Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    492
***

Matahari sudah memancarkan panas membakar. Turut serta angin sepoi melambai-lambai menerbangkan dedaunan di pinggir jalan saat motor matic Beat warna merah-putih aku kendarai membelah jalanan Desa Gentengan menuju kota kabupaten.

Di belakangku, duduk normal Tante Ima seraya memegangi pundakku. Sedikit jaga jarak karena Tante Ima tak ingin aset berharganya menempel di punggungku. Apalagi Tante Ima sudah tahu menahu kalau sebaik-baiknya lelaki itu pasti memiliki sisi terpendam untuk memanfaatkan celah kecil di berbagai situasi dan kondisi. Tak jauh berbeda denganku. Katanya.

Aku sendiri tidak munafik. Ada hasrat penasaran ditunggangi nafsu binatang ingin mengeksplor Setipa jengkal Tanteku ini. Namun, hasrat pada diriku tak seliar yang Tante Ima bayangkan. Tentu saja, ini karena sebelum berangkat ke kota kabupaten untuk memesan traktor dan Kultivator, Nenek sudah memberiku kenikmatan blowjob guna meredam hawa nafsuku agar tidak macam-macam dengan Tante Ima. Dasar Nenek posesif.

Ngomong-ngomong, soal obrolan sebelumnya tentang pernikahan bagaimana? Entahlah. Aku sendiri tak ingin membahasnya lebih dalam. Di samping kurangnya pengalamanku, untuk saat ini yang bisa aku katakan adalah ... menjalani kehidupan di desa sebagai bentuk persiapan dan keseriusanku sebagai seorang lelaki untuk mengemban tugas besar. Tak hanya mengurus wanitanya saja, melainkan tanah Kakek yang puluhan hektar, juga peternakan Kakek yang setiap tahunnya rutin melakukan ekspor ke luar wilayah Desa Gentengan.

Maka dari itu, pagi menjelang siang ini Nenek menyuruhku untuk banyak belajar bersama Tante Ima. Dimulai soal pengolahan perkebunan dan peternakan. Sebab, segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan di desa di handle Tante Ima. Bahasa gaulnya, Tante ima memiliki jabatan sekelas manajer. Kalau Nenek memilih rebahan santai di rumah. Menyebalkan.

Di jalan, Tante Ima banyak bercerita kepadaku soal job desk warga yang bekerja di bawah manajemennya.

Dimulai dari lahan perkebunan. Urusan lapangan diserahkan sepenuhnya oleh keluarga Pak Kusno. Termasuk di dalamnya Bu Rini dan Adam yang ikut membantu Pak Kusno yang statusnya sebagai seorang mandor. Barulah jika urusan penjualan berbagai macam palawija, Tante Ima yang mengurus.

Yang kedua ada lahan peternakan. Hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, ayam, dan bebek, masalah lapangan dipercayakan kepada sahabat Kakek semasa muda sampai sekarang, Gito. Aku sendiri jelas mengenalnya dengan baik perangai lelaki berusia 58 tahun itu. Aku memanggilnya Lik To. Harusnya sih aku memanggil 'mbah' karena beliau sudah memiliki cucu. Namun, namanya juga kebiasaan, apa boleh buat. Lik To masih gagah meski usianya hampir kepala enam. Mengurus dan mengawasi peternakan bukan perkara mudah. Lik To dibantu istrinya yang bernama Sumiati. Wanita yang 5 tahun lebih muda dari Lik To itu biasa kupanggil Lik Sum. Mereka berdua ini orang kepercayaan Kakek setelah keluarga Pak Kusno.

Selain daripada itu, aku cukup salut akan Tante Ima yang agak urakan ini tapi masih sayang dan memperhatikan Kakek dan Nenek dengan caranya sendiri. Meski gaya berpakaiannya seperti mahasiswa tipikal ukhti-ukhti suka pamer susu, Tante Ima tidaklah murahan. Ia lebih punya harga diri sebagai seorang wanita yang tak pernah luntur kesetiaannya kepada pamanku, Om Hasan, meski ia dimadu dua tahun yang lalu.

"Tante. Ngepom dulu, ya! Bensinnya udah tinggal satu digit."

"Hah?!" Tante Ima mendekatkan kepalanya sambil berseru di dekat telingaku. Otomatis dua susunya yang padat menempel ketat di punggungku.

"Isi bensin, Te! Bensin! Habis bensin motornya Tante ini."

"Oke."

Saat motor sudah memasuki area kota kabupaten, kulihat pom bensin. Aku menekan lampu sein kiri. Tapi naas. Sebuah motor melaju kencang di sebelah kiri, lalu memotong ke kanan hendak menyebrang. Sontak saja aku mengerem mendadak menghindari benturan.

Citttt!

"JANCOK! MATAMU NDELOK-NDELOK LEK KAPE MENGGOK, COK!" (JANCOK! MATAMU LIHAT-LIHAT KALAU MAU BELOK, COK!) makiku dengan suara menggelegar. Mengagetkan beberapa pengguna jalan. Termasuk tukang becak yang tengah mangkal.

Saat aku menoleh ke kanan, ternyata ibu-ibu parah baya tanpa helm sedang membawa dua balok es batu di depan. Sudah terlanjur juga aku memakinya meski tahu ia seorang wanita.

Si ibu juga menoleh. Berhenti. Menatapku marah sambil menunjukku kaku. "KOWE IKU SENG ORA NDELOK LEK NYETIR, BLOK! NGAWUR!" (KAMU ITU YANG TIDAK LIHAT KALAU NYETIR, BLOK! NGAWUR!) balas teriak si ibu, sembari menyumpah serapah.

Aku berniat memberi pelajaran, tapi Tante Ima segera menahanku. "Udah, Be, udah. Wes biarno ae. Ndak bakal menang lek musuh ras terkuat di bumi." (Udah, Be, udah. Sudah biarkan saja. Ndak bakal menang kalau lawan ras terkuat di bumi.) Ucapnya, penuh kekhawatiran.

"Nggak isok, Te. Wong koyok ngunu kudu disampluk kontol ... awww!" (Nggak bisa, Te. Orang seperti itu harus ditampar kontol ... awww!) belum selesai aku bicara, Tante Ima mencubit putingku kuat. Kontan saja aku menjerit layaknya seorang wanita melihat tikus menggendong kecoak.

Insiden kecil yang merusak moodku cepat berakhir. Kubuang mukaku agar tak melihat kebodohan si ibu yang masih mengomel dengan suaranya yang cempreng. Sialan. Masih pagi sudah bikin kepala pening. Ya kalau bawa motor sendiri tak masalah andai aku ada apa-apa. Lah ini, aku sedang membawa nyawa bidadari. Mau ditaruh di mana mukaku jika membuat bidadari barbar di belakangku ini terluka.

Setelahnya, aku antri mengisi bahan bakar. Tante Ima berjalan menjauh. Menunggu di dekat tukang jualan cilok.

Sambil menunggu antrian, aku lihat Tante Ima sedang beli jajanan di sana. Dasar. Semua wanita itu sama saja. Yang mereka pikirkan hanya makan, makan, dan makan. Coba deh sesekali memikirkan isi bensin dulu sebelum bepergian.

Kalau sudah begini, siapa yang salah? Sudah jelas motornya, lah. Kenapa tidak ngisi bensin sendiri? Bajingan.

Brak!

Kututup jok motor agak kasar. Membuat mas-mas SPBU terlonjak kaget, lalu geleng-geleng.

Kemudian, kutuntun motor agak ke depan, lantas memasukkan kembalian 25 ribu ke dalam dompet. Sejurus, aku starter. Lalu, kulajukan perlahan menghampiri Tante Ima yang sedang menenteng plastik penuh cilok yang diikat dengan ujungnya digigit.

Sambil mengunyah tanpa dosa, Tante Ima berkata, "Kamu itu yo mbok dikit-dikit jangan pakai emosi, Be." Seraya menaiki motor. Kemudian, sebelah tangannya menyodorkan cilok yang diplastiki kepadaku. "Nih, maem dulu. Kamu resek kalau lagi laper."

"Ucap seseorang yang sudah membuat ibunya berdarah." Aku mengambil cilok dari tangan Tante Ima. Sambil tangan kanan menarik gas, tangan kiri kugunakan menggigit ujung plastik cilok. Satu buah cilok pedas masuk. Setelah itu, aku menyambung, "Pedes, Te. Ada minum, ta?"

"Nyoh, bensin."

"Susu Tante aja."

Pletak!

Tante Ima menampol kepalaku yang tanpa helm dengan ujung ponsel. "Lambemu wes rusak." (Mulutmu sudah rusak.)

"Ancen wes wayahe di servis iki, Te. Servis cipok tipis-tipis." (Memang sudah waktunya di servis ini, Te. Servis cium tipis-tipis.)

"Kene. Tak servis lambemu nggawe wipol." (Sini. Aku servis mulutmu pakai wipol.)

"Dikiro lambeku tekel, opo? Asu'i." (Dikira mulutku ubin, apa? Asu memang.)

"Yo bagus no. Cek ketok nggilap. Mesisan engkok Tante gosok karo kanebo cek tambah kinclong." (Ya bagus, dong. Biar kelihatan mengkilap. Sekalian nanti Tante gosok pakai kanebo biar tambah mengkilap.)

"Nggatheli!"

Plak!

Ditamparnya mulutku yang memakinya. Dasar barbar.

Kupacu motor dengan kecepatan capung. Sesuai arahan Tante Ima, yang mengaku sudah pernah ke toko peralatan pertanian satu kali, kami tiba di sebuah bangunan besar dengan plang besar bertuliskan 'SPARE PART ABAH RAHMAT' di pinggir jalan, syarat akan kesibukan pelanggan dan penjual yang terlibat obrolan serius sejauh mata memandang. Melihatnya saja sudah membuatku percaya jika toko ini rekomendasi untuk para petani yang butuh peralatan serba instan untuk menggarap ladang.

Aku berjalan lebih dulu dengan Tante Ima di belakangku. Aku langsung menemui seorang pria paruh baya yang sedang menerima telepon. Dari outfit yang pria itu kenakan, bisa kutebak ia pemilik toko ini.

"Assalamualaikum, Bah." Aku mengucap salam.

"Waalaikumsalam." Seorang pria paruh baya dengan cincin akik di kelima jarinya menyahut. Logat khas Madura campuran Surabaya keluar. Sejenak pria itu mengobrol dengan orang yang ia telepon, lalu mematikan panggilan. Kemudian, pria itu menatapku dari atas sampai bawah, sebelum bertanya, "Onok opo, Le?" (Ada apa, Nak?)

"Iki barang-barange njenengan kok gak onok kabeh, Bah? Bangkrut, ta?" (Ini barang-barangnya Anda kok tidak ada semua, Bah? Bangkrut, kah?)

"Lambemu gak tau sekolah. Wes payu kabeh iki. Ludes diborong bupati gawe proyek bendungan." (Mulutmu tidak pernah sekolah. Sudah laku semua ini. Ludes diborong bupati buat proyek bendungan.)

"Hehehe. Guyon, Bah. Terus piye, Bah? Opo seng di dol lek gak onok barang blas ndek kene?" (Hehehe. Bercanda, Bah. Terus bagaimana, Bah. Apa yang dijual kalau tidak ada barang sama sekali di sini?)

"Kape tuku opo sek. Nek kape tuku sate yo nang pertelon kono." (Mau beli apa dulu. Kalau mau beli sate ya di pertigaan sana.)

"Tuku traktor, Bah. Karo Kultivator sisan, seh." (Beli traktor, Bah. Sama Kultivator sekalian, sih.)

"Oalah. Yo sek. Tak telepono anak buahku gawe ndelok nang gudang stok barange." (Oalah. Ya sebentar. Aku teleponkan anak buahku buat lihat di gudang stok barangnya.)

"Adoh ta, Bah?" (Jauh, kah, Bah?)

"Wes gak usah kakean cangkem kakeh. Tak kepruk wesi suwe-suwe." (Sudah tidak usah banyak ngomong kamu. Aku hantam besi lama-lama.) Gerutu si pria baya. Lantas, ia menoleh kepada Tante Ima. "Adu-duh. Kok cah ayu meneng-meneng ae. Tumbas opo, Ning?" (Aduh-duh. Kok gadis cantik diam-diam aja. Beli apa, Ning?) si pria paruh baya merubah intonasi suaranya sedikit lembut. Ada senyum genit saat menatap lekat sosok Tante Ima yang hari ini tampil modis.

"Aku ngeterno ponakanku iki, lho, Bah." (Aku mengantar keponakanku ini, lho, Bah.) Tante Ima menjawab dengan balas tersenyum.

"Gitu, tho. Sek ya, tak ngabarin anak buahku dulu. Mau minum apa, Ning?" tawar si pria paruh baya basa-basi dengan suaranya yang memuakkan, tak ketinggalan senyum genit mengembang.

Tante Ima mengetuk-ngetuk pipinya sok imut. "Kalau ada Amer, aku mau satu."

"Huwaduh! Gak bahaya ta?"

"Yo bahaya seh lek ngombene karo nguntal bakso sak rombonge." (Ya bahaya sih kalau minumnya sambil makan makso sekalian rombongnya.) Aku nyeletuk. Mengeluarkan rokok, lalu menyulutnya.

"Melok ae wulune doro sithok iki." (Ikut aja bulunya dara satu ini.)

HAHAHAHAHAHA!

Kami tertawa bersama.

Dan setelah si pria paruh baya selesai melakukan panggilan telepon entah dengan siapa, ia tersenyum kepadaku. "Barangnya masih ada. Merk Sanyo. Mau?"

"Yang penting bisa dipakai, kualitas bagus, merk apa aja boleh," jawabku santai, "dan yang utama harganya sesuai kantung pelajar."

"Ancene arek congok!" (Memang anak bodoh!) seru si pria paruh baya, sambil mengigigit bibirnya sebal.

Beres melakukan transaksi pembelian super alot perihal harga bersama si pria Madura yang mengenalkan diri bernama Abah Rahmat, aku dan Tante Ima undur diri. Yang nantinya, aku tak perlu repot-repot membawa barang yang kubeli karena besok pagi akan dikirim dengan sendirinya sesuai alamat yang telah kucantumkan.

Di atas motor, aku dan Tante Ima sudah bersiap melanjutkan perjalanan. Tentu saja pulang ke rumah Nenek, dong.

Tapi, mumpung di kota kabupaten, sekalian saja aku membeli bahan-bahan dapur serta beberapa peralatan yang tidak ada. Seperti halnya pisau dapur yang hanya ada satu jenis, whisker saucepan, gelas ukur dan sendok ukur, serta beberapa peralatan yang perlu diganti karena sudah layak.

Tak jauh dari toko milik Abah Rahmat, ada supermarket dua lantai yang berdiri di dekat pertigaan. Tepat di sampingnya ada penjual sate seperti kata Abah Rahmat. Benar adanya. Aku kira beliau sedang melawak.

Ditemani Tante Ima, aku membeli segala keperluan dapur hampir satu troli penuh. Perlengkapan dapur sudah. Bahan makanan sudah. Kurang satu bahan, yang aku sendiri tak bisa mendapatkannya di tempat ini.

Satu jam aku habiskan memutari rak demi rak, baik di lantai satu mau pun lantai dua. Akhirnya, aku putuskan untuk segera mengakhiri acara belanja.

Saat sedang antri di area kasir supermarket, aku sempat celingak-celinguk seperti simpanse.

Tante Ima yang sedang memperhatikanku dari samping lantas menegur, "Nggolek opo, Be? Kok bingung ngunu ketokane?" (Nyari apa, Be? Kok bingung gitu kelihatannya?)

"Iki, lho, Te. Aku kape takok pegawai supermarket barang seng ket mau tak goleki tapi gak onok." (Ini, lho, Te. Aku mau tanya pegawai supermarket barang yang dari tadi aku cari tapi tidak ada.)

"Barang opo emange?" (Barang apa emangnya?)

"Pembesar alat kelamin."

"Bajingan kowe. Yo ndak onok nang panggonan koyok ngene, ndrong." (Bajingan kamu. Ya tidak ada di tempat seperti ini, ndrong.)

Aku tergelak. "Hahaha. Guyon aku, Te. Tekku wes gedhe, kok. Mosok ape tak gedekno maneng? Sakno engkok Nenek isok semaput." (Hahaha. Bercanda aku, Te. Punyaku sudah besar, kok. Masa mau aku besarkan lagi? Kasihan nanti Nenek bisa pingsan.)

"Jan ora waras kowe iki, Be, Be. Gendengmu ngalah-ngalahi wong gendeng." (Sungguh tidak waras kamu ini, Be, Be. Gilamu mengalahkan orang gila.)

"Wes, Te. Sampeyan meneng ae. Aku poleh bingung karo omongane sampeyan seng koyok wong kelangan manuk digondol bences." (Sudah, Te. Anda diam aja. Aku malah bingung sama omongannya Anda yang seperti orang kehilangan burung dicuri banci.)

"Hahahahaha. Ya Allah. Kemekel aku, ndrong. Wes hop. Ndak mampu aku ngimbangi. Dagelan tok pokoke kowe iki. Jan persis Mbak Ami seng rodok-rodok miring uteke." (Hahahahaha. Ya Allah. Ngakak aku, ndrong. Sudah cukup. Tidak mampu aku ngimbangi. Lawak melulu pokoknya kamu ini. Mirip sekali Mbak Ami yang agak-agak miring otaknya.)

Hahahahaha!

Selesai membayar barang belanjaan yang menghabiskan kurang lebih 5 juta, kedua tanganku yang penuh menenteng kantung plastik ukuran besar, kubagi dengan Tante Ima yang juga menenteng satu kantung plastik besar.

"Kuat ta nggowone?" (Kuat kah bawanya?) celetuk Tante Ima, "nek ndak kuat, kene Tante gowokno. Ndak tego Tante ndeloke." (kalau tidak kuat, sini Tante bawakan. Tidak tega Tante lihatnya.)

Aku menoleh. Mendengus kesal. "Sampeyan takok ta nantang sakjane?" (Anda tanya apa nantang sebenarnya?)

"Ojok ngamuk-ngamuk talah. Gantengmu ilang engkok." (Jangan marah-marah, dong. Gantengmu hilang nanti.) Tante Ima yang ada di belakangku berjalan agak cepat untuk mensejajarkan jalan denganku. Lalu, Tante Ima bertanya, "Nandi maneh marengene, Be?" (Ke mana lagi habis gini, Be?)

"Moleh." (Pulang.)

"Ngunu tok?" (Gitu aja?)

"Lho, Tante Iki ngode ngejak aku ngamar ta yok opo?" (Lho, Tante ini ngode aku ngajak chechk in apa gimana?)

"Ngamaro kono karo celeng." (Check in aja sama sama babi.)

"Sip iku. Engkok celeng'e tak kongkon keliling. Gak tak kongkon ngepet, tapi tak kongkon ngokop susune Tante." (Sip itu. Nanti babinya aku suruh keliling. Tidak aku suruh ngepet, tapi aku suruh melahap susunya Tante.)

Tante Ima mendaratkan tinju pelan di pipiku. "Damput. Kurang ajar temen lambemu njalok di amplas." (Damput. Kurang ajar sekali mulutmu minta di amplas.)

"Hehehe."

Kami sampai di parkiran motor. Menata barang belanjaan terlebih dahulu agar memudahkanku membawa motor nantinya. Takutnya kalau salah posisi, bisa-bisa mencelakan kami saat berkendara. Tidak lucu kan kalau ada berita 'Naas! Seorang gigolo yang sedang belanja bersama tante girang nan barbar jatuh ndelosor masuk ke parit karena keserimpet panci'. Bajingan.

Dengan motor penuh barang bawaan di depan-belakang, mau tak mau Tante Ima memegangi pinggangku agak kuat saat satu kantung plastik besar diletakkan di tengah-tengah kami.

Motor Beat yang jarang diisi bensin pun serta merta aku jalankan. Pelan. Menoleh dulu ke kanan kiri sebelum menyeberang untuk memastikan keselamatan. Berkaca dari insiden sebelumnya yang hampir diganyang emak-emak bawa motor ugal-ugalan, aku hanya ingin jaga-jaga agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Meski bukan kesalahanku sepenuhnya, sih. Tapi ... ah, sudahlah. Bajingan!

Tak terasa perjalanan disambi obrolan lawak di antara kami berdua sudah setengah jalan. Selain daripada itu, tanganku mulai terasa pegal karena menyetir dengan tenaga ekstra, mengingat beban yang kubawa cukup berat.

Hingga motor kutambah gas agak kencang, kami melewati kawasan hutan rindang dengan pepohonan besar di kanan-kiri. Sedikit mengurangi sengat panas matahari membakar kulit.

Baru saja ingin menikmati aroma menenangkan pepohonan yang begitu nostalgia, deru suara motor meraung-raung dari arah belakang. Tidak hanya satu. Tapi ada tiga.

Saat aku melirik ke arah spion, tiga motor kopling modifikasi dikendarai oleh para lelaki berpenampilan urakan.

Benar saja. Saat satu motor memotongku di depan, dua motor lainnya menjepit motorku. Tanpa bisa kucegah, tangan-tangan jahanam terulur meremas payudara Tante Ima kuat dan kasar, lalu kabur dari sana sambil tertawa nyaring.

"BAJINGAN! KEJAR MEREKA, KOBE!" teriak Tante Ima sambil mengacungkan telunjuk ke depan. Suaranya keras melingking penuh emosi seperti orang sedang kesurupan komentator bola.

"Siap, Te!"

Tanpa disuruh pun, sudah barang tentu aku akan melakukan itu. Enak saja setelah dapat enak main kabur. Benar kata Nenek beberapa hari yang lalu. Di tempat ini sedang marak begal payudara. Mungkin saja ini sudah menjadi garis takdirku untuk memusnahkan sampah masyarakat ini.

Ngengggg!

Motor Beat melaju di atas 100 km/jam. Sampai mentok gas kutarik. Hanya butuh waktu kurang dari 5 menit, aku berhasil menyusul mereka, para pembegal susu. Tak kuduga, Tante Ima justru meloncat saat motor yang aku kendarai terus berjalan kencang. Untung saja aku sigap memegangi barang bawaan yang diletakkan di tengah.

Wush!

Seperti di film-film kolosal. Tante Ima bagai terbang. Turun ke tanah dengan gerakan memutar. Menerbangkan jilbab, berikut rambutnya yang mengintip keluar dari sela-sela jilbab hitamnya.

Tante Ima menjejakkan kaki dengan sempurna di atas aspal. Memasang kuda-kuda. Dua tangan direntangkan dengan dua kepalan tangan kuat dihantamkan ke masing-masing tenggorokan dua joki begal payudara.

BAMMMM!!!

Dua motor tumbang. Empat orang terjerambab ke kanan-kiri Tante Ima. Mendarat kurang mulus. Alhasil, wajah mereka hancur mencium aspal.

Bajingan!

Di mana aku ini?

Apa aku sedang berada di negeri pendekar?

Aku mengurangi kecepatan. Menepikan motor di lajur kiri, lalu menoleh ke belakang melihat gerangan apa yang akan terjadi dengan perasaan cemas.

Dan kecemasanku perlahan sirna tergantikan kelegaan mendapati Tante Ima yang seperti baik-baik saja. Namun, belum selesai keterkejutanku. Sisa satu yang di belakang. Bukannya berhenti. Si joki dengan percaya diri kelewat gila berniat menabrakkan motor ke arah Tante Ima.

Meski posisi Tante Ima membelakangiku, aku bisa tahu jika ia sedang tersenyum menantang. Melihat latar belakang Tante Ima sang pemegang sabuk hitam beladiri pencak silat, tak diragukan lagi jika adalah seorang Srikandi yang tak memiliki rasa takut dan keraguan di hati menghadapi marabahaya.

Aku menunggu dengan jantung berdebar. Bagai figuran sungguhan, yang kulakukan hanya duduk menyamping di atas jok motor sambil membakar rokok.

Benar saja. Dalam hitungan detik, motor terakhir menarget Tante Ima. Namun, di detik berikutnya laju motor tersebut tertahan sesuatu. Itu adalah kaki Tante Ima! Hanya satu kaki! Kaki panjang nan kokoh dalam balutan celana legging hitam terangkat ke atas tepat di cover headlamp alias totok motor Vixion.

Kudengar Tante Ima berkata agak keras, "KALIAN ANAK-ANAK HARAM YANG LAHIR KARENA BAPAK IBU KALIAN NGENTHU DI SUNGAI! PERANAKAN DARI SPERMA BERCAMPUR TAI MASUK KE DALAM TEMPIK, JADILAH KALIAN! TURUN NDAK? ATAU MAU AKU TENDANG CACING KALIAN?!"

Insiden ini berjalan cepat dan singkat.

Enam orang lelaki, tepatnya remaja baru terbit, duduk jongkok membentuk barisan panjang di pinggir jalan.

Tante Ima berdiri di depan mereka sambil berkacak pinggang. Satu persatu dari mereka mendapat salam cinta dari kaki Tante Ima. Beberapa ada yang terjengkang. Sisa dua orang yang tak tergeser.

Semakin marah Tante Ima. Ia menghajar dua sisanya membabi buta. Darah mengucur deras dari pelipis yang robek, hidung yang bengkok, serta mulut yang hancur. Bagaimana tidak hancur sampai gigi tanggal, bogeman Tante Ima seperti seekor beruang betina. Entah harus bangga atau miris melihatku yang hanya menjadi penonton. Menyaksikan keganasan Tante Ima yang memberi keenam remaja begal payudara seorang diri.

Namun, seberingasnya Tante Ima, ia masihlah seorang wanita. Tangannya bengkak dan berdarah dijadikan senjata untuk menghajar enam begal payudara. Pun seorang wanita suka lengah.

Lengahnya Tante Ima menjadi bumerang. Momen itu dimanfaatkan oleh salah satu remaja yang pura-pura pingsan. Mengambil pisau lipat dari balik pinggang, lalu setengah berdiri dan bersiap menancapkan pisau tersebut menarget leher Tante Ima.

Tap, tap, tap!

Aku berdiri tegak. Berjalan agak cepat. Rokok kuhisap dalam, kemudian kuhembuskan ke depan. Bara rokok yang masih menyala-nyala kutancapkan di tengkuk si remaja yang memegang pisau sebelum ia bertindak lebih jauh.

Sontak, si remaja mengerang kepanasan. Pisau terlepas seiring ia berusaha menjauhkan puntung rokok dari tengkuknya. Mengundang Tante Ima menoleh ke samping dan terbelelak. Tepat saat si remaja ikut menoleh ... BAM!

Aku lepaskan pukulan menghantam kepalanya. Menghempaskannya ke tanah, lalu beku. Bedebum keras seperti benda berat yang jatuh dari ketinggian. Pukulan kerasku bak martil yang siap menghancurkan batu. Menciptakan ketegangan serta ketakutan di mata para begal payudara yang melihat temannya terkapar dan tidak sadarkan diri.

"Kalian-kalian ini emang bangsat. Berani-beraninya kalian meremas susu Tanteku." Aku melotot marah, sambil menginjak rahang salah satu begal payudara, "padahal aku aja belum pernah." Imbuhku, lalu menendang perut satu orang lagi sampai bergesar beberapa centi dari tempat semula ia rebah.

"GUENDENG KOWE, BE! O-O-OPO IKU MAU?!" (GILA SEKALI KAMU, BE! A-A-APA ITU TADI?!) pekik Tante Ima dengan mulut ternganga.

Aku tak menjawab pertanyaan yang Tante Ima sudah tahu jawabannya. Aku mendatanginya. Memegang sebelah tangan wanita barbar ini, lalu mengusapnya lembut. Kutatap dalam manik kelabunya, sebelum akhirnya aku bertanya pelan, "Sakit?"

Raut muka Tante Ima yang semula garang seketika lunak. Semu merah di pipinya menambah kecantikan pesona wanita 30 tahun. Harusnya Tante Ima menolak disentuh, sebab kami bukan muhrim jika mengacu pada prinsip keluarga kami. Namun, Tante Ima hanya membiarkan tangannya kusentuh. Yang kemudian, dengan sendirinya Tante Ima merapat padaku.

"Sakit, Kobe," cicit Tante Ima. Nada merengek manja layaknya gadis remaja yang mengadu ke pacarnya karena diganggu preman.

"Pulang?" tanyaku lagi, seraya menggandeng tangan Tante Ima.

"I-iya."

Tante Ima manut saja tangannya kugandeng. Tak ada makian kasar sebagai penutup kepada para begal payudara. Saat ini, situasi berubah. Dari raut wajahnya, Tante Ima larut dalam perasaan yang tak kuketahui.

Sebelum kembali memacu motor, aku berkata, "Pegangan, Tante."

"I-iya." Masih tergagap, Tante Ima malu-malu melingkarkan kedua tangannya di perutku. "Pulang ke rumah Tante, ya, Kobe?"

"Kalau dikasih enak, aku mau."

"Pikiranmu jorok mulu."

"Kan di rumah Tante ada pohon kelapa. Enak dong siang-siang gini makan kelapa sambil minum airnya." Aku memaparkan sembari menaik-turunkan alisku lewat kaca spion.

Muka Tante Ima nampak cemberut. Namun, ada senyum kecil nan manis di bibirnya yang super tipis, sebelum menyahut, "Ndak ada. Udah tua semua. Tinggal kelapa yang ndak ada airnya."

"Apa yang Tante maksud dua benda ajaib yang nempel di punggungku ini?"

Tante Ima membisu. Tak menjawab ucapanku. Ia sibuk mengeratkan pelukan. Entah apa yang sedang Tante Ima pikirkan, hanya satu hal yang aku yakini akan situasi serba aneh di antara kami: dilema.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd