Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pelangi di Sudut Sumatera

Status
Please reply by conversation.
Yah belum updet.....
 
Pelangi disudut sumatra nampaknya masi mengintip malu malu dibalik awan hitam, jadi belom bisa apdet
 
Penulisan dan jalan ceritanya bagus, tetap berkarya suhu ditunggu updatenya :beer:
 
Parah bgt trit ini,sebenernya bagus dan ane demen bgt,tp sayang sekali,apdetnya dua bulan sekali,itupun bisa lebih.
 
Semangatin aja yuk suhu nya..masih selalu menanti kelanjutan nya suhu..

Kangen galaknya jeni, dan perhatian nya mala..
 
"Kulayangkan pandangku .. Melalui kaca jendela

Dari tempatku bersandar Seiring lantun kereta

Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah

Membuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna


Kualunkan rinduku .. selepas aku kembali pulang

Tak akan kulepaskan dekapku .. karena

Kutahu pasti aku merindukanmu

Seumur hidupku selama-lamanya


Perjalanan inipun kadang merampas bijak hatiku

Sekali waktupun mungkin menggoyahkan pundi cintaku

Menetaskan setiaku .. menafikan engkau disana

Maafkanlah aku cepat ku kembali


Kualunkan rinduku .. selepas aku kembali pulang

Tak akan kulepaskan dekapku .. karena

Kutahu pasti aku merindukanmu

Seumur hidupku selama-lamanya


Kutautkan hatiku .. kuikrarkan janji ..

Kubawa pulang diriku hanya untukmu

Kusanjungkan mimpi-mimpi hangati malam

Rindu ini membakar hatiku Kuakan kembali pulang ..

Kuakan kembali pulang


Aku ingin cepat kembali ..

Aku ingin cepat disampingmu .."


Dalam hati aku menyanyikan sebuah lagu dari Band favoritku Padi berjudul Perjalanan Ini. Kunyanyikan dengan memandang keluar jendela bus sambil membaca setiap ada plang dan tugu selamat datang untuk mengetahui sudah sampai mana bus ekonomi ini membawaku.


Saat ini aku sedang dalam perjalanan setelah satu minggu lamanya aku pergi. Satu minggu lamanya berkumpul dengan orang tuaku. Satu minggu lamanya meninggalkan kampung halaman, teman-teman, Mala dan Jenni. Satu minggu masa tenang untuk kemudian bertarung menghadapi ujian akhir nasional.


Aku harus benar-benar mempersiapkan untuk ujian kelulusan ini. Jangan sampai 3 tahun masa-masa indah SMA ku harus hancur hanya karena beberapa hari ini saja. Aku harus belajar! Tapi apa gak telat? besok sudah mau ujian, baru mau belajar sekarang? Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan. Tapi belajar apa? Menghapal? Aku paling tidak suka menghapal. Bahkan nama-nama Mentri pun sekarang aku sudah tidak hapal lagi. Jumlah propinsi di Indonesia? Seingatku dulu 27, itupun aku hapal karena waktu SD ada tugas mengumpulkan gambar pakaian adat yang ada di belakang kotak korek api. Sekarang? Entahlah ada berapa, yang pasti lebih dari 27 propinsi.


Hitung menghitung adalah mata pelajaran yang paling kubenci dan harus ku waspadai. Karena sejak SD, aku benar-benar tidak cocok dengan yang namanya matematika dan sejenisnya. Karena entah bagaimanapun usahaku memakai segala macam rumus dan cara, tetap saja jawabannya tidak berhasil kudapatkan. Rumus yang ku ketahui hanya panjang kali lebar kali tinggi. Selain itu, aku tidak tahu.


Terkadang aku harus menciptakan rumus-rumus baru dalam memecahkan soal. Menciptakan persamaan baru dan konsep baru yang ternyata dianggap tak sejalan dengan ilmu matematika Phytagoras atau Archimedes. Menurutku matematika adalah hal yang lebih rumit dibandingkan wanita. Beruntung aku mengambil jurusan IPS yang tidak harus bertemu dengan matematika, Fisika, dan gerombolannya. Tapi aku tidak sepenuhnya beruntung karena masih ada Akuntansi yang mengharuskan aku berhitung. Dimana debet, dimana kredit, ayat jurnal penyesuaian dan penyusutan modal. Sial!


Bahasa Inggris adalah musuh beratku yang kedua. Sampai sekarang hanya 'how do you do' dan 'im fine' saja yang fasih ku ucapkan. Aku heran mengapa kosakata yang ku kuasai justru tidak pernah muncul dalam soal ujian selama ini. Milf, Busty, Big tits, Deepthroat, dan Mature adalah kata-kata yang sangat familiar denganku.


Untuk lulus ujian Akuntansi, aku hanya bisa berharap pada insting dan keberuntungan saja. Untuk Bahasa Inggris? sepertinya aku harus mengambil les kilat, privat dan yang penting gratis. Tapi dengan siapa? Bonar? Kemampuanku justru masih satu strip diatasnya. Begitu juga dengan personil Feromon lainnya yang sampai sekarang pun masih belum punya kamus bahasa Inggris. Bu Imel? Bukannya belajar, yang ada malah habis inti sari ku di hisapnya nanti.


Masih teringat dengan jelas minggu lalu saat aku bermalam disana. Kami benar-benar gila, semalam suntuk bercinta dan dilanjutkan lagi pagi harinya. Sampai-sampai sudah tengah hari menjelang sore aku baru pulang kerumah. Bu Imel sudah seperti orang yang kebanyakan minum sprite dicampur obat tetes mata. Mala? Dia pasti mengerti dan dengan senang hati mau mengajariku Bahasa Inggris. Tapi aku gengsi, takut keliatan bener gobloknya. Jangan sampai dia menyadari, bahwa cowok berwajah tampan ini memiliki otak yang pas-pasan. Jenni? Halah! Tau apa dia! Bisanya marah doang.


Tap! Aku menjejakkan kaki dengan mantap saat turun dari bus. Tidak lupa langsung memeriksa dompetku kalo-kalo kena copet didalam bus tadi. Bapak yang berdiri dekat pintu tadi menurutku tidak cocok dan tidak intelek untuk menenteng sebuah koran. Aku lalu memandang sekeliling, memperhatikan setiap sudut tempat ini. Tempat aku biasa menunggu angkot ke sekolah, tempat aku melihat Jenni di pagi hari dengan seragam sekolahnya, dan tempat ku biasa nongkrong untuk mengintip rok cewek yang lewat dibonceng motor. Ah, ternyata tidak ada yang berubah. Ya iyalah, baru juga seminggu!


Aku lalu berjalan pelan sambil memandangi jalan ini. Jalan yang setiap hari kulalui. Berusaha merekam setiap kenangan yang ada disini seolah tak ingin melupakannya. Sebuah pohon jambu yang aku dan teman-teman panjat saat kecil. Sebuah tanah lapang tempat kami dulu bermain gatrik atau patil lele. Lalu sebuah pertigaan, tempat biasa Jenni muncul dengan kuncir kudanya. Sebuah pertigaan yang kadang menyatukan atau memisahkan kami.


Ketika sampai di halaman depan rumah, aku menghentikan langkah lalu menyalakan sebatang rokok dan berdiri mematung memandang ke arah rumah. Sebuah rumah sederhana tempatku di besarkan. Rumah yang dibangun dari nol dengan keringat dan jerih payah orang tua ku. Rumah penuh kenangan yang akan selalu kurindukan. Rumah yang sekarang sudah menjadi milik Tono, adik dari Om Haryono.


Sebuah keputusan sulit sudah diambil. Setelah berembuk dengan kedua kakak ku, Orang tua ku dengan berat hati memutuskan untuk menjual rumah ini. Uang penjualan rumah akan dipergunakan untuk membeli tanah dan warung yang ditempati ibuku berjualan saat ini. Orang tua ku adalah tipe orang yang tidak mau dan takut berhutang, apalagi jika harus berurusan dengan yang namanya pinjaman Bank. Maka dari itu, menjual rumah adalah satu-satunya jalan keluar.


Setelah bernegosiasi melalui telpon dengan om Haryono dan adiknya. Dua hari yang lalu orang tua ku sudah datang kesini, selain untuk mengambil uang pembayaran rumah dan mengurus surat-surat jual beli, juga untuk mengangkut barang-barang kami yang tersisa. Aku tidak ikut saat itu karena aku merasa berat melepaskan rumah ini. Belum lagi harus melihat raut wajah orang tua ku yang sedih. Aku mengetahui kesedihan mereka walaupun mereka berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya. Akupun juga bersikap biasa saja agar tidak menambah beban pikiran orang tuaku. Masih ku ingat dengan jelas obrolan Bapak dan Ibuku dulu. Bahwa mereka ingin menghabiskan masa tua dikampung ini, dirumah ini. Sebuah harapan sederhana yang ternyata sulit mereka dapatkan.


Tanpa terasa telah habis sebatang rokokku selama memandangi rumah ini. Aku lalu berbalik dan pergi meninggalkan rumah ini. Meninggalkan semua kenangan dan harapan yang ada didalamnya. Entah kapan aku akan kembali lagi kesini. Tanpa sadar aku mengusap pipiku yang ternyata telah basah. Dalam hati aku bertekad, aku akan mendapatkan kembali rumah itu. Suatu saat nanti, aku harus bisa.


***


"kucing beranak, kepalanya korengan. Wahai kisanak, kenapa melamun, ada apakah gerangan" ucapku berpantun saat datang kerumah Bonar dan melihatnya sedang melamun diteras rumah.


"banyak belek, bukan karena sakit mata. Eh ada orang jelek, kemana aja?" Bonar membalas pantunku


"makan sekuteng sambil garuk-garuk ketek. Orang ganteng, kok di bilang jelek" sahutku


"garuk ketek, kanan dan kiri. Udah jelek, gak tau diri" balas Bonar lagi


"malam-malam makan ikan. Ikannya banyak sisik. Sudah diam! Jangan berisik!" bentak mamak Bonar yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.


"eh ada mamak cantik" naluri penjilatku langsung muncul.


"dari mana kau, bawa-bawa tas besar begitu. Minggat?" tanya mamak Bonar yang melihatku menggendong tas ransel


"hehe dari pulang kota mak. Minggu tenang, jadi kumpul sama keluarga. Rencananya selama ujian ini, saya mau ngungsi disini mak kalo boleh. Boleh ya mak ya" jawabku


"emangnya kau korban banjir, pake ngungsi segala" sahutnya


"rumah saya disini udah dijual mak, sudah gak punya rumah lagi saya. Kasianinlah saya mak.. Boleh ya saya numpang disini, makan saya dikit kok. Saya kan gak nakal mak" ucapku merayu dan memelas


"dijual? Kenapa dijual?" tanya Bonar


"iya dijual ke siapa?" mamak Bonar menambahi


"tetangga belakang rumah mak. Dijual buat modal, buat beli tanah sama warung. Ibu saya kan buka warung makan sekarang. Tapi tanah sama warungnya sewa, nah ini yang punya mau jual karena butuh uang. Karena Lumayan rame warungnya, jadi sayang kalo dijual ke orang lain mak. Makanya kita ambil. Mudah-mudahan lancar mak" jelasku


"oh begitu, kenapa gak pinjem bank aja. Surat rumahnya di gadai ke bank, jadi gak harus dijual itu. Nanti hasil warung buat bayar cicilan bank" ucap mamak Bonar


"iya coy, apa gak sayang dijual" ucap Bonar


"sayang sih sayang, tapi mau gimana lagi. Lebih sayang lagi kalo warung disana dijual ke orang lain. Lokasinya strategis disana. Juga orang tua saya gak kayak mamak yang biasa bisnis. Jadi gak berani urusan sama bank. Lagian uang jual rumah ini aja masih kurang buat bayarin yang disana, maklum aja daerah perkotaan jadi mahal harganya dibanding disini" jelasku


"kekurangannya?" tanya Bonar


"ditambahin kakak sama ayuk saya. Gak tau mereka uang dari mana. Entah utang apa jual barang. Enak mereka bisa bantu orang tua. Lah saya? udah gak bisa bantu, malah jadi beban aja. Minta uang terus. Mana mau mikirin kuliah juga. Apa gak usah kuliah aja ya" keluhku


"jangan begitu. yang namanya anak itu gak ada yang jadi beban buat orang tua. Itu semua sudah kewajiban orang tua. Impian orang tua ngeliat anaknya sukses, minimal lebih sukses daripada orang tuanya. Makanya jadi anak harus bisa membahagiakan orang tua. Jadi anak yang bisa di banggakan. Jangan pernah mengecewakan. Sebagai orang tua gak mengharapkan balasan kok. Bisa liat kalian sukses, hidup enak aja sudah cukup" mamak Bonar menasihati panjang lebar


"iya mak. Tuh Nar dengerin" ucapku


"lah, malah saya yang kena" sahut Bonar


"yasudahlah, gak papa itu. Gak usah terlalu di pikir. Kalo usaha disana lancar kan nanti bisa beli rumah lagi yang lebih besar" lanjut mamak Bonar


"iya mak, aamiin"


"lagian nanti kalo sudah selesai ujian. Kau pasti nyusul orang tua kau kan kesana? Pasti kosong juga rumah itu, gak ada yang nunggu juga" ucap mamak Bonar


"iya mak, hehe"


"yasudah, kau bawa masuk itu tas. Sudah kayak orang mau keluar negri saja kau bawa tas besar. Sekalian makan dulu dibelakang kalo belum makan" ucap mamak Bonar


"iya mak, makan sih udah mak. Ngopi yang belum, makanya agak berkunang ini mata"


"ini aja neh, join" sahut Bonar menawari kopinya yang tinggal setengah. Langsung ku seruput habis dan kemudian masuk kedalam untuk meletakkan tas berisi pakaian dan sepatu sekolahku.


"bapak kemana sih mak? Kok lama amat ya" tanya Bonar pada mamaknya saat aku kembali ke teras depan.


"kerumah temannya dekat polsek situ. Tadi kau di suruh antar, gak mau. Mau kemanalah kau ini?" tanya mamaknya


"mau pake motor. maen lah mak, ngapel. Mumpung masih ada waktu. Besok-besok kalo udah lulus sekolah, pisah semua. Bisa jadi gak ketemu lagi" jawab Bonar


"sudah tau mau ujian, bukannya belajar malah maen saja kau"


"iya Nar, bener tuh. Mending belajar aja buat ujian besok" ucapku menyela lalu duduk bergabung bersama mereka


"tapi kan perlu refreshing mak, biar gak tegang. Kalo tegang malah susah ngerjain ujiannya" Bonar memberi alasan


"iya mak, bener juga itu. Perlu juga refreshing, penting itu mak" ucapku mendukung ucapan Bonar


"tiap hari juga kau refreshing terus, maen terus. Tak pernah mamak liat kau belajar. Nyiapkan buku buat pelajaran besok saja kau tak pernah. Masak iya, dari kelas satu sampai tiga, buku satu saja gak habis. Apa gak ada yang kau tulis selama di sekolah? Mending belajar lah kau buat besok, lebih penting itu daripada ngapel" ucap mamak Bonar


"iya Nar itu juga bener. Ujian akhir ini. Penting coy" aku kembali berkomentar


"ini juga penting mak. Kalo ujian percaya aja sama Bonar. Gampanglah itu. Anak mamak ini gak bodoh-bodoh amat mak. Percuma nyatet di buku sampe penuh kalo gak masuk di otak. Nah semua pelajaran itu udah masuk otak Bonar semua mak" jelas Bonar


"iya mak, percaya aja sama Bonar. Mamak sebagai orang tua harus percaya sama kemampuan anak. Dari 41 siswa di kelas, Bonar itu urutan ranking 35 mak. Artinya, masih ada 6 siswa lagi yang lebih bodoh dari Bonar. Prestasi itu mak" sahutku


"prestasi macam apa itu! Baru tau mamak kalo itu prestasi! Kau urutan ranking berapa!?" tanya mamak Bonar


"32" jawabku lirih menunduk tak berani melihat mamak Bonar. Hanya suara helaan nafasnya saja yang terdengar


"Sekarang terserah kalian lah itu. Anggap aja mamak percaya sama kemampuan otak kalian yang gak seberapa itu. Tapi kalo kau maen terus, nanti ada apa-apa dijalan bagaimana? Rame itu kendaraan dijalan, kebut-kebut semua" ucap mamak Bonar


"iya juga Nar, bahaya. Banyak pengendara ugal-ugalan, takutnya kenapa napa dijalan. Kata Banpol tetangga saya, Tingkat kecelakaan di jalan raya akhir-akhir ini meningkat" komentarku lagi


"kamu ini sebenernya belain siapa sih? Daritadi iya iya aja, bener juga bener juga. plin-plan bener sih jadi orang, gak konsekuen! Mau ikut gak?" protes Bonar padaku


"emangnya mau kemana sih?" tanyaku


"kerumah Santi. Saya kesana, kamu kerumah Mala. Gimana? Sip gak? Sip dong.. Soalnya dari kemaren Mala nanyain kamu terus tuh" jelas Bonar


"beneran?"


"ho oh" Bonar mengangguk pasti, membuatku langsung berubah pikiran.


"ehem boleh ya mak. Nanti kita naek motornya pelan-pelan aja kok, gak lebih cepet dari gerobak tukang sayur. Perginya juga lewat jalan belakang, gak lewat jalan raya. Pulang maen nanti langsung belajar. Ya mak ya? Boleh ya mak.." rengek ku pada mamak Bonar sambil menarik-narik ujung lengan bajunya.


"nah kan, sama aja kalian berdua ini. Kalo sudah urusan cewek cocok, secocok-cocoknya!" ucap mamak Bonar sambil menunjuk-nunjuk muka kami


"hehe.. Normal mak namanya lelaki. Mumpung masih muda juga. Jangan sampe kami menyianyiakan masa muda kami mak. Kalo sudah tua mah gak begini mak" ucapku cengengesan


"ah terserah kalian lah. Tapi awas! Liat nanti kalo sampe gak lulus ujian. Hmm! Gantung kalian berdua di tiang listrik, biar jadi tontonan orang rame. Termasuk pacar kalian berdua itu!" ancam mamak Bonar lalu masuk kedalam rumah.


"siap ndan!" ucapku sambil memberi hormat padanya


"makasih mamak ku yang cantik.." puji Bonar.


"coy, beneran Mala nanyain saya?" tanyaku pada Bonar setelah mamak Bonar tidak terlihat lagi


"iya. Dia sms. Tadinya mau saya simpen biar kamu bisa baca sendiri. Tapi berhubung sms hape saya penuh, udah 30. Jadi terpaksa saya apus. Saya simpen sms yang buat saya aja, yang menurut saya penting. Sms buat kamu mah gak penting haha"


"hmm norak. Mala nanya apa aja sih"


"ya gitu-gitu lah. Kemana, kapan pulang, hapenya kenapa gak aktif, dan sebagainya lah"


"oh gitu. Ini kita beneran mau kerumah Santi?" tanyaku.


"iyalah. Saya kan udah jadian ama dia coy. Hahaha.. Pesona seorang Bonar memang sulit di pungkiri. Sulit untuk ditolak Hahahaha.." Bonar tertawa seperti penjahat


"hmm gadis yang malang" gumamku


"kampret!"


"udah berapa hari jadian?" tanyaku penasaran


"udah 5 hari ini coy, haha masih hangat-hangatnya neh"


"udah ngapain aja?" tanyaku makin penasaran


"haha mau tau aja. Ada deh.. Yahud pokoknya" jawab Bonar dengan wajah mesumnya


"hmm awas bunting anak orang. Digantung mamak kamu ditiang listrik baru tau kamu!"


"berisik! Awas kedengeran! Mamak saya itu indra pendengarannya tajem. Daun jatoh jarak seratus tombak aja dia bisa denger" sergah Bonar sambil melirik lirik cemas kedalam rumah.


"iya iya sori. Eh Pinjem hape sih bentar"


"ngapain? ngehubungin Mala? Kita kan mau kesana bentar lagi. Sabar dong coy.. Sabar... Tinggal nunggu motor dateng aja"


"bukan"


"siapa? Kuncir kuda?"


"iya"


"emang hapal nomor hapenya? Saya gak punya nomor dia"


"kayaknya sih hapal, lupa lupa inget"


"neh, tau aja abis beli voucher" ucap Bonar sambil menyerahkan hapenya padaku. Langsung kusambut dan dengan cekatan menekan kombinasi nomor Jenni


"halah, malah nelpon. Kirain sms doang. Mahal tau! jangan lama-lama!" protes Bonar kemudian


"iya bentar aja. Cuma pengen denger suaranya aja" jawabku kalem


"nyambung gak" tanya Bonar kemudian


"nomor tidak terdaftar. Salah nomor kayaknya. Berapa ya? Kayaknya ini neh, coba dulu" ucapku sambil coba mengingat dan mengetik nomor Jenni.


"hmm abis abis dah pulsanya!" gerutu Bonar


"Gimana, nyambung? Bener nomornya?" tanya Bonar lagi


"sama aja. Gak terdaftar" jawabku


"huu.. katanya hapal nomornya? Lemah bener sih daya ingat otak kamu" ejek Bonar


"salah mencet aja tadi, kepeleset dikit jempolnya. Tenang aja coy, jangan ragukan kemampuan otak saya. Masalah daya ingat, saya jagonya. Runtuhnya Majapahit sama berdirinya kerajaan Samudera Pasai aja saya masih inget dengan jelas" ucapku sambil menekan kombinasi nomor baru dan melakukan panggilan. Akhirnya setelah 3 kali salah sambung dan 2 kali menghubungi nomor tidak terdaftar, aku berhasil menghubungi nomor hape Jenni. Tak kuhiraukan Bonar yang ngedumel tak jelas disamping ku.


"halo.." suara diseberang sana. Sebuah suara yang lama tak kudengar. Sebuah suara yang telingaku rindukan.


"halo selamat siang. Bisa bicara dengan saudari Jennifer Natanegara" ucapku layaknya seorang customer service


"iya saya sendiri" jawabnya yang belum mengenali suaraku


"wah kebetulan. Sama dong, saya juga masih sendiri hehe..." ucapku menggodanya. Sementara Bonar langsung memonyongkan bibirnya mendengar gombalanku.


"gak penting amat sih! Siapa ini!?" tanya Jenni dengan intonasi darah tingginya.


"daku adalah seorang pemuda tampan, yang lahir pada malam jumat kliwon jam 21.45. Dengan berat 3.300 ons dan panjang 49 cm. Dibantu oleh bidan Daryati, di adzankan oleh ayahnya dan diberi nama Gilang Ramadhan" jelasku sejelas jelasnya.


"bodo' amat!" bentak Jenni


"Jen.."


"bodo' amaaaatt...!! tut tut tut..." teriak Jenni melengking dan memutuskan panggilan telpon


"Jen.. Jen.. Halo.. Halo.. Yah Malah di matiin" gumamku kecewa


"hahaha.. Dimatiin kan telponnya. Gak mempan rayuan kamu! Kebanyakan gaya sih" ledek Bonar


"biasanya mempan coy. Mungkin dia marah karna saya pergi seminggu gak ngasih kabar. Tapi apa dia gak kangen ya seminggu gak ketemu saya? Harusnya kan dia bahagia bisa ngedenger suara saya" gumamku


"hahaha woy plastik asoy! Kepedean amat sih jadi manusia. Kamu kira seminggu gak ketemu kamu dia bakal kangen? Mikirin kamu? Gak lah. Banyak cowok yang ngantri, lebih keren, lebih borjuis. Ngapain juga ngangenin kamu. Sengklek neh anak" ejek Bonar


"telpon lagi lah" ucapku tak menggubris ejekan Bonar sambil kembali memanggil nomor telpon Jenni. Tapi walaupun sudah sampai beberapa kali aku menelpon tetap tidak diangkat olehnya.


"hahaha.. Gak diangkat kan" ejek Bonar lagi yang senang pulsanya tidak jadi berkurang


"tidur siang kali" sahutku


"cepet amat udah tidur. Emang gak mau ngangkat telpon dia"


"hapenya di silent"


"tapi yang tadi kok kedengeran? Emang gak mau ngangkat dia"


"mungkin lagi ke kamar mandi"


"hahaha terserah kamu lah. Jadi orang kok suka membohongi diri sendiri. Gini aja, Nanti malem kamu kerumahnya aja kalo masih penasaran. Tapi jangan nangis ya kalo gak dibukain pintu" usul Bonar


"gak lah, ada bapaknya" ucapku lemas sambil menyerahkan hape Bonar kembali


"lah kok? Mau sama anaknya tapi gak mau ketemu bapaknya? Gimana sih" tanya Bonar sambil memencet mencet hapenya. Pasti dia ingin memeriksa sisa pulsanya, dasar pelit.


"iya. Takutnya nanti saya dianggep gak nepatin janji. Janji kami waktu itu, masalah Jenni yang mau ke Jogja itu lho"


"emangnya kamu masih nepatin janji itu. Bukannya kemaren-kemaren kamu masih ketemuan ama Jenni? Masih berhubungan kan?"


"iya"


"kok begitu?"


"dengan saya nemuin Jenni dan masih berhubungan sama dia kemaren-kemaren, bukan berarti saya gak nepatin janji saya dong"


"maksudnya gimana sih kok saya gak paham" tanya Bonar


"hidup ini pilihan ganda kisanak"


"nah tambah gak paham saya ini. Coba jelasin" Bonar makin penasaran


"gini lho, kita garis besarnya aja ya. Saya gak mau ribet-ribet, takut otak kamu gak nyampe. Bapaknya Jenni pengen anaknya ke jogja demi kebaikan Jenni, tapi bukan dengan paksaan dan gak ada yang anaknya beratin disini. Awalnya Jenni udah setuju, tapi terakhir kali Jenni bilang untuk pikir-pikir lagi alias ragu atau belum pasti mau. Kenapa? Kemungkinan, ini kemungkinan ya, kalo boleh sok ganteng dikit sih, kemungkinan karena hubungan saya sama Jenni makin deket. Artinya dia ngeberatin saya disini. Yang berarti dianggep menghalangi atau menghambat tujuan baik orang tua Jenni. Sampe sini paham ya? Agak belibet emang, makanya dengerin bener-bener“ tanyaku, Bonar manggut-manggut cepat. Aku lalu melanjutkan,


"Sadar itu, makanya orang tua Jenni nyuruh saya untuk ngejauhin anaknya. Supaya anaknya bisa melenggang bebas dan sesuai kesepakatan mereka awal yaitu pergi ke Jogja. Karena saya sadar tujuan dan maksudnya baik, makanya saya setuju dan mendukung itu. Jadi lahirlah perjanjian saya sama orang tuanya. Paham? Jelas?" ucapku


"iya-iya, lanjut" sahut Bonar makin antusias


"Awalnya saya kira gak ada pilihan, yang ada cuma Jenni yang harus ke Jogja tanpa ngeberatin saya yang tampan ini disini. Bagaimana caranya supaya dia jadi pergi? Dan gak ngeberatin saya? Yaitu dengan cara buat dia benci sama saya. Kamu malah sempet kasih usul buat memanfaatkan Mala untuk itu kan. Tapi untungnya saya cepet sadar, kalo ternyata hidup itu layaknya pilihan ganda di soal ujian. Pilihannya gak cuma satu, tapi ada banyak. Kita tinggal pilih mau yang mana" jelasku dan kemudian melanjutkan lagi.


"untuk contoh kasus ini. Ada banyak pilihan keputusan coy. Yang intinya Jenni tetep bisa ke Jogja sesuai kemauan orang tuanya. Tapi dia kan bisa pergi ke Jogja dengan bahagia, bukan dengan bawa masalah atau ninggalin masalah dengan saya. Pilihan pertama, Jenni ke Jogja dan saya kuliah juga di Jogja. Bisa kan? Bisa dong. Malah bisa makin deket tuh kita disana" jelasku. Bonar langsung manggut-manggut


"Pilihan kedua, Jenni ke Jogja, saya kuliah disini tapi kita pacaran jarak jauh. Bisa juga kan?" jelasku lagi


"bisa coy, bisa itu" sahut Bonar cepat


"pilihan ketiga, Jenni ke Jogja, saya kuliah disini, kita gak pacaran tapi dengan janji nanti kita ketemuan lagi setelah lulus kuliah. Boleh kan?"


"boleh coy, lanjut"


"Ada juga pilihan yang keempat, Jenni ke Jogja, saya kuliah plus pacaran sama Mala disini. Setelah Jenni lulus kuliah nanti, saya nikah ama Jenni. Mala jadi selingkuhan saya, atau sebaliknya saya nikah sama Mala trus Jenni jadi selingkuhan saya. Bisa kan?"


"masa' sih bisa?" tanya Bonar ragu


"Ya bisalah! Atau bisa juga pilihan kelima, saya paling suka yang kelima neh. Mereka berdua, Mala sama Jenni saya pacarin semua trus saya nikahin semua hahaha... Gimana? Bisa kan? Bisa dong, Hidup ini banyak pilihan coy. Kita tinggal pilih mau ngejalanin yang mana" jelasku sambil mengeluarkan kotak rokok dan menyelipkan sebatang dibibirku tapi ku masukkan kembali ke kotak karena sadar saat ini aku sedang dirumah Bonar. Takut ketahuan mamaknya.


"iya juga ya, bener itu. Ada benernya tapi ada juga ngelanturnya. Gak papalah, atur aja sama kamu. Tapi yang paling gak bener itu yang pilihan keempat sama kelima. Pilihan seenak jidat kamu!" sahut Bonar


"haha ya namanya semua kemungkinan itu bisa terjadi coy, saya cuma mau ngasih gambaran aja. Pilihan keempat sama kelima itu adalah pilihan yang paling terakhir, makanya saya tarok juga di terakhir. Walaupun sebenernya kalo mereka mau, saya sih gak keberatan kok punya dua pacar, dua istri hahaha"


"apa kamu yakin Jenni bakalan tetep mau ke Jogja? Kalo saya sih gak yakin. Apa bisa pacaran jarak jauh? Hape aja kamu gak punya! Apalagi kalo Jenni tau Mala nanti kuliah disini juga. Kayaknya gak bakalan mau deh" ucap Bonar


"kemungkinannya 50-50 coy, kalo tarohan bola istilahnya lek-lekan. Karena menurut saya, pada dasarnya Jenni itu berpikir dewasa. Untuk hal-hal yang penting dan serius, dia justru bisa berpikir lebih dewasa coy. Terlepas dari sifat keseharian dia yang manja kekanakan, pemarah, galak, cerewet"


"jadi menurut kamu pilihan yang mana kira-kira? 1,2, apa 3? Pilihan 4 sama 5 gak saya anggep ada. Langkah apa yang bakal kamu ambil anak muda?" tanya Bonar sambil mengeluarkan sebatang rokok, tapi langsung memasukkannya kembali kedalam kotaknya.


"tidak perlu menanyakan sesuatu yang sulit untuk di cari jawabannya wahai Aki tua. Karena ada hal-hal di dunia ini yang akan lebih baik jika tetap menjadi misteri. Atau justru memang tidak pernah ada jawaban untuk pertanyaan itu. Sebagai manusia, kita mempunyai batasan. Dan kita harus sadar akan batasan kita itu Ki" jelasku


"lalu? Apakah sebagai manusia kita hanya bisa menunggu dan menunggu seiring berjalannya waktu? tanpa berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan? Sebagai makhluk yang fana, manusia pasti punya harapan dan keinginan. Tanyakan pada hatimu anak muda, karena ini bukan hanya tentang dirimu yang hina ini dan Jenni yang mempesona. Tapi ada juga Mala yang memukau, yang mau tidak mau sudah masuk dalam kehidupanmu" cecar Bonar


"benar sekali Ki. sebagai makhluk fana yang punya nafsu dan sifat serakah, jujur aku ingin memiliki mereka berdua Ki hahahaha.."


"minyak dan air, kucing dan anjing, negatif dan positif, Mala dan Jenni, adalah dua hal yang tidak bisa disatukan. Mereka itu berbeda satu sama lain, camkan baik-baik wejangan ku ini anak muda. Jangan sampai justru kau sendiri yang akan hancur karenanya" ucap Bonar dengan sok bijak. Bonar tampak ingin membuka kotak rokok, tapi kemudian membatalkan niatnya.


"yah mereka memang berbeda Ki. Walaupun berbeda, tapi hamba sungguh sulit menentukan pilihan. Sungguh teramat sulit Ki. Dari segi fisik dan penampilan, mereka punya point yang sama dimata hamba. Sangat memukau dan mempesona. Mereka berdua adalah tipe hamba banget Ki. Maha karya indah dari Sang Pencipta" ucapku lalu melanjutkan lagi


"Dari segi kepribadian, karakter Jenni sangat apa adanya dan tidak ada yang ditutupi. Sangat berapi-api dan bersemangat. Mengatakan semua apa yang ada dalam pikirannya tanpa basa-basi. Tingkahnya yang aneh dan unik justru sangat menarik dimata hamba. Tatapan matanya bisa membuat jantung hamba seolah berhenti berdetak. Dia bisa membuat hamba benar-benar menjadi diri sendiri jika dihadapannya. Dia juga tidak pernah mengatur atau melarang-larang hamba melakukan apapun. Dia seolah-olah sangat mengetahui apa yang benar-benar hamba inginkan"


"Sedangkan Mala, Dia sangat feminim dan anggun. Dia sangat dewasa dalam berpikir dan bertindak, walau terkadang beberapa kali terprovokasi oleh tindakan Jenni yang justru membuatnya bertindak lebih kekanakan daripada Jenni. Mala selalu berusaha untuk membimbing hamba untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Senyum manisnya membuat hamba seolah hilang akal dan lupa segalanya. Kelembutan dan kehangatannya bisa membuat hamba begitu tenang. Perhatian dan kasih sayangnya sungguh berarti bagi hamba. Mala seolah-olah sangat mengetahui apa yang terbaik bagi hamba" jelasku sambil mengeluarkan sebatang rokok, tapi segera memasukkannya lagi kedalam kotaknya.


"sungguh berat keputusan yang harus kau ambil anak muda. Tapi, apapun keputusan itu, semoga saja bukan sebuah keputusan yang akan kau sesali dikemudian hari" ucap Bonar


"benar Ki. Sungguh berat beban pikiranku saat ini. Apalagi berpikir tidak sambil merokok. Apa kira-kira lebih baik kita nyirih atau nginang saja Ki?" tanyaku


"itu juga sulit. Mbah sebelah rumah yang biasa nyirih lagi mudik ke kampung nengokin cicitnya yang baru lahir" jawab Bonar lesu


"kapan kira-kira pulang ki?" tanyaku


"mungkin minggu depan" jawab Bonar


"apa perlu kita jemput aja ke kampungnya sana?" usulku


"masalah Mala sama Jenni aja udah bikin pusing. Tolong jangan kamu tambahin lagi dengan mbah sebelah" sahut Bonar


"iya ya. Hmm.. Mala... Jenni..." gumamku lirih menyebut dua nama yang membuatku galau


"huufft.. Dua hal yang berbeda, dua hal yang saling melengkapi, dan dua hal yang sama-sama penting. Tapi juga dua hal yang tidak bisa bersama" ucap Bonar


"yah.. Begitulah hai orang tua, beban pikiran yang hamba tanggung selama ini. Mungkin beban seperti inilah yang dirasakan oleh idola hamba, Wiro Sableng si pendekar kapak maut naga geni 212. Sang pendekar juga kesulitan untuk memilih antara Ratu Duyung atau Bidadari Angin Timur. Huft.. Sepertinya biarlah waktu yang akan memberi jawaban semua ini. Entah keputusan apa yang akan hamba ambil nanti, entah itu keputusan yang tepat atau justru sebuah keputusan yang akan hamba sesali di kemudian hari. Biarlah waktu dan Sang Penguasa Alam yang menjawabnya" ucapku sambil menatap birunya langit dan awan yang berarak


"kau benar anak muda. Karena pada dasarnya, semua takdir manusia sudah tertulis dengan jelas. Sebagai manusia biasa, kita hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Tidak ada yang bisa merubah ketentuan itu semua, kecuali Sun Go Kong si kera sakti dari gunung huaguo yang ngacak-ngacak khayangan dan membakar buku catatan takdirnya" ucap Bonar. Lalu seperti mengerti jalan pikiran satu sama lain, kami berdua hampir berbarengan menyanyikan lagu kera sakti.


"Seekor kera Terpuruk terpenjara dalam gua

Di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa


Bertindak sesuka hati Loncat kesana kesini

Hiraukan semua masalah di muka bumi ini


Dengan sehelai bulu Dan rambut dari tubuhnya

Dia merubah menerpa menerjang segala apa yang ada


Walau halangan rintangan Semakin panjang membentang


Tak jadi masalah dan tak kan jadi beban pikiran. Hahahaha" kami lalu tertawa bersama.


***


"coy, nanti kalo saya kasih kode kamu langsung geser ya" ucap Bonar didepan. Saat ini kami sedang berboncengan menuju rumah Santi. Tidak lewat jalan utama sesuai janjiku pada mamak Bonar, tapi lewat jalan belakang yang lebih sepi. Jalan lintas Sumatera memang sudah semakin padat dan berbahaya bagi cowok tampan seperti kami.


"geser kemana?" tanyaku


"ya kerumah Mala lah"


"iya kalo dia ada dirumah, kalo enggak? Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, kayaknya gak enak deh kerumah Mala. Dia pasti lagi belajar buat ujian besok. Takutnya malah ganggu. Saya ikut kamu ajalah dirumah Santi" tawarku


"gak papalah, malem kan dia bisa belajar lagi. Daripada kamu jadi obat nyamuk nanti. Pengertiannya dong coy, pengertiannya... Lagi hangat-hangatnya neh" ucap Bonar


"liat nantilah, liat kondisinya" aku menyerah


"ya kita kondisikan lah, nah nanti.. " ucap Bonar tapi terputus


Wuzz!! Ngeeng.. Ngeeng... Trang.. Trang...!!


"kampret!!"


"woy! Bangsat!"


Aku dan Bonar memaki-maki karena kaget. Kaget dikarenakan ada sebuah motor yamaha F1ZR yang menyalip kami dengan sangat memepet, hampir menyerempet motor supra yang kami kendarai. Setelah menyalip kami, motor itu malah menggeber-geber gas nya. Seolah-olah mengejek dan menghina kami.


"bedebah! Laknat!" maki Bonar yang emosi dan langsung menggeber supranya mengejar motor itu.


"gas pol Nar! Mentokin" aku memberi arahan


Akhirnya terjadilah aksi kejar mengejar layaknya di film action. Tapi Kejar mengejar antara F1ZR yang dikendarai satu orang melawan supra standar yang berboncengan sudah pasti berjalan tidak seimbang. Supra Bonar bahkan sampai bergetar semua bodinya. Mesin dan knalpot motor Bonar meraung karena mencapai batas kemampuan maksimum.


"udah coy, udah. Awas rontok neh motor" ucapku kemudian setelah F1ZR yang kami kejar makin mengecil, mengecil dan kemudian menghilang.


"udah coy, awas meledak mesinnya. Suaranya udah kayak mesin sanyo neh" lanjutku sambil menepuk pundak Bonar karena dia masih belum menurunkan kecepatannya.


"kampret bener. Siapa sih tadi? Anak mana ya" ucap Bonar yang akhirnya menurunkan kecepatan sepeda motornya.


"kalo liat gayanya yang ngotak, pasti anak sini. Tapi siapanya ya gak tau" jawabku.


"nyari koreng anak itu" ucap Bonar kesal


Tak lama kemudian, setelah melewati sebuah tikungan tajam dan jembatan kecil serta mamang somay yang mangkal, kami akan melewati deretan ruko yang ramai. Ada beberapa toko, rumah makan dan sebuah bengkel motor disana. Ketika melewati bengkel tersebut kami melihat motor F1ZR yang tadi menggeber kami. Dan diatasnya duduk seorang cowok yang sepertinya kami kenal.


"itu motor tadi coy" ucapku pada Bonar


"iya bener. Siapa ya yang duduk diatas motor itu. Kayak pernah liat. Kamu kenal gak" tanya Bonar


"iya ya. Kayak pernah liat dimana gitu. Gak asing mukanya" sahutku


Ngeeng!! ngeeng!! ngeeng!! Trang!! Trang!! Trang..!! Anak itu menggeber kembali motornya sambil memandang kami seolah menantang. Aku dan Bonar yang lewat hanya memandang kearahnya sambil mengingat ingat wajahnya. Tampak beberapa orang disana yang juga memandang kami dengan tatapan mengejek.


Setelah lewat beberapa meter dari bengkel itu, aku dan Bonar masih bengong dan terdiam sambil mengingat ingat si pemilik motor itu. Karena mungkin saja itu teman atau kenalan kami yang bermaksud hanya bercanda.


Ciittt... Bonar tiba-tiba menghentikan sepeda motornya dan langsung berbalik memutar arah menuju bengkel itu.


"ah kampret! Baru inget saya anak itu!" ucap Bonar emosi


"iya coy bener. Cowoknya Fitri!" sahutku yang juga sudah ingat


"mukanya pasaran sih! Jadi agak lupa" ucap Bonar


Ciiitt.. Bonar menghentikan sepeda motornya tepat didepan bengkel tersebut. Langsung disambut dengan tatapan tidak bersahabat dari beberapa orang disana. Aku melihat ada 8 orang disana. Si cowok Fitri, 3 orang mekanik yang sedang mengutak atik motor, 3 orang sebaya kami yang sedang duduk-duduk merokok, dan seorang kasir bengkel yang mempunyai paras sensual dengan rambut pirangnya.


Seperti biasa aku langsung membaca keadaan sekitar dan mengukur kemampuan mereka. Sebuah bengkel yang kuduga baru saja beroperasi, bisa dilihat dari beberapa peralatannya yang tampak masih baru dan lantai yang belum penuh noda bekas oli. Disamping kiri bengkel adalah sebuah toserba dan pecah belah perabotan rumah tangga. Sedangkan disamping kanan bengkel adalah sebuah rumah makan padang yang pajangan etalasenya membuatku menelan ludah.


Aku lalu memperhatikan kedelapan orang yang ada di bengkel. Tiga orang mekanik yang berusia tidak jauh dengan kami, kemungkinan hanya lulusan STM dan masih amatir jika dilihat dari warepack yang mereka pakai. Mekanik senior mana mau make warepack! Tiga orang sebaya kami yang kuduga adalah teman dari cowok Fitri. Dari tampangnya mereka adalah tipe anak rumahan yang suka merengek minta uang pada orang tua untuk gaya-gayaan memodif motor. Kemudian si cowok Fitri yang hampir sama dengan tipe ketiga temannya. Tapi tampangnya lebih ngeselin. Bawaannya pengen ngejitak kepalanya aja. Dan yang terakhir adalah si kasir bengkel yang setiap kali melihatnya membuat orang ingin segera 'ganti oli".


"wuih.. ternyata motor ini ya tadi? Kenceng bener larinya. Suara mesin sama knalpotnya kering. Pantes aja gak ke kejer sama supra saya. Mesinnya pasti di korek ini" ucap Bonar sambil memperhatikan sekeliling motor F1ZR tersebut dan tidak memperdulikan orang yang duduk diatasnya. Sementara itu aku langsung duduk bergabung bersama 3 orang teman cowok Fitri yang sedang duduk-duduk merokok dan memperhatikan Bonar.


"pinjem korek ya" ucapku yang tanpa menunggu jawaban mereka langsung mengambil korek yang ada, lalu menyalakan rokokku dan kemudian memperhatikan ke arah Bonar. Tak kuhiraukan tatapan heran dari mereka, terutama orang di sebelahku yang paling dekat.


"emang bener-bener keren motor ini. Dari bau asep knalpotnya, pasti pake castrol ini oli nya" ucap Bonar kemudian sambil mengendus endus asap knalpot


"hehe norak orang itu. Kampungan bener" ucapku mengomentari tingkah Bonar dan tertawa pada orang di sebelahku. Orang itu tidak ikut tertawa dan masih tetap melihat heran kepadaku.


"ck ck ck.. gagah bener, kombinasi item sama orange memang bikin kesan garang ya" ucap Bonar lagi sambil ingin menyentuh motor tersebut


"eit, jangan pegang-pegang! Gak usah pegang motor gua!" bentak cowok Fitri ketika Bonar ingin menyentuh motornya


"ah pelit amat sih, cuma pegang aja gak boleh" ucap Bonar


"mau ngapain lu pegang-pegang!?" bentak cowok Fitri


"Gua cuma pengen tau aja, kalo gua ancurin, masih keren gak motor ini. Masih nyaring gak suara knalpotnya" sahut Bonar yang membuat cowok Fitri langsung emosi dan turun dari motornya.


Sementara itu 3 orang yang ada didekatku langsung berdiri dan bersiaga. Aku jadi ikut ikutan berdiri juga. Begitu juga ketiga mekanik yang langsung menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan kearah Bonar. Sementara si kasir, hanya melirik sepintas lalu kembali sibuk dengan cermin ajaibnya.


"anjing lu! Ngomong apa lu tadi hah! Coba ulangin lagi" bentak cowok Fitri


"huft.. Selain muka lu yang gak enak di liat, omongan lu juga ternyata gak enak di denger. Eh ketambahan kuping lu juga budek ternyata. Cuma menang di motor aja lu. Pasti ini motor hasil lu nangis guling-guling kan minta ama bapak lu" ejek Bonar.


"taik! Nantangin bener lu ya!" ucap cowok Fitri sambil maju selangkah kearah Bonar. Diikuti ketiga teman cowok Fitri yang bergerak mendekati temannya, berdiri berjejer menghadapi Bonar. Sementara ketiga mekanik masih pada posisinya masing-masing. Si kasir? Sedang memonyongkan bibirnya memakai lipstick berwarna merah membara. Aku lalu ikut bergerak dan berdiri sejajar dengan ketiga teman cowok Fitri tadi. Sekarang posisi kami berjejer lima menghadap Bonar yang sendirian.


"ngajak ribut lu!? Mau sok jago hah? Nyari mati lu!?" bentak cowok Fitri dengan tampang songongnya pada Bonar


"bukannya lu yang sok jago! Nantangin gua! Apa maksud lu dijalan tadi kayak gitu! Lu pikir gua takut ngeliat lu rame temen begini. Bonar nama gua! Pantang kalo gemeter ngadepin orang kayak kalian!" tantang Bonar dengan jumawa sambil menepuk dadanya


"berani bener orang ini, nantangin orang rame begini. Menurut gua ada dua kemungkinan, kalo gak orang hebat, ya orang gila neh orang" ucapku mengomentari keberanian Bonar pada orang di sebelahku sambil meletakkan tanganku diatas bahunya. Sementara orang yang kuajak bicara masih saja diam dan memandangku dengan heran. Juga memandang tanganku yang bersandar di pundaknya. Heran kenapa sih!?


"gua jadi penasaran, kemampuan lu sesuai gak sama bacot lu yang gede" ledek cowok Fitri


"udah sikat aja.." usul salah satu temannya


"kita buktiin aja sekarang! Gak usah repot ngebahas masalah bacot segala. Lu cari aja tuh di comberan kalo mau bacot" sahut Bonar


"itu bekicot coy, beda.." timpalku cepat


"malah ngelawak neh anak" lanjutku kemudian pada orang di sebelahku yang sekarang melirik sebal padaku.


"emang minta diberi neh anak" ucap cowok Fitri sambil ingin melayangkan tinjunya kearah Bonar


"eits.. Udah udah.. Damai damai.. Piss..." aku langsung menengahi mereka berdua yang akan baku hantam.


"udahlah gak usah ribut. Kita damai aja. Enakan damai kok. Ngapain berantem, berantem itu sakit tau" lanjutku sambil memisahkan dan menahan dada mereka, tapi di tepis dengan kasar oleh cowok Fitri.


"gak usah banyak cingcong lu!" aku dibentak cowok Fitri


"yee ngapain gua banyak cingcong, tuh disebelah kalo mau beli cingcong" jawabku sambil menunjuk rumah makan padang disebelah bengkel


"itu cincang... Ini cingcong... yang biasa di salon itu lho" sahut Bonar


"itu bencong!" sahutku cepat sebelum keduluan yang lain


"anjing! Malah becandaan kalian ya!? Ngeremehin gua bener!" bentak cowok Fitri sambil mendorong pundakku emosi


"kalem coy, kalem, gak usah ngurat gitu. kalo memang mau ribut, yaudah silahkan aja, tapi selesain aja berdua. Duel satu lawan satu kalo emang lu berani" ucapku kemudian.


"oke! Gak takut gua! Sini lu maju!" ucap cowok Fitri langsung memasang kuda-kuda dan memamerkan gerakan jurusnya siap untuk menyerang Bonar. Dari jurusnya aku menduga dia terlalu banyak menonton film Saras 008. Gerakan jurusnya membuatku terpaksa mundur satu langkah agar tak terkena hembusan tenaga dalamnya.


"jurus apaan itu? Kunyuk melempar buah?" ejek Bonar meremehkan cowok Fitri


"eits! Jaga mulutmu anak muda! Jangan menghina jurus itu, itu jurus yang sakral bagiku. Ini beda aliran" protes ku sambil tetap memperhatikan gerakan jurus cowok Fitri


Wuutt..!! wuutt..!! Tanpa aba-aba lagi, Cowok Fitri yang sudah emosi langsung menyerang Bonar. Melayangkan dua kali tinju kanan dan kirinya yang ternyata tak mengenai sasaran karena Bonar dengan mudah menghindarinya. Merasa emosi karena serangannya tidak mengenai sasaran, dia kembali melepaskan tinju kanannya dengan tenaga penuh.


Tap!! Bonar menangkis serangan itu dengan lengan kirinya, lalu dengan cepat melepaskan balasan berupa dua tinjuan kanannya kearah perut lawan berturut-turut.


Bugh!! Bugh!! Tinjuan Bonar tepat mengenai sasaran. Lalu disusul dengan sebuah bantingan ala Ken Street Fighter yang membuat tubuh lawan terangkat lalu terbanting keras ketanah Bruughh!!


"aarrgghhh.." cowok Fitri hanya mengerang ditanah dan menggeliat menahan sakit. Dua pukulan di perut dan sebuah bantingan dari seorang atlit karate sudah pasti membuatnya terkapar.


"hah! Liat gak! Liat itu! Siapa lagi yang mau gitu! Ayo maju! Maju semua!" bentak ku sambil berdiri petantang petenteng disamping Bonar dan menatap kearah teman-teman cowok Fitri dan mekanik bengkel.


"ayo maju semua! Maju sekaligus! Ayo sini sini! Sekalian itu tiga mekanik amatir, kesini juga!" lanjutku lagi sambil maju satu langkah kedepan dan berkecak pinggang menantang mereka. Aku semakin sok jagoan begitu menyadari kasir bengkel itu ikut melihatku. Aku pasti terlihat macho di matanya.


Mendengar tantanganku, Ketiga mekanik lalu maju kedepan, bergabung dan berdiri berjejer dengan ketiga teman cowok Fitri yang sudah bersiap siaga. Mereka berenam lalu berdiri menghadapi kami, memasang kuda-kuda siap untuk menyerang.


Melihat mereka yang siap menyerang, aku menurunkan tanganku di pinggang, lalu bergerak perlahan memundurkan posisiku berlindung kebelakang Bonar.


"hehehe ternyata mereka berani coy. Saya kira mereka gak bakalan maju" ucapku cengengesan dibelakang Bonar.


"makanya gak usah banyak omong. Pake di tantangin semua" sahut Bonar


"hehe.. Iya iya maaf" ucapku menyesal


"aarrgghhh.. " suara rintihan cowok Fitri yang berusaha bangkit sambil memegangi perutnya. Bonar melirik kearahnya sepintas, lalu dengan cepat mengayunkan kakinya menghajar rusuknya Bugh! Bugh! Aaarrgghhh! kembali cowok Fitri jatuh bergulingan sambil berteriak kesakitan. Bonar makin kesetanan dan dilanjutkan dengan menginjak-injak lawannya.


"anjing!" Teriak salah satu temannya yang marah melihat perbuatan Bonar kepada cowok Fitri. Dia lalu bergerak maju ingin menyerang Bonar yang sedang menginjak-injak temannya. Melihat itu aku langsung bergerak cepat menyambutnya, memotong gerakannya kearah Bonar. Aku langsung melepaskan tinju kananku kearah rahangnya. Memberikan over cut ala Oscar De La Hoya. Aku Memakai hampir seluruh tenagaku dalamku, berharap agar dia langsung tumbang.


Karena tidak menduga serangan dariku dan juga memang gerakanku yang secepat manusia seiya, over cut ku tepat dan akurat mendarat di target. Bugh!! Tinjuku menghantam rahangnya dan berhasil membuatnya langsung roboh. Langsung kulanjutkan dengan tendangan kearah perut pada teman disampingnya yang sudah bergerak kearahku Begh! Membuatnya mundur beberapa langkah.


Aku langsung mundur selangkah, menghindar begitu melihat salah satu mekanik melepaskan tinjunya kearahku. Wuutt..! Tinjunya meleset hanya menerpa ruang kosong. Melihat serangannya yang gagal, dia kembali menyerangku, tapi karena mataku silau akibat pantulan cahaya giginya seperti di film Warkop DKI, membuatku tidak mengetahui jenis serangan apa yang mengarah padaku. Aku tak mau ambil resiko dan memutuskan mengangkat kedua tanganku untuk melindungi aset paling berhargaku, bagian wajah.


Aku sudah siap dan mengerahkan seluruh tenaga dalamku ke bagian tangan yang kupakai sebagai tameng pelindung. Tapi serangan dari mekanik itu tidak juga kunjung tiba. Ketika ku intip, ternyata serangan itu tidak jadi karena rupanya Bonar sudah langsung membabi buta menyerangnya. Melihat Bonar yang sedang mengamuk dan dikepung banyak lawan, aku langsung masuk ke kalangan pertempuran. Aku berlari sambil melepaskan tendangan matahari ala ksatria baja hitam RX kearah punggung lawan terdekatku. Ciiaaattt...!!


***
 
Terakhir diubah:
"aduuh... atiitt... sambil di tiup dong..." rengek Bonar manja pada Santi yang saat ini sedang membersihkan luka dan mengompres wajah Bonar.


"makanya jangan berantem. Hari gini masih suka berantem! Ngerebutin apa sih!" ucap Santi kesal


"ngerebutin kue apem" sahut Bonar


"hah?" Santi tampak bingung


"kue apem tembem isi kacang" jelas Bonar sambil memainkan alisnya yang makin membuat Santi bingung


"masih aja becanda" gerutu Santi


"kamu gak papa Lang?" tanya Santi padaku


"gak, gak papa. Aman dan sehat tanpa kurang satu apapun" jawabku


"enggak, soalnya kalo mau di kompres atau di obatin, saya panggilin Mala aja. Kalo nunggu saya selesai, kayaknya bakal lama neh ngeladenin anak manja ini" ucap Santi sambil melirik Bonar


"ah gak usah, saya gak papa kok. Gak perlu manggil Mala. Urusin aja tuh bayi badak manja" sahutku


"kalian ini memang gak pernah berubah ya. Hobi bener berantem. Untung gak luka parah, cuma memar di pipi sama bibir pecah dikit. Coba kalo parah gimana? Masuk rumah sakit, gak bisa ikut ujian!" oceh Santi.


"mereka keroyokan sih. Kalo gak keroyokan mana mungkin pipi sama bibir saya kena colong" sahut Bonar


"mereka ngeliat saya yang paling bahaya, makanya nyerang saya semua. Kalo Gilang mah enak, cuma ngadepin satu-satu. Taktik gerilya dia" lanjut Bonar


"hahaha gak juga lah, saya juga dikeroyok. Eh tapi untung aja ya kita cepet di pisahin sama orang rame. Kalo dilanjutin terus ya mungkin bisa babak belur juga kita berdua" ucapku


"Tapi walaupun gak selesai karena di pisahin orang rame, saya udah puas. Bener-bener puas udah ngehajar anak itu sampe gak bisa bangun. Hahaha.." Bonar tertawa puas


"saya yang belum puas. Belum puas karena belum dapet nomer hape kasir bengkel itu" gumamku


"kasir mana? Emang ada kasirnya tadi?" tanya Bonar


"ada" jawabku cepat


"cakep?" tanya Bonar lagi dengan senyum-senyum, begitu juga dengan Santi


"Cakep! Rambutnya pirang, bibirnya merah membara" ucapku semangat


"yahud pokoknya coy!" lanjutku sambil mengacungkan jempolku


"siapa yang rambutnya pirang? Bibirnya merah?" tanya Mala yang tiba-tiba sudah berdiri dibelakang ku. Aku yang kaget jadi gelagapan, sementara Bonar dan Santi hanya senyum-senyum memperhatikan. Rupanya mereka sudah mengetahui kedatangan Mala sebelumnya.


Entah karena kanuraganku yang sudah menurun atau memang ilmu meringankan tubuh Mala yang sudah mencapai taraf sempurna hingga aku bisa tidak mendengar kedatangannya. Aku jadi menyesal karena duduk dengan posisi membelakangi pintu, sehingga membuatku tidak mengetahui kedatangan Mala


"siapa yang pirang?" tanya Mala lagi karena aku tidak menjawab pertanyaan sebelumnya. Aku masih bengong dengan mulut ternganga, selain karena kaget dengan kedatangan Mala aku juga terpukau dengan penampilannya. Ah penampilan Mala memang selalu memukau sih. Kali ini Mala memukauku dengan memakai pakaian model gaun biru muda diatas lutut sedikit. Bagian atasnya dia tutupi dengan memakai cardigan putih. Aku menduga dia memakai cardigan itu untuk menutupi lengan mulus dan putihnya. Kemungkinan gaun itu bertali kecil atau bahkan tidak bertangan.


"halooo.." Mala mengibaskan tangannya didepan wajah bengongku


"Nar.. Nar.. Kita ada dimana sekarang.." tanyaku sambil tetap menatap Mala


"kenapa coy" tanya Bonar


"kok saya ngeliat ada bidadari ya? Cuma saya aja yang ngeliat apa kalian juga ngeliat? Tapi bidadari kok gak ada sayapnya ya?" tanyaku


"gombaaall..." celetuk Santi


"bisaaaa aja..." komentar Bonar


"jangan mengalihkan topik pembicaraan deh. Siapa tadi yang pirang? Yang bibirnya merah membara?" tanya Mala


"oh itu. Ini lho Bonar, tadi berantem sama mekanik bengkel motor. Nah mekanik itu rambutnya pirang. Trus si Bonar kena tonjok, makanya bibirnya jontor merah gitu tuh" jelasku beralasan dan menunjuk bibir Bonar yang terluka sedikit dan sedang diobati Santi.


"masa sih?" tanya Mala pura-pura antusias sambil duduk disampingku. Seketika aroma tubuhnya memenuhi pernapasanku.


"iya bener. Ya Nar ya.." aku coba meminta bantuan Bonar


"gak tau yaa..." Bonar malah meledekku


"Sant, nanti sore anterin ke salon yuk. Saya mau mirangin rambut neh" ucap Mala sambil membelai belai rambutnya menggodaku. Bonar dan Santi hanya tersenyum melihatku yang serba salah.


"sama mau beli lipstick ah, yang merah. Biar bibir saya merah membara" lanjut Mala memonyongkan bibirnya. Melihat bibirnya yang di monyongkan membuatku ingin langsung mencaploknya habis


"hehehe udah ah.." ucapku agar Mala berhenti menyindirku


"kalo udah pirang sama bibir membara, cocoknya pake baju apa ya? Hotpants sama baju ketat belahan dada rendah ya" ucap Mala yang belum mau berhenti menggodaku


"udah dong..." ucapku yang malu karena di sindir Mala


"pasti banyak ya cowok yang ngeliatin saya. Cowok-cowok mata keranjang kan seleranya emang begitu" sindir Mala lagi


"iya bener. Cowok mata keranjang emang suka yang begitu. tapi kalo saya beda, kalo saya sukanya kamu yang sekarang" ucapku menatap lekat Mala


"rambut panjang hitam, bibir tipis merah alami, hidung bangir imut-imut, dagu menggantung indah, sepasang bola mata yang bening" ucapku sambil tetap menatap lekat Mala.


"hmm" Mala hanya melirik karena sadar ku goda


"saya heran sama kamu. Gimana sih caranya supaya bisa terlihat cantik setiap saat? Walaupun bangun tidur, saya yakin kamu tetep keliatan cantik" ucapku lagi sambil menggeser duduk mendekatinya. Mala tampak grogi dan tak berani menatapku.


"kira-kira apa ya doa yang di panjatkan ibu kamu waktu hamil kamu? Kok bisanya Tuhan begitu sempurna nyiptain kamu di dunia ini" lanjutku


"udah ah" sahut Mala. Wajahnya tampak merah merona karena malu


"kulit putih nan halus bak batu pualam. Suara nan merdu laksana hembusan angin. Jari yang lentik laksana penari khayangan. Saya yakin ibu kamu dulu waktu hamil kamu ngidamnya ngemilin permata" lanjutku


"iih.. Udah sih" ucap Mala sambil mendorong pelan pundakku


"atau jangan-jangan... Saya curiga kamu ini bukan manusia. Tapi salah satu bidadari dari khayangan yang turun ke bumi. Iya kan? Hayo ngaku aja. Apa misi kamu turun ke bumi? Nyari selendang? Nyari pangeran kodok?" tanyaku


"iihh.. apaan sih.. udah ah.." ucap Mala yang tak mampu lagi menahan malunya sambil memukul-mukul pelan lenganku.


"hmm co cweett... Mau begitu" rengek Santi kepada Bonar


"kamu mau begitu? Hmm dasar kalian ini mau aja di bohongin si Gilang itu. Gilang itu udah terkenal tukang gombal, sampe dia punya sertifikatnya. Coba dipikir, Mana ada yang namanya penari khayangan. Emangnya di khayangan ada penari? Sexy Dancer gitu? Suara merdu bagaikan hembusan angin? Kamu tau suara angin itu gimana? Wooss woooss begitu. Kamu mau suara kamu dibilang begitu? Kayak ban bocor" jelas Bonar


"huu gak romantis" sahut Santi lalu merapikan peralatan kompresnya.


"kalian mau minum apa neh?" tanyanya kemudian.


"kopi" jawabku dan Bonar berbarengan


"ntar ya, tunggu bentar" ucap Santi lalu masuk kedalam rumah


"tunggu Sant, saya bantuin" ucap Mala yang langsung pergi menyusul Santi. Hanya meninggalkan aroma wanginya untuk kuhirup.


"coy, mumpung rumah Santi sepi neh. Kamu sama Mala geser aja sana" bisik Bonar


"geser kemana?"


"kerumah Mala lah. Pokoknya secepatnya ya. Saya mau berduaan ama Santi aja"


"jangan aneh-aneh ah. Kena gerebek warga ntar. Saya lagi males diarak warga keliling kampung" tolakku


"ah gak mungkin kena gerebek, aman. Suasana sepi terkendali. Lagian sebelah kan rumah preman. Mana ada yang berani ganggu. Kita harus manfaatkan situasi dan kondisi rumah yang kondusif ini coy. Kesempatan emas ini, jangan sampe di sia-siakan" ucap Bonar bersemangat


"ah siang-siang gini, ngapain sih. Gak leluasa juga kok. Bahaya, Keluarganya bisa dateng sewaktu-waktu"


"ya lumayan coy, secelup dua celup" Bonar masih memaksa


"mana sempet ah secelup dua celup. Belum lagi minum kopinya, pemanasan, pendinginan, cuci mencuci, cebok-mencebok" jelasku


"ya nanti kamu cepet abisin kopinya, abis itu kalian berdua langsung geser. Kalo gak bawa aja nanti kopinya kesana. Masalah pendinginan, ini bukan senam jadi gak perlu pendinginan sama pemanasan. To the point aja coy, quickie.. quickie.."


"gimana caranya ngajak Mala geser. Iya kalo dia mau, kalo gak mau? Kan belum tentu dia mau" ucapku ragu


"ah itu mah bisa-bisa kamu lah. Kamu lebih jago begituan. Jangankan nyuruh geser kerumahnya, nyuruh buka bajunya juga kamu pasti bisa" ucap Bonar


"ah mulut kamu Nar, kadang-kadang suka memotivasi" sahutku sambil berimajinasi


"kopi dataaang..." ucap Santi yang datang dari dalam bersama Mala membawa nampan, membuat aku dan Bonar menghentikan obrolan sesat kami.


"ini kopi kamu sayang, spesial saya yang buat" ucap Santi sambil meletakkan segelas kopi kedepan Bonar


"hemm sayang.." cibirku mendengarnya


"sirik..." sahut Bonar


"yang ini kopi buat Gilang, spesial buatan Mala" ucap Santi sambil meletakkan gelas kopi dihadapanku


"pake sayang gak?" tanyaku pada Mala yang sudah duduk disamping ku.


"apaan sih" Mala tersenyum sambil mencubit pelan lenganku. Pelan, cuma pelan gak kayak cubitan Jenni yang pedes


"di minum kopinya, tapi hati-hati masih panas" ucap Mala kemudian


"iya sayang" jawabku


"eh?" Mala tampak kaget dan tersipu mendengarnya


"hayooo" ledek Santi


"iya maksudnya sayang kalo gak di minum. Kan udah repot-repot dibuatin" ucapku berkelit. Aku lalu melihat kearah Mala yang wajahnya tampak sedikit kecewa mendengarku.


"cobain ya kopinya.. Slruuupp aah.. Mantab neh" ucapku kemudian


"komposisi antara gula dan kopinya ini pas banget, Seimbang. Titik didih aer panasnya juga tepat. Cara ngaduk kopinya pun pasti berirama, seiring dengan arah jarum jam. Gerakan ampas kopi dalem gelas juga sangat gemulai. Pokoknya manteb neh kopi" lanjutku mengomentari kopi buatan Mala dan membuatnya tersenyum


"hmm ngerayu.." ucap Bonar


"mau.. " sahut Santi


"gak usah kebanyakan ngerayu, cepet abisin kopinya. Udah itu 'maen' sana sama Mala. Saya sama Santi mau 'maen' berdua disini" ucap Bonar yang sudah tidak sabar dan mengusirku


"udah sih Nar, ngapain mau 'maen'. Kapan-kapan ajalah, jangan sekarang. Belum tentu juga Mala mau saya ajak 'maen' kan" jawabku


"besok-besok belum tentu bisa coy, mumpung ada waktu. Sana kamu kerumah Mala aja, 'maen' disana. Jangan ganggu saya sama Santi 'maen' disini" jelas Bonar


"atau kita maen berempat aja disini" usul Santi menyela kami


"hah? 'maen' berempat?" aku dan Bonar ternganga


"iya gak papa, kita maen berempat aja. Lebih seru tau, daripada berdua" Mala menambahi


"oke" sahut Bonar cepat


"gak!" aku berteriak tidak setuju


"gak papa coy, Santi sama Mala aja mau 'maen' berempat. Lebih seru kok. Ya Mala ya" ucap Bonar


"iya gak papa, ramean kita" sahut Mala


"gak gak gak! Sekali gak, tetep gak! Hidup enggak!" protesku


"kalo kamu gak mau, yaudah. Sana keluar aja, nunggu diluar. Biar saya 'maen' bertiga aja. Kamu dengerin suaranya aja ya dari luar hahaha" usir Bonar. Aku lalu memandang Santi dan Mala yang mengangguk membenarkan ucapan Bonar


"saya keluar? Tega kamu?" tanyaku pada Mala


"iya sana, kalo gak mau maen berempat. Keluar aja hehe" ucap Mala


"tega! Yaudah! Ayo 'maen' berempat" ucapku yang kesal pada tanggapan Mala


"hahahaha ayo ayo kita mulai 'permainan' kita" ucap Bonar sambil mengusap usap telapak tangannya


"tunggu sini ya, kita siap-siap dulu ambil perlengkapan" ucap Santi lalu masuk kedalam kamar diikuti oleh Mala


"gila.. Bener-bener gila.. Gak nyangka saya.. Rejeki nomplok coy. Pake perlengkapan lagi. Perlengkapan apa ya" ucap Bonar dengan senyum mesumnya


"kok Mala gitu ya Nar? Gak nyangka saya" gumamku kecewa


"udahlah, santai aja coy. Nikmatin aja. Haha justru saat-saat inilah yang akan kita kenang nanti"


"saya kira Mala orangnya... Huft.. Apa dia berubah ya.. Berubah kenapa? Karena siapa? Atau memang aslinya dia begini ya" aku masih tak percaya dengan apa yang akan terjadi


"alah! Kamu masih sok bingung. Nanti kalo mereka udah kesini, kamu bakalan gak bingung lagi. Kalo kamu gak mau juga gak papa, saya sanggup ngadepin mereka berdua"


"kok mereka lama ya.." ucapku gelisah


"nah kan gak sabar kamu. Sabar aja coy, mereka lagi siap-siap. Lagi dandan biar cantik, salin baju yang seksi. Pasti pake baju tidur neh, atau bikini. Kalo saya sih sebenernya sukanya pake baju suster" Bonar menggambarkan imajinasinya


"saya sih sukanya pake jilbab atau seragam sekolah" gumamku pelan.


"taraaaa... Lama ya nunggu" ucap Santi yang muncul bersama Mala


"loh kok gak salin?" tanya Bonar spontan yang kecewa melihat Santi dan Mala masih memakai pakaian yang tadi mereka pakai


"yee ngapain salin. Orang cuma maen monopoli juga, ngapain juga pake salin" sahut Santi sambil membuka kotak monopoli yang dibawanya


"emang kalian kira maen apa?" tanya Mala sambil ikut membantu Santi


"hahahaha ayo ayo kita maen. Udah lama neh gak dapet dana umum sama masuk penjara karena gak bayar pajak hahaha..." aku tertawa senang karena ternyata Santi dan Mala tidak sepemahaman dengan Bonar terkait kata 'maen' tadi


"haiss maen apa itu. Gak! gak! Males saya maen monopoli. Maen yang laen lah, kayak anak kecil aja" protes Bonar


"hahaha ini bukan maenan anak kecil coy, kalo maenan anak kecil itu uler tangga" sahutku senang dan ikut membantu mempersiapkan permainan


"ya 'maen' yang untuk orang dewasa lah, jangan itu!" protes Bonar lagi dan masih berharap secelup dua celup


"gak papa coy, justru saat-saat inilah yang akan kita kenang nanti. Hahaha kalo kamu gak mau maen, yaudah sana keluar. Tunggu diluar, saya masih sanggup ngeladenin mereka berdua. Kamu dengerin aja suaranya dari luar" ucapku meledeknya dengan mengembalikan kata-katanya tadi.


"gak gak! Udahlah gak usah maen, kita ngobrol-ngobrol aja" sahut Bonar sambil mengacak-acak semua perlengkapan monopoli yang sudah kami siapkan


"isshh reseh amat sih" celetuk Santi


"hmm Bonar mah gak seru" komentar Mala


"yaudah kalo gak mau maen monopoli, kita maen yang lain aja. Pas neh orang empat" usulku


"maen apa?" tanya Bonar berharap


"kwartet" jawabku


"iyaa.. Setuju.." seru Santi dan Mala


"malah kwartet! gak! Udah sana kamu keluar! Pergi sana kerumah Mala! Jangan ganggu saya, saya mau berduaan sama pacar saya" usir Bonar kesal


"yee padahal kan seru maen kwartet" gumamku


"iya" Mala sependapat denganku


"keluaaarr! Enyaaahh kaliaan!!" teriak Bonar sambil menunjuk pintu keluar


"males. Maen gitar aja ah.." aku malah meledek Bonar sambil mengambil gitar Santi yang ada didekat kami


"asik asik.. Request lagu dong.." sahut Mala ceria


"boleh boleh, untuk kamu apa sih yang enggak? Mau lagu apa? Tapi maaf aja ya, gak melayani request lagu diluar Padi sama Iwan Fals" jawabku


"mahadewi aja" sahut Santi, sementara Bonar hanya melirik kesal karena aku tidak memberinya kesempatan untuk secelup dua celup.


Baru saja aku memetik gitar memainkan intro lagu Mahadewi, Mala langsung menangkap tangan kananku yang otomatis membuat permainan gitarku berhenti.


"ini kenapa!? kamu ini kapan sih mau berenti berantem? Neh liat, tangan kamu luka" ucap Mala melihat beberapa luka kecil pada punggung tangan kananku


"iya ya. Pantesan kok kerasa pedih. Oh ini kayaknya kena gigi neh" jawabku memperhatikan punggung tanganku yang terluka karena kugunakan untuk memukul mulut lawanku tadi


"kayak gak ada penyesalan bener kamu ya? saya kira Bonar aja yang berantem? Ternyata kamu juga. ngapain sih berantem? Mau sampe kapan kekanakan begitu? Kapan kamu bisa dewasa" Mala mulai ceramah dan memperhatikan luka ringanku


"anaknya ngotak sih. Emang harus diberi pelajaran biar tau rasa. Tapi bakalan tetanus gak ya? Masalahnya gigi anak itu tadi warnanya kuning keemasan gitu, banyak bakteri kayaknya" ucapku sambil memperhatikan tanganku yang masih di pegang Mala


"gak usah ngebanyol! masalah kamu kemaren itu aja belum tau selesai atau gak. Ini udah ada masalah baru lagi. Bermasalah sama siapa kamu sekarang!? Siapa yang kamu berantemin!?" tanya Mala


"siapa!?" tanya Mala lagi karena aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya.


"cowoknya Fitri" sahut Bonar


"cowoknya Fitri?" tanya Santi heran


"i.. iya" jawab Bonar berat


"emang kenapa kamu berantem sama dia? Ada masalah apa?" tanya Santi lagi mengambil alih tugas Mala mengintrogasi.


"Kenapa? Apa kamu marah sama dia? Cemburu gitu? Gak rela dia pacaran sama Fitri?" cecar Santi, sementara Bonar hanya diam saja. Aku dan Mala jadi merasa tidak enak


"jawab! Cinta bener ya kamu sama dia? Gak bisa ngelupain dia? Trus saya dianggep apa hah!? Pelarian? Cuma pelarian kamu!" Santi makin meninggi dan Bonar masih tetap diam


"kerumah kamu aja yuk" ajak ku pada Mala yang langsung dijawab dengan anggukan kepala.


Tanpa berpamitan pada mereka berdua, aku dan Mala langsung keluar dari rumah itu. Meninggalkan Bonar yang sedang di introgasi oleh Santi. Tak lupa aku membawa gitar Santi dan menyambar kotak rokok diatas meja.


Aku dan Mala berjalan beriringan. Tak ada kata-kata yang terucap dari Mala. Dari wajahnya aku tau dia sedang kesal padaku. Sambil berjalan aku memandangi wajah sebalnya yang justru terlihat menggemaskan dimataku. Mala hanya melirik sebal menyadari aku memandanginya. Sampai dirumah Mala, aku melihat keadaan rumah yang sepi. Tak ada ibunya yang sedang menyiram tanaman, atau si kumis yang sedang memandikan ayam jagonya. Aku lalu duduk diteras dan mulai memainkan gitar, sementara Mala langsung masuk kedalam dengan wajah kesalnya.


Tak lama kemudian Mala keluar sambil membawa Betadine dan kapas. Mala menarik tanganku untuk diobati, membuat permainan gitarku kembali terhenti.


"kok sepi, pada kemana?" tanyaku


"kondangan, Raka maen" jawab Mala singkat dan fokus mengobati luka ku


"kamu sendirian?"


"Berdua kamu" jawab Mala


"hehe iya ya.."


"fuuhh fuuhh.. Pedih?" tanya Mala sambil meniup luka ku yang sudah selesai diobatinya


"wangi" jawabku


"mana lagi yang luka?" tanya Mala sambil memperhatikan sekujur tubuhku mencari jika ada luka lain


"udah itu aja, gak ada lagi" jawabku


"beneran?"


"iya Nirmala Primaningtyas...." jawabku menggodanya


"gimana? Puas kalo udah berantem?" tanya Mala sambil meletakkan Betadine keatas meja


"biasa aja, eh kamu tau gak..."


"apa? Kasir pirang? Dasar kamu ini. Masih aja becanda. Kapan sih kamu mau berubah? Apa berantem itu cuma satu-satunya jalan keluar? Gak bisa di hindarin? Gak ada solusi lain?"


"untuk masalah ini, iya"


"kenapa harus berantem?" tanya Mala lagi


"anaknya ngotak. Dia yang cari gara-gara, manas-manasin Bonar"


"kenapa kamu malah ikut-ikutan? Harusnya kamu jangan ikut-ikutan. Kamu cegah, kamu pisahin"


"bukan ikut-ikutan... Bonar itu kawan saya, Jadi pasti saya bela. Salah aja saya bela, apalagi bener. Lagian saya udah coba misah, tapi emang anak itu maunya berantem kok" jelasku


"huft.. saya gak tau lagi harus gimana caranya ngomong sama kamu" ucap Mala putus asa


"caranya? gimana kalo sambil senyum. Saya paling suka kalo kamu ngomong sama saya sambil senyum. Apalagi mata kamu yang indah sambil natap mata saya" rayuku


"hmm.." Mala geleng geleng kepala mendengarnya


"eh kamu tadi kok tau saya ada dirumah Santi? Feeling ya? Insting ya? Ikatan batin?" tanyaku sedikit memaksa


"Kebetulan aja, saya emang mau kesana minta tolong liatin hape saya, eh gak taunya kamu ada disana"


"oh gitu"


"Tapi kamu sombong ya gak mau mampir kerumah saya, gak mau ketemu saya lagi ya" Mala pura-pura merajuk


"bukan gitu, tadi itu saya baru aja nyampe. Niat utama saya emang mau kerumah kamu kok. Sapa juga yang mau jadi obat nyamuk ngeliatin orang pacaran begitu. Lagian kangen juga lama gak ketemu kamu. Kayak ada yang ilang gitu" ucapku pelan sambil menatap matanya


"oh gitu.. Emang kamu kemaren-kemaren kemana? Hape kamu kemana?" tanya Mala


"mudik. Pulang kota. Hehehe.. Kalo hape saya rusak. Nyemplung ke aer waktu saya mau nolongin orang tenggelem" jawabku berbohong


"hehehe dasar tukang bohong. Bisa berenang aja gak, sok mau nolongin orang" ucap Mala tersenyum manis


"nah gitu dong, senyum. Jangan cemberut aja. Kalo senyum kan cantiknya jadi nambah seratus kali lipat"


"Hmm.. kamu mau dibuatin minum apa? Kopi lagi atau yang lain?" tanya Mala berusaha menghilangkan gugupnya


"susu?" tanyaku ragu sambil sepintas melirik kearah dadanya.


"hadeeh.." Mala menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum dan masuk kedalam


Sepeninggalnya Mala aku mulai memetik gitar Santi yang kubawa tadi, sedikit ku stel agar lebih pas suaranya. Aku lalu bersenandung pelan sambil menunggu Mala datang. Dan tidak berapa lama kemudian,


"aww..! Prang!!" terdengar suara pekikan Mala dan benda pecah dari dalam rumah, membuatku langsung bangkit dan bergegas masuk kedalam rumah sambil menenteng gitar.


Aku bergegas masuk mencari Mala dan sumber suara tadi. Sekilas aku melihat Mala yang sedang berada didapur. Setengah berlari aku menghampiri Mala, aku meletakkan gitar yang kubawa diatas sofa depan TV.


"kamu kenapa?" tanyaku cemas saat melihat Mala yang sedang berjongkok membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.


"gelasnya pecah waktu saya nuangin air panas, saya kaget terus kesenggol, terus.. terus.. jatoh gelasnya" jelas Mala gemetar dan seperti ingin menangis


"tapi kamu gak papa kan?" tanyaku sambil berjongkok didepannya dan mengusap lengannya berusaha membuatnya tenang. Mala hanya mengangguk pelan.


"kamu kan anak IPA, seharusnya kamu tau kalo sendok itu konduktor. Sebelum kamu nuangin air panasnya, kamu masukin sendok dulu supaya..."


"malah dimarahin..." ucap Mala pelan dengan wajah memelas.


"bukan gitu, maksud saya harusnya kamu..."


"Gilang galak..." ucap Mala dengan mata yang berkaca-kaca


"iya-iya, maaf ya. Saya bukannya marah, saya cuma khawatir sama kamu" ucapku pelan sambil mengusap lengannya lembut


"maafin saya ya.." ucapku lagi. Mala lalu mengangguk pelan


"yaudah, yang penting kamu gak papa. udah kamu bangun, berdiri ya. Biar saya aja yang beresin" lanjutku sambil membantunya untuk bangun berdiri


"gak papa. kamu duduk aja, tunggu aja. Biar saya beresin ini dulu, nanti saya buatin lagi minum kamu" ucap Mala menolak


"udah, gak usah bandel. Kamu nurut ama saya. Biar saya yang beresin ya. Badan kamu sampe gemeter gini" ucapku sambil memapahnya berjalan ke sofa depan TV.


"kamu duduk sini, tunggu sini aja ya. Jangan kemana-mana" ucapku kemudian, Mala hanya mengangguk pelan.


Aku kemudian kembali kedapur, membersihkan pecahan gelas dan bekas tumpahan airnya. Setelah membereskan semuanya, aku kembali keruang tengah untuk menemui Mala. Aku melihat Mala yang tampak sedang memperhatikan jari tangannya.


"kenapa? Luka jari kamu?" tanyaku


"oh gak, gak papa" jawab Mala kaget yang langsung menyembunyikan tangannya kebelakang pinggang seperti murid TK yang takut diperiksa kuku


"sini coba saya liat" ucapku sambil ingin meraih tangannya


"gak papa kok, beneran" ucap Mala menolak


"sini!" ucapku sambil memaksa meraih tangannya


"kenapa ini? Kena air panas?" tanyaku setelah melihat jari telunjuk Mala yang tampak memerah. Jarinya yang lentik dan putih tentu saja sangat sensitif dan terlihat memerah karena terkena air panas.


"kan marah lagi..." ucapnya dengan ekspresi memelas dan takut


"bukan marah... Saya cuma nanya"


"sakit?" tanyaku lagi. Mala hanya mengangguk.


"fuuhh.. fuuhh.. fuuhh.. Masih sakit?" tanyaku setelah meniup jarinya. Mala mengangguk pelan


"kalo di giniin? Cup.. Cup.. Masih sakit?" aku menciumi jarinya yang sakit.


"sedikit" jawabnya pelan dan menunduk malu.


Sambil menggenggam tangannya aku lalu meniupi jarinya sambil sesekali diselingi dengan menciumnya. Cukup lama seperti itu, dan tidak ada kata-kata diantara kami. Kami hanya berusaha menikmati moment yang ada. Beberapa saat kemudian aku merasa telapak tangan lembut Mala menyentuh pipiku.


"udah. Udah gak sakit lagi. Makasih ya" ucapnya lembut. Aku melihat raut wajahnya yang sudah tidak pucat dan gemetar lagi. Menjadi raut wajah yang cerah dan merona.


"nanti kalo sakit lagi, bilang ya" ucapku yang dijawab dengan anggukan oleh Mala


"apa mau dikasih odol? biar dingin, gak panas?" tanyaku


"gak usah, udah gak papa kok. saya bikinin kamu minum dulu ya" ucap Mala ingin bangkit dari duduknya


"gak usah... Ini bandel bener ya. Gak kapok-kapok" ucapku gemas sambil mencubit pelan pipinya. Halus, lembut, kenyal kayak bakso formalin.


"hehehe.. Masa' kamu gak dibuatin minum" jawabnya tersenyum riang


"air putih aja"


"bentar ya" jawabnya lalu berlalu ke dapur. Sambil menunggu Mala aku lalu menyalakan TV dan mencari-cari acara yang bagus.


"gimana ujian besok? Siapkan?" tanya Mala sambil meletakkan segelas air putih diatas meja


"jangankan besok, sekarang aja saya siap" jawabku percaya diri


"hmm sombong. Awas aja kalo sampe gak lulus" ucap Mala sambil duduk disampingku


"tenang aja, pasti lulus. Dari taun-taun kemaren mana ada yang gak lulus di sekolahan kita. Pasti lulus semua kan. Untungnya standar nilai kelulusan baru di terapin taun depan. Jadi kita aman"


"walaupun baru diterapin taun depan. Tapi kamu harus tetep belajar, gak bisa asal-asal aja ujiannya. Belum lagi buat persiapan masuk kuliah nanti"


"masuk kuliah kan gak liat nilai raport atau NEM. Tetep aja ujian lagi kan? Ujian seleksi" jawabku enteng


"huft.. Tetep aja kamu harus belajar Gilang... Rencananya kamu mau kuliah dimana? Ambil jurusan apa?" tanya Mala


"gak tau, belum tau" jawabku


"kok gitu? Masa' gak tau? Emang kamu gak punya cita-cita atau impian gitu?"


"kalo cita-cita, jujur saya gak punya. Kalo kamu apa cita-citanya?"


"jadi Dokter. Buka klinik sendiri. Di depan klinik ada plang nama saya, Dokter Nirmala Primaningtyas.." jawab Mala dengan mata berbinar dan membayangkan cita-citanya


"huh klise! Kenapa sih harus Dokter!? Kenapa masyarakat kita selalu nganggep profesi Dokter sebagai acuan kesuksesan? Apa cuma Dokter yang dianggep sukses? Cuma Dokter yang dianggep sejahtera? Cuma Dokter yang bisa membanggakan keluarga?" ucapku sinis.


"kok kamu marah? Ada masalah apa kamu sama profesi Dokter?"


"saya gak ada masalah. Saya menghormati Dokter dengan tugas mulianya. Saya cuma kesel aja sama pemikiran orang-orang yang menganggap profesi Dokter sebagai acuan kesuksesan, keberhasilan seseorang. Banyak orang tua pengen jadiin anaknya Dokter, walaupun si anak mungkin gak mau jadi Dokter. Padahal banyak profesi lain yang juga bisa di banggakan. Gak cuma Dokter kok"


"itu kan cuma pandangan orang awam aja. Walaupun memang saya akui, masyarakat kita memang memandang profesi Dokter lebih tinggi status sosialnya"


"kenapa sih mau jadi Dokter semua" gumamku kesal mengingat Jenni juga yang ingin dijadikan Dokter oleh orang tuanya


"kalo saya sih memang dari dulu pengen jadi Dokter. Menurut kamu, saya cocok gak jadi Dokter?" tanya Mala


"cocok sih cocok. Tapi saya gak bisa bayangin dan gak mau ngebayangin kamu jadi Dokter"


"kenapa?"


"gak bisa aja ngebayangin kamu nanti bakal ngobatin cowok lain kayak kamu ngobatin saya tadi. Tangannya dipegang lembut, lukanya di tiup. Huftt.. Males banget!" jelasku


"hehehe ada-ada aja kamu ini" tawa Mala renyah


"Karena kalo Dokternya kayak kamu, pasti banyak pasien cowok yang berobat"


"yaudah berarti khusus cewek sama anak-anak aja ya. Kalo cowok saya tolak aja"


"yee gak bisalah. Kalo udah jadi Dokter, kamu gak boleh ngebeda-bedain. Kan ada sumpah Dokternya. Jadi kamu harus ngejalanin semua tanggungjawab kamu sebagai Dokter"


"oh gitu ya, hehehe.. gimana kalo kamu jadi Dokter juga" ucap Mala


"saya? Dokter?" tanyaku. Mala mengangguk


"saya jurusan IPS, bukan IPA. Seleksi berkas aja gak mungkin lolos. Ujian? Apalagi. Cuma orang otak encer yang bisa kuliah kedokteran. Belum lagi daftar ulangnya, ratusan juta. Biaya kuliah dan lain-lain. Sesuatu yang mustahil buat saya" jelasku


"trus kamu mau jadi apa dong? Kamu harus punya cita-cita Gilang.."


"hmm.. sekarang saya punya" jawabku mantab setelah berfikir sejenak


"apa itu?" tanya Mala


"jadi suami Dokter" jawabku


"hehehe..." Mala hanya tertawa mendengar jawabanku. Yah, sudah ku putuskan mulai sekarang. Cita-citaku adalah menjadi suami Dokter. Entah itu dr. Nirmala Primaningtyas, atau dr. Jennifer Natanegara. Pokoknya aku harus jadi suami Dokter, titik!


"jadi? Mau kuliah dimana? Jurusan apa?" tanya Mala


"masalahnya saya sendiri belum tau bakal kuliah apa gak" jawabku. Raut wajah Mala tampak berubah serius mendengarnya.


"iya. Saya gak tau. Keinginan untuk kuliah memang ada. Tapi dengan kondisi keluarga saya sekarang, saya gak berani berharap. Saya gak berani bermimpi. Apa saya masih akan terus membebani orang tua? Atau mungkin sekarang udah saatnya saya membantu mengurangi beban mereka" jelasku. Mala tampak tertegun mendengar semua penjelasanku.


"saya yakin, orang tua kamu pasti mikirin yang terbaik buat kamu. Setiap masalah pasti ada solusinya. Ada jalan keluarnya" ucap Mala sambil mengusap pundakku. Seolah memberikan ketenangan dan kekuatan


"iya. Saya yakin orang tua saya sadar kalo anaknya yang tampan ini, punya otak yang jenius dan sayang kalo di sia-siain. Hehehe" ucapku mencairkan suasana.


"hehehe dasar.."


"neh Santi punya gitar. Emangnya dia bisa ngegitar ya?" tanyaku sambil mengambil gitar dan sedikit memainkannya


"gitar bapaknya. Ehm nyanyiin saya lagu dong" ucap Mala dengan wajah penuh harap


"waktu itu kan udah" jawabku


"kapan?" tanya Mala


"ditaman. Kamu lagi makan. Lagu iwan fals" jelasku mengingatkannya saat aku mengamen tempo hari


"bedalah. Kan waktu ditaman itu saya udah bilang juga, saya pengen kamu nyanyiin lagi" ucap Mala


"gitu ya? oke deh. Mau lagu apa? Biasanya saya gak gampangan gini lho" tanyaku


"hehe.. apa aja, terserah kamu"


"hmm saya paling suka neh ama cewek penurut, yang terserah terserah aja hehehe"


"iih apaan sih. Ayo cepet mulai" ucap Mala sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.


"Minum dulu ya, biar suara saya bening. Sebening kamu hehe" ucapku lalu meminum habis air putih ku diatas meja


"gombal. eh saya pindah gak neh duduknya? Takut ganggu kamu maen gitar?" tanya Mala


"gak usah, situ aja. Enak, wangi" jawabku dan mulai memetik gitar


Jreng jreng jreng.. Intro dulu coy, biar keliatan keren. Melihat situasi, kondisi dan Mala yang ada disampingku, maka aku memutuskan untuk membawakan lagu dari Padi, berjudul Begitu Indah.


"Bila cinta menggugah rasa

Begitu indah mengukir hatiku

Menyentuh jiwaku

Hapuskan semua gelisah"
aku memulai bait pertama sambil tersenyum menatap Mala disampingku. Mala tampak menikmati permainanku. Dia tersenyum dengan mata berbinarnya dan mengerti bahwa dia adalah yang kumaksud dalam lagu itu.


"Duhai cintaku duhai pujaanku

Datang padaku tetap di sampingku

Kuingin hidupku

Selalu dalam peluknya"
Memasuki bait kedua aku semakin dalam menatapnya. Mala sudah tidak menopang dagunya lagi dan meletakkan kedua tangan diatas pangkuannya. Mala semakin terhanyut dengan lagu yang kunyanyikan. Tampak matanya yang seolah berusaha menerobos mataku yang menatapnya. Menerobos untuk membaca arti dari tatapanku. Menerobos untuk mencari jawaban atas kegundahannya.


"Terang saja aku menantinya

Terang saja aku mendambanya

Terang saja aku merindunya

Karena dia, karena dia begitu indah"
diakhir lirik aku mengedipkan sebelah mataku, berusaha menggoda Mala yang makin terhanyut nyanyianku


"Duhai cintaku pujaan hatiku

Peluk diriku dekaplah jiwaku

Bawa ragaku

Melayang memeluk bintang


Terang saja aku menantinya

Terang saja aku mendambanya

Terang saja aku merindunya

Karena dia, karena dia begitu indah"
sampai pada bait ini, entah sejak kapan, entah Mala yang makin mendekat atau karena permainan gitarku yang terlalu meresapi membuat posisiku mendekat kearah Mala. Yang jelas saat ini posisi kami semakin dekat. Kakiku sudah bersentuhan dan menempel kakinya. Tanganku bahkan agak sulit memainkan gitar karena menyentuh lengannya.


"Oo.. Oo.. Oo..

Begitu.. Begitu.. Indah.." aku sudah sampai pada akhir lagu. Pada lirik terakhir, aku menatap wajah Mala yang berjarak cukup dekat denganku. Matanya tampak sendu menatapku dan bibirnya tampak sedikit terbuka...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd