Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Love, Friendship, and Other Miscellaneous Things

Bimabet
Bagus cara penulisannya

Jangan macet ya hu
Teruskan sampai label tamat
Nubi setia mengunggu
 
Suka ama ceritanya... Mengalir aja tanpa dipaksa.
Lanjutkan gan
 
Gak sia sia nungguin updatenya.........joooshh
 
keren!! Mantep ini cerita.. Semoga lancar terus sampe beneran tamat.
 
cerita yang pas, ijin bangun tenda dulu hu sambil nunggu update selanjutnya
 
Bagus ceritanya om...lebih bagus lagi kalo cepat abdet wkwkwkkw
 
Bab 2

Sebuah ruang kelas. Angga sudah duduk manis menempati posisi kursi terfavoritnya: pojok kanan, belakang. Banyak hal bisa dilakukannya di sini, seperti: melihat pemandangan kota di jendela kalau bosan dengan mendengar kalimat yang keluar dari mulut dosen ataupun tidur dengan cukup nyaman. Tempat ini adalah titik buta para dosen. Bisa dibilang mereka tidak akan pernah melirik ke sini. Mengapa? Karena di hadapannya berdiri kokoh sebuah pilar bangunan yang menghadang arah pandangan. Setiap ruangan dalam kampus Satyadikara seperti itu. Seluruhnya. Angga tidak pernah mengerti mengapa pilar tersebut bisa berada di sana. Ia selalu menyimpan dua pertanyaan dalam kepalanya yang menyimpulkan kebingungan itu. Pertama: atas dasar apa dia memutuskan menempatkan pilar tersebut di sana? Kedua: arsiteknya makan apa sebelum bangun gedung ini?

Selain dilakukan, berbagai hal menarik juga bisa dicermati Angga dari posisi ini, seperti: melihat reaksi temannya ketika mendengarkan dosen mengajar ataupun melihat siapa saja manusia di dalam kelas yang bekerja jujur ketika sedang mengerjakan tes. Sebab, dari sini, segala penjuru kelas dapat terlihat. Ini membuatnya seakan-akan diberkahi kemampuan mata elang. Angga pun bisa mendengar suara yang bocor dari kelas di belakang, atau bisikan jawaban dari teman di sebelahnya. Inti dari semua itu: posisi yang ditempatinya adalah sebuah emas.

Tetapi, hanya ada satu alasan khusus kenapa Angga begitu ingin menempati posisinya sekarang. Clamidina. Angga ingin mencuri pandang ke arah Clamidina dengan nyaman. Tanpa diketahui Clamidina. Tanpa diketahui dosen. Tanpa diketahui setiap mata manusia di dalam kelas.

Orang yang disebut namanya berkali-kali di kepalanya itu akhirnya datang. Dia begitu mempesona. Rambut legam berlapis yang menjuntai panjang hingga melewati pundaknya dengan poni samping. Mata berbentuk kacang almond yang senantiasa tajam menusuk. Dia duduk di barisan depan, berdekatan dengan meja dosen. Dikelilingi banyak perempuan dan laki-laki.

Tak lama, dosen datang dan langsung memulai kelas. Saat dosen itu sibuk menjelaskan materi, pandangan Angga tidak pernah lepas dari Clamidina.

Clamidina Kartali adalah nama lengkapnya. Anak dari Sutanto Kartali, pria pemangku jabatan penting pemerintahan. Seorang menteri kebudayaan. Ibunya adalah Tiana Sulaksmi, seorang pejabat juga. Dulunya. Ibunya pensiun dini setelah menikah dengan Sutanto Kartali.

Clamidina adalah satu-satunya buah hati mereka. Meski begitu, Angga menduga kalau dia tidak dimanjakan sama sekali oleh mereka. Angga belum pernah sekalipun melihat seorang supir dengan mobil mewah datang ke kampus untuk mengantar ataupun menjemput Clamidina. Dia selalu datang dan pulang dengan usahanya sendiri, naik ojek atau angkutan umum lain, ataupun menebeng kendaraan temannya (yang ini sangat jarang). Setiap pergi ke kampus, dia selalu jauh dari kesan glamor. Yang dikenakannya hanya kemeja, celana jeans, dan sepatu kets. Pernak-pernik yang dibawanya juga; tas, buku catatan, peralatan tulis, ponsel. Tidak pernah sekalipun juga dia terlihat memakai perias wajah yang berlebih. Dia selalu tampil natural. Dia berbaur, melebur dengan mahasiswi-mahasiswi lain.

Angga langsung jatuh hati terhadap Clamidina ketika pertama kali melihatnya di kelas pengantar ilmu komunikasi. Mereka sama-sama anak baru dan satu jurusan. Semenjak itu, entah mengapa, keduanya sering dipertemukan jadwal kelas yang sama. Hampir lima semester Angga berkuliah di kampus itu, dan pertemuannya dengan Clamidina di kelas sudah tak dapat dihitung dengan seluruh jari-jari yang ada di sekujur tubuhnya.

Sebagai anak seorang pejabat, Clamidina tentu saja didekati banyak orang. Laki-laki, perempuan, semuanya ingin lengket dengannya. Angga pun begitu. Hanya saja, Angga tak pernah punya keberanian untuk mendekatinya seperti orang lain. Angga hanya sibuk mengamatinya dari kejauhan. Dari bayang-bayang gelap yang tak kasat mata.

Angga selalu merasa ripuh dengan persaingan sengit yang ada. Clamidina dikelilingi banyak teman yang jauh lebih mapan ataupun tokcer otaknya dibandingkan dengan Angga, dan ia merasa tak pantas untuk menyempil di sana. Angga pun sangsi kalau Clamidina mengetahui namanya, meski seringkali sekelas dan tak sengaja melakukan kontak mata, sebab Angga tak pernah menjalin komunikasi dengan Clamidina.

Tetapi, hari ini, ia ingin mengubah segalanya. Angga ingin berinteraksi dengannya secara langsung. Menatap wajahnya dari dekat. Saling bertukar kalimat. Nasib manusia, siapa yang tahu? Angga tidak mau menyesal sebelum sesuatu yang buruk menimpanya atau menimpa Sonia. Ia merasa harus mencobanya. Hidup hanya sekali dan kesempatan bisa saja habis.

Kelas selesai. Dosen baru saja meninggalkan ruangan. Para mahasiswa mulai bangkit berdiri dari kursi masing-masing dan meninggalkan ruangan. Mata Angga terus tertuju pada Clamidina. Dia masih duduk, memasukan peralatan tulisnya ke dalam tas. Angga menunggu waktu yang tepat. Clamidina kini tengah berbincang dengan teman-temannya. Sabarlah, ia menenangkan hatinya sendiri, sabar.

Clamidina sendirian. Dengan cepat dan tak terduga, dia kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke luar kelas. Angga pun segera menguntitnya dari belakang.

Di antara lautan manusia yang memenuhi koridor kampus, Angga sekuat tenaga menyelipkan tubuh. Ia terus mengejar Clamidina, tetap fokus agar tidak kehilangan jejak. Ia terus melangkahkan kaki dengan yakin.

Lautan manusia mulai memecah. Kesesakan tersedot keluar. Clamidina semakin melambat.

Dia akhirnya berhenti. Mereka sudah berada di penghujung kampus, berdekatan dengan gerbang keluar. Angga menghela napas. Ia mulai menyiapkan segala kemampuan berbicaranya. Ia menyusun segala skenario-skenario buntu yang dapat terjadi beserta pemecahannya. Ia mau terlihat menarik di depan Clamidina. Ia mau diperhatikan. Ia bukan lagi sekedar manusia yang sekelas dengannya. Ia pengaggum beratnya.

"Halo, Clamidina."

Clamidina menoleh. Untuk sepersekian detik, dia terlihat menganalisa sesuatu. Alisnya bertaut. Matanya menatap wajah Angga dengan penuh keheranan.

"Hai," balasnya. "Ada apa?"

Angga bergeming. Mendadak, mulutnya tak bisa melontarkan kata-kata. Kalimat yang telah diatur sedemikian rupa itu raib tanpa sepengetahuannya. Kumpulan aksara di dalam benaknya pun lenyap tak bersisa. Angga tak lagi mengenal aksara. Ia bukan manusia. Ia sebuah patung. Patung yang bernafas.

Keheningan lalu mengikat keduanya, mengundang kecanggungan untuk merapat dan berpesta. Siang itu, Angga seketika merasa menjadi manusia paling tak berguna di dunia.

"Cla?"

Teman-teman Clamidina mendekat ke arahnya. Clamidina menolehkan kepala. Dia lantas berjalan menjauh dari Angga.

"Siapa?"

"Gak tahu," Clamidina menjawab. Tapaknya semakin menjauh. Wujudnya pun kian tak terlihat, terbiaskan terik siang yang menyengat.

Segala aksara yang sebelumnya hilang akhirnya kembali ke dalam benak Angga. Ia kembali menjadi manusia seutuhnya. Hal pertama yang akan dilakukannya dengan itu: menyusun kalimat untuk memaki dirinya sendiri.

-----

Ruang kelas. Copywriting; mata kuliah terakhir untuk Angga hari ini.

Angga sibuk mendengarkan ajaran dari dosen secara saksama. Hanya itu yang bisa menghibur dirinya dari kebodohan yang ia lakukan di depan Clamidina sebelumnya. Toh, tak ada yang salah mendengarkan dosen mengajar. Bukankah itu tujuan utama para mahasiswa datang ke kampus? Lagipula, dosen yang ada di depannya itu mampu menerangkan materi dengan sangat baik. Angga pun tidak kesulitan memproses ajarannya di kepala.

Hanya saja, beberapa menit terakhir ini ia mendapati kerikil gangguan. Lima laki-laki tak dikenal yang duduk di dekatnya sedang asyik merumpi. Suara mereka terdeteksi radar telinganya. Sesungguhnya, ia ingin menyuruh mereka menutup mulut. Pembicaraan mereka membuatnya sulit berkonsentrasi. Tetapi, Angga tak mau dianggap sebagai polisi moral. Mungkin, mereka terpaksa dalam mengikuti mata pelajaran itu. Entahlah. Biarlah mereka seperti itu, pikirnya.

"Kemarin lu dimarahin Bu Yanti, ya?" tanya seseorang yang berambut kribo.

"Iya," jawab seseorang yang berkacamata. "Tapi itu gak menghentikan rasa cinta gue yang besar ke dia. Pantatnya itu, lho." Dia membuat gerakan memukul dengan telapak tangannya. "Spank, spank, spank. Sampai merah."

Dia tertawa atas ucapannya sendiri. Laki-laki berambut kribo menoleh ke samping. Seorang laki-laki dengan badan kekar tengah menatap kosong ke arah atap.

"Lagi mikirin siapa?" tanya laki-laki berambut kribo.

"Sonia Zenitha," jawab laki-laki berbadan kekar. "Lu tahu Sonia Zenitha?"

Alis Angga seketika bertaut.

"Tahu." Laki-laki berambut kribo mengangguk. "Yang pakai kacamata, kan?"

Laki-laki berbadan kekar mengangguk. Benar. Angga tak salah dengar. Dia sedang membicarakan Sonia Zenitha. Sonia Zenitha yang dikenalnya. Sonia ikut terseret jadi bahan khayal. Angga sama sekali tidak terkejut akan itu. Ia berpendapat bahwa Sonia--pada dasarnya--adalah seorang wanita yang cantik. Terlebih, Sonia mengenakan kacamata. Dua faktor tersebut sudah cukup untuk menjadikan Sonia sebagai sasaran empuk.

Laki-laki berbadan kekar bertanya, "Sudah punya pacar belum, sih?"

"Bukannya ada?" Laki-laki berambut kribo mengernyit. "Yang kayak arab itu?"

Angga tersenyum kecil. Mereka sepertinya lupa (atau tidak tahu?) kalau jarak orang yang sedang dibicarakan itu hanya terpaut satu meter saja.

"Bukan." Laki-laki berbadan kekar menggeleng. "Temannya itu. Gue pernah nanya soalnya sama Sonia."

"Emang lu yakin kalau dia gak bohong?" tanya laki-laki berkacamata.

Laki-laki berbadan kekar mendengus. "Ngapain dia harus bohong sama gue?"

Tak ada yang menjawab. Laki-laki berbadan kekar kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalau di doggy enak kayaknya, ya? Nerdy, nerdy, gitu. Terus, pukul pantatnya. Dia mendesah minta nambah. Gue jilat anal-nya. Habis itu-'"

Telinga Angga mendadak panas dan gatal. Ia berhenti mendengkarkan mereka. Menjijikkan. Isi perutnya seakan telah merangkak naik ke tenggorokan. Tak bisa dibayangkan jika Sonia melakukan itu di hadapannya. Angga mungkin akan jatuh pingsan dalam sekejap.

Angga melirik ke arah para lelaki itu. Ingin sekali ia memasukkan bubuk cabai ke dalam lubang dubur mereka--terutama yang berambut kribo dan berbadan kekar. Apalagi yang berbadan kekar--agar mereka dapat merasakan pedihnya penderitaan dan penindasan.

Tetapi, ia siapa?

"Hei!" Pekik sang dosen seketika. "Yang dibelakang. Kalau gak mau dengar saya, mending keluar dari dalam ruangan!"

Lima laki-laki itu tersentak. Angga dapat melihat warna merah yang mulai menyemu di wajah mereka. Ia tersenyum. Alam rupanya sedang bangun. Ia mendengar keluh kesah Angga. Tetapi, senyum itu tidak bertahan lama. Terpikir Angga dengan satu pertanyaan:

Kenapa alam tidak menolongku ketika bertemu dengan Clamidia sebelumnya?

-----

"Ah, kelar juga kelas gue." Sonia duduk di kursi kantin sembari menaruh sebotol air mineral di atas meja. Angga dan Sonia memang telah sepakat untuk bertemu di sana selepas kelas masing-masing. Perut mereka yang sedang berdemo perlu didengarkan aspirasinya dan dituruti kemauannya.

"Mumet kepala gue sama algoritme." Sonia memijat-mijat keningnya. Dia begitu menderita di kelasnya tadi. Entah otaknya yang mengalami penurunan kemampuan dalam memproses ajaran atau dirinya yang tidak berada pada kondisi prima; dia tidak tahu pasti. Yang jelas, dia tak bisa menerima ajaran dari sang dosen sama sekali.

Angga tersenyum kecil. Ia sesungguhnya sedang menertawakan kemalangan yang menimpa Sonia. Dalam hatinya, ia bertanya: siapa suruh masuk jurusan tehnik informatika?

Ia kemudian menyeruput seperempat isi gelas yang berisikan teh manis dingin. "Baguslah. Itu artinya otak lu bekerja."

Sonia mengernyit. "Tahu dari mana?"

"Logika saja," jawab Angga. "Kalau kepala lu gak mumet, berarti lu gak mikir. Blank."

Alis Sonia kian bertaut. Dia menggeleng-gelengkan kepala, tidak paham. "Itu gak ngejelasin sama sekali."

Angga mengedikkan bahu. "Pokoknya, itu intinya."

Sonia menegak isi botol mineral. Angga berusaha mengingat-ingat apa yang ingin ia utarakan padanya.

"Oh, iya," kata Angga. "Lu dapat salam dari lelaki kekar di kelas gue. Katanya, Sonia pengen gue doggy, pukul pantatnya, jilat anal-"

"Si Ramos?" potong Sonia.

Angga mengedikkan bahu. "Mana gue tahu kalau namanya Ramos. Rames, kali. Kayak beras."

Sonia menghela napas. Dia kenal dengan orang itu. Mata dan hatinya sudah lelah untuk bertemu dengan wajahnya yang terlihat menyebalkan. "Rese emang itu orang. Kerjaannya datengin gue mulu terus nanya," suaranya diberat-beratkan seperti seorang lelaki, "Ni. Itu... cowok yang sering sama kamu itu pacar kamu bukan?"

Angga tertawa kecil.

"Lain kali, kalau ketemu dia, lu hajar saja burungnya."

"Hajar, hajar," balas Angga. "Yang ada gue yang dihajar burungnya. Lu gak lihat apa badannya kekar gitu?"

"Makanya, work out," ucap Sonia. "Biar bisa ngelindungin gue."

Angga mengernyit. "Kenapa gak lu yang work out? Memangnya seorang cewek gak boleh kekar? Bukannya bagus? Biar cowok brengsek pada sadar diri semua. Gak macem-macem."

Sonia menganggukan kepala berulang kali. "Benar juga. Nanti gue coba, deh."

Angga dan Sonia meneguk minuman secara bersamaan. Tenggorokan mereka terus-menerus meminta untuk dilalui cairan yang menyegarkan. Suhu di sore hari ini begitu panas. Batu es yang tercelup di dalam gelas teh manis Angga terlihat lebih cepat mencair dibandingkan biasanya.

Angga mendadak teringat dengan hal lain. Sesuatu yang lebih penting daripada urusan Ramos-rames itu.

"Gue ketemu Clamidina hari ini."

Sonia berhenti meneguk minuman. "Terus?" Dia lanjut meneguk.

"Gue samperin."

Mata Sonia berbinar. Keantusiasannya meledak-ledak. "Serius lu?" Dia meletakkan botol yang isinya sudah ludes di atas meja. "Akhirnya." Dia memajukkan badannya. "Gimana? Ceritain, dong."

Angga merasa agak segan menceritakan kejadian itu kepada Sonia. Permasalahannya, kejadian itu berakhir dengan buruk. Tetapi, tak apalah. Sudah terlanjur.

"Iya. Setelah selesai kelas, gue ngejar dia. Pas sudah dapet, gue bilang: hai. Dia kayak bingung gitu."

"Terus?"

"Terus... gue gak bisa ngomong. Kita diem-dieman. Gak lama, temannya datang dan dia pergi sama mereka."

Sonia menepuk wajahnya sendiri dengan telapak tangan. Dia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kecewa. "Angga, Angga. Gue pengen deh cium bibir lu. Kesal."

Angga menekur. Ia sudah menduga akan mendapatkan reaksi macam itu dari Sonia.

"Apa susahnya, sih, kenalan?" Sonia bertanya. "Kenalan, lho." Tangannya mengangkat botol yang sudah kosong ke udara. "Ke," Dihantamnya pelan bagian bawah botol ke permukaan meja, "na," dihantamnya lagi, "lan." dihantamnya sekali lagi.

Setiap kali meja itu kena hantam, kepala Angga semakin menekur.

"Lu cari teman ngewe di tinder bisa. Kenapa kenalan sama dia saja jadi susah banget?"

Angga kesulitan mencari kata-kata untuk menjawab. "Karena gue suka. Benar-benar suka."

"Emang di tinder gak ada perempuan yang lu suka?"

Angga menggeleng. "Beda. Clamidina itu beda."

"Tapi suka sama seseorang gak sampai bikin orang jadi keblinger juga, sih," Sonia berucap pelan tanpa melihat Angga.

"Bisa jadi," balas Angga cepat.

Hening sejenak. Sonia menghela napas kencang. Dia tampak putus asa atas perlakuan Angga terhadap Clamidina. Angga tidak pernah berubah.

"Ya... lu harus lebih beranilah. Kalau lu gak pernah berani, kapan lu bisa kenalan sama dia? Mau berharap keajaiban? Keajaiban juga terjadi karena ada sebuah usaha."

Angga megedikkan kepala. "Lu sendiri bagaimana?"

"Apa?" Sonia mengernyit sembari menatapnya. "Gue kan emang lagi gak ada kecengan. Gak niat nyari pacar juga." Dia menyipitkan mata. "Kenapa? Lu mau jadi pacar gue? Gak sudi gue jadi pacar lu." Dia menoleh ke sembarang tempat. "Kenalan saja gak bisa."

Giliran Angga yang menghela napas. "Kagak. Nanya saja."

"Prinsip gue masih sama dari dua tahun yang lalu," ucap Sonia. "Gue masih demen bangun 'rumah sementara'. Prinsip itu gak akan berubah sampai gue menemukan pria atau perempuan yang benar-benar gue percaya untuk dijadikan lebih dari sekedar 'rumah sementara'. Seandainya, gue bisa dapetin itu sekarang... gue bersyukur. Tapi, kalau enggak... ya, gak apa-apa. Gue gak pernah berharap lebih, kok."

Sonia menatap Angga. Angga menatap Sonia. Dua bola mata saling bersirobok. Keheningan panjang menyaputi keduanya, seakan menciptakan sebuah gelembung yang memisahkan mereka dengan kantin kampus. Entah mengapa, sore itu beranjak begitu perlahan.

-----

Enam bulan berlalu semenjak pembicaraan itu. Angga tidak pernah megikuti saran Sonia. Ia masih senang menjadi penganggum rahasia Clamidina. Bersahabat dengan gelap. Angga belum rela mengalutkan impresi Clamidina atasnya yang sudah ia kacaukan sebelumnya, juga belum siap jika impresi itu terkena sentuhan lagi.

Bagi Angga, impresi yang buruk mirip seperti luka gores. Agar lekas sembuh, luka gores sebaiknya dibiarkan terbuka (terkena paparan udara) hingga mengering dengan sendirinya. Bisa dibilang, cara terbaik menangani impresi buruk orang lain juga seperti itu. Sang pemilik impresi harus dibiarkan terpapar oleh waktu yang sudah terkontaminasi kejadian-kejadian lain dalam hidup agar orang tersebut terlupa dengan impresi buruk yang dia miliki. Ketika sudah lupa, barulah orang tersebut pantas untuk didekati lagi.

Hanya saja, permasalahannya, sampai kapan seseorang harus menunggu? Akankah waktu yang tepat itu tiba? Apakah keyakinan kalau orang tersebut telah melupakan impresinya itu terbukti keabsahannya? Atau malah luka yang ada telah terinfeksi parah tanpa pernah diketahui dan tak bisa diobati lagi?

Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, Angga sendiri pun tidak mengetahui jawabannya.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd