Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    492
***

Malam bertabur bintang. Kilauan cahaya menghiasi bumi yang semakin tua. Sukar dipercaya jika kuasa Sang Pencipta itu benar adanya.

Bayangkan saja, andai bintang-bintang di langit punya kehendak sendiri, niscaya mereka akan dengan senang hati menghantam jiwa-jiwa yang telah terkontaminasi pikiran kotor nan cabul. Menghukum insan perusak muka bumi dengan menyebarkan paham normalisasi persetubuhan tanpa ikatan janji suci adalah suatu yang wajar.

Kembali lagi bersama aku, Kobe Bangun Kusumo. Yang sekarang baru saja menyelesaikan makan malam bertajuk menaikkan mood Nenek yang tiada menentu kejelasannya. Duduk ngobrol berdua di kursi bambu bawah pohon mangga belakang rumah. Ditemani teh hangat dengan jemari tangan terselip sebatang rokok, kami bercengkerama layaknya sepasang kekasih yang telah lama tak bersua.

Meskipun gayanya yang sengak dan suka meledak-ledak, Nenek masih bisa mengontrol diri agar tidak berlebihan dalam berkata-kata. Itu dibuktikan saat diriku kembali mengajaknya bergurau. Tanggapan ringan bin konyolnya yang selalu kunantikan.

Tak bisa kupungkiri jikalau aku mulai nyaman dan betah di tempat ini. Desa Gentengan yang menyimpan sejuta pesona para wanitanya yang menyegarkan mata.

Jujur saja, aku pribadi tak mempermasalahkan sama sekali karakter Nenek yang demikian unik. Bagiku, Nenek adalah Nenek. Wanita tua setengah sinting yang mengantongi perjakaku di dalam memeknya.

Satu hikmah yang bisa kupetik dibalik ini semua. Nenek adalah wanita kesepian yang membutuhkan teman untuk bercerita. Terlepas dari masa lalunya yang gemar mengobral kemaluan demi mencapai puncak tertinggi sebuah kenikmatan, aku salut akan prinsip kuat Nenek yang tak pernah menggunakan rasa. Meski hatinya sudah disakiti Kakek, Nenek tetap cinta, setia, sabar, dan telaten merawat Kakek.

Awalnya, cinta Nenek sepenuhnya untuk Kakek. Itu benar adanya. Namun, setelah mendengar pengakuan Nenek di akhir obrolan, Nenek memutuskan membagi cintanya kepadaku. Cinta seorang wanita yang lupa akan umurnya kepada seorang cucu yang haus akan rasa penasaran terhadap tubuh perempuan.

Satu pertanyaanku: apakah ini wajar?

Entahlah.

Keyakinanku tak pernah goyah sedikit pun meski berurusan dengan wanita mana pun. Satu-satunya wanita yang kucintai di kota hanya dia. Namun, seiring berjalannya jarum jam yang kini menunjukkan angka 21.30 malam, keyakinanku untuk menempatkan satu wanita di hati dengan cepatnya dijebol. Pelakunya adalah Nenekku sendiri, tentu saja.

"Ngomong-ngomong, besok Nenek mau ke mana?" aku yang tengah rebahan di paha Nenek mendongak menatapnya. Mengajukan pertanyaan untuk membuka obrolan baru guna mengalihkan fokus nafsu syahwat yang sedari tadi meronta-ronta.

"Oh, iyo. Ngene, Le. Mene iku Nenek kape tuku traktor enyar gawe mbajak sawah. Traktor seng lawas wes bejat, dadi perlu diganti. Terus perlu tuku siji maneh alat seng jenenge Kultivator digawe ngolah tanah ndek mburine gunung iki." (Oh, iya. Gini, Nak. Besok itu Nenek mau beli traktor baru buat mbajak sawah. Traktor yang lama sudah rusak, jadi perlu diganti. Terus perlu beli satu lagi alat yang namanya Kultivator dubuat ngolah tanah di belakang gunung ini.) Nenek menjelaskan panjang lebar. Tangannya yang bebas mengelusi rambutku penuh kasih.

Aku manggut-manggut. "Tek'e Kakek kabeh ta Nek lahane?" (Punya Kakek semua kah lahannya?)

"Iyo. Mangkane, mene Nenek rencana kape budal nang kota kabupaten. Toko'e mek onok ndek kono." (Iya. Makanya, besok Nenek rencana mau berangkat ke kota kabupaten. Tokonya cuma ada di sana.)

"Sama aku aja. Nggak usah sama Adam."

"Yo ndak pa-pa. Nenek malah seneng kalau kamu yang nemenin Nenek."

"Sek dulu. Terus Kakek gimana, Nek?"

"Gampang. Biasanya kalau Nenek tinggal pergi keluar rumah nyuruh si Rini ngurusin."

"Siap, Nek. Motoran aja. Nanti kan barangnya bisa dikirim. Jadi nggak harus kita bawa pulang."

"Yo, iyo, seh. Mbok kiro Nenek kuat opo njunjung sak mono abote? Jancuk tenan awakmu." (Ya, iya, dong. Kamu kira Nenek kuat apa ngangkat sebegitu beratnya? Jancuk sekali kamu.) Kicau Nenek, sembari menghisap rokok, lalu membuang puntungnya ke bawah. "Ayo, Le, masuk. Adem banget di sini."

"Eh, bentar dulu, Nek." Cegahku, seraya menahan kepala tetap di tempat.

"Lapo, Le?" (Kenapa, Nak?)

"Anu ... aku boleh mentil lagi, nggak?" tanyaku, penuh harap.

"Yo boleh." Nenek mencoba bangun. Tapi, aku kembali menahannya. Kali ini aku remas kedua buah dada Nenek dari balik kaus partai kepala tikus yang ia kenakan. Membuat kerutan di dahi Nenek, sebelum bertanya bingung, "Lapo maneh, seh, Le? Ayo, nang kamar. Jarene kepingin mentil." (Kenapa lagi, sih, Nak? Ayo, ke kamar. Katanya kepingin netek.)

"Di sini aja, Nek. Enak hawanya. Ayok, Nek, naikin bajunya."

"Kalau ada yang ngintip gimana, Le?"

"Tenang aja, Nek. Nanti matanya aku colok pakai golok."

"Ck! Koyok preman ae." (Ck! Kayak preman aja.) Nenek berdecak keras. "Ndang nang kamar. Nek endak, Nenek ndak mau ngasih!" (Buruan me kamar. Kalau tidak, Nenek tidak mau ngasih!) ancamnya, serius.

Tak kuhiraukan ancaman Nenek. Aku bangun dari rebahanku. Kutubruk Nenek hingga berbaring. Aku kira Nenek akan menolak perlakuanku padanya. Nyatanya, Nenek hanya tertawa cekakakan. Dasar menyebalkan.

Cup! Cup! Cup!

Tanpa basa-basi, aku menciumi bibir Nenek yang bau tembakau rokok. Nenek membalas. Ia jauh lebih lembut dan sesekali mengimbangi pagutanku yang kesetanan.

Kedua tanganku aktif meremas agak kuat kedua payudara Nenek dari balik kaus. Nenek nampak pasrah saja. Seolah membiarkan aku melakukan apa pun yang aku mau.

"Nenek cantik banget malam ini," bisikku di dekat telinga Nenek.

"Kamu juga ganteng, Sayang," balas Nenek dengan suara serak-serak basah.

Aku yang sudah dikuasi nafsu setan, secepat kilat kuloloskan seluruh kain yang melekat di tubuhnya. Dari kaus, celana kolor, sampai yang terakhir celana dalam warna coklat. Kuletakkan di ujung kursi bambu.

Telanjang bulat dengan batang kontol yang mengacung tegak menantang. Sangat amat sombong. Tidak sadar jika ujungnya sudah keluar cairan pre-cum.

Kemudian, berganti Nenek yang kulepaskan daster merah muda pendek selututnya. Aku tak begitu kaget saat daster itu telah tanggal dari tubuh bongor nan montok Nenek jikalau bra dan celana dalam tak ia kenakan.

"Katanya dingin? Tapi kok nggak pakai dalaman, sih, Nek?" aku masih sempat bertanya, sambil mencium hidung dan bibirnya. "Apa Nenek sengaja bikin aku ngaceng?"

"Kan sudah malam, Le. Lagian Nenek suka gerah kalau pakai kutang pas di rumah. Masalah ngaceng ya itu urusanmu, hm." Nenek menjawab dengan suara sengau. Matanya sayu memandangku gelisah. "Le, langsung lebokno ae sentolopmu sekalian mentil, yo? Nenek pengen dileboni koyok mau isuk." (Le, langsung masukkan aja kontolmu sekalian netek, ya? Nenek pengen dimasuki seperti tadi pagi.)

"Lebokno nandi, Nek?" (Masukkan ke mana, Nek?) godaku.

Tangan Nenek mendorong kepalaku untuk segera bekerja, sebelum berkata, "Yo ndek tempik'e Nenek, Le. Mosok ndek bolongan paralon." (Ya di memeknya Nenek, Le. Masa di lubang paralon.)

Aku beringsut turun. Bibirku menari-nari dari telinga, telinga, hingga tibalah di depan dua gunung besar nan keras Nenek. Tanpa ragu, kucaplok puting kirinya, yang kontan membuat Nenek melenguh nikmat.

Hm, takah. Belum aku apa-apakan, sudah belingsatan saja Nenekku ini.

Slurp! Slurp! Slurp!

Bibir dan lidahku bekerja maksimal mempermainkan puting Nenek hingga terpancarlah ASI yang melimpah ruah memasuki mulutku. Kusedot kuat. Rembesan air kenikmatan dari susu Nenek meluber di sudut bibirku. Ada pula yang membasahi dada sampai perutnya.

Aku jilati area payudara Nenek penuh semangat. Tak kubiarkan ada sisa ASI yang terlewat.

Setelah puas dan memastikan tak ada lagi ASI yang keluar dari buah dada kirinya, aku berganti sebelah kanan.

Slurp! Slurp! Slurp!

Lezat. Nikmat. Aku bagai terjatuh di lautan susu. Mengenyangkan, juga mengasyikan.

Sementara itu, kedua tanganku berkolaborasi dengan baik meremas dan menggerakkan naik turun payudara kenyal berbentuk buah pepaya ranum. Keindahan alami onderdil kebanggaan Nenek ini menghipnotis diriku untuk tetap bertahan di posisi awal tanpa aktifitas lain.

Demikian pula dengan Nenek yang mulai mendesis-desis bak cacing kepanasan. Kedua pahanya kadang merenggang, kadang mengatup. Begitu gelisah. Seakan bagian intim di bawah sana minta diperhatikan.

"Nyesel aku nempel di selangkanganmu, Kapten." Datang tak diundang, si Palu Gatot membeo. Dapat kulihat pandangannya terarah pada selangkangan Nenek yang tanpa penutup.

"Kenapa sih marah-marah terus, Tot? Nggak mau nih membuktikan kejantananmu?"

"Bacot, ngentot. Sana ngomong sama tembok, jangan sama aku. Bajingan."

"Batal aja deh kalau kamu nggak ikhlas gini."

"Tak kaplok, lho. Udah terlanjur ini."

"Terlanjur apa?"

"Ngaceng, su!"

"Kan kamu yang ngaceng, kok nyalahin aku?"

"Ya aku ngaceng gini gara-gara otakmu yang mesum. Masa daritadi bayangin adegan bokep terus mau dipraktekkin ke Nenekmu sendiri? Asu!"

"Harusnya kamu bersyukur ada memek yang bisa mandiin badanmu biar selalu sehat."

"Bersyukur gigimu sempal!"


Kembali aku fokus kepada Nenek yang sedari tadi diam menikmati payudaranya yang tengah kujajah tanpa mengatakan sepatah kata. Hanya bibirnya saja yang masih mempertahankan desisan dan erangan memanggil-manggil namaku.

Tugasku selesai.

Masih tetap menyusu, satu tanganku berubah haluan menuju ke area kewanitaan Nenek. Meraba. Mengelus. Kurasakan dibalik rimbun bulu kemaluan Nenek, liang surgawinya basah kuyup. Praktis, aroma kelabang yang menyengat menusuk hidungku. Bak profesional, aku buka memek Nenek yang merekah indah dengan jemari tangan kanan. Lalu, kususupkan jari tengahku secara perlahan ke dalam memeknya yang sudah becek.

Clek! Clek! Clek!

Jari tanganku mengocok dengan tempo pelan. Membuat badan Nenek bergetar hingga pinggulnya terangkat ke atas. Disusul desahan kencang dari bibir Nenek.

Aku meliriknya dengan ekor mata. Nenek sudah memejamkan mata. Kedua tangannya bergantian menjambaki rambut dan mengelus-elus punggungku.

Kocokan jari tengahku di memek Nenek masih stabil. Namun, terasa cukup longgar sih kalau hanya satu jari. Kutambahkan satu jari.

"Ahhhhhh! Sayangggg!" desah Nenek.

Kedua paha Nenek tiba-tiba bergetar. Bulu kuduknya meremang. Yang sejurus, kuku-kuku Nenek menancap di punggungku, lalu pahanya seketika merapat menjepit tanganku. Otomatis, kocokanku yang kugerakkan atas-bawah, maju-mundur, mulai melambat manakala kurasakan sebuah semprotan kuat memancar deras dari dalam memeknya.

Crats! Crats! Crats! Crats!

Aku pernah membaca sebuah artikel jika ada satu titik rangsang wanita di dalam memek yang bernama G-spot. Titik paling sensitif seorang wanita. Entah di mana posisi persisnya, aku hanya menggunakan intuisiku saja. Yang kusimpulkan letaknya berada di sepertiga bagian atas organ intim Nenek. Karena sesaat setelah dua jariku masuk, dapat kurasakan sebuah lingkaran seperti koin logam.

Alhasil, menggelinjang dan bergetarlah Nenek. Hebat sekali. Semburan cairan bening dari memek wanita berumur begitu dahsyat. Laksana air bah, squirt Nenek muncrat ke mana-mana.

Badan Nenek seketika melemas. Nafasnya terengah-engah. Suaranya mengembik seperti kambing hendak disembelih.

"Hahaha. Nenek ngompol." Tawaku, mengejek. Kuberikan kecupan mesra di bibir Nenek untuk sedikit menenangkannya.

Nenek tak menjawab. Tepatnya tak bisa bersuara. Ia sibuk dengan gelombang kenikmatan yang baru saja aku berikan.

Sedetik, aku melakukan ancang-ancang hendak menyantap menu utama. Tetapi, Nenek cepat menahan tubuhku. Ia memelukku. Erat.

"Hhhh ... hhhh ... aduh ... uenak banget, Le," ujar Nenek, yang nafasnya masih putus-putus.

"Kalau Nenek sudah puas, kita sudahi aja, ya. Aku nggak tega lihat Nenek."

"Ja-jangan, Le. Ayo. Nenek ndak pa-pa. Nenek sudah enakan." Nenek mencoba tersenyum. Lalu, Nenek melumat bibirku lembut. Menghisap-hisapnya. Kemudian, Nenek melepaskan pagutan. Tangannya yang bebas mencari batang kontolku. Setelah menemukan barang yang Nenek maksud, ia kembali berkata, "Wes atos pelimu, Le." (Sudah keras Kontolmu, Nak.) Sambil membuka kedua pahanya yang gempal lebar-lebar.

"Aku masuk, ya, Nenekku yang cantik," bisikku mesra.

"Iya, Sayang. Masukkin tempik Nenek. Kenthu Nenek, Sayang. Tempik Nenek cuma buat cucuku yang ganteng ini," sambut Nenek dengan suara manja.

Disaksikan bulan dan para bintang yang bersinar terang, aku beringsut turun. Memegangi dan menekan kedua paha Nenek agar lebih lebar.

Aku gesekkan-gesekkan terlebih dahulu batang kontolku di klitoris. Kulanjutkan mengusap jengger ayam warna kehitaman, yang entah mengapa, aku sangat bernafsu melihatnya.

Sekarang, penetrasi sudah bisa dimulai.

BLESSSS!!!

"AHHHHHHH!" kami mendesah bersamaan.

Dorongan kuat pinggulku dalam sekali sentak melesat masuk jauh ke dalam. Membuat liang senggama Nenek yang terasa becek berdenyut-denyut, menyedot.

Longgar? Memang. Hanya saja aku merasa sesak memasukinya. Apalagi semakin aku membenamkan kontolku sampai tertelan seutuhnya, aku dapat merasakan sensasi sempit di ujung lorong.

Kutarik perlahan hingga menyisakan kepala kontol, lalu ... slebbbb!

"Ohhhhh! Leeeee!" lenguh Nenek.

Memek Nenek yang kembali kujejali hingga mulut rahimnya tersentuh kepala kontolku laksana meriam menghantam tanah. Banjir bandang saat kutarik-cucuk dua kali.

Seeeerrrrrrr! Seeeerrrrrrrr!

Kali ini orgasme. Kontan saja Nenek yang saking bernafsunya mencapai klimaks dalam hitungan detik, lantas mengerang kencang, "Ughhhh! Leeee! Gedhe bangetttt! Mentok, Leeee! Nenek pipis lagiiii! Ahhhhh!"

Kudiamkan sebentar. Merasakan si Palu Gatot yang kembali merangsek memasuki liang surgawi Nenek untuk kedua kalinya. Dijepit otot-otot liang memek Nenek yang becek nan hangat. Agak ngilu. Tapi, rasa nikmatnya mengalahkan segalanya.

Slebbbb!

Sambil menggigit bibir, kemudian mengatupkan rahang kuat, gemas sekali diriku melihat ekspresi Nenek yang begitu bergairah.

"Tahan dulu, Le." Nenek meringis, seraya mengalungkan kedua tangan di leherku.

Sementara di bawah sana, aku merasakan batang kontolku mulai dimarimasi oleh cairan lendir hangat, berikut denyut empot-empot memek Nenek yang membuat melayang.

Nenek menarik kepalaku. Mengajak berpelukan. Aku menyambutnya dengan tangan terbuka. Kutelusupkan kedua tangan memeluk punggung Nenek yang halus. Kami berpelukan hangat. Begitu romantis persenggamaan di luar ruangan ini.

Nenek yang lebih dulu mencium bibirku. Kami berpagutan dan saling membetot lidah mesra.

Terasa semakin basah memek Nenek dengan kontolku masih setia menancap di dalamnya.

Plok! Plok! Plok!

Aku mulai memompa batang kontolku menerobosi liang surgawi Nenek.

"Sssshhh ... ohhhhh ... ohhhhhhh ... sssshhhh ... Leeee ... aduhhh ... ohhhhhhh ...." Rintih serta desisan Nenek yang merasakan nikmat bercampur ngilu di antara dua pahanya.

"Enak banget, Le, enakkk! Ohhhh! Ohhhh! Nenek sayang kamu, Leee! Ayo ... yang cepet, Le! Nenek mau pipis lagi, Leee! Ohhhh! Ohhhhh!" seru Nenek yang sudah birahi level dewa.

"Nekkk! Kok nyedot gini memekmu, Nek, ahhhh ... ahhhh ... gilaaaa ... aku bisa ketagihan ini, Nek! Ahhhh! Ahhhh! Nek! Nenek cantik!" aku meraung-taung. Mendengus sambil merojoh-rojoh gua gelap gulita milik nenek.

"Ohhhhh ... ohhhhh ... panjanggg ... besarrrr ... Nenek ngiluuu ... ohhhhh ... tapi enak, Le, sssshhh ... sssshhh ... iya, Le, gituuuu ... terusin, Leee! Ahhhhhh!" desah Nenek lagi saat kepala Kontolku menyeruak makin dalam dan menyunduli mulut rahimnya.

"Ohhhhh! Leeee! Terus, Sayang! Iya gituuuu ... ahhhhhhh ... ughhhhh! Jangan berhenti! Enak! Aduh! Enak bangetttt! Ahhhh! Ahhhhh!" seru Nenek penuh desahan, saat ngilu bercampur sesak terasa lagi. Dan tanpa sadar, Nenek menggigit leherku, dan memberi cupangan, seiring badannya kembali bergetar hebat.

Aku biarkan saja. Tak menunggu lampu hijau, aku kembali menggenjot. Ritme yang kumainkan mulai stabil. Tetapi, ada sesuatu yang gawat. Aliran spermaku mulai merangkak naik menuju ujung kepala kontol.

Sial!

Ini tak boleh dibiarkan!

Mau ditaruh di mana mukaku coba kalau aku baru 15 menit sudah mau muncrat? Bajingan!

Membayangkan betapa lemahnya diriku, ada dorongan kuat sisi lain diriku untuk tampil keren. Membisikiku agar tak membuat Nenek kecewa.

Plok! Plok! Plok!

Semakin bersemangat diriku menggasak liang senggama Nenek. Dengan penuh tenaga dan pinggul yang menghantam kemaluan Nenek, jelas saja mengundang rintihan Nenek yang mulai terlontar karena merasakan ngilu pada memeknya manakala aku menarik, dan terasa sesak kalau aku mendorong.

"Duh, Le!" keluh Nenek. Badannya sesekali ikut maju-mundur mencoba mengimbangi tempo kecepatan genjotanku yang seperti kereta api.

Sedetik, aku mengatur nafas sejenakz berikut memelankan sodokan mautku. Tanganku terulur meremasi kedua susu Nenek. Lalu, bertanya, "Enak, Nek?"

"He-eh. Huh ... huh ... huh ... tapi sakit, Le, tempik Nenek," ujar Nenek, lirih.

"Lanjut apa berhenti, Nek?" kembali aku menggodanya.

"Terusss!" Nenek merengek manja.

PLOK! PLOK! PLOK!

Serangan fajar yang kulayangkan membuat desahan Nenek kian liar dan vulgar.

Aku mulai ngos-ngosan. Kian ngebut mencoba menggenjot memek Nenek mencari kenikmatanku sendiri.

Untuk beberapa saat, aku mulai lancar memompa kontolku menyeruak keluar masuk di memek Nenek yang kembang kempis. Manakala aku melirik melihat batang coklatku yang begitu setia menyelam di dalam memek berbusa berjengger Nenek. Banjir bandang oleh lendir putih nikmat memeknya sendiri. Sejujurnya, efek dari memek Nenek yang menyodot, menyempit ke dalam, dan terasa peret itu membuatku belingsatan tak karuan. Bahkan si Palu Gatot suka seret dan tertahan. Rasa-rasanya memek Nenek seperti hendak memuntahkan batang coklatku kalau didorong sampai mentok dan menyedot seperti tidak mau melepaskan saat aku menariknya menjauh.

Di sisi lain, Nenek hanya bisa tergolek lemah. Pasrah. Ia sudah dua kali orgasme dan dua kali squirt. Bahkan kami hanya memakai satu posisi. Konvensional pula. Bajingan.

"Ughhhh! Leee! Sssshhh! Ahhhhh! Ahhhh! Ughhh! Kobeee! Ughhhh! Ughhhh! Sayanggg! Ahhhhh!" Nenek mendesah lagi, sambil matanya merem melek. Nafsunya perlahan naik.

"Ahhhhhh ... enak banget tempikmu, Nek! Sssshhh! Ahhhh! Nek! Nenek cantik! Ahhhhh! Aduhhh!" dengusku, gusar. "Aku udah nggak tahan, Nek! Sssshhh! Ahhhh! Mau ngecrot! Nekkk!"

"Bareng, Sayang!" meski sudah muncrat berkali-kali, Nenek masih sanggupn dan ingin menggapai orgasme lagi. Seruan Nenek menjadi simbol. Tepat di mana Nenek mulai mengait pinggangku yang mendorong dalam dan mengunci betisnya dengan kaki. Pinggul kami pun sampai beradu rapat.

"NENEKKK!" teriakku, panjang.

"SAYANGGGG!" jeritan Nenek melengking.

Crot! Crot! Crot! Crot!

Seeerrrrr! Seeerrrrrr!


Aku mengejang. Menghentakkan kuat dan keras pinggulku sampai kontolku jauh melewati mulut rahim Nenek untuk menambah sensasi ledakan bertubi-tubi dari moncong si Palu Gatot.

Tembakan ribuan peluru sperma dari batang kontolku yang berdenyut-denyut dalam balut kehangatan liang surgawi Nenek yang mengempot-empot si Palu Gatot.

Nenek menengadah sampai matanya tinggal putihnya saja. Berkedip tak tentu memperoleh semprotan hangat yang sangat kencang dari bermili-mili liter spermaku yang putih nan kental.

Hangat terasa rahim Nenek akibat campuran dua cairan, yang praktis membuat Nenek terbawa melayang ke awang-awang menggapai puncak klimaks.

Basah tubuh kami bermandi peluh meski berada di luar ruangan dengan suhu udara sedingin kulkas.

Sedetik, aku ambruk ke dalam pelukan Nenek. Yang kemudian, Nenek menyambutku dengan senyum kepuasan dan kecupan pada keningku. "Capek, jagoan?" bisiknya, sambil mengelusi rahang kokohku dengan penuh kasih.

"Kalau Nenek masih mau, aku masih kuat, kok."

"Endak. Udahan, ya, Sayang. Nenek lemes banget." Nada bicara Nenek berubah total. Lebih manja dan centil seperti ngobrol dengan pasangan.

"Hm. Nenek manggil aku kayak gitu bikin aku ngaceng lagi."

"Lah, kok bisa?"

"Nggak tahu, Nek. Aku itu kayak bawaannya pengen bareng sama Nenek terus. Aneh, ya. Padahal sebelumnya aku nggak suka sama Nenek."

Nenek tertawa kecil. "Nenek juga ndak suka kamu. Apalagi kalau kamu genit sama perempuan lain."

"Nenek itu egois."

Tanpa melepaskan kontolku dari dalam liang senggama Nenek, aku mengencangkan kontolku. Masih keras meski baru saja menuntaskan satu ronde. Aku bergerak perlahan untuk duduk, lalu menarik Nenek untuk duduk di pangkuanku. Percobaan pertamaku tanpa melepaskan batang kontol dari memek berhasil tanpa kendala.

Setelahnya, aku menatap Nenek intens. "Aku merasa Nenek itu nggak adil," ujarku dengan suara sedikit tinggi.

"Ndak adil gimana, tho, Sayangnya Nenek?" Nenek masih tetap lembut meski aku sedikit menaikkan suaraku.

"Nenek aja pernah main sama banyak orang. Masa aku nggak boleh?" aku merajuk.

"Nenek ndak bermaksud egois sama kamu. Nenek cuma terlalu sayang sama jagoan Nenek yang ganteng ini."

"Apa buktinya?"

"Kamu beneran mau bukti kalau Nenek sayang sama kamu, Sayang?" Nenek balik bertanya. Jauh lebih kalem. Tidak seperti sebelumnya yang suka membalas omonganku dengan ucapan pedas andalannya.

"Nggak." Aku memeluk Nenek. Meremasi pantat besarnya sambil menatap Nenek penuh cinta. "Aku sudah tahu tanpa perlu Nenek ucapkan."

Sorot mata Nenek sendu. "Nenek jadi nyesel lahirnya kecepetan."

Aku tersenyum miring. "Aku juga nyesel lahir kelamaan."














HAHAHAHAHAHA!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd