Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Bimabet
Sambil tertawa Im Jit-koh segera melompat naik ke dalam pangkuannya.
"Cruuuppp!", begitu dia melompat, ujung tombak yang tegang keras seketika menghujam ke dalam liang surganya hingga tertelan seakar-akarnya.

"Aduuh!" tak tahan perempuan itu menjerit kesakitan.
Dengan kaget Siau-si berpaling.
Cau-ji segera berseru dengan suara dingin, "Rasakan kalau tak bisa menahan diri, kalau sudah bernapsu pun mesti bisa mengendalikan diri."

Bwe Si-jin ikut tertawa tergelak.

"Sayangku, jangan terburu napsu, kalau sampai terluka bisa berabe."
"Loya, aku tidak menyangka kalau 'anu'mu begitu panjang," kata Im Jit-koh sambil menjulurkan lidahnya, "sudah tentu milikku jadi kesakitan karena terbentur sampai ke dasarnya, kau malah menertawakan aku."

"Hahaha, tahu rasa sekarang!" sambil berkata dia peluk pinggulnya dengan kuat, lalu menekannya ke bawah lebih keras sehingga tombaknya benar-benar terbenam hingga ke dasar.

"Aaaah," sekali lagi Jit-koh menjerit kesakitan, saking pedihnya, air mata sampai bercucuran membasahi pipinya.

Kalau dilihat dari tampangnya, kelihatan kalau kali ini dia benar-benar kesakitan.

Melihat perempuan itu menjerit kesakitan, Bwe Si-jin bertambah napsu, sambil tertawa tergelak dia melanjutkan tekanannya ke atas.

Kontan saja Im Jit-koh menjerit kesakitan, sambil berulang kali mengaduh, peluh dingin makin deras membasahi tubuhnya.

Cau-ji tahu paman Bwe sedang memberi kisikan kepadanya agar bersikap buas dan sekasar sepasang malaikat dari In-lam.

Maka sambil mencolek pinggul Siau-si, dia pun ikut tertawa seram.

Waktu itu Siau-si sedang berdiri tertegun, dia tak menyangka Jit-koh yang terkenal jalang dan sangat berpengalaman dalam hubungan badan pun akan menjerit kesakitan setelah 'dinaiki' Tongcu ini, cubitan yang mendadak kontan membuatnya menjerit keras.

Sambil menahan perasaannya Cau-ji kembali berseru, "Ayo, jalan!"
Dengan air mata bercucuran dan menundukkan kepala rendah-rendah Siau-si menyahut dan berjalan meninggalkan ruangan.

Diam-diam Bwe Si-jin manggut-manggut, teriaknya cepat, "Aduh, sayangku, begitu baru nikmat rasanya!"
"Ya, memang nikmat, nikmat sekali," sahut Im Jit-koh sambil menahan rasa sakit, "Loya, aku lihat tombakmu makin hari makin bertambah panjang saja."

"Hehehe, selama beberapa tahun terakhir ini kau sudah terbiasa hidup makmur di sini, tentu saja kau tak bakal tahan dengan barangku, begini saja, biar aku cari perempuan lain untuk menggantikan dirimu."

"Jangan, jangan," lekas Im Jit-koh berseru, wajahnya berubah hebat, "hamba pasti dapat memuaskan napsumu!"

Bwe Si-jin meletakkan sepasang tangannya di sisi bangku, kemudian sambil memejamkan mata, ia tertawa cabul tiada hentinya.

Segera Im Jit-koh menekan sebuah tombol di sisi kanan bangkunya,
"Kraaaak!", bangku itu segera berubah menjadi sebuah pembaringan, Im Jit-koh pun mulai mempraktekkan berbagai macam teknik senggama untuk memuaskan napsu lelaki itu.

Bwe Si-jin merasakan juga betapa empuk dan nyamannya pembaringan itu, selain lentur juga hebat.

Maka mengikuti gerakan tubuh Im Jit-koh, tombaknya berulang kali menusuk hingga mencapai ke dasar liang perempuan itu.

Kenikmatan yang berbeda-beda membuat dia harus mengagumi bahwa perempuan ini memang amat canggih dalam teknik bermain cinta.

Tanpa sadar sekulum senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya.
Melihat itu, diam-diam Im Jit-koh menghembuskan napas lega, dia pun melanjutkan kembali berbagai gayanya, berusaha memuaskan lawannya.

Tak selang satu jam kemudian, Bwe Si-jin merasakan tubuh bagian bawahnya sudah basah kuyup, liang surga milik perempuan itupun mulai gemetar sangat keras, ia tahu perempuan itu sudah hampir mencapai puncaknya.

Dia memang berniat mengendalikan perkumpulan Jit-seng-kau, terhadap tingkah laku anak buahnya yang jalang dan porno, ia memang berniat untuk menertibkan, maka untuk itu dia ingin menaklukkan dulu perempuan itu.

Tiba-tiba ia membalik badannya, setelah menaikkan sepasang kaki perempuan itu di atas bahu sendiri, dia mulai memainkan tombaknya melancarkan serangkaian tusukan berantai.

"Plook, ploook", diiringi suara gesekan nyaring, terdengar dengus napas Im Jitkoh yang mulai tersengal dan jeritan serta rintihan yang menggoda hati.

Bwe Si-jin tertawa seram, ujung tombaknya mulai menggesek di dalam liang surga dengan kuat.

"Aaaah ... aaaah ... aduh ... sakit... aku ... Loya... aku ... aku tak tahan ... aduh.."
"Hehehe..."
"Aaah ... aaaah ... ahhh ..."

Di tengah jeritan keras, akhirnya perempuan itu mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin segera menggunakan teknik 'menghisap' dan mulai menyedot inti sari kekuatan tubuh perempuan itu.

Im Jit-koh segera merasakan liang surganya kaku dan kesemutan, dia tak bisa mengendalikan diri lagi, cairan dalam liang senggamanya segera mengalir keluar dengan sangat deras.

Perempuan itu segera sadar kalau sang Tongcu sedang menghisap tenaga negatip tubuhnya, dengan ketakutan dan nada gemetar segera rengeknya, "Tongcu... ampun... ampun..."

Untuk sesaat Bwe Si-jin menghentikan hisapan-nya, dengan nada seram ujarnya, "Sayangku, sekarang laporkan semua perbuatan yang pernah kau lakukan selama beberapa tahun terakhir ini."

Melihat keselamatan jiwanya sudah berada dalam cengkeraman 'tombak' milik sang Tongcu, dia tak berani berkutik lagi, mengira semua perbuatan busuknya sudah terbongkar maka secara jujur dia mengakui semua perbuatannya.

Bwe Si-jin hanya mendengarkan tanpa bicara. Tapi makin didengar, ia merasa hatinya semakin bergidik, pikirnya, "Tak kusangka pengaruh Su Kiau-kiau sudah berkembang menjadi begitu besar dan kuat, untung perbuatan busuknya keburu ketahuan, kalau tidak, sebuah bencana besar pasti akan melanda dunia persilatan."

Selesai melakukan pengakuan dosa, dengan suara gemetar kembali Im Jit-koh merengek, "Tongcu, ampunilah jiwaku!"

"Hmm! Nyalimu benar-benar amat besar, siapa sih yang menjadi 'backing'mu selama ini?"
"Soal ini...."
"Hmm, kau sudah bosan hidup?"
"Tongcu, ampun ... ampun ...." teriak Im Jit-koh, "yang mendukungku selama ini adalah Biau-hukaucu!"

"Apa? Dia? Kenapa dia berbuat begitu?" tanya Bwe Si-jin keheranan.
"Hamba sendiri pun tak tahu, hamba hanya tahu melaksanakan semua perintahnya, sebab tubuh hamba sudah keracunan dan setiap tahun butuh menelan sebutir pil penawar racun darinya, bila aku tidak memperoleh pil penawar itu, maka peredaran darahku akan mengalir terbalik, akibatnya mati tak bisa hidup pun susah."

"Ooh, rupanya kau sudah menelan pil Si-sim-wan (pil penghancur hati), tak kusangka dia masih menggunakan racun semacam ini untuk mencelakai orang, apakah dia ada perintah lain yang harus kau laksanakan?"

"Dulu tidak ada, tapi sejak sebulan berselang, dia perintahkan aku untuk mengawasi gerak-gerik Giok-long-kun Bwe Si-jin!"

"Kenapa?" teriak Bwe Si-jin tak tahan.
"Tongcu, dia sama sekali tidak mengemukakan alasannya!"
Kini pikiran Bwe Si-jin menjadi kalut, dia segera bangkit dari pembaringan dan duduk di depan meja sambil termenung.

Ketika Im Jit-koh menyaksikan 'tombak panjang' miliknya masih berdiri tegak, lekas ia berjongkok dan memasukkan tombak itu ke dalam mulutnya kemudian mulai menghisapnya perlahan-lahan.

Kontan Bwe Si-jin merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia tahu perempuan itu sedang berusaha mengambil hatinya, maka dia biarkan perempuan itu menghisap tombaknya dengan leluasa.

"Jit-koh!" ujarnya kemudian, "hampir saja Lohu salah sangka terhadapmu, harap kau jangan marah."

Dengan rasa terharu Im Jit-koh mendongakkan kepalanya.
"Tongcu," katanya, "hamba tahu kalau selama ini telah berbuat salah, asal kau dapat memaklumi, hamba pun merasa berterima kasih sekali."

Selesai berkata, dia melanjutkan hisapannya.

Sembari membelai rambutnya dan meremas puting susunya, Bwe Si-jin memejamkan mata sambil menikmati hisapan itu, sementara otaknya pun mulai berputar, merencanakan langkah berikut.
 
avgas! Mantaft neh cerita.. Tapi ngomong2 kok pendek amat bro ceritanya?
 
Cau-ji telah diajak Siau-si memasuki sebuah ruang kamar, ia lihat di depan pembaringan tersedia sebuah bangku yang aneh sekali bentuknya, tanpa terasa ia berseru tertahan.

Dengan lirih Siau-si segera menjelaskan, "Loya, bangku itu dinamakan Hapkeh-huan (seluruh keluarga gembira), sebentar budak akan memanggil beberapa orang saudara untuk mempraktekkannya!"

Sambil berkata dia merangkul Cau-ji untuk naik ke atas pembaringan.
Dengan tangan gemetar dia siap membantu Cau-ji melepas pakaian, tiba-tiba pemuda itu berseru dengan suara dalam, "Coba panggil beberapa orang lagi!"
"Baik!"

Memandang bayangan tubuhnya yang indah, kembali Cau-ji berpikir, "Tak kusangka gadis cantik yang begitu anggun ternyata anggota dari Jit-seng-kau, Hmm! Tunggu saja, sebentar akan kuberi pelajaran kepadamu."

Sejak tahu paman Bwe pernah disiksa oleh Jit-seng-kau, Cau-ji amat membenci setiap anggota perkumpulan itu, dia berhasrat akan melenyapkan perkumpulan itu hingga ke akar-akarnya.

Tak lama kemudian Siau-si sudah muncul kembali dengan membawa dua belas orang gadis berusia belia.

Cau-ji hanya merasakan harum semerbak berhembus, matanya menjadi terang dan dua belas orang gadis cantik sudah berdiri berjajar di depan pembaringan.

Satu per satu Cau-ji memperhatikan kedua belas gadis itu, terlihat olehnya sepuluh orang pertama berdandan menor dan bertubuh ramping menggiurkan, hanya ada seorang gadis terakhir yang berdandan sederhana berdiri di samping Siau-si.

Melihat itu, dengan perasaan keheranan ia pun berseru, "Ayo, telanjang semua!"
Sepuluh orang gadis yang pertama segera tertawa cekikikan, dalam waktu singkat mereka telah melepas seluruh pakaian yang dikenakan.

Kini tinggal Siau-si dan gadis terakhir yang masih berdiri dengan wajah sangsi.
Cau-ji mengira kedua orang ini jual mahal, hawa amarahnya kontan berkobar, kembali bentaknya, "Ayo, telanjang!"

Dua orang gadis itu saling bertukar pandang sekejap, akhirnya sambil menggigit bibir dan menundukkan kepala, perlahan-lahan mereka melepas pakaian yang dikenakan.

Waktu itu kesepuluh orang gadis lainnya sudah selesai bertelanjang ria, mereka sedang menggoda Cau-ji agar terangsang.

Kepada mereka Cau-ji segera membentak, "Cepat ke sana dan bantu mereka melepas seluruh pakaian yang dikenakan."
Di waktu biasa, kesepuluh orang gadis itu sudah merasa muak dengan tingkah laku Siau-si dan Siau-bun yang dianggap sok suci, mendapat perintah itu, serentak mereka menyerbu.

Dalam gelisah Siau-si dan Siau-bun segera menjejakkan kakinya dan menyelinap ke belakang bangku.

Cau-ji tidak menyangka kalau kedua orang gadis itu memiliki gerakan tubuh yang sedemikian cepat, ia segera melompat bangun dari tempat duduknya sambil menghardik, "Berhenti!"

Betapa dahsyat dan nyaringnya suara bentakan itu, seketika para gadis merasa jantungnya berdebar dan tubuhnya gemetar keras, tanpa sadar serentak mereka menghentikan langkahnya.

Siau-si dan Siau-bun meski tak sampai gemetar, diam-diam mereka terkesiap juga oleh kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki iblis tua itu, tanpa terasa secara diam-diam mereka menghimpun tenaga dalamnya untuk melindungi diri.

"Kalian mau telanjang tidak?" kembali Cau-ji mengancam.
Baru saja Siau-bun akan bersuara, Siau-si sudah bergerak cepat dengan melepas semua pakaian yang dikenakan, dalam waktu singkat ia sudah dalam keadaan telanjang bulat.

Siau-bun menjadi gelisah, segera serunya dengan nada gemetar, "Cici, kau...." Siau-si sama sekali tidak memberikan reaksi, dia hanya berkata, "Ayo, cepat lepas pakaianmu!"

Kemudian ia sendiri berjalan menuju ke dalam rombongan.
Dengan menahan air mata yang nyaris bercucuran, Siau-bun melepas seluruh pakaian yang dikenakan, lalu dalam keadaan telanjang dia berdiri di samping Siau-si.

Cau-ji mendengus dingin, dia berjalan menuju ke depan gadis pertama, lalu dengan tangannya ia remas sepasang payudaranya dan merogoh tubuh bagian bawahnya, setelah dipermainkan sejenak, serunya dengan suara dalam, "Sana, berdiri di samping!"
"Baik!"

Setelah menyingkirkan tujuh orang gadis ke samping, dia memilih tiga orang gadis untuk duduk di atas bangku 'seluruh keluarga senang', sementara dia sendiri berdiri di hadapan Siau-si dan mulai menatap setiap bagian tubuhnya dengan seksama.

Dimulai dari rambutnya yang lembut, matanya yang indah, hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil, terus turun ke bawah ....

Tatkala menatap sepasang payudaranya yang tinggi mendongak, pemuda itu mengawasinya tak berkedip, seolah-olah sangat menikmati keindahan buah dada gadis itu.

Siau-si diam-diam menggigit bibir menahan rasa gusar, sedih dan malunya, ia sama sekali tak bergerak dan membiarkan tubuhnya dinikmati iblis tua itu.

Cau-ji memang berniat mempermalukan kedua orang itu, maka kembali dia berseru, "Sekarang rentangkan sepasang kakimu lebar-lebar!"

Sambil berkata dia pun berbaring di atas tanah sambil menikmati tubuh bagian bawahnya.

Sekujur badan Siau-si gemetar keras, tapi dia masih berusaha menahan diri.
Berbeda dengan Siau-bun, sejak awal dia sudah tak kuasa menahan diri, khususnya setelah menyaksikan kakaknya dipermalukan orang, coba dia tidak berusaha keras menahan diri, mungkin sejak tadi ia sudah maju ke depan dan menginjak tubuh iblis tua itu. "Ehmm, barang bagus!" puji Cau-ji kemudian.

Tidak kelihatan ia menggunakan tenaga apapun, tahu-tahu tubuh lelaki itu sudah bangkit berdiri.

Baik Siau-si maupun Siau-bun, mereka berdua sama-sama memiliki kungfu yang cukup hebat, mereka sadar, berdiri secara perlahan-lahan jauh lebih sulit ketimbang berdiri dengan gerakan cepat, tak urung tercekat hatinya setelah melihat demonstrasi kepandaian itu.

Dengan berlagak seakan-akan tidak memperhatikan soal itu, Cau-ji sengaja berjalan menuju ke depan Siau-bun, lalu secara tiba-tiba ia peluk tubuh gadis itu dan menciumnya secara brutal.

Bagi Siau-bun, ciuman itu merupakan ciuman pertamanya.
Dia malu, gusar bercampur gelisah, baru saja tangan kanannya diayunkan siap menampar wajah lawan, lekas Siau-si menarik lengannya. Cau-ji menyaksikan semua gerakan itu, tapi dia berlagak seolah tidak tahu, bahkan melanjutkan ciuman brutalnya.

Dengan kemampuan ilmu silat yang dimiliki Cau-ji sekarang, apalagi dia memang sudah siap mencium lawannya, kontan saja Siau-bun dibuat kelabakan setengah mati.

Pertama, karena kejadian itu datang secara tiba-tiba, kedua, karena kungfu yang dimiliki Siau-bun memang selisih jauh, tak ampun gadis ini nyaris semaput tak bisa bernapas.

Melihat seluruh tubuh adiknya gemetar keras, Siau-si hanya bisa memejamkan matanya, tangan kanan yang sudah menyiapkan tenaga serangan pun segera dikendorkan kembali.

Dengan suara gemetar lekas teriaknya, "Tongcu, adikku... dia..."
Cau-ji melepaskan ciumannya, mendorong tubuh Siau-bun ke arah Siau-si, lalu serunya keras, "Sekarang coba kalian praktekkan bangku 'satu keluarga senang' itu!"

Tiga orang gadis yang duduk di bangku itu segera menyahut dan menekan sebuah tombol di sisi bangku.

"Kraaak, kraaaak, kraaak", tiga buah bangku yang semula bersatu menjadi sebuah bangku kulit, kini telah berputar ke arah berlawanan, bahkan selisih tinggi bangku pun mencapai setengah meter lebih.

Tampak gadis yang duduk di sebelah tengah mulai menggunakan lidahnya menjilati liang senggama milik gadis di depannya, sementara liang senggama miliknya dijilati oleh gadis yang berada di belakangnya.

Bukan hanya begitu, dari samping mereka terdapat pula dua orang gadis yang masing-masing duduk di bangku di sisinya dan mulai menghisap serta mempermainkan sepasang buah dada milik gadis itu, sementara gadis yang lain ikut menjilati liang senggama milik gadis yang terakhir.

Tak lama pertunjukkan itu berlangsung, kembali ada dua orang gadis bergabung ke dalam rombongan itu dan menempelkan tubuhnya, mereka memperagakan gaya sepasang manusia yang sedang berhubungan intim.

Belum pernah Cau-ji saksikan pertunjukkan maut semacam ini, untuk beberapa saat dia hanya duduk tertegun.
 
Mana lagi...
Mana lagi...
Mana lagi...
Lanjutannya...
Haha :D
gak sabar nh nunggu lanjutannya bis dikit banget sh... :D
 
Still wait n loading...... next p
 
gw punya nih ebooknya,cersil dewasa yg keren...keep posting gan
 
Sementara itu Siau-bun sudah ditolong Siau-si dan mulai sadar kembali, ketika ia saksikan si iblis tua sedang asyik menonton pertunjukan 'seluruh keluarga gembira', segera bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara, "Cici, aku sudah tak sanggup menahan diri!''

"Adikku, ilmu silat yang dimiliki iblis tua itu sangat hebat, kita harus bisa menahan diri."
"Cici, seandainya dia menodai kesucian kita berdua...."
"Tentang hal ini ... lebih baik kita hadapi sesuai keadaan."
"Cici, kita sudah menunggu begitu lama, tapi tak pernah memperoleh kesempatan untuk menyusup ke dalam markas besar Jit-seng-kau, bagaimana kalau kita tangkap iblis tua ini lalu memaksanya untuk membawa kita masuk?"
"Hal ini kelewat berbahaya ... kita bukan tandingannya, apalagi kungfu yang dimiliki kesepuluh orang budak itupun sangat tangguh, kita tak boleh bergerak secara sembarangan."
"Cici, bagaimana kalau dia menodai kesucian kita berdua?"
"Demi ... demi seratusan sukma gentayangan keluarga Suto, kita telah mempertaruhkan keselamatan jiwa kita berdua, kalau nyawa pun sudah digadaikan, buat apa mesti memilikirkan masalah keperawanan? Adikku, bersabarlah!"
"Aku...."

Tak tahan Siau-bun pun menghela napas panjang.
Suara helaan napas itu bagaikan suara guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, Cau-ji seketika tersadar kembali dari lamunannya, ketika berpaling, ia lihat sorot mata Siau-bun yang penuh pancaran sinar kegusaran.

Karena itu dengan sengaja Cau-ji berseru, "Kau, kemari cepat, ayo, bantu aku lepaskan semua pakaianku!"

Kembali Siau-bun gemetar keras, setelah sangsi beberapa saat akhirnya sambil menggigit bibir dia berjalan menghampiri Cau-ji dan mulai membantunya melepas pakaian, meski semua pekerjaan dilakukan dengan tangan gemetar.

Cau-ji salah menduga dengan sikap itu, dia sangka gadis itu menaruh sikap permusuhan terhadapnya, oleh sebab itu dia pun mengambil keputusan hendak memberi pelajaran yang setimpal kepada mereka berdua.

Sambil tertawa seram sepasang tangannya dengan sengaja meraba dan meremas sepasang buah dadanya.

Tak terlukiskan rasa gusar Siau-bun, tubuhnya gemetar keras, menggunakan kesempatan di saat melepas celananya, dia bungkukkan badan dan menghindari sergapan yang datang dari atas.

Siapa tahu Cau-ji telah berganti sasaran, kali ini tangannya mulai meraba ke pinggulnya dan terus meluncur ke tubuh bagian bawahnya.

Segera gadis itu berjongkok untuk menghindari rabaan ini.
Cau-ji segera mendengus dingin, pikirnya, "Sialan betul budak ini, dia mau mencoba menghindari rabaanku? Hmm, biar kuberi pelajaran yang lebih hebat."

Dengan suara dalam segera hardiknya, "Berdiri kau!"
Siau-si yang menyaksikan kejadian itu segera datang melerai, dia kuatir adiknya tak mampu mengendalikan diri hingga melancarkan serangan.

"Tongcu," ujarnya sambil tertawa, "biar budak yang melayanimu!"
Cau-ji mendengus dingin, sambil duduk di tepi pembaringan dia mengawasi terus gerak-gerik Siau-bun yang sedang membantunya melepas kaos kaki.

Ketika Siau-bun selesai melepas semua pakaian yang dikenakan Cau-ji dan siap bangkit berdiri, tiba-tiba pemuda itu menghardik lagi, "Hisap!"

Tak tahan Siau-bun gemetar keras, bulu kuduknya berdiri.

Mereka berdua sebenarnya adalah putri kesayangan keluarga Suto, seandainya bukan bertujuan untuk membalas dendam, tentu saja mereka tak akan bergabung di tempat yang penuh maksiat.

Tak heran kalau Siau-bun jadi tertegun dan merasa keberatan untuk melakukannya ketika mendengar Cau-ji memerintahnya untuk menghisap 'tombak' miliknya.

Tentu saja mereka tahu, menghisap alat milik lelaki hanya dilakukan perempuan jalang.
Kembali Cau-ji tertawa seram.
Kesepuluh orang nona lainnya pun ikut tertawa senang.
Mendadak Siau-si ikut berjongkok di sisi Siau-bun, tampaknya dia sudah bersiap untuk menghisap tombak milik Cau-ji yang mulai berdiri tegak itu.

Tapi sebelum gadis itu melakukannya, dengan satu gerakan cepat Cau-ji telah mencengkeram bahu kirinya dan menyeret gadis itu ke samping, kemudian sambil tertawa seram sekali lagi dia membentak, "Cepat hisap!"

Melihat kakaknya dicengkeram lawan, Siau-bun tak berkutik lagi, dengan air mata bercucuran akhirnya ia berjongkok di depan pembaringan dan mulai menghisap tombak itu.

"Perlahan sedikit, perempuan jadah!" umpat Cau-ji tiba-fiba.

Siau-bun tak kuasa menahan rasa sedihnya, air mata bercucuran makin deras.

Sembari melelehkan air mata, dia menghisap 'tombak' itu perlahan-lahan.
Cau-ji merasa puas sekali dengan perbuatannya, kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Kini sepasang tangannya dengan leluasa mulai menggerayangi buah dada milik Siau-si, lalu meraba pula bagian terlarang miliknya.

Berapa saat kemudian, ketika rasa jengkelnya sudah agak mereda, ia baru mendorong pergi kedua orang gadis itu sambil bangkit berdiri.

Dia langsung menuju ke depan kursi 'seluruh keluarga senang', lalu sambil memeluk tubuh seorang gadis yang kelihatan sangat montok, perintahnya, "Kalian semua mundur!"

Dengan berat hati kawanan gadis itu mengawasi tombak milik Cau-ji yang masih berdiri tegak sambil mengenakan kembali pakaiannya, kemudian secara beruntun mereka berlalu dari situ.

Cau-ji kembali meremas buah dada milik gadis dalam pelukannya, setelah tertawa seram tanyanya, "Siapa namamu?"
"Ji-sui!"
"Hmmm ... hmmm ... ternyata orangnya persis seperti namanya, milikmu kelewat banyak airnya...."

Sambil berkata dia merogoh bagian bawah tubuh gadis itu.
Ji-sui tertawa cekikikan.
"Ji-sui, sekarang naikkan bangku itu sedikit lebih tinggi lagi," kembali Cau-ji memberi perintah.

Sambil berkata dia duduk di bangku bagian tengah.
Ketika Ji-sui telah menaikkan kedua bangku di sampingnya, Cau-ji kembali menggapai ke arahnya sambil berseru, "Ji-sui, sekarang akan kulihat kebolehanmu!"

Ji-sui segera melompat naik ke atas bangku, sepasang kakinya direntangkan lebar-lebar, kemudian setelah mengincar persis arah ujung tombak milik lawan, dia pun menekan tubuhnya ke bawah.

"Cluuup!", ujung tombak itupun menghujam masuk ke dalam liang surganya.
"Woouw ... mantap!" teriaknya tertahan, "Tongcu, tak kusangka milikmu jauh lebih galak ketimbang milik anak muda, hampir saja ujungnya menembus kulit perutku!"

Sambil berkata dia mulai menggenjot badannya naik turun.
Cau-ji tertawa bangga, dia melirik ke arah Siau-si dan Siau-bun sekejap, kemudian menuding ke arah dua bangku kosong yang berada di sisinya.

Dua bersaudara itu saling berpandangan sekejap, akhirnya sambil menggigit bibir mereka duduk di bangku yang tersedia.

Cau-ji mulai merangkul tubuh kedua orang gadis itu dari kiri kanan, bahkan jari tangannya mulai meraba dan meremas-remas buah dada milik kedua orang nona itu secara bergantian.

Sambil memaksakan diri untuk tersenyum, kedua orang gadis itu membiarkan badannya dijamah orang.
"Siapa namamu?" tiba-tiba Cau-ji bertanya kepada Siau-bun.
"Siau-bun!"
"Hmm, memangnya tak punya orang tua? Dari marga apa?"

Hawa amaran kembali berkobar dalam dada Siau-bun, tapi sebelum dia mengumbar amarahnya, Siau-si telah menimpali, "Tongcu, budak dari marga Poh!"

Cau-ji tertawa seram, masih terhadap Siau-bun, tanyanya, "Kau dari marga apa?"
"Poh!" jawab Siau-bun kaku.

"Poh Bun? Huuuh, sepeser pun tak ada nilainya," jengek Cau-ji sinis.

Sembari berkata, dia sengaja memencet putting susu miliknya dengan keras.
Siau-bun menjerit kesakitan, tanpa sadar dia mengayun tangan kanannya melancarkan sebuah bacokan.

"Tahan!" segera Siau-si membentak.
Tapi dengan gerakan cepat Cau-ji telah mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanannya, sambil tertawa seram kembali serunya, "Budak busuk, besar amat nyalimu, berani melawan aku? Hmmm, lihat saja bagaimana Lohu memberi pelajaran kepadamu!"

Sambil berkata tangan kanannya menyodok ke muka.
Sambil mengertak gigi Siau-bun segera melepaskan pukulan dengan tangan kirinya untuk menangkis.

Cau-ji tertawa dingin, telapak tangan kanannya dibalik dan segera mencengkeram pergelangan tangan kirinya.

Pada saat itulah mendadak terdengar Ji-sui membentak nyaring, "Siau-si, kau berani!"

Telapak kirinya telah dibabatkan ke atas pergelangan kanan Siau-si yang sedang digunakan untuk membacok punggung Cau-ji.

Baru saja Cau-ji berhasil menotok jalan darah kaku di tubuh Siau-bun, ia mendengar jeritan ngeri dari Ji-sui, cepat badannya berbalik, tampak pukulan Siau-si sudah bersarang di dada perempuan itu, membuat si nona segera roboh terjungkal.

Cau-ji gusar sekali, dia segera melancarkan sebuah pukulan untuk menyongsong datangnya bacokan yang dilepaskan Siau-si.

Selisih jarak kedua orang itu sangat dekat, begitu serangan dilancarkan, sepasang tangan pun saling beradu.

"Dukkkk!", di tengah benturan keras, tubuh Siau-si berikut bangkunya sudah roboh terjungkal.

Belum sempat gadis itu bangkit berdiri, Cau-ji sudah menyusul tiba dan melepaskan satu totokan kilat.

Ketika dua orang gadis itu sudah berhasil dikuasai, Cau-ji baru berpaling memandang ke arah Ji-sui.

Waktu itu gadis itu sudah roboh terkapar dengan napas lemah dan darah bercucuran dari mulutnya, jelas ia sudah terluka parah.

Lekas dia bopong tubuhnya dan membuka pintu kamar.

Waktu itu ada dua orang gadis sedang berjaga di depan pintu, ketika melihat Tongcu mereka muncul sambil membopong Ji-sui yang terluka parah, segera tanyanya, "Tongcu, apa yang telah terjadi?"

"Masa kalian tidak mendengar suara pertarungan di dalam kamar?" tegur Cau-ji dengan suara dalam.

Gadis yang berada di sebelah kanan segera menyahut, "Lapor Tongcu, ruangan itu dilengkapi dengan lapisan kedap suara, hamba sama sekali tidak mendengar suara apapun."

Dengan pandangan penuh amarah Cau-ji berseru, "Kalian segera tolong jiwa Ji-sui, di samping itu segera siapkan dua butir obat perangsang!"

Gadis itu segera membopong tubuh Ji-sui dan beranjak pergi dari situ.
Sementara gadis yang lain berkata, "Lapor Tongcu, di bagian bawah ranjang terdapat sebuah botol, isi botol itu adalah obat perangsang!"

Cau-ji masuk kembali ke dalam kamar, setelah mengunci pintu dia berjalan ke depan pembaringan, benar saja ia segera menjumpai ada sebuah botol berisi obat.

Dia pun menuang dua butir pil berwarna merah, kemudian berjalan menuju ke hadapan Siau-si.

Tiba-tiba terdengar Siau-si berseru, "Tongcu, cepat tekan dagu Siau-bun!"

Baru saja Cau-ji akan melompat ke depan, sambil tertawa keras Siau-bun telah berseru, "Cici, aku tak bakal melakukan perbuatan bodoh"

Cau-ji segera dibuat tertegun oleh tingkah laku kedua orang gadis itu.

"Tongcu," ujar Siau-bun kemudian dengan suara tenang, "budak bersedia mempersembahkan tubuhku, tapi aku berharap kau bersedia pula menerima kami dua bersaudara sebagai dayangmu, agar setiap saat kami dapat melayanimu."

Cau-ji tidak menyangka kalau gadis keras kepala itu bisa menunjukkan perubahan sikap yang drastis dalam waktu singkat, setelah berpikir sejenak tegurnya.

"Rencana busuk apa yang sedang kau persiapkan?"
"Tongcu, budak sebenarnya tak rela kehilangan kesucianku di tanganmu, tapi sekarang budak telah melakukan tindakan yang berakibat terjadinya musibah, bila Tongcu tak bersedia menerima kami, bisa jadi nasib budak akan berakhir lebih tragis!"

Sambil tertawa seram Cau-ji mengawasi gadis itu tanpa berkedip.
Siau-bun hanya menundukkan kepala dengan wajah lesu, dia sama sekali tak berkata lagi.

Cau-ji tahu, persoalan ini tidak mungkin begitu sederhana, di balik semua ini pasti tersembunyi suatu rencana busuk, maka sambil tertawa dingin dia berjalan menghampirinya.

"Tongcu," seru Siau-si pula dengan gemetar, "kau paling tahu soal hukuman yang berlaku dalam perkumpulan, budak lebih rela musnah di tanganmu daripada terjatuh ke tangan orang lain."

"Hehehe, bagus, bagus sekali, kalau memang begitu keinginan kalian, tentu saja aku akan menerima dengan senang hati. Cuma ada satu hal perlu Lohu kemukakan dulu, bila kalian bisa memuaskan diriku, aku baru bersedia menerima kalian, kalau tidak, hmmm! Jangan salahkan kalau Lohu tak berperasaan."

"Baik!" sahut Siau-bun sedih.

Cau-ji segera menotok bebas jalan darah kedua orang gadis itu, kemudian baru naik ke atas ranjang dan membaringkan diri.

Rombongan iblis merampok duit
 
Bimabet
Rombongan iblis merampok duit

Suto bersaudara semakin terkesiap lagi setelah menyaksikan kemampuan iblis tua itu menotok bebas jalan darah mereka hanya dengan sekali kebasan tangan, mereka sadar musuh benar-benar sangat tangguh.

Maka tanpa banyak bicara lagi Siau-bun segera melompat naik ke atas ranjang dan menaiki tubuh Cau-ji

"Adikku, biar aku duluan!" Siau-si berseru. "Tidak, Cici, kau beristirahatlah dulu!" seru Siau-bun serius.

Kemudian sambil menggigit bibir dia merentangkan bibir bagian bawah miliknya, membuka lubang surganya dan perlahan-lahan dihujamkan ke atas ujung 'tombak' milik lawan.

Siau-si segera menyaksikan peluh dingin bercucuran membasahi tubuh Siaubun, bukan hanya itu, bahkan tubuhnya gemetar keras.

la tahu adiknya sedang merasakan kesakitan yang luar biasa karena selaput perawannya robek untuk pertama kalinya.

Cau-ji sendiri pun merasakan ujung tombaknya agak sakit ketika tertelan oleh liang surga milik Siau-bun yang kering, sempit dan masih amat kencang itu.

Lekas serunya, "Jangan terburu-buru, perlahan sedikit, lebih baik berbaring saja."

Sambil berkata dia memeluk pinggangnya dan dibaringkan ke atas ranjang.
Terlihat tetesan darah segar mengalir keluar dari liang surga milik Siau-bun.
"Mungkinkah aku telah salah menilainya?" melihat itu Cau-ji mulai berpikir.
Dengan sangat penurut Siau-bun berbaring di samping tubuhnya, dia pejamkan mata dan tak berani menengok ke arahnya.

Waktu itu Siau-si sedang duduk bersila sambil mengatur pernapasan, melihat caranya yang begitu serius, kembali Cau-ji tertegun, pikirnya, "Menurut cerita ibu, kecuali orang yang berlatih ilmu putih, tak mungkin dia akan menunjukkan sikap semacam ini di saat sedang bersemedi, jangan-jangan..'
Lekas dia bangkit berdiri.
Dengan keheranan Siau-bun membuka matanya, serunya gemetar, "Tongcu, kau jangan ingkar janji"
"Aku... aku...."

Tiba-tiba Siau-bun menempelkan telapak tangannya di atas ubun-ubun sendiri, ancamnya, "Tongcu, bila kau mengingkari janji, terpaksa budak akan segera menghabisi nyawa sendiri."

"Tunggu sebentar, aku ... aku ... beritahu dulu asal-usul kalian yang sebenarnya!"
Siau-bun sangat terkejut, setengah terpejam matanya ia termenung, sesaat kemudian baru ujarnya dengan suara berat, "Budak bernasib jelek, sejak kecil sudah dijual orang ke tempat ini, sudahlah, jangan singgung asal-usul kami lagi, kejadian itu sangat memalukan!"

"Berdasarkan kepandaian silat yang kalian miliki, seharusnya bukan pekerjaan yang sulit untuk pergi meninggalkan tempat ini, dan lagi siapa yang mampu menghalangi kalian?"

"Betul, memang tak ada yang bisa menghalangi kepergian kami, tapi siapa pula yang akan memunahkan racun yang bersarang di tubuh kami berdua?"

"Soal ini...."

Kembali Siau-bun tertawa sedih. Tiba-tiba Cau-ji mendengar Siau-si mendengus tertahan, lalu menyaksikan tubuhnya bergoncang keras dengan perasaan terkejut segera dia melompat ke belakang tubuhnya.

Secara beruntun dia melepaskan beberapa pukulan di atas punggungnya, kemudian sambil menempelkan telapak tangan kanannya di jalan darah Pakhwe-hiat, katanya dengan suara berat, "Konsentrasikan pikiranmu jadi satu, ikuti tenaga dalamku yang mengalir ke seluruh badan."

Perlahan-lahan dia salurkan tenaga murninya ke dalam tubuh si nona.
Melihat tindakan yang dilakukan Cau-ji, Siau-bun serta-merta menghentikan tertawanya.

Ketika melihat kondisi encinya, rasa sedih dan mendongkol kembali bercampur aduk, akhirnya sambil menahan rasa sakit yang timbul dari lubang surganya, dia merangkak turun dari pembaringan.

Rupanya seruan Cau-ji yang dilakukan dalam keadaan panik tadi telah menggunakan suara aslinya, tak heran kalau gadis ini jadi tertegun, dengan sepasang matanya yang jeli dia pun mengawasi tubuh lelaki itu tanpa berkedip.

Sayang ilmu menyaru muka milik Bwe Si-jin sangat hebat, ditambah lagi rambut Ho Ho-wan yang asli pun memang masih hitam, maka sulitlah baginya untuk menemukan sesuatu titik kelemahan.

Sekalipun begitu, ada satu hal dia merasa yakin, yaitu orang ini dapat dipastikan bukanlah Ho Ho-wan, salah satu anggota dari sepasang malaikat bengis dari In-lam yang tersohor tak banyak bicara, sangat teliti dan berhati keji.

Diam-diam dia mulai putar otak sambil mencari cara bagaimana agar bisa menemukan jawaban yang sebenarnya.

Mendadak terlihat tubuh Siau-si bergetar keras, diikuti Cau-ji menghembuskan napas panjang sembari berkata, "Sekarang aturlah pernapasanmu dan lakukan tiga kali putaran!"

Sambil berkata dia pun bangkit berdiri.

"Terima kasih Tongcu!" seru Siau-bun sambil menubruk ke dalam pelukan Cau-ji.
"Kau ..."

Baru saja Cau-ji buka suara, mulutnya segera disumbat oleh bibir mungil dari gadis itu.

Siau-bun menempel ketat di tubuhnya bahkan dengan sangat berani menciumnya, menghisap ujung lidahnya, sementara sepasang tangannya mulai meraba seluruh badan lelaki itu, meraba tombaknya dan meremas kedua telur puyuhnya.

Dasar Cau-ji masih muda dan berdarah panas, mana mungkin dia bisa bertahan menghadapi godaan dan rangsangan seperti itu.

Kontan saja jantungnya berdebar keras, sepasang tangannya yang menggerayangi tubuh nona itupun semakin liar.

Sambil berciuman dengan penuh kehangatan, Siau-bun perlahan-lahan menggeser badannya menuju ke depan pembaringan.

Tanpa terasa akhirnya kedua orang itu menjatuhkan diri berbaring di atas ranjang.

Siau-bun merentangkan sepasang pahanya lebar-lebar lalu badannya digerakkan ke bawah, dengan sangat berhati-hati dia mengantar lubang surganya persis di atas ujung tombak lawan.

Begitu posisinya sudah persis, dia pun menekan badannya ke bawah dan menelan seluruh tombak itu hingga ke dasarnya.

Orang bilang, "kalau lelaki ingin wanita, susahnya seperti melampaui sebuah bukit karang, tapi kalau perempuan yang ingin lelaki, gampangnya seperti menyingkap sehelai tirai".

Kini Siau-bun sendiri yang membuka lebar pintu surganya, malahan dia pula yang membantu memasukkan sang tombak ke dalam liang, seketika semuanya berjalan sangat lancar dan sederhana.

Cau-ji segera merasakan tombak miliknya sekali lagi berpetualangan di dalam gua yang sempit lagi kering, hanya saja saat ini keadaan gua sudah tidak sekering pertama kali tadi, jalan yang sedikit becek tergenang air justru mempermudah dan memperlancar jalannya sang tombak menuju ke dasar.

Tanpa terasa akhirnya tibalah ia di tempat tujuan, sekalipun masih ada sebagian kecil tombaknya yang tertinggal di luar gua, namun diam-diam ia bisa menghembuskan napas lega.

Paling tidak, sebagian besar tombak pusakanya telah menghujam ke dalam gua surga itu.

Kini Siau-bun telah menggeser bibirnya dari bibir lawan, dia pejamkan matanya rapat-rapat dan tak berani lagi memandang ke arah Cau-ji.

Dengan penuh kasih sayang Cau-ji mulai menciumi gadis itu, kemudian sambil setengah memeluk pinggangnya dia mulai menggerakkan badannya naik turun, genjotannya dilakukan amat perlahan dan sabar, karena dia tahu gadis itu baru robek selaput daranya.

Sesuai dengan ajaran yang pernah diterima dari ibunya, dia menggenjotkan badannya sangat perlahan dan penuh kasih sayang.

Lambat-laun Siau-bun merasakan rasa sakitnya makin berkurang, sebaliknya di dasar lubang surganya ia mulai merasakan linu-linu gatal yang sangat aneh, rasa gatal itu makin lama semakin menjadi dan rasanya ingin sekali digaruk.

Keadaannya waktu itu persis seperti munculnya rasa gatal di badan, rasa gatal itu memaksa harus menggaruknya berulang kali, makin digaruk rasanya makin nikmat, sampai akhirnya biar digaruk hingga terluka pun tak menjadi masalah, karena rasa nikmatnya itu yang benar-benar diharapkan.

Tak kuasa lagi Siau-bun mulai menggerakkan badannya, menggoyang pantatnya kian kemari mengiringi gerakan tombak lawan, tujuannya adalah untuk menggaruk rasa gatal di dasar lubangnya itu.

Kebetulan Siau-si baru saja selesai bersamadi, ketika melihat reaksi dari Siaubun yang begitu hangat dan terangsang, ia jadi tertegun dibuatnya.

"Heran," demikian ia berpikir, "bukankah adik amat membenci Tongcu? Apa yang terjadi? Jangan-jangan ia sudah dicekoki obat perangsang?"

Tanpa terasa dia mengawasi dengan lebih seksama.
Cau-ji yang menyaksikan Siau-bun mulai menunjukkan reaksinya, ia sadar kalau ajaran ibunya tidak keliru, maka dia pun mulai mempercepat gerakan genjotannya....

"Plook... plookkk ....", bunyi gencetan lubang yang nyaring pun segera bergema di seluruh ruangan.

Tiba-tiba Siau-bun bangun dan duduk, sambil memeluk leher Cau-ji, dia menghadiahkan sebuah ciuman yang amat mesra.

Ciuman itu selain panjang, juga amat mendalam. Sepasang tangannya mulai membelai wajah Cau-ji, membelai pipinya, membelai jenggotnya yang panjang berwarna putih....

Beberapa saat kemudian akhirnya ia berhasil menjumpai perbedaan kulit di wajah pemuda itu, sebagian kulit terasa agak kasar dan sebagian lagi terasa sangat lembut.

Dia tahu wajah orang ini memang hasil dari penyaruan muka, atau dengan perkataan lain, orang ini memang bukan iblis tua yang dibencinya.

Penemuan ini membuatnya sangat kegirangan di samping perasaan lega, perlahan ia berbaring lagi di atas ranjang.

"Tongcu," gumamnya kemudian, "oooh koko ... koko yang baik ... ayo, lebih keras lagi ... oooh ... masukkan lebih dalam ...."

Cau-ji yang masih tercekam oleh kobaran birahi, sama sekali tak sadar kalau rahasia penyaruannya sudah ketahuan, benar saja, ia segera menggenjot badannya lebih kuat dan dalam.

Siau-bun segera menyambut tantangan itu dengan menggerakkan badannya lebih jalang, kini dia bisa menikmati hubungan itu tanpa rasa sangsi dan takut lagi.

Siau-si yang menonton dari samping, makin tertegun dibuatnya, kembali ia berpikir, "Aneh! Kalau dilihat tampang adikku, jelas ia berada dalam kondisi sadar, tapi ... kenapa ia berubah menjadi jalang dan penuh napsu birahi?"

Siau-bun sendiri, setelah tahu kalau lawannya adalah seseorang yang telah menyaru, kemudian membayangkan pula semua tingkah laku dan sepak terjang yang dilakukan orang itu tadi, dia mulai berpikir, jangan-jangan orang inipun musuh Jit-seng-kau yang sedang berusaha menyusup masuk? Andaikata dugaannya tak keliru, bukankah sama artinya mereka akan mendapat bantuan besar?

Membayangkan sampai di situ dia pun menjadi sangat gembira.

Seandainya dia belum berani memastikan seratus persen, ingin sekali dia menyampaikan berita itu kepada kakaknya.

Karena hatinya gembira, otomatis seluruh ketegangan ototnya pun mengendor.
Karena pikirannya sudah mengendor, maka gadis inipun bisa mempraktekkan semua gerakan yang pernah disaksikannya selama ini untuk melayani pemuda itu.

Sepeminuman teh kemudian, gadis itu mulai merintih keenakan, "Aaaah ...aaaah ... koko ... kokoku sayang ... aku ... aku ... aduh ... aduuh ... lebih kuat lagi ... betul ... lebih kuat lagi ... masukkan yang dalam ... aduh ... aku ... aku..'

Tubuhnya mulai gemetar keras.

Cau-ji tahu gadis itu segera akan mencapai orgasme, maka dia pun memperketat genjotan badannya.

"Plook ... ploook' di tengah suara gesekan yang makin cepat dan gencar, pemuda itu membawa si nona menuju puncak kenikmatan.

Menyaksikan adegan itu, Siau-si tak kuasa menahan diri lagi, cepat dia melompat naik ke atas ranjang lalu berbaring di samping mereka sambil merentangkan kakinya lebar-lebar.

Mendadak terdengar Siau-bun menghela napas panjang, tubuhnya gemetar semakin keras.

Tak lama kemudian napasnya tersengal-sengal, seluruh anggota badannya terkulai lemas, tak bertenaga lagi.

Namun matanya yang jeli masih menatap Cau-ji dengan termangu, senyuman yang menggoda masih menghiasi ujung bibirnya.

Cau-ji semakin memperketat gerakan tombaknya, kini dia menghujamkan senjatanya hingga mencapai ke dasar liang, menikmati denyutan serta getaran yang dihasilkan dari dasar liang itu ....

Selang beberapa saat kemudian dia menciumi gadis itu makin bernapsu, kemudian setelah beberapa kali genjotan yang makin cepat tiba-tiba ia mencabut keluar tombaknya....

Botol arak dibuka, buih putih pun menyembur.

Darah perawan berbaur dengan cairan kental berwarna putih segera meleleh keluar dari lubang surga Siau-bun.

Lekas Siau-si menyodorkan sehelai handuk dan sebuah selimut sambil katanya, "Adikku, cepat bersihkan tubuh bagian bawahmu, jangan sampai masuk angin!"

Siau-bun segera menerima handuk itu dan membersihkan lubang surganya, lalu setelah menghela napas katanya, "Cici, ternyata Tongcu adalah orang baik, tadi dia telah menyelamatkan nyawamu, kau harus membayar budi kebaikannya."

Dengan wajah jengah Siau-si manggut-manggut, dia pun memejamkan matanya.

Setelah beristirahat beberapa saat lamanya, tombak Cau-ji mulai menegang keras lagi, dia pun mulai membungkukkan badannya dan menghisap putting susu milik Siau-si yang besar, kenyal dan masih kencang itu.

Ternyata pelajaran seks yang diajarkan ibunya memang sangat hebat.
Tadi Cau-ji sudah membuktikan kebenaran ajaran itu dengan mempraktekkannya di tubuh Siau-bun, maka sekarang rasa percaya dirinya semakin meningkat, dia ingin mencoba tehnik pemanasan yang pernah diperolehnya untuk membuktikan reaksi dari gadis itu.

Siau-si segera merasakan seluruh tubuhnya gatal, kaku dan panas sekali, hisapan pada puting susunya, gerayangan tangan yang meraba sekujur badannya membuat gadis ini mulai terangsang juga.

Tak kuasa lagi dia mulai menggerakkan tubuh bugilnya kian kemari.
Cau-ji menciumi dadanya, menggigit puting susunya lalu mulai mencium perutnya, pusarnya, terus turun ke bawah ... mulai menciumi hutan bakaunya dan makin ke bawah ... menciumi seputar lubang surganya ....

Sekujur tubuh Siau-si bergidik, rangsangan itu membuat birahinya meningkat, apalagi ketika jenggot berwarna putih itu menggesek kulit badannya, gadis itu segera merasakan satu kenikmatan yang tak terlukiskan dengan kata.

Akhirnya ia tak bisa menahan diri lagi, gadis itu mulai merintih, merintih kenikmatan!

Cau-ji segera meraba lubang surganya, terasa tempat di seputar itu mulai basah oleh cairan putih, ia tahu gadis itu sudah makin terangsang birahinya.

la tahu kini saatnya sudah matang, maka bibirnya menciumi dada, leher dan tengkuknya makin menggila.

Sementara mencium, tubuh bagian bawahnya mulai bergeser ke atas badan gadis itu dan menempelkan tombaknya di atas lubang surga.

Siau-bun pura-pura beristirahat padahal secara sembunyi-sembunyi dia membuka sedikit matanya untuk mengintip.

Dia ingin turut menyaksikan permainan seks dari kakaknya, dia pun ikut membayangkan betapa nikmatnya ketika bagian-bagian tertentu di tubuh kakaknya dicium, dibelai dan dijilat lawan.

Makin mengintip hatinya semakin berdebar keras, tiba-tiba saja tubuh bagian bawahnya mulai terasa panas kembali.

Sementara itu Cau-ji telah menciumi bibir Siau-si dengan penuh napsu, ia mulai menghisap ujung lidah gadis itu dan menggigitnya perlahan, sedang tombaknya yang sudah menempel di atas lubang surga, perlahan-lahan mulai ditusukkan ke bawah dan menelusuri liang surga yang sempit lagi kering itu.

Mereka berdua berpelukan makin kencang. Mereka berdua berciuman makin hangat dan mesra.
Tubuh bagian bawah mereka pun mulai bergerak, mulai bergoyang sangat lambat, bergerak naik turun dengan sangat hati-hati.

Siau-bun merasakan napsu birahinya bangkit kembali, terbayang betapa nikmatnya ketika ditiduri tadi, ia merasa lubang surganya mulai terasa geli dan gatal sekali, seakan-akan ingin sekali ada satu benda besar yang menusuk lubangnya dan menggaruknya dengan keras....

Tiba-tiba ia merasakan kenikmatan yang luar biasa, lagi-lagi ia mencapai orgasme....

Waktu itu Cau-ji sudah menggerakkan badannya makin cepat.

Beberapa saat kemudian, Siau-si mulai merintih kenikmatan, tubuhnya mulai gemetar keras....

Tapi Siau-si tak berani berteriak, sebab pertama dia memang lebih alim, kedua di situ hadir adiknya, dia tak tega untuk mengeluarkan suara rintihan kenikmatannya, karena itu dia hanya mendengus untuk menggantikannya.

Ketika Cau-ji merasakan lubang surga milik gadis itu mulai gemetar keras, diam-diam dia mengerahkan hawa murninya, sesuai dengan ajaran yang diperoleh dari Bwe Si-jin, dia bersiap-siap akan melepaskan puncak kenikmatannya.

Gerakan naik turunnya segera dipercepat.

Akhirnya Siau-si tak kuasa menahan diri lagi, ia mulai berteriak, "Aaaaah ...ahhhh..'

Teriakannya makin lama semakin keras dan jeritannya bergema tiada hentinya.

Melihat itu Siau-bun segera berbisik, "Cici, kalau ingin berteriak, cepatlah berteriak, makin berteriak, kau akan merasa semakin nikmat."

"Aku ... aku ... aduh ... aduuuh ... aaaah ... ahhhh.."

Akhirnya diiringi jerit kenikmatan yang keras, Siausi mencapai orgasme, tubuhnya tidak bergerak lagi.

Cau-ji pun mempercepat genjotannya, setelah naik turun belasan kali akhirnya dia pun mencapai puncaknya dan menyemburkan cairannya.

Kali ini merupakan kali pertama ia mencapai puncak kenikmatan dalam keadaan sadar, Cau-ji merasakan tubuhnya begitu nyaman, segar bagai melayang di atas awan.

Lama, lama kemudian, ia baru merangkak turun dari tubuh gadis itu.

Siau-bun mengambil sehelai handuk dan membantunya menyeka keringat, lalu sambil menahan rasa pedih di tubuh bagian bawahnya dia berjalan menuju ke sisi pembaringan dan menyiapkan air panas di dalam bak mandi.

"Tongcu, bersihkan dulu badanmu," bisiknya halus.

"Ooh, baiklah!"

Ketika Cau-ji masuk ke kamar mandi, Siau-bun pun segera membisiki Siau-si tentang apa yang berhasil ditemukannya ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd