Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
Bimabet
Kangen yv memeknya di masukin benda aneh gede2,trus lower,
Akhinya seluruh penduduk desa bergantian memasukan tangannya yg penuh lumpur kememek doi
Isshh... fetishnya kok gitu. :o
 
BAGIAN 17



Sepasang mataku terasa berat. Telingaku tuli. Kurasakan air memenuhi kedua rongga telinga. Dadaku terasa sesak. Paru-paruku terasa panas dan perih. Aku kesulitan menghirup udara.

UHUK!!! UHUK!!!

Aku terbatuk. Kurasakan beberapa air dalam paru-paruku keluar. Kelopak mata kiriku kubuka sedikit.

Buram. Di depan mataku seperti ada kaca es yang membuat penglihatanku tidak terlihat jelas. Indera peraba di sekujur kulit tubuhku sedikit demi sedikit menginformasikan bahwa tubuhku saat ini sedang telungkup di hamparan bebatuan. Posisi kepala menoleh ke arah kiri. Bagian kepala sebelah kanan dan bagian depan tubuhku rasanya dingin.

UHUK!! UHUKK!!

Air masih keluar dari mulut. Seperti inikah rasanya mendekati kematian? Detak jantungku berdegup pelan. Rasa perih mulai kurasakan. Entah seberapa lama tubuhku tadi tenggelam di arus sungai. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang jelas cukup lama.

UHUK!! UHUK!

Aku terbatuk lagi. Sepasang kelopak mata mengedip-ngedip untuk kesekian kali, berusaha membersihkan lapisan terluar bola mata bak windscreen wiper pada kendaraan. Lambat laun, pandangan buram sirna dan tergantikan oleh pemandangan yang tertangkap jelas oleh jaringan sensor saraf di ujung belakang bola mata. Di hadapanku terhampar pemandangan aliran sungai yang lebar. Di seberang sungai, hutan rimba dengan pohon-pohon tinggi dan lebat tumbuh disertai ranting bergerak tertiup angin. Suara hewan yang saling bersahut-sahutan tidak begitu jelas olehku.

"Aaaaww." Aku menjerit pelan merasakan bagian belakang kepalaku terasa sakit. Ya, aku ingat tadi sebelum pingsan kepalaku membentur benda keras.

Aku menutup mata sesaat, lalu membukanya. Awalnya kukira kepalaku tidak apa-apa, ternyata kepalaku juga turut sakit. Cenat-cenut di punggung kepalaku seirama dengan denyut jantung. Aku pun baru menyadari kalau kepala sebelah kanan dan juga telinga kanan terbenam air. Ternyata bukan bebatuan saja yang menjadi alas tubuhku, melainkan pasir hitam dan juga air. Jadi, selama ini aku tidur telungkup di air sungai yang dangkal. Sepasang telingaku pun terasa kalau di dalamnya tersumbat oleh air. Itulah yang menyebabkan pendengaranku menurun.

Aku mengedip-ngedipkan mata, menyadari saat ini aku masih di tengah belantara hutan yang sangat rawan akan mara bahaya. Aku bersyukur tidak ada hewan buas yang menemukan tubuh telanjang ini. Entah sudah berapa lama aku pingsan, yang jelas saat ini matahari sudah berada di atas. Mungkinkah teman-temanku akan mencariku? Ya, aku harap demikian. Dengan bantuan Toni yang dapat berbicara ke suku dan penduduk setempat, serta memberikan informasi kalau aku telah menghilang.

Aku harap mereka dapat menemukanku. Tubuhku seperti mencapai batasnya. Lelah, lapar, dan sakit yang menjalari tubuh. Lebih baik aku mengurungkan mencari pakaianku. Tak mengapa aku kembali ke desa tanpa pakaian-pakaian itu, yang penting aku selamat. Keselamatan adalah hal utama.

Aku berada di sisi sungai dengan aliran yang mengalir dari arah belakang ujung kaki sampai ke arah atas kepalaku. Aku beranggapan kalau tubuhku terdampar di sebelah kanan atau Barat sungai. Asumsiku demikian karena aliran sungai ini mengalir dari Utara menuju ke Selatan.

Tangan kananku mencoba bergerak, tapi rasa sakit pada lengan membuat ototku tidak mampu untuk melanjutkan. Cuma menggeser sebentar, ototku terasa nyeri. Aku pun mencoba dengan tangan kiri. Kugerakkan tangan kiriku untuk mendorong tubuh agar setidaknya bisa duduk.

"Uuuuhhhhhggg," lenguhku.

Bukan karena aku tidak kuat, tapi rasa nyeri yang kurasakan terasa menyakitkan. Walaupun tidak separah tangan kanan, tangan kiriku selama aku hanyut terbawa arus sepertinya ikut membentur. Tidak separah tangan kanan, tapi tetap saja terasa sakit.

Dengan sekuat tenaga, aku berusaha untuk duduk. Dorongan tangan kiriku nyatanya tak mampu membuatku duduk. Setelah mendorong, tubuhku malah terjatuh lagi. Terjatuh menelungkup. Kepala sebelah kanan dan juga buah dadaku membentur hamparan bebatuan dan pasir. Beruntung aku memiliki tenaga yang cukup sehingga kepalaku tidak membentur keras.

Aku melanjutkan mendorong tangan kiri. Bukan untuk duduk, tapi membalikkan tubuhku dari telungkup ke telentang. Rasa nyeri pada otot lengan kurasakan saat tangan kiri mendorong dan menjejekkan telapak tangan ke pasir dan bebatuan, hingga aku pun sekarang tidur telentang.

Di atas tubuhku, dahan dan ranting dengan daun berukuran kecil yang padat sedang memayungiku. Menghindarkan tubuhku dari sengatan sinar matahari langsung. Aku tidak tahu pohon apakah yang tumbuh di sebelah kiriku. Tidak ada buah yang tumbuh di pohon itu. Atau mungkin belum musimnya untuk berbuah. Pohonnya pun tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar lima meter. Pohonnya sedikit miring ke arah sungai hingga sebagian dahan menjorok ke arah sungai.

Ya Allah, sungguh aku bersyukur bisa selamat. Aku bisa hidup sampai detik ini tidak lain atas berkat kehendakMu. Ini adalah pelajaran yang berharga. Seandainya aku tidak membantah saran Mama, A…. A… Aku..

Tiba-tiba air mataku keluar dan membasahi kening dan jatuh melewati telinga. Ingatan tentang Mama. Uuhh… A.. Aku seperti anak durhaka. Saran baik Mama tidak aku indahkan. Aku menunduk dan melihat bagian dadaku banyak butiran pasir. Dari sebelah kanan, ombak-ombak kecil menjilati tubuhku.

Aku berusaha duduk. Aku memiringkan badan ke kiri, lalu dengan bantuan tangan kiri akupun bisa duduk.selonjoran menghadap ke arah Utara. Aku menoleh ke belakang, tidak terdapat noda darah. Tangan kiriku ku angkat dan jemari-jemari lentik dan berkeriput menyentuh punggung kepala, lalu kuarahkan ke depan wajah. Kulihat terdapat sedikit noda darah. Ya Allah, pantes saja terasa sakit. Kubasuh noda di jemariku dengan air sungai di samping kananku.

Sungai di samping kananku, hulu sungai berkelok ke kanan. Air di ujung sana tampak deras, tapi di sekitar kananku tidak deras. Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Tidak ada seorang pun yang kulihat, hanya hamparan pepohonan dan hewan-hewan primata. Aku mencari-cari jalan untuk pergi dari tempat ini. Aku tidak ingin berlama-lama ada di sini. Sebelum fajar, aku harus sudah berada di desa. Malam ini adalah acara upacara yang sakral yang dilakukan 49 tahun sekali. Tentu saja saat upacara, orang-orang di desa itu tidak akan ada yang keluyuran. Saat ini mereka mungkin sedang mempersiapkan acara besar tersebut. Kuharap ada salah satu dari mereka yang keluar dan ada di sekitar sini. Aku percaya mereka semua adalah orang baik. Aku tidak berpikiran kotor kalau-kalau mereka menemukan tubuhku yang telanjang, mereka jadi nafsu.

Tubuhku sekarang terasa sakit. Kulihat lengan kananku memar dan membiru, sedangkan pada tangan kiri hanya terdapat luka gores sekitar dua centimeter melingkar di pergelangan tangan. Perutku juga terdapat luka gores. Paha kanan bagian luar memar, begitu pula pada paha kiri.

Perutku terasa nyeri dan terasa penuh dengan air. Hari ini aku hanya makan ubi yang diberikan pemuda desa ketika subuh. Aku butuh energi untuk menaikkan gula darahku. Tubuhku terasa merinding. Baru kali ini aku merasakan lapar yang parah. Di rumah, aku tidak pernah merasa kelaparan. Sebelum lapar pun, aku bisa memesan melalui daring aplikasi. Tinggal tap, dalam hitungan menit pesanan sudah datang. Sekarang, aku di tengah hutan. Ponsel tidak kubawa. Kulihat mentari bersinar di atas ubun-ubun kepala. Aku jadi tidak tahu ke mana arah pulang. Aku tidak mungkin mengikuti jalur sungai ini. Tapi, mungkin inilah cara satu-satunya. Mengingat aku tadi terjatuh, nanti kalau aku mengikuti sungai ke arah Utara, aku bakal naik lagi ke tebing, melewati terowongan sempit dan berlumpur. Ah, mana mungkin aku lewat jalan yang susah dan membahayakan seperti itu?

HOEEEEKKKK!!! HOEEEKKKK!!!

Mulutku menyeburkan banyak air. Muntahan dari perutku kebanyakan air. Rasanya sedikit asam.

HOEEEKK!!

Banyak sekali air yang tumpah ke pahaku. Karena kakiku yang selonjoran tidak saling merapat, jadi pahaku tidak begitu terkena air muntahan. Muntahan yang keluar menggenang di antara pahaku dan bercampur dengan air sungai. Rasanya hangat. Aku pun menekukkan kaki kanan untuk memberikan jalan agar hanyut terbawa arus.

Sekarang perutku benar-benar kosong. Mulutku terasa asam. Aku berusaha merangkak ke air sungai sebelah Utara. Telapak tangan kanan kugunakan sebagai gayung untuk mengambil air dan kugunakan air tersebut untuk berkumur-kumur. Aku berkumur sebanyak tiga kali, hingga indera perasa tidak merasa kecut. Setelah itu, aku menggayung air untuk kuminum.

Ah, segar. Jangan samakan air sungai ini dengan air sungai di perkotaan. Air ini rasanya menyegarkan. Aku tentu berpikir positif. Gak mungkin kan di hulu ada orang poop sembarangan di sungai? Ihsss jijik. Memikirkannya aku jadi mual.

Astaghfirullahaladzim….

Duh!! Di sekitarku tidak menemukan sesuatu yang dapat kumakan. Aku merasa tubuhku sedikit mendapat energi. Menurut studi ilmiah, bahwa manusia sanggup hidup selama tiga minggu tanpa makan, tapi tanpa meminum air, manusia hanya mampu bertahan sampai empat hingga tujuh hari tergantung situasi.

Air sungai yang membasahi tenggorokan, lalu masuk ke perutku dan mengisi kekosongan perutku kini telah menjadi energi bagi sel-sel tubuh.

"Sabar ya, karbohidratnya menyusul," ucapku dalam hati seraya mengelus-ngelus perutku dengan telapak tangan kiri.

Tubuhku yang kotor oleh butiran pasir kubersihkan. Dari kepala sebelah kanan, leher, dada, perut, paha serta kaki. Beberapa butiran pasir menumpuk di pusar, juga ada yang menyelinap di pangkal puting yang menyusut. Aku sampai menarik dan membersihkan dengan mengguyurkan air. Kotoran bekas muntahan juga tak lupa kubersihkan. Untuk rambut ini saja yang agak susah. Banyak pasir yang bersarang di rambut.

Aku merangkak sedikit ke tengah sungai. Gak tengah-tengah banget. Aku menyadari kalau sungainya dangkal. Di sini, aku mencelup dan membilas rambut. Aku lakukan cukup lama. Beberapa di antaranya ada yang lengket terjebak di antara rerimbunan rambut.

Bicara mengenai situasi yang ku alami sekarang, aku merasa semakin dekat dengan jurang keputusasaan. Mungkin beberapa waktu berlalu harapan sempat muncul di benakku, namun sekarang ku merasa jalan buntu semakin nampak jelas menaungi ketakutan akan kematian yang mendadak muncul kembali.

Entah mengapa rasa trauma timbul di pikiranku melihat jeram sungai ini, yang beberapa waktu lalu menyeretku seakan membawaku ke ambang kematian. Apakah aku harus berenang menyusuri sungai ini lagi, tetapi rasa takut masih mendera di batinku. Pilihan lain, aku hanya bisa duduk termenung di tengah air sungai yang arusnya lambat. Pantatku bertumpu pada bebatuan kecil dan pasir di dasar sungai ini sampai seseorang menyelamatkanku, tetapi apakah aku pasti akan diselamatkan dan kalau bakal ada yang menyelamatkanku? berapa lama aku harus menunggu? atau pada akhirnya malaikat kematian yang akan lebih dulu mendatangiku dan hanya membawa ruh serta meninggalkan ragaku tergeletak di batu ini, atau bahkan pada akhirnya jasadku akan terseret dan bengkak membusuk terbawa arus sungai ini dan dimakan hewan pemakan bangkai.

Sejenak aku memejamkan mata. Kutekuk kedua kakiku kemudian duduk bersila, bahu kulemaskan dan kedua telapak tangan kuarahkan untuk menyentuh kedua lututku, posisiku seakan seperti seseorang yang melakukan meditasi di tengah aliran sungai. Pantat dan sebagian pahaku terbenam di dalam air. Tenang Anggu, tenangkan dirimu, aku mensugesti diriku untuk sedikit demi sedikit menghilangkan rasa panik.

Beberapa detik berlalu, aku tampaknya terhanyut dalam kondisiku sekarang. Batinku secara perlahan semakin tenang. Pikiranku yang semula keruh dan terasa berat tidak menerima kenyataan yang menimpaku, tahap demi tahap seperti terfiltrasi oleh atmosfer alam dan menjadikannya pikiran-pikiran yang bersifat jernih, ringan, dan menyenangkan. Mungkin ini yang dinamakan ilham pertolongan, namun entah dari siapa. Mungkinkah frekuensi dalam diriku mulai sama dengan alam?

Kubuka mata, tiba-tiba aku mendapat suatu ide untuk meminta tolong. Kekhawatiran tentu masih sedikit ada dalam benakku. Dengan bersuara lantang meminta tolong, akankah ada yang menolongku? posibilitas tersebut pasti ada, namun aku juga turut memikirkan resiko yang akan aku alami kalau ternyata ide meminta tolong tersebut malah akan mengundang mara bahaya.

Tapi dengan berdiam diri di tengah air sungai ini tentunya bukan pilihan yang bagus. Aku tidak mengenal hutan ini. Beberapa waktu yang lalu aku melihat dua pemuda dari desa ini yang menangkap harimau. Pemuda tersebut jelas terlatih menghadapi hewan buas, namun bagaimana denganku? seorang gadis dalam kondisi telanjang yang tentunya tidak memiliki skill bertahan hidup di alam, apalagi kalau harus menghadapi binatang buas tanpa persenjataan, tentunya aku hanya akan menjadi mangsa empuk.

Ah… aku coba saja berteriak untuk meminta tolong. Kusiapkan diri untuk menanggung resiko yang akan kuhadapi. Teringat olehku perkataan asal dari Ria yang bilang padaku kalau dia membayangkan diperkosa di hutan ini, anggap aja musibah. Entah mengapa aku berpikir kalau diperkosa mungkin salah satu resiko yang akan kuhadapi kalau aku nekat untuk berteriak meminta tolong. Teriakanku pasti akan menimbulkan atensi bagi pendengarnya. Bagi Ria sih mungkin bukan masalah besar karena keperawanannya telah direnggut oleh Rahman dan kemudian Ria menjadi sex addict. Berbeda dengan aku dengan lorong vagina yang tersegel oleh selaput dara dan berharap akan kupersembahkan untuk suamiku kelak. Tentunya aku gak mungkin sudi orang asing membiarkan seseorang memasukkan penis ke vaginaku dengan paksaan.

"Anggap aja musibah Anggu." Kata-kata dari Ria masih aja terngiang dipikiranku. Bagiku sekarang ini saja, telanjang di tengah hutan saja adalah musibah besar.

Dari ajaran agama yang kuketahui, manusia memang bisa mengubah takdir, tetapi aku juga ingat bahwa manusia juga harus bisa menerima takdir. Dari manusia dilahirkan sampai ketika manusia menemui ajal tentunya akan ada cobaan dan musibah. Tergantung aku bisa menyikapinya. Apakah ujian dari musibah ini membuatku semakin taqwa atau sebaliknya.

Aku teringat bagaimana Rahman menemui ajalnya ketika bermain arum jeram. Saat itu dibenakku seakan aku tidak percaya. Bagaimana bisa? Rahman menemui ajal di aktivitas olahraga di mana Rahman sangat menguasai olahraga tersebut. Ketika peristiwa itu jasad Rahman juga ditemukan memakai safety gear yang lengkap. Saat itu Ria juga ngomong kalau peristiwa kematian Rahman adalah musibah dan itu tidak bisa dihindari karena hal itu merupakan suratan takdir.

Kembali lagi aku berpikir bagaimana kalau nantinya aku diperkosa di sini, seperti halnya kematian Rahman sebagai suratan takdir yang tidak dapat terelakkan. Aku berandai mungkin itu dapat terjadi padaku. Tetapi kalaupun terjadi, itu lebih baik daripada aku harus mati di sini sebagai kemungkinan terburuk melihat kondisiku sekarang. Aku membayangkan bagaimana orang orang asing akan memegang, memeluk, mencumbu, dan memasukkan penis di liang senggamaku sedangkan aku sudah berusaha meronta tetapi aku dalam kondisi ketidakberdayaan dan akhirnya harus merelakan keperawananku.

"Duh Anggu malah berpikir yang tidak-tidak bagaimana kalau malah kejadian beneran?" batinku membisik.

Sampai saat ini aku masih percaya bahwa orang-orang di desa ini mayoritas berakhlak baik, tapi persepsiku sebenarnya merupakan stereotip dari ketidaktahuanku akan karakter dari seluruh penduduk desa ini. Aku hanya mengambil gambaran dari beberapa orang yang kutemui saja, tentunya stereotip ini dapat benar tapi dapat juga salah. Bagaimana kalau beberapa orang di desa tersebut ada yang jahat, dan mungkin akan memerkosa atau bahkan akan membunuhku kalau melihat aku di sini.

Ah… entahlah aku mungkin terlalu banyak berpikir, kucoba saja mengumpulkan keberanian untuk meminta tolong dalam artian semoga saja tidak terjadi hal buruk kepadaku.

"TOLOOONG! TOLOOONG!!" aku berteriak meminta tolong.

KRESEK!! KRESEK!!

Aku melihat gerakan di balik semak di atas tebing, dengan cepat aku kemudian menekuk tubuhku berusaha menyembunyikan kemaluanku lalu menundukan kepala.

"Duh sial usaha pertama aja ada tanda-tanda menemui kegagalan," batinku

KWAKK!! KWAK!!

Terdengar suara yang tak asing. Aku melihat ke atas dan ternyata bebunyian tadi adalah gerakan seekor monyet yang bersembunyi di antara semak-semak dan kemudian melompat ke arah rerantingan di tebing di seberang sungai. Bukan cuma satu, di belakangnya ada beberapa ekor monyet mengikuti. Di antaranya ada yang menjatuhkan sesuatu hingga tercebur ke sungai. Arus sungai membawanya hingga sesuatu itu mendekat dan melintasi di sebelah kananku. Dengan sigap, aku mengambilnya.

"Buah apa ini?" tanyaku dalam hati.

Warnanya hitam. Dari yang terlihat, tekstur kulit buah ini seperti sawo tapi dengan warna hitam beda dengan sawo yang kuketahui berwarna coklat kehijauan. Kucoba mengupas dengan cara mencungkil kulit buah ini dengan kuku ku, dan ternyata kulit buah ini mudah terkelupas, tampak warna daging buah ini yang berwarna merah keunguan mirip dengan buah naga. Aku lanjutkan mengupas kulit buah ini secara keseluruhan, kini tampak seluruh daging buah tersebut yang secara totally terkelupas. Nampaknya buah ini akan berasa manis, terasa dari getah buah yang menempel di kulit telapak tanganku. Buah itu kemudian aku gigit, mulanya aku menggigitnya dengan bagian depan gigi seri aja untuk mencicipi rasa buah tersebut, dan benar dugaanku kalau buah ini terasa manis dan menyegarkan.

Aku membuka mulut lebih lebar dan menggigitnya. Hmmm.. buah ini terasa sangat enak di mulut. Aku mengunyahnya dengan cepat lalu segera menelannya. Aku gigit lagi, mengunyahnya kembali lalu menelannya. Kuulangi lagi dan lagi dan terhitung sudah sebanyak lima kali. Buah itu telah habis kumakan dan menyisakan dua buah biji kecil seukuran biji kurma.

"Hahahahahaha," aku tertawa terbahak bahak, kubayangkan diriku makan dengan dengan rakusnya seperti orang yang tiga hari tidak makan

Aduh Anggu Anggu, malu-maluin aja. Aku tidak menyangka aku akan makan serakus ini. Habisnya sih perut udah tak bisa diajak kompromi, hahaha.

Aku melanjutkan memakan buah ini. Sekitar tiga buah telah aku habiskan dan kini perut udah sedikit terisi. Setelahnya, kutangkupkan telapak tanganku untuk mengambil air dan meminumnya.

Nikmat mana yang kamu dustakan? Kini badanku terasa lebih enakan, rasa lapar pun telah hilang dan saatnya kini untuk bobok cantik.

"Eh, kok bobok sih Anggu? haha,” batinku teringat kebiasaanku pas di rumah habis makan kekenyangan pasti tidur. Tapi sekarang aku belum kenyang. Lagi pula tiga buah itu tidak mengandung karbohidrat yang dapat meningkatkan gula darah sebagai energi di dalam tubuh.

Oh iya aku harus meminta tolong lagi.

"Tolong!! …. Tolong!!"

"Tolong!! …. Tolong!!"

"Tolong!! …. Tolong!!"

"Tolong!! …. Tolong!!"

"Tolong!! …. Tolong!!"

"Tolong!! …. Tolong!!"

"Tolong!! …. Tolong!!"

Sambil duduk bersila di tengah sungai, aku berteriak meminta pertolongan. Selang beberapa waktu, tak ada pertanda apapun. Walau beberapa kali aku mencoba untuk meminta tolong, tidak terlihat tanda-tanda batang hidung seorang pun yang muncul.

"Hh… Hh… Hh," nafasku terengah, mungkin karena efek habis berteriak meminta tolong.

Lengan kananku yang memar masih terasa sakit. Tapi tidak sesakit waktu aku sadar dari pingsan. Irama dan tempo jantungku berdetak lebih cepat. Aku tidak pernah selelah ini, mungkin karena paru-paruku tadi habis kemasukan air akibat tenggelam.

Perlahan, aku mencoba berdiri. Sambil terhuyung-huyung dan menahan rasa sakit, aku pun bisa berdiri. Saat berdiri, sendi di lutut agak lemas dan otak kecil bekerja menyeimbangkan tubuh. Aku seperti orang yang lagi mabuk. Perasaan bumi tempatku berpijak seperti miring ke kiri, lalu ke kanan. Rasa dingin ujung kaki yang terendam di sungai menjadi rangsangan untuk melepaskan cairan di dalam kandung kemih.

Uhhh.. sudah susah-susah berdiri, aku malah kebelet. Tidak mungkin aku buang air dalam keadaan berdiri. Aku pun perlahan berjongkok. Pantat, lubang anus, dan kemaluanku bersentuhan dengan air sungai. Otot sfingter melonggar dan dalam seketika cairan putih kekuningan mengucur kencang.

Aku buang air menghadap ke arah Selatan, searah dengan air sungai mengalir. Tidak mungkin aku menghadap ke Utara, ke Timur maupun ke Barat. Aku menghindari kulitku terkena oleh cairan yang menyebabkan najis. Setelah kurasa tidak ada rangsangan dari kantung kemih, kugunakan tangan kiri membasuh kemaluanku. Walaupun kondisi kemaluanku terbenam di dalam air, aku tetap membasuh dengan menggosok-gosok lempitan di bawah sana. Jari tengah dan jari manis menggesek-gesek daerah di antara dua labia. Menyingkirkan cairan urin yang mungkin terjebak di dalamnya. Bagian terluar saluran mungil uretra di antara lorong vagina dan kelentit juga tak luput dari jamahan jemariku itu.

Ah, gesekan-gesekan ini sesekali menimbulkan rangsangan. Terlebih ketika jemariku bergesekan dengan gumpalan daging mungil yang memiliki lebih dari delapan ribu jaringan saraf. Mulutku tidak sampai mendesah, hanya denyut jantungku sedikit berdebar lebih cepat. Walaupun aku taat dalam beragama, aku tetaplah seorang perempuan biasa yang juga memiliki nafsu. Tentu saja aku bisa mengendalikannya. Berbeda dengan Ria yang dikuasai nafsu. Kemarin aku dapat mengingat bagaimana bentuk klitoris Ria yang jauh lebih menonjol dan ukurannya lebih besar. Punyaku tidak sebesar itu.

Kemaluanku rasanya sudah cukup kubersihkan. Aku sudah terlalu lama di dalam air. Sedari aku jatuh dari akar-akar pohon di atas tebing sampai sekarang, bagian bawah tubuhku sudah berjam-jam berendam. Tak terkecuali kemaluanku. Walaupun aku masih muda, tetap saja kalau lama-lama di dalam air kulitku berkerut. Jemari tangan yang terdapat garis-garis pahatan timbul-cekung yang tak sama antar manusia pun turut berkerut.

Dari berjongkok, aku kemudian berdiri. Cukup lama sih, tapi tidak selama tadi ketika aku tidur. Bagian-bagian tubuhku masih terasa sakit. Memar-memar kebiruan menghiasi kulit.

Aku berdiri dan melihat sekitar. Barangkali ada seseorang yang dapat membantuku untuk pulang menuju desa. Kaki kanan kulangkahkan disusul kaki kiri menuju ke seberang sungai. Dengan sedikit merasakan sakit di otot-otot kaki, aku paksakan terus berjalan. Aku meninggalkan bayangan dedaunan di pohon belakangku yang menjadi payung hidup dari sengatan matahari. Aku tidak menutupi bagian-bagian paling pribadi di tubuh ini. Telapak tangan kananku memegangi perut yang telah meraung minta asupan, sedangkan telapak tangan kiri berada di dahi, memayungi sepasang mata dari silauan sang surya.

Sungai ini benar-benar dangkal. Kedalamannya pun sekitar sejengkal tangan. Padahal aku belum sampai separuh menyeberangi sungai. Kira-kira sekitar tiga puluh persen.

Bebatuan yang berwarna hitam terlihat jelas. Beberapa ikan kecil berkelompok tampak ketakutan berenang menjauhiku. Telapak kaki menginjak batuan kecil seperti pijatan refleksi di titik-titik saraf. Sesekali aku merasakan sakit. Bukan karena aku memiliki penyakit, melainkan di antara batuan tersebut ada yang tajam. Selama di kota, setiap pagi aku rutin berolahraga di ruang terbuka hijau di kompleks perumahan. Di sana terdapat jalan khusus bagi pejalan kaki dan dilengkapi oleh bebatuan kecil tertata rapi yang biasa digunakan untuk refleksi. Memang sih, tiap pagi aku lari pagi tanpa menggunakan alas.

Sengatan matahari terasa panas. Aku khawatir kulit putihku akan berubah kecoklatan. Kadar ultraviolet yang tinggi dapat membakar kulit. Walaupun demikian, aku merasa tidak begitu panas-panas banget. Udara yang berhembus menerpa tubuh seperti air yang memadamkan api. Aku berharap awan-awan di atas sana segera menghalangi sinar mentari.

Aku harus kuat, aku harus tegar. Tidak boleh karena cobaan ini, aku menyerah. Ini adalah resiko karena aku ceroboh meletakkan pakaianku sembarangan dan tidak diletakkan di tempat yang aman. Seharusnya sekarang aku tidak berada di tempat ini. Kalau tidak hanyut, mungkin sekarang aku sedang membantu untuk mempersiapkan upacara adat.

Sungguh, sungai ini lebar dan juga dangkal. Tidak seperti tadi ketika aku dikeroyok ikan garra rufa. Di sini, arusnya pun cenderung pelan dan dangkal. Juga, rasanya lebih dingin. Rambutku yang tadinya basah, sekarang sedikit mengering. Beberapa helai rambutku masih basah dan saling menempel. Satu-satunya benda yang masih setia melekat di tubuh hanya sepasang anting.

Aku rasa aku sudah berada di tengah-tengah sungai. Tinggal lima puluh persen lagi aku sampai di sana. Di sini pun kedalamannya kurang lebih sama. Kira-kira sejengkal lebih sedikit. Arusnya lambat. Aku masih melihat ikan-ikan kecil kabur berlarian menghindariku. Di antaranya bersembunyi di dalam ceruk di balik batu berukuran tanggung. Bagian atas batu itu sedikit berada di atas permukaan air. Mudah-mudahan di sekitar sini tidak ada ular air yang berbahaya.

PLUK!! PLUK!!

Langkah pelan kakiku membuat riak, suara dan cipratan kecil. Riak tersebut bergerak secara perlahan sambil terseret arus ke sebelah kanan. Aku ingin segera sampai ke seberang. Inci demi inci tiap langkahku semakin mendekatkan tubuhku ke seberang. Pandanganku mengarah ke seberang sungai. Di sana tampak bebatuan besar dan ilalang yang cukup tinggi. Aku pikir bisa kali tempat itu kujadikan tempat sembunyi jikalau ada seseorang yang melintas. Aku berpikir mengatur langkah apa selanjutnya jika sudah sampai di sana. Mungkin aku juga bisa mengambil rehat, sembari menunggu trombosit di dalam darahku untuk bekerja menghentikan pendarahan kecil di beberapa bagian tubuh yang lecet akibat peristiwa terseretnya tubuhku di tengah arus sungai tadi.

Aku terus berjalan dan melangkah sambil melihat ke sekitar. Pandangan mata kuarahkan ke depan, sesekali kutengok ke belakang. Arah samping kanan dan kiriku juga tak luput dari pandanganku. Indra pendengaran juga kufokuskan untuk menangkap suara-suara yang mencurigakan. Bagaimanapun aku harus tetap waspada, barangkali bahaya akan mengintai diriku. Ketakutan pertamaku adalah binatang buas, entah kucing besar atau pun reptil seperti ular, kemudian manusia. Kesalahan yang mungkin cukup fatal adalah aku tidak bertanya kepada Toni mengenai pulau ini, khususnya penghuninya. Ada berapa orang, bagaimana tabiatnya, apakah ada suku lain. Duh, malah aku gak bertanya. Bodohnya aku, tapi gak biasanya aku begini. Diriku sebenarnya punya rasa ingin tahu yang tinggi apalagi mengenai hal-hal baru, tetapi aku malah sibuk ama urusan kenakalan Ria dan malah ikut-ikutan terjeremus.

Sesekali angin berhembus dari sebelah kanan, menyentuh kulitku, terasa agak hangat mungkin pengaruh suhu yang semakin naik dari arah laut. Beberapa langkah kakiku kadang aku berhenti, menekuk lututku, berjongkok untuk mengambil air sambil mencipratkannya ke tubuhku, agar suhu di kulitku tetap sejuk. Dari tadi aku menyadari sesuatu, tampaknya aku sudah tidak malu-malu lagi untuk mempertontonkan bagian kemaluanku. Beberapa jam yang lalu aku masih malu-malu, aku sering menyilangkan tanganku untuk menutupi kedua payudara dan vaginaku. Tetapi sekarang aku sudah tidak berusaha lagi untuk menutupi tubuh telanjangku. Dan, kayaknya aku nyaman-nyaman aja kaya gini. Duh apa aku sudah menjadi seorang eksibisionis, ya? gawat juga nih. Hihihi.

Seorang dokter ketika mendiagnosa sebuah penyakit pasti pertama akan melihat gejala penyakit tersebut. Seperti contoh seseorang yang mempunyai penyakit demam berdarah pasti akan memiliki gejala penyakitnya, yaitu demam tinggi, muntah darah, bintik merah dan sebagainya. Dalam kondisiku sekarang ini dalam analisa abal-abalku, mungkin aku sudah dalam tahap gejala eksibisionis kaya Ria. Duh amit-amit, untungnya aku menyadarinya dan sekiranya aku bisa mengantisipasi daripada terjerembab lebih jauh lagi. Melihat kasusku, aku telanjang bulat kayak gini karena keterpaksaan, tapi kalau makin lama aku telanjang dan tidak segera menemukan pakaianku, bukan tidak mungkin semakin lama aku akan terbiasa telanjang di tempat umum kaya gini atau mungkin aku akan kecanduan.

Ria dan aku memiliki satu kesamaan, pertama sih sama-sama suka shopping, hehehe. Kesamaan yang lain mungkin aku dan Ria sama-sama menyukai perspektif keindahan. Sebenarnya bingung jelasinnya, hehe. Tapi, mudahnya aku memiliki hobi fotografi karena aku bisa meng-capture momen-momen yang menurutku sebuah keindahan, seperti pemandangan alam, hewan, maupun manusia. Aku lebih suka memakai kamera ponsel, karena lebih portable untuk dibawa, dan sebuah momen mengambil foto kadang muncul secara tiba-tiba.

Kembali tentang perspektif keindahan tadi, waktu kemarin aku memotret Ria pada posisi telanjang, aku seperti mendapat feel bahwa lekuk tubuh perempuan seperti Ria sangat indah menurutku. Entahlah, kok aku merasa kayak ada perasaan kekaguman seperti itu di pengalaman pertamaku memotret wanita dalam keadaan bugil. Bentuk ekspresi wajah Ria sangat seksi menurutku. Tubuh yang proporsional, payudara yang kencang dengan ukuran yang ideal. Pantat dengan lengkung membulat yang pas memunculkan rasa exciting melihat Ria. It's glorious picture, tapi jangan menyalah artikan kalau aku lesbi, ya? No.. no.. Hell no. Aku masih normal kok, hihihi.

Ria di sini kuposisikan sebagai objek foto, sesekali kadang aku membayangkan bagaimana kalau aku yang jadi objek foto. Aku agak penasaran juga apakah aku akan sepede Ria, bagaimana orang-orang berpendapat. Apakah tubuhku merupakan sebuah keindahan di mata mereka, dan bagaimana diriku menilai diriku sendiri? Memposisikan diri seperti penilai dan menjadi yang dinilai. Apa aku harus mencoba ya? Untuk difoto dalam keadaan bugil seperti yang Ria lakukan terus bagaimana aku melakukannya? Apa aku minta Ria aja ya untuk memotretku? Dia kan satu-satunya orang yang pernah melihatku dalam keadaan telanjang. Mungkin sesekali gapapalah kalau untuk konsumsi pribadi. Paling cuma Ria dan aku aja yang tahu.

Tanpa terasa, tinggal beberapa langkah lagi aku mencapai seberang. Aku menoleh ke kanan. Melihat batang pohon yang terdampar dengan sebagian kecil bagan pohon itu menjorok ke arah sungai. Di sisi samping, aku melihat benda putih putih bercorak kotak-kotak.

I-itu?

Alhamdulillah. Aku tahu itu adalah pakaian kemejaku. Aku pun berlari kecil di hamparan air sungai. Saking riangnya, aku tidak sadar terdapat batu yang cukup besar dan ibu jari kaki kanan menendangnya, seketika aku terjatuh telungkup menghantam air sungai yang dangkal. Buah dadaku membentur bebatuan di dasar sungai. Sakit, tapi aku lanjut berdiri dan segera menuju ke pakaianku itu.

HUFFTT!!!! HUFFTTT!!!

Tangan kananku meraih kemeja itu. Ujung kain ini terjepit dahan pohon yang patah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menggelindingkannya. Alhamdulillah berhasil. Aku mengambil kemeja itu.

Akhirnya, aku berhasil mendapatkan sebagian pakaianku. Tapi…. Oh tidak!! ada dua robekan di bagian punggung dan di dekat kerah sebelah kanan!!.

Duh!! mau tidak mau aku harus mengenakannya. Untung aja pakaiannya tidak terlalu kotor. Tapi tetap saja aku harus mencucinya. Mumpung dekat air juga, hihihi.

Aku berjongkok di sungai dan mengucek kemeja ini. Aku kucek juga bagian-bagian yang robek. Wajar jika robek, selama hanyut mungkin pakaianku membentur sesuatu. Tubuhku saja sampai memar dan luka-luka.

Setelah bersih, aku mengenakan kemeja. Tidak perlu menunggu kering. Bisa gawat kalau berlama-lama tidak pakai pakaian. Auratku nomor satu. Masuk angin urusan belakangan. Haha.

Aku mengancingkan dari bawah, lalu sampai atas aku merasa dua kancingku hilang. Terpaksa aku biarkan saja. Belahan dada jadi tampak. Aku tak hilang akal, aku mengambil rumput di tepi sungai lalu kukaitkan benang yang putus mengikat kancing ke lubang kancing.

Yey!!! akhirnya berhasil.

Di ujung pohon yang hanyut itu, ada sesuatu. Aku penasaran dan menghampirinya. Nah!!! ini dia sepatuku. Tapi kok cuma sebelah kanan saja? eh, mungkin saja di sekitar sini ada bra, jeans, dan kerudungku. Aku pun mencari dengan posisi tangan berkecap pinggang. Sepasang mataku menyusuri bak sinar sensor pendeteksi kapal asing di pesawat P-8 Poseidon milik USA.

Hmmm.. aku tak menemukan apa pun. Gakpapa deh cuma kemeja dan sepatu sebelah kanan. Aku kenakan saja. Beruntung sih kemejaku sedikit panjang. Setidaknya menutupi area selangkangan.

Duh!! sepatu ini pun basah. Gak nyaman juga kalau dikenakan. Lebih baik aku tidak pakai sepatu saja. Toh tidak masalah aku berjalan tanpa alas kaki. Yang bermasalah kalau aku keluyuran bugil. Hihihi.

Sepatu basah ini pun telah lepas dari kakiku, lagian kalau kupakai bakal menghambat pergerakan kakiku dan kemungkinan kalau aku berlari akan mudah sekali tersandung. Amit amit deh kalau kakiku tersandung dan terkilir duh, bisa-bisa aku seperti suster ngesot yang bergerak dengan menyeret-nyeret kaki di film nasional. Haha.

Kemeja yang aku pakai ini cukup tebal, walaupun dominan warna putih tapi bagian kulit dada dan payudaraku tidak nyemplak dan tembus pandang. Alhamdulilah, paling kedua kedua alat vitalku tertutup walau tak sempurna, selain itu kedua pahaku masih terlihat. Kalau celana jinku sudah kutemukan, setidaknya sekitar 80% auratku sudah tertutup dan aku bakal merasa aman untuk berjalan pulang kembali ke desa. Jadi misiku selanjutnya adalah menemukan celana jin.

Sekarang aku telah sampai di seberang sungai, lebih baik aku mengeringkan baju dan tubuhku untuk sementara waktu.

Aku melangkah menuju batu besar di pinggiran sungai ini, tidak jauh hanya sekitar tiga meter, beberapa langkah kakiku kugerakkan aku telah sampai di depan batu. Batu ini cukup tinggi. Kalau kuukur kurang lebih setinggi pinggulku. Kalau aku ingin menaiki batu ini setidaknya aku harus mengangkat kakiku dan melompat menapakkan kedua kakiku di atas batu.

Kaki kananku mulai kuangkat. Kuletakkan di atas batu, kaki kanan kuluruskan 180° secara horizontal, sedangkan kaki kiriku tegak lurus menapak tanah. Dilihat dari samping kedua kakiku membentuk sudut 90° dengan memekku sebagai pusat sudutnya. Isssh!! kok aku kumat lagi nyebut vaginaku dengan memek, jangan-jangan aku mulai terbiasa. >,<

Dengan posisi kedua kakiku yang masih membentuk sudut 90° aku melakukan stretching kecil-kecilan, seperti tadi waktu aku habis melewati terowongan yang oenuh dengan ranting serta akar-akar pohon. Kulakukan dengan batu ini sebagai tumpuan lurus kaki kanan ku. Andai batu ini adalah pundak dan kepala Toni atau Arya pasti mereka bakal horny deh, lihat pemandangan gratis memekku tepat berada di pandangan mata mereka, hihihi.

Setelah beberapa menit melakukan stretching kecil-kecilan, aku pun melompat ke atas batu.

Sekarang aku berada di atas batu dengan posisi berdiri tegap. Dengan posisi ini pandanganku lebih luas melihat sekitar walau tidak signifikan, karena batu ini tidak terlalu tinggi. Kuletakkan telapak tangan kananku di atas alis. Kugunakan sebagai topi penghalau sinar matahari terhadap kedua retina. Kepalaku bergerak ke atas dan bawah, juga ke samping kiri dan kanan. Barangkali aku menemukan petunjuk keberadaan celana jinku. Aku beranggapan kemungkinan letak celana jinku tidak bakal jauh dari tempatku menemukan kemeja di tengah sungai dangkal tadi. Kupandangi lingkungan sekitar dengan seksama.

Menit demi menit waktu berlalu, kulihat sekitar tidak tampak sedikit pun petunjuk keberadaan jinku. Sejenak aku berpikir, ketika pakaianku hanyut terbawa arus sungai sebelumnya, pakaianku dibawa oleh monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon, dan ada kemungkinan jinku berada di atas dahan-dahan pohon. Oh ya benar juga, sekarang aku mengarahkan pandangan ke atas untuk melihat ke atas dan terfokus pada dahan pohon.

Aku mengalami sedikit masalah yaitu sinar matahari yang menyilaukan mataku jadi aku harus hati-hati. Kuputar tubuh dan kepalaku, masih kupandangi sekitar. Aku berharap celana jinku segera ditemukan. Setelah setidaknya aku yakin melihat ke semua sudut, petunjuk pun masih belum kutemukan.

Namun tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, dan seketika itu di arah tenggara tubuhku, kulihat seonggok kain hitam berkibar-kibar nyangkut di atas dedaunan di ujung sebuah dahan pohon.

"Yeah, itu celana jinku." sambil kuberteriak dan menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanan mengarah ke arah berkibarnya celana jinku itu.

"Alhamdulillah, usahaku tidak sia-sia dan akhirnya aku bisa segera pulang ke desa." Aku jadi bersemangat.

Setelah turun dari batu ini aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tenggara. Arah pandanganku tetap kuarahkan ke atas. Kulihat jarak pohon itu dengan posisiku sekarang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima meter. Aku melangkah dengan penuh semangat, letih dan lelah yang sedari tadi hinggap di tubuhku seperti tidak terasa.

Akhirnya aku segera dapat menyelesaikan misiku. Mungkin ada beberapa helai pakaian, seperti bra, celana dalam dan kerudung yang belum ketemukan. Tapi, bagiku hal itu tidak masalah.

Eh.. tapi tiba-tiba aku kepikiran tentang celana jin yang ada di atas dahan pohon. Berarti aku harus manjat pohon, dong? Apa aku bisa ya memanjat pohon? Ah, lebih baik kupikir nanti saja setelah tiba di tujuan.

Langkah kakiku terus menapak di antara tanah kering, akar-akar pohon, dan bebatuan kecil. Setelah beberapa saat, akhirnya aku menemukan pohon di mana celana jin tersangkut. Celanaku nyangkut di antara ranting dan dedaunan. Aku melihat ke atas, ya itu benar celana jinku. Dari sini aku lihat keadaan celana jin itu juga masih bagus, dalam artian tidak ada sobekan. Jarak antara penglihatanku dengan celana jins ku rasa cukup jauh mungkin sekitar sepuluh meter, sedangkan tinggi keseluruhan pohon hanya sedikit lebih tinggi dari itu mungkin sekitar belasan meter.

Bentuk pohon ini cukup unik, kalau digambarkan mungkin pohon ini mirip cakar ayam yang terbalik, ada bagian telapak yang cukup luas di tengah yang menurutku muat diduduki untuk tiga atau bahkan dua orang, dengan empat dahan menjulang datar yang ujungnya agak mengarah ke atas dengan pucuk dedaunan yang cukup rimbun. Dahan-dahan ini masing-masing mengarah ke empat arah yang berbeda dan celana jinku berada di ujung dahan sebelah Selatan.

Di sekitar pohon ini terdapat beberapa bebatuan yang cukup besar. Aduh!! gawat juga kalau terjatuh, apalagi kalau kepala membentur bebatuan ini. Kemungkinan besar akan mengalami cedera fatal atau bahkan kematian.

Aku lihat juga kalau batang utama pohon ini terdapat banyak sekali coakan. Ya, coakan-coakan ini menurutku sengaja dipahat untuk memudahkan seseorang untuk memanjat, dengan kata lain pohon ini dipakai, entah untuk apa. Mungkin sebagai menara pengintai musuh atau pun untuk mengintai hewan yang mungkin akan dijadikan buruan. Entahlah, aku tidak tahu pasti. Coakan-coakan terdapat di seluruh batang pohon ini, jadi sekujur batang ini penuh dengan coakan.

Spekulasiku mengatakan, bahwa kalau aku memanjat pohon ini bakal ada resiko yang mengintai, tentu saja aku masih mengira akan ada resiko bahaya dan yang terburuk adalah manusia. Walau aku sudah memakai kemejaku, namun bagian bawahku sangat terbuka. Entahlah kalau ada laki-laki yang melihatku apa yang ada dipikirannya. Kalaupun aku memanjat dan dilihat dari bawah, pasti lubang memekku akan terekspose, dan laki laki yang tidak kuat iman atau dalam libido tinggi pasti akan mengejarku ke atas pohon dan memerkosaku.

Duh!! Kok aku jadi dilema gini, sedangkan kalau aku tidak memanjat pohon ini, aku tidak akan mendapat jinku kembali. Bagaimana kalau aku menunggu saja di bawah berharap jinku jatuh? Tetapi sama aja aku berharap sesuatu yang tidak pasti.

Setelah berpikir sejenak, kuputuskan untuk memanjat pohon ini saja. Hal yang menguatkanku untuk mengambil keputusan ini adalah ketika aku berteriak meminta tolong beberapa waktu yang lalu, tak ada respon satu pun yang kudapatkan. Dengan kata lain, beberapa meter radius dari posisiku sekarang mungkin tidak ada manusia.

Kaki kananku mulai kuangkat perlahan dan menjejakkan pada coakan pohon sebagai tumpuan. Kaki kiriku masih menapak tanah, sedangkan tangan kananku juga menggapai coakan yang berada di atas kepalaku, begitu pula tangan kiriku berusaha menggapai coakan di atas kepalaku, namun lebih rendah dari coakan di mana tangan kananku berada. Tubuhku mulai terangkat dengan tangan dan kakiku sebagai pendorong. Untuk sekarang posisiku tengah berada satu meter di atas tanah dan posisiku sekarang seperti memeluk batang pohon, dengan bagian depan tubuh menempel dan bersentuhan dengan kulit pohon dengan tekstur agak kasar namun terasa lembek dan lembab. Dengan aku berpakaian setidaknya ada celah antara kulitku dan kulit pohon sehingga tidak terlalu licin. Oh ya coakan di mana tangan dan kakiku bertumpu juga terasa kesat dan tidak licin.

Aku pun mulai bergerak perlahan dengan mengulangi gerakan yang sebelumnya kulakukan. Tangan dan kakiku berpindah ke coakan yang lebih tinggi dan kugunakan kedua bagian tubuhku itu untuk mendorong tubuhku merambat ke atas. Posisiku seperti cicak yang merayap di dinding.

Gerakanku terasa lambat, tetapi tubuhku secara perlahan dan pasti bergerak menuju ke atas. Oh iya, aku tidak terlalu takut akan ketinggian, tapi bukan berarti aku tidak takut untuk jatuh, jatuh pasti sakit kecuali jatuh cinta. Haha.

Mengulang memoriku di masa lalu, sebenarnya ini bukan pertama kali aku memanjat pohon. Saat aku kecil aku sering memanjat pohon, karena saat itu papaku terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan mamaku masih aktif menjadi kepala cabang di sebuah bank sebelum resign saat aku mulai SMA, karena jarangnya ada quality time bersama papa dan mamaku, aku berusaha bermain dan melakukan sesuatu di lingkungan rumah. Aku jarang main keluar rumah karena di sekitarku jarang ada anak seusiaku. Ditambah, ragaku yang sering berlatih yoga bersama Ria dan dulunya sewaktu masih SMA rutin mengikuti kegiatan pramuka. Bagiku memanjat pohon ini tidaklah susah. Toh, dulu waktu SD aku sering memanjat pohon rambutan bersama saudara sepupu di rumah kakek. Walaupun pohon ini lebih tinggi dari pohon rambutan, aku tidak ragu.

Pertama kali aku memanjat pohon adalah waktu aku SD. Itu juga karena aku melihat anak kucing yang nyangkut di atas pohon di halaman rumah dan aku berusaha untuk menolongnya. Waktu itu aku nekat sih untuk memanjat sampai akhirnya aku berhasil menangkap anak kucing itu, tapi payahnya aku gak bisa turun lalu aku berteriak minta tolong, dan bibi yang bekerja di rumahku membawa tangga untuk menolongku turun dari pohon. Sejak saat itu aku terbiasa memanjat pohon, walau sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan bibi. Entah untuk melihat keadaan sekitar dari atas pohon atau hanya untuk memetik buah, aku sering melakukannya. Tapi sejak SMA aku sudah jarang memanjat pohon karena mamaku sudah tidak bekerja, gawat juga kalau ketahuan mama bisa kena omel nanti aku.

Kini aku berada sekitar lima meter di atas tanah atau setengah dari tinggi batang pohon ini. Melihat ke bawah agak ngeri juga, apalagi melihat bebatuan di bawah. Aku masih mengulang gerakan yang sama dan perlahan menuju ke atas. Aku harus berkonsentrasi penuh, tetap fokus supaya aku tidak terjatuh.

"Hap!! Hap!!”

Tangan dan kakiku memegang erat pada lubang coakan. Sedikit lagi Anggu, pasti bisa aku mencoba menyemangati diriku. Setelah jinku kembali berarti misiku telah selesai dan bisa bergabung dengan kawan-kawanku untuk mempersiapkan ritual di desa. Untuk sekarang apa yang dilakukan Ria, aku jadi agak khawatir. Kurasa Toni sedikit keterlaluan mengerjai Ria. Aku harap Ria baik-baik saja. Kalau aku bisa kembali ke desa aku harap aku bisa menghentikan Toni walaupun bakal ada sedikit adu argumen.

"Yap… hhhhh." Nafasku terengah-engah

Dan akhirnya aku telah sampai di bagian telapak pohon ini. Kudorong dan kuangkat tubuhku untuk terakhir kalinya, lalu kubalikkan badanku dan duduk melihat sekitar.

Subhanallah. Sungguh indah pemandangan dari atas ini, tampak puncak dari pohon-pohon dengan dedaunan yang sangat rimbun, kulihat tebing yang menjulang tinggi, beberapa burung tampak terbang secara berkerumunan. Kulihat juga wujud gunung di pulau ini yang tampak gagah seperti mencakar awan. Ah, sayang banget aku gak bawa kamera, jadi tidak bisa kuabadikan deh pemandangan seelok ini, tapi gak papa aku masih bisa mengingatnya di memori otakku.

Oh iya, aku harus segera mengambil jinku. Aku mengarahkan pandangan ke arah dahan di sebelah Selatan, dan terlihat jinku masih berkibar karena tertiup angin. Aku melangkah mendekat ke arah pangkal dahan tersebut, mungkin sekitar tiga meter panjang dahan ini sampai ke ujung. Diameter dahan ini sekitar tiga puluh centimeter. Aku rasa cukup kuat untuk menopang berat tubuhku. Tapi masalahnya keseimbanganku cukup buruk, aku tak bisa kalau harus berjalan meniti di atas dahan ini. Aku bisa terjatuh. Di sekitar dahan juga minim akan pegangan. Jalan satu-satunya aku harus melakukan gerakan seperti panjat pinang, tetapi secara horizontal. Bergerak perlahan dengan dorongan tangan dan kakiku sampai aku bisa menggapai dan mengambil jinku. Apa boleh buat, cara itu terpaksa kulakukan. Gak sulit sih, tapi kaya dejavu aja waktu aku melewati terowongan.

Lutut kakiku mulai kutekuk. Sekarang posisiku berjongkok. Kucondongkan badanku ke depan agak sedikit ke bawah, tanganku mulai kulingkarkan di dahan pohon. Badan kudorong ke depan untuk memberi ruang untuk kakiku. Posisi badan sekarang agak nungging dengan bagian kepala dan pundak pada posisi yang lebih rendah dari punggung bawah serta pantatku. Aku turunkan bagian pantatku secara perlahan dan kurenggangkan kedua kakiku. Setelah kulit badanku menempel seluruhnya dengan dahan pohon, kutekuk lututku ke depan. Kini aku dengan sempurna memeluk dahan ini.

Aku mulai bergerak. Kugunakan kedua sikut dan lututku untuk berjalan secara perlahan. Bagian tubuh bawahku secara langsung bersentuhan, dalam artian kulitku bergesekan langsung dengan kulit dahan pohon termasuk vaginaku di bagian kulit yang ditumbuhi rambut pubis, sedangkan tubuh bagian atasku memakai kemeja sehingga kulitku tidak bersentuhan langsung dengan kulit dahan pohon.

Secara pelan dan perlahan aku mulai bergerak maju. Duh setelah beberapa saat, aku merasa sakit di bagian rambut pubisku. Gesekan dengan kulit dahan pohon terasa menjepit dan menjambak. Untuk itu aku berinisiatif untuk mengangkat pantatku, sehingga posisiku agak nungging. Benar kan aku seperti dejavu ketika melewati terowongan lalu, aku juga menungging untuk menyesuaikan diri dengan lubang terowongan. Biarlah, toh gak ada yang lihat. Aku harus segera mengambil jinku dan segera turun dari pohon dan pulang kembali desa. Walau aku jelas-jelas lupa arah jalan di desa tapi setidaknya aku aman dan tidak malu kalau ketemu penduduk desa yang berada di hutan, mungkin aku akan bertanya pada mereka arah jalan ke desa.

Aku terus merambat sambil memeluk dahan pohon. Kadang kulihat ke bawah ngeri juga kalau aku sampai jatuh, aku harus berhati-hati. Posisiku tetap sama dengan pantatku sedikit kutinggikan, suasana di atas pohon terlihat sepi, bahkan sepenglihatanku monyet-monyet juga tidak tampak. Kini aku hanya sekian centimeter dari posisi jinku. Namun….

TAAAK!!

TIba-tiba sebuah batu kecil terlempar dan mengenai jinku. Seketika jinku tampak melayang dan jatuh ke bawah. Aku dengar suara manusia seolah berteriak padaku, ya aku tidak salah dengar ini suara manusia.

"Tiiiiidddaakk," aku berteriak kencang, jantungku berdetak kencang, ketakutan melanda diriku

Setelah kulihat ke bawah tampak dua sosok laki-laki tua, dengan badan tegap serta berkulit coklat agak kehitaman. Salah satunya memegang sebuah ketapel dan menatap tajam ke arahku. Pakaiannya tampak seperti yang dikenakan oleh penduduk desa, namun kulihat beberapa codet di mukanya, dan sayatan di tubuhnya. Rambutnya gimbal dan seperti tidak pernah keramas. Gambaran kedua laki-laki itu tampak seperti seorang kriminal di mataku.

"Jangan, Pak… jangan ke sini," kataku yang ketakutanku dan semakin menjadi-jadi, melihat dua laki-laki tua itu mendekati pohon yang kunaiki.

"Apa yang harus kulakukan ?"

"Apa yang akan dilakukan mereka itu?"

"Apa aku berbuat kesalahan?"

"Apa dia akan membunuhku?"

"Apa dia akan memperkosaku?"

"Apa dia akan memperkosaku kemudian membunuhku?"

Ketakutanku semakin menjadi-jadi ketika salah satu laki-laki tua itu mulai memanjat pohon, dia bergerak cepat menuju atas.

Apa yang harus kulakukan, kalau aku terjun pasti aku akan mati membentur bebatuan di bawah. Bagaimana ini? aku harus cepat berpikir, sebelum laki-laki tua itu sampai ke atas. Sekarang posisiku masih sama, masih berada di dahan pohon.

Mungkin aku bisa berpindah ke bagian tengah atau di bagian telapak pohon, dan berusaha melindungi diri dengan menendang tubuh dan kepala laki-laki tua itu dari atas. Tetapi tiba-tiba rasa dilema menghinggapi diriku, bagaimana kalau laki-laki tua itu terjatuh dan mati dan aku menjadi seorang pembunuh sedangkan aku tidak tahu hukum adat di desa ini. Hukumannya seperti apa.

"Aduh bagaimana ini, ayo segera lakukan sesuatu Anggu."

Kuputuskan untuk berpindah ke bagian tengah pohon, aku harus berusaha untuk melindungi diri. Membunuh atau dibunuh mungkin hanya itu pilihanku sekarang. Aku yakin mereka akan berniat jahat kepadaku.

Aku mulai menggerakkan tubuhku ke belakang dengan cepat. Beberapa detik aku telah sampai di bagian tengah pohon, dan kulihat laki-laki tua itu hampir sampai di tempatku berada sekarang. Cepat sekali dia memanjat pohon ini.

"Jangan, Pak… jangan ke sini... jangan sakiti aku." Aku terus berteriak dan memohon.

Aku duduk berjongkok dengan posisi menyamping dengan posisi tangan menggenggam salah satu bagian ranting pohon, kubersiap untuk menendang tubuh laki-laki tua itu. Dan..

BUKKK!! BUKKK!!

Jejakan telapak kakiku berhasil mengenai kepala serta bahu laki-laki tua itu. Aku secara terus-menerus menjejakkan kakiku ke sembarang arah, ada yang kena ada yang tidak. Ini merupakan pengalaman pertamaku melindungi diri, perasaan was-was terus ada di dalam pikiranku. Kutengok ke bawah, sembari terus menerus menjejakkan kakiku. Kulihat tubuh laki-laki tua itu tidak bergeming sedikit pun. Apa tendanganku terasa lemah dan tidak terasa sakit baginya. Laki-laki tua itu tetap bertahan, kedua tangan dan kakinya masih bertumpu kuat pada lubang coakan tanpa bergerak sedikit pun. Posisi kepala laki-laki tua itu berada enam puluh centimeter dari tengah pohon, tempat aku berada.

Semenit berlalu aku masih saja menendang kepala dan tubuh laki-laki tua itu, dia masih tidak bergeming. Dan…

"Jangan, Pak. Tolong!!" aku berteriak sejadi-jadinya.

Tiba-tiba laki-laki tua itu memegang kaki kananku, aku berusaha meronta dan melepaskannya. Pegangan laki-laki tua itu semakin kencang seakan menarikku ke bawah. Tangan kananku masih memegang ranting pohon, aku semakin menguatkan peganganku, aku takut terjatuh.

Aku masih meronta-ronta, hingga akhirnya ada momen ketika laki-laki tua itu melepaskan pegangannya. Aku langsung bergegas untuk berdiri dan melangkah agak mundur.

Mataku mulai melihat kepala laki-laki tua itu muncul dari bawah, tangannya memegang ranting, dan dia mulai mengangkat tubuhnya ke atas. Aku hanya bisa berdiam diri, tepat di belakangku terdapat sebuah dahan dengan diameter tidak lebih besar daripada dahan tempatku merambat mengambil jinku. Kalau aku salah melangkah, aku bisa jatuh terhempas ke bawah.

Aku masih berdiri dengan penuh rasa takut. Tepat dihadapanku tubuh pria itu tengah berdiri. Jarak antara aku dan laki-laki tua itu hanya sepanjang lenganku saja.

"Jangan… jangan, pak" ujarku terus memohon. Tangan kananku menutup area vaginaku, sedangkan tangan kiriku memegang dada pria itu, menahannya untuk tidak terus mendekatiku.

Laki-laki tua itu terus mendekat padaku, dan aku semakin terdorong ke belakang. Tatapannya sangat tajam, setiap lekuk tubuhku tidak lepas dari pandangannya. Perasaanku semakin takut dan kalut, aku berusaha mendorongnya ke belakang, tubuh laki-laki tua itu beberapa kali terdorong oleh tanganku, tapi kemudian setelah terdorong, dia malah semakin mendekat padaku lagi.

"Tolong.. tolong." Aku terus berteriak.

Bibir laki-laki tua itu tersenyum, terlihat sinis seperti senyum psikopat yang pernah aku lihat di film-film. Entah apa yang ada dipikirannya, melihatku dalam ketakutan dan terus-menerus berteriak.

Tanganku laki-laki tua itu tiba-tiba memegang tangan kiriku, lalu meletakkannya di dadanya. Aku berusaha menarik tanganku, berusaha melepaskan pegangannya dari tanganku. Laki-laki tua itu kemudian melepas dan melempar tanganku cukup keras hingga mengenai tangan kananku yang menutupi area vaginaku. Lalu laki-laki tua itu bersuara, beberapa kata diucapkan dengan intonasi nada penuh dengan amarah. Apa yang sebenarnya laki-laki tua itu bicarakan aku tidak mengerti, tetapi feelingku mengatakan kalau laki-laki tua itu berusaha mengancamku. Sedangkan rekannya yang ada di bawah berkata menggunakan bahasa daerah yang mirip bahasa yang digunakan oleh penduduk desa tempat aku dan teman-teman tinggal.

"Jangan, Pak… tolong… jangan." Aku terus saja berteriak.

Melihatku terus berteriak, laki-laki tua itu juga terus berbicara padaku, dan tiba-tiba laki-laki tua itu menggerakan tangannya, mengarahkannya ke lehernya dan menggerakkannya secara horizontal, dan aku seolah mengerti isyarat itu. Gerakan laki-laki tua itu seperti gerakan menggorok leher. Aku semakin takut, laki-laki tua itu ini berniat membunuhku.

Laki-laki tua itu terus berbicara padaku, dan aku terus-menerus berteriak meminta tolong. Dia kemudian seakan memberikan isyarat lain, tangannya mengarah ke bawah. Laki-laki tua itu mencoba melepas simpul pakaian adat yang dia gunakan. Pakaian adat pun lepas, dan tampak sebuah penis yang tegang berwarna hitam berkulup dan mengacung ke arahku.

Aku melihat penis itu, terlihat menyeramkan olehku. Pikiranku kemudian bertanya apa maksud laki-laki tua itu memperlihatkan penisnya padaku, apa dia berniat memperkosaku, aku semakin tenggelam dalam perasaan takut. Ukurannya sangat biadab, melebihi ukuran penis milik Arya dan Toni. Aku ingat kalau keperkasaan Arya memiliki ukuran yang panjang, tapi diameter serta glans-nya jauh lebih besar milik Toni. Pria di depanku ini melibas habis milik Toni dan Arya. Seperti senjata milik Arya dan Toni fusion ala anime Goku dan Vegeta.

Laki-laki tua itu kemudian mengulang isyaratnya kepadaku, dia memperagakan seseorang yang seakan menggorok leher, tapi dia juga memperlihatkan isyarat lain. Tangan kanannya kemudian beralih mengocok batang penis. Laki-laki tua itu tanpa malu-malu menggerakan maju mundur pentungan pribadinya. Kulupnya tertarik ke belakang hingga memperlihatkan glans yang besar serta berisi. Di permukaan kepala penis yang mirip helm itu terdapat banyak smegma. Isshhh… menjijikkan. Baunya pun sampai terendus oleh hidungku. Penis berkulup itu kotor. Walaupun senjata Toni berkulup, tapi terlihat bersih dan terawat. Lubang pipis vertikal di ujungnya juga lebih lebar dari milik Toni dan Arya. Laki-laki itu pun berbicara, sembari dia mengocok batang penis yang telah menegang maksimal. Jari telunjuk dari tangan kirinya menunjuk tepat di arah vaginaku.

"Jangan perkosa saya… jangan," kataku seraya menutup kemaluanku dengan telapak tangan kiri.

Aku mengerti apa yang laki-laki itu katakan, dia memberiku pilihan mati atau diperkosa. Ketakutanku semakin menjadi-jadi apa yang harus kupilih. Dua pilihan itu tidak mungkin kupilih salah satunya, aku tidak akan mau mengorbankan keperawananku apalagi nyawaku. Apa aku harus membunuhnya saja, opsi itu tiba-tiba muncul di benakku. Entah apa hukuman yang akan diberikan padaku, mungkin aku siap menerimanya daripada aku harus diperkosa atau dibunuh. Sebenarnya ada opsi lain dengan terjun ke bawah tapi pilihan ini penuh resiko. Itu sama saja dengan bunuh diri. Dan, dalam ajaran agamaku, hal itu sangatlah dilarang. Bisa-bisa aku dijebloskan ke dalam neraka.

Perasaanku harus kuyakinkan. Aku harus melawan laki-laki tua itu, aku bisa mendorongya jatuh dari pohon, tetapi moralku mengatakan kalau sebenarnya aku tidak tega untuk membunuh manusia walau orang itu jahat padaku. Aku terdiam sesaat, tapi kemudian laki-laki tua itu mendekat kepadaku dan berusaha memeluk tubuhku.

"Jangan… aaahh…. Pak."

Kedua tanganku mencoba mendorongnya sekuat mungkin, tapi tenaga laki-laki tua itu lebih kuat dariku. Dia tidak bergeming sekali pun setelah kudorong. Laki-laki tua itu pun lalu memegang tanganku dan melemparnya, dan kemudian laki-laki tua itu memeluk tubuhku.

Kepala sisi sampingku dan kepala laki-laki itu saling menempel saling berhadapan. Kepala dia berada di atas pundak sebelah kiriku. Telinga serta rambut gimbalnya bergesekan dengan telinga kiriku. Kemudian, aku merasakan laki-laki tua itu mengendus dan mencumbu bagian belakang leher sebelah kiri. Buah dadaku menempel di dadanya yang ditumbuhi bulu dan hanya dibatasi oleh kain dari kemeja yang kukenakan. Beberapa helai rambut di dadanya bersentuhan dengan kulit dadaku di celah di antara kemeja atas yang kancingnya lepas.

Aku tidak diam saja, aku terus meronta sebisa mungkin kugerakkan seluruh bagian tubuhku untuk lepas dari dekapan laki-laki tua ini. Sepasang tanganku mendorongnya hingga aku pun bisa lepas. Aku berbalik badan membelakanginya, lalu merangkak menjauhinya. Akan tetapi, ujung kemeja belakangku kena genggamannya. Aku pun jadi terhambat.

KRAAAK!!

Ujung belakang kemejaku robek. Aku pun menjauhinya. Tidak peduli lagi tentang pakaian ini. Yang terpenting aku harus kabur.

"Aaaahhh!!!"

Aku menjerit. Dari belakang ia mendekapku. Aku berusaha meronta-ronta, tapi semakin aku berusaha untuk melepaskan diri, pelukan laki-laki tua ini semakin kuat seperti ingin meremukkan tulang-tulangku. Laki-laki tua itu terus saja berceloteh melihat aku terus berteriak. Dia kemudian mendorong tubuhku ke depan, di tepian telapak pohon sambil terus memelukku, dia menunjuk bebatuan di bawah. Aku menangkap pesan yang laki-laki tua ini sampaikan.

JANGAN MELAWAN ATAU KAMU MATI

Mungkin laki-laki tua ini berbicara seperti itu. Tangisku pecah, air mataku mulai deras mengalir di pipiku. Laki-laki ini menodai tubuhku yang seharusnya hanya boleh disentuh suamiku kelak, namun sekarang tubuhku didekap laki-laki tua bukan muhrimku, apa ini karma dan hukuman yang diberikan Tuhan padaku?

"Jangan, Pak… tolong lepaskan saya.. huuuu… huuu.."

Entah seberapa sering aku berteriak dan terus menangis, aku tetap memohon kepada laki-laki tua ini untuk tidak memperkosaku.

Semakin aku berteriak semakin kuat dekapan laki-laki tua ini. Tengkuk leherku terus diendus dan dicumbu olehnya. Tubuhku semakin lemas dan tak berdaya. Kedua tangan laki-laki tua ini terus menggerayangi, sobekan kemeja di punggungku di tariknya sehingga lubang sobekan itu semakin besar.

Kini teriakanku semakin lirih, kesadaranku mulai lemah, aku sekarang hanya sedikit meronta, tenaga terkuras semakin tak tersisa. Laki-laki tua ini melepaskan dekapannya. Tubuhku terasa akan ambruk ke bawah lalu dari belakang laki-laki tua ini memegang kedua pundakku. Aku kembali didekap erat. Kepalanya menjulur berada di pundak sebelah kanan. Pandangan laki-laki tua ini menunduk ke bawah melihat ke buah dadaku. Sepasang tangan laki-laki tua ini kemudian menyelinap di pinggang kiri dan kananku, memegang belahan kemeja di dadaku yang kancingnya lepas. Pergelangan tangannya menekan sepasang buah dadaku.

KRAAAKK!!!

Dengan kasar, tangannya menarik kemejaku hingga kancing-kancing ini satu persatu lepas tak bersisa. Kancing-kancing kemejaku lalu terjatuh ke bawah. Salah satunya memantul ke dahan di bawahku, lalu jatuh ke bawah. Pria tua yang di bawah terlihat tertawa dan berujar ke lelaki yang ada di belakangku.

Rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk berontak. Aku berusaha memegang bagian tengah kemejaku, namun laki-laki tua ini dengan mudah menyingkirkannya. Laki-laki tua ini terus berceloteh dan membentakku, dan aku aku semakin hanyut dalam rasa keputusasaan. Tangan laki-laki tua ini kemudian mencoba meloloskan kemeja dari tubuhku. Dia memegang kain yang berada di kedua pundakku, sambil memegang tubuhku tangan laki-laki tua ini, meloloskan kain melalui lubang lenganku satu persatu, dari lengan kiri kemudian lengan kananku. Kemejaku pun melorot hingga telapak tanganku, aku berusaha tetap memegang kain kemejaku, namun dengan sekali tarikan tangannya, kemejaku pun berhasil lepas dan dilemparkan ke bawah. Kini aku dalam keadaan telanjang tanpa apa pun yang melekat di tubuhku. Hanyalah bulir-bulir keringat yang membasahi tubuhku.

Tubuhku terasa sangat lepas. Aku pun berpikir apakah aku harus merelakan tubuhku untuk diperkosa laki-laki tua ini? Tapi, aku belum siap. Batinku memberontak, tapi daya dari raga ini sungguh lemah.

Tiba-tiba... Dengan kasar, kedua tangan laki-laki tua ini kemudian memegang kepalaku dan memutar kepalaku sembilan puluh derajat ke kanan, mengarahkannya menghadap ke kepalanya yang ada di atas pundak kananku. Dia mengendus wajahku dan mencoba menciumku. Laki-laki tua ini lalu mencumbu wajahku dari kening kanan, pipi kanan, sampai bibirku tak lulut dari cumbuan buasnya. Air liur laki-laki tua ini, membekas di kulit wajahku, dan dia terus mencumbuku tanpa henti, menyapu setiap milimeter dari kulit wajahku dengan bibir dan lidahnya. Aku tetap diam, kututup kedua bibir dan juga mataku, aku merasa jijik dengan cumbuan laki-laki tua ini membuatku seakan mau muntah. Bau busuk dari mulut dan gigi-giginya yang menguning dan sebagian gigi gerahamnya lepas, serta kotoran dan plak di sela-sela giginya yang banyak menumpuk menambah aromanya semakin tidak sedap.

Dengan terus mencumbu wajahku, tangan kanan laki-laki tua ini bergerilya mengelus-elus di bagian perutku, sedangkan tangan kirinya menerkam rambut di punggung kepala, menahannya agar kepalaku tetap menghadap ke wajahnya yang sedang ia jilati. Terkamannya kuat dan terasa sakit.

“Mhhhhh…”

Jambakannya serasa mencabuti rambut-rambutku, seolah-olah kulit kepalaku seperti ditusuki jarum.

Beberapa detik kemudian kurasakan tangannya yang mengelus perut bergerak ke atas. Indera peraba pada kulit payudara bagian bawah memberikan informasi kalau bendaasing yang menyentuhnya. Apa lagi kalau bukan tangan kanannya pria tua ini? Kulitnya kasar seperti parutan kelapa.

"HMMMMMM!!!" pekikku ketika bongkahan yang berisi kelenjar mammary duct ia remas. Telapak tangannya yang kasar menangkupi seluruh bongkahan buah dadaku.

“HHMMMM.”

Aku menjerit kesakitan. Buah dada kiriku diremas dengan lebih kasar lagi. Beberapa ruas jarinya menekan dalam di pangkal buah dada seperti hendak meremas buah jeruk. Buah dadaku seperti mau dicabut. Begitu pula pada buah dada kananku. Ia lakukan dengan hal yang sama. Aku pun tak kuasa menjerit. Suaraku hanya keluar dari hidung, karena mulutku sedang ia lumat habis-habisan.

Aku tidak bisa menerima perlakuan ini. Kelenjar air mataku telah memproduksi cairan dan keluar membasahi pipiku. Orang ini benar-benar biadab dan gila. Sampai-sampai air mataku ia jilati juga.

Puting kiriku sekarang ditekan oleh salah satu jarinya bak tombol controller dualsense. Awalnya nekannya pelan, tapi semakin lama menekannya semakin dalam. Aku bahkan merasakan puting yang ia tekan masuk ke dalam sampai membentur ruas tulang rusukku. Baik puting kiri dan kanan ia perlakukan demikian. Aku tidak tahu, orang ini kayak tergila-gila sama tubuh perempuan. Ia seperti belum pernah nyentuh bagian pribadi perempuan.

“Aaaaiihhh…”

Aku menjerit tatkala mulutku lepas dari lumatannya dan putingku ia tarik ke depan hingga mulur. Rasanya sakit sekali. Tapi, entah mengapa bagian kemaluanku seperti ikut tersengat. Seperti ada jalur saraf khusus yang menghubungkan puting dan kemaluanku. Teritama bagian klistoris. Kelentitku ikut tersengat. Sontak saja tubuhku kaget menerima respon itu. Putingku yang dijepit serta ditarik kasar rasanya menyakitkan. Rasa geli pada kemaluanku bahkan kalah dari rasa sakit pada puting. Aku merasakan bahwa kemaluanku tidak basah. Aku sadar aku tidak bisa menikmatinya. Sama halnya dengan dikitik-kitik. Memang saat dikitik-kitik terasa geli dan tertawa. Bahkan bisa menangis. Bukan karena dikitik-kitik tertawa berarti menikmatinya bukan? Dengan demikian, desahan yang keluar dari mulutku ini bukan berarti aku menikmatinya.

Perlakuan pada sepasang buah dadaku yang dipegang, dicubit, ditarik-tarik, dipencet, dan digerayangi oleh tangan laki-laki tua ini membuatku muak. Aku tak menyangka kalau laki-laki yang pertama kali memerawani payudaraku adalah tangan orang asing seperti dia. Aku tidak sanggup melawannya dan terus menangis menyesali keadaanku sekarang. Aku takut dengan ancaman pembunuhan dari laki-laki tua ini. Kalau aku mengumpulkan segenap tenagaku untuk meronta dan melawan laki-laki tua, kemungkinan tubuhku akan dilempar dari pohon ini dan terhempas jatuh ke bawah dan mungkin aku akan mati karena benturan pada bebatuan.

Perasaan tadi ketika aku diserang garra rufa, aku seperti ada orang yang mengintaiku. Oh, mungkin saja itu orang ini. Berarti sedari awal aku sudah diawasi dua lelaki tua ini. Ketidakberdayaanku membuat laki-laki tua ini semakin leluasa menggerayangi bagian tubuhku. Kedua payudaraku dan pantatku terus diremas dan ditamparnya. Aku hanya merasakan sakit yang luar biasa. Baik pantat dan buah dada yang ia tampar-tampar terasa panas.

Tubuhku ia balik. Dari yang memunggungiku, sekarang kami saling berhadapan. Tangan kirinya memegang punggung leherku. Kalau tidak ia pegang, pasti aku akan jatuh dikarenakan tubuhku yang saat ini melemas. Tangan kanannya sibuk memilin seraya menarik-narik puting kiriku. Wajahku menunduk ke bawah. Pandanganku mengarah ke penis laki-laki tua ini yang menegang di antara sepasang pahanya. Rambut kemaluannya sangat lebat dan kusam. Walaupun sama-sama memiliki rambut pubis, milikku tidak selebat dia. Di bawahnya, tongkat keperkasaan yang mengacung dengan ukuran biadab dan kulupnya tertarik ke pangkal hingga ujung torpedo bersmegma membuatku cemas. Aku tidak dapat membayangkan jika penis ini merenggut keperawananku.

Pandanganku terus mengarah ke kemaluan laki-laki tua ini. Penis ini merupakan salah satu hal dari ketakutanku selain kematian. Mana muat kemaluanku dimasuki benda sebesar itu? Vaginaku bisa robek. Smegma yang menumpuk akan bersarang di dalamnya dan menyebabkan infeksi. Selain itu, aku tidak tahu berapa macam kuman yang bersarang di permukaan penisnya. Mulut rahim serta uterus-ku pasti akan terdorong oleh panjangnya torpedo dia.

Buah zakarnya yang tak kalah hitam menggantung bebas. Oh iya, tiba-tiba aku mendapat ide untuk melumpuhkan laki-laki tua ini dengan menendang penis dan testikelnya. Baiklah mungkin itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan. Setelah melumpuhkan orang tua ini, aku akan pikirkan cara melumpuhkan rekannya yang ada di bawah.

Sambil berusaha mengumpulkan segenap tenaga, aku membiarkan dahulu orang ini memainkan tubuhku. Aku meringis kesakitan saat payudara kiriku ditampar hingga berayun-ayun. Tak kusangka, perlakukan pria ini tak manusiawi. Ria saja tidak sekasar ini.

Laki-laki tua ini sekarang mencumbu bagian dadaku. Dia menjilat dan menggigit-gigit puting kiriku. Rasa sakit terus kurasakan.

Dua menit berlalu, kini kelakuan pria ini sedang menyusu layaknya balita umur empat tahun yang telat disapih. Sedotannya sungguh kuat. Gigi-gigi serinya menggigit pangkal puting. Ia menahannya cukup lama putingku dijepit gigi serinya, lalu lidahnya menguaskan putingku. Selain geli, aku merasakan sakit.

“Aaaww… sa.. sakiit, Pak.”

Gigi serinya menggiit cukup kuat. Aku pun tak kuasa mendorong kepalanya. Malahan, ketika aku dorong ia tetap menggigit pangkal putingku sehingga buah dada kiriku mulur.

“Hehehehehe.”

Dia malah cengengesan gak jelas. Aku pun melepaskannya. Dari pada putingku putus, lebih baik aku lepaskan saja. Aku membiarkannya sambil menunggu laki-laki tua ini lengah.

Setelah beberapa saat dia melepaskan kenyotan di puting kiriku dan hendak beralih ke puting kananku, aku merasakan bahwa inilah momen yang tepat. Tangan kananku meraih kantung menyannya, lalu meremas dengan kuat.

“AAAAAAAAAAAAGGG!!”

Jeritannya keras. Gendang telingaku sampai berdengung menerima frekuensi tinggi. Tangan kirinya yang menopang tubuhku ia lepas dan memegang tangan kanan yang meremas ttik lemahnya. Begitu juga tangan kanannya ikut-ikutan. Ia menarik tangan kanan yang menggenggam testisnya. Tapi kelima jariku tetap mencengkram. Seperti yang dia lakukan pada putingku, saat ia mendorong tanganku, testisnya tidak aku lepas. Bahkan, otot-otot di telapak tangan meremas-remas layaknya meremas buah jeruk.

Limat menit ia berusaha memegang tangan kananku. Bahkan, ia tak segan-segan mencengkram tanganku. Kuku-kukunya yang sedikit panjang menusuk kulit tanganku. Aku pun melepaskannya. Ia melemah. Dengan susah payah dan telah kukumpulkan energi, aku berdiri. Seketika itu kaki kananku kuayunkan dengan cepat menuju testikel laki-laki tua ini. Aku menendang sekeras mungkin dengan punggung kaki kananku.

"AAAAAAKKHHH!!"

Kudengar laki-laki tua itu berteriak kesakitan, meringkuk memegang testikelnya. Tubuhku terhuyung lemas dan tangan kanan berpegangan di dahan pohon di dekatku. Tangan kiriku mencoba memegang dahan yang satunya agar tubuhku tidak sampai jatuh.

Rekannya yang ada di bawah berusaha memanjat pohon. Nafasku terengah-engah. Sembari melihat laki-laki tua itu kesakitan, aku berusaha merangkak turun dari pohon.

Aku mulai menuruni pohon ini. Tubuhku penuh dengan peluh, keringat, dan liur laki-laki tua itu. Telapak kakiku secara teratur menuruni dan memijak coakan pohon. Lelaki yang ada di bawah sudah mendekatiku. Aku jejakkan kakiku ketika tangan pria di bawahku hendak menangkap kakiku.

“AAAH!!”

Aku menjerit saat pergelangan kaki kananku berhasil ia pegang. Sepasang tanganku memeluk pohon agar tidak ikut tertarik ke bawah. Tapi apa daya, aku pun sempat merosot beberapa centimeter. Bagian depan tubuhku yang menempel di pohon terasa sakit. Tak terkecuali buah dadaku. Aku tak hilang akal. Dengan tubuhku yang semakin mendekati dia, kaki kiriku menjejakkan ke bawah.

“AAAKKK!!”

Dia gantian menjerit saat telapak kaki kiriku mengenai wajahnya. Kulihat hidungnya mimisan. Tubuh pria itu merosot sambil memeluk pohon. Tentu dia juga merasakan sakit seperti yang tadi kurasakan.

Aku segera menuruni pohon ini. Kulihat pria di bawahku sudah sampai bawah sambil memegangi wajahnya dan mengaduh kesakitan.

Sebelum sampai bawah, kira-kira satu setengah meter dari tanah, aku melompat. Aku berlari tertatih-tatih sambil memegangi bagian depanku yang bergesekan dengan kulit pohon. Kulihat sebagian kulit di buah dadaku lecet dan mengeluarkan darah. Terdapat garis-garis vertikal di sekitar areola dan tentu juga areola. Tapi lebih banyak di luar areola. Puting kanan bagian bawah juga terasa perih.

Aku berlari membelah rerumputan tinggi di tengah hutan. Aku menoleh dan melihat pria yang wajahnya kutendang mengejarku sambil tangan kirinya memegang hidungnya.

“AAAAAHH!!”

Aku ditangkap dan dipeluk olehnya. Tidak tinggal diam, sikutku aku hantamkan ke belakang. Nih rasakan elbow-ku. Tapi, ia tetap memeluk dan tidak melepaskanku. Tubuhku kemudian dibanting ke hamparan rumput dengan posisi telentang. Dengan kasar tangan kanannya menampar kepala kiriku tiga kali. Pipiku tak luput dari tamparannya. Begitu juga dengan telinga kiriku mendadak tidak dapat menerima getaran suara.

Air mataku keluar deras. Aku menangis. Tak kusangka usahaku untuk melarikan diri mengalami kegagalan. Laki-laki tua ini sekarang tepat berada di atas tubuhku, mengangkangi di perut. Tangan kiri laki-laki tua ini mencoba mencekik leherku. Rasa takutku semakin besar, debar jantungku semakin cepat dengan apa yang dia lakukan kepadaku. Aku semakin tak berdaya untuk melawannya, rasanya aku semakin pasrah untuk menghadapi semua ini.

Pandanganku mulai kabur. Genangan air mata ini tak dapat melihat jelas wajah beringas pria ini.

Aku mendengar suara pembicaraan dari arah ujung kakiku. Walaupun dengan telinga kanan, aku dapat mendengar suara itu. Dia adalah pria yang testisnya aku remas dan kutendang.

Ia tampak berbicara ke orang yang sedang mencekiku, lalu dengan seketika ia melepaskan tangan dari leherku. Aku tak paham apa yang dia bicarakan. Aku merasakan masa depanku akan buruk.

Beberapa menit kemudian, setelah pembicaraan mereka berdua, tubuhku kemudian dibalik hingga tubuhku menelungkup. Rasa perih di perut, dada, serta buah dadaku yang lecet terasa menyakitkan. Rumput-rumput ini bersentuhan dengan luka. Kurasangan sepasang tanganku disatukan di atas kepalaku, lalu di pergelangan tanganku diikat. Begitu juga dengan pergelangan kakiku. Aku tak tahu ia mengikatnya dengan apa. Aku tak punya tenaga untuk melihatnya. Posisi kepalaku menoleh ke arah kanan. Kulihat salah satu dari mereka mondar mandir.

Tiba-tiba sepasang kakiku diangkat. Kurasakan sebuah benda masuk ke celah di antara betis. Benda itu terus bergerak dari kaki menuju ke punggung. Bahkan, sesekali benda itu bergesekan dengan kulit punggungku. Benda itu lalu bergerak ke atas kepalaku. Selanjutnya, mereka masukkan ujung benda panjang itu ke celah di antara pergelangan tangan.

“AAAAHH.. Saaakiitt.”

Aku berteriak ketika tubuhku terangkat dari tanah. Aku digantung dengan pergelangan tangan dan pergelangan kaki diikat di sebuah bambu betung. Dua orang memikul bambu yang menggantung tubuhku secara menelungkup. Aku layaknya hewan buruan.

Entah, mereka akan membawaku ke mana. Mungkinkah ke sukunya?

Kepalaku menunduk lemah. Rambutku yang kotor akibat dibanting tergerai lurus.Tubuhku berayun-ayun tatkala mereka berjalan. Buah dadaku yang menggantung bergoyang-goyang. Tetesan darah mengucur di salah satu putingku. Begitu pula pada perutku.

Perih…

Panas…

Pandanganku mulai kabur…

Pandanganku menggelap…

Hari ini, untuk kedua kalinya aku tak merasakan kesemua panca indera.





Bersambung...
 
Edaaaan...
What an update....
Nge cut nya juga pas bener...
Bikin penasaran, hahaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd