Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nenekku, Pahlawanku [On Going]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    439
***

Desa Gentengan. Asri dan klasik. Punya segala tampilan khas pedesaan yang elok dipandang. Sore yang menyejukkan setelah pagi tadi diguyur hujan lebat. Tanah di halaman sebuah rumah masih basah. Masih penuh genangan air di sana-sini yang di atasnya mengambang sandal-sandal tersesat. Sisa air hujan semalam suntuk masih mengucur lancar di pinggiran genting dan menciprat ke teras depan.

Namun, benar kata sebagian orang kota yang sekadar mampir. Desa Gentengan selalu bersih. Tidak nampak sampah apa pun berlayar di parit mau pun genangan air. Kebersihan adalah salah satu prioritas. Menjadi ciri desa yang syarat akan kebersamaan gotong royong antar warga. Kata Nenek, desa ini belum pernah terjadi yang namanya banjir. Pun sungai dengan arus deras selalu cepat surut. Ini semua berkat program baru yang diusung oleh kepala desa yang baru. Penuh dedikasi dan sedikit ambisi, menjadikan Desa Gentengan ramah ditinggali. Sekalipun para napi.

Membonceng Nenek di belakang yang duduk miring dengan tangan kanan melingkar di perutku, aku tengah memacu motor RX King tua milik Kakek yang menganggur di samping rumah. Membelah jalan menuju rumah Adam dengan Nenek sebagai navigasi.

Dari keluar rumah sampai sudah berkendara, Nenek tak berhenti berceloteh. Dengan payudaranya yang terasa empuk menempel di punggungku, Nenek banyak bercerita soal dirinya yang sudah lama tak diboceng lelaki. Terakhir kali Nenek diboceng lelaki ya sama Kakek. Itu pun hampir 5 tahun lalu. Atau lebih.

Menggunakan setelan santai, aku mengamati aktifitas warga di sore hari yang cukup istimewa. Dari perempuan-perempuan desa berkulit kecokelatan yang malang melintang dengan segala macam kesibukan masing-masing.

Di atas motor, aku mengamati keadaan normal pedesaan. Dimulai dari rumah sederhana dengan halaman kecil, sepasang suami istri tengah bersendau gurau di pojok pagar bambu. Ada wanita dewasa sedang menenteng bak cucian. Rambut basah terurai, dengan kain jarik membalut tubuhnya, menyisakan pundak-pundak melengkung indah yang memanjakan mata. Pun ada yang setengah baya tengah menyapu halaman penuh rerumputan hijau, berikut menggiring ayam-ayam masuk ke dalam kandang.

Hingga beberapa saat lamanya berkendara, aku melewati sebuah jembatan. Di sebelah kiri berdiri sebuah rumah pondokan sederhana yang di depannya bertuliskan spanduk pada bagian atas pintu rumah tersebut: Warung Makan Seger Waras. Di jalur yang sama, ada satu rumah klasik lainnya dengan arsitektur bergaya rumah joglo.

Hanya sebentar kekaguman melihat rumah-rumah yang dibangun di desa ini, pandanganku terpatri pada sosok wanita paruh baya berparas ayu khas desa tengah menyapu halaman.

Mesin motor kumatikan. Nenek turun terlebih dahulu. Melenggang meninggalkanku. Tidak ke arah warung yang masih buka, tetapi ke arah samping rumah yang tengah berdiri seorang pemuda mengobrol bersama seorang pria paruh baya.

Aku ikut turun sembari menebar peluh keringat menetes ke tanah basah. Sedikit grogi ketika langkahku mulai melambat. Dan ... berhenti.

Iya, berhenti. Mengapa? Itu karena, di depan warung makan tersebut, ada seorang wanita deeasa dengan lesung menghias indah pipi tembemnya. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Sejenak, aku melupakan ke mana Nenek pergi. Sekarang ini, fokusku hanya satu.

"Mas." Wanita paruh baya itu menghentikan aktifitas menyapu. Ia yang pertama menegur. Suaranya yang merdu, serta caranya menatap begitu menghanyutkan. Sorot mata seorang wanita matang yang memiliki bodi aduhai atas sampai bawah dalam balutan pakaian kaus merah ketat menonjolkan buah dada, dan bawahan menggenakan celana legging hitam mempertontonkan lekuk pinggul, paha, hingga pantatnya yang padat nan montok.

"Permisi, ya, Bu." Aku mengangguk sesopan mungkin.

"Warungnya mau tutup, Mas. Tapi kalau Masnya mau makan, saya buatin." Si wanita paruh baya bertutur kata lembut. Ada kilatan genit di matanya yang menatapku lekat.

"Oh, enggak, Bu. Saya lagi nganterin Nenek. Katanya tadi mau ketemu sama Adam." Aku tersenyum, "saya Kobe, Bu. Cucunya Nenek Fauziah." Sambil mengulurkan tangan.

"Saya Rini, Mas. Mari masuk dulu," ujar si wanita paruh baya bernama Bu Rini dengan nada senang. Ia membuka pintu warung, masuk lebih dulu, kemudian mempersilahkanku.

Aku menoleh sebentar ke arah Nenek yang sedang ngobrol serius bersama dua orang lelaki di luar. Tak ada yang janggal. Bagus, lah. Sepertinya Nenek menepati janjinya untuk berhenti nakal.

Saat di dalam warung, aku mengambil tempat duduk di dekat jendela. Rokok, ponsel, dan dompet kuletakkan di atas meja.

Bu Rini sendiri langsung menuju ke arah belakang etalase yang berjejer beberapa makanan. Kemudian, ia bertanya, "Mas Kobe mau minum apa?"

"Kopi aja, Bu," jawabku, "kopi susu kalau ada."

"Adanya kopi racik kalau di sini, Mas. Kopi yang sachet ndak ada."

"Ya udah, boleh, Bu. Sedikit aja gulanya. Takut kemanisan."

"Lho, bukannya tambah pahit yo Mas kalau gulanya sedikit?"

"Kan gulanya sudah diambil sama Ibu semua."

"Hihihi. Masnya ini gemes banget, deh." Sambil mengaduk kopi, Bu Rini menatapku dengan wajah bergairah. Apa memang karakter wanita dewasa seperti itu? Entahlah. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

Tak menunggu lama, menggunakan air panas dari termos, kopi hitam beraroma harum telah tiba di atas meja. Demikian pula dengan Bu Rini yang duduk di hadapanku.

Kubakar sebatang rokok untuk menutupi grogi yang menyeruak. Aku sedikit khawatir kalau mataku ketahuan jejalatan menatap nanar bongkahan besar payudara Bu Rini.

"Kapan datangnya, Mas?" tanya Bu Rini, sambil memajukan badan. Otomatis, payudaranya mantul-mantul minta diremas. Bajingan.

"Kemarin siang, Bu."

"Aduh. Iya, ya. Ya ampun, dulu saya lihat Masnya ndak sekeren sekarang, lho."

"Dulu?"

"Masnya ndak ingat? Dua atau tiga tahun yang lalu kan Masnya sama orang tua Masnya lebaran di sini."

"Saya ingat. Tapi saya belum kenal Bu Rini." Aku menghisap rokok santai. Kopi kutuang di atas lepek. Kubiarkan sejenak agar dingin sambil memandangi kecantikan natural Bu Rini yang sedari tadi membuat batang kontolku meronta-ronta.

"Kan ini sudah kenal, Mas, hihihi." Bu Rini tertawa renyah. "Tadi pagi saya sempet lihat Mas Kobe duduk di teras rumahnya Bu Zia, lho. Duh. Saya mau nyamperin, tapi saya lagi buru-buru ke pasar, sih."

"Ibu kenal Nenek?"

"Kamu ini gimana tho, Mas Kobe? Jangankan kenal. Alasan warung ini bisa berdiri sampai hari ini ya karena Kakek sama Nenek kamu."

Kemudian, Bu Rini mulai menceritakan hubungan keluarganya dengan keluarga Kakekku.

Manakala dulu saat awal-awal menikah, Bu Rini dan suaminya yang bernama Pak Kusno tengah dilanda musibah. Rumah mereka kebakaran. Segala barang berharga ikut hangus. Untung saja nyawa keduanya masih diberi keselamatan.

Kakek dan Nenek yang tahu itu, tanpa banyak bicara segera membantu secara materi. Tulus tanpa pamrih. Beliau berdua sepakat membangunkan rumah pondokan ini yang sekaligus dijadika. warung makan untuk pemasukan sehari-hari. Tak hanya itu, Kakek memberi mandat kepada Pak Kusno untuk menjadi tangan kanannya mengurus puluhan hektar tanah milik Kakek.

Karena kecerdasan dan keuletan Pak Kusno dalam bekerja, tak perlu dipertanyakan lagi bagaimana penataan lahan yang rapi serta panen berbagai macam palawija melimpah. Subur tanpa kendala yang berarti.

Sampai di mana Bu Rini mulai bercerita soal anak-anaknya. Anak pertamanya yang bernama Ruslan sudah meninggal. Sedangkan yang tersisa hanya Adam, yang kemudian setelah memiliki KTP, Pak Kusno dan Bu Rini menikahkan Adam dengan kembang desa sebelah, Jihan.

"Kalau boleh tahu, mendiang Mas Ruslan meninggal kenapa, Bu?" aku bertanya hati-hati. Meski aku sudah tahu alasan dibalik kematiannya yang dikeroyok warga karena difitnah menghamili janda cantik Desa Gentengan, aku hanya ingin tahu dari sudut pandang Bu Rini.

"Anak Ibu pernah menghamili pacarnya di luar nikah, Mas. Mana pacarnya janda idola para lelaki. Habislah di keroyok anak Ibu. Sedih kalau diinget-inget." Muram wajah Bu Rini. Seolah enggan mengangkat topik pembahasan yang bisa membuka luka lama.

"Saya turut berduka, Bu."

"Makasih, yo, Mas."

"Iya, Bu. Oh iya, yang sebelah itu rumahnya Adam sama istrinya?"

"Betul, Mas. Itu juga sebagian dana bangun rumahnya dari Bu Zia."

"Nenek?"

"Iya. Kalau kata Bu Zia sendiri sih, beliau sudah nganggep Adam sebagai cucunya. Jadi wajar jika Bu Zia melakukan apa pun untuk membahagiakan cucunya."

Aku jadi terpekur. Cemburu sih sudah jelas karena Nenek mencurahkan kasih sayangnya kepada anak dari wanita dewasa di depanku ini. Aku tak bisa melarang atau apalah itu. Sebab, sedari dulu memang aku menghindari Kakek dan Nenek karena tingkah mereka yang di luar angkasa.

Selain itu, yang menjadi sorot utamaku adalah Nenek memberikan perhatian lebih yang tak bisa dianggap normal. Sebuah kenikmatan persetubuhan.

"Pantesan pas kemarin malem Adam main ke rumah, Nenek kayak kelihatan sayang banget sama Adam. Saya jadi iri." Aku tertawa sumbang.

"Ya udah, sini gantian biar Ibu yang sayang sama Mas. Gimana?"

"Nggak nolak kalau itu, Bu."

"Beneran? Duh, seneng banget punya anak ganteng dan gagah kayak kamu ini." Gemas, Bu Rini mencubit kedua pipiku dengan kedua tangan. Agak ketarik molor hingga mataku menyipit. "Kalau gitu, Mas Kobe panggil Ibu 'emak' ya, biar sama kayak Adam."

Aku garuk kepala. "Lah, ya jangan, Bu. Kan saya masih punya ibu."

Pecah tawa Bu Rini. Sambil memukul lenganku pelan, ia berkata dengan suara menahan tawa, "Astaga, Nak. Ndak gitu maksud Emak. Emak ndak mau ngambil kamu dari orang tuamu. Ini tuh kalau di desa ini kayak semacam ungkapan rasa sayang saya kepada cucu orang yang sudah berjasa mengangkat derajat keluarga kami."

"Walah. Saya kira, saya mau diambil alih sama Ibu." Aku nyengir kuda. Salah paham.

"Yo wes. Kalau gitu, kamu jangan sungkan main, ya, Nak. Kalau laper langsung ke sini. Minta sama Emak. Kalau pengen ngopi juga tinggal bikin sendiri."

"Kalau pengen semangka ada nggak, Bu?" tanyaku, ambigu.

"Kok masih 'bu', sih? Emak. Apa?" mata Bu Rini mendelik sok marah.

"I-iya, Emak," jawabku, gugup. Masih belum terbiasa.

"Nah, gitu, dong, Nak." Senyum manis Bu Rini. "Minta apa tadi?" ulangnya.

"Nggak jadi, Mak. Bercanda tadi."

"Semangka?" beo Bu Rini, sambil matanya melirik ke bawah. Ke payudaranya sendiri.

Glek!

Aku meneguk ludah. Untuk kali ini saja, aku ingin menanamkan gambaran kasar dua gunung besar milik Bu Rini di otakku, untuk nantinya kujadikan fantasi dan kulampiaskan kepada Nenek.

"Ada nggak yang jual di sini, Mak? Aku lagi pengen yang seger-seger." Aku berkata sambil menatap mata Bu Rini. Tapi tak bisa. Mataku berakhir turun memandangi daging kenyal di dada Bu Rini. Bajingan.

Bu Rini mengulum senyum. "Wah. Kalau semangka di sini ya belum panen, Nak. Kalau kamu mau, ada lho semangka yang lain. Ndak kalah besar."

"Seger nggak semangka yang lainnya itu?" tanyaku nakal. Semakin ngawur.

"Ndak tahu juga. Kalau kata suami Emak, seger katanya. Tapi ndak bisa dibawa pulang." Begitu centil jawaban Bu Rini.

"Emang semangkanya ditanam di mana, Mak?" aku semakin berani.

"Di sini." Tanpa aba-aba, Bu Rini membawa sebelah tanganku menuju salah satu payudaranya. Telapak tanganku yang terbuka tak bisa sepenuhnya memegangnya. Meskipun tak sebesar milik nenek, tapi lebih padat. "Mau makan semangka, Nak?" bisiknya, merdu.

Waduh!

Tambah bahaya, jancok!

Cepat kutarik tanganku. Mengatur nafas sejenak. Aku celingak-celinguk melihat sekitar pondok yang mulai gelap. Bisa saja ada orang yang iseng mengintip. Tetapi, kurasa itu mustahil karena posisi duduk kami terlindungi oleh pintu.

Glek!

Kali ini aku meneguk ludah susah payah. Menatap Bu Rini. Memastikan terlebih dahulu jika aku tak sedang diisengi belaka. Namun, mimik wajah Bu Rini tak memperlihatkan jika ia sedang bercanda.

Sedetik, Bu Rini tempat duduk di sebelahku. Ia merapatkan tubuhnya yang sedikit bau keringat ke badanku, sebelum berkata, "Sebagai tanda kamu yang sekarang jadi anak Emak, kita harus merayakannya dengan makan semangka."

"Se-se-sekarang, Mak?" aku terbata.

"Nanti malam kamu datang lagi, ya, Nak. Kamu lewat samping rumah. Ndak usah bawa motor biar ndak ketahuan."

"Aku takut, Mak."

"Jangan takut. Kan kamu katanya pengen makan semangka, tho? Emak juga pengen makan buah yang lain." Bu Rini semakin binal. Ia memberi kecupan singkat di pipiku, sembari merabai kontolku dari balik celana. "Emak pengen pisang. Pisangnya anak Emak."

"Pisangnya kecil, Mak. Nanti Emak nggak puas."

"Yang segini ini besar, lho, Nak." Bu Rini semakin gencar menggosok-gosokkan tangannya di kontolku. Tangannya menggenggam, lalu mengocok si Palu Gatot pelan. "Hmm ... Emak pasti kenyang, Nak. Duh, jadi basah jeruk Emak."

"Jeruk?"

"Iya, jeruk Emak keluar airnya. Anak Emak mau nyobain makan jeruk juga?" tanya Bu Rini dengan nafas mulai memburu.

"Emak sehat, kan?" aku bertanya. Mencoba mengalihkan perhatian. Dadaku sudah tak bisa lagi diajak kompromi. Berdebar tak menentu. Antara takut ketahuan dan penasaran.

"Hihihi. Kamu sih godain Emak. Harus tanggung jawab kalau sudah gini." Bu Rini memelukku. Mendaratkan ciuman di wajahku, juga leherku. Kembali Bu Rini menatap dalam mataku yang sudah sayu. "Kamu ndak keberatan kan kalau makan buah-buahan yang sudah tua?"

"Justru yang tua itu sudah masak. Pasti enak dan bikin sehat. Apalagi kalau dirujak."

"Hmm ... udah, ah. Pikiran Emak jadi ke mana-mana ngobrol sama kamu yang genit ini."

"Emak juga genit. Nawarin buahnya suami Emak ke anaknya sendiri."

"Punya suami, juga punya anak. Ah! Emak jadi basah, nih."

Tanpa berkata-kata, dengan seratus persen keberanian dan kenekatan, aku meremas payudara Bu Rini yang masih terbungkus kaus dengan tangan kanan. Sementara tangan kiriku menjamah memekya dari luar celana legging.

"Besar banget semangkanya, Mak. Boleh nggak aku makan sekarang aja?" tanyaku, pelan.

"Ja-jangan. Nanti ketahuan gimana?" meski menolak, Bu Rini tetap membiarkan tanganku menjamah buah dada dan memeknya. Yang membagongkan, Bu Rini justru melebarkan kedua kakinya. Seolah mempersilahkan untuk bermain di sana. "Ssshhh ... Nak ...." Desisan pertama Bu Rini keluar saat jempol dan telunjukku menekan klitorisnya yang terasa menonjol meski terbungkus dua kain penutup.

"Hehehe, basah beneran jeruknya Emak."

"Dasar kamu nakal. Udah, yo. Nanti Emak malah nekat nyosor kamu duluan, lho." Larang Emak sambil mengatur nafasnya yang tersengal.

"Iya, deh." Aku singkarkan tangan kiriku. Tapi tanganku masih di dada Bu Rini. "Mak, nanti jangan pakai beha sama sempak, ya. Biar aku gampang makan buahnya."

"Kok tambah nakal, sih? Emak ndak mau, ah. Dingin."

"Kan ada aku nanti yang angetin."

"Beneran, ya?" Bu Rini mengelus-elus rahangku. Ia beri kecupan ringan di bibirku. "Emak tunggu nanti malam."

"Oh iya. Aku minta nomer WhatsApp-nya, Mak. Ada?"

"Nih."

Setelah saling bertukar kontak, kami kembali terdiam. Sejurus, Nenek datang menghampiri kami yang sedang dalam posisi merapat, namun tidak berpelukan. Secepat kilat, aku bergeser menjauh.

"Ayo, Le, kita pulang." Nenek berkata datar. Namun, sorot matanya tajam menatap Bu Rini.

"Iya, Nek," jawabku.

Sementara Bu Rini hanya mengangguk grogi. Ia sesekali menunduk, lalu berdeham. Kemudian, Bu Rini tersenyum kepada Nenek. "Sudah selesai, Bu Zia?"

"Iya, Dek Rini. Tapi besok saya ke sini lagi minta tolong sama Adam buat nyetirin ke kota kabupaten."

"Lho, mau ke mana, Nek?"

"Udah. Dibahas nanti. Sekarang ayo pulang. Nenek masih ada urusan." Dingin sekali balasan Nenek. Aku jadi takut untuk bertanya lebih jauh.

Selanjutnya, aku keluar dari warung. Langit sudah gelap. Kami berpamitan kepada Adam sekeluarga. Setelah itu, aku memacu motorku membelah jalanan desa.

Tet!

Lampu motor berwarna kuning menyala menerangi kegelapan.

Kesunyian di antara aku dan Nenek di atas motor terasa aneh. Pasalnya, Nenek yang semula banyak bicara, sekarang lebih pendiam. Perubahan tiba-tiba yang seperti ini harus segera dicairkan kalau tidak ingin terjadi kesalahpahaman ke depannya.

"Nek." Panggilku, seraya menoleh ke samping. Lalu, meluruskan pandangan lagi ke arah depan.

"Apa?"

"Mau ke mana lagi kita?"

"Pulang."

"Nggak mampir beli apa dulu, gitu?"

"Endak. Langsung pulang aja."

Sepanjang perjalanan, kebekuan di antara kami masih bertahan. Sampai di halaman rumah, Nenek segera turun. Tanpa mengatakan apa pun, ia masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat.

Aku menghela nafas panjang. Mau bagaimana lagi? Nenek juga wanita. Tak pandang umur, wanita itu sulit dipahami. Kadang kala jikalau mereka memiliki masalah, 90 persen dipendam sendiri. Dibagi pun sudah pasti menunggu lebaran kuda. Bajingan.

Beres memasukkan RX King ke samping rumah, aku masuk ke dalam rumah. Tak kudapati Nenek saat aku memasuki ruang tamu.

Namun, santer terdengar isak tangis Nenek di kamarku. Kenapa di kamarku, coba? Kenapa tidak di kamar Kakek saja?

Waduh. Kalau sudah begini, aku harus bagaimana? Apa aku perlu memetik gitar lalu menyanyikan hymne ibu-ibu sosialita dengan tas Louis Vuitton palsu untuk menghibur Nenek? Yang benar saja.

Dengan membulatkan tekad dan berharap tidak dijadikan pelampiasan emosi Nenek, aku menyibak tirai kamar. Masuk ke dalam kamar yang gelap gulita.

Sebagai cucu yang baik, aku menyalakan lampu ublik untuk menerangi ruangan kamar. Selesai. Nampaklah Nenek yang sedang duduk di atas kasur sambil memeluk kedua kakinya sendiri. Rambut panjangnya tergerai menutupi wajahnya yang sengaja disembunyikan di cela-cela kakinya.

Aku dekati Nenek. Tanganku memegang pundak Nenek lembut. "Nenek kenapa?"

Nenek tak menjawab. Masih menangis. Semakin keras saat aku memeluknya. Menenangkan. Dadanya bergetar seiring ingus yang meluber membasahi kausku.

Hingga beberapa saat, tangis Nenek sedikit reda. Tapi, masih ada sisa-sisa air mata yang meleleh membasahi pipi.

Seraya balas memelukku, Nenek kembali menangis sambil berkata gamang, "Nenek sedih, Le."

"Coba Nenek cerita. Apa mungkin Nenek disakiti sama Pak Kusno atau sama Adam?"

"Bukan. Bukan itu."

"Lantas?"

"Nenek lupa ndak pake beha tadi pas ke rumah Adam." Kembali tangis Nenek pecah. "Mana ASI Nenek ngerembes di baju Nenek. Malu Nenek, Le, malu."

"Biasanya juga cuek. Kok sekarang jadi lebay gini, sih, Nek?" dengusku, tak habis pikir.

"Sembarangan! Gini-gini, Nenek punya harga diri. Nenek ndak mau lagi punya Nenek dilihat orang lain selain Kakekmu! Paham?!" seru Nenek dengan mata nyalang.

"Aku nggak ikut dihitung?"

"Dasar cucu mata keranjang! Mati aja sana!"

"Serius. Masalahnya apa sampai Nenek nangis gini cuma gara-gara nggak pakai beha?"

"Cuma katamu?!" Nenek menampar pipiku keras. Panas. Bekas merah cap tangan Nenek yang baru ini kudapatkan. "Hei, lidah buaya! Nenek itu udah tua. Nenek mikir kalau ndak sepantasnya Nenek menjadi wanita murahan. Nenek kasihan sama Kakekmu. Paham sampai sini?"

"Alhamdulillah. Aku senang Nenek sudah berubah." Aku memeluk Nenek penuh kebahagiaan hakiki.

"Satu lagi."

"Apa, Nek?"

Nenek merenggangkan pelukan. Kedua tangannya mencengkram erat pundakku sambil matanya menatap tajam tak tersentuh, sebelum berkata, "Nenek tadi pas mau datengin kamu, sempet denger kamu ngobrol sama si Rini. Nakal juga kamu, ya. Baru dua hari di sini sudah tebar pesona. Bagus!"

"Ngobrol biasa aja, Nek."

"Ngobrol biasa matamu!" bentak Nenek, "Nenek ndak mau ya kamu macam-macam sama dia. Kamu cucuku, kontolmu cuma boleh masuk ke memek Nenek aja. Ngerti kamu?"

Satu sinyal kejelasan situasi serba salah ini telah kutangkap. Senyumku miring meledek, lalu bertanya, "Nenek cemburu?"

"MASIH NANYA!"
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd