Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nenekku, Pahlawanku [On Going]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    439
***

Hanya perasaanku saja atau bagaiamana, tangisan Tante Ima seperti angin berlalu. Aku menghitung ada sekitar 50 detik Tante Ima mementaskan air mata, dan sekarang malah tertawa cekikikan bersama Nenek. Duduk bercengkrama di atas kursi bambu sambil merokok bersama.

"Hahahahaha. Jadi Umi dibuat mancur-mancur pertama kali cuma pake mulut sama jarinya di Kobe?" seloroh Tante Ima dengan tawa mengejeknya. Dilanjutkan menghisap rokok susah payah karena sudut bibirnya sobek.

"Iya. Umi juga ndak percaya kalau Umi justru mendapatkan kepuasan terbaik sama cucu sendiri. Sensasinya ndak bisa dibayangkan pokoknya, Im. Hahaha." Nenek menyahut dengan pandangan sipit karena matanya masih bengkak.

Aku geleng kepala. Sungguh menjengkelkan. Mereka ini tak bisa ditebak. Baru saja bertengkar sampai berdarah-darah, sekarang justru nampak akrab seperti ibu dan anak kebanyakan.

Kendati dijadikan bahan rumpi, aku tetap santai seperti biasa. Mencoba untuk menganggap hal ini sebuah kewajaran.

"Pas tahu Kobe punya bakat di ranjang kayak Abah, Umi putuskan untuk mengakhiri hubungan sama Adam kemarin, ya, kan?" Nenek berceloteh dengan gaya bicaranya yang seperti ABG.

"Terus, Adam terima gitu aja?"

"Endak. Adam malah minta jatah terakhir buat perpisahan."

"Umi kasih?"

"Iya. Umi kasih. Kasih hujatan."

HAHAHAHAHAHA!

Ledakan tawa keduanya membahana ke seantaro pekarangan belakang rumah. Disusul semilir angin pagi yang sejuk pedesaan, baik Nenek mau pun Tante Ima bercakap-cakap soal peranjangan. Yang sesekali mereka melirikku. Lirikan nakal bin cabul.

"Ngomong-ngomong, maaf kalau Ima salah bicara dan membentak Umi." Tante Ima berkata sungkan. Sebab, beberapa menit yang lalu, setelah pikirannya tenang, Nenek menjelaskan dengan gayanya yang keibuan dan suka heboh sendiri jikalau menyampaikan segala sesuatu berbau seksual.

"Ndak usah dipikirkan lagi. Tadi Umi emosi. Habisnya mulutmu ndak pakai rem kalau ngomong." Nenek menjawab enteng.

Tante Ima mengangguk sambil tersenyum. Pun Nenek yang balas tersenyum menenangkan.

Keduanya kembali cair dalam obrolan yang membahas maksud kedatangan Tante Ima ke rumah. Bahwasanya, Tante Ima mengutarakan tujuannya ke mari untuk menyapaku karena sudah lama sekali tak bertemu.

Tante Ima juga mengatakan jika ia bisa masuk ke dalam rumah karena kaget pintu rumah tidak dikunci. Mana Tante Ima terkejut saat mendengar suara Nenek yang merintih, mendesah, di kamar. Setahu Tante Ima, Nenek tak pernah mengundang seorang lelaki untuk bermain gila. Apalagi di rumah ada Kakek. Maka dari itu, Tante Ima yang bisa dibilang tidak bodoh-bodoh amat, segera tahu bila ada dua kemungkinan. Nenek masturbasi. Atau Nenek bercinta denganku. Dari dua kemungkinan itu, yang terakhirlah jawaban dalam benak Tante Ima.

"Ima tahu kalau selama ini Umi punya hubungan dengan lelaki lain. Lebih dari satu. Tapi Ima memilih diam. Kenapa? Soalnya Ima juga tahu Abah sudah mengkhianati cinta Umi dengan menghamili janda gatel itu," pungkas Tante Ima, sembari menekankan kata 'janda gatel'. Ada nada gemas ingin menghantamkan dongkrak di sana.

Nenek tercekat. Matanya terbelalak. Untuk beberapa saat, Nenek termangu dalam lamunan dan rasa bersalah. Di detik berikutnya, Nenek berdeham, "Kamu marah sama Umi, Nduk?"

Anggukan mantap Tante Ima berikan. "Pasti. Cuma Ima ndak mau menyalahkan Umi sepenuhnya. Selagi Umi melakukannya tanpa paksaan, Ima ndak mau ikut campur urusan Umi. Apapun itu."

Senyum Nenek terlihat kecut. "Entah Umi harus senang atau sedih. Yang jelas, Umi makasih sama kamu karena mau mengerti keadaan Umi."

"Terus, sekarang gimana, Umi? Apa Umi masih tetap seperti itu?"

"Umi sudah niat menyudahi." Nenek menoleh ke arahku yang tengah duduk bersila di atas batu pengasah. Binar matanya yang penuh kasih sayang mengingatkanku pada sosok ibu di kota saat kami berpisah di terminal. Sejurus, Nenek kembali berkata pelan, "Umi sudah punya Kobe."

"Berarti Umi sudah siap dengan segala resiko ke depannya?"

"Resiko apapun akan Umi hadapi."

"Termasuk menuruti permintaan Mbak Ami waktu itu?"

"Kamu masih inget aja. Umi aja lupa-lupa ingat."

"Ndak kaget. Namanya juga faktor umur."

"Asem kowe, Nduk." Nenek manyun. "Ehm. Soal permintaan Mbakyumu dulu, Umi ndak bisa memutuskan. Soalnya kan tergantung Kobe-nya juga. Tapi ..." Nenek menjeda, "Umi yakin kalau Kobe ndak bakal menolak," imbuhnya, seraya menatapku sendu.

"Aku nggak paham arah pembicaraan ini." Aku ikut nimbrung setelah sekian lama terdiam dan hanya menyimak.

Senyum Nenek merekah cerah menatapku. Memamerkan jajaran gigi putih sedikit kuning karena keseringan merokok. "Mungkin ini terdengar gila. Apa kamu mau mendengar sebuah cerita, Le?"

"Kok jadi deg-degan, ya? Apa Nenek mau bilang kalau aku itu anak Megawati, bukan anak ibuku?" tanyaku polos.

"Ndak gitu konsepnya, jancuk."

Tante Ima tertawa keras. Nenek ikut-ikutan. Aku yang tidak tahu menahu, ikut tertawa. Sekadar meramaikan saja. Meskipun aku sendiri yang jadi bahan tertawaan. Bajingan.

"Jadi gini, Le ...."

Nenek mulai bercerita. Cerita 19 tahun yang lalu saat aku masih dalam kandungan ibu. Cerita yang bertemakan tentang ibuku, Siti Aminah, yang sedang ngidam tak biasa.

Ibu, yang saat itu usia kandungannya 28 minggu, ngidam sekaligus melakukan pertaruhan. Ibu tak akan memeriksakan jenis kelamin kandungannya untuk kejutan saat kelak aku terlahir jika ke dunia. Andai aku perempuan, ibu ingin menikahkanku dengan Kakek. Apabila aku laki-laki, ibu akan menikahkanku denfna Nenek serta keempat anaknya, yang tak lain ibuku sendiri dan ketiga adiknya.

Yang membuatku menahan nafas adalah: mereka semua yang terlibat dalam obrolan setuju. Bahkan para lelaki, yang tak lain suami masing-masing anak Kakek dan Nenek pun tak keberatan. Dengan catatan, para lelaki akan mengambil alih hak asuh anak dan tak akan memberikan harta warisan sepeser pun kepada istri mereka.

Aku tak bisa berkata-kata. Merinding aku mendengar penuturan Nenek. Tak bisa kubayangkan apa kata dunia andai hal itu terelasikakan. Ah! Membayangkannya saja aku tak sanggup. Sungguh. Aku merasa sial sekaligus beruntung.

Otakku tak lagi bisa berpikir jernih. Dan tiba-tiba, memori-memori janggal masa lalu mulai muncul.

Dari aku yang suatu malam tak sengaja mendengar ibu dan ayah sedang bersenggama dengan ibu yang mendesah-desah meneriakkan namaku, hingga ucapan serius Nenek yang mengatakan jika ia rela hamil dariku untuk membuktikan cintanya padaku.

"Sejak kamu datang lagi ke sini, tanpa disuruh ibumu pun, Nenek sendiri sudah mencintaimu sebagai cucu Nenek, juga sebagai laki-laki dewasa yang saling berbagi kenikmatan di atas ranjang bersama Nenek. Di sisi lain, Nenek merasa bertanggung jawab."

"Tanggung jawab dalam hal apa?" tanyaku.

"Karena Nenek-lah, Kobe harus kehilangan perjakanya."

"Ya ampun, Nek." Aku geleng kepala. Pengakuan Nenek pagi ini sungguh membuat dadaku bergemuruh. Tak ada kata yang sesuai untuk menjawab ucapan Nenek. Yang bisa aku berikan hanya senyum kecil kepadanya.

Masih tetap di tempat, Nenek sudah sepenuhnya duduk menghadap ke arahku. Ia mengikat rambutnya yang tergerai dengan model kuncir kuda. Kontan saja dua buah payudara tanpa bra membusung menantang. Tante Ima yang melihat saja sampai tercengang karena ukuran payudara Nenek lebih besar darinya. Apalagi aku. Iya, aku menelan ludah susah payah. Menatap nanar tanpa berkedip sedikit pun.

"Seperti yang sudah pernah Nenek katakan kemarin, sebagai bukti rasa cinta Nenek ke Kobe, Nenek akan memberikan sisa hidup Nenek hanya untuk Kobe. Sekalipun Kobe ingin Nenek hamil anak Kobe, Nenek sudah siap, kok."

Kedua kaki Nenek turun. Melangkah pelan menuju ke arahku. Aku ikut berdiri menyambut Nenek. Sejenak, kami berpandangan penuh cinta. Yang tanpa kusadari, kami berpelukan hangat, berikut bibirku dengan kurang ajarnya maju dan nyosor bibi Nenek. Tentu saja Nenek membalas ciumanku tanpa drama.

Lumayan demi lumatan.

Pagutan demi pagutan.

Saliva mulai menetes di mulut kami. Menjadi saksi bisu cinta sedarah tak biasa antara nenek dan cucunya. Nurul Fauziah dan Kobe Bangun Kusumo.

"Ima ndak ikut-ikut, ya." Tante Ima berucap dengan nada mengejek. Menyadarkan aku dan Nenek dari aktifitas dewasa yang hampir saja memasuki fase meraba kemaluan masing-masing.

Aku mendorong bahu Nenek pelan. Kutatap Nenek sebentar yang nafasnya tersengal-sengal, lalu melirik ke arah Tante Ima yang eskpresinya tak terbaca, sebelum berkata, "Maaf, ya, Tante. Aku malah ngasih lihat pemandangan yang nggak sepantasnya Tante lihat."

"Santai ae, Le. Tante wes biasa. Malah sering ndelok Umi gendakan nang kabeh nggon. Bedone, baru kamu seng paling ganteng tekan Kabeh lanangan seng sering ngelamuti susu Umi." (Santai aja, Nak. Tante sudah biasa. Malah sering lihat Umi pacaran di semua tempat. Bedanya, baru kamu yang paling ganteng dari semua lelaki yang sering menghisap susu Umi.)

Aku terkekeh. "Hehehe. Bisa-bisanya aku menyukai Nenekku sendiri. Padahal Nenek bekas banyak orang."

"Sembarangan. Gini-gini, Nenek itu setia lho orangnya." Nenek menyanggah.

"Setia apaan? Tempik Nenek aja diobral ke banyak orang, masih aja ngelak ngaku setia. Sama sekali nggak layak."

Raut Nenek seketika sedih. Matanya berkaca-kaca. Pelukannya melemah. Namun, tidak terlepas. Tak ada sahutan Nenek saat aku mengatakannya dengan nada yang kurang enak didengar.

Sial. Aku salah bicara. Itu karena aku terbakar api emosi dan cemburu karena ucapan dari mulut Tante Ima akan fakta kelakuan Nenek sebelum kedatanganku. Rasa sesal dan kecewa jelas ada. Kendati demikian, aku tak bisa membenci Nenek. Seberapa kuat aku menolak perasaanku untuk tak terlalu terbawa suasana, hatiku tak bisa dibohongi. Hatiku menuntunku untuk menjadi lelaki tegas untuk segera menentukan ke mana arah masa depan yang kuinginkan.

"Nenek." Aku memanggilnya lembut. Nenek mendongak. Dua sudut matanya berair. Kristal bening dari wanita yang telah melalui manis pahitnya kehidupan terasa sampai di hatiku. Yang kemudian, aku kembali berucap, "Setelah tahu kebenaran keluarga ini yang gilanya melebihi orang gila, aku menyimpulkan satu hal."

"Dan itu?"

"Aku akan menggantikan peran Kakek sepenuhnya." Aku berkata lugas, "termasuk menikahi kalian."

"Jangan terburu-buru. Nenek ndak maksa kamu. Lagipula, Nenek ini kan kotor. Kamu bilang sendiri kan kalau Nenek ndak layak. Ya, tho?" tandas Nenek, sambil tersenyum dipaksakan.

Hatiku terasa disayat-sayat akan perkataan Nenek. Fakta sih fakta, tapi kalau sudah begini, yang ada justru aku terlihat seperti penjahat sebenarnya yang suka menyakiti hati perempuan.

Sebelum sempat mengatakan apa-apa, Nenek kembali berkata sambil melepaskan pelukan kami, "Kobe benar. Nenek memang ndak layak. Harusnya Nenek tahu kalau perbedaan umur kita sangat amat jauh. Apalagi kamu dengan bulik-bulikmu."

"Umur hanyalah angka. Asal Nenek berjanji satu hal sama aku, aku pasti akan menuruti tanpa protes lagi permainan gila yang sedang kalian mainkan."

"Katakan."

"Karena kita masih sedarah, aku ingin kita tinggal serumah. Aku dan kelima istriku ... Nenek dan empat bidadari yang lahir dari lubang kemaluan Nenek."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd