnya tajam.

“Ada perlu apa sampeyan cari-cari mas Yassar?”

“Hanya memastikan saja...”

“Maksud sampeyan apa? Kenapa mas Yassar?” balas Pakde dengan nada sedikit tinggi.

“Waduh... gini, Pak. Eeeuuu... cok! Angel nemen... priben ngomonge...”

Pakde semakin menajamkan tatapannya kepada Codot, Bude pun kini sudah keluar dan berjalan menghampiri mereka.

“Priben mas Yassar, kenapa, Pak?” ucap Bude tiba-tiba.

“Haduh... tadi mbak Inne telepon saya, beliau bilang mas Yassar ponselnya tidak aktif, Mbak Inne susah mengabarinya, makanya mbak Inne mengabari saya untuk mengecek ke lokasi ini...”

“Pak... priben mas Yassar, Pak...” tanya Bude cemas.

“Sek, Bu, sek... sampeyan wes menghubungi mas Yassar durung, Mas?” tanya Pakde pada Codot.

“Uwis, Pak. Podo ae susah dikabari manusia itu, hadeuh...” jawab Codot sembari menggaruk-garuk kepalanya.

Tak berselang lama, adzan pun terdengar berkumandang. Suasana sedikit mulai tenang saat mereka mendengarnya.

“Sek, Mas. Saya ke mesjid dulu, sampeyan tunggu saja dulu di sini. Bu, buatin minum dulu ini buat Mas Codot...”

“Yo wes, Mas. Masuk dulu biar tenang dulu, Mas... masukin sini motornya...” ucap Bibi.

Codot pun mendorong motornya untuk diparkiran di halaman rumah, dan duduk di kursi teras depan, sedangkan Pakde sudah melangkah menuju mesjid.

“Monggo, Mas, ditunggu dulu, saya buatin dulu... kopi atau teh?”

“Kopi ireng, Bu...” jawab Codot cepat.

Codot pun segera mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu.

“Nangendi kowe cuk?” ia ketik kepada Yassar.

Ia pun kembali menyimpan ponselnya, tatapannya lurus ke arah depan dengan tajam, kaki kirinya bergoyang-goyang menandakan ia gelisah.

“Ini, Mas. Kopinya,” ucap Bude yang sudah berada di sampingnya.

“Enggeh, suwun, Bu.”

“Dadi sampeyan temennya mas Yassar, tho?” tanya Bude.

Codot hanya mengangguk, tapi matanya masih lurus ke depan seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Duh... mas Yassar biasanya dia paling telat pulang ke rumah tuh maghrib, itupun selalu mengabari...”

“Oh, iya... Mas, sampeyan tau Non Dita?” sambung Bude.

Codot menoleh ke arah Bude seraya mengernyitkan dahi.

“Adeknya mbak Inne itu, ya?”

“Iya... coba tanya ke non Dita, Mas. Barangkali dia tau.”

“Saya gak punya nomornya, Bu.”

“Aih, Bude ndak bawa hp... ya sudah, Bude ambil hp dulu yo, Mas.”

Codot mengangguk sembari menyeruput kopinya.

Bude pun segera berjalan menuju ke gerbang.

“Aiiihhh... baru juga diomonginnn...” ucap Bude agak keras.

Entah kebetulan atau apa, Dita datang ke rumah itu tanpa angin tanpa hujan diantar Della.

“Kenapa, Bude?” tanya Dita.

“Makasiiihhh ya, Del...” sambung Dita pada Della seraya cipika-cipiki.

“Okeeyyy... putriku...” jawab Della.

“Hati-hati di jalannyaaa...” ucap Dita.

“Mari Bude...” ucap Della manggut kepada Bude.

Dita melambaikan tangan kepada Della yang sedang memarkirkan motornya, Della pun perlahan pergi meninggalkan mereka.

Bude pun langsung mengalung lengan Dita dan berjalan beriringan menuju ke rumah.

“Siapa Bude?” tanya Dita berbisik kepada Bude saat melihat ke arah Codot.

“Itu lho temennya mas Yassar...”

“Ooohhh, ngapain?”

“Yo wes ke sana dulu...” ucap Bude.

Codot tersenyum ke arah Dita, Dita pun demikian.

“Ketemu lagi, Mbak...” ucap Codot ramah.

“Eh? Mas...” jawab Dita senyum ragu.

“Ooohhh Mas Codot, ya?” sambung Dita.

Codot pun mengangguk.

Dita duduk di kursi samping Codot dan Bude perlahan mulai menjelaskan semuanya, tak berselang lama Pakde pun tiba dan ikut berkumpul dengan mereka.

“Nggak, aku seharian gak bareng aa malahan...” ucap Dita setelah menyimak penjelasan Bude.

“Emang Mas Codot gak ketemu aa juga?” sambung Dita.

Codot menggelengkan kepala.

“Aku tanya mbak Ojay gitu, ya?” tanya Dita seakan meminta persetujuan.

Codot menolehkan kepala ke arah Dita.

“Siapa itu, Non?” tanya Bude.

Dita tak menjawab, malah langsung mengeluarkan ponsel dari tasnya.

“Duh aku gak punya nomornya lagi...” sambung Dita.

“Aa ke mana siiihhh...” ucap Dita lagi.

*tuuut tuuuut tuuuut*

“Iya, Aa gak aktif...”

Dita masih sibuk mengotak-ngatik jarinya di ponsel.

“Teteh juga sama lagi nggak aktif...”

“Ini pada kenapa sih, aa... teteh...” keluh Dita.

Codot menarik napas panjang kembali menatap tajam ke arah depan.

Mereka pun berdiskusi beberapa saat, Pakde menyarankan dirinya dan Codot hendak pergi ke kantor Yas untuk mengecek dan menanyakan keberadaannya. Codot hanya manggut-manggut saja seraya memikirkan sesuatu di kepalanya.

“Nggak ah! Aku juga pengen ikut, Mas Codot sama aku aja,” sergah Dita.

“Lhoh, Non kan baru sampe, capek, Non...” ucap Bude.

“Gak mau, pokoknya aku ikut.”

Bude dan Pakde menghela napas, memang mereka sudah mengetahui sifat Dita yang seperti itu.

“Biar Pakde sama Mas Codot aja ya, Non. Non istirahat saja di sini, nanti Pakde kabarin ke Non,” bujuk Pakde.

“Gak mau Pakde! Udah Pakde di sini aja sama Bude.”

“Yuk, Mas,” ajak Dita yang sudah berdiri kepada Codot.

Codot masih tak bergeming, ia masih menatap tajam ke arah depan.

Mereka pun akhirnya meluncur meskipun dalam perasaan yang sama-sama masih menerka, terutama Codot yang masih diam seribu bahasa. Situasinya menjadi sangat tak menentu, ada semacam perasaan gelisah, menanti, dan seabrek keresahan lainnya.

Malam itu begitu hening, tak hiruk pikuk seperti biasanya, bahkan jalanan pun seakan mendukung suasana melankolis. Hanya dengan mengetahui Yas sepertinya sedang tidak aman, bisa sampai sepengaruh ini. Bukan didramatisir, tapi itulah kenyatannya.

Baik Codot ataupun Dita keduanya sama-sama diam, hanya suara deruan knalpot yang memecah keheningan suasana.

Codot dan Dita pun tiba di kantor Yas, terlihat di pos satpam ada seseorang yang hendak keluar setelah melihat kedatangan mereka. Dita segera turun dari motor disusul oleh Codot yang berjalan di belakanganya.

“Pak, maaf, kalau pak Yassar jadwal lembur tidak?” tanya Dita kepada Pak Satpam.

“Pak Yassar, beliau sudah pulang sejak tadi sore.”

“Ada perlu apa, Mbak?” tanya Pak Satpam.

“Oh, gitu ya. Anu, Pak. Saya ada keperluan sama beliau kebetulan beliau sulit dihubungi.”

“Mungkin bisa besok lagi aja, Mbak. Datang aja lagi ke sini.”

“Saya adik pak Yassar,” ucap Dita kemudian.

Pak Satpam mengkerutkan kening, dan memperhatikan wajah Dita sejenak.

“Oh, maaf-maaf, Mbak. Kalo gitu apa yang bisa saya bantu?”

Codot pun kemudian menghampiri Dita dan Pak Satpam yang sedang berbincang. Sontak itu membuat Pak Satpam semakin gelagapan karena melihat Codot dengan ekspresi yang ganas.

“Bapak punya nomor Mbak Chyntia nggak, Pak? Assistetnya pak Yassar...”

“Ada, Mbak, ada...”

Dari sudut lain muncul satu orang satpam lagi mendekat, ia langsung dipandang tajam oleh Codot, sehingga hanya mendekat saja tanpa berucap sepatah kata pun.

“Udah dapat?” tanya Codot pada Dita yang sedang mengotak-ngatik ponselnya.

Dita hanya mengangguk.

“Itu mas Yassar biasanya emang suka ada jadwal lembur, Pak?” tanya Codot kali ini.

“Beliau jarang kalo sekarang, Mas. Paling sore juga mas Yassar pulang sebelum maghrib.”

“Haish... nangendi kowe cuk...” ucap Codot pelan.

“Hallo... selamat malam, Mbak. Maaf mengganggu, ini Dita...” ucap Dita.

“Oh, iya selamat malam, ada apa ya, Mbak?” balas Ojay di sambungan telepon.

“Mbak maaf sebelumnya, Mbak lagi sama mas Yassar, nggak?”

“Mas Yassar sudah pulang, Mbak. Tadi emang pas sore sama aku meeting.”

“Emang ada apa ya, Mbak?” kali ini nada bicara Ojay terlihat cemas.

“Mas Yassar sulit dihubungi, Mbak, dari tadi sampe sekarang nomornya nggak aktif...”

“Bukannya mas Yassar mau jemput bu Inne, ya?”

“Iya justru itu, tadi mas Yassar beres meeting sama Mbak jam berapa kalo boleh tau?”

“Sebelum maghrib juga mas Yassar udah pamit, Mbak. Bilang ke aku dia mau ke rumah bawa mobil sebelum jemput bu Inne.”

“Oh, gitu ya, Mbak. Ya sudah, makasih ya, Mbak. Maaf saya sudah lancang menelepon, Mbak, malam-malam begini.”

“Eh, bentar. Mas Yassarnya belum ada sampe sekarang?” tanya Ojay memastikan.

“Belum, Mbak. Ini saya lagi di kantor sama Mas Codot nyariin.”

“Mas Codot?”

“Boleh saya bicara sebentar sama dia?” ucap Ojay.

“Mas Codot...” panggil Dita kepada Codot yang sedang merokok.

“Yaaa?”

“Ini, Mbak Ojay...” ucap Dita menyerahkan ponsel dengan lesu.

Codot pun meraih ponsel Dita dan mulai mendekatkannya pada kuping.

“Hallo...”

Codot pun mengambil beberapa langkah saat berbincang dengan Ojay lewat telepon. Dita masih duduk lemas di pos satpam dengan tatapan kosong.

“Oh, iya, Mbak, iya, siap. Iya iya, tau saya tau, baik. Terima kasih, Mbak...” ucap Codot sebelum menutup teleponnya.

Codot menarik napas dalam dan membuang rokoknya ke bawah seraya berjalan ke arah Dita yang masih duduk bengong.

“Mbak, ayok!”

“Pak, makasih...” sambungnya kepada Pak Satpam.

“Ke mana kita, Mas?” tanya Dita.

“Udah, ayo naik...” jawab Codot tergesa-gesa.

“Pegangan...” sambungnya saat Dita sudah menaiki motor.

Codot pun mulai menggeber motornya ke suatu tempat, Dita berpegangan erat kepada Codot sehingga kepalanya berlindung di belakang punggungnya. Di tengah-tengah suara knalpot yang meraung-raung air mata Dita menetes terbawa angin malam yang berhembus seakan membelai dan menyeka air matanya yang membasahi pipi. Bibirnya gemetar menahan agar tangisnya tidak pecah bersahutan dengan heningnya malam. Perlahan dita menyenderkan pipinya di punggung Codot seraya memejamkan mata dengan hati yang penuh harap atas semua keresahan yang ia rasakan.

“Tolong semuanya harus baik-baik saja...” lirih Dita pelan.

(bersambung)
 
Kalo dari kacamata orang awam pasti analisanya iyas kecelakaan, tp menurut analisa detektif Conan Edogawa sewaktu iyas sama ojay ena- ena hpnya iyas jatuh di suatu tempat yg dirahasiakan.
Wkwkwkwkwkwkwkwkwk
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd