Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Tengah Malam

Bimabet
Kisah Tengah Malam:
Pesugihan Tuyul (3)






Sejak tiga bulan lalu, warga sering mendengar isu tentang tuyul yang berkeliaran dan mencuri uang mereka. Awalnya, isu tersebut diduga berasal dari kawasan Jembatan Tiga, lalu menyebar hingga ke kawasan niaga Asemka dan kawasan wisata Kota Tua. Ribuan warga mengaku telah kehilangan uang yang mereka simpan rapi di dalam rumah.

Isu soal tuyul ini pun jadi pembicaraan hangat sehari-hari di segala kalangan. Tua, muda, kaya maupun tak berpunya, semua membahas sepak terjang si tuyul dan keluarga-keluarga yang jadi korbannya. Keterangan mereka sama, uang mereka hilang tak lama setelah mereka simpan. Tidak peduli waktunya siang ataupun malam.

Orang-orang dari berbagai latar belakang yang mengaku sebagai pakar supranatural pun bermunculan. Mereka tertarik untuk memburu si tuyul, dengan tujuan untuk dipelihara sebagai koleksi. Mereka yakin betul, tuyul yang mampu menimbulkan keresahan semasif ini bukanlah tuyul biasa.

Maka, para pakar supranatural ini bekerja sama dengan para ketua RT dan RW yang warganya terdampak. Mendata dan mencurigai setiap pasangan suami-istri yang tiba-tiba jadi kaya. Sepasang mata mereka menajam tiap kali sedang di luar rumah. Mengamati orang-orang yang melakukan gestur aneh—kedua tangan ditaruh di belakang, seperti sedang menggendong sesuatu. Warga percaya bahwa itu adalah gestur dari orang yang memelihara tuyul, pertanda sedang mengajak tuyulnya untuk mengamati rumah calon target.

Sudah sebulan belakangan Mbah Darwis tak sengaja menguping pembicaraan orang-orang soal tuyul ini. Di warung, di terminal dan stasiun, bahkan di emperan tempat mangkalnya pedagang kaki lima. Kian hari, apa yang dia dengar kian santer dan sering. Seperti yang kini sedang dibicarakan antara dua pedagang, saat si Mbah sedang membeli ketoprak.

"Parah banget, Bang! Kemaren si Saodah sampe nangis kejer gara-gara duit dagangannya raib kagak nyisa. Padahal udah dia taro tuh duit di selipan Al-Qur'an. Eh, masih ilang juga," ucap tukang gorengan, kepada tukang ketoprak saat sedang membuatkan pesanan Mbah Darwis.

"Ah, itu mah tuyul gede kali yang nyolong," timpal si tukang ketoprak.

"Maksud lu... orang bener, Bang?"

"Lah, iya. Tuyul mah setau gua kaga bisa nyentuh Qur'an." Si tukang ketoprak pun menoleh ke Mbah Darwis, lalu bertanya, "Tadi saya lupa pesenannya pake rawit apa kagak, ya, Mbah?"

Mbah Darwis tersenyum kepada si tukang ketoprak, entah untuk pembicaraan dia dengan si tukang gorengan, atau untuk kelupaannya dalam mengingat pesanan. "Ndak usah pakai cengek, Mbah mah sudah ndak kuat lambungnya sama yang pedes," jawabnya.

Setelah pesanannya dibayar, Mbah Darwis pulang sembari menenteng plastik kresek berisi bungkusan ketoprak. Dalam hatinya, dia berujar, kalau Qur'an-nya ndak pernah dibaca, ya percuma. Ndak berkhasiat apa-apa buat mencegah tuyulnya. Apa lagi kalau yang mencuri itu benar si tuyul yang aku kasihkan ke perempuan itu, wah...

Saat dirinya sudah sampai di mulut gang, tiba-tiba Mbah Darwis didatangi seorang perempuan cantik berwajah pucat. Pakaiannya seperti daster panjang, berwarna putih lusuh. Perempuan itu membisiki si Mbah sesuatu. "Baik, baik. Makasih sudah kasih tau, ya," balasnya.

Orang-orang yang berada di sekitar Mbah Darwis, hanya bisa memandang heran saat mereka melihat si Mbah sedang mengangguk-angguk, lalu bicara sendiri. Mereka tidak melihat perempuan yang berada di samping kakek tua itu.

Segera Mbah Darwis menuju kontrakannya. Sudah ada perempuan cantik yang menunggu di teras. Penampilannya banyak berubah. Badannya sudah lebih langsing dibanding tiga bulan lalu saat dia pertama kali datang. Wajahnya jadi tirus, dan nampak jelas rautnya menunjukkan kelelahan meski ditutupi dandanan.

Saat melihat si Mbah datang dengan tergopoh-gopoh, perempuan itu menyambutnya. Dia lalu salim. "Apa kabar, Mbah?" tanyanya.

"Yah, beginilah Nduk. Masih sama. Kamu yang banyak berubah, ya, to? Jadi makin ayu." Setelah membuka kunci pintu, Mbah Darwis mempersilakan perempuan itu masuk. "Ayo, Nduk. Di dalam saja."

"Baik, Mbah. Ajeng masuk, ya. Permisi."

Mbah Darwis mengajak Ajeng ke petak pertama. "Di sini saja," katanya. Ditaruhnya kresek di sembarang, lalu si Mbah duduk bersila.

Ajeng tidak berbasa-basi. Setelah duduk, dia langsung merogoh tas jinjing bermerknya. Dia keluarkan amplop coklat tebal, lalu memberikannya ke Mbah Darwis. "Dua puluh juta, Mbah. Sekalian saya tambahin lima juta buat Mbah beli rokok selopan," ucap Ajeng.

Mbah Darwis menaruh amplop itu di keningnya, lalu dia selipkan di tumpukan buku-buku pada rak kayu tua yang sudah usang. "Alhamdulillah, dapet rejeki sore-sore begini."

Ajeng mengernyitkan kening. Hatinya seketika dipenuhi rasa ironi. Tapi dia cepat mengusir pikirannya, lalu kembali fokus pada tujuannya datang ke sini.

"Mbah, ada yang mau saya omongin..."

Mbah Darwis tersenyum, seakan tahu apa yang akan Ajeng bicarakan. "Mbah sudah tahu, Nduk. Sebentar, ya," balasnya.

Kakek tua itu mengambil secarik kertas, lalu menuliskan sesuatu di permukaannya. "Ini, Nduk. Kamu cari ini semua di pasar. Biasanya dijual di tukang yang jual kembang tujuh rupa. Tanya saja sama orang pasar kalau kamu ndak tahu," ucap si Mbah, sembari menyerahkan secarik kertas itu ke Ajeng.

"Ini... apa, Mbah?"

"Syarat yang Mbah butuh untuk membantu kamu lepas dari tuyul itu, Nduk."

Ajeng membaca baik-baik daftar yang tertulis. Ada bunga kantil, minyak cap duyung, dan barang-barang lain yang dia tidak familiar dengannya. Tanpa banyak tanya, Ajeng mengangguk, lalu pamit pergi.

Sebelum Ajeng bangkit, Mbah Darwis meraih lengannya. "Jujur sama Mbah, sudah berapa kali kamu bersetubuh dengan tuyul itu?"

Ajeng hanya bisa angkat bahu. Dia benar-benar tidak bisa mengingat jumlah pastinya. Karena tiap kali Ajeng bersama dengan Ades di rumah, mereka selalu melakukan persetubuhan tanpa pandang waktu. Entah pagi, siang, sore atau malam. Saat Ades pulang dari mencuri uang, tuyul itu pasti meminta bersetubuh, dan Ajeng selalu kesulitan menolaknya. Rasa penis Ades sudah mengukir dalam memori badannya, dan Ajeng tidak bisa berbuat banyak soal itu.

Ades bahkan memaksa Ajeng untuk bersetubuh di segala tempat di dalam rumah. Di dapur saat Ajeng sedang memasak, di kamarnya setiap sebelum dan sesudah dia mandi, di ruang tamu sembari menonton televisi, di atas meja makan, di lantai kamar mandi, di sofa, di kasurnya, di garasi, bahkan di teras rumah. Jika saja pagar rumahnya tidak tinggi, niscaya dia akan ketahuan orang yang lewat.

Persetubuhan itu juga berdampak buruk bagi Ajeng. Tubuhnya selalu kelelahan tiap kali habis bersetubuh dengan Ades. Tidak, bukan lelah seperti yang dia rasakan jika berhubungan badan dengan manusia. Ajeng merasa seperti energi kehidupannya diambil sedikit demi sedikit, membuatnya jadi tak nafsu makan, serta selalu kelelahan dan anemia.

"Saya ga tahu, Mbah. Ga kehitung. Saya juga ga bisa menghindar, saya seperti ketagihan disetubuhi dia, Mbah. Sekarang aja, mikirinnya bikin kemaluan saya basah." Ajeng merapatkan paha, sembari menggigit bibirnya. "Tapi saya tahu, Mbah. Batin saya ga mau disetubuhi tuyul itu. Saya mau lepas, Mbah. Uang saya sudah cukup untuk hidup dan buka usaha. Makanya... tolong saya, Mbah."

Ajeng menatap Mbah Darwis. Wajahnya meringis seperti ingin menangis. "Saya ke sini curi-curi kesempatan, Mbah. Buru-buru pergi pas dia lagi cari uang. Sekarang... saya bahkan ga berani pulang, Mbah. Saya takut... nanti saya pulang disetubuhi lagi sama dia," lanjutnya.

Mbah Darwis mengangguk sambil memejam. Kakek tua itu lalu membantu Ajeng bangkit. Sebelum perempuan itu keluar dari kontrakan, Mbah Darwis menyerahkan sesuatu kepadanya. Sebuah potongan kecil bambu kuning. "Bawa ini, Nduk. Selama bambu kuning ini ada di kamu, ndak ada jin yang bisa mengganggu kamu," ucapnya.

Ajeng pun mengucapkan terima kasih, lalu pamit pulang. Ditaruhnya bambu kuning pemberian Mbah Darwis di tasnya. Setelah keluar dari kontrakan, Ajeng mengambil ponselnya, lalu memesan taksi online. Sembari menunggu jemputan, dia juga mencari hotel sekitar daerah itu lewat aplikasi pencarian hotel. Dia berniat tidak akan pulang sebelum urusannya dengan Mbah Darwis selesai.

Sementara itu, Mbah Darwis sedang kebingungan di kontrakannya. Dia baru sadar, kalau dirinya memberikan Ajeng bambu kuning yang salah. Yang diberikan ke Ajeng, hanyalah bambu kuning biasa, tanpa jampi-jampi proteksi dan olesan minyak bulus. Buru-buru dia kejar Ajeng, berharap perempuan itu masih ada di pertigaan. Tangannya menggenggam erat bambu kuning yang tepat, yang ingin dia serahkan.

Tapi Ajeng sudah tak kelihatan batang hidungnya. Mbah Darwis cuma bisa garuk-garuk kepala, sembari berharap tidak ada hal lebih buruk yang menimpa perempuan itu.


———​


Setelah mengkonfirmasi reservasi di resepsionis, Ajeng bertolak menuju kamarnya. Sebuah kamar di ujung koridor, pada lantai tiga. Terbayang dalam benaknya, hal-hal menyenangkan yang ingin dia lakukan saat menikmati waktu sendiriannya. Tapi begitu Ajeng membuka pintu kamar, sudah ada pemandangan tumpukan uang di ranjang, dan Ades yang duduk di pinggirannya, menunggu seraya tersenyum riang.

Ajeng sontak langsung merogoh tasnya. Mencari bambu kuning yang diberikan Mbah Darwis. Setelah ketemu, dia tunjukkan benda itu ke Ades. Si tuyul mulanya kaget. Dia tahu benda apa itu, dan memang bisa berdampak untuk melemahkannya. Tapi setelah beberapa saat, Ades tidak juga bisa merasakan energi spiritual dari benda itu.

Tuyul itu seketika tahu, kalau itu hanya bambu kuning biasa. Maka, Ades tersenyum lebar. Raut anak kecilnya berubah bengis. Dia langsung mendekati Ajeng, selangkah demi selangkah.

Sadar bahwa benda yang dia pegang tak berdampak apapun, Ajeng langsung mundur. Dirinya seketika berlari sekencang mungkin di koridor. Tapi sandal wedges yang dia pakai menyulitkan langkahnya. Setelah beberapa kali terpeleset dan kehilangan keseimbangan, akhirnya Ajeng jatuh juga.

Seharusnya dia meringis kesakitan saat lutut kanannya membentur lantai. Tapi dia bertahan. Dia harus lari, kabur dari tuyul itu. Ajeng buru-buru mencoba bangkit, tapi dia merasa pergelangan kakinya seperti ada yang mencengkeram. Dia tahu siapa pelakunya, tapi Ajeng tetap menolehkan kepala, dan dia melihatnya...

...Ades, dengan senyum menyeringai, menarik kaki Ajeng. Menyeret tubuhnya sepanjang koridor. Tak peduli sekuat apapun perempuan itu melawan dan meronta, atau tak habis pikir kenapa Ades bisa sekuat itu menariknya, tuyul itu tetap menarik tubuhnya hingga masuk ke kamar hotel yang dia pesan.

Lalu, pintu kamar itu pun tertutup, dan terkunci rapat.


———​


"Ades, udahhh, udaaaahhh... Mamah ga kuat! Mamah udah ga kuaaaaaattt!"

Ades tak mengindahkan erangan Ajeng. Tuyul itu masih tetap memompa vaginanya. Di atas ranjang, dikelilingi tumpukan uang kertas yang berserakan, Ades sedang menyetubuhi majikannya. Tubuh telanjang Ajeng yang kini merebah, dia tindih sambil terus menghujamkan penisnya kuat-kuat. Entah sudah berapa kali Ajeng orgasme dibuatnya, perempuan itu rasanya sudah ingin menyerah saja.

"Deeees, Mamah mau keluar lagi! Mamah mauuuu... aahhh, aahhh, aaahhh... Mamah ga kuat, Mamah mauuuuuuuu—nnnggaaaaaahhhhh!!!"

Ajeng orgasme lagi. Kali ini sembari memuncratkan cairan dari lubang kencingnya. Bersama Ades, tak terhitung sudah berapa kali Ajeng orgasme sambil squirt. Tapi Ades tak peduli tubuhnya basah oleh muncratan cairan bening Ajeng. Tuyul itu terus memompa vagina majikannya, lagi dan lagi, tanpa jeda, tanpa henti.

Ades bahkan sengaja menyusu pada Ajeng. Tubuhnya yang pendek memudahkannya untuk memompa vagina perempuan itu, sembari menghisap putingnya. Diberi rangsangan dari payudara dan vagina membuat Ajeng semakin mudah menggapai orgasme susulan.

"Oooooohhhhhh... Mamah keluar lagi, Mamah keluar lagi, Mamah, Mamah... aahh, ahhh, aaaahhhh... ENAK BANGET, DEEEES!!!"

Ajeng orgasme lagi. Lalu tak lama, lagi dan lagi. Dalam satu kali persetubuhan, Ajeng sudah orgasme puluhan kali, hingga mentalnya terkorupsi. Yang ada di benaknya sekarang hanya kenikmatan yang Ades beri, dan Ajeng hanya bisa pasrah saat menerimanya.

Setelah sekian teriakan nikmat dari Ajeng, Ades juga dekat kepada klimaksnya. Hujaman penisnya semakin kasar, cepat, dan kuat. Ajeng sadar akan hal ini. Entah kenapa, dia malah senang dan menunggu-nunggu momen ejakulasi Ades.

"Keluarin, kasih ke Mamah, Sayang! Kasih ke Mamah peju kamuuu... hamilin Mamah, Sayang! Hamilin rahim Mamah yang lagi kamu sodok-sodok pake kontol gede kamu ini! Ayo, Des, ayooooo teruuuuus!"

Ades menghujam kuat-kuat. Penisnya sampai menguak bibir rahim Ajeng, menyemprotkan spermanya langsung ke rahim dan mengisinya sampai penuh. Ajeng pun meronta-ronta, merasa gila akibat orgasme yang kembali datang melanda. Dia bahkan tidak bisa menahan dampak orgasmenya. Ajeng langsung meracau, meronta, dan bergerak dalam pola yang kacau di tengah-tengah dera badai orgasme.

Setelah orgasme mereka mereda, Ades langsung mencabut kasar penisnya. Dia mengecup mesra pipi Ajeng, lalu turun dari ranjang. "Ades cari uang dulu, ya, Mah!" serunya, sebelum menghilang dari ruangan.

"Ades... engga... Mamah ga butuh uangnya... Mamah udah ga mau... sama kamu...."

Ucapan itu menutup kesadaran Ajeng. Seketika, dia tak sadarkan diri.


———​


Langkah kaki Ajeng membawanya jauh dari hotel. Perempuan itu panik, berlarian tak tentu arah. Dia tinggalkan kamarnya beserta tumpukan uang yang Ades bawa. Dia tidak peduli dengan uang-uang itu lagi. Ajeng hanya ingin selamat. Dia tahu, dia sedang sekarat. Tubuhnya dehidrasi parah, dan menderita kelelahan hebat.

Dia harus kabur. Pergi ke keramaian, ke tempat dimana tuyul itu tak bisa mencapainya. Maka, Ajeng pun memutuskan untuk naik Transjakarta. Berkeliling kota, transit dari satu halte ke halte lain. Sampai dia tak sadar kalau malam telah larut, dan penumpang yang tadinya ramai berangsur sepi.

Kesadarannya pun memudar. Ajeng memutuskan untuk bertahan. Melangkah tanpa ada tujuan. Meniti jejak demi jejak, beristirahat sebentar di warung sembari minum air mineral, lalu melanjutkan perjalanan. Langkahnya semakin jauh, menyusuri jalan-jalan sepi.

Langkahnya membawa Ajeng sampai ke sebuah rumah berpagar tinggi. Digesernya pagar, lalu dia masuk ke area teras. Alam bawah sadarnya mengontrol dirinya secara otomatis, membuat dia tanpa sadar mengambil kunci di bawah keset, lalu membuka pintu. Setelahnya, dia baru tersadar bahwa dirinya ternyata pulang ke rumahnya sendiri.

Syok, kalut, dan panik bercampur baur di hatinya. Ajeng tak habis pikir, kenapa dia bisa tanpa sadar kembali ke rumahnya sendiri. Ingin dia langsung pergi dari sana, tapi tubuhnya mematung saat pintu terbuka sepenuhnya.

Di ruang tamu, sudah ada Ades, menunggunya sembari duduk di sofa. Saat melihat Ades, Ajeng langsung jatuh berlutut. Dia menangis, tapi bibirnya menyunggingkan tawa. Hatinya meronta saat badannya bergerak sendiri untuk membuka seluruh pakaian, karena yang ada di benaknya sekarang hanya keinginan untuk disetubuhi lagi oleh Ades. Hatinya berseberangan dengan pikiran, tapi Ajeng tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah teramat ketagihan dengan penis Ades.

Maka, di lantai ruang tamu, Ajeng merebahkan diri sembari mengangkang lebar. Jari-jarinya membuka bibir vagina, memperlihatkan lubangnya yang sudah basah oleh cairan pelumasnya sendiri, bercampur dengan sperma tuyul itu.

Dia masih menangis, air matanya semakin deras. Tapi ekspresi mesum di wajahnya tak bisa dia kendalikan. Lalu, bibirnya bergerak, membentuk kata. "Sini, Sayang. Memek Mamah cuma buat disodok kontol kamu," ucapnya.


———​


Tiga hari setelah Ajeng berkunjung ke kontrakannya, Mbah Darwis pergi ke terminal. Dia mencari calonya, Asep. Setelah bertanya ke sana-sini, akhirnya kakek tua itu menemukan orang yang dia cari. Dia sedang duduk di atas motornya, sembari menyeruput es buah di plastik.

"Sep, nih," Mbah Darwis melemparkan sebungkus rokok ke Asep, "Mbah mau tanya. Kamu tahu rumah perempuan yang waktu itu kamu anter ke kontrakan Mbah, ndak?"

Tentu saja, Asep garuk-garuk kepala. "Perempuan kan banyak, Mbah. Yang mana?"

"Yang namanya Ajeng. Kalau kamu lupa, Mbah ingetin lagi, ya? Yang sama kamu kasak-kusuk di WC umum sebelum ke kontrakan Mbah itu."

Asep langsung senyam-senyum saat peristiwa di WC disebut. "Inget kalo itu, mah. Emang kenapa, Mbah?"

"Tahu rumahnya?" tanya kakek tua itu lagi.

"Tahu. Mau dianter? Mau nagih mahar, ya, Mbah?"

"Mau ambil tuyul, Sep." Mbah Darwis langsung naik ke jok belakang, lalu menepuk pundak Asep, pelan. "Jalan, Sep. Genting, lho, situasinya."

Tanpa banyak tanya lagi, Asep menuruti perintah Mbah Darwis. Duduk berboncengan, motor Asep melaju meninggalkan area terminal. Asep sudah hafal betul, kalau Mbah Darwis sendiri yang sampai mendatangi pelanggannya, berarti situasinya memang sedang gawat.


———​


Setelah tiba, Mbah Darwis dan Asep tidak bisa menemukan Ajeng. Kontrakan bekas dia tinggal sudah diisi penyewa baru. Setelah tanya sana-sini, Mbah Darwis hanya mendapat informasi kalau Ajeng sudah pindah ke pemukiman lain, tapi tidak ada yang tahu alamatnya.

Maka, Mbah Darwis terpaksa mengerahkan segala lelembut yang jadi karyawannya. Di suatu pos ronda yang kosong, dia duduk bersila. Mulutnya komat-kamit, pikirannya berkonsentrasi. Beberapa makhluk gaib yang berhasil dia panggil, dia kumpulkan lalu beri perintah.

"Segera berpencar, cari Seda. Kalau ada yang ketemu, langsung lapor ke saya," perintah si Mbah.

Makhluk-makhluk itu menurut. Mereka pergi berpencar, mencari yang dimaksud Mbah Darwis. Sehabis itu, Mbah Darwis menyeka peluh di keningnya. Nafasnya tersengal. Dia mengeluh capek pada Asep.

"Ih, Mbah, kalau bisa cara gampang, mah, ngapain nanya-nanya tadi?" protes Asep.

"Mbah sudah tua, Sep. Sudah ndak ada tenaga, makanya ndak Mbah lakuin."

Asep pun mengangguk, tanda mengerti. Lalu, pemuda pengangguran itu bertanya lagi, "Seda siapa, Mbah? Bukannya kita nyarinya Ajeng?"

"Kamu tahu arti Seda dalam bahasa Jawa, Sep?" tanya balik si Mbah.

Asep menggeleng. Dia sudah lama menyerah belajar bahasa Jawa.

"Artinya "mati", Sep," Mbah Darwis mengatur nafasnya, mencoba tenang, "Jin itu suka sekali membolak-balik kata untuk menyamarkan maksud sebenarnya. Nama tuyul yang Mbah kasih ke Ajeng itu Ades, tapi nama aslinya itu Seda. Nama jin juga jadi pertanda seberapa berbahayanya mereka, Sep. Sekaligus jadi syarat untuk mengusir mereka. Makanya jin ndak mau kasih tahu nama asli mereka ke manusia."

Bersamaan dengan selesainya penjelasan Mbah Darwis, salah satu makhluk gaib bawahan si Mbah kembali. Setelah berbisik langsung ke Mbah Darwis, makhluk itu pun memberitahu kakek itu, bahwa dia akan jadi pemandu jalan mereka.

"Ayo, Sep. Mbah yang kasih tahu jalannya," perintah Mbah Darwis, sembari naik ke jok motor.


———​


Motor yang membawa Mbah Darwis dan Asep telah sampai di tujuannya. Tapi si Mbah terkesiap, saat melihat banyaknya kerumunan manusia di depan sebuah rumah. Di balik pagar rumah yang membuka, terdapat beberapa petugas medis dan polisi.

"Mbah, jangan-jangan...." Asep menggantungkan kalimatnya, saat melihat dua petugas medis sedang berjalan sembari mengangkat sebuah tandu, dengan satu sosok pada tandu yang ditutupi kain putih.

Tiba-tiba, angin kencang menghembus ke kerumunan warga. Hempasan angin membuat kain putih pada tandu jadi terbang, menampilkan sesosok jasad perempuan muda yang tubuhnya sudah membiru dan membusuk. Perempuan itu mati dalam keadaan paha mengangkang lebar, serta tanpa busana. Saat melihat jasad itu, para warga berteriak, beberapa langsung mengucap istighfar, dan sisanya sigap merekam memakai ponsel mereka. Tapi para polisi langsung mengambil kain putih itu lagi, dan kembali menutupi jasad si perempuan.

"Sebentar, Sep. Tunggu sini dulu."

Mbah Darwis berjalan menjauhi kerumunan, ke sebuah sudut pagar yang sepi. Lalu, dia merogoh tas pinggangnya, mengeluarkan sebuah botol kaca kecil. Diam-diam dan setelah memastikan tak ada yang melihatnya, Mbah Darwis menyodorkan botol kaca pada sudut pagar.

"Seda... kamu nakalnya bikin Mbah pusing saja." Mbah Darwis membuka tutup botol, lalu berujar lagi, "Ayo, masuk. Kita pulang."

Si tuyul Seda, berdiri sembari menatap Mbah Darwis. Lalu, dia pun tertawa riang, sebelum masuk ke botol yang telah disiapkan.






Selesai
Nympherotica👻
 
seru banget nih cerita baru
 
Mantapppp huuu...sudi kiranya suhu membuat cerita lg...semongkooo
 
hot Suhu ternyata, aku kira misteri horror ternyata horror yang mengacengkan...lanjutkan Suhu
 
Bimabet
Beberapa Tips Agar Uang Tidak di Ambil Tuyul, Simpanlah Uang di BANK. Jika di Simpan di Rumah Ikatlah Uang Dengan Karet Gelang Atau di Letakkan Cermin Agar si Tuyul Bercermin dan Melihat Wajahnya Sendiri. si Tuyul Akan Kaget dan Lari Ketika Melihat Wajahnya Sendiri Sehingga Batal Mencuri.

Trik Yang Agak Sedikit Repot Yakni Siapkan Kepiting Atau Yuyu, Yang di Taruh di Depan Rumah Yang di Ikat Dengan Benang dan di Taburi Bunga Setaman. Tuyul Akan Bermain Main Dengan Hewan Ini Hingga Keasyikan. Selain Itu, Botol Bening Juga Membuat Tuyul Ketakutan, Media Ini di Anggap Seperti Penjara.

Cara Terakhir Yang Paling Ampuh Adalah Beramal dan Bersedekah. Saat Mengambil Uang, Tuyul Akan Selalu Memilih Rumah Mana Yang Uang nya Belum "Bersih". Dia Tidak Akan Mengambil Uang Yang Sudah di Zakat kan, Sedekah kan, dan Amalkan Sekian Persen. Inilah Cara Paling Manjur, Berdoa, Beribadah, dan Beramal.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd