Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MENGEJAR SHINKANSEN [by Arczre + Nona Violet] [TAMAT]

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
HASHIRE!​


12039312_1503925823251550_7243651144962546098_n.jpg

Kami duduk didepan Danau dibawah pohon Maple yang mulai berguguran, beralaskan daun Momiji yang menandakan musim gugur telah tiba. Aku tersenyum pahit menyandarkan kepalaku dipundak Fahmi-kun, rasanya dedaunan berwarna cokelat ini tengah mengejekku, menertawakanku karena cintaku memiliki kesamaan dengan mereka. Gugur berjatuhan dimusim gugur.


12105953_1503925279918271_4188928358984213885_n.jpg

Entah sudah berapa lama kami hanya terdiam dengan posisi seperti ini, kemudian aku sedikit mendongakan kepalaku berniat mengajaknya mengobrol. Kupandangi wajah Fahmi-kun dari samping dan tersenyum karenanya. Hidungnya yang mancung, poni rambutnya bergerak pelan mengikuti arah angin yang meniupnya, betapa aku sangat mencintai dan tergila-gila dengan pria ini. Pandangannya jatuh pada suatu titik dikejauhan sana dan tampak kosong. Aku tidak tau apa yang sedang ia pikirkan, aku yakin kurang lebih kami memikirkan hal yang sama.


Tak ingin mengganggunya aku semakin mengeratkan pelukanku pada lengan kanannya, mengurungkan niatku yang sebelumnya untuk mengajaknya mengobrol. Dan Fahmi-kun meresponnya dengan mencium ringan pucuk kepalaku. Yah mungkin seperti ini lebih baik, kami tidak perlu bicara apapun. Hanya menikmati kebersamaan kami yang tinggal menghitung jam. Dan setelah itu tidak ada lagi kisah Fahmi dan Keiko.


Memikirkannya saja aku ingin sekali menangis, bagaimana bisa aku berpisah dengan pemuda ini kemudian menikah dengan pemuda lain yang tak aku kenal sebelumnya. Aku sangat mencintai Fahmi-kun, bahkan aku rela pergi bersamanya jika dia mau. Dadaku terasa sesak, bagaimana bisa nantinya aku harus menjalani pernikahan yang tidak aku inginkan, disentuh orang lain yang bukan Fahmi-kun. Apa semuanya akan seperti ini seandainya saja aku jujur pada Ayah dan Ibu tentang Fahmi-kun lebih awal.


Semua terjadi begitu mendadak dan mengejutkan bagiku, tapi tidak dengan Ayah dan Ibu. Mereka sudah merencanakan semua untukku. Dan sudah terlambat untuk menghindar.

========================================
Sore itu saat Ayah memutuskan untuk kembali ke Tokyo dan menunda keberangkatanku ke Hiroshima. Sebelumnya Ayah tiba-tiba berbicara dengan seseorang ditelephone, mereka memutuskan untuk bertemu malam itu juga karena rekan Ayah yang dari Kyoto baru saja datang ke Tokyo. Kepalaku yang seharian itu terus terisi tentang Fahmi-kun terasa mau pecah karena kami sekeluarga harus menemui orang itu hari itu juga, tentu saja aku harus ikut.



“Keiko-chan, kau terlihat gelisah dan tidak fokus. Jangan tampakkan wajah seperti itu nanti didepan tamu Ayah.”


Aku hanya mengangguk lemah menjawab perintah Ayah saat itu, saat kami turun dari kereta dan berjalan ke parkiran tempat dimana mobil Ayah berada. Bagaimana bisa aku menampakan wajah bahagia disaat-saat seperti ini? aku ingin bertemu dengan Fahmi-kun, dan aku sudah membuat janji akan menemuinya di Tokyo tower. Tapi Ayah sepertinya menahanku agar tetap bersama mereka.


Setelah menjalankan mobil dan menuju rumah makan yang Ayah dan temannya janjikan, dijalan aku tak berhenti melihat ponselku dibalik kursi penumpang. Aku ingin meminta mendapat Fahmi-kun soal ini, aku sedang kesulitan mendapat ijin untuk menemuinya dan sepertinya aku butuh bantuannya. Tapi sebisa mungkin aku masih ingin mencobanya sendiri.


Setelah mobil berjalan beberapa saat kemudian aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ayah. “Otou-san?” takut-takut aku mencoba keberuntungan. Saat itu Ayah hanya bergumam wajahnya terlihat lelah tampak dari kaca spion didepannya setelah seharian ini disibukkan dengan perjalanan yang tidak jelas. “a-aku tidak ikut. A-aku harus bertemu dengan seseorang,”


Ayah lama terdiam tak menanggapiku. Saat itu juga aku sangat menyesal dan ingin sekali menarik kata-kataku lagi. Tapi terlambat, Ayah sudah mendengarnya. Sedangkan Ibu dari kaca spion diatasnya tampak menatapku penuh tanda tanya, tapi Ibu memilih diam. Entahlah mungkin Ibu lelah, perjalanan kami memang melelahkan bahkan Kaitaro juga langsung tertidur disampingku begitu kami menaiki mobil.


“Siapa yang akan kau temui sayang?” tanya Ayah kemudian.


“Te-teman lamaku,”


“Pria?” selidiknya curiga.


“I-ya Tou-san.”


“Tidak boleh,”


Aku menelan ludahku. Meski Ayahku bukanlah Ayah yang kasar dan suka memukul atau menghardik, tetap saja aku merasa sungkan.


Untuk sesaat aku juga terdiam, menundukan kepala sembari menatap layar ponselku meski aku tidak tahu apa gunanya. Setidaknya aku sedang berfikir, mencoba mencari cara lain agar aku bisa bertemu dengan Fahmi-kun, tapi mentok! Kepalaku berdenyut dan terasa sangat berat.


“O-otou-san di-dia kekasihku, aku ingin menemuinya,” entah mendapat kekuatan darimana aku bisa mengatakannya. Yang jelas itu adalah sebuah reaksi spontan karena aku sudah tidak bisa lagi menemukan cara untuk berbohong lagi.


Ayah tertawa sambil mengejek mendengarnya. “Kekasih katamu?! Sejak kapan anak Tou-san punya kekasih lagi?”


“Sudah lama Tou-san,”



“hmm... siapa? Temanmu dari Hiroshima? Tamu Otou-san sangat penting, kau bisa menemui temanmu nanti-nanti kan?” Ayah menawar. Dan Ibu mengiyakan yang berarti Ibu setuju dengan Ayah.


“Tapi Tousaaan...”


Ayah hanya diam tak menjawab. Tapi berlahan mobil kami memasuki sebuah parkiran luas restoran yang aku tebak adalah tempat dimana Ayah akan bertemu dengan rekannya. “Kau boleh menemui temanmu besok, sekarang mari turun dan beri sambutan hangat pada rekan Tou-san,”


“Tou-san... aku belum selesai, aku harus bertemu dengan temanku hari ini,” demi Tuhan aku merengek dengan mata berkaca-kaca saat itu. Aku hanya ingin bertemu Fahmi-kun itu saja.


“Kau ini kenapa Keiko? Kau tidak boleh melawan Ayah,” sekarang giliran Ibu yang mengangkat suara setelah terdiam sepanjang perjalanan tadi.


“Tapi Ibu...”


BLAAM!


Aku sedikit berjingkat saat pintu mobil ditutup dan ternyata Ayah sudah turun dari kursi kemudinya.


“Ayo turun dan bangunkan Kaitaro,” lanjut Ibu kemudian menyusul Ayah turun.


Alih-alih membangunkan Kaitaro aku malah turun menyusul Ayah dan Ibu dengan terburu-buru. “Otosan. Okaasan kumohon ijinkan aku bertemu dia, dia sengaja datang dari Indonesia dan mengejarku kemanapun aku pergi. Aku akan menyusul kalau urusanku dengannya sudah selesai!”


Ayah dan Ibu saling berpandangan dan memasang wajah tak mengerti, kemudian keduanya menatapku yang sudah tidak tahan lagi menahan deraian airmata yang kutahan sedari tadi. “Kumohon Tousan...Kaasan...”


Ayah memejamkan matanya. Wajahnya yang biasa menampilkan ekspresi bersahabat kini tampak tidak suka dan masam. Setelah ia kembali menatapku dengan tegas Ayah berkata, “tousan tidak tahu apa masalahmu Keiko, yang jelas kau tidak boleh pergi kemana-mana, karena kau sudah dilamar-” Ayah menghentikan kalimatnya sejenak, ”-dan kami sudah menerima.”


Aku membulatkan mataku tidak percaya, jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Aku sudah dilamar? Sejak kapan? Dan dengan orang yang tidak aku kenal?


“A-apa? dan Tousan, Kaasan menyetujuinya tanpa persetujuanku?” aku meremas kain yang menutupi dadaku, airmataku semakin deras mengalir dan berjatuhan dilantai parkiran yang terbuat dari bata putih. Mereka itu apa-apaan, kenapa tidak pernah cerita sebelumnya?


kemudian Ibu mendekatiku yang masih mematung sambil terus menangis ditempat, ia hapus airmataku dan menatapku iba. “Percayalah Keiko, ini yang terbaik untukmu.”


Dalam hati aku berdecih kesal. Aku bosan dengan kata-kata yang kurasa sama sekali tidak ada artinya, hanya sebuah kalimat yang banyak diucapkan banyak orang tanpa tau apa maksud sebenarnya. Memangnya Ayah dan Ibu tau apa yang terbaik untukku? Aku ingin menjerit, aku yang menjalani hidupku bukan mereka. Aku yang lebih tau mana yang terbaik untukku.


“AKU TIDAK MAU KAASAN!” ya aku membentak. Membentak Ibu dan menyingkirkan tangannya dari wajahku dengan kasar. Jujur saja aku menyesal, apalagi saat melihat kekecewaan terpancar dari wajah Ibu. “ma-maaf...” lirihku pelan sambil menunduk.


Ayah yang melihatku membentak Ibu, serta-merta datang mendekatiku juga dengan wajah marah dan mencengkeram kedua lenganku. “Keiko! Bersikaplah dewasa, kau hanya perlu menuruti Tousan dan Kaasanmu!” jujur saja saat itu aku sangat takut jika Ayah akan menamparku atau apa, nyatanya Ayah hanya mengguncang tubuhku. Tapi aku sangat takut saat itu.


“Tousan hanya ingin kau bahagia Keiko, Tousan tidak tahan melihatmu selalu gagal! Tousan tahu itu sangat menyakitimu! Tousan sudah memilih yang terbaik dari yang terbaik! Jadi Tousan mohon bahagiakan dirimu dan buat kami tenang!”


Aku semakin terisak mendengar penjelasan Ayah. Ya akhirnya aku tau maksud Ayah menerima lamaran itu, Ayah hanya ingin aku bahagia. Ayah dan Ibu selama ini selalu memperhatikan perkembanganku, bahkan dalam urusan asmara. Aku tau mereka memang tau banyak hal tentang itu. Ya aku selalu gagal, aku selalu tersakiti. Tapi bisakah Ayah dan Ibu memberiku kesempatan untuk meraih kebahagiaan dengan caraku sendiri?


“Tousan...” kucoba menegakan kepalaku dan menatap Ayah. Memasang wajah penuh iba agar Ayah mengijinkan. “kumohon... biarkan aku bertemu dengannya. Aku berjanji akan menuruti Tousan, tapi aku mohon biarkan aku menyelesaikan semuanya. Dia menyebrangi lautan hanya untuk bertemu denganku Tousan... kumohon aku tidak mau membuatnya terlalu kecewa.”


Kulihat wajah Ayah melunak. Ia menurunkan tangannya dari lenganku. “Setelah kau menemui calon mertuamu,”


Hatiku mencelos tak percaya, seberat itukah. Aku hanya ingin menemui Fahmi-kun sebentar saja, kenapa Ayah tidak mau mengijinkan. Haruskah aku berlutut dibawah kaki Ayah?


“Kita sudah banyak membuang waktu, jangan biarkan tamu kita menunggu.” Ayah berbalik dan tiba-tiba mencengkeram pergelangan tanganku. Dengan sedikit kasar ia menarikku untuk berjalan mengikutinya tapi aku menolak dan membanting tangan Ayah keudara.


“Aku tidak mau Tousan!” saat itu Ayah kembali mengeraskan wajahnya. Ia sangat marah, kemarahan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku takut melihat Ayah yang seperti itu, tapi kepalang tanggung. Aku sudah terlanjur melawannya.


Akupun berbalik kemudian berlari kabur dari Ayah dan Ibu, aku tidak perduli lagi dengan teriakan Ayah yang mencegahku. Bahkan aku dapat mendengar suara Ibu yang sepertinya sedang menahan Ayah agar tidak mengejarku. Apa Ibu sedang membelaku?


Aku terus berlari sekuat tenaga sambil terus menangis. Berkali-kali kuhapus airmataku dengan punggung tanganku. Rambutku berkibar kasar diudara, dadaku terasa sesak dan kurasakan aku susah bernafas. Aku akan menemui Fahmi-kun seperti janjiku, aku tidak akan membiarkan perjuangannya menjadi sia-sia belaka.


Meski berat harus melawan Ayah dan Ibu, setidaknya ini adalah sebuah hal besar yang bisa kulakuakan demi Fahmi-kun. Semoga saja ini setimpal dengan keberaniannya datang menemuiku. Dengan terus berlari menemui Fahmi-kun.


‘Tousan... Kaasan, maafkan aku. Aku berjanji ini yang terakhir, aku berjanji setelah ini akan menuruti semua mau kalian.’

=====================================
12108299_1503924799918319_1153268104567768268_n.jpg


“Keiko-chan,” Fahmi-kun melepaskan pelukanku pada lengannya, lalu memindahkan tangannya merangkul lengan kananku untuk diusapnya dan dibawa kembali kepelukannya. “Aku mencintaimu.” Ia berbisik pelan dan perasaan hangat itu menjalar diseluruh syarafku tapi perlahan menghancurkannya dan membuatku terasa sakit.


Aku ingin menjawab, tapi entah kenapa lidahku terasa kelu, malahan basahan yang sedari tadi kutahan dipelupuk mata sudah jatuh terlebih dahulu mewakili jawabanku. Kalimat itu terdengar begitu menyakitkan jika dilihat dari segi manapun, ditelingaku, dihatiku, ditubuhku. Itu menyakitkan, kalimat yang seharusnya melambungkanku diatas awan kini terdengar seperti kidung kematian yang tidak aku ingin dengar. Semakin aku mendengarnya semakin sakit kurasakan.


“Berjanjilah kau akan melupakanku,” aku membulatkan mataku didalam dekapannya, hatiku terasa seperti diremas meski suaranya lembut. Bagaimana bisa, “Karna terus mencintaiku hanya akan menyakitimu dikemudian hari,”


“Tapi Fahmi-kun, a-apa itu harus? Ba-bagaimana kalau aku tidak ingin?”


“Kau dijodohkan, aku dijodohkan. Nantinya kita akan hidup dengan orang lain, kau harus belajar mencintai suamimu. Dan aku akan belajar mencintai Istriku.”


Airmataku semakin menganak sungai mengalir ke pipi melewati dagu kemudian jatuh membasahi tanganku yang memeluk Fahmi-kun semakin erat. Bagaimana bisa aku melakukannya, aku yakin Fahmi-kun juga tidak akan semudah itu mempraktekanya nanti. Sempat terbesit dikepalaku, mengandai-andai dan sedikit berharap bahwa Fahmi-kun yang akan dijodohkan denganku nantinya. Seperti Drama mingguan yang sering ditonton oleh Ibu. Tapi hidupku bukan Drama yang semuanya tampak mudah, berakhir bahagia.


“Aku sangat mencintaimu Keiko, tapi orang tua adalah orang-orang yang tak ingin aku kecewakan, pengorbanan mereka begitu besar. Begitupun juga dengan kau, aku hanya ingin kau tidak megecewakan mereka. Mengorbankan kebahagiaan kita untuk hal ini mungkin tidak sebanding dengan perjuangan mereka dimasa lalu, mungkin ini adalah hal kecil yang bisa kita lakukan untuk mereka.” Fahmi-kun menguatkan pelukannya, aku tau ada emosi disetiap tutur katanya. Tapi dirinya terlalu tegar untuk tidak menangis didepanku.


Aku mengangguk pelan mencoba menerima perkataan Fahmi-kun, memang benar aku mencintai Fahmi-kun. Tapi tidak sepantasnya cinta kepada seorang kekasih lebih besar dari cinta kita kepada Ayah dan Ibu. Orang-orang yang sudah pasti tidak ingin melukai kita walaupun terkadang caranya memang salah.


Kulepaskan pelukan Fahmi-kun, kuhapus airmataku dengan lengan sweater hangatku secara asal-asalan kemudian menarik tubuhnya agar berhadapan denganku. Seperti katanya, kami kesini untuk bersenang-senang, kenapa kami membicarakan hal yang makin menyakiti hati kami sendiri.


Kutarik kedua tangan Fahmi-kun didepan dadaku dan mendekapnya bagai sebuah boneka Panda kesukaanku. “Fahmi-kun, bagaimana kalau ternyata kau adalah pria yang dijodohkan denganku?” aku tersenyum semanis mungkin mencoba mencairkan suasana. Dan membuat sedikit lelucon yang sebenarnya sangat aku harapkan kebetulannya. Meski persaanku sedang campur aduk seperti campuran sayur busuk yang diberi mayonese dan kecap.


Wajah Fahmi-kun tampak sedikit terkejut dengan kalimatku. Tapi kemudian ia mendengus dan tersenyum sambil mengacak rambutku. “Kau terlalu banyak menonton Drama ya?”


“Huh! Menyebalkan!” aku mengepalkan tangan kananku didepan wajahnya pura-pura kesal. Tapi malah Fahmi-kun tertawa terbahak-bahak. Disitu aku malah menggodanya dengan menggelitik dan mencubit perutnya membuat Fahmi-kun terus menghindari seranganku.


Waktu terasa melambat bagai gerakan slowmotion saat itu. Daun momiji kembali berjatuhan seperti kertas-kertas Confetti dipesta ulang tahun karena tiupan lembut angin sore. Aku masih melihat Fahmi-kun tertawa dan aku hanya tersenyum melihatnya. Dibelakangnya tampak sinar Matahari yang menyilaukan pandanganku semakin turun menandakan hari akan berakhir beberapa jam lagi. Ia masih tertawa, bahkan aku tidak tau apa yang sebenarnya ia tertawakan, tidak ada yang selucu itu dari sebuah gerakan mengepalkan tangan dan sedikit cubitan diperutnya.


Aku meredupkan gerakan dan senyumanku sambil terus menatapnya. Saat melihat sudut matanya yang masih tertutup karena tertawa, dari balik kacamatanya dapat kulihat titik-titik bening berkumpul disana. saat itu hanya ada satu kesimpulan yang kuambil. Dia menangis. Fahmi-kun menangis.


Menyadari sudah tidak ada lagi senyuman diwajahku melainkan hanya sebuah tatapan datar untuknya, Fahmi-kun menghentikan tawanya lalu membalas tatapanku. Tau-tau dia kembali menarik kasar tubuhku kedalam dekapannya. Memelukku erat... begitu erat dan terkesan sangat protektif.


Dapat kurasakan tubuhnya bergetar hebat seiring dekapannya padaku yang semakin menguat. Ia berbisik pelan,“sayangnya gadis itu bukan kau, Keiko. Bukan kau...”


Dan tubuh tegap yang sangat nyaman itu kembali bergetar lebih keras. Meski wajahku berada didadanya dan tidak dapat melihat wajah Fahmi-kun aku tau dia menangis dibalik punggungku. Dadanya berdegup kencang seperti dadaku. Kepalaku diciuminya bertubi-tubi seolah ia baru saja menemukan seseorang yang telah lama menghilang.

12122824_1503925539918245_6888923609074603015_n.jpg


“Fahmi-kun... Fah-mi-kun...” aku semakin membenamkan kepalaku didadanya, tidak peduli airmataku membuat kemejanya basah. Kuhirup dalam-dalam aroma yang sangat aku sukai darinya, aroma yang pastinya akan aku rindukan nanti,sekarang dan selamanya selama aku masih menghirup udara dibumi ini.


Aku sempat melirik jam berwarna putih yang melingkar dipergelangan tanganku. Pukul 16.11, sebentar lagi taman akan tutup. Itu artinya kebersamaanku dengan Fahmi-kun hanya tinggal beberapa menit.


“Hari disaat kita berpisah akan semakin dekat. Meski aku tau, entah kenapa ini terasa sangat menyakitkan. Apakah aku benar-benar mencintaimu?” aku mencoba menormalkan suaraku. Menelan bulat-bulat perasaan yang menyakitkan ini. Aku hanya ingin perpisahan ini berkesan seperti apa mau Fahmi-kun. Tidak akan ada lagi cinta kita, semua tertinggal diantara tumpukan momiji gugur ditempat kami berpijak. Dan akan terbawa angin bersamaan terbangnya Momiji.


“Iya kau sangat mencintaiku, dan aku juga sangat mencintaimu Keiko.”



—MENGEJAR SHINKANSEN—​


Senja telah mengganti teriknya sinar mentari menjadi sebuah cahaya hangat yang sinar berwarna oranye-nya merajai warna langit sore ini. Warna Sepia yang membentang disemua sudut terasa hangat namun terasa begitu menyakitkan. Karena mulai hari ini aku akan menjadikan senja adalah pengingat, pengingat bahwa aku akan kembali berpisah dengan orang yang sangat aku cintai.


Disalah satu sudut Stasiun jemarinya terus menggenggam jemariku sambil menghadap rel kereta api dalam diam. Kereta yang akan membawaku pergi kembali ke orang tuaku, kereta yang akan memisahkanku dengan Fahmi-kun yang sangat kucintai dan kugilai ini. Seolah tak ingin sedikitpun melepaskan tanganku darinya, aku menggengam erat tangannya yang terasa dingin. Tidak hangat seperti tangan yang pernah menggengamku sebelumnya.


Beberapa menit kemudian kereta yang harus kutumpangi datang. Bukan melepaskan genggamannya Fahmi-kun malah mengeratkanya kuat-kuat. Dari genggaman itu seolah menyampaikan seluruh perasaannya, dia tidak ingin aku pergi. Meski beberapa waktu yang lalu dia mengatakan hal yang bertolak belakang.


”Sudah cukup... kita harus berpisah. Kau boleh pergi Keiko-chan, kau boleh pergi dan aku sudah mengikhlaskanmu. ucapnya saat itu sambil mencium keningku didepan Danau disaksikan kedua pasang angsa putih yang sedang berenang disana sebelum kami memutuskan pulang.


Tapi saat ini tangannya semakin menguat. Aku menoleh dan sedikit mendongak melihat wajahnya, karena dibanding denganku tinggiku hanya sebatas telinganya. Fahmi-kun menatap kereta didepan kami, mengatupkan mulutnya rapat-rapat dan mengeraskan rahangnya.


Kereta hanya berhenti selama 30 detik. Perlahan kulepaskan genggamannya pada tanganku. Tidak. Aku melepaskanya bukan karena takut ketinggalan kereta. Aku bisa saja menunggu kereta berikutnya, tapi bukan itu. Aku hanya tidak mau tersiksa lebih lama. Berapapun waktunya tidak akan pernah cukup untuk menghabiskan cintaku padanya. Apalagi hanya sehari ini. jangan harap. Jangan harap aku bisa melupakannya begitu saja.


Dengan perasaan berat aku berhasil membebaskan tanganku dari Fahmi-kun. kemudian berjalan dua langkah menuju kereta yang akan segera berangkat. Saat itu aku membelakangi Fahmi-kun, aku tau dia sedang menatapku meski tanpa suara. Namun sebelum pergi kusempatkan menoleh kearah pria itu meski sangat berat. “S-sayonara Fahmi-k,”


Belum sempat kuselesaikan kalimat sederhana itu tanganku sudah ia tarik, bibirku sudah dibungkam dengan bibirnya yang lembut dan hangat. Aku sempat membulatkan mataku terkejut saat Fahmi-kun menarik pinggangku dan menciumku dengan tiba-tiba seperti itu. Namun detik berikutnya aku hanya pasrah menerima ciumannya, ciuman yang penuh perasaan dan cinta. Aku tau ciuman yang menyengat seluruh syaraf dan menimbulkan rasa geli yang nyaman diperutku ini adalah curahan semua perasaannya.


Ya aku menikmatinya. Membiarkan bibirku dipagutnya dengan lembut, membiarkan tanganku memeluk lehernya yang kokoh.


Kereta yang seharusnya membawaku telah berangkat dan sisa angin yang dibawanya sedikit mengibarkan rambut dan pakaian kami yang masih belum mau melepaskan ciuman. aku tidak peduli. Aku masih ingin terus seperti ini dengan Fahmi-kun. Fahmi yang sangat aku cintai. Biar saja, biar saja kereta lain yang menungguku untuk menaikinya.


—MENGEJAR SHINKANSEN—​

12091294_1503939703250162_7752527025659616891_o.jpg


“Waaahh... kau sangat cantik Keiko,” Ibu memekik senang melihat betapa sempurna hasil karya yang baru saja ia selesaikan diwajahku melalui kaca rias yang memantulkan setengah badanku yang terduduk tenang dikursi. Lebih tepatnya aku sudah pasrah dengan apapun yang akan dilakukan Ibu, karena seperti yang kukatakan aku akan menuruti mau mereka setelah berpisah dengan Fahmi.


Berpisah dengan Fahmi? Iya aku dan Fahmi akhirnya memutuskan untuk berpisah dan memilih merelakan cinta kami demi membahagiakan Orang tua masing-masing. Kami sudah membuat kesepakatan bahwa kami tidak akan menghubungi lagi satu sama lain. Aku setuju, Fahmi-kun setuju. Meski berat kami memang melakukannya, walau aku tidak yakin akan menyerah dipertengahan nanti. Yang pasti aku sudah berusaha untuk melupakannya pelan-pelan.


Ia akan kembali ke Indonesia besok. Membawa sekeping kisah kebersamaan kami di Jepang yang bisa dihitung dalah hitungan jam. “Ini sudah cukup Keiko, aku tidak berharap lebih. Bagiku menyadari adanya Greenflash adalah sebuah keberuntungan. Meski hanya sebentar aku tidak akan bisa melupakan keindahannya.” katanya saat kami berpisah distasiun.


”Tapi kau tetap dan harus melupakannya, Fahmi-kun.”


"Iya kau juga. Kau tau kan namamu berarti, beruntung, bahagia, dan sudah seharusnya kau seperti itu. Jangan sedih, semua akan baik-baik saja."


“Sekarang berdiri, Ibu akan merapikan pitanya untuk mempermanismu.” Aku mengerjakan mataku tersadar, lalu dengan patuh aku menuruti Ibu. Berdiri seperti yang ia minta dan disana-tampak dari cermin Ibu tengah sibuk merapikan pita besar yang melingkari dress brokat berwarna putih yang sedang aku pakai ini.


Kemudian Ibu kembali tersenyum, senyumannya tampak bangga sekaligus menampakan kepuasan yang teramat sangat. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya dari cermin, sesekali Ibu menyisir lagi rambut pendekku yang masih rapi, membetulkan dress tanpa lengan ini menjadi sempurna dimatanya.


“Kau suka Keiko?”


Aku tersenyum dan mengangguk pelan. “Terima kasih Okaasan,”


“Baiklah Ibu akan bersiap-siap, kau tunggu sebentar dan kita akan segera berangkat.” Setelah melemparkan senyuman tipis Ibu meletakan sisir yang ia pegang dimeja riasku, kemudian berjalan meninggalkan kamarku.


“I-iya,” aku menjawabnya singkat dan segera sebelum Ibu menghilang dari balik pintu kamarku.


Sepeninggal Ibu aku kembali mematut diriku didepan cermin. Kupandangi penampilanku yang lain dari biasanya. Iya aku memang tampak cantik malam ini. Dress berbahan brokat tanpa lengan berwarna putih selutut, ditambah pita berwarna ungu pudar yang melingkar dipinggangku, make-up yang Ibu bubuhkan diwajahku juga sedikit lebih tebal, kedua pipi yang merona karena blush on, bibir berwarna pink berlapis lipgloss tipis. Kedua sisi rambutku juga ditarik kebelakang dan Ibu menyematkan Hairpin manis disana, riasan sederhana yang belum pernah kupakai sebelumnya. Sempurna!


Tapi kalau ditanya suka atau tidak. Aku akan menjawab tidak suka. Aku tidak suka penampilan spesialku ini ternyata bukan untuk Fahmi-kun. Aku tidak suka karena penampilan ini diperuntukan pria asing yang asal-usulnya tidak kuketahui. Mengingatnya dadaku sedikit terasa sesak, aku tidak suka!


Krrriiiiieeettt


Aku menoleh saat pintu kamarku dibuka. Disana tampak Ibu yang sudah rapi dengan dress putihnya yang berlengan panjang dan rambut yang disanggul simple, meski begitu Ibu terlihat sangat cantik. “Ayo Keiko kita harus berangkat,”


“I-ya, aku akan mengambil tas-ku.”


—MENGEJAR SHINKANSEN—​


Gyumon restaurant adalah sebuah restoran Yakiniku bersertifikat halal yang letaknya ada di Shibuya-Tokyo. Kudengar masakan disini halal untuk semua orang, yang sejujurnya aku tidak tau apa itu halal. Yang pasti Restoran ini lebih banyak dicari turis yang berasal dari luar Jepang seperti Malaysia.


Dan yang membuatnya semakin terkenal adalah cara memasak Yakiniku dengan cara dibakar oleh arang, bukan kompor api.


Begitu memasuki restoran dua lantai ini kami langsung disambut ramah oleh pelayan yang berdiri didepan pintu masuk. Kemudian kami diantar ke meja kami yang telah Ayah pesan sebelumnya. Meja bundar yang besar, mungkin cukup untuk 10 orang. Aku tidak tau kenapa Ayah memesan meja sebesar ini hanya untuk 6 orang. Tapi kurasa Ayah tidak ada pilihan lain, meja untuk reservasi memang mungkin hanya disiapkan untuk 4 orang dan 10 orang saja.


Kemudian pelayan yang tadi mengantar kami memberikan buku menu dan menjelaskan menu-menu terbaik direstoran ini. Tapi Ayah menolak dan menjelaskan akan memesan setelah tamunya datang. Dengan sopan pelayan itu mengiyakan kemudian pergi meninggalkan kami.


Untuk beberapa saat aku hanya terdiam memperhatikan Ayah dan Ibu yang mengobrol ringan tentang Kaitaro disekolahnya tadi. Kaitaro sedang diejek karena Ibu menemukan sebuah surat dari teman sekolah Kaitaro, bisa disebut itu adalah surat cinta untuk Kaitaro meski isinya sangat sederhana, Kai-kun jangan marah padaku ya, maaf aku mematahkan pensilmu. Kuharap kita masih berteman, sekali lagi jangan marah ya, karna Riichan menyukai Kai-kun.”


Kaitaro cemberut hebat dan pipinya yang gembil memerah saat Ibu terus menggodanya. Sedangkan pria kecil dengan stelan Tuxedo berpita merah dan Bowler hat hitam itu terus merajuk malu. Saat itu aku seperti tidak ada diantara mereka. Memang sejak hari dimana aku kabur dari restoran hubunganku dengan Ayah sedikit merenggang, kami tidak pernah saling mengobrol lagi.


Aku yang memang sudah berniat memperbaiki hubunganku dengan Ayah mencoba membuka suara. “Tousan?”


“Iya,”


“Kalau boleh aku tau, siapa rekan Taousan itu. Dan siapa pemuda yang Tousan maksud?” aku mencoba bertanya. Karena sampai saat ini Ayah belum juga memberitahu siapa temannya.


“Memang apa bedanya kau tau sekarang atau nanti saat kau bertemu dengan mereka sendiri?”


Yah... kalau sudah begitu aku pasrah, mungkin Ayah memang masih marah padaku. Dia tidak mau bicara lagi. Ibu yang tidak sengaja beradu pandang denganku hanya tersenyum yang kutangkap artinya ‘sabar ya Keiko’


Untuk mengobati kekecewaanku atas sikap Ayah, aku memilih untuk menyapukan arah pandangku pada sebagian interior restoran yang baru pertam kudatangi ini. yaah... tidak ada yang sangat menarik, kecuali lampion-lampion disana yang berwarna putih. Tidak tau kenapa hanya benda bulat yang tergantung itu yang menjadi pelabuhan mata isengku ini. yaa... paling tidak aku punya alasan untuk diam dan ada sesuatu yang bisa kutatap.


Tapi saat aku berniat mengganti objek pengamatanku tak sengaja aku melihat pelayan yang tadi mengantar kami sedang berjalan menuju meja kami diikuti tiga orang dewasa lain dibelakangnya. Dan hal itu juga tidak lepas dari pandangan Ibu yang saat itu sedang menoleh kebelakang. “Sepertinya tamu kita sudah datang sayang,” bisik Ibu pada Ayah. Dan Ayah tampak menegakan tubuhnya agar terlihat lebih berwibawa.


Saat itu juga entah kenapa jantungku berdegup dengan kencang, apa benar itu pemuda yang akan dijodohkan dengaku? Kurasa aku sangat mengenalnya, seseorang yang pernah kutemui sebelumnya. Semakin mereka mendekat semakin hebat debaran yang kurasakan, mungkin jantungku siap melompat keluar dan badanku mulai melemas.


Begitu mereka sampai kemeja kami, kami sekeluarga berdiri menyambutnya. Tapi tidak denganku, aku berdiri membulatkan mata dan mulutku karena aku tidak percaya bahwa pemuda itu yang akan dijodohkan denganku. Pemuda yang aku kenal.


Ya aku sangat mengenalnya...


Mantan kekasihku.


Kunieda Jung.


TBC
 
Terakhir diubah:
Akhirnya update tp kok fahmi kun gx sama keiko chan :hua: apa mungkin jung dan keluarganya kebetulan mau makan di restaurant bukan mau ngelamar keiko chan :bingung:
 
asssss...kok tiba2 si jung ji moon yg mncul,,,!?
oke,iklas ane wlpun g jd sama fahmi,tp jgn nama itu dong sis...mending nama ane aja....
 
:galak: sueeeee... aku kena troll
:marah::tabok:
 
hahh:takut: kenapa 'si bulus putih' Jung!? masih penasaran kah setelah peristiwa telor ceplok waktu itu???
:ugh:
ahhhh tidak bagus ini,,, :groa: mengapa cara seperti ini masih ada di masa kini.. juga begitu mendadak sekali,,, sebenarnya apa yang terjadi?? hingga para orang tua sebegitu ngototnya..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Terakhir diubah:
ndredeg dewe bacanya
salute buat sis Vio udah bikin cerita yg memainkan (bingung milih kata2nya) emosi pembacanya
 
entahlah...bgini memang nasib pembaca, selalu terombang-ambing dilautan misteri yang bikin cerita...:galau:

#coba aja gk hepi ending, bakalan ane soldomi tante Lisna ampe kelojotan...:((
 
Entah kenapa setalah :baca: kerasa sakitnya...

Terasa banget menyesal memakai celana lea bajakan yg sengaja aq sobek di atas dengkul biar kayak preman ini...

Kenapa tdi aq bacanya gk pake rok aja... Biar mwewknya sesuai kostum...

Akhhh... Menyebalakan... :galau: :galau:

Berharap fahmi-kun memberi pencerahan...
Aq benci sis vio :galak: ... eh... Ortunya keiko-san

Gue juga mewek. :hua:
Fahmi ntar harus gimana yah???
 
Bimabet
"Kata orang, cinta itu gak harus memiliki. Tapi engga buat aku."


"Cinta itu harus memiliki, jika aku tidak bisa memilikimu, aku juga tidak akan membiarkan orang lain memilikimu," ~Vio~

jadii... seharusnya Fahmi berjuang lebih.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd