Frantines
Kakak Semprot
Sambil tertawa Im Jit-koh segera melompat naik ke dalam pangkuannya.
"Cruuuppp!", begitu dia melompat, ujung tombak yang tegang keras seketika menghujam ke dalam liang surganya hingga tertelan seakar-akarnya.
"Aduuh!" tak tahan perempuan itu menjerit kesakitan.
Dengan kaget Siau-si berpaling.
Cau-ji segera berseru dengan suara dingin, "Rasakan kalau tak bisa menahan diri, kalau sudah bernapsu pun mesti bisa mengendalikan diri."
Bwe Si-jin ikut tertawa tergelak.
"Sayangku, jangan terburu napsu, kalau sampai terluka bisa berabe."
"Loya, aku tidak menyangka kalau 'anu'mu begitu panjang," kata Im Jit-koh sambil menjulurkan lidahnya, "sudah tentu milikku jadi kesakitan karena terbentur sampai ke dasarnya, kau malah menertawakan aku."
"Hahaha, tahu rasa sekarang!" sambil berkata dia peluk pinggulnya dengan kuat, lalu menekannya ke bawah lebih keras sehingga tombaknya benar-benar terbenam hingga ke dasar.
"Aaaah," sekali lagi Jit-koh menjerit kesakitan, saking pedihnya, air mata sampai bercucuran membasahi pipinya.
Kalau dilihat dari tampangnya, kelihatan kalau kali ini dia benar-benar kesakitan.
Melihat perempuan itu menjerit kesakitan, Bwe Si-jin bertambah napsu, sambil tertawa tergelak dia melanjutkan tekanannya ke atas.
Kontan saja Im Jit-koh menjerit kesakitan, sambil berulang kali mengaduh, peluh dingin makin deras membasahi tubuhnya.
Cau-ji tahu paman Bwe sedang memberi kisikan kepadanya agar bersikap buas dan sekasar sepasang malaikat dari In-lam.
Maka sambil mencolek pinggul Siau-si, dia pun ikut tertawa seram.
Waktu itu Siau-si sedang berdiri tertegun, dia tak menyangka Jit-koh yang terkenal jalang dan sangat berpengalaman dalam hubungan badan pun akan menjerit kesakitan setelah 'dinaiki' Tongcu ini, cubitan yang mendadak kontan membuatnya menjerit keras.
Sambil menahan perasaannya Cau-ji kembali berseru, "Ayo, jalan!"
Dengan air mata bercucuran dan menundukkan kepala rendah-rendah Siau-si menyahut dan berjalan meninggalkan ruangan.
Diam-diam Bwe Si-jin manggut-manggut, teriaknya cepat, "Aduh, sayangku, begitu baru nikmat rasanya!"
"Ya, memang nikmat, nikmat sekali," sahut Im Jit-koh sambil menahan rasa sakit, "Loya, aku lihat tombakmu makin hari makin bertambah panjang saja."
"Hehehe, selama beberapa tahun terakhir ini kau sudah terbiasa hidup makmur di sini, tentu saja kau tak bakal tahan dengan barangku, begini saja, biar aku cari perempuan lain untuk menggantikan dirimu."
"Jangan, jangan," lekas Im Jit-koh berseru, wajahnya berubah hebat, "hamba pasti dapat memuaskan napsumu!"
Bwe Si-jin meletakkan sepasang tangannya di sisi bangku, kemudian sambil memejamkan mata, ia tertawa cabul tiada hentinya.
Segera Im Jit-koh menekan sebuah tombol di sisi kanan bangkunya,
"Kraaaak!", bangku itu segera berubah menjadi sebuah pembaringan, Im Jit-koh pun mulai mempraktekkan berbagai macam teknik senggama untuk memuaskan napsu lelaki itu.
Bwe Si-jin merasakan juga betapa empuk dan nyamannya pembaringan itu, selain lentur juga hebat.
Maka mengikuti gerakan tubuh Im Jit-koh, tombaknya berulang kali menusuk hingga mencapai ke dasar liang perempuan itu.
Kenikmatan yang berbeda-beda membuat dia harus mengagumi bahwa perempuan ini memang amat canggih dalam teknik bermain cinta.
Tanpa sadar sekulum senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya.
Melihat itu, diam-diam Im Jit-koh menghembuskan napas lega, dia pun melanjutkan kembali berbagai gayanya, berusaha memuaskan lawannya.
Tak selang satu jam kemudian, Bwe Si-jin merasakan tubuh bagian bawahnya sudah basah kuyup, liang surga milik perempuan itupun mulai gemetar sangat keras, ia tahu perempuan itu sudah hampir mencapai puncaknya.
Dia memang berniat mengendalikan perkumpulan Jit-seng-kau, terhadap tingkah laku anak buahnya yang jalang dan porno, ia memang berniat untuk menertibkan, maka untuk itu dia ingin menaklukkan dulu perempuan itu.
Tiba-tiba ia membalik badannya, setelah menaikkan sepasang kaki perempuan itu di atas bahu sendiri, dia mulai memainkan tombaknya melancarkan serangkaian tusukan berantai.
"Plook, ploook", diiringi suara gesekan nyaring, terdengar dengus napas Im Jitkoh yang mulai tersengal dan jeritan serta rintihan yang menggoda hati.
Bwe Si-jin tertawa seram, ujung tombaknya mulai menggesek di dalam liang surga dengan kuat.
"Aaaah ... aaaah ... aduh ... sakit... aku ... Loya... aku ... aku tak tahan ... aduh.."
"Hehehe..."
"Aaah ... aaaah ... ahhh ..."
Di tengah jeritan keras, akhirnya perempuan itu mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin segera menggunakan teknik 'menghisap' dan mulai menyedot inti sari kekuatan tubuh perempuan itu.
Im Jit-koh segera merasakan liang surganya kaku dan kesemutan, dia tak bisa mengendalikan diri lagi, cairan dalam liang senggamanya segera mengalir keluar dengan sangat deras.
Perempuan itu segera sadar kalau sang Tongcu sedang menghisap tenaga negatip tubuhnya, dengan ketakutan dan nada gemetar segera rengeknya, "Tongcu... ampun... ampun..."
Untuk sesaat Bwe Si-jin menghentikan hisapan-nya, dengan nada seram ujarnya, "Sayangku, sekarang laporkan semua perbuatan yang pernah kau lakukan selama beberapa tahun terakhir ini."
Melihat keselamatan jiwanya sudah berada dalam cengkeraman 'tombak' milik sang Tongcu, dia tak berani berkutik lagi, mengira semua perbuatan busuknya sudah terbongkar maka secara jujur dia mengakui semua perbuatannya.
Bwe Si-jin hanya mendengarkan tanpa bicara. Tapi makin didengar, ia merasa hatinya semakin bergidik, pikirnya, "Tak kusangka pengaruh Su Kiau-kiau sudah berkembang menjadi begitu besar dan kuat, untung perbuatan busuknya keburu ketahuan, kalau tidak, sebuah bencana besar pasti akan melanda dunia persilatan."
Selesai melakukan pengakuan dosa, dengan suara gemetar kembali Im Jit-koh merengek, "Tongcu, ampunilah jiwaku!"
"Hmm! Nyalimu benar-benar amat besar, siapa sih yang menjadi 'backing'mu selama ini?"
"Soal ini...."
"Hmm, kau sudah bosan hidup?"
"Tongcu, ampun ... ampun ...." teriak Im Jit-koh, "yang mendukungku selama ini adalah Biau-hukaucu!"
"Apa? Dia? Kenapa dia berbuat begitu?" tanya Bwe Si-jin keheranan.
"Hamba sendiri pun tak tahu, hamba hanya tahu melaksanakan semua perintahnya, sebab tubuh hamba sudah keracunan dan setiap tahun butuh menelan sebutir pil penawar racun darinya, bila aku tidak memperoleh pil penawar itu, maka peredaran darahku akan mengalir terbalik, akibatnya mati tak bisa hidup pun susah."
"Ooh, rupanya kau sudah menelan pil Si-sim-wan (pil penghancur hati), tak kusangka dia masih menggunakan racun semacam ini untuk mencelakai orang, apakah dia ada perintah lain yang harus kau laksanakan?"
"Dulu tidak ada, tapi sejak sebulan berselang, dia perintahkan aku untuk mengawasi gerak-gerik Giok-long-kun Bwe Si-jin!"
"Kenapa?" teriak Bwe Si-jin tak tahan.
"Tongcu, dia sama sekali tidak mengemukakan alasannya!"
Kini pikiran Bwe Si-jin menjadi kalut, dia segera bangkit dari pembaringan dan duduk di depan meja sambil termenung.
Ketika Im Jit-koh menyaksikan 'tombak panjang' miliknya masih berdiri tegak, lekas ia berjongkok dan memasukkan tombak itu ke dalam mulutnya kemudian mulai menghisapnya perlahan-lahan.
Kontan Bwe Si-jin merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia tahu perempuan itu sedang berusaha mengambil hatinya, maka dia biarkan perempuan itu menghisap tombaknya dengan leluasa.
"Jit-koh!" ujarnya kemudian, "hampir saja Lohu salah sangka terhadapmu, harap kau jangan marah."
Dengan rasa terharu Im Jit-koh mendongakkan kepalanya.
"Tongcu," katanya, "hamba tahu kalau selama ini telah berbuat salah, asal kau dapat memaklumi, hamba pun merasa berterima kasih sekali."
Selesai berkata, dia melanjutkan hisapannya.
Sembari membelai rambutnya dan meremas puting susunya, Bwe Si-jin memejamkan mata sambil menikmati hisapan itu, sementara otaknya pun mulai berputar, merencanakan langkah berikut.
"Cruuuppp!", begitu dia melompat, ujung tombak yang tegang keras seketika menghujam ke dalam liang surganya hingga tertelan seakar-akarnya.
"Aduuh!" tak tahan perempuan itu menjerit kesakitan.
Dengan kaget Siau-si berpaling.
Cau-ji segera berseru dengan suara dingin, "Rasakan kalau tak bisa menahan diri, kalau sudah bernapsu pun mesti bisa mengendalikan diri."
Bwe Si-jin ikut tertawa tergelak.
"Sayangku, jangan terburu napsu, kalau sampai terluka bisa berabe."
"Loya, aku tidak menyangka kalau 'anu'mu begitu panjang," kata Im Jit-koh sambil menjulurkan lidahnya, "sudah tentu milikku jadi kesakitan karena terbentur sampai ke dasarnya, kau malah menertawakan aku."
"Hahaha, tahu rasa sekarang!" sambil berkata dia peluk pinggulnya dengan kuat, lalu menekannya ke bawah lebih keras sehingga tombaknya benar-benar terbenam hingga ke dasar.
"Aaaah," sekali lagi Jit-koh menjerit kesakitan, saking pedihnya, air mata sampai bercucuran membasahi pipinya.
Kalau dilihat dari tampangnya, kelihatan kalau kali ini dia benar-benar kesakitan.
Melihat perempuan itu menjerit kesakitan, Bwe Si-jin bertambah napsu, sambil tertawa tergelak dia melanjutkan tekanannya ke atas.
Kontan saja Im Jit-koh menjerit kesakitan, sambil berulang kali mengaduh, peluh dingin makin deras membasahi tubuhnya.
Cau-ji tahu paman Bwe sedang memberi kisikan kepadanya agar bersikap buas dan sekasar sepasang malaikat dari In-lam.
Maka sambil mencolek pinggul Siau-si, dia pun ikut tertawa seram.
Waktu itu Siau-si sedang berdiri tertegun, dia tak menyangka Jit-koh yang terkenal jalang dan sangat berpengalaman dalam hubungan badan pun akan menjerit kesakitan setelah 'dinaiki' Tongcu ini, cubitan yang mendadak kontan membuatnya menjerit keras.
Sambil menahan perasaannya Cau-ji kembali berseru, "Ayo, jalan!"
Dengan air mata bercucuran dan menundukkan kepala rendah-rendah Siau-si menyahut dan berjalan meninggalkan ruangan.
Diam-diam Bwe Si-jin manggut-manggut, teriaknya cepat, "Aduh, sayangku, begitu baru nikmat rasanya!"
"Ya, memang nikmat, nikmat sekali," sahut Im Jit-koh sambil menahan rasa sakit, "Loya, aku lihat tombakmu makin hari makin bertambah panjang saja."
"Hehehe, selama beberapa tahun terakhir ini kau sudah terbiasa hidup makmur di sini, tentu saja kau tak bakal tahan dengan barangku, begini saja, biar aku cari perempuan lain untuk menggantikan dirimu."
"Jangan, jangan," lekas Im Jit-koh berseru, wajahnya berubah hebat, "hamba pasti dapat memuaskan napsumu!"
Bwe Si-jin meletakkan sepasang tangannya di sisi bangku, kemudian sambil memejamkan mata, ia tertawa cabul tiada hentinya.
Segera Im Jit-koh menekan sebuah tombol di sisi kanan bangkunya,
"Kraaaak!", bangku itu segera berubah menjadi sebuah pembaringan, Im Jit-koh pun mulai mempraktekkan berbagai macam teknik senggama untuk memuaskan napsu lelaki itu.
Bwe Si-jin merasakan juga betapa empuk dan nyamannya pembaringan itu, selain lentur juga hebat.
Maka mengikuti gerakan tubuh Im Jit-koh, tombaknya berulang kali menusuk hingga mencapai ke dasar liang perempuan itu.
Kenikmatan yang berbeda-beda membuat dia harus mengagumi bahwa perempuan ini memang amat canggih dalam teknik bermain cinta.
Tanpa sadar sekulum senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya.
Melihat itu, diam-diam Im Jit-koh menghembuskan napas lega, dia pun melanjutkan kembali berbagai gayanya, berusaha memuaskan lawannya.
Tak selang satu jam kemudian, Bwe Si-jin merasakan tubuh bagian bawahnya sudah basah kuyup, liang surga milik perempuan itupun mulai gemetar sangat keras, ia tahu perempuan itu sudah hampir mencapai puncaknya.
Dia memang berniat mengendalikan perkumpulan Jit-seng-kau, terhadap tingkah laku anak buahnya yang jalang dan porno, ia memang berniat untuk menertibkan, maka untuk itu dia ingin menaklukkan dulu perempuan itu.
Tiba-tiba ia membalik badannya, setelah menaikkan sepasang kaki perempuan itu di atas bahu sendiri, dia mulai memainkan tombaknya melancarkan serangkaian tusukan berantai.
"Plook, ploook", diiringi suara gesekan nyaring, terdengar dengus napas Im Jitkoh yang mulai tersengal dan jeritan serta rintihan yang menggoda hati.
Bwe Si-jin tertawa seram, ujung tombaknya mulai menggesek di dalam liang surga dengan kuat.
"Aaaah ... aaaah ... aduh ... sakit... aku ... Loya... aku ... aku tak tahan ... aduh.."
"Hehehe..."
"Aaah ... aaaah ... ahhh ..."
Di tengah jeritan keras, akhirnya perempuan itu mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin segera menggunakan teknik 'menghisap' dan mulai menyedot inti sari kekuatan tubuh perempuan itu.
Im Jit-koh segera merasakan liang surganya kaku dan kesemutan, dia tak bisa mengendalikan diri lagi, cairan dalam liang senggamanya segera mengalir keluar dengan sangat deras.
Perempuan itu segera sadar kalau sang Tongcu sedang menghisap tenaga negatip tubuhnya, dengan ketakutan dan nada gemetar segera rengeknya, "Tongcu... ampun... ampun..."
Untuk sesaat Bwe Si-jin menghentikan hisapan-nya, dengan nada seram ujarnya, "Sayangku, sekarang laporkan semua perbuatan yang pernah kau lakukan selama beberapa tahun terakhir ini."
Melihat keselamatan jiwanya sudah berada dalam cengkeraman 'tombak' milik sang Tongcu, dia tak berani berkutik lagi, mengira semua perbuatan busuknya sudah terbongkar maka secara jujur dia mengakui semua perbuatannya.
Bwe Si-jin hanya mendengarkan tanpa bicara. Tapi makin didengar, ia merasa hatinya semakin bergidik, pikirnya, "Tak kusangka pengaruh Su Kiau-kiau sudah berkembang menjadi begitu besar dan kuat, untung perbuatan busuknya keburu ketahuan, kalau tidak, sebuah bencana besar pasti akan melanda dunia persilatan."
Selesai melakukan pengakuan dosa, dengan suara gemetar kembali Im Jit-koh merengek, "Tongcu, ampunilah jiwaku!"
"Hmm! Nyalimu benar-benar amat besar, siapa sih yang menjadi 'backing'mu selama ini?"
"Soal ini...."
"Hmm, kau sudah bosan hidup?"
"Tongcu, ampun ... ampun ...." teriak Im Jit-koh, "yang mendukungku selama ini adalah Biau-hukaucu!"
"Apa? Dia? Kenapa dia berbuat begitu?" tanya Bwe Si-jin keheranan.
"Hamba sendiri pun tak tahu, hamba hanya tahu melaksanakan semua perintahnya, sebab tubuh hamba sudah keracunan dan setiap tahun butuh menelan sebutir pil penawar racun darinya, bila aku tidak memperoleh pil penawar itu, maka peredaran darahku akan mengalir terbalik, akibatnya mati tak bisa hidup pun susah."
"Ooh, rupanya kau sudah menelan pil Si-sim-wan (pil penghancur hati), tak kusangka dia masih menggunakan racun semacam ini untuk mencelakai orang, apakah dia ada perintah lain yang harus kau laksanakan?"
"Dulu tidak ada, tapi sejak sebulan berselang, dia perintahkan aku untuk mengawasi gerak-gerik Giok-long-kun Bwe Si-jin!"
"Kenapa?" teriak Bwe Si-jin tak tahan.
"Tongcu, dia sama sekali tidak mengemukakan alasannya!"
Kini pikiran Bwe Si-jin menjadi kalut, dia segera bangkit dari pembaringan dan duduk di depan meja sambil termenung.
Ketika Im Jit-koh menyaksikan 'tombak panjang' miliknya masih berdiri tegak, lekas ia berjongkok dan memasukkan tombak itu ke dalam mulutnya kemudian mulai menghisapnya perlahan-lahan.
Kontan Bwe Si-jin merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia tahu perempuan itu sedang berusaha mengambil hatinya, maka dia biarkan perempuan itu menghisap tombaknya dengan leluasa.
"Jit-koh!" ujarnya kemudian, "hampir saja Lohu salah sangka terhadapmu, harap kau jangan marah."
Dengan rasa terharu Im Jit-koh mendongakkan kepalanya.
"Tongcu," katanya, "hamba tahu kalau selama ini telah berbuat salah, asal kau dapat memaklumi, hamba pun merasa berterima kasih sekali."
Selesai berkata, dia melanjutkan hisapannya.
Sembari membelai rambutnya dan meremas puting susunya, Bwe Si-jin memejamkan mata sambil menikmati hisapan itu, sementara otaknya pun mulai berputar, merencanakan langkah berikut.